1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tidak selalu membawa
manusia kepada kemajuan berpikir berdasarkan falsafah keagamaan, keilmuan atau norma-norma sosial dan etika. Tetapi dampak kemajuan teknologi telah memacu masyarakat modern khususnya para pelaku bisnis penyiaran mencari peluang-peluang baru yang berorientasi pada keuntungan material semata. Sejak berubahnya sistem politik negara di Indonesia dari sistem pemerintahan yang otoriter menjadi sistem politik yang demokratis melalui fase reformasi, maka kecenderungan yang terjadi adalah euforia dalam memaknai arti kebebasan. Banyak program acara siaran televisi yang dibuat dan ditayangkan merupakan format-format baru yang menarik dan berbobot, memiliki nilai-nilai filosofis dan memberikan pencerahan dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan para pemirsanya. Namun terdapat juga acara-acara yang dibuat tanpa konsep yang jelas, sehingga berakibat munculnya berbagai macam karakter pemain, pembawa acara, setting dan alur cerita yang tidak mendidik, dan tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Konsep yang tidak jelas dapat membentuk karakter generasi mendatang seperti apa yang disajikan. Acara siaran televisi seolah identik dengan pembawa acara atau pemainnya. Secara jelas dapat disaksikan kecenderungan siaran televisi komersial di
2
Indonesia yang hanya menampilkan setting yang glamour dengan pemain yang berwajah ”non Indonesia”. Acara demikian justru banyak ditonton oleh khalayak yang setiap hari mengalami kesulitan hidup serta tinggal di kampung-kampung atau di gubuk-gubuk yang kumuh di pinggiran rel kereta dan di tepian sungai yang membelah kota. Terdapat acara-acara yang didominasi oleh canda dan tawa, olok-olok, practical joke, serta merendahkan martabat manusia. Selain itu ada juga unsur negatif yang dimasukkan dalam acara seperti takhayul, perdukunan, dunia mistik, kekerasan, kekejaman, pornografi (seks), kemewahan, perselingkuhan, dan gosip. Terdapat pula konten acara yang berupa pembeberan atau pengungkapan masalah pribadi seseorang kepada publik melalui investigasi berita/peristiwa, kamera tersembunyi, pengambilan gambar langsung, dengan direct sound, ilustrasi maupun melalui narasi.
1.1.1
Acara Infotainment di televisi. Program acara yang mengungkapkan masalah-masalah pribadi (privasi
dan hak privasi seseorang) sering disebut sebagai acara ”Infotainment”. Infotainment merupakan gabungan dari kata information dan entertainment. Ditinjau dari isi tayangannya, maka penggunaan istilah infotainment tidaklah tepat, karena pada dasarnya acara-acara tersebut hanyalah semacam majalah berita yang tidak sepenuhnya faktual. Dalam acara tersebut sering terdapat opini pembuat program (penulis cerita, produser, atau sutradaranya) melalui narasi yang dibacakan oleh narator atau host. Acara yang terdiri dari beberapa segmen dan
3
dipandu oleh satu atau dua orang pengantar acara dengan teknik penyampaian yang flat dan tidak memiliki ”showmanship” itu, bahkan sering tidak bernuansa menghibur sama sekali. Jadi tidak tepat jika dimaknai sebagai informasi tentang para entertainer (pesohor) atau para penghibur. Istilah Infotainment, edutainment, infomercial, edumercial, dan sejenisnya merupakan ”format-format alternatif baru” yang muncul ketika para ”broadcaster” sudah jenuh dengan format-format acara yang ada. Sebuah acara edutainment, haruslah
mengandung
unsur
pendidikan
dan
sekaligus
menghibur
(menyenangkan), atau acara hiburan yang memberikan nilai pendidikan. Acara infomercial, adalah jenis acara informasi yang sebenarnya bertujuan komersial, sehingga penonton tidak merasakan bahwa mereka telah menjadi target suatu pemasaran produk/jasa tertentu sedangkan acara infotainment seharusnya adalah sebuah acara informasi yang dapat memberikan hiburan atau acara hiburan yang mengandung unsur informasi. Selain disalahtafsirkan sebagai acara yang mengungkapkan informasi tentang para entertainer (pesohor), acara infotainment sering hanya merupakan perpaduan atau gabungan antar dua acara yaitu acara informasi seperti berita, talkshow atau wawancara dengan acara musik/hiburan sebagai selingannya. Acara infotainment dalam pengertian yang sering digunakan di dunia broadcast di Indonesia dewasa ini, lebih berorientasi kepada ”pasar” dibandingkan pada nilai jurnalistiknya. Banyak program acara infotainment yang diproduksi oleh rumah-rumah produksi (production house, PH) lalu dijual kepada stasiun penyiaran, atau diproduksi oleh stasiun penyiaran itu sendiri, berisi feature tentang kehidupan seseorang khususnya pesohor atau figur publik. Selain itu juga
4
menampilkan ulama atau ahli hukum dan keluarga yang bersangkutan untuk memberikan komentar, saksi atau pernyataan diselingi dokumentasi masa lalu. Materi acara yang terekam dan disajikan kepada publik didominasi oleh berita atau peristiwa orang berpacaran, perkawinan dan perceraian, keretakan rumah tangga, perselingkuhan, gosip, konflik antar pribadi, dan lain-lain. Terkait masalah tersebut, Pimpinan PBNU pada tahun 2006 mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa acara infotainment gosip adalah haram, karena menyebarkan
keburukan dan aib orang lain, yaitu berita yang tidak jelas
kebenarannya (gossip atau ghibah)
serta menghasut atau mengadu domba
sehingga menimbulkan permusuhan (namimah) yang dilarang oleh agama. Tahun 2009, Fatwa PBNU tersebut diungkapkan kembali oleh berbagai pihak, bahkan didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Menteri Agama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Suryadarma Ali.1 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah ”infotainment” sebagaimana dimaknakan oleh para pelaku bisnis acara tersebut. Pengertian infotainment dalam perkembangannya kemudian telah dipahami oleh masyarakat luas sebagai acara yang berisi tentang lekuk liku kehidupan selebritis. Misalnya, isu tentang kisah tragis Manohara di awal tahun 2009 dijadikan isu utama infotainment sampai berbulan-bulan. Kemudian isu peristiwa yang dialami oleh Penyanyi Dangdut Cici Paramida atas ”penganiayaan” dari suaminya yang baru dua bulan menikahinya. Kisah-kisah kehidupan pribadi para selebriti yang semula tidak ada yang __________________________________________________________________ 1
Surat Kabar Harian Rakyat Merdeka, 3 Januari 2009, hal.8
5
tahu menjadi diketahui oleh publik dengan dalih ”the public right to know”. Sementara bahwa setiap individu juga memiliki hak untuk dilindungi masalah privasinya (the right to be let alone atau the right of protection), dan hal ini cenderung
diabaikan. Pengabaian terhadap hak-hak individu atas masalah
privasinya tersebut tidak semata-mata karena pelanggaran yang tidak disengaja, tetapi terdapat motif-motif
kesengajaan (by intention) yang disebabkan oleh
pergeseran nilai budaya dan pergeseran etika komunikasi oleh para pelaku bisnis infotainment, termasuk pelaku yang ditayangkan. Apabila pada saat akan dilakukannya produksi tidak terdapat isu hangat yang dapat diangkat dalam episode yang akan datang, maka perancang acara infotainment tidak segan-segan untuk menghubungi siapa saja yang dianggap figur publik untuk ditanya tentang masalah pribadinya. Dari komunikasi yang dilakukan, kemudian dilakukan syuting terhadap ”obyek” acara baik tentang urusan keluarga ataupun hal lain seperti ditanya pendapatnya tentang sesuatu hal, sehingga terasa bahwa segmen-segmen tersebut dipaksakan adanya. Acara infotainment
banyak menyajikan materi tentang pengungkapan
masalah ”privasi” seseorang. Bagi sebagian penonton, kejadian yang ditayangkan dapat memberikan luapan emosional, keharuan, kebencian, kemarahan atau simpati. Pengungkapan masalah pribadi dalam infotainment sering mendetail dan lengkap dengan segala peristiwa perseteruan, saling mencaci, dan saling menyatakan sesuatu. Yang diungkapkan termasuk hal-hal pribadi yang sepele, seperti kesukaan, hobi, kebiasaan, kondisi kamar tidur seseorang, kondisi kamar mandinya, apa isi almarinya, apa merk pakaian dalamnya, dan apa yang ada di
6
dalam tas atau dompetnya. Para pengisi acara baik yang mengetahui bahwa dirinya sedang dijadikan target siaran maupun yang tidak mengetahuinya, juga memiliki motif-motif tertentu. Jarang terjadi atau boleh dikatakan hampir tidak ada ”somasi” atau tuntutan terhadap pembuat acara infotainment yang telah memberitakan masalah privasinya. Bahkan, seringkali infotainment dijadikan sarana untuk mendongkrak kembali popularitasnya yang sedang ”drop”, sehingga sepi dari ”order”. Budi Suwarna menulis tentang Olok-olok Soal Privasi. Ia menyebutkan contoh konflik yang terjadi antara Kiki Fatmala dengan ibunya, Farida, yang ramai diinfokan melalui acara infotainment di banyak stasiun televisi pada tahun 2006. Pada saat itu, menurut catatan Budi Suwarna, jutaan orang menyaksikan bagaimana Farida dengan geramnya mengutuki anaknya sendiri Kiki Fatmala. Semua masalah pribadi Kiki Fatmala dikupas secara tuntas dan disiarkan secara luas dan bahkan ada yang diulang-ulang. Ruang pribadi telah banyak terkoyak oleh ulah para pembuat acara gosip.2 Terdapat kritik atau pendapat mengenai acara infotainment yang menyatakan bahwa wartawan infotainment Indonesia bukanlah wartawan karena acara berita yang disajikan sebenarnya bukanlah infotainment, melainkan sekedar kabar selebriti. Pada tahun 2005, Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menyatakan bahwa pekerja infotainment adalah juga jurnalis seperti wartawanwartawan lainnya, hanya saja memiliki karakter pekerjaan yang berbeda. Konsep “infotainment” sendiri seharusnya merupakan konsep yang meru_________________________________________________________________ 2
Budi Suwarna, Olok-olok Soal Privasi, Surat Kabar Harian Kompas, tanggal 16 November 2008: hal.17.
7
pakan gabungan antara information & entertainment.
Jadi tidak bisa diartikan
sebagai berita dari dunia hiburan atau dunianya para artis. Kemudian yang yang lebih prinsip lagi, menurut kritik tersebut, adalah sikap dan tingkah laku mereka yang sama sekali bukanlah cerminan wartawan atau jurnalis sejati yang selalu berpijak kepada etika jurnalisme. Paling dekat, gaya mereka mengejar dan menyajikan berita mirip dengan mereka dari koran kuning alias “yellow journalism” atau “paparazzi”.3 Selain itu, sering terjadi adanya ulama atau pengacara dan tokoh masyarakat tertentu yang diwawancarai untuk memberikan pernyataan atau bahkan fatwa mengenai masalah yang diungkapkan. Kritik menyatakan bahwa infotainment sering memutarbalikkan fakta dan mencampurkan opini dengan fakta yang ada. Dari catatan Reza Gunawan dalam blog-nya, disebutkan antara lain : -
Infotainment sering memalsukan suara narasumber;
-
Terjadinya pelencengan drama melalui narrator;
-
Fitnah yang sengaja, maupun (barangkali) tidak disengaja;
-
Wawancara imajiner;
-
Bongkar pasang komentar narasumber dan mengubah judul liputannya.
-
Kesalahan menangkap fakta.4
Berdasarkan catatan-catatan tersebut dan dari observasi peneliti, tidak hanya masalah privasi saja yang diungkapkan kepada publik oleh para pekerja __________________________________________________________________ 3
4
http://id.wikipedia.org/wiki/4 Januari 2009; Kompas Cyber-media, Senin, 13 Maret 2006, pk.19:01 WIB. http://resagunawan.blogspot.com/4 Januari 2009, pk. 19:30 WIB
8
infotainment, tetapi telah terjadi pergeseran nilai budaya dan pergeseran etika komunikasi yang dilakukan oleh para pihak terkait. Sebagai contoh, bergesernya nilai budaya (ketimuran) yang semula adalah tabu apabila aib seseorang diketahui oleh orang lain, kini bahkan dengan bangga diungkapkan kepada publik melalui media massa. Contoh yang penulis catat dari sebuah acara infotainment Kasak-Kusuk yang disiarkan oleh Stasiun SCTV tanggal 29 Januari 2009 pada jam 15:00, Luna Maya digosipkan berebut pacar (Ariel Peterpan) dengan Aura Kasih. Mereka berdua sedang berada di tempat umum, ketika wartawan gosip mewawancarai Aura Kasih, dan Aura menjawab pertanyaan wartawan dengan santai. Namun ketika Luna Maya diuber wartawan untuk diwawancara, Luna marah sekali dan meminta agar masalah pribadinya tidak usah diungkit-ungkit, kemudian dia mengusir para wartawan tersebut.
Perilaku Luna yang marah dan kemudian
duduk di bangku yang tersedia di sekitar lokasi kejadian, sengaja ditayangkan kepada publik sebagai bagian yang barangkali dianggap mengandung unsur dramatik. Masih tentang Luna Maya, kejadiannya di Plasa EX, Jakarta pada 15 Desember 2009, yaitu seusai penayangan perdana Film Sang Pemimpi yang dibintangi oleh Ariel Peterpan kekasih Luna. Luna sedang menggendong anak Ariel yaitu Alea yang tertidur,
dikejar para pekerja infotainment ingin
mendapatkan informasi tentang masalah pribadinya. Luna terdesak sampai tangga eskalator, dan merasakan bahwa kamera wartawan mengenai kepala Alea. Dia menolak untuk memberikan keterangan dan terlihat marah atas kejadian itu. Sele-
9
pas acara itu,
Luna yang masih diliputi kemarahan, merasa bahwa masalah
pribadinya diobok-obok terus, dan menulis di microblogging Twitter-nya. Dia “curhat” tentang perilaku para pekerja infotainment tersebut, dengan kata-kata yang dianggap merendahkan atau menghina profesi wartawan infotainment. Meski sudah dihapus dan minta maaf, tulisannya sudah terlanjur menyebar, sehingga Luna disomasi dan dilaporkan ke Polda Metrojaya oleh para “wartawan” infotainment yang didukung oleh Pengurus PWI Jakarta tentang tindakan pencemaran nama baik dan penghinaan. Luna terancam dikenakan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah yang menjerat Ibu Prita Mulyasari karena menuliskan keluhan yang dialaminya atas pelayanan medis dari RS. Omni Internasional Hospital, Tanggerang. Kejadian itu menarik untuk dikaji, mengingat bahwa di satu sisi, wartawan infotainment
sering mengabaikan hak-hak warga negara khususnya kaum
selebritis untuk “menyendiri” atau “the right to be let alone”. Sementara di sisi lain terjadi kejenuhan bagi selebriti tertentu akibat masalah pribadinya diusik dan diungkap ke publik secara terbuka, dengan bumbu-bumbu narasi yang dramatik. Pekerja infotainment mencari materi untuk ditayangkan dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan menghubungi figur-figur publik yang dianggap layak untuk ditampilkan, sekedar bertanya-tanya tentang beberapa hal seputar masalah pribadinya. Contoh, seorang Ustad yang terkenal melalui layar kaca sedang _______________________________________________________________________________ 5 Wisnu Dewabrata, 2009. Mengejar “Mbak Luna” dengan UU ITE. Kompas, 21 Desember, hal. 4; Budi Rahman Hakim, 2009. Pansus Luna Maya. Rakyat Merdeka, 21 Desember, hal. 1 & 9; NET/AAL, 2009. Luna Maya Maki-Maki Wartawan. Rakyat Merdeka, 17 Desember, hal. 20.
10
beristirahat di rumahnya bersama keluarganya, tiba-tiba ditelepon oleh pekerja infotainment yang menanyakan tentang apa saja kegiatannya seminggu terakhir ini. Pak Ustad menjawab sedang santai dan kemudian segala kegiatannya hari itu disyuting oleh kru infotainment dan disiarkan.
Artinya, bahwa seorang ahli
agamapun senang atau tidak merasa terganggu masalah privasinya disebarluaskan melalui televisi dan dikonsumsi oleh publik. Beruntung pada segmen “buatan” tersebut tidak terjadi pelencengan drama oleh narator, meskipun demikian, narator mengekspresikan suaranya seolah-olah gambar yang ditayangkan sangatlah penting. Contoh lain adalah sebagaimana ditayangkan dalam acara Insert Pagi Trans TV pada siaran tanggal 24 Maret 2010 jam 06:30 WIB. Yuni Shara, kakak Krisdayanti (KD), dimintai pendapatnya tentang hubungan adiknya dengan pengusaha Raul yang berasal dari Timor Leste. Yuni Shara menjawab, bahwa hubungan antara KD dengan Raul yang “katanya” masih belum bercerai dari isterinya, adalah urusan mereka pribadi. Jadi Yuni berharap janganlah keadaan KD ini selalu di”ubek-ubek” terus oleh media seperti ini.
Kurang lengkap
mewawancarai kakak KD, maka pekerja Insert Pagi juga mewawancarai Ruth Sahanaya, sahabat KD, dan juga Anang, mantan suami KD, untuk menggali pendapat mereka mengenai KD. Acara infotainment telah identik dengan gaya hidup (life style), dan telah menjadi bagian dari “budaya pop” (popular culture) seperti halnya media televisi itu sendiri. Karena sudah merupakan gaya hidup, maka acara infotainment sepertinya mendapatkan toleransi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan,
11
atau atas materi yang disajikan dan juga cara penyajiannya. Apakah telah terjadi perubahan dan atau gangguan pada sikap dan perilaku dari sebagian orang yang tergabung dalam komunitas selebritis atau pekerja infotainment?. Selain infotainment, terdapat acara-acara lain yang mengungkap masalah kehidupan pribadi seseorang khususnya pesohor, yaitu acara “reality show” dan “talkshow”. Dalam reality show terjadi rekayasa cerita, rekayasa adegan dan rekayasa pemain baik “klien” maupun “target”, sedangkan dalam beberapa acara talkshow, maka bintang tamu yang diundang harus siap untuk buka-bukaan kepada publik tentang segala hal berkaitan dengan masalah privasinya. Demikian juga dengan acara “hipnotisme”, dimana dalam keadaan di bawah kesadarannya, orang yang dijadikan “target” hipnotis, biasanya mereka yang sedang berkencan, diungkap segala urusan pribadinya utamanya tentang apa yang ada dipikiran dan perasaannya yang sebenarnya. Sehingga ketika yang bersangkutan pulih kesadarannya, dia tidak mengetahui apa yang telah diucapkannya ketika berada di bawah pengaruh hipnotis. Dalam acara buka-bukaan masalah privasi seseorang seperti itu, biasanya dibarengi teks yang menyatakan bahwa acara tersebut disiarkan atas persetujuan obyek acara. Acara hipnotis juga dicampur dengan rekayasa adegan dan dialog. Pengamatan peneliti terhadap acara-acara infotainment selama ini, masih banyak terjadi pelanggaran terhadap rambu-rambu yang dibuat oleh KPI dalam SPS tersebut di atas. Meskipun sering terjadi pelanggaran terhadap privasi dalam acara infotainment,
menurut Yazirwan Uyun, Kepala Bidang Penyiaran KPI
Pusat : “sejauh para pemain yang terlibat setuju masalah pribadinya diungkap di
12
televisi, maka tidak ada pelanggaran privasi”. Dengan kata lain telah ada “prior consent”, atau ijin terlebih dahulu dari yang bersangkutan.6 Keadaan ini dimanfaatkan oleh sebagian pelaku bisnis penyiaran untuk tetap melanjutkan pembuatan program-program acara yang mengangkat kisahkisah kehidupan para figur publik khususnya selebriti yang sebagian besar isinya bersumber dari isu, rumor atau gosip. Karena semakin ketatnya persaingan untuk mendapatkan job atau peran dalam bisnis acara, maka diduga, bahwa beberapa pesohor sengaja mengundang atau memesan pekerja infotainment untuk mengangkat kisahnya.
Peristiwa ini dilakukan agar yang bersangkutan dapat ter-
angkat kembali dalam blantika dunia artis dan menaikkan citra atau kepopulerannya, sehingga batas antara pelanggaran terhadap privasi seseorang dengan tujuan pemanfaatan media massa untuk kepentingan pribadi menjadi kabur dan sulit dibedakan. Fakta
lainnya adalah bagaimana dampak yang mungkin timbul di
masyarakat, yakni pembelajaran massa yang diperoleh dari program acara yang berisi gosip tentang hidup dan kehidupan seseorang. Konten acara termasuk fakta lainnya adalah bagaimana dampak yang mungkin timbul di masyarakat, yakni pembelajaran massa yang diperoleh dari program acara yang berisi gosip tentang hidup dan kehidupan seseorang. Konten acara termasuk memperlihatkan masalahmasalah yang sangat pribadi, dari dalam kamar tidur sampai ke kamar mandi dan dapur. Telah terjadi tarik ulur antara the public’s right to know vs the right of protection dan the freedom of expression vs the right of privacy. __________________________________________________________________ 6
Budi Suwarna, Olok-olok Soal Privasi, Surat Kabar Harian Kompas, tanggal 16 November 2008: hal.17.
13
1.1.2
Pergeseran Nilai Budaya dan Pergeseran Etika Komunikasi Berdasarkan pengamatan terhadap acara infotainment dan dokumen
penyiaran yang ada, maka perlu dikaji tentang terjadinya pergeseran nilai budaya dan pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment di televisi. Pergeseran yang dimaksud adalah semacam kecenderungan berubahnya fungsi proteksi privasi dalam siaran televisi ke arah ajang promosi pribadi para individu tertentu, khususnya para figur publik dan kaum selebriti. Infotainment sudah menjadi “gaya hidup” (life style) bagi kalangan tertentu. Infotainment telah menjadi “budaya popular” (Pop Culture). Beberapa segmen gambar menunjukkan adanya “sikap pamer” atas keberhasilan seseorang, kepemilikannya atas properti yang dimilikinya beserta isinya, dan banyak lagi lainnya. Acara infotainment yang ditayangkan setiap hari di hampir semua stasiun televisi swasta di Indonesia, pada dasarnya memiliki karakteristik, isi, dan format yang nyaris sama. Berdasarkan observasi
penulis timbul pertanyaan
bagaimanakah terjadinya pergeseran nilai budaya (changes of cultural values, culture shifting) dan pergeseran etika komunikasi (communication ethics change/shifting) di dalam acara infotainment, utamanya yang terjadi pada pola perilaku subyek atau obyek acara dan pelaku bisnis siaran?. Subyek acara infotainment yaitu para pengisi acara, antara lain para selebriti
atau pesohor, pembawa acara/host, pekerja seni seperti penyanyi,
pemusik, penari, pelukis, aktor – aktris pemain film/sinetron/ teater, pelukis, penulis/pengarang, model, peragawati, bintang iklan, dan olahragawan. Para figur publik lainnya yang sering dijadikan narasumber atau pemberi pernyataan (state-
14
ment) adalah para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, pejabat pemerintah atau swasta, pengusaha, dll. Peran-peran pembantu (second roles) dan bits/figurants seperti orangtua, saudara, kakak-adik, pembantu rumah tangga, Satpam, sopir, asisten pribadi, tetangga, dll sering menerima dampak atau akibat dari perilaku peran utama (main characters) yaitu para selebriti, para tokoh yang diberitakan. “Subyek” acara menyadari betul bahwa dirinya sedang disyuting, diwawancara atau sedang diberitakan, sehingga sikap, perilaku dan pernyataannya memang dimanfaatkannya untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Sementara “obyek” acara adalah sama seperti subyek cerita, namun yang bersangkutan tidak menyadari bahwa dirinya sedang menjadi “target” untuk diberitakan. Dia menjadi obyek dari kamera arahan sutradara atau produser. “Subyek” acara menyadari betul bahwa dirinya sedang disyuting, diwawancara atau sedang diberitakan,
sehingga
sikap,
perilaku
dan
pernyataannya
memang
dimanfaatkannya untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Sementara “obyek” acara adalah sama seperti subyek cerita, namun yang bersangkutan tidak menyadari bahwa dirinya sedang menjadi “target”
untuk diberitakan. Dia
menjadi obyek dari kamera arahan sutradara atau produser. Pelaku bisnis siaran adalah mereka yang bergerak dalam bisnis penyiaran mulai dari pemilik modal atau pemilik stasiun (owner), pemimpin/pengelola perusahaan/stasiun atau rumah produksi (production house), para produser, pengarah acara/sutradara, penulis naskah atau periset dan perencana program, cameramen, editor dan kerabat kerja yang terlibat dalam pembuatan paket-paket
15
infotainment. Pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi menyebabkan terjadinya perubahan atas privasi dan hak privasi seseorang warga negara yang seyogyanya diproteksi terhadap publik, menjadi terbuka atau sangat terbuka dan bahkan memang dengan sengaja dibuka kepada masyarakat luas melalui tayangan program infotainment, sehingga menjadi semacam ajang promosi diri dari subyek acara. Pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi perlu dicari atau diteliti penyebabnya. Apakah disebabkan oleh kejenuhan masyarakat terhadap budaya tradisi yang banyak mengikat sikap dan perilaku masyarakat, atau ada faktor lain?. Apakah pergeseran tersebut terjadi karena budaya yang ada dianggap membosankan dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman yang disebabkan oleh kemajuan teknologi?. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan terhadap program infotainment dan acara sejenis, maka pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi bisa disebabkan oleh faktor internal subyek berita (pesohor) dan produsen (stasiun TV dan PH), atau faktor tekanan dan pengaruh dari luar. Terjadinya enkulturasi dan akulturasi budaya di antara komunitas, etnik, atau bangsa juga mempengaruhi terjadinya pergeseran nilai budaya. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memengaruhi cara orang berkomunikasi. Pada saat melakukan komunikasi baik interaktif ataupun satu arah melalui media massa, orang tidak lagi terikat oleh norma-norma tradisi, karena yang bersangkutan terfokus kepada teknologi yang sedang digunakan atau tidak sadar bahwa dirinya sedang melakukan perubahan sikap, perilaku dan tata nilai tertentu. Manusia tidak dikendalikan oleh kesadarannya, tetapi oleh ketidaksadarannya.
16
1.1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari, menganalisis,
menafsirkan, dan memahami tentang pergeseran nilai budaya dan pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment televisi sebagai berikut: 1. Mengkaji pergeseran nilai budaya dalam acara infotainment di televisi. 2. Mengkaji pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment di televisi.
1.1.4 Kegunaan Penelitian 1.1.4.1 Signifikansi Teoritis Memberikan bahan referensi yang bermanfaat bagi penelitian sejenis, terutama penelitian tentang terjadinya pergeseran nilai budaya dan pergeseran etika komunikasi dalam tayangan-tayangan infotainment televisi. Dengan pendekatan
metodologi kritis, yaitu mengkaji isi media (media culturalist)
khususnya konten acara infotainment, menggunakan tradisi kajian kritis, yaitu berdasarkan kajian Strukturalisme dan Paska Strukturalisme. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Komunikasi khususnya bidang kajian budaya populer infotainment di televisi.
1.1.4.2 Signifikansi Praktis Memberikan masukan yang berguna bagi regulator, pelaku bisnis media khususnya produsen program infotainment dan acara sejenis seperti reality show atau talkshow, para pesohor pada umumnya, dan masyarakat melalui sosialisasi pembelajaran massa yang lebih konstruktif, inovatif dan produktif.
