BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan salah satu kegiatan pemerintah yang berlangsung secara berkesinambungan. Usaha pemerintah agar bisa mandiri dalam pembiayaan pembangunan adalah dengan cara menggali sumber pendapatan pemerintah. Sumber pendapatan pemerintah berasal dari pendapatan pajak dan pendapatan non pajak. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan nasional. Semakin besar pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk pembangunan nasional maka penerimaan negara dari pajak dituntut untuk terus ditingkatkan. Oleh karena itu, untuk mengumpulkan penerimaan negara dari perpajakan tersebut dibutuhkan peranan dari masyarakat yaitu kesadaran dan kepatuhan seluruh Wajib Pajak baik orang pribadi, badan usaha maupun bendaharawan pemerintah untuk mematuhi hukum pajak yang berlaku. Akan tetapi besarnya penerimaan pajak masih belum diimbangi dengan peningkatan kepatuhan pajak masyarakat Indonesia. Fakta di Indonesia menunjukkan tingkat kepatuhan pajak masih rendah, ditandai belum optimalnya angka tax ratio (Jatmiko, 2006). Tax ratio merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Rasio ini dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu negara.
Universita Sumatera Utara
Penelitian tentang kepatuhan Wajib Pajak sudah sering dilakukan. Beberapa peneliti juga menggunakan kerangka model Theory of Planned Behavior (TPB) yang menjelaskan tentang perilaku. Model TPB yang digunakan dalam penelitian memberikan penjelasan yang signifikan, bahwa perilaku tidak patuh (noncompliance) Wajib Pajak sangat dipengaruhi oleh variabel sikap, norma subjektif dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan. Bobek & Hatfield (2003), Blanthorne (2000), dan Hanno & Violette (1996) dalam Mustikasari (2007) telah memanfaatkan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan tentang kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi. Hasil temuan Bobek & Hatfield (2003), dan Hanno & Violette (1996) dalam Mustikasari (2007) adalah sikap berpengaruh terhadap niat ketidakpatuhan pajak. Sedangkan Blanthorne (2000) dalam Mustikasari (2007), tidak bisa membuktikan pengaruh sikap terhadap ketidakpatuhan terhadap niat karena model pengukuran sikap yang digunakan tidak valid. Perkembangan menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan masih rendahnya kepatuhan pajak diantaranya adalah kurangnya kemudahan perpajakan, tingginya biaya kepatuhan pajak, belum diterapkannya sanksi perpajakan dengan maksimal, sensus pajak yang kurang optimal dan kurangnya kesadaran Wajib Pajak. Diakui atau tidak, Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya memang sangat rumit karena menyangkut banyak hal. Semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak yang terutang, dan menyetorkan jumlah pajak yang terutang. Menurut pendapat Aviantara (2009)
Universita Sumatera Utara
sistem perpajakan di Indonesia mempunyai kompleksitas yang tinggi, bukan hanya jumlah peraturannya yang sangat banyak, tetapi juga sering berubah dari waktu ke waktu, ditambah lagi dengan sosialisasi dari otoritas perpajakan dirasakan kurang optimal. Menurut Sanjaya dalam Vanessa dan Priyo (2009) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pajak adalah persepsi terhadap kemudahan dalam pelaksanaan sistem perpajakan. Sejak tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia menganut self assesment system, dimana Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak terutangnya. Sistem ini lebih ditekankan kepada kerelaan Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakannya. Untuk menunjang dari self assesment system tersebut Direktorat Jenderal Pajak membuat sistem pendukung yang diharapkan dapat memudahkan Wajib Pajak dalam membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya yaitu adanya e-registration, e-SPT, e-filing, dropbox, online payment dan kring pajak 500200. Sadhani (2004) mengemukakan bahwa guna melakukan penilaian tingkat efisiensi suatu sistem perpajakan, terdapat dua elemen dasar yang selalu menjadi acuan, yaitu (1) biaya administrasi perpajakan; dan (2) biaya kepatuhan perpajakan (compliance of taxation). Sistem perpajakan dikatakan efisien apabila biaya kedua elemen tersebut rendah. Beberapa Wajib Pajak beranggapan bahwa sistem perpajakan kita khususnya Pajak Penghasilan masih terlalu kompleks. Kompleksitas peraturan tersebut ternyata menimbulkan tingginya biaya yang harus dipikul oleh
seorang Wajib Pajak
untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya. Kemudian salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban
Universita Sumatera Utara
