BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini karyawan tidak lagi mendefinisikan kesuksesan karir dengan jumlah penghasilan atau tingginya gaji yang diterima. Konsultan dunia Accenture (2013) mengungkapkan, keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan menjadi penentu utama dalam kesuksesan karyawan pria maupun wanita. Dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut;
Gambar 1.1 Penentu Utama Kesuksesan Karyawan Sumber: Accenture (2013) Sebanyak 56% karyawan menyatakan bahwa keseimbangan kerja-kehidupan merupakan faktor utama dalam penentu kesuksesan dibandingkan uang, penghargaan, otonomi, kemajuan, dampak sosial dan status pekerjaan. Hal ini sejalan dengan terus berkembangnya penelitian mengenai keseimbangan kerja-kehidupan tiap tahunnya pada media, politik, bisnis,
kebijakan organisasi dan prioritas sumber daya manusia (Chang et al., 2010). Dapat dilihat dari Gambar 1.2 mengenai perkembangan kepedulian terhadap keseimbangan kerja-kehidupan yang dilakukan oleh Cummunity Business (2014) sebagai berikut;
Gambar 1.2 Perkembangan Keseimbangan Keja-Kehidupan Sumber: Cummunity Business (2014) Gambar 1.2 menunjukkan bahwa perkembangan dari keseimbangan kerja-kehidupan pada karyawan yang terjadi pada sembilan tahun terakhir cenderung meningkat. Namun, tidak semua karyawan dapat memenuhi keseimbangan kerja-kehidupannya. Hal ini berdasarkan survei dari Ernst & Young Global Limited (2015) yang menyatakan bahwa sebanyak 33% karyawan secara global mengalami kesulitan dalam mengatur antara kehidupan pekerjaan dan keluarga dalam lima tahun terakhir ini. Oleh sebab itu, menurut Tamang (2010) berbagai literatur mengenai hubungan antara pekerjaan dan kehidupan bermuara pada anteseden dan konsekuensi dari konflik kerjakehidupan. Anteseden mengacu pada tuntutan peran antara pekerjaan dan kehidupan. Individu mengalami konflik ketika tidak dapat menyeimbangkan
peran antara pekerjaan dan kehidupan. Munculnya stres yang berasal dari pekerjaan dan kehidupan semakin meningkatkan konflik antara pekerjaan dan kehidupan tersebut. Judge et al. (1994) mengungkapkan bahwa jumlah jam kerja yang tinggi merupakan salah satu faktor yang meningkatkan stres sehingga mempermudah munculnya konflik kerja-kehidupan. Hal ini menuntut organisasi untuk dapat meningkatkan keseimbangan kerja-kehidupan dengan mengurangi konflik kerja-kehidupan, sehingga meningkatkan perhatian lebih pada pentingnya keseimbangan tersebut (Lewis, 2003 dalam Chandra, 2012). Konsekuensi yang timbul dari konflik pekerjaan dan kehidupan bermuara pada ketidakpuasan pada pekerjaan, rendahnya komitmen organisasional, tingginya tingkat pergantian karyawan, dan kurangnya motivasi karyawan. Masalah pekerjaan dan keluarga menjadi dua hal sentral dalam kehidupan terutama pria dan wanita yang bekerja. Menurut Aycan dan Eskin (2005) faktor dalam pekerjaan akan mempengaruhi kehidupan keluarga dan sebaliknya faktor dalam keluarga akan mempengaruhi pekerjaan. Konflik pekerjaan dan keluarga merupakan konflik antar peran, konflik timbul apabila peran di dalam pekerjaan dan peran di dalam keluarga saling menuntut untuk dipenuhi, pemenuhan peran yang satu akan mempersulit pemenuhan peran yang lain (Aycan dan Eskin, 2005). Alasan perlu ditingkatkannya perhatian dan penelitian dalam mengatasi isu-isu keseimbangan kerja-kehidupan ini dapat diuraikan dalam beberapa hal berikut: Pertama, faktor-faktor seperti kemajuan teknologi informasi dan informasi yang memuat pendekatan pada fleksibilitas telah menempatkan
tekanan kerja yang lebih besar pada karyawan (Dastmalchian dan Blyton, 2001). Penelitian menunjukkan bukti yang jelas bahwa intensitas kerja terefleksikan pada beban kerja yang dirasakan telah meningkat sejak awal 1980-an (Greenhaus et al., 2001). Jam kerja dan tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi
menimbulkan
pertanyaan
tentang
bagaimana
individu
dapat
menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan aspek kehidupan lainnya. Kedua, tidak signifikannya perkembangan penelitian mengenai wanita yang berkerja dan sudah menikah dan memiliki anak, membuat banyak penelitian yang mengangkat mengenai bagaimana keluarga menyeimbangkan antara peran pekerjaan dan keluarga mereka dan bagaimana peran ini mempengaruhi satu sama lain (Tatman et al., 2001). Ketiga, sikap kerja dan nilai-nilai yang berubah pada generasi muda membuat mereka kurang mempriorotaskan karir dan lebih mengutamakan pencapaian keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (Guest, 2001 dalam Sturges dan Guest, 2004). Beberapa penelitian sebelumnya menganggap keseimbangan kerjakehidupan adalah konsep gender (Naisbitt dan Aburdene, 1992) yang hanya berlaku
untuk
perempuan.