17
1.2 Kajian Literatur 1.2.1 Kajian Literatur Meskipun diketahui secara kasat mata tentang terjadinya pelanggaran terhadap masalah privasi dan hak privasi seseorang melalui siaran televisi, penelitian yang membahas masalah tersebut masih sangat terbatas. Penelitian tentang pelanggaran atas privasi dan hak privasi dilakukan sebagai bagian dari penelitian perilaku media, tetapi bukan khusus membahas masalah privasi. Sebagaimana Lind dan Rarick (1992 : 133-150), menemukan bahwa selain penyajian yang berbau kekerasan, maka masalah besar lainnya yang dilakukan oleh jurnalisme televisi adalah tentang invasi terhadap privasi seseorang. Tulisan mengenai masalah pelanggaran terhadap privasi sering hanya berupa artikel di surat kabar atau majalah, antara lain seperti yang ditulis oleh Budi Suwarna berjudul “Olok-olok Soal Privasi” dalam Surat Kabar Kompas edisi Minggu, 16 November 2008 halaman 17 dan Susi Ivvaty berjudul “ Maaf, Ini Ruang Pribadi Kami”, dalam Surat Kabar Kompas
edisi Minggu, 16
November 2008 halaman 18, serta tulisan-tulisan sejenis. Kasus-kasus pelanggaran atas privasi seseorang di Indonesia yang sampai pada tingkat penuntutan dan pengadilannya tidak banyak terdokumentasi dalam buku-buku pelajaran Ilmu Komunikasi atau Ilmu Hukum, sehingga sulit dilacak tentang berapa banyak kasus, siapa yang terlibat, kapan dan dimana kejadiannya, serta bagaimana penyelesaiannya. Hal ini memerlukan penelitian lebih mendalam ke instansi terkait untuk dapat mengetahuinya. Peliputan dan penayangan tentang kehidupan subyek/obyek cerita tampaknya tidak lagi menjadi sesuatu yang
18
tabu bagi para pelakonnya, bahkan cenderung dianggap suatu gaya hidup yang modern. Artinya bahwa budaya malu, tradisi, atau hal-hal yang dianggap tabu telah bergeser sebagai akibat dari gaya hidup sebagai bentuk budaya pop, dan etika komunikasi yang tidak sesuai dengan atau bahkan mengabaikan prinsipprinsip jurnalisme, kode etik maupun standar perilaku siaran dan standar program siaran. Studi Pustaka dilakukan dengan mencari hasil karya skripsi, tesis, atau disertasi, dan bentuk-bentuk laporan lainnya dalam jurnal yang memiliki kesamaan atau hampir sama dengan topik yang penulis teliti. Kemudian meneliti tentang teori-teori dan metode yang digunakan dalam penelitian mereka, mencatat apa hasil penelitian-penelitian tersebut, serta mengidentifikasi perbedaanperbedaannya dengan penelitian penulis, selanjutnya dituangkan dalam matrik. Studi Pustaka juga mencakup dokumen-dokumen dari instansi-instansi seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berupa data monitoring tayangan infotainment, analisis tayangan infotainment oleh Tim KPI, pengaduan-pengaduan masyarakat terhadap kasus-kasus pelanggaran siaran infotainment, dan lain-lain. Ketika studi pustaka peneliti anggap sudah cukup, ternyata masih ada penelitian-penelitian baru tentang tayangan infotainment di televisi, namun dengan fokus penelitian yang berbeda. Berdasarkan penelitian penulis ke beberapa perpustakaan maupun narasumber di perguruan tinggi yang mengampu Ilmu Komunikasi, ternyata penelitian masalah infotainment pada level disertasi masih sangat sedikit, namun pada level thesis atau skripsi kajian-kajian terhadap acara infotainment cukup
19 banyak dan menggunakan pendekatan kuantitatif. Beberapa hasil penelitian yang penulis peroleh antara lain: 1.2.1.1 Penelitian oleh Agus Maladi Irianto, Dosen Antropologi UNDIP Semarang pada Program Doktor Pascasarjana FISIP UI, Depok. Agus tertarik meneliti acara infotainment dengan Judul Disertasi “ Konstetasi Kekuasaan Sajian Acara Televisi, Studi tentang Program Tayangan Infotainment”. Irianto (2008) menggunakan Metode Penelitian Kualitatif dengan menekankan proses daripada hasil. Kajian deskriptif analisis: 1) Review literature; 2) Penelitian lapangan (observasi, wawancara). Teori yg dipergunakan Irianto tidak secara eksplisit disebutkan, namun dapat dipahami diantaranya membandingkan paradigma kritis dan konstruktivis, yaitu: -
Teori Konstruksi Sosial Realitas dari Peter Berger & Thomas Luchmann;
-
Interaksi Simbolik dari Herbert Blumer;
-
Analisis Framing oleh Erving Goffman;
-
Teori Sosial dari Anthony Giddens;
-
Teori Wacana Michel Foucault;
-
Pendapat Bourdieu tentang habitus; dll
Refleksi kajian /hasil penelitian Irianto diantaranya adalah bahwa program infotainment memberikan kontribusi pada pembentukan pengetahuan
yang
ditandai dengan bekerjanya kekuasaan melalui praktik-praktik sosial sejumlah pelaku yang saling berkontestasi. Isu kekuasaan telah memberikan kontribusi berhar-
20
ga bagi kajian antropologi untuk merespon isu-isu yang relevan dengan perkembangan saat ini. Kritik penulis terhadap penelitian di atas adalah bahwa selain penggunaan teori yang tidak tampak secara eksplisit, juga tidak mudah memahami sistematika penulisan disertasi. Selain menggunakan paradigma kritis dari teorinya Goffman, Giddens dan Foucault, Irianto juga menyeberang ke paradigma konstruktivisme dengan teorinya Berger & Luckman dan Blumer. Proses membangun teori, merupakan diskusi panjang, namun kerangka konsep dan kerangka pikir tidak mudah ditemukan. Disertasi Agus Maladi Irianto membahas infotainment
proses produksi acara
di televisi dari sudut pandang antropologi, khususnya melihat
proses bekerjanya kekuasaan dalam sajian acara televisi. Berbeda dengan yang penulis teliti yaitu masalah terjadinya pergeseran nilai budaya dan pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment di televisi sehingga merubah hak proteksi atas privasi menjadi ajang promosi di layar kaca.
1.2.1.2 Peneliti Hedi Pudjo Santosa (2008), meneliti tentang “ Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di Televisi”. Metode yang digunakan adalah Penelitian Kualitatif dengan Perspektif Simulasi dari Jean Braudillard dan Model Analisis Resepsi Penonton terhadap acara TV dari Ien Ang,
serta wawancara mendalam, observasi lapangan, dan studi
pustaka. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1) Infotainment adalah akses bagi penonton untuk masuk dalam perbincang-
21
an publik, sebagai sarana ngrumpi dan mengalihkan perhatian dari persoalan sosial yang membutuhkan pemikiran dan perenungan serius. 2) Penonton menyadari bahwa simulasi dan tabloidisasi adalah ujud komodifikasi dunia hiburan yang dilakukan media, sehingga ketidakpastian berita dunia selebritis adalah kepastian yang diyakini penonton. Fungsi informasi untuk mengurangi ketidak-pastian justru menambah ketidakpastian realitas. 3) Cara konsumsi infotainment yang dilakukan penonton menimbulkan kekhawatiran dan kerawanan, karena penonton bisa berpotensi kecanduan terhadap tayangan infotainment. Tetapi kemampuan membedakan realitas media dengan realitas keseharian membantu penonton agar tidak terjebak terhadap dunia citraan yang diciptakan media. 4) Penonton infotainment adalah komunitas kekinian yang muncul karena determinasi teknologi komunikasi terutama televisi. Dalam pandangan Jean Baudrillard penonton adalah masyarakat yang mengalami peleburan (implosion) menjadi massa. Perilaku penonton dan reaksi mereka dalam memaknai infotainment, reaksi, emosi dan empati mereka relatif sama. 5) Sikap negara cenderung membiarkan infotainment berkembang secara berlebihan, karena dianggap tidak membahayakan dan mengusik kehidupan pemerintah secara langsung, bahkan infotainment dipandang sebagai sarana eskapisme, media katarsis dan upaya relaksasi penonton.
22
6) Perlu perlindungan terhadap penonton yang tidak membutuhkan informasi tertentu pada jam-jam tertentu dan kampanye tentang media literacy (penonton yang melek media).
Kritik penulis terhadap penelitian ini, bahwa penelitian tidak menjelaskan apakah acara infotainment juga berpengaruh terhadap perilaku khalayak penonton dengan mengikuti gaya hidup para selebritis yang di tayangkan seperti kehidupan kawin-cerai, perselingkuhan, perselisihan dengan pasangan, dan sejenisnya? Dengan kata lain, apakah perilaku penonton dan reaksi mereka dalam memaknai infotainment, reaksi, emosi dan empati terhadap budaya “ghibah dan naminah” dalam acara infotainment juga menggeser budaya tradisi khalayak?. Perbedaan Penelitian Hedi dengan Disertasi
yang Penulis teliti adalah bahwa
Hedi mencari penjelasan mengapa media melakukan simulasi dan
tabloidisasi informasi hiburan di televisi, mengapa masyarakat mengkonsumsi infotainment dan bagaimana pola konsumsi tersebut dijalankan. Juga sebagai upaya untuk memotret gaya hidup selebritis serta bagaimana industri media dijalankan. Penelitian Sdr. Hedi tidak membahas tentang terjadinya pergeseran nilai budaya maupun pergeseran etika komunikasi utamanya dari sudut pandang Wacana
Kritis
dan
kajian
budaya
baik
Teori
Strukturalisme,
Paska
Strukturalisme, ataupun Teori Budaya Populer.
1.2.1.3 Penelitian yang dilakukan oleh Samuel J.Best, Brian S. Krueger dan Jeffrey Ladewig (2006). Best, adalah Direktur dari “The Center for Survey
23
Research and Analysis” di Universitas Connecticut; Sedangkan Krueger adalah Associate Professor di Departemen Ilmu Politik , Universitas Rhode Island; Sementara
Ladewig, adalah
Assistant Professor di
Departemen Ilmu Politik, Universitas Connecticut. Judul penelitian mereka adalah “The Polls – Trends, Privacy in the Information Age”. Penelitian Best dkk adalah dengan metode “Analysis of longitudinal data polls on privacy invasion” atau analisis longitudinal atas data poll tentang invasi terhadap privasi selama 15 tahun dari 1990 s.d 2006 yang diperoleh dari berbagai sumber tentang opini publik atas terjadinya invasi terhadap privasi, dimana terjadi pergeseran opini tentang privasi karena munculnya internet sebagai teknologi komunikasi baru, pencanangan perang terhadap terorisme, dan perkembangan teknologi pengawasan secara luas. Dalam penelitiannya Best dkk tidak menjelaskan tentang pergeseran nilai budaya atau pergeseran etika komunikasi, tetapi penekanannya pada pengaruh teknologi terhadap opini publik tentang invasi terhadap privasi. Hasil penelitian/analisis mereka di antaranya adalah sebagai berikut: -
Americans have maintained that privacy is an important right; Few people report having actually suffered privacy invasions, although concern about threats to personal privacy has been growing in recent years;
(Warga Amerika telah menjadikan privasi sebagai suatu hak yang penting; Beberapa orang melaporkan telah benar-benar menderita karena invasi terhadap privasi mereka, meskipun perhatian atas ancaman terhadap privasi pribadi telah berkembang pada tahun-tahun belakangan).
24
Hasil penelitian tersebut menunjukkan, meskipun masalah privasi di Amerika Serikat sudah muncul sejak tahun 1888 yaitu kasus yang terjadi di Boston, Amerika Serikat pada tahun 1888-1890 yang melibatkan pers setempat Suratkabar The Boston Globe dengan kolom “Table Gossip” dan The Saturday Evening Gazette mengangkat cerita gosip tentang masalah pribadi keluarga kaya Samuel Warren. Dari pihak Warren merasa terganggu dengan publikasi yang dilakukan oleh kedua suratkabar tersebut. Karena publikasi terhadap masalah pribadi yang dilakukan oleh pers tersebut, maka pada tahun 1888 Hakim Thomas M. Cooley mengusulkan tentang “the right of privacy” dalam “A Treatise on the Law of Torts” yang membahas tentang “personal immunity” yaitu “ the right to one’s person may be said to be a right of complete immunity: to be let alone” (bahwa hak seseorang dapat dikatakan sebagai hak imunitas penuh: untuk menyendiri).
Menurut Warren dan Brandeis, bahwa yang dinamakan
perlindungan hukum terhadap invasi atau pelanggaran atas privasi itu tidak hanya berupa perlindungan untuk hak milik properti saja tetapi lebih dari itu adalah perlindungan dari publikasi dalam bentuk apapun. Mereka
katakan “in reality
not the principle of private property, but that of an inviolate personality”. (1890: 193-220). Masalah privasi juga telah tersurat atau tersirat di dalam Amandemen Pertama, Ketiga, Keempat, Kelima dan Amandemen Kesembilan dari Konstitusi Negara Federal Amerika Serikat, dan juga telah diatur dalam The Privacy Act of 1974 pada 31 Desember 1974, namun ternyata kesadaran tentang hak-hak privasi mereka masih perlu ditingkatkan, termasuk terlihat sedikitnya jumlah orang yang
25
melaporkan tentang pelanggaran atas privasinya. (Carter,et al., 1989; USCS Title 5, 552a, 1988).
Kritik penulis, bahwa yang diteliti Best dkk adalah data poll dari sumbersumber data di Amerika Serikat dimana opini yang disampaikan oleh para responden yang telah terhimpun dalam poll memiliki perbedaan latar belakang, budaya, tradisi, kondisi sosial-ekonomi dan politik dengan
masyarakat di luar
Amerika Serikat. Dengan periode kejadian dan kumpulan data yang telah terhimpun selama 15 tahun (dari 1990 sampai dengan 2006), namun tidak dijelaskan apakah perubahan opini publik akibat dari perkembangan teknologi internet, pencanangan perang terhadap terorisme, dan perkembangan teknologi pengawasan, adalah bentuk pergeseran nilai-nilai budaya masyarakatnya.
1.2.1.4 Penelitian
oleh
Diah
Kurniati
(2006),
dengan
topik
penelitian
“Komodifikasi Privasi dalam Ruang Publik, Analisis Kritis Wacana terhadap Tayangan Realita ‘Harap-harap Cemas”.. digunakan oleh Diah
Metode yang
adalah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan analisis kritis wacana (critical discourse analysis) dari Norman Fairclough dan Analisis Pembingkaian (Framing) dari Pan & Kosicki. Acara Realita pada dasarnya juga sama dengan tayangan infotainment, yaitu masuk kedalam ruang-ruang privat (privasi) para target atau klien. Hasil penelitian Kurniati adalah: 1) Tayangan realita menggunakan simbol-simbol tertentu yang akrab di masyarakat untuk melegalkan kegiatan mereka sehingga masyarakat
26
menerimanya sebagai hal yang wajar; 2) Proses produksi tayangan realita oleh rumah produksi masih dipengaruhi oleh kepentingan mencari laba; 3) Stasiun televisi mengintervensi rumah produksi agar mampu menyesuaikan dengan selera pasar; 4) Tayangan yang diteliti (acara H2C) melanggar privasi seseorang;
Kritik penulis atas penelitian ini, bahwa penelitian tidak menyelidiki apa pengaruh komodifikasi privasi ke dalam ruang publik terhadap para khalayak penonton, khususnya terhadap perubahan sikap dan perilaku mereka
setelah
menonton tayangan realita H2C. Penelitian Diah Kurniati adalah tentang acara reality show SCTV yaitu Harap2 Cemas (H2C), meskipun sama-sama menggunakan Teori Analisis Wacana Kritis dan membahas masalah pelanggaran hak privasi seseorang, namun penelitian penulis lebih menekankan pada terjadinya
pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi dalam acara
infotainment TV, yang menyebabkan berubahnya hak privasi seseorang diabaikan dan menjadi ajang promosi diri di layar kaca.
1.2.1.5 Penelitian Hanna Christiany Gunawan (2008) menggunakan metode Riset Kuantitatif dengan Metode Survey dan Teori Persepsi, yaitu empat faktor pengaruh:Stereotype, Selectivity, Needs, dan Emotion. Judul penelitiannya adalah “Persepsi Perempuan Surabaya tentang Tayangan Infotainment Cek & Ricek di RCTI”.
27
Kesimpulan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1) Ditemukan bahwa persepsi perempuan Surabaya terhadap tayangan infotainment Cek & Ricek dalam kategori kuat, dan dari empat faktor persepsi, emotion merupakan faktor paling dominan, sedangkan stereotype merupakan faktor yang paling lemah. 2) Dari hasil analisa tabulasi silang ditemukan bahwa perempuan usia 20 – 24 tahun merupakan usia dimana responden paling selektif. 3) Ibu rumah tangga memiliki tingkat selektif, needs dan emotion lebih besar daripada perempuan yang bekerja. Kritik
penulis
terhadap
penelitian
Hanna,
penelitian
ini
cukup
komprehensif dengan mendapatkan hasil penelitian bahwa persepsi perempuan Surabaya terhadap tayangan Infotainment
C&R adalah dalam kategori kuat.
Namun tidak membahas tentang apakah persepsi yang kuat mempengaruhi perubahan opini dan perilaku penonton setelah melihat konten acaranya. Penelitian Hanna Christiany Gunawan menekankan pada masalah persepsi responden khususnya para perempuan atas tayangan infotainment C&R, tidak menyinggung masalah invasi privasi, terjadinya pergeseran nilai budaya atau etika komunikasi. Meskipun dari kelima hasil studi pustaka tersebut di atas terdapat beberapa persamaan kata dalam judul atau substansi dari penelitian, namun tidak satupun yang menyinggung atau membahas masalah perubahan hak privasi di layar kaca menjadi ajang promosi diri, terjadinya pergeseran nilai budaya
atau
etika
komunikasi. Teori Wacana Kritis hanya digunakan dalam penelitian Diah Kurni-
28
ati tentang Komodifikasi Privasi Dalam Ruang Publik, Analisa Kritis Wacana Terhadap Tayangan Reality “Harap-harap Cemas”. tidak terlihat yang menggunakan
Dari para peneliti tersebut
pendekatan Strukturalisme seperti Teori
Marxisme, Neo Marxisme dan Mazhab Frankfurt, maupun kajian Pasca Strukturalisme seperti Teori Kulturalisme dan New Functionalism dari Michel Foucault ataupun Teori Budaya Populer. Berikut ini rangkuman penelitian-penelitian tersebut di atas dalam matrik.
29
TABEL 1.2.1 KAJIAN LITERATUR No
ITEM
PENELITI I
PENELITI II
PENELITI III
PENELITI IV
PENELITI V
PENULIS
1.
NAMA PENELITI / TAHUN
Agus Maladi Irianto (Dosen Antropologi UNDIP Semarang; Disertasi Program Doktor Pascasarjana FISIP UI, Depok); Tahun 2008
Hedi Pudjo Santosa (Dosen Undip Semarang; Disertasi Program Doktor Sosiologi Sekolah Pasca-sarjana UGM); Tahun 2005
Samuel J.Best Brian S. Krueger Jeffrey Ladewig (Best, dari Univ.of Connec ticut, AS; Krueger dari Univ. of Rhode Island, AS; dan Ladewig, dari Univ.of Connecticut, AS; Tahun 2006.
Diah Kurniati Program Sarjana Fisip UI; Tahun 2006
Hanna Christiany Gunawan Universitas Petra Surabaya
Bambang Winarso Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2010-2012
2.
JUDUL PENELITIAN
KONTESTASI KEKUASAAN SAJIAN ACARA TELEVISI, Studi tentang Program Tayangan Infotainment.
SIMULASI DAN TABLOIDISASI INFORMASI HIBURAN DI TELEVISI
THE POLLS – TRENDS PRIVACY IN THE INFORMATION AGE
KOMODIFIKASI PRIVASI DALAM RUANG PUBLIK Analisis Kritis Wacana terhadap Tayangan Realita “Harap-harap Cemas”
PERSEPSI PEREMPUAN SURABAYA TENTANG TAYANGAN INFOTAINMENT CEK & RICEK DI RCTI.
STUDI TENTANG PERGESERAN NILAI BUDAYA DAN ETIKA KOMUNIKASI DALAM ACARA INFOTAIN MENT TELEVISI, (Suatu Perubahan Hak Proteksi Atas Privasi Ke Arah Ajang Promosi Pribadi)
29
30 TABEL 1.2.1 KAJIAN LITERATUR (LANJUTAN) No
3.
ITEM
TUJUAN PENELITIAN
PENELITI I Agus Maladi Irianto
PENELITI II Hedi Pudjo Santosa
Ingin mengetahui atau mencari penjelasan tentang: 1)Bagaimana praktikpraktik sosial para pelaku yang terlibat proses pembentukan pengetahuan dalam sajian acara televisi diproduksi dan direproduksi terus menerus? 2)Bagaimana konstetasi kekuasaan bertolak dari posisi-posisi dan relasi-relasi subyek dalam rangka mengem bangkan interaksi berdasarkan kepenting an masing-masing pada sajian acara televisi tersebut?
4.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian Kualitatif dengan menekankan proses daripada hasil. Kajian deskriptif analisis:
PENELITI III Samuel J.Best, dkk
PENELITI IV Diah Kurniati
PENELITI V Hanna Christiany G
PENULIS
Mencari penjelasan mengapa media melakukan simulasi dan tabloidisasi informasi hiburan di televisi, mengapa masyarakat mengkonsumsi infotainment dan bagaimana pola konsumsi tersebut dijalankan.
1)To review trends poll results about privacy from 1990 through 2006;
Untuk mengetahui: 1)Bagaimana tayangan realita Harap2 Cemas melakukan komodifi kasi privasi dalam ruang publik;
Untuk mengetahui persepsi perempuan Surabaya tentang tayangan Infotainment Cek & Ricek di RCTI.
1)Mengkaji pergeseran nilai budaya dalam acara infotainment di televisi.
Tujuan lainnya: memaknai infotainment dan untuk memotret gaya hidup selebritis serta bagaimana industry media dijalankan.
3)To examine whether the public feels their privacy has been threatened or invaded;
2)To find out the assessing public support for the concept of privacy, defined both general ly and narrowly;
2) Mengkaji pergeseran etika komunikasi dalam acara infotain-ment di televisi.
2)Kepentingan apa saja yang ada di balik komodifikasi privasi tsb.
4)To consider perceived threats to personal privacy from government.
Penelitian Kualitatif dengan Perspektif Simulasi dari Jean Braudillard serta wawancara mendalam,
Survey on privacy invasion from 1990 to 2006, that are based on random digit dialed telephone interviews of
Penelitian Kualitatif dengan analisis kritis wacana.
Riset Kuantitatif dengan Metode Survey, Analisa Deskriptif dengan SPSS 12.
Metode Penelitian Kua-litatif dengan kajian kri tis terhadap isi media (media culturalist) dgn observasi, wawancara,
30
31 TABEL 1.2.1 KAJIAN LITERATUR (LANJUTAN) No
ITEM
PENELITI I Agus Maladi Irianto
PENELITI II Hedi Pudjo Santosa
PENELITI III Samuel J.Best, dkk
PENELITI IV Diah Kurniati
PENELITI V Hanna Christiany G
PENULIS dan studi pustaka.
1)Review literature
observasi lapangan, studi pustaka.
national samples of adults unless otherwise noted (e.g: by e-mail, tapping, cell phones, chat rooms, ID Cards,etc
2)Penelitian lapangan (observasi,wawancara)
5.
TEORI YANG DIGUNAKAN
Teori yg dipergunakan tidak secara eksplisit disebutkan, namun dapat dipahami diantaranya: Teori Konstruksi Realitas Sosial dari Peter Berger & Thomas Luckman; Interaksi Simbolik dari Herbert Blumer; Analisis Framing oleh Erving Goffman; Teori Sosial dari Anthony Giddens; Teori wacana Michel Foucault; Pendapat Bourdieu ttg habitus;dll
Teori Perspektif Simulasi pemikiran Jean Baudrillard (Post Strukturalist) dan Model Analisis Resepsi Penonton terhadap acara TV dari Ien Ang.
Analysis of longitudinal data polls.
Critical discourse analysis dari Norman Fairclough dan Analisis Pembingkaian (Framing) dari Pan & Kosicki.
Teori Persepsi, yaitu empat faktor pengaruh: Stereotype, Selectivity, Needs, dan Emotion.
Dengan menggunakan tradisi kajian kritis, yaitu berdasarkan kajian Strukturalisme seperti Teori Marxisme, Neo Marxisme dan Mazhab Frankfurt, maupun kajian Pasca Struktural-isme seperti Teori Kulturalisme dan New Functionalism dari Michel Foucault.
6.
HASIL PENELITIAN
Refleksi Kajian: 1)Program Infotainment memberikan kontribu si pada pembentukan pengetahuan yg ditandai dengan bekerjanya kekua
1)Infotainment adalah akses bagi penonton utk masuk dalam per-bincangan publik, se-bagai sarana ngrumpi dan mengalihkan
- Americans have maintained that privacy is an important right;
- Tayangan realita menggunakan symbol -simbol tertentu yang akrab di masyarakat untuk melegalkan kegiatan
- Ditemukan bahwa persepsi perempuan Surabaya terhadap tayangan infotainment Cek & Ricek dalam kategori kuat,
…………..
- Few people report
31
32 TABEL 1.2.1 KAJIAN LITERATUR (LANJUTAN) No
ITEM
PENELITI I Agus Maladi Irianto
PENELITI II Hedi Pudjo Santosa
PENELITI III Samuel J.Best, dkk
PENELITI IV Diah Kurniati
PENELITI V Hanna Christiany G
saan melalui praktik2 sosial sejumlah pelaku yg saling berkontestasi
perhatian dari persoal an sosial yg membutuhkan pemikiran dan perenungan serius.
having actually suffered privacy invasions, although concern about threats to personal privacy has been growing in recent years;
mereka sehingga masyarakat menerimanya sebagai hal yang wajar;
dan dari empat faktor persepsi, emotion merupakan faktor paling dominan, sedangkan stereotype merupakan faktor yang paling lemah.
. 2)Isu kekuasaan telah memberikan kontribu si berharga bagi kajian antropologi untuk merespon isu2 yg rele van dengan perkem-bangan saat ini.
2)Penonton menyadari bhw simulasi dan tablo idisasi adalah ujud ko modifikasi dunia hibur an yg dilakukan media shg ketidakpastian berita selebritis adalah kepastian yg diyakini penonton. Fungsi infor masi justru menambah ketidakpastian realitas 3)Cara konsumsi infotainment yg dilakukan penonton menimbul kan kekhawatiran dan kerawanan, krn penon ton bisa berpotensi kecanduan thd tayang an infotainment. Teta pi kemampuan mem bedakan realitas media dengan realitas keseha rian membantu penon-
- Proses produksi tayangan realita oleh rumah produksi masih dipengaruhi oleh kepentingan mencari laba; - Stasiun televisi meng-intervensi rumah pro-duksi agar mampu menyesuaikan dgn selera pasar; - Tayangan yang diteliti (acara H2C) melanggar privasi seseorang;
PENULIS
- Dari hasil analisa tabulasi silang ditemu kan bahwa perempu an usia 20 – 24 tahun merupakan usia dimana responden paling selektif. - Ibu rumah tangga memiliki tingkat selektif, needs dan emotion lebih besar daripada perempuan yang bekerja.
32
33 TABEL 1.2.1 KAJIAN LITERATUR (LANJUTAN) No
ITEM
PENELITI I Agus Maladi Irianto
PENELITI II Hedi Pudjo Santosa
PENELITI III Samuel J.Best, dkk
PENELITI IV Diah Kurniati
PENELITI V Hanna Christiany G
PENULIS
ton agar tidak terjebak thd dunia citraan yg diciptakan media. 4)Penonton infotainment adalah komunitas kekinian yg muncul krn determinasi tekno logi komunikasi teru tama televisi. Dlm pandangan Jean Baudrillard penonton adalah masyarakat yg mengalami peleburan (implosion) menjadi massa.Perilaku penon- ton dan reaksi mereka dalam memaknai infotainment, reaksi, emo si dan empati mereka relatif sama. 5)Sikap negara cenderung membiarkan infotainment berkem bang secara berlebih an, karena dianggap tidak membahayakan
33
34 TABEL 1.2.1 KAJIAN LITERATUR (LANJUTAN) No
ITEM
PENELITI I Agus Maladi Irianto
PENELITI II Hedi Pudjo Santosa
PENELITI III Samuel J.Best, dkk
PENELITI IV Diah Kurniati
PENELITI V Hanna Christiany G
PENULIS
Bahwa yang diteliti Best dkk adalah data poll dari sumber2r data di Amerika Serikat dimana opini yang disampaikan oleh para responden yang telah terhimpun dalam poll memiliki perbedaan latar belakang,budaya, tradisi, kondisi sosial-
Penelitian ini tidak menyelidiki apa pengaruh komodifikasi privasi ke dalam ruang publik terhadap para khalayak penonton, khususnya terhadap perubahan sikap dan perilaku mereka setelah menonton tayangan realita H2C.
Penelitian Hanna cukup komprehensif dengan mendapatkan hasil penelitian bahwa persepsi perempuan Surabaya terhadap tayangan Infotainment C&R adalah dalam kategori kuat. Namun tidak membahas tentang apakah persepsi
------------
dan mengusik kehidup an pemerintah secara langsung, bahkan info tainment dipandang sbg sarana eskapisme, media katarsis dan upaya relaksasi penonton. 6)Perlu perlindungan thd penonton yg tidak membutuhkan informa si tertentu pada jam-jam tertentu dan kampanye ttg media literacy (penonton yg melek media).
7.
KRITIK
Selain penggunaan teori yang tidak tampak secara eksplisit, juga tidak mudah memahami sistematika penulisan disertasi. Selain menggunakan paradigma kritis dari teorinya Goffman, Giddens dan Foucault, Irianto juga menyebe-
Penelitian ini tidak menjelaskan apakah acara infotainment juga berpengaruh terhadap perilaku khalayak penon ton dengan mengikuti gaya hidup para selebri- tis yang di tayangkan seperti kehidupan kawin cerai, perselingkuhan, perselisihan dengan pa-
34
35 TABEL 1.2.1 KAJIAN LITERATUR (LANJUTAN) No
ITEM
PENELITI I Agus Maladi Irianto
PENELITI II Hedi Pudjo Santosa
rang ke paradigma konstruktivisme dengan teorinya Berger & Luckman dan Blumer.
sangan, dan sejenisnya?
Proses membangun teori, merupakan diskusi panjang, namun kerangka konsep dan kerangka pikir tidak mudah ditemukan.
8.
PERBEDAAN DENGAN PENELITIAN PENULIS
Disertasi Agus Maladi Irianto membahas proses produksi acara infotainment di televisi dari sudut pandang antropologi, khususnya melihat proses bekerjanya kekuasaan dalam sajian acara televisi.
Dengan kata lain, apakah perilaku penonton dan reaksi mereka dalam memaknai infotainment, reaksi, emosi dan empati terhadap budaya “ghi- bah dan namimah” dalam acara infotain -ment juga menggeser budaya tradisi khalayak?.
Penelitian Hedi Pudjo mencari penjelasan mengapa media melaku-kan simulasi dan tabloi-disasi informasi hiburan di televisi, mengapa masyarakat mengkonsumsi info-tainment dan bgmn pola konsumsi tsb dijalankan.
PENELITI III Samuel J.Best, dkk
PENELITI IV Diah Kurniati
ekonomi dan politik dengan masyarakat di luar Amerika Serikat.
PENULIS
yang kuat mempenga ruhi perubahan opini dan perilaku penonton setelah melihat konten acaranya.
Dengan periode kejadi an dan kumpulan data yang telah terhimpun selama 15 tahun (dari 1990 sampai dengan 2006), namun tidak dijelaskan apakah perubahan opini publik akibat dr perkem bangan teknologi inter net, adalah bentuk pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat.
Penelitian Best dkk adalah menganalisis data poll dari 1990 s.d 2006 dari berbagai sumber tentang opini publik atas terjadinya invasi terhadap priva si, dimana terjadi pergeseran opini tentang privasi karena muncul nya internet sebagai teknologi komunikasi baru, pencanangan perang terhadap
PENELITI V Hanna Christiany G
Penelitian Diah Kurniati adalah tentang acara reality show SCTV yaitu Harap2 Cemas (H2C), meskipun sama2 membahas masalah pelanggaran hak privasi seseorang, namun penelitian penulis lebih menekan-kan pada terjadinya pergeseran budaya dan etika
Penelitian Hanna menekankan pada masalah persepsi responden khususnya para perempuan atas tayangan infotainment C&R, tidak menyinggung masalah invasi privasi, terjadinya pergeseran nilai budaya atau etika komunikasi.
