BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Saat ini pembangunan pertanian tidak lagi berorientasi semata - mata pada peningkatan produksi tetapi kepada peningkatan produktivitas dan nilai tambah. Untuk itu efesiensi usaha haruslah dipertimbangkan. Petani tidak hanya bekerja di on farm saja tetapi diarahkan dan dituntut bagaimana menumbuh kembangkan kewirausahaan serta dapat mengolah produk yang dihasilkan menjadi produk setengah jadi. Suatu usahatani atau produk yang dihasilkan dapat mampu berdaya saing dan berkelanjutan baik untuk memenuhi kebutuhan pasar konsumen dalam dan luar negeri diperlukan dukungan, saling keterkaitan dan sinergi dari masing - masing sub sistem agribisnis. Artinya masing - masing sub sistem agribisnis baik subsistem hulu, tengah dan hilir haruslah mampu berdaya saing serta menyikapi setiap perubahan iklim yang terjadi. Ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan yang penting sebagai penghasil sumber bahan pangan karbohidrat dan bahan baku industri makanan, kimia dan pakan ternak. Beberapa keunggulan lain dari ubi kayu ini adalah :
a) tanaman ini sudah dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh masyarakat pedesaan sebagai bahan pokok dan sebagai bahan cadangan pangan pada musim paceklik, b) masyarakat khususnya di pedesaan telah terbiasa mengolah dan mengkonsumsinya dalam bentuk gatot dan tiwul, c) nilai kandungan gizinya cukup tinggi dan
1
2
d) mudah beradaptasi dengan lingkungan atau lahan yang marginal dan beriklim kering, e) salah satu sumber energi terbarukan dalam jajaran energi biofuel yang paling ekonomis.
Komoditi ubi kayu juga merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang menghasilkan devisa negara melalui ekspor dalam bentuk gaplek/chips dan tapioka tetapi disisi lain Indonesia termasuk importir tapioka. Pemanfaatan terbesar ubi kayu di Indonesia yaitu untuk bahan pangan sekitar 58%, bahan baku industri 28%, ekspor dalam bentuk gaplek sekitar 8%, pakan 2% sedangkan sisanya 4% digunakan sebagai limbah pertanian. Indonesia masih belum menjamah penuh kemampuan ubi kayu sebagai alternatif energi masa depan sebagaimana sudah dilakukan oleh Negara - negara lainnya. Padahal dunia mencatat pada September 2011, terjadi kesaksian besar bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah perminyakan dunia, terjadi penurunan impor minyak secara besar - besaran (Platts, 2013). Dijelaskannya, terjadi penurunan sebesar 30 % pada konsumsi minyak dunia yang disebabkan tidak hanya ditengarai adanya kenaikan produksi minyak bumi dan krisis ekonomi, tetapi lebih karena terjadi penurunan konsumsi minyak dunia sehingga menyebabkan harga minyak turun dengan penyebab utama salah satunya dari kenaikan konsumsi ethanol dunia sebesar 30 % menggantikan minyak bumi dan ethanol itulah bersumber dari bahan pangan seperti kacang kedelai, jagung, tebu dan ubi kayu. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) atau lazimnya disebut sebagai cassava
merupakan
komoditi
penting,
baik
di
dalam
negeri
maupun
internasional, dengan disebutkannya cassava sebagai sumber karbohidrat
3
