BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Paradigma pelayanan kefarmasian saat ini telah meluas dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi pada pasien (patient oriented) (Depkes RI, 2008). Pergeseran paradigma pelayanan tersebut menuntut apoteker untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Kemenkes RI, 2004). Home care merupakan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama yang dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas sebagai salah satu upaya agar tenaga kesehatan dapat berinteraksi langsung dengan pasien. Puskesmas dalam melaksanakan upaya kesehatan juga harus menyelenggarakan beberapa pelayanan salah satunya yaitu pelayanan kefarmasian (Kemenkes RI, 2014c). Apoteker sebagai pelaksana pelayanan kefarmasian dapat berpartisipasi dalam melaksanakan upaya kesehatan dengan home pharmacy care. Home pharmacy care oleh apoteker adalah pendampingan pasien oleh apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau keluarganya (Depkes RI, 2008). Menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI nomor 9 tahun 2014 pasal 32, pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif,
1
2
kuratif, dan rehabilitatif dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu hari (one day care) dan/atau home care (Kemenkes RI, 2014a). Apoteker di dalam home pharmacy care dapat melaksanakan beberapa pelayanan kefarmasian salah satunya melalui pemberian konseling. Konseling sebagai bagian dari pelayanan farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan dan rawat inap serta keluarga pasien (Kemenkes RI, 2014b). Konseling khususnya bagi pasien yang rutin mengkonsumsi obat bertujuan untuk meningkatkan kesadaran (Kreitler dkk., 2004) dan adherence (kepatuhan) pasien (Kreps dkk., 2011). Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil terapi pasien terlebih untuk pasien penyakit kronis yang membutuhkan terapi obat dalam jangka panjang (Lewis dkk., 1997). Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh (Depkes RI, 2006). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC-7 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC7 2003 hanya berlaku untuk umur ≥18 tahun.
3
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 melaporkan bahwa
prevalensi
hipertensi pada umur ≥18 tahun di Indonesia sebesar 25,8%, tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan atau mengkonsumsi obat hanya sebesar 9,5% (Kemenkes RI, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pasien hipertensi di Indonesia dalam mengkonsumsi obat masih cukup rendah. Prevalensi hipertensi di Provinsi DIY juga cukup tinggi mendekati angka rata-rata yaitu sebesar 25,7% (Kemenkes RI, 2013). Hasil seleksi survailans Dinkes Provinsi DIY tahun 2012 menempatkan hipertensi sebagai urutan ketiga penyakit yang banyak dijumpai di Puskesmas di Provinsi DIY pada tahun 2011 (Dinkes DIY, 2012). Berdasarkan data Profil Kesehatan Puskesmas Jetis tahun 2014, hipertensi primer merupakan peringkat pertama dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas Jetis dengan persentase sebesar 14,07%. Kemudian peringkat selanjutnya diduduki oleh penyakit infeksi saluran pernafasan atas (10,04%), diabetes mellitus tipe dua (7,34%), myalgia (4,89%), pengawasan kehamilan normal (3,01%), dyspepsia (2,85%), demam yang sebabnya yang tidak diketahui (2,26%), arthritis tidak spesifik (2,24%), sakit kepala (2,11%), gangguan metabolisme lipoprotein dan lipidal urin lain (2,04%), dan lain-lain (49,15%) (Puskesmas Jetis, 2015). Salah satu masalah dalam terapi hipertensi adalah ketidakpatuhan pasien terhadap terapi perubahan gaya hidup dan pengobatan farmakologi (Heisler dkk., 2010; Williams, 2000). Kondisi pengetahuan pasien, kondisi penyakit pasien, dan dukungan keluarga dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan pasien dan kemudian
4
dapat mempengaruhi keluaran klinik pasien (Morisky dkk., 2011). Diperlukan konseling oleh apoteker pada pasien hipertensi karena hipertensi merupakan salah satu penyakit yang memerlukan kesadaran dan keapatuhan pasien agar tekanan darahnya terkontrol. Kaitannya dengan home pharmacy care, konseling dalam pelayanan kefarmasian di rumah ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat (Rantucci, 2007). Konseling dalam home pharmacy care diharapkan dapat memberikan pelayanan khusus yang sesuai dengan kondisi pasien sehingga dapat meningkatkan kepatuhan dan hasil terapi pasien.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disajikan di latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care terhadap kepatuhan pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta? 2. Bagaimana pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care terhadap hasil terapi pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta? 3. Bagaimana hubungan kepatuhan terhadap hasil terapi pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta?