Dalam
konteks
keluarga,
wanita
yang
menyeimbangkan antara kehidupan dan pekerjaan lebih sulit jika dibandingkan dengan rekan pria lainnya. Hal ini dikarenakan wanita lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga, serta memiliki tanggung jawab yang lebih besar ketika memiliki anak (Bridge, 2009 dalam Brough et al., 2014). Perubahan yang sangat signifikan baik secara sosial, perubahan ekonomi, politik dan teknologi telah membantu memperkenalkan struktur sosial
baru, sehingga perempuan tidak sekedar melakukan pekerjaan di rumah tetapi juga sudah merambah ke ruang publik yang lebih luas. Dalam upaya meningkatkan keseimbangan kerja-kehidupan, wanita lebih mandiri dalam mendapatkan fleksibilitas dan kontrol atas pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka (Ward, 2007). Isu mengenai keseimbangan kerja-kehidupan tidak hanya menjadi tren di negara–negara besar di Eropa maupun di Amerika Serikat (Lockwood, 2003). Karyawan secara global telah menyadari pentingnya keseimbangan kerja-kehidupan, sehingga mereka menginginkan jenis pekerjaan yang lebih fleksibel. Walaupun bekerja mereka juga dapat memperhatikan kehidupan pribadi mereka di dalam keluarga. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa keseimbangan kerja-kehidupan berlaku bagi para profesional baik pria maupun wanita pada berbagai tingkat karir profesional (Byalick dan Saslow, 1993;
Armour,
2003
dalam
Blair-Loy,
2003).
Mereka
berusaha
menyeimbangkan kehidupan keluarga, pekerjaan dan minat pribadi. Dampak dari keseimbangan kerja-kehidupan tidak hanya penting untuk kesehatan dan kesejahteraan individu, tetapi juga dapat meningkatkan stabilitas institusi dan lingkungan kerja (Perrons, 2003). Meskipun sejumlah penelitian telah dilakukan untuk memahami anteseden dan konsekuensi keseimbangan kerja-kehidupan, masih terdapat banyak kesenjangan yang muncul dari hasil penelitian empiris anteseden dan konsekuensi penelitian keseimbangan kerja-kehidupan ini. Lebih lanjut, meskipun masih dalam jumlah terbatas keseimbangan kerja-kehidupan telah
diteliti baik anteseden (Giannikis dan Mihail, 2011; McCarthy et al., 2000; Chang et al., 2010; Tamang, 2010; Brough et al., 2009) maupun konsekuensinya (Brough et al., 2014; McCarthy et al., 2013; Tamang, 2010; Chang et al., 2010). Kebanyakan studi yang ada menunjukkan dampak negatif terhadap keseimbangan kerja-kehidupan, antara lain sentralitas kerja (Chang et al., 2010), tuntutan pekerjaan dan keluarga (Brough et al., 2009), penyebab stres kerja: ambiguitas peran, konflik peran, peran yang berlebihan, waktu yang dihabiskan dalam bekerja, penyebab stres keluarga: waktu yang dihabiskan ditempat kerja (Tamang, 2010). Hal ini tentu merugikan organisasi maupun individu, karena dapat mempersulit individu untuk mendapatkan keseimbangan kerja-kehidupan serta menurunkan produktivitas bagi organisasi. Padahal, konstruk keseimbangan kerja-kehidupan dapat dibangun berdasarkan dukungan yang diberikan oleh organisasi untuk dapat menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga, antara lain sistem kerja fleksibel (Giannikis dan Mihail, 2011), jenjang karir, otonomi pekerjaan (Chang et al., 2010), ketersediaan program ramah keluarga (work family-friendly program) (McCarthy et al., 2000). Oleh karena itu, adalah penting mengeksplorasi anteseden keseimbangan kerja-kehidupan dengan lebih berfokus pada dukungan yang diberikan oleh organisasi untuk dapat menyeimbangkan keseimbangan kerja-kehidupan tersebut. Sehingga, diperlukan analisa lebih lanjut mengenai berbagai macam variabel anteseden yang dapat memperkuat keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan individu. Berikut ini secara garis besar berbagai penelitian terdahulu