pajak adalah jumlah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya yang dalam berbagai literatur disebut dengan compliance cost atau disebut juga sebagai biaya kepatuhan pajak. Kenyataannya compliance cost begitu memberatkan dan menghambat Wajib Pajak. Menurut Sandford (1993) dalam Heriyanto (2012) biaya kepatuhan disini bukan hanya biaya dalam artian uang, tapi juga waktu dan pikiran. Dalam memenuhi kewajiban perpajakan, Wajib Pajak harus mengeluarkan uang selain untuk membayar pajak terutang, minimal untuk biaya perjalanan dan administrasi ke bank atau kantor pos untuk melakukan penyetoran, selain itu Wajib Pajak juga harus meluangkan waktu untuk membaca petunjuk pengisian SPT, mengisinya dan mengirimkannya ke Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak juga dibebani pikiran takut kalau-kalau pemahamannya atas peraturan perpajakan berbeda dengan pemahaman petugas pajak kemudian dituduh melakukan tax evasion. Tingginya biaya kepatuhan pajak tersebut, menyebabkan orang enggan untuk membayar pajak. Idealnya biaya kepatuhan pajak tidak memberatkan dan menghambat Wajib Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya. Sampai dengan saat ini memang belum ada studi yang komprehensif mengenai besaran biaya kepatuhan pajak di Indonesia, tapi bukan berarti biaya kepatuhan pajak tidak membebani Wajib Pajak (Prasetyo : 2008). Pada hakekatnya pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (Wajib Pajak) yang dengan sukarela membayar pajak. Namun karena pajak adalah iuran yang sifatnya memaksa, maka sebenarnya negara tidak butuh “kerelaan Wajib Pajak”. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Untuk menimbulkan rasa ketaatan atau kepatuhan tersebut itulah diperlukan penegakkan hukum, diantaranya melalui pemberian sanksi. Penerapan
Universita Sumatera Utara
sanksi perpajakan baik administrasi (denda, bunga, dan kenaikan) dan pidana (kurungan atau penjara) mendorong kepatuhan Wajib Pajak (www.pajak.go.id) Menyadari masih besarnya potensi perpajakan dan masih sedikitnya jumlah pembayar pajak, maka pemerintah
melaksanakan kegiatan yang
dinamakan Sensus Pajak Nasional (SPN). Dengan kegiatan ini diharapkan semua orang atau badan yang belum melaksanakan kewajiban membayar pajak dengan benar, dapat melaksanakannya sesuai kondisi atau potensi yang sebenarnya. Sensus Pajak Nasional merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka penggalian potensi Wajib Pajak. Selain itu, SPN memiliki tugas yang berat yaitu mengamankan target penerimaan pajak dan penerimaan negara. Tugas ini tidaklah mudah karena adanya kemungkinan hambatan atau masalah seperti respon negatif dari responden dengan menghindari petugas sensus, menjawab pertanyaan dengan asal, tidak bersedia menandatangani formulir sampai dengan tindakan konfrontatif terhadap petugas sensus (www.pajak.go.id). Jika kondisi ini terjadi Ditjen Pajak akan sangat dirugikan karena tidak akan memperoleh data yang diperlukan. Keberhasilan program Sensus Pajak Nasional tidak lepas dari persepsi masyarakat yang positif. Untuk mengatasi respon yang kurang baik dari para responden, selain teknik komunikasi yang baik petugas SPN juga diperlukan dukungan semua pihak terkait. Persepsi positif masyarakat terhadap SPN dan kesadaran perpajakan akan mendorong pada kepatuhan sukarela. Sensus Pajak pada hakikatnya untuk menegakkan keadilan. Sungguh tidak adil apabila ada sebagian masyarakat yang telah membayar pajak tapi masih banyak lagi yang belum membayar pajak. Masyarakat haruslah memiliki rasa bangga ketika telah memenuhi kewajibannya membayar pajak. Melalui
Universita Sumatera Utara
Sensus Pajak Nasional yang dilaksanakan pemerintah, diharapkan seluruh masyarakat bisa mewujudkan kesadaran dan rasa bangga bayar pajak. Kesadaran perpajakan masyarakat yang sangat rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat terjaring. Seperti yang dikemukakan oleh Santoso (2013) bahwa penerimaan pajak dibawah target yang dipatok pemerintah untuk tahun 2012 bukan sekedar dampak dari krisis perekonomian global yang berkepanjangan, namun juga masih terkendala dengan rendahnya kesadaran masyarakat melaksanakan kewajiban membayar pajak (m.sindowews.com/read/2013/01/08/16/704712/realisasi-pajak-melenceng). Pentingnya peranan penerimaan pajak, mengharuskan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang merupakan instansi di bawah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menjalankan peranannya dengan baik dalam mengumpulkan penerimaan negara tersebut. Salah satu diantaranya adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat yang berada dibawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I. Pada awalnya Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat memiliki nama Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan, kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 94/KMK.01/1994 tanggal 29 Maret 1994 namanya menjadi Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat. Dalam perjalanannya, Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat mengalami 2 (dua) kali reorganisasi. Sesuai Keputuan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dipecah menjadi dua yaitu Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dan Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia. Setelah mengalami reorganisasi pertama tersebut, bahwa dalam rangka pelaksanaan modernisasi sistem administrasi perpajakan dan efektivitas organisasi
