BAB I. PENDAHULUAN PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Batuk merupakan penyakit yang pernah dialami oleh mayoritas manusia. Batuk biasanya menyertai penyakit saluran pernapasan seperti asma, TBC, bronkitis dan lain-lain. Hampir semua penyakit respiratorik memiliki gejala batuk. Batuk adalah pengeluaran sejumlah volume udara secara mendadak melalui rongga toraks (Chung, 2003). Melalui mekanisme tersebut dihasilkan aliran udara yang sangat cepat yang dapat melontarkan keluar material yang ada di sepanjang saluran respiratorik, terutama saluran yang besar. Batuk mempunyai fungsi penting sebagai salah satu mekanisme utama pertahanan respiratorik. Mekanisme lain yang bekerja sama dengan batuk adalah bersihan mukosilier (mucociliary clearance). Batuk akan mencegah aspirasi makanan padat atau cair dan berbagai benda asing lain dari luar. Batuk juga akan membawa keluar sekresi berlebihan yang diproduksi di dalam saluran respiratorik, terutama pada saat terjadi radang oleh berbagai sebab (Phelan, 1994). Obat batuk diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya, yaitu antitusif dan ekspektoran. Antitusif diperuntukkan bagi batuk kering. Batuk kering bukan mekanisme pengeluaran zat asing pada saluran nafas seringga perlu ditekan dengan antitusif. Beberapa obat yang termasuk jenis ini dan sering digunakan adalah dekstrometorfan, noskapin, dan kodein. Sedangkan ekspektoran adalah obat yang bisa membantu pengeluaran dahak. Dahak memang dirangsang agar keluar melalui batuk karena batuk berdahak adalah mekanisme tubuh untuk
1
2
mengeluarkan zat-zat asing dari saluran nafas. Batuk ini sebaiknya tidak ditekan, supaya zat-zat asing itu bisa dikeluarkan. Contoh obat-obat ekspektoran adalah kalium iodida, ammonium klorida, gliseril guaiakol, ipekak, dan lain-lain (Irwin, 2000). Namun obat batuk jenis ekspektoran yang telah ada saat ini memiliki efek samping yang tidak diharapkan. Kalium iodida memiliki efek samping kuat berupa gangguan tiroid dan hiperkaliemia apabila dikonsumsi pada pasien dengan fungsi ginjal buruk, ammonium klorida memiliki efek samping yang terjadi pada dosis tinggi berupa asidosis (khusus pada anak-anak dan pada pasien ginjal), gliseril guaiakol memiliki efek samping berupa iritasi lambung pada dosis tinggi, ipekak juga memiliki efek samping serupa pada dosis tinggi (Chung, 2003). Obat alternatif dapat berasal dari ekstrak tanaman. Telah banyak beredar produk dari ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai ekspektoran, antara lain Obat Batuk X. Produsen Obat Batuk X melaporkan bahwa Obat Batuk X mengandung tiga komponen yang diklaim oleh produsennya memiliki khasiat meredakan batuk yaitu jahe, kencur dan akar kayu legi. Hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang efek sirup Obat Batuk X terhadap peningkatan sekresi mukus (ekspektoran) pada kondisi fisiologi normal. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan diuji efek sirup Obat Batuk X terhadap peningkatan sekresi mukus secara in vivo pada kondisi fisiologi normal.
3
B. Rumusan Masalah Apakah sirup Obat Batuk X meningkatkan sekresi mukus (aktivitas ekspektoran) pada trakea mencit dalam kondisi fisiologi normal? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian sirup Obat Batuk X terhadap peningkatan sekresi mukus pada trakea mencit dalam kondisi fisiologi normal.