pangan terbesar ketiga dunia (Philip, 1984; Fauquet and Fargette, 1990). FAO (2011) menginformasikan, sangat sedikit ubi kayu diperdagangkan dalam bentuk segar oleh karena sifat produk yang bulky dan perishable. Oleh karenanya, ubi kayu diperdagangkan dalam bentuk kering yang sering dikenal sebagai gaplek atau chips. Adapun bentuk tepung dari ubi kayu kerap disebut sebagai tapioka atau tepung tapioka (flour), sedangkan bentuk olahan lainnya adalah bentuk pati yang dikenal sebagai cassava starch (pati ubi kayu). Ubi kayu yang dikonsumsi pun dua jenis, yakni ubi kayu pahit dan manis yang sebenarnya hanya ditandai dengan tingginya toksin kadar sianida (cyanogenic glucosides) yang dikandung ubi kayu, yang kini malahan menjadi ethnomedicine di belahan dunia lain seperti Afrika (Anonim, 2011). Produsen ubi kayu paling besar dunia yakni Nigeria, namun ia bukan sebagai pengekspor terbesar. Thailand tercatat sebagai negara pengekspor ubi kayu kering terbesar dunia dengan menguasai 77% ekspor ubi kayu dunia pada 2005, disusul oleh Viet Nam :13,6% dan Indonesia: 5,8% dan Costa Rica 2,1% (FAO,2011). Indonesia merupakan urutan keempat sebagai salah satu produsen ubi kayu terbesar dunia setelah Nigeria, Thailand dan Brazil (FAO, 2011). Dinyatakan bahwa berjuta - juta orang di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggantungkan hidupnya pada ubi kayu sebagai bahan pangan oleh karena kemudahannya beradaptasi dengan kondisi tanah yang kurang dapat ditanami dengan komoditi lain dan berhasil mengatasi ketahanan pangan di wilayah tersebut. Dengan demikian, nyatalah peran Indonesia kelak sebagai penghasil ubi kayu dunia akan berimbas sebagai penghasil etanol dunia. FAO (2011) juga menegaskan bahwa ubi kayu sanggup mengatasi kebutuhan pangan bagi lebih dari separuh milyar manusia dan menjadi tumpuan
4
hidup bagi berjuta-juta petani maupun para pelaku bisnis ubi kayu dunia. Tercatat hampir 60% produksi ubi kayu dunia terkonsentrasi di lima negara : Nigeria, Thailand, Brazil, Indonesia dan Kongo (FAO,2011). Sungguh suatu kebanggaan bagi Indonesia untuk sanggup berpartisipasi dalam penyediaan pangan bagi masyarakat di belahan bumi lain. Demikian pula peran produsen dan eksportir pada saat sama, membuktikan Indonesia mampu berkiprah dalam kancah perdagangan dunia yang kompetitif. Ubi kayu kini diunggulkan tidak saja sebagai pangan yang mampu menyediakan karbohidrat, namun juga protein dan mineral (FAO,2011). Diuraikannya, ubi kayu yang pahit pun karena kandungan sianida, ternyata berguna bagi industri dan bahan pakan ternak karena kandungan serat yang tinggi dengan perincian kandungan ubi kayu segar berkomposisi 70 persen air, 24 persen pati (starch), 2 persen serat (fiber), 1 persen protein dan elemen lainnya 3 persen; dan kini secara luas digunakan dalam industri bukan makanan karena starch digunakan pula sebagai bahan baku bagi industri kertas, tekstil, plywood, glue (lem) dan alkohol. Selain itu FAO (2011) mengungkapkan bahwa dalam tahun - tahun terakhir ini, China merupakan negara pengimpor ubi kayu terbesar dunia dengan alasan kebutuhan kelengkapan pangan sebesar kira - kira 60 persen dan kemudian China mengekspornya ke Negara - negara Uni Eropa sebagai penyedia tunggal bagi produk ubi kayu olahan. FAO (2011) menyebutkan pula, ubi kayu telah menjadi bahan pangan penting dalam upaya mengatasi kelaparan dan kemiskinan dunia terutama di Negara - negara berkembang dan menyebut Thailand sebagai negara yang berhasil mengangkat ubi kayu menjadi komoditi
5
