1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional masyarakat
dalam
rangka
mewujudkan
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diarahkan pada terwujudnya sistem hukum baru, khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional.1 Pembangunan perekonomian nasional yang dimaksud didasarkan pada perkembangan dunia usaha dari suatu negara. Untuk itu perlu dijaga agar kehidupan perekonomian nasional dapat berkembang sehingga tujuan pembangunan yaitu masyarakat adil dan makmur dapat terwujud. Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam mewujudkan hal itu adalah dengan membuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk membantu dunia usaha dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dari akibat masalah perekonomian. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 berdampak besar bagi dunia usaha di Indonesia antara lain dunia usaha tidak dapat berkembang bahkan terhenti. Hal tersebut terjadi disebabkan dunia usaha baik itu yang dilakukan oleh perseorangan maupun suatu korporasi banyak yang tidak
1
Lihat Bagian Menimbang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2
mampu melaksanakan kewajibannya dalam membayar utang. Utang dalam konteks ini adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.2
Ketidakmampuan
membayar utang ini dikenal dengan istilah pailit. Istilah pailit ini diambil dari bahasa Belanda yaitu failliet yang berarti suatu keadaan dimana seseorang berhenti tidak mampu lagi membayar hutangnya dengan putusan hakim atau pengadilan.3 Dalam rangka mengatasi masalah kepailitan, sebenarnya telah ada suatu
peraturan
pemerintah
perundang-undangan
Hindia
Belanda,
(Faillissements-verordening,
yaitu
Staatsblad
yang
merupakan
Peraturan 1905:217
peninggalan
tentang
Kepailitan
juncto
Staatsblad
1906:348). Terkait dengan sifat hukum yang dinamis, Undang - Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang piutang, sehingga pemerintah pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti 2
Ibid. Pasal 1 ayat (6). Yan Pramadya Puspa, 2010, Kamus Hukum Belanda Indonesia Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, hlm 649. 3
3
Undang-Undang tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (UUK No. 4 Tahun 1998) pada 9 September 1998.4 Pada 18 Oktober 2004 telah disahkan dan diundangkan undang-undang kepailitan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (UU No. 37 Tahun 2004) sebagai pengganti UUK No. 4 Tahun 1998. Salah satu bidang usaha yang termasuk dalam kategori korporasi juga terkena
imbas krisis ekonomi adalah Badan Usaha Milik Negara. Badan
Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.5 Dimiliki oleh negara berarti secara tidak langsung pnyertaan modal yang terdapat pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara adalah seluruh anggota masyarakat Indonesia. Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara memiliki peran dan manfaat bagi masyarakat dan pembangunan yang mana Badan Usaha Milik Negara didirikan berasaskan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memiliki salah satu maksud dan tujuan yaitu menjadi perintis kegiatankegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan
4
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999, Kepailitan (Dalam Teori dan Praktek), Rajawali Pers, Jakarta, hlm 3. 5 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Ketentuan Umum. Pasal 1 butir 1.
4
koperasi.6 Menjadi perintis yang dapat diartikan Badan Usaha Milik Negara diharapkan dapat memenuhi tujuan untuk menjadi pelopor atau menjadi panutan bagi pelaku usaha – pelaku usaha yang lain dalam hal ini pihak – pihak swasta. Kontribusi Badan Usaha Milik Negara dalam sistem perekonomian nasional antara lain menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Peran Badan Usaha Milik Negara dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu, Badan Usaha Milik Negara juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/ koperasi. Badan Usaha Milik Negara juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden, dan hasil privatisasi. Dalam hal sehubungan dengan masalah kepailitan, Badan Usaha Milik Negara pun ikut terimbas akibat krisis moneter. Selain karena perekonomian yang melemah tersebut, kinerja perusahaan yang meliputi organisasi, manajemen, dan keuangan ikut mempengaruhi perkembangan Badan Usaha Milik Negara tersebut, sehingga semakin berdampak kuat terhadap menurunnya tingkat produktivitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan sehingga mengakibatkan menurunnya tingkat laba yang dihasilkan berpengaruh terhadap pendapatan nasional, sehingga lambat laun akan merugikan Negara karena Negara telah menanam modal dalam Badan Usaha Milik Negara tersebut dalam jumlah yang tidak sedikit. 6
Ibid. Pasal 2 ayat (1) huruf d.