---------
35
36 TABEL 1.2.1 KAJIAN LITERATUR (LANJUTAN) No
ITEM
PENELITI I Agus Maladi Irianto
PENELITI II Hedi Pudjo Santosa Juga sbg upaya utk memotret gaya hidup selebritis serta bagaimana industri media dijalankan. Penelitian ini tidak membahas ttg terjadinya pergeseran nilai budaya maupun pergeseran etika komunikasi.
PENELITI III Samuel J.Best, dkk terorisme, dan perkembangan teknologi penga wasan secara luas.
PENELITI IV Diah Kurniati komunikasi dalam acara infotainment TV.
PENELITI V Hanna Christiany G
PENULIS
---------
Dalam penelitiannya Best dkk tidak menjelaskan tentang pergeseran budaya atau etika komunikasi.
Sumber : disusun peneliti (2010)
36
37
1.2.2
Landasan Teoretik Mengkaji masalah budaya atau kebudayaan dan pergeserannya dari
paradigma lama ke paradigma baru serta mempelajari kemungkinan terjadinya perubahan etika komunikasi dari etika komunikasi tradisional ke etika komunikasi kontemporer sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dapat digunakan beberapa teori yang sekaligus dapat digunakan untuk mendapatkan teori baru.
1.2.2.1 Teori Kritis Dalam penelitian ini penulis menggunakan kajian Teori Kritis yang mencakup kajian strukturalisme, post-strukturalisme atau post-modernisme, dan teori-teori lainnya seperti feminisme. Teori Kritis adalah suatu bentuk perspektif teoritis yang sumbernya adalah dari para ilmuwan dan pemikir abad pertengahan seperti Michael Foucault, Hans-Georg Gadamer, Immanuel Kant, GWF Hegel, Karl Marx, dan lain-lainnya. Pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda karena latar belakang situasi yang berbeda mempunyai suatu tujuan yang sama yaitu orientasi kepada semangat persamaan hak. Pengaruh utama terhadap para pemikir tersebut adalah kondisi revolusi politik dan revolusi industri serta bangkitnya kapitalisme khususnya di daratan Eropa.7 Pada dasarnya teori kritis bertujuan untuk menghilangkan kekuasaankekuasaan atau kekuatan-kekuatan yang dominan di dalam struktur sosial masya__________________________________________________________________ 7
http://id.wikipedia.org/ wiki/teori_kritis (07-04-2010, 21:30 WIB)
38
rakat. Dengan menggunakan metode reflektif, teori ini mengkritisi secara terus menerus atas tatanan sosial, politik dan ekonomi yang mengekang atau menghambat kebebasan, keadilan dan persamaan hak (emansipasi). Teori kritis pertama kali didefinisikan oleh Max Horkheimer dari Frankfurter Schule tahun 1937. Teori kritis adalah sebuah teori sosial berorientasi pada mengkritisi dan mengubah masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan teori tradisional berorientasi hanya untuk memahami dan menjelaskan tentang masyarakat. Teori kritis itu sendiri berasal dari pemikiran Kant pada abad ke 18 dan pemikiran Marx pada abad ke 19. Kant mengkritisi tatanan filosofis, sosial dan politis pada masa itu terkait dengan revolusi industri dan bangkitnya kapitalisme. Sedangkan konsep Marx merupakan bentuk kritik ekonomi politik yang dipengaruhi oleh adanya revolusi politik di Eropa.8 Teori sosial kritis sering dikatakan sebagai pewaris ajaran Karl Marx yang merupakan
perintis
Teori Sosiologi Modern berusaha melakukan perubahan
(emansipatoris). (Ritzer & Goodman, 2007: 60-61 ) Berikut ini uraian mengenai teori kritis yang dipengaruhi oleh beberapa pemikiran ilmuwan. Teori Kritis pada dasarnya adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-struktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik. Sifat politis pengetahuan ini berkembang dari atau dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda. 1) Pemikiran Kant mengenai keterbatasan pengetahuan, yaitu bahwa manusia tidak dapat memahami dunia secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja (parsial). 2) Pemikiran Hegel dan Marx bahwa teori dan pembentukan teori tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Ilmuwan harus melakukan refleksi ter __________________________________________________________________ 8
http://en.wikipedia.org/ wiki/critical_theory (08-04-2010, 01:00 WIB).
39
hadap teori atau proses pembentukan teori tersebut. 3) Pemikiran Horkheimer yang membedakan teori ke dalam dua kategori, yakni tradisional dan kritis. Teori tradisional menganggap adanya pemisahan antara teoretisi dan obyek kajiannya. Artinya, teori tradisional berangkat dari asumsi mengenai keberadaan realitas yang berada di luar pengamat, sementara teori kritis menolak asumsi pemisahan antara subyek-obyek dan berargumen bahwa teori selalu memiliki dan melayani tujuan atau fungsi tertentu.9 Adapun ciri-ciri Teori Sosial Kritis menurut Ben Agger adalah sebagai berikut: 1) Teori sosial kritis berlawanan dengan positivisme. Dia beranggapan bahwa pengetahuan yang menyatakan bahwa sains harus menjelaskan hukum alam, sebaliknya teori kritis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historisitas (selalu mengalami perubahan). Bahwa pengetahuan bukan semata-mata refleksi atas dunia statis “di luar sana”. Namun dia adalah konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang dipelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Lebih jauh teori sosial kritis berlawanan dengan pandangan positivis yang menyatakan bahwa sains harus menjelaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya, teori sosial kritis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historisitas (terus mengalami perubahan). 2) Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Suatu masa depan akan meluruhkan fenomena ini. Dia menghubungkan masa lampau, masa kini dan masa depan dengan berpendapat bahwa potensi bagi masa depan yang lebih baik telah ada di masa lalu dan masa kini. Dalam hal ini, teori sosial kritis mendorong kemungkinan kemajuan. Masyarakat masa depan ini dapat diciptakan dengan aksi sosial dan politis yang dilakukan secara intensif. Peran teori sosial kritis bersifat politis karena dia berpartisipasi dalam mendorong perubahan sosial. Namun dia juga bukan semata-mata, atau secara mekanis bersifat agigatif. Terserah masyarakat dalam menilai dan menawarkan pandangan serta analisisnya untuk masyarakat sendiri dan kelompok yang terlibat dalam pergerakan sosial. 3) Teori sosial kritis berpandangan bahwa dominasi bersifat struktural. Yakni, kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar seperti politik, ekonomi, budaya, diskursus, jender dan ras. Teori sosial kritis mengungkap struktur ini untuk membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. 4) Pada level ini, teori sosial kritis berkeyakinan bahwa struktur dominasi ______________________________________________________________________________ 9 http://id.wikipedia.org/wiki/ teori_ kritis (07-04-2010, 21:35 WIB)
40
direproduksi melalui kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (George Lukacs), hegemoni (Antonio Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida). Kini kesadaran palsu dipelihara oleh ilmu sosial positivis seperti ekonomi dan sosiologi yang menggambarkan masya-rakat sebagai entitas yang dikendalikan oleh hukum kaku. Akibatnya orang diajak untuk berpikir bahwa satu-satunya perilaku yang beralas-an berkaitan dengan penyesuaian pada pola-pola keajegan ini. Teori sosial kritis mematahkan kesadaran palsu dengan meyakini adanya kuasa manusia, baik secara pribadi maupun secara kolektif untuk mengubah masyarakat. 5) Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Dalam hal ini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme. 6) Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur dan manusia secara dialektis. Meskipun struktur mengkondisikan pengalaman sehari-hari, pengetahuan tentang struktur dapat membantu masyarakat mengubah kondisi sosialnya. Teori sosial kritis membangun jembatan dialektis ini dengan menolak determinisme ekonomi. 7) Dengan mengaitkan kehidupan sehari-hari masyarakat dengan struktur sosial skala besar, teori sosial kritis berlawanan dengan pernyataan bahwa kemajuan akhir terletak pada ujung jalan panjang yang hanya dapat dilewati dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Dengan terfokus pada hubungan dialektis antara kehidupan sehari-hari dengan struktur, teori sosial kritis berkeyakinan bahwa manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas kebebasan mereka sendiri serta mencegah mereka agar tidak menindas sesamanya atas nama masa depan kebebasan jangka panjang. Teori sosial kritis menolak pragmatisme revolusioner, dengan menyatakan bahwa diktator proletar atau kelompok garis depan elitis lainnya akan dengan cepat menjadi diktator atas kaum proletar. Kebebasan tidak dapat diraih melalui pengorbanan “pragmatis” kebebasan dan kehidupan.(Agger, 2009:7-10) Mencermati perbedaan pemikiran-pemikiran antara Kant, Marx & Hegel, dan Horkheimer tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengamatan terhadap terjadinya pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi dalam acara infotainment televisi adalah sesuai. Artinya, bahwa karena keterbatasannya, maka manusia sering berperilaku dengan merepresentasikan diri dalam peran yang dapat berubah, yaitu peran sebagai subyek ataupun sebagai obyek.
41
1.2.2.2 Strukturalisme Strukturalisme adalah suatu aliran filsafat yang berkembang di Perancis pada pertengahan abad ke-20. Di antara tokoh-tokoh strukturalisme adalah Claude Levi-Strauss, Jacques Lacan, Roland Barthes, Louis Alhutsser, Michael Foucault, dan lain-lain. Aliran Strukturalisme muncul sebagai reaksi atas sifat subyektivis me dari aliran Eksistensialisme. Strukturalisme memiliki dua pengertian, yaitu strukturalisme sebagai metodologi dan strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, sebagai metode, strukturalisme digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure adalah seorang ahli ilmu bahasa yang mempelajari struktur linguistik suatu bahasa. Kedua, Sebagai aliran filsafat, strukturalisme mempelajari tentang kehidupan manusia, termasuk sejarah, kebudayaan, dan alam lingkungan dengan
menggunakan metode struktural.
Metode struktural meneliti pola-pola dasar yang tetap (pattern) dalam berbagai realitas. Ritzer & Goodman, 2007:602-604). Di antara tokoh-tokoh strukturalisme adalah : 1) Claude Levi-Strauss, mempelajari sistem-sistem kekerabatan primitif dengan metode strukturalistik. Sistem kekerabatan, seperti halnya bahasa, dikuasai oleh unsur-unsur atau aturan-aturan yang tidak disadari. Ia disebut sebagai Bapak Strukturalisme, mengembangkan karya Saussure ke antropologi. Pembaruan utamanya adalah mengonseptualisasi-ulang sederetan luas fenomena sosial sebagai sistem komunikasi. (Ritzer & Goodman, 2007:605). 2) Jacques Lacan, menggunakan metode strukturalis untuk menganalisis pemiki-
42
ran Sigmund Freud. Lacan dengan landasan teori psikoanalisisnya Freud, mempelajari
antropologi dan linguistik. Menurut Lacan, ketidaksadaran
merupakan struktur tersembunyi yang mirip dengan bahasa. Lacan adalah Freud + Saussure, dengan sentuhan Levi-Strauss, Derrida dan Heidegger. Bertolak dari teori psiko-analisisnya Sigmund Freud, ia mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia tidak dikuasai oleh unsur kesadaran, tetapi oleh unsur ketidak-sadaran, manusia telah tergeser dari pusatnya. Ketidak-sadaran adalah yang mengatur seluruh faktor eksistensi manusia, merupakan struktur yang menguasai manusia. Ketaksadaran itu “terstruktur seperti bahasa”. Menurut Lacan, mimpi, gejala neurosis, salah tindak merupakan significant (penanda). Elemen-elemen dalam ketaksadaran seperti keinginan, hasrat, citraan, kesemuanya membentuk penanda, kemudian penanda-penanda membentuk rantai pertandaan. Suatu penanda memiliki makna karena ia bukanlah penanda lainnya. Ketidak-sadaran merupakan logos yang mendahului manusia dan manusia menyesuaikan diri dengannya. (Bracher, 2009: xxv). Pendapat Lacan ini sangat tepat digunakan untuk menganalisis tentang perilaku manusia, dalam hal ini para pelaku bisnis infotainment khususnya para selebriti yang muncul di layar televisi. Para pesohor menyadari atau mungkin tidak menyadari atas peran yang dimainkannya, sehingga imej tentang dirinya terbentuk di masyarakat. Jika pembuatan dan penayangan acara infotainment didasari oleh ketidaksadaran para pelakunya, maka dampak yang ditimbulkan
43
juga diterima oleh khalayak dengan ketidak-sadaran. Selain Strauss dan Lacan, nama-nama lain yang sangat dikenal luas adalah Barthes, Althusser, dan Foucault. 3) Roland Barthes, menerapkan metode strukturalis untuk menganalisis perkembangan mode pakaian wanita dan cerita pendek karya Balzac berjudul “Sarrasine” dengan menggunakan 5 (lima) kode, yaitu: hermeneutis, aksional, semantis, simbolis, dan referensial.
Karya-karya Barthes berkisar tentang
“mitos”, yaitu pola tiga dimensi: penanda, petanda dan tanda.(Barthes, 2007: xxi, 303). 4) Louis Althusser, mempelajari karya dan pemikiran Karl Marx dengan metode strukturalis. Ia menemukan bahwa “manusia dalam Das Kapital telah bergeser dari pusatnya, manusia merupakan produk dan sekaligus dikuasai oleh struktur -struktur sosio-ekonomi yang berasal dari luar dirinya, manusia bukan subyek otonom”. Althusser memadukan kesadaran kelas dengan proses ekonomi material sehingga menimbulkan kesadaran yang disebutnya sebagai otonomi relatif. (Agger, 2009: 131,161, 263). 5) Michel Foucault, dikenal sebagai tokoh strukturalis sekaligus sebagai tokoh post-strukturalis. Foucault menyatakan bahwa pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. (Hidayat, 2012: 7). Foucault membagi zaman berdasarkan episteme, yaitu pengandaian-pengandaian tertentu, prinsipprinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, dan cara-cara pendekatan tertentu. Jadi episteme adalah sistem. Episteme atau sistem pemikiran terbagi dalam 3 (tiga) zaman: Abad 16 (Renaissanse), Abad 17 dan 18 (Classic), dan Abad 19 dan 20 (Post Classic/Modern). Pada zaman Renaissanse, tanda
44
(kata) bersatu dengan bendanya. Pada abad 17 dan 18 (Klasik), terjadi diskontinuitas dalam episteme atau sistem pemikiran. Kata kuncinya adalah “penghadiran/ pembayangan” atau “representation” dimana “tanda” diberi definisi baru.
Sedangkan pada abad 19 dan 20 atau post-klasik/modern,
juga mengalami diskontinuitas. Kata kuncinya adalah “signification”, dimana bahasa dikuasai oleh hukum-hukumnya sendiri, memiliki strukturnya sendiri, dan penggunaannya untuk berbagai macam hal yang dibicarakan dan dituliskan. Manusia zaman modern adalah sebagai subyek yang mengetahui sekaligus obyek yang diketahui. Manusia kehilangan kedudukannya sebagai kategori utama pengetahuan, yaitu hilangnya konsep manusia sebagai suatu kategori istimewa. Manusia tidak lagi menjadi titik pusat dan sumber otonom dari tindakannya. 10 Dari episteme zaman modern tersebut diatas dapat dilihat bahwa terjadi kecenderungan dimana manusia tidak dapat lagi menguasai dirinya sendiri. Manusia cenderung dikuasai oleh banyak faktor di lingkungannya, sehingga seperti hilang jati dirinya. Manusia bisa jadi menjadi tidak sadar budaya, dan mengabaikan budaya apa yang sebenarnya melekat pada diri mereka. Hal ini semakin tampak pada konten acara infotainment televisi yang terkesan mengabaikan nilai-nilai baku budaya tradisi.11 Dalam Teori Sosiologi Modern, disebutkan bahwa aliran Strukturalisme berkembang menjadi Fungsionalisme Struktural dengan tokohnya Robert K. Merton. Sementara pemikiran Marx dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya menja-
__________________________________________________________________________________________________________________________ 10
11
http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/strukturalisme.html. Posted by: fazlurrahman – UGM ; diunduh: 07-04-2010, at 23:05 WIB; http://id.wikipedia.org/wiki/teori_kritis. Diunduh : 7-04-2010, pk. 21.30 WIB
45
di Hegellian Marxisme (Georg Lukacs), Marxisme Struktural (Athusser), Marxisme Ekonomi (Sweezy dan Braveman), dan Marxisme Historis (Wallerstein). Selain bentuk-bentuk penajaman dari pemikiran aliran Marxisme tersebut, kemudian terdapat juga Marxisme Spasial. (Ritzer & Goodman, 2007: 60-61, 8586). Pada awal uraian mengenai kerangka teori di atas telah disebutkan bahwa sifat politis pengetahuan berkembang dan dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda dari Immanuel Kant, GWF Hegel & Karl Marx, serta pemikirannya Max Hokheimer. Namun dari banyaknya pemikir-pemikir yang mendasari kemunculan teori kritis sebagian besar adalah dari Frankfurt Schule (Mazhab Frankfurt), sehingga dikatakan Frankfurt School sangat berpengaruh terhadap perkembangan teori kritis. Di samping pengaruh dari Frankfurt School, terdapat juga pemikiran yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan teori kritis yaitu dari karya Antonio Gramsci. Para pemikir dari Mazhab Frankfurt di antaranya adalah Theodore Adorno, Jurgen Habermas, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Eric Fromm, Albrecht Wellmer, Karl-Otto Apel, Axel Honneth, dan lain-lain. Sedangkan pemikiran Gramsci yang cenderung berorientasi pada ekonomi politik, diikuti oleh Cox, Harrod, dan Gill. Perkembangan dari filsafat Marx yang kemudian menjadi filsafat Neo Marxisme adalah pemikiran kontemporer yang dipelopori oleh Mazhab Frankfurt yang didirikan oleh Felix Weil pada tahun 1923. Filsafat Neo Marxisme merupakan: 1) Reaksi terhadap “kebanggaan” atas keberhasilan pembangunan fisik, sedangkan masyarakat mengalami kekosongan jiwa sebagai produk
46
kapitalisme. 2) Kegelisahan terhadap kenyataan perkembangan kapitalisme lanjut, produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi kebutuhan manusia diciptakan, dimanipulasi demi produksi.12 Para pemikir Mazhab Frankfurt menerangkan tentang segi-segi esensial dalam Teori Kritis terdiri dari tiga tesis. Menurut Geuss, ketiga tesis tersebut adalah: 1) Teori Kritis mempunyai pijakan khusus sebagai pedoman bagi tindakan manusia sebagai penerangan untuk menentukan tindakan manusia dan sebagai pembebas (emansipator) sebagai tindakan manusia yang sadar. 2) Teori Kritis memiliki kandungan kognitif, yaitu teori bentuk-bentuk ilmu pengetahuan. 3) Teori kritis secara epistemologis berbeda secara esensial dari teoriteori dalam ilmu alam (Positivisme). Teori dalam Positivisme adalah “obyektifikasi”, sedangkan dalam Mazhab Frankfurt adalah “reflektif”13 Penelitian mengenai pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi infotainment baik sebagai pelaksana produksi dan siaran maupun para pesohor yang dalam acara infotainment dapat dipahami sebagai bentuk empirik dari pemikiran Mazhab Frankfurt. Bahwa pada kenyataannya, perilaku dan budaya para pelaku bisnis muncul di layar kaca, adalah suatu fenomena dimana manusia menentukan tindakan-tindakannya secara sadar karena motif ingin bebas atau mendapatkan persamaan hak. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Teori Kritis Mazhab Frankfurt di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Filsafat bukan hanya kontemplasi, suatu perenungan tentang sesuatu yang jauh dari realitas kehidupan. 2) Filsafat seharusnya dapat mengubah masyarakat, suatu upaya pembebasan manusia dari pembelengguan yang timbul sebagai akibat dari pekerjaannya. __________________________________________________________________ 12
13
http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/neo-marxisme-mazhab-frankfurt-teori.html. Posted by: fazlurrahman – UGM ; diunduh: 07-04-2010, pk. 23:10 WIB; ibid
47
3) Obyek analisis adalah masyarakat masa kini, bukan masyarakat ketika Marx masih hidup (120 tahun lalu). 4) Suatu Aufklaerung yang menyingkap tabir kegelapan, upaya menyadarkan manusia tentang kemajuan semu masyarakat industri yang dehumanisasi. 5) Menolak perubahan dengan cara yang revolusioner, karena revolusi mengakibatkan hal-hal yang lebih “mengerikan” dan suasana “represi” yang lebih jahat.14 Gambaran kehidupan yang muncul di layar televisi sebagian besar adalah manipulasi baik melalui rekayasa adegan, rekayasa pengambilan gambar maupun melalui rekayasa editing dan pascaproduksi. Seringkali tayangan yang tersaji jauh dari realitanya. Manusia menjadi terkekang hidupnya oleh “agenda” yang dibuatnya sendiri. Gaya hidup telah merubah perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya.Telah terjadi pelecehan atau perendahan terhadap martabat manusia melalui berbagai cara, termasuk ketika hak-hak pribadi di ungkapkan ke ruang publik dan menjadi komoditas bisnis. Masyarakat mengalami kemajuan fisik yang luar biasa, namun juga mengalami kehampaan jiwa. Pokok-pokok pikiran kritis Mazhab Frankfurt telah memetakan keadaan yang sedang dan akan terjadi terhadap kondisi masyarakat pascamodern. Maka layaklah ketika dikatakan bahwa kemajuan yang dicapai manusia adalah “kemajuan semu”. Di dalam masyarakat, khususnya di Indonesia, telah terjadi kemajuan luar biasa di bidang teknologi termasuk teknologi informasi dan komunikasi. Namun demikian sebagian dari warga masyarakat ada yang masih menggunakan peralatan tradisional dan peralatan mekanik dalam kehidupan mereka sehari-hari, utamanya di perdesaan. Mereka yang masih berkutat __________________________________________________________________ 14
http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/neo-marxisme-mazhab-frankfurt-teori.html. Posted by: fazlurrahman – UGM ; diunduh: 07-04-2010, pk. 23:10 WIB;
48
dengan peralatan tradisional dan mekanikal biasanya jiwanya masih dipenuhi oleh nilai-nilai kearifan. Neo Marxisme menyatakan bahwa “kemajuan” yang telah dicapai oleh umat manusia perlu ditinjau ulang, karena: 1) Bukan kebutuhan yang menentukan proses produksi, kebutuhan diciptakan agar produksi terjual dengan memakai iklan. 2) Teknologi berkembang menurut hukumnya sendiri, lepas dari kontrol manusia. 3) Industri barang-barang konsumtif menawarkan kebahagiaan semu, manusia tergantung pada banyak benda. 4) Manusia bekerja untuk konsumsi, bukan untuk mencukupi kebutuhan. 5) Teknologi modern tidak memanusiakan manusia, tetapi memperbudak. 6) Kelancaran sarana-sarana tidak meningkatkan komunikasi antar manusia, melainkan mengisolasi.15 Pada awalnya antara Teori Psikoanalisis Freudian dan Teori Sosial Marxis pernah dilihat sebagai dua hal yang saling berlawanan. Namun Mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokohnya seperti Horkheimer, Adorno, Fromm, dan Marcuse dianggap mampu menjembatani perbedaan antara pemikiran Psikoanalisis Freudian dengan aliran Sosial Marxis. Habermas bahkan masih menggunakan konsep psikoanalisisnya Freud untuk membahas antara kerangka kerja institusional masyarakat dengan psikologi individu. Teori Sosial Kritis Mazhab Frankfurt yang pemikirannya berbasis Marxisme baru, mengkritisi konsep psikoanalisis dari Freud namun menganggap sisi-sisi metodologis psikoanalisis sebagai petunjuk bagi metodologi teori kritis secara umum. (McCarthy, 2006: 244-245) Meskipun terdapat banyak pemikir kritis dari Mazhab Frankfurt, namun __________________________________________________________________ 15
http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/neo-marxisme-mazhab-frankfurt-teori.html. Posted by: fazlurrahman – UGM ; diunduh: 07-04-2010, pk. 23:10;
49
yang dianggap menonjol adalah Horkheimer, Adorno, Habermas, dan Marcuse. Masing-masing dari mereka memiliki pendapat dan pemikirannya sendiri menyikapi perubahan zaman dan perubahan gaya hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.
1) Horkheimer dan Adorno, keduanya menulis buku Dialektik der Aufklaerung yang menguraikan kritik balik terhadap rasio kritis. Pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Horkheimer dan Adorno sebagaimana diposting oleh Fazlurrahman adalah bahwa mitos dikenali sebagai isapan jempol yang selain tidak masuk akal tetapi juga dalam sejarah telah menindas masyarakat tradisional. Pengembangan ilmu dan teknologi modern dalam masyarakat, melalui sistem pendidikan, ekonomi, industri, cepat atau lambat akan mengusir mitos-mitos jauh-jauh dari benak mereka. Namun dalam kenyataan sejarahnya, ilmu dan teknologi juga berubah menjadi mitos baru. Demikian juga halnya dengan rasio kritis juga berubah menjadi mitos baru dalam bentuk yang lebih halus, lebih luhur, dan lebih dapat diterima oleh orang modern. Menurut Horkheimer dan Adorno, bahwa Dialektika Pencerahan merupakan istilah untuk menggambarkan saling terkaitnya antara akal budi (rasio kritis) dengan mitos. Rasio kritis dalam perkembangannya berubah menjadi mitos atau ideologi dalam bentuk baru. Sains dan teknologi dianggap sama mistiknya dengan mitos,
akhirnya mendominasi dan menjadi mitos
baru. Lebih lanjut Horkheimer dan Adorno mengembangkan konsep industri budaya yang mengacu pada dunia hiburan dan media massa dalam kapitalisme
50
yang memanipulasi kesadaran manusia. Esai tentang “Kebudayaan industri” mengungkapkan penindasan pencerahan hingga ideologi yang menemukan ungkapan tipikalnya di dalam sinema dan radio. Hiburan telah menjadi ideologi baru, orang terpesona dan terbius sehingga melupakan persoalan riil. Dengan menonton film atau sinetron orang memproyeksikan hidup ke dalam layar kecil dan membayangkan kehidupan seperti apa yang ditayangkan. Proses identifikasi sekaligus pengalihan ini memungkinkan budaya pop “mengatasi” keterasingan manusia sambil mengambil keuntungan untuk jaringan televisi, studio film, dan majalah. Sejarah manusia selalu ditandai oleh mitos-mitos yang dianggap sebagai kenyataan dan kebenaran sesungguhnya. Mitos kemudian diruntuhkan oleh kekuatan rasio (akal budi) yang tercerahkan, namun dalam perkembangan berikutnya menjadi mitos baru. Demikianlah dialektika antara akal budi dan mitos tampaknya tidak akan mungkin menemukan sintesis abadi. 16 Perkembangan cara manusia berpikir, bertindak dan berperilaku yang di didukung oleh teknologi mutakhir, telah melahirkan banyak mitos-mitos baru di dalam masyarakat. Manusia telah dikuasai oleh informasi, sehingga bagi mereka yang menguasai informasi maka ia dapat menguasai manusia lainnya. Informasi kemudian menjadi komoditas yang laku dan layak diperjual-belikan. Informasi beserta medianya menjadi “dewa” dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Media dan isi pesannya telah menjadi “orangtua” bagi anak-anak, dan telah menjadi “panutan” bagi kaum remaja dan orang dewasa. Suatu ketidakpastian, melalui siaran media bisa menjadi suatu kepastian. Suatu ketidakbenaran, melalui media massa bisa menjadi suatu kebenaran. Demikian juga sebaliknya, suatu kepastian atau kebenaran bisa menjadi suatu ketidakpastian dan ketidakbenaran. Layar televisi telah menjadikan perilaku subyek dan obyek cerita atau berita menjadi mitos-mitos baru yang merasuki pikiran dan perilaku penontonnya. ___________________________________________________________________________ 16
http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/postmodernisme-poststrukturalisme.html. Posted by: fazlurrahman – UGM Diunduh: 07-04-2010, pk. 23:20 WIB;
51
2) Herbert Marcuse, adalah tokoh Mazhab Frankfurt yang mengkritik perkembangan masyarakat industri modern. Marcuse melihat bahwa masyarakat industri modern telah membawa berbagai permasalahan yang tidak mudah dipecahkan dan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup umat manusia di masa depan. Pada pertengahan abad ke-20, masyarakat Barat sibuk membangun ekonomi yang rusak akibat Perang Dunia. Teknologi modern dijadikan sebagai tumpuan harapan. Suasana seperti ini telah mendorong pertumbuhan Kapitalisme. Segala segi kehidupan diarahkan hanya pada satu tujuan, yaitu peningkatan sistem kapitalisme. Oleh karena itu masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat, berdimensi satu, represif (menindas, menekan), totaliter (menyeluruh), mengurusi segala-galanya. 17 Pendapat Marcuse tentang masyarakat masa kini (postmodern) dalam bidang
sosial-ekonomi,
sosial
politik
dan
sosial-budaya
sangat
tepat
menggambarkan bagaimana realita dari pengaruh iklan, media, informasi dan jaringan terhadap kehidupan masyarakat. Mengenai hal itu dapat disimak tentang pendapat Marcuse sebagai berikut: ~ Bidang Sosial-Ekonomi 1) Ekonomi kaya dan maju, manusia hidup makin nyaman, enak, peningkatan kesehatan. 2) Manusia teralienasi, tetapi tidak menyadari. 3) Produksi dibuat untuk menciptakan kebutuhan baru 4) Kebutuhan semu, kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan social tertentu dan represinya. 5) Kebutuhan semu hanya untuk gengsi, Ekonomi konsumtif. 6) Pasar merupakan pemerasan dan penguasaan demi keuntungan. 7) Mempertahankan jam kerja untuk keuntungan sebanyak-banyaknya. 8) Kapitalisme melahirkan “perbudakan sukarela”. 9) Industri senjata bukan untuk menegakkan HAM, tetapi untuk kelangsungan usaha. ~ Bidang Sosial-Politik 1) Negara modern toleransi palsu. _____________________________________________________________________________ 17 http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/postmodernisme-poststrukturalisme.html. Posted by: fazlurrahman – UGM Diunduh: 07-04-2010, pk. 23:20 WIB;
52
2) Kejahatan-kejahatan dalam masyarakat, iklan yang terlalu provokatif, pemerkosaan martabat manusia, peperangan dan perlombaan senjata dianggap hal biasa, kebijakan nuklir diterima begitu saja. 3) Negara industri modern memadukan kemakmuran dan ancaman perang serta kehancuran umat manusia (cont. Vietnam, Korea, Irak) ~ Bidang Sosial Budaya 1) Seni dan sastra hanya sebagai pendukung orde yang mapan. 2) Bahasa yang menyesatkan, damai berarti siap untuk perang, pemerintah yang sewenang-wenang berarti demokratis. 3) Filsafat tidak lagi kritis.18 3) Jurgen Habermas, adalah tokoh terakhir dan terbesar dari Mazhab Frankfurt, dan yang masih hidup hingga saat ini. Banyak tulisan dan ulasan ataupun kritik ditulis mengenai Habermas dan pemikiran-pemikirannya. Pada saat Mazhab Frankfurt secara kelembagaan telah bubar, Habermas tetap melanjutkan dan menyelesaikan proyek pokok Teori Kritis melalui diskusi dan dialog dengan hampir semua aliran filsafat dewasa ini. Mazhab Frankfurt awal, menurut Habermas, terlalu sepihak ketika merespons situasi yang berubah. Bagi Habermas yang diperlukan bukan hanya kritik terhadap ilmu dan teknologi, namun kritik atas totalisasi, kritik atas identifikasi dengan keseluruhan rasionalitas. (McCarthy, 2006: 45-46) Sebagai pewaris yang melanjutkan tradisi Mazhab Frankfurt, ia menegaskan: 1) Bahwa teori tidak dapat dilepaskan dari praksis. 2) Pengetahuan tidak bebas nilai, sikap teoritis selalu diresapi dan dijuruskan oleh kepentingan tertentu. 3) Teori kritis disebut sebagai “Teori tindakan komunikatif (Theory of Comunicative Action)” 19 Theory of Comunicative Action menurut Habermas memiliki empat macam klaim yaitu: 1) Klaim kebenaran (truth), sepakat tentang dunia alamiah dan objektif. 2) Klaim ketepatan (rightness), sepakat tentang pelaksanaan norma_______________________________________________________________________________ 18 http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/postmodernisme-poststrukturalisme.html. Posted by: fazlurrahman – UGM Diunduh: 07-04-2010, pk. 23:20 WIB; 19 http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/neo-marxisme-mazhab-frankfurt-teori.html. Posted by: fazlurrahman – UGM ; diunduh: 07-04-2010, pk. 23:10;
53
norma dalam dunia sosial. 3) Klaim autensitas/kejujuran (sincerety), sepakat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang. 4) Klaim komprehensibilitas (comprehensibility), menjelaskan macammacam klaim itu dan mencapai kesepakatan atasnya.20 Dalam perannya mempertahankan dan melanjutkan konsep-konsep teori kritis Mazhab Frankfurt, pemikiran Habermas dibagi-bagi dalam beberapa bagian. Pertama,
periode teori ilmu pengetahuan (1960-1970), kedua, periode
komunikatif tahap pertama (1970-1981), dan ketiga, periode setelah 1981. Uraian mengenai hal ini akan dibahas pada Bab selanjutnya.