5
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care terhadap kepatuhan pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta. 2. Mengetahui pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care terhadap hasil terapi pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta. 3. Mengetahui hubungan kepatuhan terhadap hasil terapi pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan informasi tentang pangaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care terhadap kepatuhan dan hasil terapi pasien hipertensi. 2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta dalam memberikan intervensi berupa konseling dalam home pharmacy care khususnya pada pasien hipertensi. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran bagi peneliti mengenai pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care pasien hipertensi sehingga dapat memotivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
6
E. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi a.
Definisi Hipertensi Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diamdiam) yang secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum (Depkes RI, 2006). Terjadi suatu kondisi medis yang kronis pada
hipertensi dimana tekanan darah meningkat di atas tekanan darah yang disepakati normal (Kabo, 2011). Nilai tekanan darah pada orang dewasa normalnya berkisar dari 100/60 mmHg sampai 140/90 mmHg. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001). Secara operasional, seorang diidentifikasi sebagai individu dengan hipertensi jika tekanan darah sistoliknya ≥140 mmHg dan tekanan diastoliknya ≥90 mmHg (Battegay dkk., 2005). b.
Epidemiologi Menurut data WHO, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang atau 26,4% penghuni bumi menderita hipertensi, angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di Negara maju dan 639 sisanya berada di Negara sedang berkembang, termasuk Indonesia (Anna, 2007). Kasus
7
hipertensi sangat sering dijumpai diberbagai belahan dunia, prevalensi hipertensi dunia mencapai 29,2% pada laki-laki dan 24,8 % pada perempuan sedangkan di Indonesia prevalensi hipertensi pada laki-laki sebanyak 32,5% dan pada wanita sebanyak 29,3% (World Health Statistic, 2012). Laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan sampai dengan umur 55 tahun. Pada umur 55-74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65,4 % (Depkes RI, 2006). Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 melaporkan bahwa prevalensi hipertensi pada umur ≥18 tahun di Indonesia sebesar 25,8% (Kemenkes RI, 2013). Prevalensi hipertensi di Pulau Jawa 41,9%, dengan kisaran di masing-masing provinsi 36,6% - 47,7%. Prevalensi di perkotaan 39,9% (37,0% - 45,8%) dan di pedesaan 44,1 (36,2%-51,7%). Di Provinsi DIY prevalensi hipertensi juga cukup tinggi mendekati angka rata-rata yaitu sebesar 25,7% (Kemenkes RI, 2013). Hasil seleksi survailans Dinkes Provinsi DIY tahun 2012 menempatkan hipertensi sebagai urutan ketiga penyakit yang banyak dijumpai di Puskesmas di Provinsi DIY pada tahun 2011 (Dinkes DIY, 2012). c.
Etiologi Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi dan patofisiologinya tidak
8
diketahui (esensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder baik endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Dipiro dkk., 2009).
Lebih dari 90% pasien hipertensi mengalami hipertensi esensial. Faktor genetik kemungkinan memainkan peran penting pada terjadinya hipertensi esensial (Dipiro dkk., 2009). Multifaktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer adalah ketidaknormalan hormon meliputi sistem
renin-angiotensin-aldosteron,
hormon
natriuretik
atau
hiperinsulinemia; masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut saraf otonom, volume plasma, dan konstriksi arteriol; defisiensi senyawa vasodilator
sintesis
lokal
pada
endotelium
vaskular,
misalnya
prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau terjadinya peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor seperti angiotensinogen II dan endothelin I; asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik yang menginhibisi transport natrium intrasel, meghasilkan peningkatan reaktivitas vaskuler dan tekanan darah; serta peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan vaskuler, fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskuler perifer (Sukandar dkk., 2013).
9
Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah serebrovaskuler, kardiovaskuler, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian prematur ada korelasinya dengan meningkatnya tekanan darah. Hipertensi sekunder bernilai kurang dari 10% kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal kronik atau renovaskuler (Sukandar dkk., 2013). d.