secara konsisten mengungkapkan anteseden dari keseimbangan kerja-kehidupan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Anteseden dari Keseimbangan Kerja-Kehidupan No. 1.
Level Individual
Jenis Anteseden Perilaku Kerja
Variabel Anteseden Sentralitas Kerja Jenjang Karir
Peneliti Chang et al. (2010)
Tuntutan pekerjaan dan keluarga
Brough et al. (2009)
Konflik Peran Tamang (2010) Ambiguitas Peran Peran yang Berlebihan Waktu yang Dihabiskan dalam Bekerja 2.
Pengaturan Kerja
Sistem Kerja Fleksibel
Giannikis dan Mihail (2011)
Ketersediaan Program Ramah Keluarga (Work family-friendly program)
McCarthy et al. (2000)
Otonomi Pekerjaan
Chang et al. (2010)
Tabel 1.1 menunjukkan penjelasan mengenai anteseden keseimbangan kerja-kehidupan dari berbagai penelitian terdahulu. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda, terdapat perbandingan anteseden
yang memberikan dampak yang negatif maupun positif terhadap keseimbangan kerja-kehidupan. Berikut adalah anteseden terhadap keseimbangan kerjakehidupan yang memberikan dampak yang negatif. Pertama, sentralitas kerja (Chang et al., 2010). Penelitian mengenai anteseden sentralitas kerja pada keseimbangan kerja-kehidupan menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hal ini karena menurut Carlson dan Kacmar (2000) sentralitas pada satu peran saja dapat menimbulkan suatu konflik kerja-kehidupan. Dengan kata lain, individu yang menganggap pekerjaan sebagai hal terpenting dalam kehidupan akan cenderung meluangkan waktu lebih banyak pada pekerjaan tersebut. Tindakan tersebut akan berpengaruh pada pencapaian keseimbangan kerja-kehidupan individu. Kedua, tuntutan pekerjaan dan keluarga (Brough et al., 2009). Hasil penelitian empiris anteseden tuntutan pekerjaan dan keluarga justru dapat melemahkan keseimbangan kerja-kehidupan, karena tuntutan pekerjaan dan keluarga merupakan beban yang harus ditanggung oleh seseorang dalam kehidupannya. Beban tersebut dapat berhubungan dengan peran sebagai orang tua dan sebagai pasangan suami istri (Frone et al., 1992), karena tuntutan pekerjaan dan keluarga terjadi ketika ketidakseimbangan antara tuntutan keluarga dan pekerjaan yang tidak mampu dipenuhi individu Ketiga, ambiguitas peran (Tamang, 2010). Hasil penelitian empiris mengenai pengaruh anteseden ambiguitas peran terhadap keseimbangan kerjakehidupan menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini dipertegas dengan teori peran yang menyatakan bahwa ambiguitas peran terjadi karena kurangnya
informasi yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan yang dialami oleh pekerja (Tamang, 2010). Oleh sebab itu, ambiguitas seharusnya dapat meningkatkan kemungkinan bahwa seseorang akan merasa tidak puas dengan perannya, sehingga mengalami kecemasan, menjadi tidak produktif dan mengalami kesulitan dalam mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Keempat, konflik peran (Tamang, 2010). Hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa konflik peran tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada pencapaian keseimbangan kerja-kehidupan. Hal ini karena individu yang sama dapat menjalankan peran yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan tuntutan yang berbeda pula dari masing-masing peran. Hal ini dapat menimbulkan konflik peran ganda. Sehingga, konflik peran ganda dapat timbul bila individu pada saat yang sama melakukan peran yang berbeda-beda (Allen et al., 1980). Konflik timbul apabila