5
Salah satu Badan Usaha Milik Negara yang terpaksa pailit adalah PT. Dirgantara Indonesia. Dalam perjalanan usahanya PT. Dirgantara Indonesia mengalami permasalahan, yaitu permasalahan sengketa hak dan kewajiban antara mantan karyawan dan perusahaan. Sengketa tersebut dipicu oleh kekurang puasan mantan karyawan tersebut dalam sistem pembayaran kompensasi pensiun bagi mantan karyawan, sehingga mereka mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Majelis hakim dalam memutus pailit PT Dirgantara Indonesia mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 yaitu, Debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: mempunyai dua atau lebih kreditor, tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Putusan pailit PT. Dirgantara Indonesia oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengundang pro dan kontra, terutama oleh kementerian BUMN dan Menteri Keuangan. Mereka berpendapat bahwa PT. Dirgantara Indonesia adalah merupakan salah satu bentuk kegiatan usaha Badan Umum Milik Negara, sehingga yang berhak mengajukan permohonan pailit adalah Menteri Keuangan hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (UU No.37 Tahun 2004) terdapat ketentuan bahwa kewenangan pengajuan pailit terhadap perusahaan Badan Usaha Milik Negara ada pada Menteri Keuangan. Dunia industri menyambut baik ketentuan tersebut 7 Yudaning Tyassari, 2008 : Akibat Hukum Putusan Pailit Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Dirgantara Indonesia (Persero), Tesis, Universitas Diponegoro Semarang, tidak diterbitkan, hlm 5.
6
karena dianggap memberikan kepastian hukum mengenai klasifikasi kewenangan dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit, sedangkan di dalam masyarakat sendiri terdapat dua pendapat, yaitu yang menerima dan yang menolak ketentuan tersebut. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena ketidakjelasan dasar hukum yang akan digunakan Menteri Keuangan dalam hal pengajuan permohonan pailit, terhadap suatu Badan Usaha Milik Negara sehingga sebagian pihak berpendapat bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut dapat dijadikan sebagai tempat perlindungan bagi Badan Usaha Milik Negara yang belum tentu semuanya sehat. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penerapannya masih menemui kesimpang siuran, terlebih lagi dalam menghadapi proses pemailitan suatu Badan Usaha Milik Negara. Akibat hukum suatu pengajuan pailit Badan Usaha Milik Negara juga akan berdampak luas bagi para pihak. Serta Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang juga memiliki maksud dan tujuan mengapa Badan Usaha Milik Negara didirikan salah satunya memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.
Berdasarkan hal-hal
tersebutlah yang mendorong penulis untuk menyusun tesis yang berjudul:
Perlakuan Hukum Terhadap Perseroan Terbatas Milik Negara (Perusahaan Perseroan (Persero)) Dalam Pengajuan Permohonan Pernyataan Kepailitan.
7
B. Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, terdapat rumusan tiga permasalahan yang akan dibahas, yaitu: 1.
Bagaimana perlakuan hukum terhadap perseroan terbatas milik negara
(Perusahaan Perseroan (Persero)) dalam pengajuan permohonan pernyataan kepailitan? 2.
Bagaimana kepastian hukum terhadap pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Badan Usaha Milik Negara?
C. Keaslian Penelitian Dari pengamatan penulis pada kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada sampai dengan posisi akhir bulan Juli 2014, sudah terdapat beberapa judul tesis mengenai hukum kepailitan, beberapa diantaranya adalah: 1.
Tinjauan Yuridis Batasan Minimal Utang Dalam Syarat Kepailitan Undang – Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (studi Kasus Putusan Niaga Nomor:
48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKt.Pst
Tentang
Kepailitan
PT
Telkomsel) yang disusun oleh Raden Rachmat Hadi, pada tahun 2012 (Tesis Rachmat Hadi). a. Rumusan Masalah Penelitian Tesis Rachmat Hadi Rumusan masalah yang menjadi fokus dalam tesis ini antara lain sebagai berikut:
8
1) Apakah penerapan syarat kepailitan dalam penjatuhan Putusan Niaga Nomor:48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tentang kepailitan PT. Telkomsel sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi dengan tepat? 2) Mengapa tidak ada pengaturan batasan minimal utang, dalam syarat kepailitan di Undang - Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
b. Kesimpulan yang ditunjukkan dalam Tesis Rachmat Hadi ini antara lain sebagai berikut:8 1) Penerapan syarat kepailitan dalam penjatuhan Putusan Niaga Nomor: 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tentang kepailitan PT. Telkomsel yang diatur dalam Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi dengan tepat, namun demikian ada berberapa aspek – aspek yang perlu diperhatikan antara lain: i.
Putusan tidak mempertimbangkan semua keterangan saksi maupun ahli serta alat bukti secara berimbang, terutama terhadap keterangan saksi, ahli dan alat bukti dari pihak
8
Raden Rachmat Hadi, 2012 : Tinjauan Yuridis Batasan Minimal Utang Dalam Syarat Kepailitan Undang – Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (studi Kasus Putusan Niaga Nomor: 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst Tentang Kepailitan PT Telkomsel), Tesis Magister Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan,Yogyakarta, hlm 100.
9
termohon pailit yaitu PT. Telkomsel, sehingga putusan terlihat memihak terhadap pemohon pailit yaitu PT. Prima Jaya Informatika. ii.
Ketidakcermatan di dalam melakukan pertimbangan hukum yaitu : adanya kesalahan pengutipan fakta didalam putusan dan penentuan waktu jatuh tempo.
2) Tidak adanya pengaturan batasan minimal utang dalam syarat kepailitan Undang – undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran
Utang,
dikarenakan di Indonesia penjatuhan putusan pailit itu bukan didasarkan pada ketidakmampuan membayar utang, akan tetapi ketidakmauan membayar utang juga bisa dijatuhi putusan pailit. Hal ini sebagai akibat dari syarat kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2.