Patofisiologi Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam milimeter merkuri (mmHg). Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur yaitu tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah dan berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi antara lain : 1) Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau
variasi
diurnal),
mungkin
berhubungan
dengan
meningkatnya respons terhadap stress psikososial dan lain-lain 2) Produksi
berlebihan
hormon
yang
menahan
vasokonstriktor 3) Asupan natrium (garam) berlebihan 4) Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
natrium
dan
10
5) Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosteron 6) Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrit oksida (NO), dan peptida natriuretik 7) Perubahan
dalam
ekspresi
sistem
kallikrein-kinin
yang
mempengaruhi tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal 8) Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal 9) Diabetes mellitus, resistensi insulin, obesitas 10) Meningkatnya antifitas vascular growth factors 11) Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular 12) Berubahnya transpor ion dalam sel (Vasan dkk., 2001). e.
Faktor Risiko Hipertensi Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah adalah faktor risiko seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetik, sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi diurnal), keseimbangan modulator vasodilatasi dan vasokontriksi, serta pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin-angiotensinaldosteron (Yogiantoro, 2006).
11
Tabel I. Faktor Risiko Kardiovaskular dan Kerusakan Organ Target pada Pasien Hipertensi Faktor Risiko Utama Merokok Obesitas (BMI≥30) Dislipidemia Diabetes Mellitus Umur diatas 60 tahun Jenis Kelamin (pria dan wanita pasca menopause) Riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga (wanita <65 tahun atau pria <55tahun)
Kerusakan Organ Target Penyakit jantung : Hipertrofi ventrikel kiri Angina/riwayat infark miokard Riwayat revakularisasi koroner Gagal jantung Otak Nefropati Penyakit arteri perifer Retinopati
Sumber : Susalit dkk., 2001
Pasien prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi. Mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular daripada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg yang merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular daripada tekanan darah diastolik. Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg. Risiko penyakit kardiovaskular ini bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya. Individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi (Yogiantoro, 2006).
12
f.
Klasifikasi Hipertensi Tekanan darah pada orang dewasa usia ≥18 tahun diklasifikasikan dalam tekanan darah normal, prehipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi
stage
2.
The
Seventh
Joint
National
Committee,
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa seperti tertera pada tabel II. Tabel II. Klasifikasi Tekanan Darah Dewasa Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) < 120 Dan < 80 Normal 120-139 Atau 80-89 Prehipertensi 140-159 Atau 90-99 Hipertensi stage 1 ≥ 160 Atau ≥ 100 Hipertensi stage 2 Sumber : Chobanian dkk., 2003
Prehipertensi tidak dikategorikan sebagai penyakit, hanya dapat menjadi petunjuk untuk individu yang berisiko mengalami hipertensi. Prehipertensi merupakan sinyal bagi pasien dan dokter untuk melakukan pencegahan berkembangnya menjadi hipertensi derajat selanjutnya (Chobanian dkk., 2003). Hipertensi krisis merupakan situasi klinik yaitu nilai tekanan darah lebih besar dari 180/120 mmHg, dapat dikategorikan hipertensi baik sebagai hipertensi emergensi atau urgensi. Hipertensi emergensi merupakan kenaikan tekanan darah secara ekstrim yang disertai berkembangnya kerusakan pada organ target secara akut meliputi ansefalopati, perdarahan intrakranial, gagal jantung ventrikel kiri akut dengan udem paru, dissecting aortic aneurys, angina tidak stabil, eklamsia atau hipertensi berat selama kehamilan. Hipertensi emergensi
13
memerlukan penurunan tekanan darah segera tetapi secara bertahap selama periode beberapa menit sampai beberapa jam menggunakan agen antihipertensi intravena. Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa kerusakan organ target. Situasi ini memerlukan penurunana tekanan darah dengan agen antihipertensi oral sampai pada nilai hipertensi stage 1 selama periode beberapa jam sampai beberapa hari (Saseen, 2005). g.