peran di dalam pekerjaan dan keluarga saling menuntut untuk dipenuhi dan pemenuhan peran yang satu akan mempersulit pemenuhan peran yang lain (Aycan dan Eskin, 2005). Kelima, peran yang berlebihan (Tamang, 2010). Hasil studi empiris menunjukkan bahwa peran yang berlebihan memberikan dampak yang negatif pada keseimbangan kerja-kehidupan. Hal ini ketika tuntutan pekerjaan yang berlebihan akan mengganggu waktu yang dibutuhkan pada keluarga, begitu juga sebaliknya jika banyaknya tuntutan keluarga membuat pekerja sulit untuk menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan keluarga (Elloy dan Smith, 2004). Keenam, waktu yang dihabiskan dalam bekerja (Tamang, 2010). Hasil
studi empiris menunjukkan bahwa anteseden waktu yang dihabiskan dalam bekerja memberikan dampak negatif pada keseimbangan kerja-kehidupan. Karyawan yang mengalami jam kerja yang panjang dan konflik peran cenderung memiliki konflik keluarga-pekerjaan. Hal ini terbukti secara empiris bahwa keberadaan jam kerja yang berlebihan cenderung menimbulkan konflik keluarga-pekerjaan (Fu dan Shaffer, 2001) Berikut ini adalah anteseden yang memberikan dampak positif terhadap keseimbangan kerja-kehidupan. Pertama, jenjang karir (Chang et al., 2010). Perbedaan perkembangan jenjang karir, kebutuhan psikologis dan berbagai tantangan dalam karir tercermin pada perbedaan perspektif dalam pencapaian keseimbangan kerja-kehidupan. Menurut Rodhes (1983) etika kerja, nilai-nilai, dan kepuasan akan berubah sesuai dengan jenjang karir yang dialami individu, sehingga jenjang karir yang berbeda memberikan pandangan yang berbeda pula pada keseimbangan kerja-kehidupan. Kedua, otonomi pekerjaan (Chang et al., 2010). Dalam beberapa studi empiris efek positif dari otonomi pekerjaan pada keseimbangan kerja-kehidupan tidak konsisten. Seperti penelitian dari Hill et al. (1996) yang menyatakan ketika individu mendapatkan otonomi atas pekerjaannya
justru
dapat
menimbulkan
ketidakseimbangan
dalam
memprioritaskan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ketiga, ketersediaan program ramah keluarga (work family-friendly program) (McCarthy et al., 2000). Program ramah keluarga (work familyfriendly program) jika dipraktekkan pada setiap level individu akan menghasilkan prespektif yang berbeda pula. Hartig et al. (2007), dalam Grant
et al. (2013) menyatakan bahwa ketika individu terlalu memberatkan perhatian kepada keluarga akan menimbulkan tumpang tindih yang akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Keempat, sistem kerja fleksibel (Giannikis dan Mihail, 2011). Hasil penelitian empiris sistem kerja fleksibel memberikan dampak yang positif terhadap keseimbangan kerja-kehidupan. Hal ini karena sistem kerja fleksibel sangat berperan penting pada organisasi, dengan membuat perusahaan lebih memperhatikan dan mendorong para karyawan untuk dapat menurunkan stres, kejenuhan dan meningkatkan produktifitas, dibandingkan dengan perusahaan yang hanya menggunakan jam kerja yang konvensional (Giannikis dan Mihail, 2011). Pada penelitian sebelumnya memberikan gambaran mengenai dampak positif maupun negatif terhadap keseimbangan kerja-kehidupan. Namun, untuk mencapai keseimbangan kerja-kehidupan karyawan dibutuhkan faktor-faktor yang mendukung tercapainya tujuan tersebut. Oleh karena itu, dampak positif pada keseimbangan kerja-kehidupan bermuara pada keleluasaan karyawan dalam menjalankan kewajiban antara pekerjaan dan keluarga dengan dukungan yang diberikan oleh organisasi (Giannikis dan Mihail, 2011). Dengan demikian untuk memperkaya pemahaman mengenai pengaturan kerja yang memberikan pengaruh positif bagi individu, studi ini menguji sistem kerja fleksibel sebagai anteseden keseimbangan kerja-kehidupan. Menurut Greenhaus dan Beutell (1985), keseimbangan kerja-kehidupan merupakan model spesifik dari tuntutan peran ganda, seperti tuntutan berbasis