1.2.2.3 Pascastrukturalisme Kajian Kritis selanjutnya adalah berkembangnya aliran strukturalisme menjadi
aliran
filsafat
Pascastrukturalisme
(Poststructuralism).
Aliran
Poststructuralism dianggap sebagai representasi dari munculnya Postmodernisme (Postmodernism). Postmodernisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran modernisme yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan keadaan. Pengaruh perkembangan teknologi media massa telah mempopulerkan istilah postmodernisme dibandingkan dengan istilah poststrukturalisme. Namun tidak terdapat definisi yang jelas tentang aliran postmodernisme, karena tokohtokohnya
tidak
menginginkan
pendefinisian.
Selain
itu
para
pengikut
postmodernisme tidak mengakui adanya kebenaran tunggal dalam dunia filsafat dan ilmu. Terjadi pertentangan antara atribut modernisme dengan atribut paskamodernisme. 21 __________________________________________________________________ 20
http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/neo-marxisme-mazhab-frankfurt-teori.html. Posted by: fazlurrahman – UGM ; diunduh: 07-04-2010, pk. 23:10; 21 http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/postmodernisme-poststrukturalisme.html. Posted by: fazlurrahman – UGM Diunduh: 07-04-2010, pk. 23:20 WIB;
54
Para pemikir strukturalisme seperti Lacan, Foucault, dan Derida pada awalnya dikenal sebagai pemikir yang strukturalistik. Dalam perkembangannya mereka mengkritisi pemikiran mereka sendiri, sehingga mereka disebut sebagai pemikir
poststrukturalis
yang
gagasan-gagasannya
sama
dengan
aliran
postmodernisme. Selain Teori Sosial Post Modern yang dikembangkan oleh Jean Braudillard, juga kemudian muncul Teori Sosial Post Post Modern, Teori Konsumsi, dan Teori Modernitas serta akhirnya Teori Globalisasi.
(Ritzer &
Goodman, 2007 : 60-61). Di antara para pemikir Postmodernisme dapat disebut Jean Francois Lyotard, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan tentunya mereka yang telah beralih aliran dari strukturalis ke poststrukturalis seperti Lacan dan Foucault. Pemikiran dari tokoh-tokoh tersebut dapat disarikan sebagai berikut: 1) Jean Francois Lyotard, menyatakan bahwa empat dekade belakangan ini ilmu dan teknologi sangat terikat erat dengan bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa-bahasa yang dipergunakan untuk komputer, bank data, komunikasi, dan sebagainya. Lyotard menyatakan bahwa modernitas telah gagal membebaskan manusia dari belenggu dogmatisme. Beberapa pokok pikirannya adalah: -
-
Modernitas adalah proyek intelektual dalam sejarah kebudayaan Barat yang mencari kesatuan dibawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan. Proyek modernitas itu mencakup pengetahuan, kesenian, ekonomi, politik. Kemajuan dalam modernitas bertujuan untuk emansipasi, membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, perbudakan. Modernisme ditandai oleh Grand Narratives yang menjadi mitos yang
55
melegitimasi institusi-institusi, praktek-praktek sosial politik, sistem hukum serta moral, dan seluruh cara berpikir manusia. 22
2) Jacques Derrida, Derrida seperti halnya Giovanna Borradori dikenal dengan metode atau strategi dekronstruksinya. Derrida yang semula termasuk aliran strukturalis kemudian mengkritisi strukturalisme dan menjadi tokoh utama poststrukturalisme. Derrida meragukan hukum umum yang dianut oleh para strukturalis. Dia juga mempertanyakan oposisi antara subyek dan obyek yang menjadi dasar kemungkinan deskripsi obyektif. Deskripsi obyek tidak dapat dilepaskan dari hasrat subyek. Selain itu Derrida juga mempertanyakan tentang struktur oposisi. Langkah-langkah dekronstruksi dari Derrida adalah sebagai berikut: 1) Pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks, istilah mana yang diistimewakan. 2) Kedua, oposisi terbalik, dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang berlawanan. 3) Ketiga, memperkenalkan suatu istilah atau gagasan baru yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori oposisi lama.23
Sebagai perbandingan, dalam pandangan strategi Dekonstruksi Borradori, analisis wacana adalah salah satu aspek yang sangat menentukan, karakteristik dekonstruksi yang tanpa batas membuka peluang analisa terhadap aspek-aspek kontradiktif dan tersembunyi dalam beragam konstruksi wacana. Lebih lanjut, Giovanna Borradori memberikan sedikit ‘sense’ kajian Dekonstruksi pada analisa wacana: Dekonstruksi mencoba membedah setiap diskursus (wacana) yang tegak _____________________________________________________________________________ 22 http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/postmodernisme-poststrukturalisme.html. Posted by: fazlurrahman – UGM Diunduh: 07-04-2010, pk. 23:20 WIB; 23 ibid
56
sebagai sebuah konstruksi. Dapat dikatakan ini sebagai sedikit modifikasi yang lebih terfokus dari dekonstruksi Derrida, dimana Derrida tidak pernah menyebut istilah wacana, dan lebih memilih untuk membahasakan segala sesuatu itu sebagai teks filosofis. Sedangkan Borradori tampak lebih spesifik dengan mempergunakan istilah wacana atau diskursus. Seperti halnya karakteristik dekonstruksi yang memposisikan segala sesuatu sebagai teks yang memiliki konstruksi, dalam pembahasan Borradori, wacana juga diposisikan demikian. Konstruksi inilah yang memungkinkan proses dekonstruksi bisa terlaksana. Setiap konstruksi wacana memiliki kontradiksi internal yang tersembunyi, ketika praktek dekonstruksi yang bertujuan membongkar kontradiksi ini dilakukan, maka hierarkhi biner dari konstruksi tersebut akan terjungkal balik.24
3) Jean Baudrillard, dikenal sebagai sosiolog yang mengembangkan Teori Sosial Postmodern. Dia mengembangkan teori untuk lebih memahami tentang sifat dan pengaruh komunikasi massa dengan menawarkan banyak gagasan dan wawasan. Penjelasan lebih lengkap mengenai Baudrillard adalah sebagai berikut: Baudrillard mendasarkan pemikirannya dalam sketsa historis transisi dari modernitas ke postmodernitas. Ia menulis tentang dunia yang dikonstruksi dari model atau simulacra, yang tidak merujuk atau mendasarkan diri pada realitas apapun, selain dari dirinya sendiri. Ia membagi transisi historis dari modernitas ke posmodernitas dalam tiga tahap. - Pertama: Modernitas Awal. Tahap ini adalah periode dari Renaissans sampai Revolusi Industri. Sebelum Renaissans, dalam masyarakat feo__________________________________________________________________ 24
http:// bahas.multiply.com/journal/item/33/diskursus_wacana_dan_ kekuasaan _sebuah_ investigasi_kritis. By: Novra Hadi; Posted: 26-01-2008 at 11:40 pm. Diunduh : 12-11-2009 pk. 22:20 WIB .
57
-
-
feodal, semuanya berfungsi dengan sangat jelas. Setiap orang ditempatkan di ruang sosial yang sangat spesifik dan mobilitas kelas sosial tidak dimungkinkan. Pemosisian setiap individu dalam ruang sosial yang tidak pernah dipertanyakan itu menjamin transparansi dan kejelasan total. Hirarki yang keras mencegah kekacauan, yang bersalah akan dijatuhi hukuman. Dengan kemunculan kaum borjuis, sistem kasta tersebut hancur berantakan. Kedua: Modernitas. Tahap modernitas adalah zaman kaum borjuis, zaman kemenangan produksi industri. Kemudian dengan revolusi teknologi, reproduksi sosial menggeser peran produksi sebagai prinsip penata masyarakat. Selama periode ini, citra dominan tahap pertama, teater dan patung malaikat, digantikan fotografi dan sinema. Ketiga Posmodernitas, tahap ini adalah zaman kontemporer (abad ke 20 dan 21) yang disebut sebagai tahap simulacrum yang ketiga. Pada masa sekarang yang terbentuk setelah Perang Dunia II, landasan teoritis sistem kekuasaan telah bergeser dari ekonomi politik Marxis ke semiologi strukturalis. Apa yang dipandang oleh Marx sebagai bagian dari modal yang non-esensial, seperti iklan, media, informasi, dan jaringan komunikasi, berubah menjadi bagian esensial. 25
Pemikiran Baudrillard mengenai tahap simulacrum ketiga atau zaman kontemporer adalah suatu pembenaran atas kenyataan yang terjadi. Kenyataan atau realitas sosial yang terjadi dewasa ini adalah kondisi semu dari kemajuan masyarakat paska modern yang dikuasai oleh peran-peran iklan, media, informasi, dan jaringan. Hal tersebut sebagaimana pemikiran penganut neo-marxisme yang berbasis di Frankfurt School yang menyatakan bahwa bukan kebutuhan yang menentukan proses produksi, kebutuhan diciptakan agar produksi terjual dengan memakai iklan. Kemudian, bahwa teknologi berkembang menurut hukumnya sendiri, lepas dari kontrol manusia dan industri barang-barang konsumtif menawarkan kebahagiaan semu, manusia tergantung pada banyak benda. Kebahagiaan semu banyak ditunjukkan atau direpresentasikan oleh para intelektual, pekerja seni atau pesohor (baca: entertainer) di layar kaca. Mereka bekerja __________________________________________________________________ 25
http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/postmodernisme-poststrukturalisme.html. Posted by: fazlurrahman – UGM Diunduh: 07-04-2010, pk. 23:20 WIB;
58
untuk konsumsi, bukan untuk mencukupi kebutuhan. Karena pada dasarnya teknologi modern tidak memanusiakan manusia, tetapi memperbudak manusia dan mengisolasinya. Manusia menjadi tidak bebas bergerak karena ketenarannya. Manusia menjadi tidak saling berkunjung dan berhadapan secara fisik karena kemajuan teknologi. Manusia mengatakan bahwa mereka berbahagia, tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Mengapa? Karena secara fisik kehadiran seseorang di hadapan orang lain telah diwakili oleh peran pesan melalui teknologi modern. Seperti halnya pemikiran dan kritik Foucault yang membagi zaman menurut episteme-episteme, maka masa simulacrum ketiga adalah kelanjutan episteme abad 19 dan 20 atau postklasik/modern yang telah mengalami diskontinuitas. Dominasi bahasa yang dikuasai oleh hukum-hukumnya sendiri, memiliki strukturnya sendiri, dan penggunaannya untuk berbagai macam hal yang dibicarakan dan dituliskan. Manusia zaman modern adalah sebagai subyek yang mengetahui sekaligus obyek yang diketahui. Manusia, menurut Foucault, telah kehilangan kedudukannya sebagai kategori utama pengetahuan, yaitu hilangnya konsep manusia sebagai suatu kategori istimewa. Selain itu manusia tidak lagi menjadi titik pusat dan sumber otonom dari tindakannya, karena peran dominan telah beralih ke iklan, media, informasi dan jaringan. Lebih lanjut pemikiran Baudrillard mengenai simulacrum ketiga adalah sebagai berikut: Pada zaman kontemporer, nilai guna komoditas, imperatif produksi, digantikan model, kode, simulacra, tontonan, dan hiperrealisme “simulasi”. Pada masyarakat media dan konsumsi, orang terjebak dalam
59
permainan citra, simulacra, yang semakin tidak berhubungan dengan yang di luar, “realitas” eksternal. Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra yang didalamnya citra atau penanda suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman dan pengetahuan langsung rujukan atau petandanya. Semesta postmodern cenderung membuat semuanya menjadi simulacrum. Manusia postmodern hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, tidak yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Dunia abad kontemporer bukan lagi dunia yang “nyata” versus dunia “tiruan”, tetapi sebuah dunia yang ditandai dengan kenyataan “yang ada” hanya simulasi. Bagi Baudrillard, dunia dewasa ini tidak ada lagi adegan dan cermin, yang ada hanyalah layar dan jaringan, periode produksi dan konsumsi telah memberi jalan bagi zaman hubungan dan umpan balik. Manusia Abad Kontemporer hidup dalam ekstasi komunikasi yang carut marut. Seiring dengan lenyapnya ruang publik, iklan menginvasi semuanya. Hilangnya ruang publik diikuti oleh lenyapnya ruang privat. Ruang publik tidak lagi menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi menjadi rahasia. Jika dulu terdapat perbedaan yang jelas antara bagian dalam dan bagian luar, sekarang, pembedaan tersebut telah terhapus seiring dengan rancunya batas antara ruang publik dan ruang privat, bahkan kehidupan yang paling intim sekarang menjadi penopang hidup virtual media. 26 Sejalan dengan pemikiran Baudrillard mengenai kondisi masyarakat pada episteme atau simulacrum ketiga tersebut mendukung penelitian penulis mengenai terjadinya pergeseran nilai budaya dan sekaligus etika komunikasi para pelaku siaran infotainment televisi. Menyimak pernyataan Baudrillard diatas bahwa memang hilangnya ruang publik diikuti oleh lenyapnya ruang privat. Ruang publik tidak lagi menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi menjadi rahasia. Banyak hal menjadi terbalik perannya karena manusia mengkonsumsi media dan informasi sebagai simulasi kehidupan. Jika dulu terdapat perbedaan yang jelas antara bagian dalam dan bagian luar, sekarang pembedaan tersebut telah terhapus seiring dengan rancunya batas antara ruang publik dan ruang privat, bahkan kehi__________________________________________________________________ 26
http:// esperanzadelucha.blogspot.com/2010/02/postmodernisme-poststrukturalisme.html. Posted by: fazlurrahman – UGM Diunduh: 07-04-2010, pk. 23:20 WIB;
60
dupan yang paling intim sekarang menjadi penopang hidup virtual media. Pernyataan tersebut adalah kenyataan yang sering ditayangkan melalui acara infotainment atau reality show yang berisi tentang “bukan kenyataan”, atau menurut hasil penelitian Hedi Pudjo Santosa sebagai “ suatu ketidakpastian berita dunia selebritis adalah kepastian yang diyakini penonton”. Fungsi informasi yang seharusnya mengurangi ketidakpastian, malah menambah ketidakpastian realitas. Beberapa teori pendukung yang dapat digunakan dalam penelitian ini yaitu teori tentang ”budaya pop” (Popular Culture) dan kajian Psycho Analysis dari Sigmund Freud. Dalam hal acara infotainment televisi, semakin hari semakin marak ditayangkan di televisi, sehingga telah berubah menjadi budaya populer, semacam budaya massa. Tidak hanya jumlahnya saja yang banyak, tetapi yang mengkonsumsinya juga sangat banyak, yang memanfaatkannya dengan memasang iklan atau untuk ajang promosi diri juga banyak. Sedangkan berita yang disajikan sering dianggap sebagai sesuatu yang benar atau yang sebenarnya oleh penonton (baca : penggemar acara infotainment), meskipun sebenarnya ”berita” yang disajikan adalah bersifat virtual saja, yaitu seolah-olah benar dan pasti. Ketidakpastian dan ketidakbenaran tentang sesuatu hal seputar kehidupan selebriti adalah menjadi kepastian dan kebenaran bagi khalayak penontonnya, sehingga menjadilah suatu berita yang riil (reality facts or news story). Lebih jauh lagi, makna berita investigasi tentang sesuatu hal sering hanya berupa suatu visualisasi yang tidak punya makna mendalam, yang menjadi sebuah simulakrum, sesuatu yang semu atau setengah nyata. Contoh, berita investigasi dalam program Insert Investigasi edisi akhir Januari 2010 diantaranya mengangkat
61
tentang adanya ”keajaiban” yang dialami oleh seorang bocah balita di daerah Bogor yang pada lidahnya (sisi sebelah kanan) terdapat tulisan Arab ”Allah”. Dilakukanlah wawancara dan liputan tentang si anak dan keluarganya, ibu dan bapaknya tentang segala hal terkait saat masa mengandung, saat kelahirannya, dan ketika si anak sudah berusia 3 tahun. Lalu dimana ”investigasinya? Karena dimasukkan ke dalam program/ acara infotainment, sementara pengertian infotainment telah bergeser sebagai acaranya para pesohor, maka dilakukanlah pertanyaan-pertanyaan kepada para selebriti, pemusik, ustadz, dan lainnya tentang keajaiban tersebut. Pendapatpendapat para interviewees ini dimuat, digabungkan dengan hasil ”investigasi” terhadap ”obyek” berita, maka jadilah sebuah versi ”investigative news reporting”, versi infotainment. Di pihak lain, yakni ibu si balita, yang tentunya sudah diberitahu oleh kru infotainment untuk acara apa mereka diliput dan juga sering menonton acara infotainment di televisi segera menyadari peran yang harus dimainkannya, yaitu sebagai ”subyek” berita yang sadar media. Sementara itu si anaknya sendiri karena penalarannya yang belum matang, tetap menjadi ”obyek” berita. Dengan kondisi sadar media, si ibu bercerita dengan penuh antusias dan semangat, tentunya dalam tanda petik ingin merepresentasikan dirinya seperti para subyek berita yang lain. Mencermati kata-kata, kalimat, narasi, atau wawancara dan pendapatpendapat (statement) baik yang bersifat asli (pure, original), semi atau rekayasa, maupun yang didramatisasi (dramatized,dokudrama) dalam program infotainment
62
tampak bahwa peran media massa sebagai media komunikasi telah melakukan manipulasi audio dan visual. Dengan kata lain program yang ditayangkan bersifat ”manipulated” dan ”edited”. Lantas bagaimana suatu motif direalisasikan dalam bentuk audio - visual? Begitu juga kepentingan apa yang melatarbelakangi keinginan dan perilaku berkomunikasi antara para pelaku bisnis infotainment dengan penontonnya. Adakah motif-motif tersembunyi (hidden agenda) seperti motif ekonomi, politik, dan sosial budaya, atau bahkan motif pembentukan karakter bangsa khususnya kaum muda generasi penerus bangsa sesuai dengan yang diinginkan oleh yang punya maksud?
Bagaimanakah
”policy” atau kebijakan produsen (rumah
produksi) atau stasiun produksi dibandingkan dengan kebijakan penyiaran stasiun yang bersangkutan?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjadi pelengkap atau bagian dari tujuan penelitian ini.
1.2.3 1.2.3.1
Landasan Konseptual Privasi dan Hak Privasi Bahwa privasi dan hak privasi yang merupakan hak azasi manusia dan
melekat pada diri pribadi seseorang, dan dipengaruhi oleh adat, tradisi dan budayanya masing-masing. Karena itu sudah seharusnya privasi dipertahankan sebagai hak individu untuk merahasiakannya dari orang lain. Tetapi perubahan zaman akibat kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah merubah gaya hidup warga masyarakat dan berujung pada berubahnya hak proteksi atas privasi menjadi ajang promosi diri di layar televisi.
63
Kebebasan berekspresi dan beropini di alam keterbukaan seperti sekarang ini telah merubah sikap perilaku manusia pada umumnya, yang diasumsikan oleh karena kepentingan bisnis dan ekonomis, maka dilakukanlah pembuatan dan penayangan acara-acara yang lebih bersifat pribadi mengenai diri para selebriti dan keluarganya, teman-temannya, dan sebagainya. Konsep tentang masalah privasi dan hak privasi telah lama diperbincangkan di negara-negara lain. Contoh, di Amerika Serikat masalah privasi dan tuntutan diterapkannya proteksi atas hak privasi mulai mencuat pada tahun 1890. Sedangkan Undang-undang tentang Privasi atau the Privacy Act disahkan pada tahun 1974, The Privacy Protection Act pada tahun 1980, dan The Privacy Protection and Computer Matching Act disahkan pada tahun 1988. (USCS Title 42, 2000a, 1988; P.L. 96-440). Privasi dan hak privasi merupakan isu umum yang melibatkan berbagai aspek perilaku manusia,
O’Brien (1979: 3-5) menyebutkan bahwa sangatlah
penting membedakan antara privasi dengan hak privasi. Menurut O’Brien, privasi adalah “an existential condition of limited access to an individual’s experiences and engagements” atau keadaan yang membatasi akses terhadap pengalaman seseorang atau keterikatannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, privasi adalah kebebasan atau keleluasaan pribadi seseorang terhadap lingkungannya. Dengan kata lain bahwa privasi adalah hak seseorang untuk menyendiri, hak untuk tidak diganggu, atau the right to be left alone. Tidak setiap intrusi atau
pemaparan rahasia tentang masalah pribadi
seseorang akan memperoleh jaminan perlindungan hukum. Sedangkan hak privasi merupakan penambahan dari keputusan produk hukum. Isu-isu yang berkaitan de-
64
ngan hak privasi misalnya penggunaan nama atau gambar seseorang untuk kepentingan komersial (iklan) tanpa izin terlebih dahulu (not with prior consent), pelanggaran secara tidak sah atas pencarian kisah kehidupan seseorang, atau isu tentang hak proteksi atas informasi pribadi seseorang. Misalnya, memburu informasi kehidupan seseorang, tokoh atau figur publik dengan kamera tersembunyi (paparazzi). Proteksi terhadap kepentingan hak privasi berimplikasi sangat luas, dimana hukum konstitusi dan konsep tentang privasi dan hak privasi itu sendiri masih belum jelas atau mengambang. Menurut O’Brien, para ahli hukum mengasumsikan empat pendekatan konseptual mengenai privasi, yaitu: 1) Privacy denotes the seclusion or withdrawal of an individual from public affairs; 2) Privacy is voluntary, it is, therefore, basically an aspect of individual freedom and control over personal engagements; 3) Privacy is equated with a right; 4) Privacy is valued for either its instrinsic worth or its instrumental value, but rarely are both of these values considered simultaneously. (O’Brien, 1979: opcit. hal.4) Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut: 1) Privasi menunjuk pada pengasingan atau penarikan diri seseorang individu dari urusan publik; 2) Privasi adalah kesukarelaan, oleh karenanya, pada dasarnya adalah suatu aspek dari kebebasan dan pengendalian individu atas urusan pribadinya; 3) Privasi adalah setara dengan sebuah hak; 4) Privasi dihargai untuk nilai dasar atau nilai instrumentalnya, tetapi jarang kedua nilai ini dilakukan secara bersamaan; William Prosser, seorang ahli hukum dari School of Law – The University of California at Berkeley
menyatakan ada empat area yang potensial untuk
terjadinya pelanggaran terhadap masalah privasi, yaitu: pertama, berhubungan dengan pengumpulan berita (news gathering) dalam proses komunikasi, yaitu pe-
65
langgaran atas “plaintiff’s seclusion or solitude, or into his private affairs”, yakni pelanggaran terhadap hak pengasingan atau pengisolasian pengadu, atau ke dalam urusan privasinya. Kedua, berkaitan dengan publikasi dalam proses komunikasi, yaitu “public disclosure of embarrassing private facts about the plaintiff”, yaitu membuka masalah pribadi pengadu yang memalukan ke publik. Ketiga, adalah “publicity that places the plaintiff in a false light”, atau publikasi yang menempatkan
pengadu
pada penjelasan
yang keliru.
Keempat,
adalah
“appropriation for the defendant’s advantage of plaintiff’s name or likeness”, yaitu memberikan keuntungan teradu atas nama atau persamaan dari pengadu. 27 Lind dan Rarick (1992: opcit hal.143), menemukan bahwa selain penyajian yang berbau kekerasan, maka masalah besar lainnya yang dilakukan oleh jurnalisme televisi adalah tentang invasi terhadap privasi seseorang. Dalam pengamatan penulis, terlihat bahwa bisnis hiburan di industri media massa khususnya televisi, maka yang terjadi adalah pemanfaatan ruang dan waktu dari media televisi oleh segmen intelektual yaitu perseorangan atau kelompok (baik selebriti, politisi, pejabat, pengamat, komentator, olahragawan, atau pebisnis) untuk mencapai keinginan dan kepentingannya, lebih spesifik lagi untuk menjadi populer. Acara-acara seperti Talkshow baik yang dikemas secara serius maupun yang bernuansa komedial, menjadi ajang promosi diri para tokoh, figur publik, selebriti, dan mereka yang ingin populer dengan beradu argumentasi baik untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dalam acara infotainment sering terlihat _________________________________________________________________ 27
Prosser, William L., 1960. “Privacy” dalam California Law Review, Vol. 48 Nomor 3, Bulan Agustus 1960.
66
bagaimana subyek cerita memanfaatkan penampilannya di layar kaca secara sadar untuk tujuan tertentu. Karena ketenarannya maka banyak figur pesohor (selebriti) yang dengan mudah mendulang suara ketika memasuki arena politik.
1.2.3.2 Masalah Privasi di Indonesia Bagaimana dengan perlindungan masalah privasi di Indonesia? Hal yang terkait langsung dengan masalah privasi atau proteksi terhadap hak privasi tidak secara nyata diatur di dalam suatu undang-undang tentang privasi. Tetapi didalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 beserta perubahan-perubahannya terdapat beberapa payung hukum yang mengatur masalah hak azasi manusia, diantaranya: Pasal 28D ayat (1) ( Perubahan II UUD 1945 Tahun 2000): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Pasal 28F (Perubahan II UUD 1945 Tahun 2000): “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Pasal 28G ayat (1) (Perubahan II UUD 1945 Tahun 2000): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak azasi”. (Marsono, 2002: 52)
67
Pasal 28D ayat (1) adalah menyatakan bahwa setiap orang atau warga negara harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam masalah hukum. Pemahaman tentang pengakuan, jaminan dan perlindungan dapat ditafsirkan dari berbagai aspek kepentingan. Sedangkan antara Pasal 28F dan Pasal 28G ayat (1) mencerminkan adanya dua hak yang berbeda dan bahkan sering saling berseberangan. Pasal 28F merefleksikan adanya suatu hak yaitu “freedom of expression”, yang memungkinkan orang dapat menafsirkannya sebagai hak kebebasan untuk berekspresi dan beropini, termasuk didalamnya bebas untuk berkreasi membuat program acara televisi dan menyiarkannya, meskipun isinya bisa saja melanggar ketentuan, peraturan atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pasal 28G ayat(1) merefleksikan suatu hak warga negara yang menyatakan bahwa seseorang berhak untuk mendapatkan perlindungan atau “the right of protection” dan “the right to be left alone” yakni hak untuk menyendiri atau tidak diganggu, yakni privasi dan hak privasi. Dua kepentingan yang diakomodasi oleh konstitusi tersebut serupa dengan apa yang terjadi dengan konstitusi di negara lain. Masih terkait dengan pasal-pasal diatas, Perubahan Kedua UndangUndang Dasar 1945 tentang warganegara adalah: Pasal 28H ayat (4) (Perubahan II UUD 1945 Tahun 2000): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Hak milik pribadi disini tentunya termasuk hak privasi seperti nama baik, yang tidak boleh
68
dikoyak-koyak menjadi citra negatif karena ditayangkan atau kesalahan informasi.