Komplikasi Hipertensi Komplikasi dari hipertensi diantaranya rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor risiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Mortalitas dan morbiditas penderita hipertensi yang memiliki faktor-faktor risiko penyakit
kardiovaskular
dapat
meningkatkan
akibat
gangguan
kardiovaskularnya tersebut. Menurut studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan risiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Depkes RI, 2006). Ada dua jenis komplikasi hipertensi : 1) Komplikasi hipertensif, yakni komplikasi yang langsung disebabkan oleh hipertensi itu sendiri, misalnya pendarahan otak, ensefalopati hipertensif, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung kongestif, gagal
14
ginjal,
aneurisme
aorta,
dan
hipertensif
akselerasi/maligna
(pendarahan retina dengan atau tanpa udem pupil). 2) Komplikasi
aterosklerotik,
yakni
komplikasi
akibat
proses
aterosklerosis yang disebabkan tidak hanya oleh hipertensi sendiri tetapi juga oleh banyak faktor lain, misalnya peningkatan kolesterol serum, merokok, diabetes mellitus, dan lain-lain. Komplikasi aterosklerosis ini berupa penyakit jantung koroner (PJK), infark miokard, trombosis serebral, dan klaudikasio. (Setiawati dan Bustami, 1995) h.
Terapi Hipertensi Secara keseluruhan tujuan terapi hipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Morbiditas dan mortalitas ini terkait dengan kerusakan organ lain, misalnya kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mengurangi risiko dan pemilihan obat spesifik yang digunakan pasien (Dipiro dkk., 2009). 1) Terapi Non Farmakologi Semua pasien prehipertensi dan hipertensi dianjurkan untuk memodifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup pada prehipertensi dapat mengurangi perkembangan hipertensi pada pasien. Modifikasi gaya hidup yang dapat dilakukan termasuk penurunan berat badan, melakukan diet makanan mengadopsi metode Dietary Approach to
15
Stop Hypertention (DASH) seperti pada tabel III, melakukan aktivits fisik
seperti
aerobik,
mengurangi
konsumsi
alkohol
dan
menghentikan kebiasaan merokok (Sukandar dkk., 2013). Tabel III. Modifikasi Gaya Hidup untuk Mencegah dan Mengontrol Tekanan Perkiraan Penurunan Modifikasi Rekomendasi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Menjaga dalam keadaan Menurunkan berat berat badan norman (body 5-20 tiap penurunan badan mass index 18,5-24,9 berat badan 10 kg kg/m2 Memperbanyak konsumsi buah-buahan, sayuran, dan produk susu rendah Metode DASH 8-14 lemak dengan kandungan lemak jenuh dan total yang rendah Mengurangi asupan garam (natrium) dalam makanan sehari-hari Mengunrangi sebanyak mungkin, 2-8 konsumsi garam idealnya kurang lebih 65 mmol/hari (1,5 g natrium/hari atau 3,8 g natrium klorida/hari) Aktivitas fisik atau aerobik secara rutin Aktivitas fisik (paling tidak 30 4-9 menit/hari, setiap hari dalam seminggu) Membatasi konsumsi Laki-laki ≤2 gelas/hari 2-4 alkohol Perempuan ≤1 gelas/hari Sumber : Dipiro dkk., 2009
2) Terapi Farmakologi Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 adalah: a) Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist
16
b) Beta Blocker (BB) c) Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB) d) Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) e) Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) Terapi pada sebagian besar pasien hipertensi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah tercapai secara progresif dalam beberapa
minggu.
Dianjurkan
untuk
menggunakan
obat
antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro, 2006).
17
Prinsip pengobatan hipertensi berdasarkan JNC-7 terdapat pada gambar 1. Modifikasi Gaya Hidup
Jika penurunan tekanan darah tidak tercapai
Pilih obat awal
Tanpa faktor risiko
Hipertensi Stage 1
Hipertensi Stage 2
TDS 140-159 mmHg atau TDD 90-99 mmHg
TDS > 160 mmHg atau TDD > 100 mmHg
Diuretik-tiazid untuk semua pasien. Bisa dipertimbangkan dari kelas lain ACEI, ARB, βblocker, dan CCB
Kombinasi dua obat untuk semua pasien (biasanya diuretiktiazid dan ACEI atau ARB atau βblocker atau CCB)
Dengan faktor risiko
Obat-obat untuk pasien dengan faktor risiko (lihat tabel I) Obat-obat antihipertensi lainnya (Diuretik, ACEI, ARB, βblocker, CCB) yang dibutuhkan
Penurunan tekanan darah tidak tercapai Optimalkan dosis atau berikan obat tambahan sampai target tekanan darah tercapai. Pertimbangkan konsultasi dengan spesialis hipertensi
Gambar 1. Algoritma Prinsip Pengobatan Hipertensi Bersadarkan JNC-7
18
Ketika penggunaan obat tunggal dengan dosis adekuat gagal mencapai tekanan darah target terlebih jika tekanan darah lebih dari 20/10
mmHg
di
atas
tekanan
darah
target,
maka
harus
dipertimbangkan pemberian terapi dengan dua kelas obat. Pemberian obat dengan lebih dari satu kelas obat dapat meningkatkan kemungkinan pencapaian tekanan darah target, namun harus tetap memperhatikan resiko hipotensi ortostatik utamanya pada pasien dengan diabetes, disfungsi autonom, dan pada beberapa orang yang berumur lebih tua (Depkes RI, 2006). 2.