penting dunia, terutama setelah China menggunakannya sebagai bio-fuel selain bahan pelengkap pangan. Berkaitan dengan situasi tersebut, maka peluang Indonesia masih sangat terbuka sehingga memungkinkan bagi Indonesia melakukan pendekatan yang berwawasan agribisnis sebagai kebijakan dalam pembangunan pertanian guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani ubi kayu, Ironisnya, Indonesia masih mengimpor ubi kayu dalam bentuk cassavaflour (tepung) dan starch (pati) untuk memenuhi permintaan industri dalam negeri, meski terjadi hanya 6 bulan, sebagaimana data BPS bulan Juni 2011, tercantum impor singkong sebesar 2,7 ton dengan nilai US$ 20,6 ribu dari Italia. Sementara sebelumnya terdapat impor singkong sebanyak 2,9 ton dengan nilai US$ 1,3 ribu dari China (Hida, 2011). Namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak Juli - September 2011 tidak ada lagi impor singkong dari negara manapun yang masuk ke pasar Indonesia, sehingga total impor singkong masih mencapai 5,6 ton dengan nilai US$ 21,9 ribu (Hida,2011). Tanpa mengesampingkan keberhasilan Indonesia terbebas dari impor ubi kayu, namun nyata Indonesia pernah dihadapkan pada kondisi lambatnya laju pertumbuhan produksi yang kurang berimbang. Kondisi ini perlu mendapatkan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk kebijakan pengembangan komoditas ubi kayu nasional, apalagi jika komoditas ini kelak akan dikembangkan sebagai bahan baku produksi biofuel untuk mensubstitusi kebutuhan BBM nasional. World Food Programme (2011) juga mengingatkan adanya tantangan utama yang harus dihadapi, bahwa kenaikan kebutuhan pangan lebih cepat dibandingkan tingkat kenaikan produksi sedangkan tingginya populasi Indonesia
6
merupakan tantangan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, yang diprediksi angka populasi akan mencapai 247,8 juta pada 2015. Jika kebutuhan pangan ini tidak dapat dipenuhi,Indonesia terancam sebagai negara pengimpor pangan (World Food Programme, 2011). Dari
fenomena
di
atas,
pemerintah
Indonesia
tertantang
akan
keniscayaan yang bakal terjadi: kenaikan permintaan ekspor dunia, permintaan domestik yang meningkat, kemungkinan penurunan produksi ubi kayu, ketahanan pangan nasional dan seterusnya. Sebagai sebuah negara yang kini tengah diperhitungkan dalam kancah perekonomian dunia, Indonesia perlu berbenah agar dapat bermain cantik dalam perdagangan bebas yang semakin kompetitif. Terlebih apabila ubikayu telah diketahui mempunyai kemampuan berubah menjadi etanol sebagai salah satu peran bahan bakar penting dunia, maka dapat diperkirakan Indonesia kelak juga mampu berkiprah tidak saja pada pasar bahan pangan, tetapi juga bahan bakar dunia. Di era otonomi daerah, pemerintah daerah hendaknya terus menggali potensi wilayahnya, guna mendorong pembangunan daerah yang diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakatnya. Dalam upaya pengembangan ubi kayu yang lebih
luas,
Indonesia
kabupaten/kota
yang
mempunyai dapat
potensi
dibangun
wilayah
sebagai
pada
sentra
-
propinsi
dan
sentra
baru
pengembangan dan pertumbuhan produksi. Daerah - daerah tersebut dapat dikembangkan sebagai lokasi sentra - sentra baru ubi kayu yang berpotensi dalam upaya menggulirkan roda perekonomian setempat yang kelak berimbas kepada perekonomian nasional. Dengan keberhasilan Indonesia kini yang mampu berperan dalam perekonomian dunia, memberi implikasi bahwa komoditas - komoditas yang dihasilkan Indonesia (khususnya produk - produk
7
pertanian, seperti ubi kayu) yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif cukup tinggi, akan berpengaruh kepada perekonomian nasional.