D. Tinjauan Pustaka 1. Batuk a. Definisi Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari gangguan mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas, mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran nafas (Chung, 2003). b. Epidemiologi Prevalensi batuk dijumpai sekitar 15% pada anak dan 20% pada orang dewasa (Oemiati et al., 2010). Penelitian epidemiologi menunjukkan batuk kronik banyak berhubungan dengan kebiasaan merokok. Penelitian berskala besar di Amerika menemukan bahwa 8-20% non perokok juga menderita batuk karena penyakit kronik, polusi, alergi dan lain-lain (Blasio et al., 2012). Batuk juga merupakan
4
salah satu gejala dari penyakit asma dimana penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma di Indonesia meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi 5,4% pada tahun 2003 (Oemiati et al., 2010). DKI Jakarta memiliki prevalensi asma yang lebih besar yaitu 7,5% pada tahun 2007 (Oemiati et al., 2010). Departemen Kesehatan memperkirakan penyakit asma termasuk 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di RS dan diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk Indonesia menderita asma (Oemiati et al., 2010). c. Etiologi Batuk dapat terjadi akibat berbagai penyakit/proses yang merangsang reseptor batuk. Tentunya diperlukan pemeriksaan yang seksama untuk mendeteksi keadaan-keadaan tersebut. Perlu dilakukan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik, dan mungkin juga pemeriksaan lain seperti laboratorium darah dan sputum, rontgen toraks, tes fungsi paru dan lain-lain (Chung, 2003). d. Refleks Batuk Refleks batuk terdiri dari lima komponen utama; yaitu reseptor batuk, serabut saraf aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen dan efektor. Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Reseptor yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus dan pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus kecil dan sejumlah besar reseptor terdapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran telinga, lambung,
5
hilus, sinus paranasalis, perikardial dan diafragma. Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga rangsang dari telinga melalui cabang Arnold dari n. Vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus
menyalurkan rangsang dari
faring dan
nervus
frenikus
menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma (Chung, 2003). e. Mekanisme Batuk Mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu. 1) Fase inspirasi Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara sehingga glotis secara refleks terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 mL di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari Volume Tidal sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah (Blasio et al., 2012).
6
Gambar 1. Skema diagram menggambarkan aliran dan perubahan tekanan subglotis selama, fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi batuk (Blasio et al., 2012)
2) Fase Kompresi Setelah udara diinspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glottis (Blasio et al., 2012). 3) Fase Ekspirasi Glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80% (Blasio et al., 2012).
7
Iritasi
Inspirasi
Kompresi
Batuk
Gambar 2. Fase Batuk (Blasio et al., 2012)
2. Obat Batuk Obat batuk biasa terdiri atas lima kelompok menurut kandungan farmakologisnya (Syamsudin and Keban, 2013): a. Antihistamin. Contoh: Bromfeniramin. b. Obat simpatetomimetik. Contoh: Pseudoefedrin sebagai dekongestan. c. Obat penekan pusat batuk di batang otak. d.
Demulcent di sisi aferen atau eferen refleks batuk. Demulcent berguna
untuk batuk yang muncul di atas laring. Demulcent membentuk suatu lapisan pelindung di atas mukosa faring yang teriritasi. Di sisi aferen, antitusif dapat menurunkan input stimulus dengan bertindak sebagai analgetik ringan atau anestetik di mukosa pernapasan dengan mengubah kekentalan cairan saluran nafas atau dengan melenturkan otot halus bronkus jika terjadi bronkospasme. Di sisi eferen, antitusif dapat membuat sekresi lebih mudah dengan meningkatkan efisiensi mekanisme batuk. Zat aktif yang termasuk antitusif antara lain dekstrometorfan HBr dan difenhidramin HCl (dalam dosis tertentu).
8
e.
Mukolitik
atau
ekspektoransia
sebagai
kelompok
fungsional.
Ekspektoran berfungsi untuk memperbanyak produksi dahak (yang encer) dan dengan demikian mengurangi kekentalan sehingga mempermudah pengeluarnnya dengan batuk (Tjay, 2007). Mekanisme aksi ekspektoran adalah dengan mengurangi tegangan permukaan dan viskositas mukus. Pengeluaran mukus dengan cara meningkatkan laju sekresi melalui aksi silia atau melalui stimulasi refleks mukosa gastrik. Zat aktif yang termasuk ekspektoran antara lain Ammonium klorida, minyak atsiri, glyceryl guaiacolate (Woo, 2008). Pada umumnya obat batuk di pasaran mengandung satu atau lebih komponen ekspektoran (berkhasiat untuk memudahkan mengeluarkan dahak melalui refleks batuk dan memudahkan mengeluarkan dahak melalui refleks batuk) dan antihistamin (zat untuk mencegah atau meredam aksi alergi). Ada pula pabrik farmasi yang menambah dengan antitusif (zat peredam batuk), baik yang berasal dari narkotika, maupun yang bukan narkotik. Akhir-akhir ini ada pula yang menambahkan bahan mukolitik (pengencer dahak yang kental), dan surfaktan (bahan pencegah melekatnya dahak pada dinding saluran pernapasan dan diharapkan dapat memperlancar pengeluaran dahak melalui refleks batuk) (Canning, 2006). 3. Obat Batuk X Obat Batuk X merupakan salah satu produk obat batuk yang diproduksi oleh sebuah pabrik. Berdasarkan penelitian terdahulu Obat Batuk X dapat meningkatkan sekresi mukus pada dosis 2,92 mL/kgBB (Kusumaningrum, 2016). Obat batuk X berupa sediaan sirup berwarna coklat kehitaman, rasa khas pedas
9
dan sedikit manis, bau khas pedas. Berdasarkan CoA Obat Batuk X mengandung jahe, kencur dan akar kayu legi. Plasebo Obat Batuk X mengandung amylum maydis dengan organoleptis warna coklat muda, rasa manis dan bau khas amylum maydis. 4. Glyceryl guaiacolate Glyceryl guaiacolate (GG) atau Guafenesin atau 1,2-Propanediol,3-(2methoxyphenoxy)-(±)- memiliki rumus kimia C10H14O4 . Memiliki BM 198,2 g/mol, titik lebur 78-82ºC, larut dalam air, alkohol, kloroform, mudah larut dalam eter dan sedikit larut dalam gliserin (Richter, 2014).