Monitoring Hasil Terapi Hipertensi Menurut Depkes RI (2006), hal-hal berikut harus di monitor untuk mengukur efektivitas terapi yaitu : a.
Monitoring tekanan darah Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di evaluasi 2-4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya perubahan terapi (Depkes RI, 2006). Menurut James dkk. (2014) dalam JNC-8, target tekanan darah pasien hipertensi setelah mendapatkan terapi seperti pada tabel IV.
19
Tabel IV. Target Tekanan Darah Pasien Hipertensi setelah Terapi Karakteristik pasien Target tekanan darah (mmHg) <60 tahun (30-59 tahun) Diabetes <140/90 CKD (Chronic Kidney Disesae) ≥60 tahun <150/90 Sumber : James dkk., 2014
b.
Monitoring kerusakan target organ yaitu jantung, ginjal, mata, otak Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut. Sejarah sakit dada, palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular. Parameter klinis lainnya yang harus di monitor untuk menilai penyakit pada target organ
termasuk
perubahan
funduskopik,
regresi
LVH
pada
elektrokardiogram atau ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal (Depkes RI, 2006). c.
Monitoring interaksi obat dan efek samping obat Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping, dan interaksi obat harus dinilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2-4 minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis. Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain. Monitoring yang intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat (Depkes RI, 2006).
20
d.
Monitoring kepatuhan pasien dan konseling kepada pasien Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang dinginkan. Paling sedikit 50% pasien yang diresepkan obat antihipertensi
tidak
mengkonsumsinya
sesuai
dengan
yang
direkomendasikan. Suatu studi menyatakan bahwa pasien yang menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar kemungkinan terkena stroke. Strategi konseling untuk meningkatkan kepatuhan terapi obat antihipertensi adalah sebagai berikut : 1) Nilai adherence/kepatuhan pada setiap kunjungan. 2) Diskusikan dengan pasien motivasi dan pendapatnya. 3) Libatkan pasien dalam penanganan masalah kesehatannya. 4) Gunakan keahlian mendengarkan secara aktif sewaktu pasien menjelaskan masalahnya. 5) Bicarakan keluhan pasien tentang terapi. 6) Bantu pasien dengan cara tertentu untuk tidak lupa mengkonsumsi obatnya. 7) Sederhanakan regimen obat (seperti mengurangi frekuensi konsumsi obat, mengunakan produk kombinasi). 8) Mengkonsumsi obat disesuaikan dengan kebiasaan sehari-hari pasien. 9) Berikan informasi tentang keuntungan pengontrolan tekanan darah.
21
10) Beritahukan perkiraan efek samping obat yang mungkin terjadi. 11) Bila memungkinkan beritahukan informasi tertulis mengenai hipertensi dan obatnya. 12) Petimbangkan penggunaan alat pengukur tekanan darah di rumah supaya pasien dapat terlibat dalam penanganan hipertensinya. 13) Berikan pendidikan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan regimen obatnya. 14) Libatkan keluarga dan kerabatnya tentang kepatuhan mengkonsumsi obat serta terhadap gaya hidup sehat. 15) Yakinkan biaya regimen obat dapat dijangkau oleh pasien. 16) Bila memungkinkan telepon pasien untuk meyakinkan pasien mengikuti rencana pengobatan selanjutnya. Pasien yang telah mulai mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes, dan kebutuhan akan hasil pemeriksaan laboratorium (World Health Organization, 2003a). Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak tercapai, harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter
22
spesialis atau subspesialis. Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes mellitus atau penyakit ginjal baik American Diabetic Association (ADA) maupun International Society of Nephrology (ISN) dan National Kidney Foundation (NKF) menganjurkan rujukan kepada dokter ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai <60 ml/men/1,73 m2, rujukan dapat dilakukan lebih awal jika pasien berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan (World Health Organization, 2003a). Pengobatan dengan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan antihipertensi. Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah obat antihipertensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya sudah pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan non farmakologi. Tindakan ini harus disertai dengan pengawasan tekanan darah yang ketat (Yogiantoro, 2006). 3.
Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care) Pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker adalah pendampingan pasien oleh apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau keluarganya (Depkes RI, 2008). Pelayanan obat secara home pharmacy care digambarkan sebagai sebuah layanan yang
23
memberikan persediaan obat-obatan yang sedang berlangsung, diprakarsai oleh resep dokter, dan langsung ke rumah pasien dengan persetujuan mereka (Royal Pharmaceutical Society, 2014). Pelayanan kefarmasian di rumah diberikan terutama untuk pasien yang tidak atau belum dapat menggunakan obat dan atau alat kesehatan secara mandiri dan untuk pasien yang memiliki kemungkinan mendapatkan risiko masalah terkait obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat, pengobatan yang kompleks, penggunaan obat yang kompleks, kebingungan atau kurangnya pengetahuan, dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan atau alat kesehatan agar tercapai efek yang terbaik (Depkes RI, 2008). Pelayanan kefarmsian di rumah memiliki tujuan umum yaitu tercapainya keberhasilan terapi obat. Sedangkan tujuan khususnya yaitu terlaksananya pendampingan pasien oleh apoteker untuk mendukung efektifitas,
keamanan,
dan
kesinambungan
pengobatan;
terwujudnya
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dengan keluarga dalam penggunaan obat dan atau alat kesehatan yang tepat; dan terwujudnya kerjasama profesi kesehatan, pasien dan keluarga (Depkes RI, 2008). Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada semua pasien mengingat waktu pelayanan yang cukup lama dan berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan seleksi pasien dengan menentukan prioritas pasien yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan
24
kefarmasian di rumah. Pasien yang perlu mendapat pelayanan kefarmasian di rumah antara lain : a.
Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus tentang penggunaan obat, interaksi obat, dan efek samping obat.
b.
Pasien dengan terapi jangka panjang misal pasien TB, HIV/AIDS, DM, hipertensi, dan lain-lain.
c.
Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih dengan salah satu kriteria atau lebih regimen obat yang kompleks (Depkes RI, 2008). Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh
Apoteker, meliputi : a.
Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan.
b.
Identifikasi kepatuhan dan kesepahaman terapetik.
c.
Penyediaan obat dan/atau alat kesehatan.
d.
Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misal cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin, dan lain-lain.
e.
Evaluasi penggunaan alat bantu pengobatan dan penyelesaian masalah sehingga obat dapat dimasukkan ke dalam tubuh secara optimal.
f.
Pendampingan pasien dalam penggunaan obat melalui infus/obat khusus.
g.
Konsultasi masalah obat.
25
h.
Konsultasi kesehatan secara umum.
i.
Dispensing khusus (misalnya : obat khusus, unit dose).
j.
Monitoring pelaksanaan, efektifitas, dan keamanan penggunaan obat termasuk alat kesehatan pendukung pengobatan.
k.
Pelayanan farmasi klinik lain yang diperlukan pasien.
l.
Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah (Depkes RI, 2008).
4.
Pelayanan Kefarmasian untuk Hipertensi Pelayanan kefarmasian melibatkan identifikasi kebutuhan pasien yang berhubungan dengan obat dan memecahkan masalah terapi obat melalui proses yang terorganisir dan diprioritaskan berdasarkan kondisi medis pasien dari segi risiko dan keparahan. Persiapan pelayanan kefarmasian dapat berupa: a.
Menentukan tujuan dari terapi Untuk penyakit hipertensi tujuan dari terapi adalah : 1)
Mencegah atau memperlambat komplikasi dari hipertensi dengan membantu pasien mematuhi regimen obatnya untuk memelihara tekanan darah <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg untuk pasien hipertensi dengan diabetes dan gangguan ginjal. Target tekanan darah terbaru menurut JNC-8 yaitu <150/90 mmHg untuk pasien ≥60 tahun atau <140/90 mmHg untuk pasien ˂60 dan pasien hipertensi dengan diabetes atau gangguan ginjal.