Pasal 28 I ayat (1) (Perubahan II UUD 1945 Tahun 2000): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah jaminan konstitusi terhadap hak yang seharusnya dimiliki oleh individu. Namun bagaimana dengan operasionalisasi dari konstitusi tersebut agar setiap individu benar-benar mendapatkan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Tentunya harus ditindaklanjuti dengan aturan pelaksanaan dalam tatanan peraturan yang
baku yang ditetapkan oleh pemerintah dan
memiliki kekuatan hukum positif. Ketentuan yang demikian, dapat dilihat dalam pasal 28I dan Pasal 28J UUD 1945.
Pasal 28 I ayat (5) (Perubahan II UUD 1945 Tahun 2000): “Untuk menegakkan dan melindungi hak azasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak azasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Pasal 28J ayat (1) (Perubahan II UUD 1945 Tahun 2000): “Setiap orang wajib menghormati hak azasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
69
Pasal 28 J ayat (2) (Perubahan II UUD 1945 Tahun 2000): “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. (Marsono, 2002:54) Selain ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan perubahannya tersebut, maka ada beberapa ketentuan-ketentuan hukum pidana yang terkait dengan perilaku media massa khususnya menyangkut masalah hak warga negara atau kepentingan masyarakat umum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
(KUHP)
terdapat
pasal-pasal
yang
mengatur
masalah
penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, yaitu Pasal 310, 311, 315 dan Pasal 316. (Soerodibroto, 1996: 184-192). Selain itu terdapat pasal yang mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama orang mati, yaitu Pasal 320 dan Pasal 321. Apakah program acara siaran televisi yang mengandung unsur gossip seperti infotainment dan reality show dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kejahatan? Hal itu memerlukan kajian mendalam dan dalam konteks apa. Di dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tentang penyiaran tidak dijumpai aturan yang membahas masalah privasi secara nyata. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang sudah tidak berlaku lagi, maupun di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran beserta aturan-aturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP), PP Nomor 12 Tahun 2005 tentang LPP Radio Republik Indonesia (RRI), PP Nomor 13 Tahun
70
Tahun 2005 tentang LPP Televisi Republik Indonesia (TVRI), tidak dijumpai aturan yang khusus membahas masalah perlindungan privasi maupun hak privasi. Seperti halnya dalam PP tersebut diatas, maka di dalam PP Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing (LPA), PP Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), PP Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), dan PP Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), juga tidak ditemui adanya pasal atau ayat yang mengatur secara khusus masalah privasi dan proteksi atas hak privasi. Yang ada adalah aturan tentang Isi Siaran yang pada dasarnya sama baik di dalam PP Nomor 12 Tahun 2005, PP Nomor 13 Tahun 2005, PP Nomor 50 Tahun 2005, PP Nomor 51 Tahun 2005, dan di dalam PP Nomor 52 Tahun 2005. Penelusuran penulis atas produk undang-undang Republik Indonesia yang dihasilkan oleh lembaga legislatif sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 2009 triwulan pertama belum menemukan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur masalah privasi dan hak privasi individu ataupun kelompok warga negara
Indonesia.
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2002
Penyiaran
mengamanatkan pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki kewenangan tertentu dalam pengaturan masalah penyiaran di Indonesia. Bahwa sesungguhnya ide pembentukan KPI adalah ingin seperti lembaga FCC (Federal Communication Commission) di Amerika Serikat yang mengatur semua masalah penyiaran di negara itu. Tetapi terdapat penafsiran bahwa Undang-Undang Nomor
71
32 Tahun 2002 lebih bersifat sebagai produk politis (baca: kompromis) daripada sebagai produk hukum, maka didalamnya terdapat pasal-pasal yang mengambang yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Terdapat kekhawatiran pihak-pihak tertentu atas besarnya kekuasaan KPI, sehingga KPI berpeluang akan bertindak seperti Departemen Penerangan pada Zaman Orde Baru. Beberapa assosiasi masyarakat penyiaran yaitu : IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Siaran Indonesia), Persusi (Persatuan Sulih Suara Indonesia), dan Komteve (Komunitas Televisi Indonesia) mengajukan uji materil atau judicial review atas Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 ke Mahkamah Agung RI cq Direktorat Tata Usaha Negara pada tanggal 5 Maret 2003 dan kemudian ke Mahkamah Konstitusi bertanggal 12 Maret 2003 dan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Maret 2003 dengan Registrasi Perkara Nomor 005/PUU-I/2003. (Lubis, dkk., 2003) Permohonan tersebut diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 11 Nopember 2003. Sebagai tindak lanjut dari pengajuan uji materil dari masyarakat penyiaran, maka Mahkamah Konstitusi telah membacakan perkara Nomor: 005/PPU-I/2003 pada tanggal 28 Juli 2004 yang menyatakan bahwa Pasal 44 ayat (1) dan (2) untuk bagian anak kalimat “…atau terjadi sanggahan;
Pasal 62 ayat (1) dan (2) untuk bagian anak kalimat “ …..KPI
bersama.. ”. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 bertentangan dengan Undang
72
-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atas dasar Keputusan Mahkamah Konstitusi itu maka sepertinya KPI tidak lagi memiliki kekuatan untuk secara penuh mengatur masalah penyiaran di Indonesia, termasuk mengatur masalah isi acara, kecuali aturan-aturannya bersifat ketentuan moral saja. Kecuali jika ada tuntutan atau pengaduan dari warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh tayangan acara siaran, maka baru dapat dilakukan proses hukum. KPI telah menerbitkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) berdasarkan Keputusan Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tanggal 30 Agustus 2004, yang kemudian diperbaharui dengan
Peraturan KPI Nomor :
02/P/KPI/5/2006 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Pada tahun 2007 KPI menetapkan peraturan yang memisahkan antara Pedoman Perilaku Penyiaran dengan Standar Program Siaran, yaitu Peraturan KPI Nomor 02 Tahun 2007 tanggal 18 September 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Peraturan KPI Nomor 03 Tahun 2007 tanggal 18 September 2007 tentang Standar Program Siaran SPS). Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh KPI dalam Standar Program Siaran tersebut, maka menurut Pasal 74 SPS, jika terbukti secara sah dan meyakinkan dapat dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sanksi Administratif sesuai dengan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yaitu:
73
-
Teguran tertulis; Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahapan tertentu; Pembatasan durasi dan waktu siaran; Denda administratif; Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu; Tidak diberi perpanjangan ijin penyelenggaraan penyiaran; Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. (Departemen Komunikasi dan Informatika, 2003)
Sedangkan pelanggaran pidana dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan pada Pasal 56, 57, 58 dan Pasal 59 Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Sanksi-sanksi tersebut semula juga diatur dalam Pasal 77 dan 78 P3SPS KPI Tahun 2004 yang mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UndangUndang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dan aturan pelaksanaannya. Masalahmasalah yang diatur dalam Standar Program Siaran KPI Tahun 2007 antara lain mengenai norma kesopanan dan kesusilaan, masalah hak pribadi atau privasi seperti kehidupan pribadi, konflik dalam keluarga, perekaman tersembunyi atau pencegatan terhadap narasumber. Sejak terjadinya krisis moneter yang melanda sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia pada tahun 1997 dan berlanjut dengan terjadinya reformasi politik di Indonesia pada tahun 1998, maka kebebasan pers (freedom of the press), kebebasan untuk menyatakan pendapat (freedom of expression atau freedom of speech), kebebasan untuk memperoleh informasi atau hak publik untuk tahu (the public’s right to know) telah menjadi fenomena baru yang melahirkan begitu banyak penerbitan-penerbitan baru, stasiun-stasiun radio dan televisi serta operator televisi kabel termasuk program-program acara siaran baru.
74
Kondisi tersebut telah mengubah pola pikir dan pola tindak masyarakat dari kehidupan yang serba terkekang selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi kebebasan yang nyaris tak terkendali. Keadaan inilah yang perlu mendapat perhatian dan penelitian mengenai perlu tidaknya suatu regulasi tentang perlindungan privasi dan hak privasi warga masyarakat terhadap programprogram acara siaran media massa elektronik. Selain itu juga mengenai terjadinya pergeseran budaya dan etika komunikasi, khususnya dalam acara infotainment di televisi.
1.2.3.3
Budaya dan Kebudayaan Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang
merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang memiliki arti “budi” atau “akal”. Koentjaraningrat menjelaskan kata budaya sebagai perkembangan dari “budi-daya”, yaitu usaha manusia yang bersumberkan pada akal-budinya untuk menciptakan sesuatu atau berperilaku tertentu. (Kuncaraningrat, 2005:73) Dalam teori Antropologi Budaya, pemahaman tentang “budaya” dan kebudayaan” ditiadakan. Budaya atau kebudayaan, dalam bahasa Inggeris disebut “culture” sumbernya dari bahasa Latin “colere”, yang memiliki arti “mengolah atau mengerjakan sesuatu”, yaitu bertani. Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi menjelaskan bahwa menurut antropologi “kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta
karya manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. (Kuncaraningrat, 2005:74). Sedangkan kebudayaan itu sendiri, menurut Raymond Williams dalam bukunya The Long Revolution terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu :
75
“Ada budaya yang hidup pada waktu dan tempat tertentu, yang hanya bisa diakses secara penuh oleh mereka yang hidup pada waktu dan tempat yang sama. Ada budaya tercatat, dari semua jenis ; mulai dari seni sampai pada fakta kehidupan sehari-hari, disebut budaya suatu periode. Ada juga yang menjadi faktor penghubung antara budaya yang hidup dan budaya periode, yaitu budaya tradisi selektif”. (Williams, 1965: 377-378)
Pawito menjelaskan tentang kata ”kultural” adalah sebagai wujud ekspresi simbolik tentang pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan informasi dalam berbagai bentuk lambang-lambang pesan (Pawito, 2007: 18-19). Dari berbagai macam bentuk budaya atau hasil budi daya manusia dan hasil kemajuan akal pikiran manusia, dari waktu ke waktu mengalami perubahan karena pengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi yang notabene juga merupakan hasil budidaya dan karya manusia.
Linton, sebagaimana dikutip oleh Nina Syam
(2002: 32) memberikan definisi budaya secara spesifik yaitu “budaya merupakan konfigurasi dari perilaku manusia yang dipelajari dan budaya merupakan perilaku manusia dari elemen-elemen yang ditransformasikan oleh anggota masyarakat”. Dalam Buku ”Komunikasi Antar Budaya; Panduan Berkomunikasi dengan Orangorang Berbeda Budaya”, Porter & Samovar mengatakan bahwa: -
-
-
Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya; Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok; Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana; budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama suatu periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. (Mulyana & Rakhmat; Ed., 2006: 18-20)
76
Mencermati pendapat Koentjaraningrat, Linton, Williams, serta Porter & Samovar tersebut dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia baik pada masa yang lalu, masa kini ataupun masa yang akan datang adalah budaya. Sikap dan perilaku kita adalah produk dari budaya yang melahirkan kita atau yang membesarkan kita. Menurut Porter & Samovar, dalam Mulyana dan Rakhmat (Ed;2006: 1820) dari berbagai macam bentuk dan aneka ragam budaya terdapat subbudaya atau subkultur yang memperlihatkan pola perilaku yang membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya. Dicontohkan oleh Porter & Samovar tentang subkultur-subkultur di Amerika Serikat antara lain golongan oriental, kelompok Yahudi, kaum miskin perkotaan, dll. Diantara subkelompok di dalam masyarakat juga terdapat subkelompok yang tidak memenuhi kriteria untuk dimasukkan sebagai suatu subkultur, yaitu subkelompok yang menyimpang atau dianggap menyimpang (deviant subgroup).
Contoh dari subkelompok ini antara lain
kaum homoseks, para germo, para pekerja sek komersial, para pecandu obat bius, sekte agama yang sesat, dll. Jadi, karena deviant subgroup tersebut memiliki sikap dan perilaku yang tidak sesuai dengan standar norma kehidupan dari masyarakat lingkungannya, maka subkelompok ini cenderung dikucilkan atau hidup memisahkan diri atau mengisolasi kelompoknya dari kehidupan masyarakat umum (Mulyana & Rakhmat; Ed., 2006: ibid hal.19). Nina Syam menjelaskan bahwa terdapat ”dua jenis produk budaya dasar muncul dari aktivitas bersama dan dari pengalaman manusia. Pertama, non material culture (budaya non materi) meliputi bahasa, seni, musik, dan 4 jenis gagasan utama yang saling membagi, yaitu a) keyakinan; b) norma-norma; c) nilai; dan d) sikap. Kedua, material culture (budaya
77
materi) meliputi benda-benda yang dibuat manusia dan benda-benda lainnya yang menjadi lingkungan fisik.” (Syam, 2002: op.cit.h.26). Lebih lanjut Pawito membedakan produk budaya dalam bentuk artefak dan non-artefak. Bentuk-bentuk ekspresi simbolik yang bersifat artefak antara lain: lukisan, wayang, patung, gapura, candi, bangunan arsitektur, dan museum, sedangkan yang bersifat non-artefak, seperti tari, tembang, nyanyian, pentas teater/drama, musik, dan puisi. Artinya, sebagaimana dijelaskan juga oleh Nina Syam, budaya yang berbentuk artefak adalah budaya materi (material culture), dan budaya non-artefak adalah budaya non-materi (non-material culture). (Pawito, 2007: op.cit.h.18). Arief Ahmad dari University Kebangsaan Malaysia, mengkategorikan budaya asli (indigenous culture) menjadi lima golongan, yaitu: 1. Budaya seni pertunjukan atau seni gerak; 2. Budaya seni yang statis atau seni bentuk; 3. Budaya ritual dan upacara; 4. Literatur dan bahasa; 5. Gaya hidup (lifestyle). (MMTC, 1994),
Gaya Hidup (Lifestyle), dapat berupa gaya hidup tradisi, gaya hidup keagamaan dan gaya hidup baru (modern) atau trend. Gaya hidup tradisi adalah kebiasaan/tradisi turun temurun, atau gaya hidup tiap suku/bangsa/masyarakat, atau tiap lokasi pemukiman punya cara/gaya hidup yang berbeda atau hampir sama, masyarakat nelayan, pedesaan, agraris, masyarakat kota, dan gaya hidup yang tertutup atau setengah tertutup seperti Suku-suku: Samin, Baduy, Tengger,
78
Dieng, Kampung Naga, Suku Anak Dalam, Kubu, Bangsa Scott, dll. Sementara gaya hidup keagamaan, yaitu gaya hidup yang didasarkan pada ajaran agama yang dianut, misalnya kaum Muslim/Muslimah, kaum Kristiani, umat Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dsb masing-masing mempunyai gayanya sendiri-sendiri, baik dalam cara berpakaian, tata cara beribadah, tata cara makan, dan lain-lainnya. Sedangkan trend, adalah gaya hidup masing-masing individu ataupun subkelompok (komunitas) dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh perkembangan dan kemajuan zaman, teknologi dan bahkan ekonomi. Gaya hidup (lifestyle) sebagai produk budaya modern inilah yang akan menjadi pokok penelitian, dimana budaya-budaya yang semula menganut tradisi leluhur berdasarkan norma sosial yang sangat kuat dan penuh dengan aturan (sesuatu dianggap dianggap tabu atau tidak boleh dilakukan), kemudian pada generasi berikutnya bergeser menjadi lebih terbuka dan tidak lagi menganut tradisi tersebut.
1.2.3.4 Budaya Massa, Budaya Populer McQuail memperbandingkan tiga tipe budaya yaitu budaya tinggi (high culture), budaya massa (mass culture), dan budaya rakyat (folk rakyat). Budaya tinggi dikenal, dilindungi, dan dipromosi oleh organisasi sosial formal, dengan nilai sosial tinggi. Budaya tinggi tidak terorganisasi, kadang hanya sekali muncul, bersifat unik dan untuk pasar tertentu saja. Khalayaknya kecil,
yaitu orang
terpelajar atau terdidik dan para ahli. Menurut McQuail, isi dan makna dari budaya tinggi bersifat ganda dan mengganggu serta tak terikat waktu. Tujuan penggunaan atau efek budaya tinggi utamanya untuk memperluas atau memperdalam pe-
79
ngalaman, kepuasan intelektual, dan juga gengsi. (McQuail, 1987: 36-37) Selanjutnya McQuail menjelaskan tentang budaya massa yang disebutnya sebagai tergantung pada media dan kehendak pasar. Diproduksi secara massal untuk khalayak yang juga massal, menggunakan teknologi dengan perencanaan dan cara yang terkelola baik. Dari segi konten dan makna, budaya massa bersifat dangkal, tidak bermakna ganda, menyenangkan, dan universal tetapi dapat punah. Khalayak budaya massa pada dasarnya adalah siapa saja, berbagai jenis, dan orientasinya konsumtif. Tujuan budaya massa adalah diperolehnya kepuasan dan karena kesukaan, atau boleh jadi untuk pengalihan suatu masalah. Sedangkan budaya rakyat, pada awalnya selalu diabaikan, namun kini dilindungi secara formal. Budaya rakyat diproduksi sesuai dengan norma atau standar, banyak yang dirancang dan dikerjakan dengan tangan dan pasarnya tidaklah penting. Khalayak budaya rakyat adalah terbatas sesama anggota masyarakat pada budaya yang sama. Tujuannya untuk kesinambungan dan solidaritas atau integrasi tradisi. Dari uraian di atas tampaknya budaya yang mewarnai kehidupan para selebriti dalam acara infotainment di televisi adalah masuk dalam kategori budaya massa yang sangat tergantung pada kehendak media dan pangsa pasarnya. Bagi mereka yang menjadi sumber informasi, yaitu para subyek dan obyek gambar infotainment, maka diliput dan muncul di layar infotainment adalah suatu kesukaan, atau suatu ketidaksukaan yang kemudian berubah menjadi kesukaan, yang diharapkan akan berdampak ke pencapaian ekonomi yang bersangkutan. Karena begitu banyaknya program dan tayangan infotainment, maka budaya tersebut telah menjadi suatu “budaya massa” atau “budaya populer” yang menyebar ke
80
para penontonnya, yaitu masyarakat dari berbagai lapisan
usia, profesi,
sosial ekonomi, dan bahkan politik. Televisi telah menjadi media yang mempengaruhi dan memproduksi realitas yang mereka (pelaku bisnis media televisi) inginkan. Dalam pandangan Fiske di dalam Media Matters (1994) sebagaimana dikutip oleh Idi Subandy Ibrahim dalam “Studi Komunikasi Dalam Masyarakat Kontemporer: Menuju Konvergensi dan Pendekatan Kritis”, sebuah pengantar pada buku Cultural and Communication Studies, menyatakan: Semua realitas atau peristiwa yang bisa menjadi perkara (matters) media, telah menjadi ‘media event’. Dalam ‘media event’ atau dalam ‘realitas kedua’ itu, manusia hidup dalam gelimang citra, bahkan antara citra dan tatanan pengalaman pun sudah tidak ada lagi perbedaannya. Dokter televisi, pengacara televisi, detektif televisi, intelektual televisi, ekonom televisi, atau kiai televisi dianggap ‘lebih real’ oleh khalayak, sehingga secara regular menerima request untuk nasihat dan bantuan dalam mengatasi problem yang mereka hadapi. (Ibrahim, 2004: viii) Jean Baudrillard menyebut ini ”the dissolution of TV into life, the dissolution of life into TV”. (Ibrahim, 2004: viii). Kini yang dikategorikan sebagai selebriti adalah tidak hanya mereka yang terkenal karena profesinya sebagai penyanyi, aktor/aktris, penari, dan seniman lainnya, tetapi siapapun yang menjadi terkenal (dikenal masyarakat) melalui layar televisi baik berlatar belakang seniman, politisi, agamawan, pebisnis, pengamat, bahkan pejabat. Televisi telah menjadi “referensi” bagi kehidupan masyarakat di hampir semua aspek. Televisi telah menjadi budaya massa atau budaya populer. Kebudayaan populer telah mengalami perjalanan panjang, sepanjang sejarah masyarakat modern. Choiriyati dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.3 No.1 (2005: 49-50) menyatakan bahwa di antara fokus penelitian para peminat/peneliti
81
masalah budaya pop, mereka menyelusur rentang sejarah (socio history), pola perkembangannya, media yang digunakan, pengaruh-pengaruh politik dan ekonomi, aspek-aspek ritual dan simbolik, hingga ke wilayah propaganda dan ideologi. Umumnya kebudayaan pop dipahami sebagai ekspresi kebudayaan yang memiliki ciri-ciri ringan, sesaat, gampang diterima oleh masyarakat kebanyakan dan menghibur. Ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk musik, lagu, novel, film, tetapi biasa juga diwujudkan dalam bentuk tampang, dandanan, gaya hidup bahkan selera makan. Sebagaimana dinyatakan oleh McQuail (1987: 36), ciri utama kebudayaan pop ini adalah orisinalitas yang spontan, eksistensinya yang berlangsung terus dalam kehidupan sosial dengan perniknya yang beraneka dalam wujud bahasa, musik, tatacara dan sebagainya. Dibandingkan dengan kebudayaan tinggi (high culture) yang telah mapan, kebudayaan pop lebih menekankan pada kemampuannya untuk mengkomunikasikan produk-produk dan segala aktivitasnya dibandingkan penilaian dan penghargaan.
1.2.3.5 Budaya Alternatif Seseorang dapat hidup di berbagai budaya yang melingkupinya, dan bermobilitas tinggi sehingga sering berada di lingkungan yang berbeda-beda dalam kurun waktu yang singkat. Hal itu dapat menyebabkannya kehilangan jati diri. Menurut pendapat penulis individu tersebut hidup dengan ‘budaya alternatif’ (alternative cultural). Demikian pula dengan adanya terpaan pesan yang bertubitubi melalui berbagai macam media dan nyaris diterima setiap detik, maka subkelompok-subkelompok yang ada bisa jadi tidak lagi memiliki ciri budayanya sendiri. Masyarakat masa kini sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman, utama-
82
nya kemajuan teknologi dan pengaruh-pengaruh modernitas lainnya. Penulis katakan bahwa budaya masyarakat sekarang lebih bersifat budaya alternatif. Perkembangan dan kemajuan teknologi telah menyebabkan terjadinya transformasi budaya melalui radio, televisi, film, surat kabar, majalah, facsimile, telepon genggam, dll, sehingga terjadilah perubahan terhadap nilai-nilai budaya yang asli menjadi tidak asli seratus persen. Contoh, karena keterbatasan waktu dan ruang, seperti siaran televisi, maka pertunjukan wayang kulit yang seharusnya dilakukan selama semalam suntuk, dibuat hanya untuk 1 atau 2 jam saja. Artinya, bahwa budaya masyarakat sekarang lebih bersifat budaya alternatif. Pakempakem cerita yang asli dikurangi, dipersingkat atau bahkan dihilangkan untuk menyesuaikan dengan alokasi waktu yang tersedia, sehingga ada pesan-pesan simbolik yang tidak tersampaikan kepada audience. Disebabkan oleh kemajuan teknologi maka orang tidak lagi menonton pertunjukan wayang kulit, ketoprak, lenong, jaipongan, tayub dan seni budaya sejenisnya di panggung pertunjukkan di luar rumah, sehingga ada budaya-budaya lain seperti kebiasaan berkumpul sesama warga dan “melek” bersama tidak dilakukan lagi. Hal tersebut dapat mengurangi makna kebersamaan dan keguyuban masyarakat karena komunikasi sosial nyaris tidak terjadi lagi. Dengan kata lain telah terjadi kecenderungan mengabaikan keaslian atau kemurnian budayanya sendiri. Akibat dari “media invasion” atau “media colonialsm” menurut Ralph Harper (1994) telah terjadi akulturasi budaya di antara budaya dari luar dengan budaya lokal. Interaksi budaya ini menurut Harper adalah “... is more a matter of supply and demand economics to which the broadcasters and au-
83
diences of the host country responds positively and to which the authorities of the host country do not respond negatively”. Menurut Harper, invasi media atau kolonialisme media adalah lebih sebagai perkara tentang pasokan dan permintaan ekonomik dimana pelaku bisnis penyiaran dan khalayak setempat menanggapi secara positif dan penguasa setempat tidak menanggapi secara negatif. Artinya, bahwa budaya dari luar yang berwacana ekonomi, tidak ditolak atau dengan kata lain diadopsi oleh budaya lokal. Budaya alternatif dapat menjadi pilihan ketika masyarakat sudah semakin jemu dengan budayanya sendiri. Kejenuhan yang disebabkan oleh munculnya mitos-mitos baru yang diajarkan oleh siaran televisi membuat orang merasakan bahwa hidup modern adalah bersifat semu. Banyaknya saluran media baik yang bersifat “personal” atau “masses” mengajarkan budaya-budaya baru yang sebelumnya belum pernah diketahui atau dirasakan. Persaingan-persaingan
pribadi,
kelompok,
golongan,
atau
bangsa,
menyebabkan perlunya suatu alternatif solusi untuk mengakomodasi setiap kepentingan dan budaya yang berbeda-beda. Solusi alternatif diperlukan karena akan terjadi saling mempengaruhi, dan muncullah pilihan baru, budaya alternatif atau budaya semu. Dikatakan semu karena manusia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri, tetapi dikendalikan oleh agenda yang dibuatnya sendiri atau dibuat oleh orang lain. Manusia telah dikendalikan oleh tayangan iklan yang menggebu, oleh informasi-informasi yang tidak pernah berhenti, oleh medianya itu sendiri dan oleh jaringan informasi dan komunikasi, dan menjadi adiktif karenanya.
84
1.2.3.6 Etika Komunikasi dan Landasan Filsafatnya. Setiap pencarian, pembuatan dan penyampaian pesan melalui media massa tidak terlepas dari masalah etika, khususnya etika komunikasi. Setiap kegiatan jurnalistik diatur oleh regulator (pemerintah) dan asosiasi profesi melalui undangundang, peraturan pemerintah, pedoman perilaku, atau kode etik jurnalistik. Program acara siaran yang dikategorikan sebagai program faktual, harus mematuhi rambu-rambu yang ditetapkan agar tidak terjadi pelanggaranpelanggaran terhadap norma-norma sosial, agama, tradisi, dan juga terhadap regulasi atau hukum positif yang berlaku. Kata “etika”berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos (bentuk tunggal) atau etha (bentuk jamak). Kata itu pada awalnya sekali berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam sejarah perkembangannya kemudian, akhirnya kata itu berarti moral. Istilah moral sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata mos (tunggal) atau mores (jamak), yang awalnya juga berarti adat kebiasaan. Dengan kata lain, akar kata “etika” sama dengan akar kata “moral”, tetapi yang pertama berasal dari bahasa Yunani dan yang kedua dari bahasa Latin. (Sukardi, 2008: 3). Etika adalah salah satu cabang filsafat tertua yang merupakan sistem nilai yang berisi pedoman dasar yang mengatur tingkah laku suatu masyarakat. Filsafat, menurut Filsuf Yunani Aristoteles, adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan). (Surajiyo, 2007: 3). Jadi menurut Aristoteles, etika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang berlandaskan filsafat. Etika, menurut Sukardi (2008:3) adalah kumpulan nilai-nilai moral bagi suatu kelompok masyarakat atau profesi tertentu yang dibuat dari, oleh, dan untuk masyarakat atau profesi itu sendiri yang terutama berasal dan diukur
85
berdasarkan hati nurani pengemban profesi tersebut. Merujuk pada uraian tersebut di atas, maka etika dalam penelitian ini lebih bersifat etika profesi, yaitu bagaimana komunikator yaitu kru pemroduksi acara infotainment bersikap dan berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah profesinya, utamanya kode etik jurnalistik. Para kru infotainment melakukan kegiatan komunikasi melalui program yang mereka buat dan tayangkan. Membuat program acara siaran yang ditayangkan melalui media massa tentu terikat oleh aturanaturan tertentu termasuk di dalamnya etika komunikasi. Menurut Verderber (1978 : 313) sebagaimana dikutip oleh Mulyana dalam Kata Pengantar Buku “Etika Komunikasi” Richard L. Johannesen (Editor: Malik dan Mulyana, 1996: v) “Etika adalah standar-standar moral yang mengatur perilaku kita: bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak”. Etika pada dasarnya merupakan dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab, antara tujuan yang hendak dicapai dan cara untuk mencapai tujuan itu. Ia berkaitan dengan penilaian tentang perilaku benar atau tidak benar, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas, yang berguna atau tidak berguna, dan yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. (Johannesen, 1990; Editor: Malik dan Mulyana, 1996: v). Etika berada di antara kebebasan di satu sisi dan tanggung jawab di sisi lain. Setiap produser program acara infotainment mempunyai kebebasan untuk melakukan apa saja dalam membuat acaranya, tetapi dia mempunyai tanggung jawab baik secara hukum maupun secara moral atas apa yang dilakukannya. Dia boleh saja berusaha untuk mendapatkan rating yang tinggi sehingga akan memasukkan banyak iklan dan keuntungan, tetapi dia tidak dapat melakukannya secara tidak benar menurut kaidah regulasi dan norma yang berlaku. Produsen
86
acara infotainment seyogyanya dapat membedakan materi-materi mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, serta mana yang berguna dan mana yang tidak berguna untuk diliput dan disampaikan kepada penonton. Haryatmoko mengutip pendapat Boris Libois (1994:3) menjelaskan tiga syarat atau hal mengapa penerapan etika komunikasi itu mendesak. Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Padahal media mudah memanipulasi dan mengalienasi audiens. Dengan demikian, etika komunikasi mau melindungi publik yang lemah; Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Salah satunya adalah mengingatkan tendensi korporatis para wartawan media besar untuk memonopoli kritik. Sementara praktek mereka tidak mau dikritik. Jangan sampai semua bentuk kritik terhadap media langsung dimasukkan ke dalam stigma pembatasan atau pengebirian kebebasan pers. Jadi, tujuannya justru untuk masa depan pers sendiri dengan menagih tanggung jawab negara. Ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertahankan kredibilitas pers di depan publik, tujuan media sebagai instrumen pencerahan kurang mendapat perhatian. Padahal nilai dan makna melekat pada tujuan suatu tindakan, sedangkan logika instrumental sering menjadi sarana, cara atau instrumen sebagai tujuan pada dirinya. (Haryatmoko, 2007:38). Mengacu pada uraian di atas, maka etika komunikasi layak diterapkan dan dijadikan acuan dalam memroduksi acara televisi, khususnya infotainment. Tujuannya antara lain untuk mengurangi atau menghilangkan berita-berita ghibah (gosip) dan namimah (penghasutan atau adu domba) yang sering ada dalam paketpaket acara infotainment di televisi. Menurut Haryatmoko (2007:39): Logika instrumental dalam dunia media terkait dengan determinisme ekonomi dan teknologi. Namun, etika komunikasi ingin mengoreksi agar kedua determinisme ini jangan dijadikan alibi tanggung jawab wartawan dan editor untuk memberikan pembenaran kekeliruan atau kepentingan mereka. Memang benar kadang-kadang sulit untuk mendamaikan hak publik akan informasi yang benar dan kepentingan perusahaan pers. Para
87
wartawan atau editor sering mendapat tekanan dari pimpinan perusahaan atau pemegang saham.
Pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi dalam program acara infotainment di televisi dipengaruhi oleh perilaku para pesohor yang diliput, para kru produksi atau kerabat kerja, dan teknologinya. Industri media televisi adalah bisnis padat modal dengan persaingan yang sangat ketat. Industri media massa bersifat kapitalistik dan untuk mencapai profit yang sebanyak-banyaknya menggunakan berbagai cara. Penelitian ini akan membahas masalah pergeseran nilai budaya dan pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment di televisi mulai dari proses sampai dengan hasil produksi yaitu output yang tampak di layar televisi. Etika adalah salah satu cabang filsafat tertua yang menyelidiki tentang hidup dan kehidupan manusia dan menghubungkannya dari masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan mempunyai obyek penelitian atau obyek formal berupa “manusia” yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang pembahasannya dapat sampai ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya. (Surajiyo, 2007:9). Untuk dapat mencapai hakikat atau esensi dari obyek formalnya,
filsafat
memerlukan
metode-metode
tertentu
sebagai
alat
pendekatannya. Anton Bakker (1984 : 21-22) mengutip Runes yang menguraikan 10 (sepuluh) metode filsafat dalam Dictionary of Philosophy sebagai berikut: 1. Metode Kritis : Socrates, Plato Bersifat analisis istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika, yang menjelaskan keyakinan, dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat.
88
2. Metode Intuitif: Plotinus, Bergson Dengan jalan introspeksi intuitif, dan dengan pemakaian simbol-simbol diusahakan pembersihan intelektual (bersama dengan persucian moral), sehingga tercapai suatu penerangan pikiran. Bergson: dengan jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan. 3. Metode Skolastik: Aristoteles, Thomas Aquinas, Filsafat Abad Pertengahan Bersifat sintetis-deduktif. Dengan bertitik tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik kesimpulankesimpulan. 4. Metode Geometris: Rene Descartes dan Pengikutnya Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan hakikat-hakikat ‘sederhana’ (ide terang dan berbeda dari yang lain); dari hakikat-hakikat itu dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya. 5. Metode Empiris: Hobbes, Locke, Berelay, David Hume Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide) dalam introspeksi dibandingkan dengan cerapancerapan (impresi) dan kemudian disusun bersama secara geometris. 6. Metode Transendental: Immanuel Kant, Neo-Skolastik Bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu, dengan jalan analisis diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian sedemikian. 7. Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atas fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni. 8. Metode Dialektis: Hergel, Marx Dengan jalan mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri, menurut triade tesis, antitesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan. 9. Metode Neo-Positivistis Kenyataan dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuian positif (eksakta). 10. Metode Analitika Bahasa: Wittgenstein Dengan jalan analisapemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis. (Surajiyo, 2007: 10-11)
89
Memperbandingkan paradigma yang dipergunakan di dalam penelitian ini yaitu paradigma kritis dengan kesepuluh metode filsafat tersebut di atas, maka penulis beranggapan bahwa Metode Filsafat Kritis dari Socrates dan Plato adalah sesuai dengan maksud dilakukannya penelitian ini. Metode yang dikemukakan oleh Socrates dan Plato bersifat praktis, dan dijalankan dalam percakapanpercakapan. Metode ini tidak menyelidiki tentang fakta empirik, tetapi lebih menganalisis berbagai pendapat dan aturan-aturan yang ada baik yang bersifat hukum positif maupun yang berupa kode etik, norma, ataupun hukum konvensional. Metode Socrates tersebut biasanya disebut dialektika karena dialog atau wawancara mempunyai peranan hakiki di dalamnya. Dalam suatu kutipan yang terkenal dari dialog Theaitetos, Socrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya, yaitu maieutike tekhne (seni kebidanan). Seperti ibunya adalah seorang bidan, tetapi Socrates tidak menolong badan bersalin, melainkan Socrates membidani jiwa-jiwa. Socrates sendiri tidak menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain. Dengan pertanyaan lebih lanjut ia menguji nilai pikiran yang sudah dilahirkan. Dengan cara dialog tersebut Socrates menemukan suatu cara berpikir induksi, maksudnya berdasarkan beberapa pengetahuan mengenai masalah-masalah khusus memperoleh kesimpulan pengetahuan yang bersifat umum. (Sudarsono, 1993:88-90 dalam Surajiyo 2007:11-12)
Plato (427 SM - 347 SM) sebagai murid dari Socrates (470 SM - 399 SM) memaparkan pemikiran gurunya bahwa “dalam mencari kebenaran, seseorang butuh orang lain, yang metodenya disebut maieutik. Jalan yang ditempuh untuk mencari kebenaran adalah dengan metode induksi dan definisi. Induksi di sini adalah perbandingan secara kritis” (Syam, 2010 : 33). Memperhatikan uraianuraian tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan paradigma kritis. Metode Kritis dari Socrates menganalogikan atau menjelaskan bahwa peneliti tidak menyampaikan pengetahuan kepada para infor-
90
man, tetapi melalui dialog atau wawancara maka peneliti berusaha untuk menggali pengetahuan-pengetahuan dari para informan. Informasi
yang diperoleh
dikumpulkan untuk kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Terminologi etika berkaitan dengan tingkah laku atau perbuatan baik buruk manusia menyangkut sikap, kata-kata, gerakan atau sebuah karya. Baik atau buruk perbuatan manusia lebih dapat diberlakukan terhadap perbuatan yang secara sadar
dilakukan.
Menurut
Surajiyo
dalam
Buku
Filsafat
Ilmu
dan
Perkembangannya di Indonesia: “ Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada”.
(Surajiyo, 2007: 147). Lebih lanjut Surajiyo mengutip pendapat Frans
Magnis Suseno (1987: 14) yang membedakan antara ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. (Surajiyo, 2007:147). Mencermati pendapat tersebut, maka meskipun dikatakan bahwa etika sama dengan moral, tetapi sesungguhnya berbeda. Etika adalah sebuah ilmu sedangkan moral adalah ajaran, tetapi keduanya berkaitan erat satu sama lain. Ketika etika komunikasi bergeser, maka itu menyangkut moralitas para pelakunya. Etika komunikasi berkaitan dengan moralitas, profesi, hukum, norma, tradisi, dan dengan agama. Etika komunikasi yang baik dan benar sangat relatif,
91
tetapi setidaknya orang dapat merasakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Seseorang dikatakan beretika baik ketika moralnya baik, dan dikatakan tidak beretika ketika moralnya tidak baik. Penelitian ini berusaha untuk mencari dan mendapatkan kebenaran atas terjadinya pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment televisi dengan menggunakan teori kritis termasuk strukturalisme dan pascastrukturalisme yang landasan filsafatnya adalah Metode Kritis-nya Socrates dan Plato.
1.2.4 Kerangka Pikir Dalam bagian kerangka pikir ini pembahasan berkisar tentang pergeseran nilai budaya, perubahan etika komunikasi dalam acara infotainment, dan pembatasan-pembatasan dalam berkebudayaan dan transformasi peran subyekobyek berita acara infotainment televisi. Berangkat dari diskusi mendalam pada kerangka konseptual mengenai masalah privasi dan hak privasi serta budaya dan kebudayaan, maka akan dibahas lebih fokus tentang perubahan atau pergeseran nilai-nilai budaya maupun terjadinya perubahan etika komunikasi dalam infotainment.
1.2.4.1 Pergeseran Nilai Budaya Pengertian budaya dan kebudayaan telah dibahas dari berbagai teori dan pendapat. Namun melihat perkembangannya, kebudayaan telah bergeser dari budaya klasik dan tradisional ke arah budaya modern, dimana terdapat normanorma atau nilai-nilai yang cenderung diabaikan karena alasan kemajuan zaman,
92
pengaruh teknologi baru utamanya media TV atau kepentingan ekonomi dan popularitas. Pergeseran budaya terjadi karena nilai-nilai tradisional yang dianut masyarakat tidak lagi berkesinambungan, utamanya karena setiap generasi semakin tidak memahami atau tidak mewarisi lagi nilai-nilai tradisi dari generasi sebelumnya secara utuh.
Selain mobilitas berbagai sektor kehidupan yang
semakin dinamis, pengaruh perkembangan teknologi mendorong melunturnya budaya leluhur pada generasi berikutnya. Berlandaskan pada pendapat tokoh-tokoh pemikir baik dalam Kajian Kritis, Stukturalisme, maupun Pascastrukturalisme di bagian sebelumnya, penulis menggambarkan tentang pergeseran tersebut adalah sebagai pergeseran dari “Paradigma Lama” ke “Paradigma Baru”. Pergeseran nilai ini diperani oleh media massa (teknologi komunikasi dan informasi), yaitu perubahan dari “Budaya Tradisional” ke “Budaya Kontemporer”, dan perubahan dari “Etika Komunikasi Tradisional” ke
“Etika Komunikasi Kontempoter” yang dipengaruhi oleh
terjadinya perubahan paradigma budaya tersebut.
Dalam “paradigma lama”,
“budaya tradisi-onal” berupa konsep sosio-budaya yang meliputi : sistem-sistem kepercayaan diri (belief); nilai (value) – nilai-nilai normatif; dan sikap (attitude). Proses-proses verbal mencakup bahasa verbal dan pola-pola pikir yang sudah mentradisi, sementara proses-proses nonverbal mencakup perilaku nonverbal, konsep waktu, dan penggunaan ruang yang juga sudah berlaku sesuai dengan norma lama. (Mulyana & Rakhmat, 2006: 25-35)
93
Dalam perjalanan waktu, perkembangan teknologi komunikasi massa khususnya media massa televisi, dimana media televisi sangat berperan dalam hal pencitraan baik perorangan ataupun lembaga sebagaimana telah dinyatakan oleh John Fiske dan Jean Baudrillard, maka media televisi telah ikut berperan menggeser budaya lama ke budaya baru (kontemporer), khususnya budaya kehidupan komunitas para tokoh, pesohor, dan sejenisnya. Secara skematis pergeseran paradigma tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1.2.4.1.
94 Gambar 1.2.4.1
PARADIGMA LAMA BUDAYA TRADISIONAL Konsep sosio-budaya (Mulyana & Rakhmat, 2006): - Sistem-sistem kepercayaan (belief); Privasi hal yg tabu - Nilai (value) nilai2 normatif - Sikap (attitude) Proses-proses verbal: - Bahasa verbal - Pola-pola berpikir Proses-proses nonverbal: - Perilaku Nonverbal; - Konsep waktu; - Penggunaan ruang
PARADIGMA BARU
FUNGSI MEDIA MASSA (TEKNOLOGI KOMUNIKASI & INFORMASI)
BUDAYA KONTEMPORER - Adanya perbedaan & persamaan diantara kelompok2 sosial; - Identitas kelompok sosial; - Cara bahasa digunakan utk mengontruksi makna representasi; - Produksi budaya (baru); - Konsumsi dan komoditas; - Regulasi; - Praktik2 sosial. - Pertarungan (persaingan) popularitas (Fiske, 1987) - Menafikkan masalah privasi & hak privasi; Privasi utk ajang promosi diri
TEORI KRITIS: Strukturalisme Mazhab Frankfurt Pascastrukturalisme ETIKA KOMUNIKASI TRADISIONAL - Etika Universal - Etika lokal (culture bound) relative - Standar-standar moral, idealisme (Boris Libois,1994:3 dlm Haryatmoko2007: 38) - Kekuasaan dan efek media thd publik; - Etika Komunikasi menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggungjawab; - Menghindari dampak negatif dari logika instrumental.
FUNGSI MEDIA MASSA (TEKNOLOGI KOMUNIKASI & INFORMASI)
ETIKA KOMUNIKASI KONTEMPORER - Etika Universal Etika maya - Typications dr stock of preconstituted knowledge - Business (economic) or personal interest? - Kapitalisme (Jean Baudrillard) - Melemahnya kepekaan thd etika jurnalisme; - Standar nilai thd prinsip pelayanan publik dan norma obyektif jurnalisme diabaikan;
PARADIGMA PERGESERAN NILAI BUDAYA DAN ETIKA KOMUNIKASI
95
Dalam “paradigma baru”, “budaya
kontemporer” meliputi adanya
perbedaan dan persamaan di antara kelompok-kelompok sosial; identitas kelompok sosial, cara bahasa digunakan untuk mengkonstruksi makna representasi; adanya produksi budaya baru; konsumsi dan komoditas; regulasi; dan praktik-praktik sosial. Komoditas program acara televisi yang sejenis dengan opera sabun (soap opera) menjadi sangat laku dan menghibur publik, utamanya publik kalangan menengah ke bawah. Karena terbatasnya waktu siaran dan kesempatan, maka terjadi semacam pertarungan (persaingan) popularitas di antara para pengguna media (segmen intelektual yang memanfaatkan potensi media massa) dan persaingan antara lembaga penyiaran (stasiun televisi pada pangsa pasar yang sama). Pengaruh perubahan budaya lama (tradisional) ke budaya baru (kontemporer) mempengaruhi etika komunikasi massa dari etika komunikasi tradisional baik yang berlaku universal maupun lokal, ke etika komunikasi kontemporer, termasuk etika komunikasi di dunia maya. Pergeseran-pergeseran budaya dan etika komunikasi tersebut akan dianalisis dengan Teori Kritis. Teori Kritis atau Teori Sosial Kritis, meliputi pemikiran aliran Strukturalisme termasuk Neo Marxisme/Mazhab Frankfurt, dan Pascastrukturalisme. Teori-teori pendukung yang terkait dengan teori kritis antara lain tentang Teori Budaya Populer (Pop Culture) dan Teori
Psycho Analysis dari Sigmund Freud dan pengikutnya.
Masyarakat sudah menjadi bagian dari budaya massa atau budaya populer dengan menerima apapun yang disajikan dalam tayangan acara infotainment. Apakah dengan kondisi tersebut dapat diartikan bahwa ada pergeseran nilai buda-
96
ya dalam kehidupan pascamodern masyarakat kita?
Lantas, sejauhmana
pengaruh kapitalisme terhadap nilai-nilai budaya dan sekaligus etika komunikasi dewasa ini?. Apakah benar bahwa pergeseran nilai budaya tersebut disebabkan ketersediaan teknologi dan fungsi-fungsinya? Kini orang atau kerabat tidak lagi perlu datang atau bertemu langsung untuk bersilaturahim pada hari raya Lebaran atau perayaan Natal, tetapi cukup dengan berkirim pesan singkat melalui SMS (Short Message Service) atau e-mail. Informasi dapat dikirimkan dan diterima dalam waktu yang relatif sangat singkat, sambil jalan atau dalam perjalanan dengan teknologi Blackberry. Tetapi sesungguhnya kita telah kehilangan sesuatu, yaitu kekeluargaan dan keakraban di antara sesama famili atau kerabat dalam pengertian secara fisik. Mengutip tulisan Sudiyanto (1994: 4-5), di antara yang memengaruhi terjadinya pergeseran budaya, dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek budayanya itu sendiri, aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek politik. Dari segi budaya, karena meningkatnya mobilitas fisik, mobilitas sosial dan mobilitas psikis. Meningkatnya mobilitas fisik, yaitu perpindahan secara fisik individu dan keluarganya ke kota. Kemudian meningkatnya mobilitas sosial, yaitu perpindahan lapangan kerja dari sektor pertanian ke industri/pabrik-pabrik. Sedangkan meningkatnya mobilitas psikis, adalah penyesuaian dengan mekanisme cara hidup modern. Sementara dari aspek sosial, pengaruh tersebut karena meningkat-nya tata hubungan sosial, menyurutnya masyarakat “guyub”, dan meningkatnya egoisme terhadap media. Aspek ekonomi juga sangat berpengaruh terhadap pergeseran budaya, yaitu karena meningkatnya bisnis informasi, meningkatnya persaingan di antara para pelaku ekonomi, dan meningkanya pemilik dan kepemilikan modal.(Sudiyanto,1994: 4-5) Pengaruh aspek politik di antaranya karena meningkatnya campur tangan asing terhadap keputusan politik negara berkembang. Untuk menekan negara dunia ketiga biasanya dikaitkan dengan masalah-masalah hak azasi manusia.
97
Selain itu juga karena meningkatnya dominasi pers barat terhadap pemberitaan negara-negara dunia ketiga. Biasanya sangat merugikan kepentingan negara berkembang karena yang disebarluaskan hanyalah tentang peristiwa kelaparan, bencana alam, atau persaingan antar ras. Meningkatnya mobilitas fisik manusia baik dari desa ke kota, dari satu tempat ke tempat lain, dari kota yang satu ke kota lainnya, atau dari satu negara ke negara yang lain, baik berifat sementara ataupun permanen, sangat memengaruhi perilaku budaya seseorang atau kelompok (keluarga). Mobilitas fisik berkaitan dengan mobilitas psikis, karena di tempat yang baru, seseorang harus menyesuaikan
dirinya
dengan
lingkungan
budaya
yang
baru
sehingga
menyebabkan terjadinya enkulturasi budaya dan akulturasi budaya. Teknologi informasi dan komunikasi berpengaruh kuat terhadap terjadinya pergeseran budaya serta nilai-nilainya, karena dalam konteks mobilitas sosial, terjadi perpindahan lapangan kerja dari pekerjaan masyarakat agraris ke pekerjaan industri elektronik. Tata hubungan sosial berubah, masyarakat “guyub” menyurut, dan terjadi dominasi media terhadap kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Orang tidak lagi merasa perlu bertatap muka langsung secara fisik dengan orang lain, tetapi cukup melalui media baik secara suara saja ataupun secara suara dan gambarnya. Orang bisa menjadi tidak peka atau kurang peduli terhadap lingkungannya karena sedang “dikuasai” oleh media yang digunakannya. Terjadilah perubahan gaya hidup (lifestyle) masyarakat, baik yang terjadi secara wajar (bertahap), maupun yang terjadinya secara loncatan (jumping). Terjadi pergeseran budaya tersebut dapat secara alami (natural), terbawa arus, ataupun karena adanya pemaksaan agar berubah. Sumber-sumber perubahan bisa bera-
98
sal dari dalam diri sendiri dan bisa berasal dari luar diri manusia. Ada kekuatan pendorong dan kekuatan penghambat, dan ada peluang-peluang namun ada faktor keterbatasan. Peneliti berpendapat bahwa faktor perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup lebih mendominasi terjadinya perubahan atau pergeseran nilai budaya yang berkaitan dengan terjadinya perubahan moral masyarakat yang semula berlandaskan pola-pola tradisi menjadi suatu gaya hidup yang dianggap modern. Selain itu pengaruh kapitalisme ekonomi, yaitu meningkatnya bisnis informasi dan persainagn para pelaku ekonomi telah mempengaruhi bentuk penyajian acara dan isinya sebagai bentuk representasi kapitalisme pada program infotainment. Tampak jelas bahwa sebagai media massa, maka televisi telah mengabaikan fungsinya sebagai media pendidikan, dan lebih menekankan pada fungsi hiburan dan informasi dengan mendominasi, memproduksi dan menjual program acara infotainment dengan orientasi keuntungan (komersial) semata dan bagi kepentingan sekelompok orang tertentu.
1.2.4.2 Pergeseran Etika Komunikasi dalam acara Infotainment. Terdapat dua macam etika yang berkaitan dengan nilai dan norma, yaitu etika deskriptif dan etika normatif: Pertama, Etika Deskriptif; Berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika Deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Ia berbicara mengenai kenyataan penghayatan nilai, tanpa menilai, dalam suatu masyarakat, tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia bertindak secara etis. Kedua, Etika Normatif; Berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia, atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia, dan apa tindakan yang seharusnya diambil untuk mencapai apa yang bernilai dalam hidup ini. Etika Normatif berbicara mengenai norma-
99
norma yang menuntun tingkah laku manusia, serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma. Ia menghimbau manusia untuk bertindak yang baik dan menghindari yang jelek; Kedua macam etika tersebut mempunyai perbedaan : Etika Deskriptif memberi fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil. Sedangkan Etika Normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan. Jadi dapat dikatakan bahwa etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang mau kita lakukan dalam situasi tertentu dalam hidup kita sehari-hari. Etika membantu kita untuk membuat pilihan, pilihan nilai yang terjelma dalam sikap dan perilaku kita yang sangat mewarnai dan menentukan makna kehidupan kita”.28 Tidak diragukan lagi bahwa etika komunikasi telah bergeser karena peran media televisi. Namun, tidak berarti pergeseran tersebut menggeser pencarian profit media atas pemasukan pendapatan (revenue) dibandingkan semata-mata untuk memenuhi fungsinya sebagai media untuk perbaikan mutu kehidupan masyarakat. “…., that ethics have become entertainment. Beyond the phenomenal rise of ‘infotainment’ there is the emergence of a whole range of new formats, from docusoaps to reality TV to tabloid talk, here everyday ethical dilemmas are very often the source of conflict and content” (….bahwa etika telah menjadi hiburan.
Di
balik
meningkatnya
acara
infotainment
yang
fenomenal,
bermunculanlah format-format baru, dari dokumenter sabun ke acara realitas TV lalu ke tabloid perbincangan, di sini dilema etika setiap hari sangat sering menjadi sumber dari konflik dan isi acara) 29 Acara infotainment sebagai bagian dari bentuk komunikasi massa tidak lagi sepenuhnya merepresentasikan kebenaran dan nilai-nilai tradisi yang luhur, __________________________________________________________________ 28 29
http://etika-filsafat-komunikasi.blogspot.com/; Sabtu, 15 Maret 2008; 12:08 WIB http://ics.sagepub.com/ by AG. Eka Wenats Wuryanta on April 27, 2009.
100
tetapi lebih bersifat praktik-praktik persuasi demi kuasa ekonomi dan politik. Potret komunikasi yang memburuk ini mengundang pertanyaan, "Apakah etika komunikasi dimungkinkan dalam epistem komunikasi yang menihilkan segala timbang nilai?"30 Haryatmoko menjelaskan bentuk-bentuk dominasi dalam komunikasi media. Bentuk-bentuk dominasi tersebut ditopang oleh logika industri yang mewujud dalam kekerasan simbolik, kekerasan yang menyiratkan persetujuan sang korban. Berita sebagai komoditas dipasok tanpa henti karena naluri konsumsi yang ada dalam diri konsumen. Menurutnya, konsumen kita adalah konsumen yang suka mengintip, sehingga media memanfaatkan kondisi psikis masyarakat dan sekaligus kondisi psikis para pesohor, dan dengan tak henti-henti memasok berita seputar skandal seks, percekcokan, perselisihan, dsb. Keternamaan membuat orang terpaksa memasang dua muka. Sebab itu, semakin alim seseorang, semakin tinggi nilai berita skandal seks yang melibatkannya. Kamera tengah bergerilya memasuki kamar tidur kita. Logika komunikasi adalah logika waktu pendek. Dalam musim teknologi informasi seperti saat ini, kecepatan saji informasi menjadi sangat penting. Karena itu, prinsip pengorganisasian kerja semata mengutamakan tepat waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan. (Haryatmoko, 2007:29) Media televisi berlomba untuk menayangkan topik-topik yang menghangat dan dihangatkan oleh media itu sendiri. Jika suatu cerita tentang selebriti disiarkan kan terus menerus, maka topik tersebut dianggap bagus dan setiap kru infotain__________________________________________________________________ 30
http://ics.sagepub.com/ by AG. Eka Wenats Wuryanta on April 27, 2009.
101
ment mengganggap perlu untuk saling mendahului dalam penyajiannya, meskipun tanpa etika yang benar. Teknologi telah dijadikan semacam “dewa”, yang dapat menjadikan apa saja termasuk mentoleransi bentuk penyajian acara dan isi infotainment. Etika komunikasi bukan lagi merupakan hal yang harus dijunjung atau diperhatikan, melainkan faktor kecepatan penyajian menjadi lebih penting daripada prinsip-prinsip jurnalismenya. Etika komunikasi tradisional sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1.2.4.1, dapat berupa etika universal ataupun etika lokal atau kedua-duanya. Etika ini saling berkait dengan budaya tradisional (paradigma lama), karena masih sangat tergantung pada kondisi sosial budaya masyarakatnya, dimana sistemsistem kepercayaan masih sangat dijunjung tinggi dan dipengaruhi oleh budaya tradisi yang berbau animisme, serta adanya nilai-nilai yang sangat normatif yang mempengaruhi pola sikap dan perilaku anggota atau kelompok masyarakat. Pada paradigma lama, maka etika komunikasi sangat terlihat pada tata cara orang berbahasa dan berpikir, serta mempergunakan anggota tubuhnya sebagai ”gesture”, isyarat untuk mengemukakan sesuatu maksud, dan sebagainya. Etika komunikasi inilah, yang menurut Boris Libois sebagaimana dikutip oleh Haryatmoko sebagai standar-standar moral dan idealisme yang menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab, serta menghindari dampak negatif dari logika instrumental. (Haryatmoko, 2007: 38) Peran media massa dan teknologi komunikasi informatika mengubah etika komunikasi tradisional menjadi suatu bentuk komunikasi kontemporer. Karena kecanggihan teknologi, maka seolah t idak ada lagi batas dan jarak antar wilayah
102
ataupun antar waktu, baik jarak fisik maupun psikis. Etika universal kini identik dengan etika dunia maya. Bahasa komunikasi yang digunakan dalam komunikasi tradisional akan menyesuaikan dengan kapasitas, kemampuan dan fasilitas media yang digunakan. Bahasa tidak lagi mematuhi ”gramatika” dan ”unggah-ungguh” dalam berkomunikasi antara anak dengan orangtua, antara bawahan dengan atasan, dan sebagainya. Bahasa komunikasi menyesuaikan dengan teknologinya. Media menguasai dan merubah perilaku komunikasi manusia, serta mendorong terjadinya kecenderungan penguasaan ekonomi (kapitalisme) dalam bermedia. Dalam kondisi seperti itu, maka terlihat melemahnya kepekaan komunikator dan komunikan terhadap etika jurnalisme. Ada kecenderungan pengabaian terhadap standar nilai atas prinsip pelayanan publik dan norma obyektif jurnalisme. Dalam masalah perubahan atau pergeseran nilai-nilai budaya dan etika komunikasi tersebut dapat dianalisis dengan pemikiran-pemikiran Foucault, Habermas, ataupun Baudrillard.
1.2.4.3 Pembatasan-pembatasan dalam Berkebudayaan dan Transformasi Peran Subyek – Obyek Berita Acara Infotainment Televisi. Kebudayaan,
baik
kebudayaan
tradisional
maupun
kebudayaan
kontemporer, merupakan cara berlaku yang dipelajari. Dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya, Editor T.O. Ihromi : ”kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis” . (Ihromi, 2006 : 18) Perilaku manusia tidaklah sama dengan perilaku makhluk lain. Perilaku manusia berdasarkan apa yang telah atau sedang dipelajarinya, sedangkan perilaku mahluk-mahluk lain adalah berdasarkan nalurinya. Hal ini dibuktikan de-
103
ngan ekperimen-eksperimen dari Pavlov dan Skinner. Ivan Petrovich Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing-anjing atas perilaku instintifnya. Berdasarkan pengkondisian secara klasik (classical conditioning) Pavlov menemukan apabila suatu perangsang (dalam hal ini makanan anjing) di berikan secara berulang-ulang serta dibarengi dengan perangsang penguat (dalam hal ini adalah bunyi bel), maka anjing akan mengeluarkan air liur sebagai respon terhadap rangsangan-rangsangan tersebut. Selanjutnya, meskipun pada saat berikutnya yang dipasang hanya perang-sang penguat yaitu bunyi bel, maka anjing
akan
merespon
perangsang
itu
berdasarkan
instingnya
dengan
mengeluarkan air liurnya.31 Sedangkan Psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner melakukan studi terhadap perilaku instingtif burung merpati dan tikus. Dengan pengkondisian operan Skinner (Skinner’s operant conditioning) yakni suatu bentuk behaviorisme deskriptif
yang mempelajari tingkah laku burung merpati dan tikus dengan
memberikan perangsang tetap dan perangsang-perangsang penguat. Penelitian Skinner tersebut menggunakan ”kotak Skinner”
yang ada pengungkit dan
magasinnya serta ada perangsang penguat berupa butiran-butiran makanan. Tikus yang dimasukkan ke dalam kotak Skinner akan menekan pengungkit, dan magasin dari pengungkit akan mengeluarkan sebutir makanan. Semakin sering tikus menekan pengungkit, maka semakin banyak butir-butir makanan yang keluar. Sedangkan merpati yang dimasukkan dalam kotak tersebut, akan mematuk _________________________________________________________________________________________________________________________
31
http://www.ivanpavlov.com dan http ://nobelprize.org/nobelfoundation/publications/lectures/ index.html. 04-01-2009, 20:15 WIB.