Gambar 3. Struktur kimia glyceryl guaiacolate (Richter, 2014)
Guafenesin adalah glyceryl guaiacolate (GG) yang merupakan eter gliseril untuk guaiacol. Obat ini digunakan sebagai ekspektoransia dan ditemukan dalam sputum setelah pemberian secara oral. Obat ini dilaporkan mengurangi ketahanan sputum untuk mengurangi frekuensi batuk. GG diperkirakan bertindak sebagai ekspektoran dengan meningkatkan volume dan mengurangi kekentalan sekresi di trakea dan bronkus. GG juga merangsang aliran sekresi saluran pernapasan sehingga gesekan silia bisa membawa sekresi yang sudah lepas ke atas menuju faring (Syamsudin and Keban, 2013).
10
5.
Phenol Red
Phenol Red memiliki sinonim Phenolsulfonphthalein. Senyawa ini berupa padatan berwarna merah hingga merah kecoklatan dengan bobot molekul 354,38 g/mol, titik leleh lebih dari 300°C, dan kelarutan dalam air 1 g/1300 mL. Phenol red stabil di bawah temperatur dan tekanan normal (Engler, 1984).
Gambar 4. Struktur kimia Phenol Red (Engler, 1984)
Phenol Red adalah suatu pH indikator yang umumnya digunakan dalam uji biologis. Penelitian dengan menggunakan phenol red diantaranya uji aktivitas ekspektoran suatu senyawa (Engler and Szelenyi, 1984), uji sitotoksisitas nanopartikel karbon (CNPs) (Zhu et al., 2012) dan pengukuran hidrogen peroksida dalam supernatan dari makrofag yang dikulturkan pada multiwell plates (Pick and Mizel,1981). Pada studi mengenai obat yang mempengaruhi sekresi trakeobronkial, tracheal phenol red output terbukti ditingkatkan oleh ekspektoran (Engler, 1984). Ekspektoran seperti kalium iodida, ammonium klorida, emetin, guafenesin, menstimulasi sekresi tracheobronchial dengan refleks vagal pada perlakuan dose dependent (Steven et al., 1943).
6. Mukus Mukus adalah sekret yang terdiri dari air, garam dan jenis protein yaitu musin, yang memberi sifat lengket pada sekret (Pearce, 1979). Komposisi mukus
11
manusia adalah 95% air dan 5% glikoprotein (Dipiro et al., 2002). Mukus memiliki reseptor yang peka untuk zat perangsang (dahak, debu, peradangan) yang dapat merangsang batuk (Tjay and Rahardja, 2003). Komponen kimia yang penting dari mukus adalah mukopolisakarida yang dihubungkan dengan mukoprotein (Comroe, 1970). Mukus diproduksi oleh Sel Goblet yang terdapat pada epitel kolumnar bersilia yang menyusun trakea. Sel Goblet (30% dari populasi sel) memroduksi mukus yang melapisi sel epitel. Lapisan mukus ini menjaga sel epitel dari penumpukan dan partikel yang terperangkap kemudian dibawa ke saluran pernafasan lalu dikeluarkan dari pari-paru melalui silia (Pocock et al., 2006). Mukus terdapat secara alami pada kondisi fisiologi normal namun jumlahnya tidak sebanyak saat kondisi sakit. Semua jaringan mukosal memiliki permukaan epithelial yang bersinggungan dengan lingkungan. Permukaan epithelial kaya akan glikoprotein musin yang merupakan benteng pertahanan bagi patogen atau zat kimia pemicu timbulnya inflamasi (McGuckin et al., 2008). Ada beberapa kondisi yang menstimulasi peningkatan jumlah Sel Goblet, yaitu: a. Udara Kering Normalnya temperatur udara yang dihirup tidak mencapai suhu tubuh dan akan tersaturasi ketika mencapai trakea. Ketika udara yang kering dan dingin mencapai trakea maka jumlah Sel Goblet yang dikosongkan meningkat. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan untuk melindungi epitel saluran nafas dari kerusakan (Richardson and Phipps, 1978). b. Reaksi terhadap Iritan
12
Iritasi terhadap bahan kimia meningkatkan sekresi mukus trakea. Bahan kimia tersebut antara lain: ammonium klorida, sulfur dioksida, dll. Iritasi bahan kimia melalui mekanisme syaraf atau melalui mekanisme langsung atau mempengaruhi pengeluaran mediator inflamasi (Richardson and Phipps, 1978). c. Inflamasi Inflamasi pada saluran nafas yang disebabkan oleh virus atau bakteria menyebabkan
peningkatan
sekresi
mukus.