26
2)
Pasien mengerti pentingnya adherence dengan terapi obatnya.
b.
Mengidentifikasi kondisi medis yang memerlukan terapi obat
c.
Memecahkan masalah terapi obat : tujuan, alternatif, dan intervensi
d.
Mencegah masalah terapi obat Rekomendasi apoteker dalam pemilihan obat untuk pasien dengan
hipertensi : a.
Sarankan terapi antihipertensi untuk pasien-pasien pada klasifikasi hipertensi stage 1 (TDS 140-159 mmHg) dan hipertensi stage 2 (TDS ≥ 160 mmHg).
b.
Sangat disarankan terapi antihipertensi pada pasien-pasien dengan kerusakan target organ atau dengan faktor risiko kardiovaskular lainnya bila TDS > 140 mmHg atau TDD ≥ 90 mmHg.
c.
Bila memungkinkan sarankan pilihan awal untuk terapi antihipertensi.
d.
Sarankan terapi dislipidemi dengan statin untuk semua pasien dengan hipertensi dan tiga atau lebih faktor risiko kardiovaskular, atau pada pasien dengan penyakit aterosklerosis atau penyakit arteri perifer.
e.
Skrining semua pasien hipertensi untuk interaksi obat yang bermakna (dengan obat, nutrien, dan lain-lain) (Depkes RI, 2006).
5.
Konseling Konseling dari asal katanya didefinisikan sebagai memberi nasihat tetapi juga melibatkan diskusi yang saling menguntungkan dan adanya
27
pertukaran opini antara pemberi dan penerima konseling (Rantucci, 2007). Konseling pasien oleh apoteker merupakan konseling yang melibatkan faktor psikologis sebagai aktivitas untuk memberikan edukasi kepada pasien sesuai dengan situasi dan kebutuhan pasien dengan tujuan akhir terjadinya perubahan progresif pasien yang mempengaruhi pengetahuannya, sikap dan perilaku (Rantucci, 2007). Tujuan dilakukan konseling pasien antara lain : a.
Mewujudkan hubungan profesional antara apoteker dengan pasien.
b.
Mengenal dan menyelesaikan masalah penggunaan obat.
c.
Mengumpulkan informasi tentang cara dan tindakan pengambilan dan penggunaan obat.
d.
Membimbing, mengarahkan, dan memberikan pengetahuan kepada pasien tentang penggunaan obat secara rasional.
e.
Meningkatkan kualitas hidup pasien (Saragi, 2011). Apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian juga bertanggung
jawab memastikan bahwa pasien menerima pendidikan dan konseling tentang terapi pasien. Apoteker harus mudah dihubungi jika ada pertanyaan atau munculnya permasalahan yang terkait obat (Depkes RI, 2008). Apoteker juga menyediakan informasi tambahan dalam bentuk tulisan untuk memperkuat informasi yang diberikan secara lisan. Apoteker membutuhkan pendapat dari para professional kesehatan untuk menentukan informasi yang diberikan dalam pendidikan dan konseling pasien meliputi:
28
a.
Gambaran pengobatan, mencakup obat, dosis, cara pemberian, interval dosis, dan lama pengobatan
b.
Tujuan pengobatan dan indikator tujuan pengobatan
c.
Teknik penilaian untuk monitoring efektivitas terapi
d.
Pentingnya mengikuti rencana perawatan
e.
Teknik aseptis
f.
Perawatan peralatan untuk pembuluh darah, jika ada
g.
Petunjuk cara pemberian obat
h.
Pemeriksaan obat dan peralatan yang digunakan
i.
Peralatan yang digunakan dan cara perawatannya
j.
Manajemen inventarisasi di rumah dan prosedur penyelamatan peralatan
k.
Potensi munculnya efek samping obat, interaksi obat, interaksi obatmakanan, kontra indikasi, reaksi yang tidak diharapkan dan cara mengatasinya
l.
Petunjuk penyiapan, penanganan dan pembuangan obat, peralatan dan pembuangan biomedis
m. Informasi cara menghubungi tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengobatan pasien n.