tekanan, tuntutan berbasis perilaku dan tuntutan berbasis waktu. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa sistem kerja fleksibel dapat meningkatkan produktivitas organisasi, serta menciptakan keseimbangan kerja-kehidupan, dan meningkatkan kepuasan kerja bagi karyawan (Lewis dan Cooper, 2005 dalam Grant et al., 2013). Sistem kerja fleksibel merupakan respon untuk dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga serta kepentingan pribadi sehingga mampu memberikan solusi yang saling menguntungkan (Sullivan dan Lussier, 1995). Perusahaan dapat mempertahankan individu yang berkualitas, meningkatkan dorongan moral, dan produktivitas yang tinggi serta mengurangi biaya-biaya yang berlebihan. Sedangkan bagi karyawan dapat memenuhi tanggung jawab personal terhadap keluarga, dan kepentingan pribadi dengan tetap produktif dalam bekerja. Fleedwood (2007) dalam Vidal et al. (2012) mengungkapkan adanya hubungan yang tak terhindarkan antara kesimbangan kerja-kehidupan dengan sistem kerja fleksibel tertentu. Sistem kerja fleksibel ini merupakan beberapa praktek
yang
mempermudah
karyawan
karena
dapat
meningkatkan
keseimbangan kerja-kehidupan karyawan. Praktek kerja yang mempermudah karyawan ini banyak dilakukan oleh organisasi yang tidak hanya menghasilkan profit tetapi juga meningkatkan keseimbangan kerja-kehidupan karyawan. Hasil penelitian Hartig et al. (2007) dalam Grant et al. (2013) menunjukkan bahwa sistem kerja fleksibel memiliki dampak negatif pada karyawan. Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih antara pekerjaan dan
kehidupan yang menyebabkan individu sulit untuk menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Batasan ruang yang tidak jelas antara pekerjaan
dan
memprioritaskan
kehidupan antara
pribadi
kedua
hal
membuat
individu
tersebut.
Karyawan
tidak akan
dapat sulit
memprioritaskan pekerjaan dan kewajiban di rumah ketika mereka harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Adanya pengaruh negatif dan positif sistem kerja fleksibel pada keseimbangan kerja-kehidupan menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut tidak konsisten. Oleh karena itu, diperlukan peran variabel pemoderasi yang dapat memperjelas hubungan sistem kerja fleksibel pada keseimbangan kerja-kehidupan. Penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perilaku dari individu mempengaruhi apa yang akan individu dapatkan, dan mampu mengendalikan peristiwa dalam kehidupan mereka (Spector et al., 2001). Dorongan dalam diri individu dapat dikatakan sebagai nilai-nilai individu. Memutuskan apa yang menjadi prioritas bagi tiap individu merupakan hal terpenting dalam kehidupan, karena hal ini akan menentukan perilaku individu tersebut. Penelitian empiris secara konsisten menunjukkan nilai-nilai individu berhubungan dengan sikap dan perilaku (Rokeach, 1973 dalam Mayton dan Furham, 1994). Ketika susunan nilai telah direalisasikan dalam diri seseorang, maka akan mendorong seseorang untuk bertindak sebagai standar atau kriteria untuk menuntun tindakan orang tersebut (Cherrington, 1994). Pemahaman nilai yang dianut individu dalam memprioritaskan keluarga atau pekerjaan merupakan hal penting, karena dapat memberikan pandangan