Mekanisme
belum
diketahui
(Richardson and Phipps, 1978). Kondisi infeksi atau induksi inflamasi akan menyebabkan Sel Clara (sel sektretori) di paru-paru akan berdiferensiasi menjadi Sel Goblet. Peningkatan jumlah Sel Goblet akan meningkatkan produksi mukus. Sel Goblet dalam kondisi inflamasi sebanyak 20 per cent dari keseluruhan sel epitel trakea, sedangkan dalam kondisi normal hanya sebanyak <1 per cent (Alexander et al., 1975). Selain dari sisi kuantitas, kualitas mukus dalam kondisi sakit berbeda dengan kondisi fisiologi normal. pH mukus pada kondisi fisiologi normal adalah 7,458,15 sedangkan pada kondisi sakit adalah 6,6-7,1 (Kwart et al., 1963). Persentase air, ion dan protein plasma juga berbeda antara kondisi fisiologi normal dan sakit. Glikoprotein dalam kondisi sakit mengalami peningkatan musin yang tersulfatasi. Pada kondisi fisiologi normal, immunoglobulin dalam mukus adalah IgA sedangkan dalam kondisi sakit, terdapat IgE dan IgG. Jumlah serotonin dan histamin juga meningkat dalam kondisi sakit. Secara fisik, mukus dalam kondisi sakit lebih kental sehingga sulit mengalami perpindahan oleh silia (Richardson and Phipps, 1978).
13
E. Landasan teori Dilaporkan bahwa Obat Batuk X positif mengandung Jahe, Kencur dan Akar Kayu Legi. Berdasarkan penelitian terdahulu, Obat Batuk X dapat meningkatkan sekresi mukus pada dosis 2,92 mL/kgBB. Penelitian tersebut dilakukan pada hewan uji mencit jantan galur Balb/c. Mencit dipejani dengan larutan uji satu kali. Tiga puluh menit setelah pemejanan larutan uji, mencit dipejani dengan ammonium klorida 5 mg/kgBB per oral untuk menginduksi sekresi mukus. Tiga puluh menit kemudian, mencit diijeksi dengan larutan phenol red dengan dosis 500 mg/kgBB secara intraperitoneal. Tiga puluh menit kemudian, mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan diisolasi trakeanya. Sampel isolasi tersebut dibaca absorbansinya dengan Spektrofotometer UV-Vis pada bilangan gelombang 558 nm. Hasil pembacaan absorbansi diplotkan pada kurva baku phenol red sehingga diperoleh konsentrasi tracheal phenol red. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi tracheal phenol red Obat Batuk X pada dosis 2,92 mL/kgBB tidak berbeda signifikan dengan kontrol positif yang digunakan yaitu glyceryl guaiacolate dosis 156 mg/kgBB (p>0,05) dan berbeda signifikan dibanding kontrol negatif tanpa perlakuan (p<0,05). Hal ini menunjukkan pada penelitian tersebut Obat Batuk X pada dosis 2,92 mL/kgBB berefek sebagai ekspektoran. Hal ini diduga merupakan aktivitas dari senyawa Galanolactone yang secara teoritis terkandung dalam jahe. Senyawa Galanolactone merupakan antagonis reseptor 5-HT3. Reseptor 5-HT3 banyak terdapat pada saluran pernafasan dan mengatur sekresi mukus. Oleh karena mekanisme aksi pada
14
reseptor, maka diperkirakan Obat Batuk X tetap berefek sebagai ekspektoran dalam kondisi fisiologi normal tanpa induksi. Selain itu, dilaporkan bahwa komponen yang mengandung saponin dapat memicu refleks sekresi pernafasan dengan mekanisme aferen pada mukosa gastrik. Secara teoritis akar kayu legi mengandung saponin, sehingga diperkirakan Obat Batuk X memiliki aktivitas ekspektoran. Mekanisme aksi dengan stimulasi refleks mukosa gastrik sehingga diperkirakan Obat Batuk X tetap berefek ekspektoran dalam kondisi fisiologi normal. F. Hipotesis Sirup Obat Batuk X pada takaran tertentu dapat meningkatkan sekresi mukus (aktivitas ekspektoran) pada trakea mencit dalam kondisi fisiologi normal tanpa induksi.