Universita Sumatera Utara
instansi vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.01/2008 tanggal 6 Mei 2008, Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dipecah lagi menjadi dua yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Petisah. Adapun wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat sekarang adalah Kecamatan Medan Barat yang terdiri dari : 1. Kelurahan Kesawan 2. Kelurahan Silalas 3. Kelurahan Glugur Kota 4. Kelurahan Pulo Brayan Kota 5. Kelurahan Karang Berombak 6. Kelurahan Sei Agul Penerimaan pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya yaitu kondisi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktivitas perekonomian suatu daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu daerah menunjukkan semakin berkembangnya aktivitas perekonomian baik aktivitas produksi, konsumsi, investasi maupun perdagangan di daerah tersebut (Widodo, 2006). Sedangkan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan penghitungan
atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun, dimana faktor perubahan harga telah dikeluarkan.
Universita Sumatera Utara
Seperti kebanyakan kota lainnya, Medan sebagai kota terbesar di pulau Sumatera juga bergantung pada sektor perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada kontribusi sektor tersebut pada PDRB Medan tahun 2011 mencapai 20,68 persen (kontribusi sektor terbesar). Statistik Daerah Kota Medan 2012 menunjukkan bahwa nilai tambah bruto sub sektor perdagangan besar dan eceran dalam PDRB Medan selalu meningkat secara nominal setiap tahunnya. Pada tahun 2009 NTB sektor ini berada pada kisaran 15,94 triliun rupiah, kemudian meningkat menjadi 18,17 triliun rupiah pada tahun 2010, selanjutnya pada tahun 2011 menjadi 19,36 triliun rupiah. Data Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2010 menunjukkan bahwa kecamatan yang memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Medan selama tahun 2009 adalah Kecamatan Medan Barat, menyumbang sebesar 15,22 triliun rupiah (20,95 persen) dari total PDRB Kota Medan atas dasar harga berlaku. Sedangkan berdasarkan harga konstan Kecamatan Medan Barat menyumbang sebesar 6,56 triliun rupiah (19,63 persen) dari total PDRB Kota Medan.
Dilihat penerimaan pajak per sektor di Kecamatan Medan Barat yang merupakan wilayah kerja KPP Pratama Medan Barat, diketahui bahwa sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi yang paling besar bagi penerimaan
KPP
Pratama
Medan
Barat
selama
dua
tahun
terakhir.
Adapun penerimaan pajak per sektor KPP Pratama Medan Barat untuk tahun 2011 dan 2012 adalah sebagai berikut : Tabel 1.1. Penerimaan Bruto Per Sektor KPP Pratama Medan Barat Tahun 2011 dan 2012 (Milyar)
Universita Sumatera Utara
Kategori
Klasifikasi Lapngan Usaha (KLU) G Perdagangan besar dan eceran F Konstruksi D Industri pengolahan I Transportasi, pergudangan dan komunikasi K Real estate, usaha persewaan dan jasa usaha A Pertanian, perburuan dan kehutanan O Jasa kemasyarakatan, sosial dan lainnya J Perantara keuangan L Administrasi pemerintahan, pertahanan E Listrik, gas dan air P Jasa perorangan H Penyediaan akomodasi dan makan minum M Jasa pendidikan N Jasa kesehatan dan kegiatan social X Kegiatan yang belum jelas batasannya B Perikanan C Pertambangan dan penggalian Non NPWP Unknown NPWP Grand Total
2011 Rp % 79,44 29,31 56,10 20,69 35,44 13,07
2012 Rp % 91,56 27,18 62,62 18,59 43,42 12,89
34,68
12,79
39,50
11,72
9,14
3,37
26,39
7,83
12,96
4,78
19,96
5,92
5,28
1,95
7,91
2,35
5,26
1,94
5,82
1,73
3,09
1,14
4,54
1,35
3,66 1,98
1,35 0,73
4,40 2,99
1,30 0,89
1,05
0,39
1,14
0,34
0,94
0,35
1,10
0,33
0,35
0,13
0,38
0,11
0,04
0,01
0,08
0,03
0,01 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16,76 6,18 19,19 5,70 4,91 1,81 5,92 1,76 271,08 100,00 336,93 100,00
Sumber : Seksi PDI KPP Pratama Medan Barat
Walaupun sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan KPP Pratama Medan Barat pada tahun 2011 dan 2012, namun tingkat kepatuhan pembayaran pajak sektor perdagangan eceran masih rendah. Dari database yang dimiliki KPP Pratama Medan Barat sampai dengan tahun 2012, Wajib Pajak dari sektor ini tercatat sebanyak 2.231 pedagang eceran, sedangkan yang aktif melakukan pembayaran pajak hanya 744 pedagang eceran saja.