yang berguna bagi organisasi dalam memotivasi karyawan untuk bekerja di organisasi (Masuda dan Shortheix, 2011). Terkait dengan ranah pekerjaan dan keluarga, ketika nilai-nilai yang dianut seseorang bertentangan dengan pekerjaan atau keluarga, motivasi seseorang untuk memenuhi perannya dalam pekerjaan atau kehidupan keluarganya akan menurun, dan beralih pada ranah yang sejalan dengan nilai yang mereka anut. Sheldon dan Elhot (1999) menyatakan bahwa, seseorang akan cenderung mengupayakan tujuannya didasarkan nilai-nilai yang mereka yakini. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi seseorang memprioritaskan suatu nilai, maka mereka akan berusaha mewujudkan hal yang mereka yakini dengan mengorbankan hal-hal yang bertentangan dengan nilainya untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Promislo et al. (2010) mengungkapkan salah satu nilai yang dianut individu mendorong individu untuk lebih memprioritaskan pekerjaannya dibandingkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan. Waktu dan tenaga individu tersebut dihabiskan untuk pekerjaannya sehingga pemenuhan peran di ranah keluarga menjadi sedikit, sehingga dapat memunculkan konflik keluarga yang bersumber dari pekerjaan. Untuk mengatasi permasalahan dalam pekerjaan dan kehidupan keluarga dibutuhkan faktor personal di dalam diri individu yakni nilai individu yang mampu memprioritaskan antara pekerjaan dan keluarga, sehingga mampu memperkuat hubungan antara sistem kerja fleksibel dengan keseimbangan kerja-kehidupan.
Dibanding antesedennya, konsekuensi keseimbangan kerja-kehidupan tidak terlalu banyak diteliti. Dari sejumlah kecil studi konsekuensi menunjukkan dampak negatif keseimbangan kerja-kehidupan yang mengarah pada keinginan berpindah (Brough et al., 2014; McCarthy et al., 2013; Chang et al., 2010). Hal ini tentu dapat merugikan organisasi, karena karyawan merasa frustasi
dengan
beban
kerja
yang
diberikan,
sehingga
tidak
dapat
menyeimbangkan kehidupan pribadi dan pekerjaan. Jika organisasi tidak dapat mengatasi hal tersebut, maka dapat menimbulkan ketidakpuasan karyawan dan keinginan berpindah. Sedangkan konsekuensi yang berdampak positif adalah kepuasan keluarga, kepuasan kerja (Brough et al., 2014; McCarthy et al., 2013), komitmen organisasional (Tamang, 2010), dan kinerja (Chang et al., 2010). Salah satu keadaan yang mampu menimbulkan emosi positif sehingga mampu membuat pekerja bahagia adalah perasaan aktual pekerja untuk dapat memenuhi kewajiban terhadap pekerjaan dan keluarga, diantaranya melalui keseimbangan pembagian waktu yang tepat antara kewajiban kerja dan keluarga. Para akademisi dan praktisi menegaskan bahwa implementasi dari keseimbangan kerja-kehidupan ini dapat memberikan hasil yang positif terhadap perusahaan, peningkatan hasil kerja karyawan, seperti tingginya tingkat kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan mengatasi permasalahan perputaran karyawan (Vidal et al., 2012). Keseimbangan kerja-kehidupan mendapat sorotan penting dalam dunia akademisi baik secara demografi, sosial
dan
perubahan
budaya
yang
membuat
individu
berusaha
untuk
menyeimbangkan antara kehidupan personal dan pekerjaan mereka (Fleetwood, 2007 dalam Vidal et al., 2012). Keseimbangan kerja-kehidupan yang dirasakan karyawan dapat memberikan dampak positif bagi organisasi, meningkatkan hasil kerja karyawan, kepuasan kerja, komitmen organisasional dan mengatasi permasalahan perputaran karyawan (Vidal et al., 2012). Penjelasan dari konsekuensi-konsekuensi yang muncul pada keseimbangan kerja-kehidupan, dijelaskan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Konsekuensi dari Keseimbangan Kerja-Kehidupan No. 1.