Analisis
Terhadap
Putusan
Mahkamah
Agung
RI
No.
075k/Pdt.Sus/2007 Mengenai Kepailitan PT Dirgantara Indonesia yang disusun oleh Fetty Anggraenidini pada tahun 2011 (Tesis Fetty Anggraenidini). a. Rumusan Masalah Tesis Fetty Anggraenidini Rumusan masalah yang ditekankan dalam tesis ini antara lain sebagai berikut:
10
1)
Apakah
kekayaan
diputuskan dalam
PT.
Dirgantara
Putusan
Indonesia
Mahkamah
075K/PDT.Sus/2007 dapat dikategorikan
sebagaimana
Agung
sebagai
Nomor kekayaan
negara? 2)
Apakah pihak selain Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat mengajukan permohonan pernyataan kepailitan terhadap PT. Dirgantara
Indonesia?
b. Kesimpulan yang ditunjukkan dalam Tesis Fetty Anggraenidini antara lain sebagai berikut:9 1) Kekayaan PT Dirgantara Indonesia (PT. DI) bukan merupakan termasuk kekayaan milik negara lagi karena sudah dipisahkan, dan merupakan kekayaan milik PT Dirgantara Indonesia sendiri karena PT. DI adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara yang terbagi atas saham dan tunduk kepada UU PT. Terdapat inkonstensi dari putusan Mahkamah Agung (MA) dalam memandang status kekayaan Badan Usaha Milik Negara, pada tanggal 16 Agustus 2006 Mahkamah Agung telah mengeluarkan fatwa MA No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang menyatakan bahwa piutang bankbank Badan Usaha Milik Negara diselesaikan menurut UU PT karena bukan merupakan utang negara. Di pihak lain dengan putusan kepailitan PT. DI ini, MA menganganggap bahwa kekayaan Badan Usaha Milik Negara merupakan kekayaan negara. 9 Fetty Anggraenidini, 2012 : Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No.075k/Pdt.Sus/ 2007 Mengenai Kepailitan PT Dirgantara Indonesia, Tesis Magister Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan, Yogyakarta, hlm 104.
11
2)
PT Dirgantara Indonesia sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara harus tunduk dalam peraturan mengenai syarat-syarat kepailitan. Modal PT. DI terbagi atas saham, maka walaupun seluruhnya dimiliki oleh negara, PT. DI tidak termasuk Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 dan pemjelasannya. Dengan demikian, PT.DI diajukan permohonan kepailitannya oleh PT. DI sendiri sebagai debitor, para kreditornya, serta pihak kejaksaan demi kepentingan umum. Pengecualian untuk Badan Usaha Milik Negara dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 hanya untuk Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik dan tidak terbagi atas saham yang kepailitannya diajukan oleh Menteri Keuangan.
Dari judul – judul tersebut diatas masih belum penulis melihat adanya pembahasan khusus dan terperinci atas perlakuan hukum terhadap Badan Usaha Milik Negara dalam pengajuan permohonan pernyataan kepailitan. Landasan penulisan tesis ini di samping didasarkan pada penulis sebagai mahasiswa yang berusaha berpijak pada disiplin ilmu hukum, juga dilandasi oleh ketertarikan penulis pada suatu perlakuan hukum yang akan diterima oleh suatu perusahaan yang seluruh asetnya dimiliki oleh negara yang dibentuk Perseroan Terbatas sehingga disebut Badan Usaha Milik Negara ketika harus dihadapkan dalam posisi diajukan kepailitan oleh para kreditornya.
12
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan dengan hal-hal yang terdapat pada rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan penelitian antara lain sebagai berikut : 1.
Mengkaji perlakuan hukum terhadap perseroan terbatas milik negara (Badan Usaha Milik Negara) dalam pengajuan permohonan pernyataan kepailitan. Perlakuan hukum yang dimaksud secara umum
adalah
proses prosedur hukum yang dihadapi, pertimbangan – pertimbangan hukum yang melandasi, dan konsekuensi hukum terkait dengan proses pailit yang akan diterima atas suatu perseroan terbatas Badan Usaha Milik Negara. 2.
Untuk mengkaji kepastian hukum terhadap pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap perseroan terbatas Badan Usaha Milik Negara.
E. Kegunaan Penelitian Dalam penelitian ini, kegunaan utama dari penelitian ini diharapkan tercapai, antara lain : 1.
Kegunaan Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam bidang khususnya hukum bisnis antara lain mengenai hukum kepailitan dan lebih khususnya mengenai pengaturan kepailitan pada Badan Usaha Milik Negara.
2.
Kegunaan Secara Praktis
13
Memberikan sumbangsih wacana dan data bagi para praktisi terutama masalah yang berkaitan dengan penyelesaian kasus kepailitan. Dan juga diharapkan akan mampu memberi sumbangan secara praktis bagi para hakim untuk lebih luas memahami peraturan-peraturan hukum sehingga tidak saling berbenturan atau bertentangan.