104
satu titik tertentu, dan patukannya akan mengeluarkan sebutir makanan. Semakin sering merpati mematuk titik tersebut, maka semakin banyak butir-butir makanan yang didapatnya. Hukum dasar pengkondisian operan adalah apabila ada satu operan yang diikuti dengan satu penguatan perangsang, maka kecepatan mereaksi akan semakin bertambah.32 Dari kedua eksperimen tersebut terbukti bahwa binatang berbuat lebih berdasarkan instingnya atau nalurinya yang dipelajarinya dari rangsangan yang diterima secara berulang-ulang.
Bukti lain adalah hasil penelitian oleh para
sarjana Jepang pada Japan Monkey Center terhadap perilaku monyet atau kera. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa monyet-monyet mempelajari banyak variasi kelakuan. Kelakuan individu seekor monyet bisa ditiru oleh yang lain sehingga menjadi kelakuan kelompok monyet. Manusia terlahir oleh suatu kondisi atau bentuk kebudayaan tertentu, dan akan berada dalam kebudayaan tersebut sampai akhirnya dia akan menentukan budayanya sendiri.
Menurut Ihromi:
”Semua manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakkan oleh insting dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun mempengaruhi kebudayaan”. ( Ihromi, 2006: 19-20) Pavlov mengemukakan teorinya berupa kewajaran efek behavior, dimana interpretasi atas model ”Stimulus – Respons” (S – R Model) responnya hanyalah akibat dari rangsang syaraf saja, sementara teori Skinner adalah tentang manipulasi efek behavior, dimana interpretasinya hampir sama dengan Pavlov yaitu respon adalah berupa respon langsung perilaku. Bahwa manusia digerakkan _________________________________________________________________________________________________________________________ 32
http://www.simplypsychology.pwp.blueyonder.co.uk/operant-conditioning.html; dan http:// www.sntp.net/behaviorism/ayn_rand_skinner.html. 04-01-2009, 20:35 WIB.
105
juga oleh insting dan naluri, dapat dilihat dari penelitian Watson dan Bandura. John Broadus Watson dalam penelitiannya terhadap seorang anak bernama Albert mengemukakan teori manipulasi efek behavior terhadap manusia dengan interpretasi stimulus – respons, dimana respon yang diberikan adalah respon perilaku langsung yang mekanistis instintif. Penelitian tersebut sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Albert Bandura dengan teorinya peniruan model (social learning). Menurut teori social learning, manusia mencari model untuk ditiru perilakunya, dengan interpretasi menggunakan model ”Stimulus – Organism – Response” (S-O-R). Respon yang diberikan adalah meliputi kognisi, afeksi dan konasi. Manusia dalam berkebudayaan tidak akan mengalami kebebasan yang mutlak, karena dia hidup tidak sendirian, tetapi berada dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Oleh karenanya, budaya seseorang akan berubah sesuai dengan lingkungan dan kebutuhannya. Selama berkebudayaan, manusia dibatasi oleh banyak hal, utamanya aturan-aturan baik yang bersifat hukum positif dan mengikat dengan sanksi-sanksi formal, juga norma-norma sosial, adat istiadat, serta aturan menurut agama yang dianutnya. Bagi yang beragama Islam akan berpedoman kepada Kitabullah Al-Qur’anul Karim dan Sunah Rasul. Demikian juga bagi penganut agama-agama lain tentu berpedoman kepada kitab sucinya masing-masing. Setiap perilaku manusia akan dikaitkan dengan norma-norma dan etika tersebut. Apakah perbuatan seseorang sesuai dan tidak melanggar aturan atau norma dan etika, atau dianggap menyalahi sehingga dapat dikenakan sanksi hukum atau sanksi moral saja?. Bagaimana dengan sikap dan perilaku ”subyek”
106
dan ”obyek” dalam acara infotainment televisi? Adakah perbuatan dan kegiatan yang ditayangkan dapat dikenakan sanksi? Jika ya, maka apakah kategori kesalahannya?. Uraian selanjutnya menyatakan bahwa ”faktor utama yang membatasi kemungkinan variasi dalam cara berlaku perseorangan adalah kebudayaan itu sendiri”. Berbicara mengenai pembatasan-pembatasan kebudayaan, dalam Ihromi (2006:38) diuraikan sebagai berikut : Ahli sosiologi Perancis yang terkenal, Emile Durkheim, menekankan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berada di luar kemauan kita, di luar kemampuan perseorangan dan memaksakan kehendaknya pada para individu. Kita tidak selalu merasakan pembatasan-pembatasan kebudayaan itu, karena pada umumnya kita mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang dituntutnya. Tetapi jika kita coba menentang pembatasanpembatasan kebudayaan itu, kekuatannya menjadi nyata. Ada 2 macam pembatasan kebudayaan: pembatasan langsung dan yang tidak langsung. Tentu saja pembatasan-pembatasan langsung yang paling jelas. Misalnya jika Anda mengenakan pakaian yang tidak biasa dalam kebudayaan Anda, Anda mungkin dijadikan bahan ejekan dan mungkin agak dijauhi masyarakat. Tetapi kalau Anda hanya memakai sekedar kain cawat, Anda akan mengalami suatu tekanan kebudayaan yang lebih keras dan lebih langsung misalnya ditangkap karena memperlihatkan badan secara kurang sopan. Walaupun bentuk-bentuk pembatasan-pembatasan kebudayaan yang tidak langsung kurang nyata dibandingkan dengan yang langsung, efeknya tidak kurang. Durkheim menulis: Saya tidak wajib berbicara dalam bahasa Perancis dengan orang-orang setanah air saya, ataupun mempergunakan mata uang yang berlaku, tetapi tidak ada jalan lain untuk saya. Jika saya mencoba mengelakkan hal yang perlu ini, usaha saya akan gagal sama sekali. Dengan perkataan lain: Seandainya Durkheim memutuskan untuk berbicara dalam bahasa Serbo Croatian dan bukan dalam bahasa Perancis, tidak ada orang yang akan menghalanginya. Tetapi tidak ada seorang pun yang akan memahaminya. Dan sekalipun dia tidak akan dipenjarakan karena mencoba membeli bahan makanan dan minuman dengan mata uang Iceland, dia akan mengalami banyak kesulitan dalam membujuk pedagang-pedagang setempat untuk mau menjual bahan makanan kepadanya. (Ihromi, 2006: 26-27) Pembatasan-pembatasan kebudayaan baik yang langsung ataupun yang tidak langsung dapat datang dari aturan perundang-undangan yang berlaku, norma
107
agama, norma sosial, kode etik profesi, kode perilaku, dan sejenisnya, yang dapat dikenakan kepada individu (perseorangan) maupun terhadap kelompok. Bahkan kalau menurut uraian Durkheim tersebut di atas, maka sebenarnya peran individu seseorang sangat penting dalam memutuskan dan menentukan apakah suatu budaya akan dianutnya atau tidak. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka para pelaku bisnis infotainment dan para ”subyek” serta ”obyek” berita, sebenarnya dapat melakukan semacam ”self consideration” dan ”self judgment” dari diri masing-masing terhadap apa yang dilakukannya di layar televisi. Namun karena dominasi kepentingan seperti popularitas (ketenaran), ekonomi (harta), politis (jabatan, tahta), dan kehormatan (status sosial tinggi) secara sadar dilakukanlah apa yang menurutnya harus dilakukan, meskipun harus membentuk suatu budaya baru. Terbentuknya budaya baru menunjukkan bahwa budaya selalu mengalami perubahan meskipun harus melalui proses enkulturasi dan akulturasi. Namun ada pola-pola budaya yang ideal dan sangat kuat melekat dalam diri pribadi seseorang atau dalam kelompok masyarakat, sehingga pola budaya tersebut tetap eksis meskipun tidak sepenuhnya. Budaya yang tampak di dalam acara infotainment tidak jelas berasal dari mana, tetapi bisa jadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi penyiaran, maka seorang ”subyek” bisa berubah menjadi ”obyek” karena faktor kejenuhan atau bosan atau karena perlawanan terhadap pencari berita gosip. Perlawanan dilakukan karena seseorang merasa bahwa hak privasinya diintervensi sehingga yang bersangkutan kehilangan kebebasan, terungkap masalah pribadinya, bahkan termasuk aibnya. Kasus Luna Maya dengan kru infotainment adalah sebuah
108
contoh perlawanan tersebut. Sebaliknya, bisa juga seorang ”obyek” berita yang semula tidak tahu menahu bahwa dirinya dijadikan target berita, kemudian menjadi tahu dan berubah menjadi ”subyek” berita yang secara sadar memanfaatkan potensi layar televisi untuk meraih apa yang diinginkannya. Diantara apa yang bisa diperoleh melalui layar televisi adalah popularitas. Popularitas akan berdampak ekonomis, politis, dan sosial. Secara ekonomi, popularitas dapat menghasilkan revenue (harta) karena seseorang dikenal oleh kalangan luas, maka kemungkinan mendapatkan ”order” atau ”job” sesuai bidangnya atau bidang lainnya, akan terbuka lebar. Dari aspek politis, karena ketenarannya maka seseorang akan lebih mudah memperoleh simpati atau atensi publik terhadapnya. Kesempatan seperti itu dimanfaatkan betul oleh kalangan selebriti untuk meraih suara dalam pemilihan umum legislatif atau eksekutif. Dari popularitas selebriti telah terbukti banyak tahta (jabatan) penting dipegang oleh mereka tanpa harus menapakinya dari bawah (karir). Ditinjau dari aspek sosial-budaya, maka popularitas akan menjadikan seseorang sebagai ”public figure”. Sebagai figur publik, maka seseorang akan terangkat status sosialnya. Pada akhirnya, seseorang pesohor akan lebih mudah meraih simpati publik khususnya dari masyarakat kalangan bawah yang melakukan pemilihan terhadap calon hanya berdasarkan ketenarannya. Dalam Gambar 1.2.4.3-1 digambarkan tentang perubahan budaya dari sisi peran sebagai ”subyek” dan ”obyek”.
109 Gambar 1.2.4.3-1
JENUH/ TAK PEDULI / MELAWAN MEDIA KEHILANGAN KEBEBASAN/ PERLINDUNGAN (THE RIGHT TO BE LET ALONE/THE RIGHT OF PROTECTION)
TIDAK PEDULI BAHWA MENJADI OBYEK BERITA INFOTAINMENT
TERJADI PELANGGARAN ATAS PRIVASI/ HAK PRIVASI (THE RIGHT OF PRIVACY)
OBYEK ACARA/LIPUTAN INFOTAINMENT
TAK SADAR MEDIA
SUBYEK SADAR MEDIA MENGETAHUI MENJADI OBYEK BERITA
POPULARITAS
EFEK EKONOMIK: REVENUE/ HARTA
PEMANFAATAN MEDIA
EFEK POLITIS: JABATAN/ TAHTA
MENJADI SADAR MEDIA
EFEK SOSIAL: KEHORMATAN/ STATUS SOSIAL TINGGI
TRANSFORMASI PERAN SUBYEK – OBYEK BERITA DALAM ACARA INFOTAINMENT TELEVISI
110
Persaingan popularitas pada individu baik pesohor, presenter, reporter, tokoh masyarakat, ahli agama, pejabat pemerintah, atau kru infotainment melalui layar kaca disebabkan oleh karena banyaknya subyek dan obyek berita yang menunggu giliran liputan untuk ditayangkan.
Gambar 1.2.4.3-2
REGULATOR (Eksekutif, Legislatif)
PERSAINGAN MEDIA PERSAINGAN PROGRAM
BROADCAS TERS (Owner, Producer, Director, Reporter, Editor, etc)
SPONSORS/ ADVERTISER (Pengiklan, Agency)
PERSAINGAN POPULARITAS PERSAINGAN PROGRAM PERSAINGAN MEDIA
Negatif
SIKAP AUDIENCE / Khalayak penonton
RATING/SHARE
PERSAINGAN POPULARITAS
Positif
111
Banyak cara dilakukan oleh para subyek berita infotainment agar dirinya dan kegiatan maupun rahasia kehidupannya dapat diliput dan di ”on air”kan. Ada yang berterus terang membiayai perjalanan peliputan, sebagai subyek sekaligus menjadi reporter atau host suatu wisata atau pengungkapan masalah pribadinya sendiri, dan masih banyak lagi. Selain itu sering terlihat fenomena dramaturgis yang dilakukan oleh para subyek berita maupun oleh kru peliputan. Persaingan popularitas yang lebih bersifat individual ini merupakan bagian dari persaingan program, dan persaingan program merupakan bagian dari persaingan media (industri media). Persaingan-persaingan
menyebabkan
terjadinya
pergeseran
budaya
ataupun etika komunikasi bagi para pelakunya. Persaingan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti regulator baik eksekutif maupun legislatif dengan peraturan perundangan-undangan (hukum positif) dengan sanksi administratif, denda, atau pidananya, dan lembaga Non Departemen (KPI) dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siarannya. Para broadcaster, dalam hal ini termasuk owner (pemilik media), para produser, sutradara, penulis naskah, reporter, editor, dan lain-lainnya, yang tergabung dalam asosiasi industri atau profesi maupun yang tidak. Broadcaster memiliki aturan-aturan mainnya masingmasing, baik aturan yang berkaitan dengan peraihan keuntungan untuk pemupukan kapital, ataupun aturan yang tertuang dalam kode etik dan kode perilaku, yang tidak mempunyai akibat atau sanksi hukum positif, tetapi lebih bersifat sanksi moral saja. Di satu sisi, persaingan dan motif (ekonomi, politik, sosial-budaya) menyebabkan terjadinya pergeseran budaya dan etika komunikasi,
112
di sisi lain, aturan-aturan baik formal maupun non formal membatasi ruang gerak para pelaku bisnis penyiaran. Keberhasilan suatu persaingan sehingga seseorang atau suatu program, maupun suatu stasiun penyiaran
menjadi dominan (viable in the market),
dipengaruhi oleh sikap masyarakat (khalayak penonton). Sikap penonton, seperti dalam skala Likert, ada yang sangat positif, positif, ragu-ragu atau tidak mempunyai sikap, negatif, dan sangat negatif. Dominasi sikap apakah positif ataupun negatif akan mempengaruhi perolehan rating dan share atas program khususnya infotainment. Perolehan rating dan share akan berpengaruh terhadap sikap para penaja iklan (sponsor dan advertiser). Jika rating dan share-nya tinggi, maka mereka akan berani memasang iklan dengan tarif yang ditentukan oleh broadcaster dalam waktu yang lama, sehingga jangka waktu tayang program dipastikan akan berumur lama (puluhan atau ratusan episode). Rating dan share yang tinggi juga memberikan penghargaan dan posisi tinggi bagi para kerabat kerjanya. Dengan rating dan share yang tinggi, maka para selebriti yang terlibat akan memperoleh nilai yang tinggi juga, sehingga yang bersangkutan boleh jadi akan diperhatikan oleh kalangan bisnis terkait dengan memberinya ”order” baru atau pekerjaan lanjutan. Rating dan share yang tinggi membuat seseorang yang tampak di layar kaca menjadi lebih populer dan tenar, menaikkan harga tawar imbalan jasa yang dilakukannya, dan sebagainya. Sebaliknya, dengan rating dan share yang rendah, akan memberikan dampak negatif.
113
Menurut pendapat Michael Faucoult, wacana kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. Novra Hadi menguraikan tentang peran Michael Faucoult dalam mendefinisikan tentang wacana
sebagai new functionalism, Foucault
memulainya dengan analisa wacana atau diskursus yang bersifat politis dan ideologis, terkait dengan elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan. (Eriyanto, 2009: 2) Teori pendukung dalam penelitian ini antara lain adalah Teori Budaya Populer (Popular Culture Theory) dan Teori Psikoanalisis dari Sigmund Freud. Budaya pop sebagai budaya massa bersumber pada kondisi sosial masyarakat, yang dipelajari oleh sosiologi maupun antropologi. Sedangkan Psikoanalisis yang ditemukan dan dikembangkan oleh Sigmund Freud bersumber dari Psikologi dan Psikologi Sosial sering dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi. Para pemikir Mazhab Frankfurt menggunakan filsafat Marxisme seba gai landasan pikiran kritis mereka. Sedangkan sosiologi, antropologi, psikologi dan psikologi sosial merupakan akar ilmu komunikasi. Kajian Budaya Populer dapat ditinjau dari teori-teori Marxisme, Mazhab Frankfurt, Teori-teori Strukturalisme, Feminisme, atau Posmodernisme. Strinati menjelaskan bahwa menurut Mazhab Frankfurt budaya populer adalah budaya massa yang dihasilkan oleh industri budaya, yang mengamankan stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme. Strinati (1995; 2004 ; 2-5) menyatakan bahwa antara Mazhab Frankfurt dengan teori Marxis sebagaimana dikem-
114
bangkan oleh Althusser dan Gramsci memiliki kesamaan-kesamaan diantaranya bahwa konsepsi budaya populer sebagai bentuk ideologi dominan. Menurut Barthes ”sejumlah teori strukturalis memandang budaya populer sebagai suatu ekspresi struktur sosial dan mental universal”. (Strinati, 1995; 2004 : 122-123) Feminisme juga memiliki banyak kesamaan dengan strukturalisme dan Marxisme, utamanya dalam cakupan maupun rentang tema dan pemasalahan yang dibahas. Teori feminis melakukan kritik terhadap keberadaan media massa yang hanya menggambarkan perempuan sebagai representasi-representasi dalam bentuk stereotip-stereotip
yang didasarkan pada daya tarik seksual maupun
kinerja domestik (kerumahtanggaan).
Kaum perempuan sebagai bagian dari
budaya populer seperti ”dianihilasikan atau disirnakan” secara simbolis oleh media massa.
Mengutip penjelasan Gamman dan Marshment dalam Strinati
(2004), bahwa kaum perempuan bersifat subordinat terhadap berbagai kategori maupun aturan. Kaum feminis telah menggunakan karya Gramsci dan Althusser yaitu tentang ”akal sehat” dan ”ideologi” dan karya psikoanalisis
tentang
pemerolehan gender untuk memolitisir kehidupan sehari-hari. (Strinati, 1995; 2004 : 182-185)
Kondisi ini tampak nyata dalam tayangan-tayangan acara
televisi, khususnya dalam acara infotainment. Sedangkan menurut teori postmodernis, ”budaya populer membungkus berbagai perubahan radikal dalam peranan media massa yang menghapuskan pembedaan antara citraan dan realitas”. (Strinati, 1995; 2004 : xxi).
115
Lacan menggunakan metode strukturalis untuk menganalisis pemikiran Freud. Freud menjelaskan tentang tiga arti psikoanalisis, yaitu: pertama, istilah ”psikoanalisis” dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis seperti mimpi atau ”a method of investigation of the mind”, yakni sebuah metode investigasi terhadap pikiran; Kedua, menunjukkan suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh pasien neurosis, atau ”a method of treatment of psychological or emotional illness”, yaitu suatu metode pengobatan untuk penyakit psikis dan emosi. Ketiga, istilah psikoanalisis dipakai dalam arti yang lebih luas, yaitu untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik tersebut diatas, atau ” a systematized set of theories about human behaviour”, yakni satu set tersistematisasi dari teori-teori mengenai perilaku manusia. (Semiun, 2006: 3) 33 Perilaku para ”tokoh” dalam mempromosikan dirinya adalah sejalan dengan permainan panggung yang penuh dengan rekayasa adegan, dan karakterisasi peran, yaitu peran protagonis, antagonis dan tritagonis. Para aktor harus bisa mengelola kesan sedemikian rupa agar apa yang dilakukan efektif dan efisien. Konsep ini dipergunakan untuk memenangkan persaingan-persaingan popularitas, program dan persaingan media.
1.3 Fokus Penelitian Penelitian ini mengkaji mengenai pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi dalam acara infotainment di televisi, yaitu dari budaya dan etika komunika__________________________________________________________________ 33
http://www. wikipedia.org/wiki/psychoanalysis; 07-04-2010, 22:00 WIB.
116
si tradisional yang penuh dengan aturan dan larangan, menjadi suatu bentuk budaya dan etika komunikasi
modern yang memungkinkan segala hal dapat
dilakukan. Selanjutnya ingin mempelajari tentang
maraknya tayangan
infotainment di televisi yang menyebabkan kecenderungan pelaku bisnis penyiaran melakukan komunikasi sesuai dengan keinginan mereka. Karena kepentingan persaingan pasar dan tuntutan bisnis/ekonomi, maka subyek acara yaitu komunitas pesohor atau tokoh memanfaatkan layar televisi untuk ajang promosi diri dengan mengabaikan masalah privasi dan hak privasi mereka yang seharusnya di lindungi. Jadi fokus penelitian ini adalah mempelajari tentang ”bagaimana terjadinya perubahan hak proteksi atas privasi ke arah ajang promosi pribadi dalam acara infotainment di televisi, khususnya mengenai pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi”.
1.3.1
Pertanyaan Penelitian Dari fokus penelitian tersebut diatas, maka pertanyaan-pertanyaan
penelitiannya adalah :
3. Bagaimanakah terjadinya
pergeseran nilai budaya dalam acara
infotainment di televisi?
4. Bagaimanakah terjadinya pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment di televisi?
117
1.4
Metodologi
1.4.1
Paradigma Penelitian Penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mencari, menemukan dan
menguji kebenaran tentang fenomena yang terjadi yang menjadi fokus perhatian penelitian yaitu bahwa telah terjadi pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi dalam acara infotainment televisi, sehingga hak proteksi berubah menjadi ajang promosi pribadi bagi para subyek berita. Model untuk mencari, menemukan dan menguji atau membenarkan tentang kebenaran tersebut merupakan suatu paradigma penelitian komunikasi, yang menurut Bogdan dan Biklen (1982:32) sebagaimana dikutip oleh Moleong (2010:49) adalah “kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian”. Terdapat tiga paradigma penelitian komunikasi yaitu klasik, konstruktivis dan kritis. Paradigma klasik menempatkan ilmu komunikasi seperti ilmu alam; metode yang terorganisasi; logika deduktif; pengamatan empiris; probabilitas; hukum sebab akibat untuk prediksi pola umum (generalisasi). Kemudian paradigma konstruktivis, menempatkan ilmu komunikasi sebagai analis sistematis terhadap socially meaningful action; pengamatan langsung; “alamiah”; penafsiran tentang pelaku sosial dalam mengelola dunia sosial mereka. Sedangkan paradigma kritis, menempatkan ilmu komunikasi sebagai suatu proses kritis yang mengungkapkan the real structures yang ditampakkan dunia materi dengan tujuan memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan manusia (Salim, 2006: 96-102).
118
Paradigma-paradigma tersebut dibedakan menurut dimensi-dimensi yaitu ontologi, epistemologi, metodologi dan aksiologi.
Dimensi ontologi adalah
asumsi tentang “realitas”, sedangkan epistemologi adalah asumsi tentang hubungan antara peneliti dengan yang diteliti. Dimensi metodologi adalah asumsi tentang bagaimana peneliti memperoleh pengetahuan, dan dimensi aksiologi adalah asumsi tentang posisi nilai, etika, pilihan moral peneliti dalam suatu penelitian. Ketiga paradigma dibedakan menurut dimensi-dimensi tersebut di atas. Perbedaan ontologis antara paradigma klasik, konstruktivis dan paradigma kritis adalah: -
-
-
Paradigma Klasik : Critical realism, yaitu realitas “nyata” diatur oleh kaidah yang berlaku universal, walaupun kebenaran diperoleh secara probabilistik; Paradigma Konstruktivis: Relativism, bahwa realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran realitas bersifat relatif, berlaku konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial; Paradigma Kritis: Historical realism, dimana realitas “semu” (virtual reality) yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi, dsb.
Perbedaan epistemologis antara paradigma klasik, konstruktivis dan paradigma kritis adalah: -
-
-
Paradigma Klasik : Dualist/objectivist, adalah realitas objektif, eksternal (di luar diri peneliti); peneliti membuat jarak dengan objek penelitian; Paradigma Konstruktivis: Transactionalist/ subjectivist, bahwa pemahaman realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang diteliti; Paradigma Kritis: Transactionalist/ subjectivist, yaitu hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani nilai tertentu. Pemahaman suatu realitas merupakan value mediated findings;
119
Perbedaan metodologis antara paradigma klasik, konstruktivis dan paradigma kritis adalah: -
-
-
Paradigma Klasik : Interventionist, yaitu pengujian hipotesis dalam struktur hypotetico deductive method; melalui lab; eksperimen atau survei eksplanatif dengan analisis kuantitatif; Kriteria kualitas penelitian: Objectivity, Reliability and validity (internal and external validity). Paradigma Konstruktivis: Reflective/Dialectical,adalah menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti-responden/informan untuk mereduksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif; Kriteria kualitas penelitian: autenticity dan reflectivity; sejauhmana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang dihayati para pelaku sosial; Paradigma Kritis: Participative,adalah mengutamakan analisis komprehensif, konstekstual dan multilevel-analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial; Kriteria kualitas penelitian: Historical situatedness; sejauhmana penelitian memperhatikan konteks historis, sosial budaya, ekonomi dan politik;
Perbedaan aksiologis
antara paradigma klasik, konstruktivis dan
paradigma kritis adalah: -
-
-
Paradigma Klasik : Observer, yaitu nilai, etika, moral harus di luar proses penelitian. Peneliti sebagai disinterest scientist. Tujuan penelitian: eksplanasi, prediksi dan kontrol realitas sosial; Paradigma Konstruktivis: Facilitator, adalah nilai, etika, moral bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan yang diteliti; Paradigma Kritis: Activist, bahwa nilai, etika, moral sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian. Peneliti menempatkan diri sebagai transformative intelectual, advokat dan aktivis. Tujuan penelitian: kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social empowerment; (Salim, 2006: 69-73)
Mencermati perbedaan dimensional antara paradigma-paradigma tersebut di atas, maka paradigma klasik pada dasarnya adalah untuk penelitian kuantitatif
120
karena
realitas “nyata” diatur oleh kaidah yang berlaku universal, meskipun
kebenaran diperoleh secara probabilistik. Selain itu ada jarak antara peneliti dengan obyek penelitian, dan dilakukan pengujian hipotesis baik melalui laboratorium, eksperimen maupun survey eksplanatif. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis merupakan historical realism, dimana realitas “semu” (virtual reality) telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi, dsb. Selain itu, paradigma kritis merupakan suatu transactionalist/ subjectivist, yaitu hubungan antara peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai tertentu serta mengutamakan analisis komprehensif, konstekstual dan multilevel-analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan (partisipative) dalam proses transformasi sosial. Kriteria kualitas penelitiannya historical situatedness, dimana penelitian memperhatikan konteks historis, sosial budaya, ekonomi dan politik. Dalam penelitian dengan paradigma kritis maka nilai, etika, moral sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian. Peneliti menempatkan diri sebagai transformative intelectual, advokat dan aktivis. Tujuan penelitiannya kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social empowerment. Namun pada uraian di bagian depan penelitian ini, dinyatakan bahwa : “Teori Kritis pada dasarnya adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-struktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik. Sifat politis pengetahuan ini berkembang dari atau dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda. Pertama, pemikiran Kant mengenai keterbatasan pengetahuan, yaitu bahwa manusia tidak dapat memahami dunia secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja (parsial). Kedua, pemikiran Hegel dan Marx bahwa teori dan pembentukan teori tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Ilmuwan harus melakukan refleksi terhadap teori atau
121
proses pembentukan teori tersebut. Ketiga, pemikiran Horkheimer yang membedakan teori ke dalam dua kategori, yakni tradisional dan kritis. Teori tradisional menganggap adanya pemisahan antara teoretisi dan obyek kajiannya. Artinya, teori tradisional berangkat dari asumsi mengenai keberadaan realitas yang berada di luar pengamat, sementara teori kritis menolak asumsi pemisahan antara subyek-obyek dan berargumen bahwa teori selalu memiliki dan melayani tujuan atau fungsi tertentu.34 Menurut Ritzer dan Goodman (2007: A.13-A.14), sosiologi adalah ilmu yang berparadigma ganda. Ilmu komunikasi yang berakar pada sosiologi, tentunya juga berparadigma ganda. Dalam paradigma kritis, realitas “semu” (virtual reality) telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi, dsb. Sebagaimana halnya dimensi epistemologi pada paradigma konstruktivis, maka pada paradigma kritis juga terdapat hubungan transaksional subyektif antara peneliti dengan yang diteliti walaupun selalu dijembatani nilai tertentu. Kondisi atau situasi sosial yang diangkat oleh acara infotainment adalah sebuah “simulakrum” yaitu “virtual reality” atau kondisi semu yang menurut pemikiran Baudrillard dikatakan sebagai tahap simulacrum ketiga atau zaman kontemporer. Dikatakannya bahwa kenyataan atau realitas sosial yang terjadi dewasa ini adalah kondisi semu dari kemajuan masyarakat pasca modern yang dikuasai oleh peran-peran iklan, media, informasi, dan jaringan, atau secara umum adalah teknologi informatika. Teknologi telah menawarkan kepada manusia kebahagiaan semu, manusia tergantung pada banyak benda dan “citra diri”.
Kebahagiaan semu banyak ditunjukkan atau direpresentasikan oleh para
__________________________________________________________________ 34
http://id.wikipedia.org/wiki/teori_kritis. 7-04-2010, 21.30
122
intelektual, pekerja seni, pesohor atau selebriti di layar kaca. Mereka bekerja untuk konsumsi, bukan sekedar mencukupi kebutuhan. Karena pada dasarnya kebutuhan hakikinya adalah dikenal luas oleh masyarakat, sehingga citra diri akan dapat memenuhi kebutuhan lainnya yaitu material. Ritzer menyatakan ada tiga paradigma yang mendominasi sosiologi, yaitu paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Tiap-tiap paradigma dianalisis menurut
empat komponen paradigma, yaitu komponen exemplar,
gambaran tentang masalah pokok, metode, dan teori. Peneliti mengutip pendapat Ritzer tersebut dan menggambarkannya dalam Tabel 1.4.1.