Level Individual
Jenis Konsekuensi Sikap Kerja
Variabel Konsekuensi Kepuasan Kerja Kepuasan Keluarga Keinginan Berpindah
Peneliti Brough et al. (2014) McCarthy et al. (2013) Chang et al. (2010)
Perilaku Kerja
Tabel
1.2
menunjukkan
Komitmen Organisasional
Tamang (2010)
Kinerja
Chang et al. (2010)
penjelasan
mengenai
konsekuensi
keseimbangan kerja-kehidupan dari berbagai penelitian terdahulu. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan konsekuensi negatif keseimbangan kerjakehidupan bermuara pada keinginan berpindah (Brough et al., 2014; McCarthy et al., 2013; Chang et al., 2010), keinginan berpindah karyawan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dan sedini mungkin dideteksi sebelum menjadi perpindahan yang sesungguhnya. Karyawan merasa frustasi dengan beban kerja yang diberikan, sehingga tidak dapat menyeimbangkan kehidupan pribadi dan pekerjaan. Jika organisasi tidak dapat mengatasi hal tersebut dapat menimbulkan kekecewaan karyawan. Berikut ini adalah konsekuensi positif keseimbangan kerja-kehidupan. Pertama, kepuasan keluarga (Brough et al., 2014; McCarthy et al., 2013). Kepuasan keluarga hanya memberikan cakupan sepihak dampak dari tercapainya keseimbangan kerja-kehidupan, karena ketika individu tidak dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga maka akan terjadinya ketimpangan dalam menyeimbangkan hal tersebut. Hal ini karena kepuasan keluarga memberikan dampak yang tidak konsisten ketika individu mengalami kesulitan dalam membagi peran yang dimiliki, ketika terlalu banyak menghabiskan peran pada pekerjaan maka akan menurunkan kepuasan
kerjanya. Kedua, komitmen organisasional (Tamang, 2010), komitmen organisasional menunjukkan hasil yang tidak konsisten, karena hanya komponen
komitmen
afektif
saja
yang
berpengaruh
positif
antara
keseimbangan kerja-kehidupan dan komitmen organisasional, dan tidak berpengaruh pada komponen komitmen normatif maupun reflektif (Kim, 2014). Ketiga, kinerja (Chang et al., 2010). Dalam hal ini kinerja dapat diperlemah jika individu mengalami konflik pada kehidupan-pekerjaan, sehingga individu tidak dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarganya. Keempat, kepuasan kerja (Brough et al., 2014; McCarthy et al., 2013). Salah satu keadaan yang mampu menimbulkan emosi positif sehingga mampu membuat pekerja bahagia adalah perasaan aktual pekerja untuk dapat memenuhi kewajiban terhadap pekerjaan dan keluarga, diantaranya melalui keseimbangan pembagian waktu yang tepat antara kewajiban kerja dan keluarga. Penelitian sebelumnya memang telah menguji hubungan konsekuensi keseimbangan kerja-kehidupan pada level individual (Tabel 1.2), serta memberikan gambaran mengenai dampak positif maupun negatif dari keseimbangan kerja-kehidupan. Namun, konstruk keseimbangan kerjakehidupan dibangun berdasarkan dukungan yang diberikan oleh organisasi untuk dapat menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga. Hal ini membuat dampak negatif dari keseimbangan kerja-kehidupan menjadi tidak relevan digunakan dalam penelitian ini. Karyawan dengan keseimbangan waktu
yang baik dan kehidupan sosial yang menyenangkan akan memiliki rasa keterkaitan yang tinggi terhadap pekerjaannya. Oleh sebab itu, kepuasan kerja merupakan salah satu faktor dari komitmen organisasional yang memiliki dampak terhadap keseimbangan kerja-kehidupan (Bakker et al., 2001). Maka dari itu, pada penelitian ini menggunakan kepuasan kerja sebagai konsekuensi dari keseimbangan kerja-kehidupan. Kepuasan kerja merupakan konsekuensi penting dari keseimbangan kerja-kehidupan karena dapat meningkatkan kualitas hidup karyawan, juga mempertahankan tingkat produktivitas karyawan di tempat kerja. Selain itu, menurut penelitian Greogory dan Milner (2009), keseimbangan kerjakehidupan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Maka dari itu organisasi berperan penting dalam menciptakan keseimbangan kerja-kehidupan pada diri karyawan, melalui kebijakan-kebijakan yang diterapkan seperti waktu yang fleksibel, penempatan hari kerja dalam seminggu, kebijakan ijin (Lockwood, 2003) Berdasarkan penelitian Accenture (2012) diantara 31 negara yang diteliti, Indonesia menempati urutan terendah dalam aspek kepuasan dan kebahagiaan karyawan. Hanya 18 dari 100 karyawan di Indonesia yang menyatakan bahwa dirinya puas dan merasa bahagia di tempat kerja. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa dua dari tiga masalah yang sering dikeluhkan karyawan sebagai penyebab ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan di
tempat kerja adalah pengembangan karir dan kurangnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Kepuasan kerja bersifat individual, setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda tergantung pada sistem nilai yang berlaku pada dirinya (Rivai, 2004). Jika penilaian antara pekerjaan yang dilakukan dengan harapannya sesuai, maka akan tercipta kepuasan kerja karyawan. Untuk itu, kepuasan kerja karyawan harus selalu diwujudkan dan dipelihara oleh organisasi sebaik-baiknya agar moral kerja, dedikasi, motivasi, kecintaan dan kedisiplinan karyawan meningkat (Fathoni, 2006). Locke (1976) dalam Milkovich dan Boudreau (1997) menyatakan bahwa, kepuasan kerja sebagai reaksi emosional yang positif dalam pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja juga memberikan dampak pada kinerja yang tinggi (Daft dan Marcic, 2001), dan sebagai refleksi perasaan karyawan tentang berbagai aspek pekerjaan (Stone, 2005). Terwujudkan kepuasan kerja dapat dilakukkan melalui pemenuhan kebutuhan dengan memberikan sesuatu yang dibutuhkan karyawan, sehingga organisasi mampu membina motivasi karyawannya. 1.2. Perumusan Masalah Studi ini menguji baik anteseden maupun konsekuensi keseimbangan kerja-kehidupan. Anteseden difokuskan pada dukungan yang diberikan oleh organisasi untuk dapat menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga, sistem kerja fleksibel. Selain itu, studi ini mempertimbangkan peran nilai individu yang dapat memprioritaskan antara pekerjaan dan keluarga sebagai pemoderator hubungan sistem kerja fleksibel dan keseimbangan kerja-
kehidupan. Sedangkan konsekuensi keseimbangan kerja-kehidupan difokuskan pada perilaku positif dari keseimbangan kerja-kehidupan, kepuasan kerja. Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian ini antara lain: 1. Apakah sistem kerja fleksibel berpengaruh pada keseimbangankerja-kehidupan? 2. Apakah keseimbangan kerja-kehidupan berpengaruh pada kepuasan kerja? 3. Apakah
nilai individu yang memprioritaskan pekerjaan dan
keluarga memoderasi pengaruh sistem kerja fleksibel pada keseimbangan kerja-kehidupan? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menguji pengaruh sistem kerja fleksibel pada keseimbangan kerja-kehidupan. 2. Untuk menguji pengaruh keseimbangan kerja-kehidupan
pada
kepuasan kerja. 3. Untuk
menguji
pengaruh
moderasi
nilai
individu
yang
memprioritaskan pekerjaan dan keluarga pada hubungan antara sistem kerja fleksibel dan keseimbangan kerja-kehidupan. 1.4. Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dapat diberikan penelitian ini adalah
1.
Kontribusi empiris Memberikan
tambahan
informasi
empiris
bagi
peneliti
selanjutnya mengenai kebijakan sistem kerja-fleksibel terhadap keseimbangan kerja-kehidupan dan implikasinya terhadap kepuasan kerja pada konteks Indonesia, karena di Indonesia belum banyak penelitian
yang
menganalisis
anteseden
dan
konsekuen
dari
keseimbangan kerja-kehidupan. 2.
Kontribusi praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi dan pemikiran bagi organisasi bagaimana membangun kepuasan kerja karyawan melalui keseimbangan kerja-kehidupan, dengan penerapan sistem kerja fleksibel.