1.2
Permasalahan Penelitian Disadari selama ini tulisan dan publikasi mengenai ubi kayu masih
terbatas, kalau pun ada, hanya mengulas aspek usahataninya, khususnya dalam upaya peningkatan produktivitas dan belum banyak mengulas manfaat ubi kayu bagi peningkatan ketahanan pangan masyarakat, perekonomian pedesaan, daerah dan nasional. Data terakhir menyebutkan bahwa Indonesia masih mengimpor tepung tapioka dari Itali dan China dengan total 5,6 ton dengan nilai US$ 21,9 ribu mulai Januari hingga Juni 2011 (Hida, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan dalam permintaan dan penawaran ubi kayu Indonesia dan kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa terjadi ketidakseimbangan antara permintaan domestik dengan permintaan ekspor dengan tercatatnya Indonesia sebagai salah satu produsen cassava dunia. Hal inilah yang menjadikan informasi bagi pemerintah, dunia usaha/stakeholder, petani, dosen, mahasiswa dan pemerhati ubi kayu di Indonesia bahwa ubi kayu selain sebagai bahan pangan yang memberikan andil yang besar bagi perekonomian Indonesia, bahkan dalam penyerapan tenaga kerja dan ketahanan pangan masyarakat, ia juga masih dan mampu memberikan peluang akan nilai tambah yang cukup menjanjikan sehingga ubi kayu dapat dikatakan sebagai komoditi bisnis yang prospektif bagi perekonomian domestik maupun internasional. Selain itu, permasalahan juga akan mengaitkan dengan produk jagung sebagai produk pesaing ubi kayu dalam kaitan dengan persepsi peningkatan produksi ethanol di
8
suatu masa yang tepat saat Indonesia mampu berperan dalam pasar ethanol dunia. Saat ini Indonesia memiliki sejumlah wilayah penghasil ubi kayu di 31 propinsi kecuali Riau dan Papua (BPS dalam World Food Programme, 2011), yang menunjukkan produksi ubi kayu di tiap propinsi di Indonesia mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih maju. Suatu hipotesis ekonomi dasar menyebutkan bahwa harga suatu komoditas dan kuantitas yang akan diminta berhubungan secara negatif, ceteris paribus. Sebaliknya harga komoditas dan kuantitas yang akan ditawarkan berhubungan positif, ceteris paribus (Lipsey et al. 1995). Namun sampai sat ini laju pertumbuhan produksi belum mampu mengimbangi laju permintaan, sehingga harus melakukan impor. Berbagai informasi mengenai perubahan pola konsumsi rumah tangga dan perkembangan permintaan ubi kayu sangat diperlukan untuk perencanaan produksi dan penyediaan dalam propinsi. Terlebih adanya tuntutan dari organisasi kesehatan dan industri pangan dan pakan untuk kualitas ubi kayu menyebabkan pemerintah selain
harus
menjamin
ketersediaan
juga
memperhatikan
kualitasnya.
Sehubungan dengan hal tersebut mengingat potensinya komoditi ini dalam kancah perdagangan ekspor ubi kayu dunia dan sekaligus dalam memenuhi ketahanan pangan nasional, maka timbul suatu alasan untuk membahas mengenai suatu permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana produksi, produktivitas, dan luas areal ubi kayu di Indonesia beserta proyeksinya?
2.
Bagaimana model dan apa saja yang menjadi faktor - faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan ubi kayu di Indonesia?
9
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permintaan dan penawaran ubi kayu dalam memenuhi permintaan pasar domestik dan dunia. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1.
Untuk mengetahui produksi, produktivitas, dan luas areal ubi kayu di Indonesia beserta proyeksinya.
2.
Untuk menyusun model dan mengetahui faktor - faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan ubi kayu di Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Sebagai
bahan
pertimbangan
bagi
pembuat
perencanaan
dalam
pengambilan keputusan tentang jumlah impor dan ekspor ubi kayu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 2. Sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
berbagai
upaya
grain
quality
improvement ubi kayu. 3. Sebagai bahan rujukan dalam menyusun kebijakan ketahanan pangan nasional dalam mengatasi kenaikan jumlah penduduk Indonesia di masa mendatang sekaligus bagaimana memanfaatkan situasi perdagangan ubi kayu dunia yang cukup menjanjikan. 4. Sebagai masukan bagi pelaku bisnis ubi kayu agar dapat melihat factor faktor yang mempengaruhi permintaan ubi kayu di Indonesia, potensi permintaan ubi kayu dan mengambil kesempatan dalam situasi pasar ubi kayu di Indonesia dan dunia.
10
5. Dapat memberikan informasi mengenai pola permintaan ekspor ubi kayu Indonesia, sehingga dapat bermanfaat pada pengembangan ekspor ubi kayu Indonesia pada umumnya 6. Dapat menjadi dasar pengambilan keputusan kebijakan dengan mengetahui konsep harga. 7. Sebagai referensi pembanding dan stimulan untuk melakukan penelitian selanjutnya