123
TABEL 1.4.1 PARADIGMA GANDA SOSIOLOGI
Komponen
Paradigma Definisi Sosial
Fakta Sosial
Perilaku Sosial
Exemplar
Model yg digunakan adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method and Suicide;
Model karya Max Weber tentang tindakan sosial;
Model yg digunakan adalah karya psikolog B.F. Skinner;
Gambaran tentang masalah pokok
Teoritisi fakta sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Penganut paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu;
Karya Weber membantu menimbulkan minat di kalangan penganut paradig ma ini dalam mempelajari cara aktor mendifinisikan situasi sosial mereka dan dalam mempelajari penga ruh definisi situasi sosial terhadap tindakan dan intergrasi berikutnya;
Menurut penganut paradigma ini, masalah pokok sosiologi adalah perilaku individu yang tak dipikirkan. Perhatian utama penganut paradigma ini tertuju pada hadiah (rewards) yg menimbul kan perilaku yang diingin kan dan hukuman(punishment) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan;
Metode
Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinan nya menggunakan metode interview- kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain;
Walau penganut paradigma Metode khusus paradigma ini sangat besar kemungkin ini adalah eksperimen; annya menggunakan metode interview-kuesioner, mereka lebih besar kemung kinannya menggunakan metode observasi ketimbang penganut paradigma lain. Dengan kata lain, observasi adalah metode khusus penganut paradigma definisi sosial;
Teori
Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif teori tis. Teoritisi struktural fung sional cenderung melihat fakta sosial sama kerapian antar-hubungan dan ketera turannya dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Walaupun struk tural-fungsionalisme dan teori konflik adalah teori yang dominan dalam paradigma ini, namun masih ada teori lain, termasuk teori sistem;
Ada sejumlah besar teori yang dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: teori tindakan, interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, dan eksistensialisme;
(Sumber: Ritzer & Goodman, 2007: A.13 – A.15)
Ada pendekatan teoritis dalam sosiologi yg dapat dimasukkan ke dalam judul “Behaviorisme Sosial” Pertama adalah sosiologi behavioral yang berkaitan erat dengan psikologi behaviorisme . Kedua, yang jauh lebih penting, adalah teori pertukaran;
124
Moleong menjelaskan bahwa dari berbagai macam paradigma, maka yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientific paradigm (paradigma keilmuan atau paradigma ilmiah) dan naturalistic paradigm (paradigma alamiah). Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme, sedangkan paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis. (Moleong, 2010:51) Bogdan dan Taylor (1975:2) mengemukakan sejarah kedua paradigma tersebut: Positivisme berakar pada pandangan teoritisi Auguste Comte dan Emile Durkheim pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Para positivis mencari fakta dan penyebab fenomena sosial, dan kurang mempertimbangkan keadaan subyektif individu. Durkheim menyarankan kepada para ahli ilmu pengetahuan sosial untuk mempertimbangkan “fakta sosial” atau “fenomena sosial” sebagai sesuatu yang memberikan pengaruh dari luar atau memaksakan pengaruh tertentu terhadap perilaku manusia. Paradigma alamiah bersumber mula-mula dari pandangan Max Weber yang diteruskan oleh Irwin Deutcher, dan yang lebih dikenal dengan pandangan fenomenologis. Fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri. Bagi mereka yang penting ialah kenyataan yang terjadi sebagai yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang-orang itu sendiri. (Moleong, 2004: 30-31) Jika ditinjau dari pendapat atau teori tentang paradigma tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa paradigma klasik adalah paradigma fakta sosial yaitu paradigma keilmuan atau ilmiah yang digunakan untuk penelitian kuantitatif berdasarkan fakta empirik. Sedangkan paradigma konstruktivis adalah paradigma definisi sosial yaitu paradigma alamiah yang digunakan untuk penelitian kualitatif berdasarkan fenomena yang terjadi. Namun demikian karena fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia, maka paradigma konstruktivis adalah identik dengan paradigma perilaku sosial, sehingga penelitian dengan paradigma konstruktivis berhimpitan dengan
125
paradigma kritis. Artinya penelitian ini dimungkinkan menggunakan kajian paradigma kritis. Dalam penelitian dengan paradigma kritis maka nilai, etika, moral menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. Tujuan penelitiannya kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social empowerment.
1.4.2
Metode Penelitian Metode penelitian akan diuraikan melalui pendekatan dan jenis penelitian,
penentuan obyek penelitian, penentuan data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pemeriksaan keabsahan data.
1.4.2.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian Metode atau disain penelitian menggunakan teknik observasi terhadap obyek yang diteliti, dan wawancara dengan para pihak yang terlibat dalam acara yang dipilih, serta para pihak yang dianggap dapat memberikan konstribusi pemikiran dan pendapat ataupun kritik. Selain itu juga studi kepustakaan yang berkaitan dengan teori-teori pendukung, penelitian yang pernah dilakukan, dan lain-lainnya. Kemudian dilakukan pengumpulan data dan diolah/dianalisis dengan menggunakan teori yang sesuai.
1.4.2.2 Penentuan Obyek Penelitian Penentuan obyek penelitian didasarkan pada tujuan dilakukannya penelitian ini, yaitu berkaitan dengan tayangan acara infotainment di televisi, khususnya atas dugaan terjadinya pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi
126
dalam acara tersebut. Oleh karenanya peneliti menentukan obyek penelitian sebagai berikut: 1) Studi tentang Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik aturan hukum formal maupun kode etik dan kode perilaku; 2) Program-program acara infotainment yang diproduksi dan ditayangkan oleh stasiun televisi swasta di Indonesia; 3) Isi materi acara, para pelaku, pemain dan kerabat kerja produksi; produser; 4) Informan : tokoh-tokoh dalam bidang pendidikan, akademik/psikologi, sosial kemasyarakatan, keagamaan, politik, dan pemerintahan, serta warga 5) Hasil-hasil penelitian terdahulu, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dan teori-teori yang terkait dengan masalah yang diteliti;
1.4.3
Penentuan Data dan Sumber Data Sumber data yang diperlukan terkait dengan poin-poin di atas dapat
dikembangkan sesuai dengan kondisi di lapangan. Data yang diperlukan meliputi data primer yaitu data yang diperoleh berdasarkan observasi peneliti dan hasil wawancara dengan para informan atau narasumber yang ditetapkan berdasarkan profesi, latar belakang pengalaman organisasi formal maupun non formal, dan keterlibatan atau keterkaitannya dalam acara infotainment televisi. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka, dokumentasi, internet, buku referensi, teori-teori yang terkait, dan sebagainya. Sumber data adalah para informan atau narasumber dan kegiatan-kegiatan seperti seminar, lokakarya, simposium dan sejenisnya dengan narasumber yang kompeten di bidangnya membahas topik terkait infotainment
127
televisi. Para informan bersedia diwawancara secara mendalam dan menyadari serta mengetahui bahwa wawancara dilakukan dalam rangka penelitian untuk penyusunan disertasi, sehingga para informan tidak berkeberatan nama atau profesinya disebutkan secara jelas dalam karya tulis ini. Penulis berpendapat bahwa nama, profesi, pekerjaan atau jabatan Informan ikut menentukan bobot jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Peneliti melakukan pemilihan informan setelah menginventarisasi masalah yang akan dikaji dan para narasumber yang memiliki kompetensi untuk menjawab tujuan penelitian. Namun peneliti harus melakukan pembatasan-pembatasan sehingga jika dianggap telah cukup, maka tidak semua calon narasumber akan diwawancara. Pada saat penelitian lapangan, sedang berlangsung polemik dan debat publik terkait dengan fatwa haram infotainment oleh Majelis Ulama Indonesia, peristiwa video mesum Ariel dan Luna Maya serta Cut Tari, dan yang cukup aktual adalah munculnya pendapat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bahwa infotainment televisi adalah bukan karya jurnalistik dan bersifat non faktual. Karena bukan karya jurnalistik dan bersifat non faktual, maka sebelum ditayangkan di televisi, program infotainment seharusnya disensor terlebih dahulu oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Jika lolos sensor baru bisa ditayangkan. Sedangkan dari pihak Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dan Dewan Pers menyatakan bahwa infotainment televisi adalah termasuk kategori karya jurnalistik dan faktual. Oleh karenanya sebelum ditayangkan tidak perlu melalui lembaga sensor seperti yang telah berjalan selama ini. Diskusi atau pembahasan
128
yang terjadi merupakan data pendukung yang penting untuk melengkapi data yang diperoleh dari wawancara, studi pustaka maupun tulisan/buku referensi. Penentuan sumber data di lapangan beberapa kali mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan situasinya.
1.4.4
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara
mendalam, studi online, dan juga mengikuti kegiatan seminar, lokakarya, simposium, serta merekam siaran acara televisi atau siaran radio terkait dengan topik penelitian. Pengumpulan data (data collection) adalah proses mengkoleksi atau mengumpulkan data dari berbagai sumber data yaitu dari hasil observasi, hasil wawancara dengan para informan, analisis dokumen, dan studi online berupa ”raw material” atau data mentah. Materi yang dikumpulkan dapat berupa teks/ tulisan, gambar-gambar diam maupun bergerak, rekaman suara, hasil unduhan dari internet, dsb. Data wawancara berupa rekaman suara menggunakan MP3 dan data rekaman acara televisi dan radio yaitu acara berita, talkshow, dan acara infotainment, ditranskripsi menjadi teks sesuai dengan aslinya. Kemudian data digunakan untuk bahan
analisis guna menjawab pertanyaan penelitian sesuai
dengan jawaban para informan dari berbagai latar belakang profesi dan keahlian.
1.4.4.1 Observasi Teknik pengumpulan data dilakukan pada natural setting (apa adanya, kondisi alamiah), sumber data primer, dan observasi partisipatif, serta interview mendalam (indepth interview). Penulis melakukan pengamatan terhadap tayangan acara-acara infotainment di televisi dan membuat catatan-catatan atas
129
format acara, isi/materi tayangan, frekuensi penayangan topik tertentu, dan sebagainya. Observasi sebenarnya telah peneliti lakukan jauh sebelum penyusunan disertasi ini. Observasi dilakukan terhadap siaran acara infotainment, talkshow dan siaran berita televisi. Observasi dimaksudkan untuk mengkaji apakah tindakan komunikasi yang menyangkut pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi baik yang dilakukan oleh pemroduksi acara yang dapat diamati melalui siarannya, para pengisi acara seperti presenter dan subyek beritanya, maupun narasinya. Pekerjaan pemroduksi acara dapat dilihat dalam tayangan acara infotainment, talkshow maupun siaran berita seperti bagaimana mereka menyusun segmensegmen acara, membuat narasi penyiar dan tampilannya maupun voice over, shot-shot pengambilan gambar, editing, dan lain-lainnya.
1.4.4.2 Wawancara Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan, yaitu para pelaku bisnis produksi acara infotainment seperti produser dan para pelakon acara (pesohor, selebritis) Selain itu juga dengan regulator (pemerintah, legislatif, KPI) serta para tokoh agama, pendidik, budayawan, pengamat sosial/aktivis dan pengamat media. Disamping itu juga membuat dokumentasi dan mencari dokumen-dokumen sebagai referensi penelitian. Daftar pertanyaan yang dipergunakan untuk mewawancarai para informan merupakan elaborasi dari pertanyaan-pertanyaan penelitian. Untuk mendapatkan jawaban yang diinginkan dari tujuan penelitian dibuat pertanyaan-pertanyaan
130
sebagai panduan dalam berwawancara. Pertanyaan-pertanyaan dikelompokkan sesuai dengan masing-masing pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana terjadinya pergeseran nilai budaya dalam acara infotainment di televisi? Pengembangan pertanyaannya adalah sebagai berikut: (1) Apakah benar telah terjadi pergeseran budaya para pelaku bisnis infotainment, khususnya para subyek atau obyek berita infotainment televisi? (2) Apakah motif di balik maraknya produksi dan penayangan acara infotainment di layar televisi? (3) Bagaimana media mengkonstruksi realitas sosial ke dalam acara infotainment sehingga mendorong terjadinya pergeseran budaya? (4) Bagaimana budaya pop mampu mempengaruhi gaya hidup masyarakat ataukah gaya hidup masyarakat telah menjadi budaya pop? (5) Bagaimana kondisi pergeseran budaya dan etika komunikasi dalam acara infotainment yang disebabkan oleh pelakon dan pelakunya karena alasan popularitas dan ekonomi, yang secara tidak sadar mempertahankan sistem kapitalisme baru? (6) Apakah telah terjadi pergeseran budaya, khususnya sikap dan perilaku masyarakat dari paradigma klasik (tradisional) ke paradigma baru (modern/pascamodern atau kontemporer) ? (7) Apakah akan terjadi kejenuhan dan kekesalan oleh masyarakat konsumen terhadap acara infotainment?
131
2) Bagaimana terjadinya pergeseran etika komunikasi dalam acara infotainment di televisi? Pengembangan pertanyaannya sebagai berikut: 1. Apakah privasi dan hak privasi warga negara pada komunitas tertentu (para pesohor) telah diabaikan dan berubah menjadi ajang promosi diri di layar televisi? 2. Bagaimana pemaknaan realitas sosial terkait masalah privasi dihadirkan ke ruang publik oleh media menurut perspektif dan cara pandang Tim Produksi infotainment? 3. Apakah
makna etika komunikasi bagi Tim Produksi
media dalam
pembuatan dan penayangan acara infotainment? 4. Apakah telah terjadi perubahan etika komunikasi yang dilakukan para komunikator dan subyek atau obyek cerita tayangan acara infotainment? 5. Apakah bentuk-bentuk siaran sejenis infotainment termasuk pelanggaran atas etika, norma dan logika, serta termasuk kategori kejahatan? 6. Apakah diperlukan regulasi khusus (Privacy Act, Undang-Undang tentang Privasi dan Hak Privasi) yang mengatur masalah perlindungan privasi dan hak privasi atas warga masyarakat termasuk para pesohor?
1.4.4.3 Dokumentasi Dokumen-dokumen yang terkumpul diteliti, dikaji dan dipilah-pilah, untuk kemudian diseleksi apakah data yang masuk itu sudah tepat, diperlukan, sudah ada/doble, atau tidak diperlukan. Dengan menseleksi data yang ada, termasuk membuat transkrip tertulis dari rekaman hasil wawancara, tanpa mengu-
132
rangi obyektivitas wawancara atau hasil observasi terhadap siaran tentang infotainment di televisi, dapat diketahui apakah dokumen tersebut relevan dengan tujuan penelitian atau tidak.
1.4.5
Teknik Analisis Data Proses analisis data digambarkan dalam Bagan 04, meliputi data
collection, display data, reduksi data, verifikasi data, klasifikasi data (pelabelan fenomena atau coding), pemaknaan terhadap data (pembahasan), dan pengambilan kesimpulan. (Moleong, 2010:288-289; Mulyana, 2008:172; Pawito, 2007:104107; Sugiyono, 2006:276-278).
1.4.5.1 Reduksi Data (Data Reduction) Reduksi data adalah suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian, dan penyederhanaan data, maupun pengabstraksian dan transformasi data ”kasar” yang diperoleh di lapangan. Setelah direduksi, diharapkan data yang diolah terbatas sesuai dengan keperluan, atau pengembangan penelitian. Melalui kategorisasi atas jawaban para informan maka dapat sekaligus direduksi hal-hal yang dianggap kurang relevan untuk penelitian ini. Menurut Bogdan dan Biklen (1982) analisis data kualitatif adalah: “Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain” (Moleong, 2010:248 ). Selanjutnya Moleong mengutip pendapat Janice McDrury
133
dalam Collaborative Group Analysis of Data (1999),
tahapan analisis data
kualitatif adalah sebagai berikut : 1) Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data. 2) Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data. 3) Menuliskan “model” yang ditemukan. 4) Koding yang telah dilakukan. Dalam menganalisis data selain masalah prosesnya, juga diperlukan komponen-komponen tertentu. Pada penelitian ini, analisis data yang dilakukan peneliti adalah dengan cara memilih dan menyusun data-data yang diperoleh. Baik dari data hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan, kemudian dianalisis secara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan membandingkan dengan teori yang digunakan. Setelah itu peneliti menarik kesimpulan terhadap hasil penelitian. Dalam penelitian ini, data mentah direduksi dengan dua cara. Pertama, ”raw material” yang berupa catatan, rekaman, atau data dari dokumen di cek dan diseleksi mana yang layak dan cocok dengan topik penelitian ini dan mana yang tidak relevan. Untuk data yang cocok dapat dilanjutkan analisisnya, sedangkan yang tidak relevan dibuang/dieliminasi. Cara reduksi berikutnya adalah dengan men”display” data yang ada dengan mentranskripsikan dari rekaman audio yang telah dilakukan. Transkripsi data dilakukan secermat mungkin agar tidak terjadi kesalahan pemaknaan terhadap informasi yang dimaksudkan oleh informan. Meskipun demikian, terdapat data dari hasil wawancara dengan para informan atau perekaman dari acara berita dan talkshow yang tidak relevan, seperti perkataan basa-basi, kata-kata pengantar, kata-kata yang tidak jelas, hasil rekaman yang kurang baik, atau hal-hal lainnya.
134
Dalam mereduksi data harus secara terus-menerus dilakukan verifikasi terhadap data yang diolah, mengingat banyaknya informan/narasumber dan data talkshow yang dianalisis. Hal itu untuk menghindarkan terjadinya kekeliruan dalam memasukkan data atau mengklasifikasikannya. Peneliti menggambarkan teknik analisis data berdasarkan model dari Miles dan Huberman (Pawito, 2007:104-107; Sugiyono, 2006:276-278) dan teorinya Alfred Schutz (Mulyana, 2008:172), serta Metode Perbandingan Tetap dari Glaser dan Strauss (Moleong, 2010: 288-289) dalam Gambar 1.4.5.
135
Gambar 1.4.5
Interview
Observasi
Studi Pustaka
DATA COLLECTION DISPLAY DATA Analisis Dokumen
Raw Material
All Data
REDUKSI DATA
VERIFIKASI DATA
KLASIFIKASI DATA Konstruk Derajat I Hasil Penelitian dan Pelabelan Fenomena/Kodifikasi (Coding) Tipikasi TIPE INFORMAN
MEANING
KESIMPULAN
ANALISIS DATA
Konstruk Derajat II Hasil Pembahasan Pemaknaan thd informasi dari Informan dan sumber Lain (News & Talkshow)
136
1.4.5.2 Klasifikasi dan Penyajian Data Klasifikasi data merupakan proses pengkategorian data atau pelabelan fenomena terhadap jawaban-jawaban para informan berdasarkan tujuan dari penelitian. Penyajian data dibuat dalam bentuk teks atau matrik yaitu uraian yang sistematis agar mudah dicerna dan dapat diolah kembali. Data teks merupakan transkripsi hasil wawancara dengan para informan atau transkripsi dari perekaman siaran berita dan talkshow yang dianggap relevan atau terkait dengan topik penelitian. Klasifikasi data dan pelabelan fenomena merupakan ”konstruk derajat pertama” dari proses penelitian, yaitu pengkategorian data yang diperoleh dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan dari tujuan penelitian. Para informan telah dipilih dan ditetapkan oleh peneliti untuk diwawancara pada saat sebelum kegiatan di lapangan dilaksanakan. Pemilihan informan berdasarkan tipe
jabatan, pekerjaan, pengalaman atau profesinya
masing-masing. Hal tersebut dimaksudkan agar data yang dihasilkan terdiri dari berbagai aspek dan sudut pandang sehingga diharapkan hasilnya akan lebih komprehensif.
1.4.5.3 Analisis Data Hasil Studi Pustaka. Data atau informasi yang diperoleh dari hasil studi pustaka, observasi maupun hasil wawancara berupa raw material atau data mentah. Dari penelitian perpustakaan terhadap hasil penelitian tentang infotainment dan masalah privasi, peneliti menemukan setidaknya 9 (sembilan) hasil penelitian serupa yang telah dilakukan para peneliti lain.
Kemudian peneliti mengkaji hasil-hasil penelitian
137
tersebut dan memilih 6 (enam) di antaranya untuk dianalisis dari segi: nama peneliti, tahun hasil penelitian, judul penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, teori yang digunakan, hasil penelitiannya, dan kritik penulis terhadap hasil penelitian mereka serta perbedaannya dengan penelitian penulis. Pada tahap berikutnya, berdasarkan hasil kajian, maka penulis menetapkan 5 (lima) saja dari enam hasil penelitian yang dikaji tersebut karena dianggap cukup memadai. Kajian pustaka tersebut menjadi bahan referensi penulis dalam proses penelitian selanjutnya.
1.4.5.4 Transkrip Data dan Pengkodean atau Coding Data yang diperoleh dari wawancara dengan para informan dan observasi acara-acara televisi melalui rekaman audio (MP3) di beri nomor atau kode tertentu. Kemudian hasil rekaman suara di transkrip ke dalam teks, dan diurutkan sesuai dengan nomor urut masing-masing informan ataupun acara talkshow/berita. Transkrip inilah yang kemudian dikodifikasi sesuai dengan kategorinya masingmasing. Proses ini masuk pada tahap ”konstruk derajat kedua”, yaitu mengelaborasi hasil pengkategorian data melalui pengkodean dan menganalisis maknanya. Pengkodean atau Coding merupakan proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan kembali data yang terkumpul dengan cara baru. Tujuan daripada pengkodean adalah untuk menyusun data dengan pendekatan kategorisasi atau pengelompokan masalah untuk menjawab tujuan penelitian. Coding dapat memberikan ketepatan dalam proses penelitian, karena dapat mengatasi ataupun asumsi keliru atas data yang diperoleh, serta mereduksi data yang
bias
138
tidak relevan. Pengkodean memberikan landasan untuk menganalisis data dan memberikan kepadatan makna
serta dapat mengembangkan kepekaan untuk
menghasilkan teori-teori baru. Coding dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan: pertama, Open Coding (pengkodean terbuka atau bersifat umum), kemudian Axial Coding (pengkodean terporos), dan selanjutnya Selective Coding (pengkodean terpilih). 35
1). Open Coding (Pengkodean Terbuka) Dalam pengkodean terbuka dilakukan langkah awal yaitu memberikan pelabelan atas fenomena kejadian atau informasi yang diperoleh baik melalui pengamatan, wawancara, atau sumber lainnya. Pelabelan merupakan pemberian nama dari fenomena yang ada menggunakan konsep-konsep tertentu. Kemudian data yang ada dikategorikan sesuai dengan pertanyaan penelitian, sehingga data yang semula bersifat umum akan terlihat dalam kelompok-kelompok tertentu. Pengelompokan tersebut dengan memberikan label nomor sesuai dengan nomor urut informan dan nomor pertanyaan penelitian. Berdasarkan realita di lapangan, suatu pertanyaan tidak selalu mendapatkan jawaban atau informasi yang sesuai, tetapi justru menjawab pertanyaan atau permasalahan lain yang belum/tidak ditanyakan. Namun jika informasi tersebut dianggap bermanfaat, maka kategorisasinya sesuai dengan pelabelan yang telah ditetapkan. Di antara informasi yang diperoleh juga dapat menjawab beberapa pertanyaan sekaligus, atau dapat digunakan untuk beberapa masalah yang diteliti. ____________________________________________________________________________ 35 http://www.infoskripsi.com/theory/metode-penelitian-kualitatif- Grounded Theory-approach. html; 10-04-2010, 23:00.
139
4) Axial Coding (Pengkodean Terporos) Pengkodean terporos adalah prosedur penempatan data dengan mengelompokkan sesuai kategorinya masing-masing, sehingga informasi yang diperoleh dari berbagai informan dan sumber data lainnya dapat lebih mudah teridentifikasi. Selanjutnya data/informasi yang telah dikelompokkan akan dihubungkan satu sama lain sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kemudian dibuat interpretasinya berdasarkan kajian yang matang. Dalam penelitian ini axial coding langsung diaplikasikan kedalam analisis pembahasan sesuai dengan fenomena yang dikaji berdasarkan nomor kode yang telah ditetapkan pada open coding. Hal itu dimaksudkan untuk mempercepat proses dan menghemat penggunaan material dalam proses pengkajian.
3) Selective Coding (Pengkodean Terpilih) Pengkodean terpilih merupakan tindak lanjut dari pengkodean terporos. Data yang telah dikelompokkan menurut kategorinya masing-masing, diseleksi atau dipilih yang paling relevan dengan tujuan penelitian, dan membuang/ mereduksi lagi data yang tidak diperlukan. Diperlukan kepekaan teoritik untuk dapat menemukan makna yang terkandung dalam setiap informasi yang diperoleh. Spirit teoritis dari setiap kategori tidak selalu tampak secara eksplisit, tetapi juga yang bersifat implisit. Melalui pengkodean terpilih dapat dibuat analisis teoretiknya, sehingga diperoleh story line antar kategori. Hasil dari pengkodean ini akan menjadi pokok bahasan/sub pokok bahasan dalam Bab selanjutnya sesuai dengan tujuan penelitian.
140
1.4.5.5 Menarik Kesimpulan (Verifikasi) Kesimpulan dapat ditarik pada saat pembahasan sedang berjalan atau sudah selesai. Namun untuk lebih lengkapnya penarikan kesimpulan, maka verifikasi akhir dilakukan setelah selesainya pengumpulan data dan analisis data.
1.4.6
Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Keabsahan data diperiksa dengan cara melihat atau mengamati langsung
terhadap penayangan acara infotainment, pengamatan pada proses pembuatan paket acara, melakukan perekaman wawancara langsung dengan informan, atau memperbandingkan data yang diperoleh.
Selain itu dapat dilakukan dengan
mengechek kembali pernyataan atau jawaban informan terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti. Moleong (2010:324-325) menguraikan bahwa ada empat kriteria yang digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data, yaitu: derajat kepercayaan
(credibility),
keteralihan
(transferability),
kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability). 1. Credibility ( kepercayaan ) Penerapan kriterium derajat kepercayaan ( kredibilitas ) pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari nonkualitatif. Kriterium ini berfungsi : pertama, melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai; kedua, mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. (Moleong, 2010: 324325) Untuk memenuhi standar credibility, peneliti telah melakukan pengecekan kembali terhadap rekaman hasil wawancara dengan para informan dan transkripsinya, serta memeriksa ulang hasil transkripsi data yang diperoleh dari rekaman-rekaman diskusi, seminar, lokakarya, simposium dan siaran berita radio atau televisi. Berdasarkan catatan-catatan tentang pelaksanaan wawancara dan
141
dokumentasi perekaman suara menggunakan alat rekam MP3 membuktikan bahwa tingkat kepercayaan atas data yang diperoleh telah memenuhi kriteriumnya. Menurut Sugiyono (2006:303), uji kredibilitas data meliputi perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan membercheck. 2. Transferability ( keteralihan ) Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks. Dengan demikian peneliti bertanggungjawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya jika ia ingin membuat keputusan tentang pengalihan tersebut. (Moleong, 2010: 324-325) Untuk memenuhi kriteria transferability dalam penelitian ini peneliti menganalisis, menyimpulkan, dan menjelaskan hubungan yang ada dan bisa dijadikan acuan bagi peneliti untuk mencari jawaban atas tujuan penelitian ini. Menurut Sugiyono (2006:310), transferability adalah validitas eksternal dalam penelitian kuantitatif. Artinya, bahwa hasil penelitian adalah valid diterapkan pada populasi dimana sampel tersebut diambil, tetapi tidak untuk penelitian kualitatif. 3. Dependability (kebergantungan) Kriterium kebergantungan merupakan substitusi istilah reliabilitas dalam penelitian nonkualitatif. Kriterium kebergantungan lebih luas daripada reliabilitas. Hal tersebut disebabkan oleh peninjauannya dari segi bahwa konsep itu memperhitungkan segala-galanya, yaitu yang ada pada reliabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang tersangkut. (Moleong, 2010: 324-325) Untuk memenuhi standar dependability peneliti melakukan pengecekan terhadap seluruh proses penelitian. Dimulai dengan mengecek keseluruhan aktivi-tas peneliti dalam melakukan penelitian, yaitu bagaimana peneliti mulai menentu-
142
kan masalah atau fokus memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data, sampai membuat kesimpulan penelitian. 4. Confirmability (kepastian) Kriterium kepastian berasal dari konsep ’obyektivitas’ menurut nonkualitatif. Nonkualitatif menetapkan obyektivitas dari segi kesepakatan antarsubyek. Disini pemastian bahwa sesuatu itu obyektif atau tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Dapatlah dikatakan bahwa pengalaman seseorang itu subyektif sedangkan jika disepakati oleh beberapa atau banyak orang, barulah dapat dikatakan obyektif. Jadi, obyektivitassubyektivitasnya suatu hal bergantung pada orang seorang. Menurut Scriven (1971), selain itu masih ada unsur ‘kualitas’ yang melekat pada konsep obyektivitas. Hal itu digali dari pengertian bahwa jika sesuatu itu obyektif, berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan. Berkaitan dengan persoalan itu, subyektif berarti tidak dapat dipercaya, atau melenceng. Pengertian terakhir inilah yang dijadikan tumpuan pengalihan pengertian obyektivitas-subyektivitas menjadi kepastian (confirmability). (Moleong, 2010: 324-325) Jadi
berbeda dengan penelitian nonkualitattif yang menekankan pada
‘orang’, maka penelitian kualitatif lebih menekankan pada ‘data’. Data tersebut berupa hasil observasi, wawancara, dokumen, studi pustaka, dan lain-lain. Menurut Sugiyono: Dalam penelitian kualitatif, uji confirmability mirip dengan uji dependability, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan. Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability.(Sugiyono, 2006:311) Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data, yaitu: derajat kepercayaan (credibility), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability) dilakukan sejak awal penelitian, berjalan paralel selama proses penelitian berlangsung sebagai metode untuk menjaga keabsahan penelitian.