Universita Sumatera Utara
Berikut adalah jumlah dan tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran pada tahun 2010 - 2012 : Tabel 1.2. Jumlah dan Tingkat Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat Tahun
Pedagang Eceran Terdaftar 2.081 2.188 2.231
2010 2011 2012
Pedagang Eceran Melakukan Pembayaran 793 764 744
Tingkat Kepatuhan Pembayaran Pajak 38,10% 34,92% 33,35%
Sumber : Modul Penerimaan Negara, 15 Januari 2013
Berdasarkan tabel 2 di atas diketahui masih rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran. Dimana perbandingan antara pedagang eceran yang melakukan pembayaran dan yang terdaftar sangat rendah yaitu 38,10% pada tahun 2010, kemudian terus menurun menjadi 34,92% pada tahun 2011 dan turun kembali 33,35% pada tahun 2012. Turunya tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran tersebut disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah kurangnya kemudahan perpajakan, tingginya biaya kepatuhan pajak, belum diterapkannya sanksi perpajakan dengan maksimal, sensus pajak yang kurang optimal dan kurangnya kesadaran Wajib Pajak. Rendahnya kepatuhan pajak dari pelaku pedagang eceran yang ada di KPP Pratama
Medan
Barat,
sementara
mereka
mendominasi
peran
dalam
perekonomian Kecamatan Medan Barat menimbulkan efek pada rasa keadilan. Pelaku pedagang eceran yang tidak membayar pajak, misalnya, akan menjual barang yang sama dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha lain yang membayar pajak. Pelaku usaha yang membayar pajak harus memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan menambah harga jual ke konsumen, sementara pelaku usaha yang tidak membayar pajak tidak
Universita Sumatera Utara
melakukannya untuk barang yang sama. Di pihak lain, pelaku usaha yang membayar pajak harus menyisihkan penghasilan yang diperoleh untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) terutang, sementara pelaku usaha yang tidak membayar pajak dapat menikmati seluruh penghasilan yang diperolehnya. Distorsi yang terjadi antara pedagang eceran yang melakukan pembayaran pajak dengan pedagang eceran yang tidak membayar pajak ini, dalam jangka panjang, akan mengurangi kemampuan pedagang eceran yang
melakukan
pembayaran pajak dalam persaingan di pasar. Distorsi juga akan menimbulkan disinsentif bagi kepatuhan pajak pedagang eceran yang melakukan pembayaran pajak. Untuk mampu bersaing dalam pasar dengan pelaku usaha yang tidak membayar pajak, mereka akan cenderung untuk menyelewengkan
kewajiban
perpajakannya, misalnya tidak memungut PPN atau tidak membayar pajak terutang. Menjadi tantangan bagi administrasi pajak untuk bagaimana membuat para pedagang eceran yang belum patuh pajak menjadi patuh pajak dan pedagang eceran yang sudah patuh untuk tetap patuh. Atas dasar itulah, maka penulis tertarik untuk membahas masalah ini menjadi sebuah penelitan yang diberi judul “Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran Sektor Formal pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat”.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas adapun yang menjadi rumusan masalah adalah :
Universita Sumatera Utara
1.
Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal ?
2.
Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran sektor formal ?
3.
Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak melalui kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal ?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah : 1.
Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal.
2.
Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran sektor formal.
3.
Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak melalui kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal.
1.4. Manfaat Penelitian
Universita Sumatera Utara