Prosedur emergensi
o.
Konseling dan pendidikan pasien didokumentasikan dalam catatan penggunaan obat pasien (Depkes RI, 2008).
29
Baik apoteker maupun pasien, keduanya dapat merasakan manfaat adanya konseling pasien yang dilakukan apoteker. Manfaat konseling bagi pasien antara lain : mengurangi kesalahan dalam menggunakan obat, mengurangi ketidakpatuhan, mengurangi reaksi obat yang merugikan, menjamin obat yang diberikan aman dan afektif, mendapat penjelasan tambahan mengenai sakitnya. Manfaat konseling bagi apoteker antara lain : aspek perlindungan hukum, memperlihatkan status profesional sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, sebagai tambahan pelayanan untuk menarik pasien dalam kompetisi pemasaran (Palaian dkk., 2006). Apoteker harus memiliki kemampuan wawancara yang baik salah satunya dengan metode open-ended question dalam melakukan pendidikan dan konseling pasien. Penderita akan terstimulasi untuk menceritakan keadaannya dengan menjawan pertanyaan yang diberikan apoteker. Kemampuan lain yang harus dimiliki adalah kemampuan komunikasi seperti menjunjung
tinggi
rasa
empati
terhadap
penderita,
kemampuan
mendengarkan dengan baik, kemampuan berbicara dan menulis dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien. Apoteker juga harus dapat memberikan motivasi dan inspirasi kepada penderita sehingga selain menerima terapi secara farmakologi juga mendapatkan terapi non farmakologi (Surahman dan Husein, 2011).
30
6.
Kepatuhan Pasien Kepatuhan (adherence) adalah sejauh mana perilaku seseorang dalam mengkonsumsi obat, mengikuti diet, dan/atau melaksanakan perubahan gaya hidup, sesuai dengan rekomendasi yang telah disepakati dari penyedia layanan kesehatan (World Health Organization, 2003b). Kesesuaian (compliance) adalah lebih pada kepatuhan terhadap hal yang telah disampaikan penyedia layanan kesehatan secara sepihak tanpa persetujuan dari pasien (World Health Organization, 2003b). Perbedaan utama antara kepatuhan dan kesesuaian adalah membutuhkan kesepakatan pasien dengan rekomendasi (World Health Organization, 2003b). Pasien harus menjadi mitra aktif dengan tenaga profesional kesehatan dalam perawatan mereka sendiri. Komunikasi yang baik antara pasien dan profesional kesehatan adalah suatu keharusan untuk praktek klinis efektif (World Health Organization, 2003b). Kepatuhan memiliki sedikit hubungan dengan faktor-faktor sosiodemografi seperti usia, jenis kelamin, ras, kecerdasan, dan pendidikan. Meskipun kepatuhan yang rendah adalah masalah tersendiri bagi perawatan diri untuk semua gangguan, pasien dengan masalah kejiwaan, dan pasien dengan cacat fisik cenderung untuk lebih patuh karena penyakit tersebut lebih mungkin untuk mematuhi. Selain itu, pasien cenderung melewatkan janji pemeriksaan dan putus perawatan ketika ada waktu tunggu yang panjang di klinik atau jarak waktu yang lama dengan janji pememeriksaan selanjutnya (McDonald dkk., 2002).
31
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan : a.
Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi melalui indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmojo, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Jin dkk. (2008) menyebutkan bahwa perlikau yang dilakukan atas dasar pengetahuan dapat dikatakan akan lebih bertahan daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi pengetahuan sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat mengetahui mengapa mereka harus melakukan suatu tindakan sehingga perilaku masyarakat dapat lebih mudah untuk diubah ke arah lebih baik. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara yang menyatakan sesuatu yang ingin diukur tentang pengetahuan dari subjek penelitian (Notoatmojo, 2003).
b.
Sikap Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Dapat dikatakan bahwa sikap adalah tanggapan atau presepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Pengetahuan berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting dalam penentuan sikap yang utuh. Decision theory menganggap bahwa seorang pasien yang mengambil keputusan artinya bahwa pasien yang harus memutuskan apakah mereka melakukan suatu tindakan medis dan oleh petugas kesehatan memberi
32
tahu mengenai prosedur, risiko, dan efektifitas obat agar mereka bisa mengambil keputusan yang tepat (Bart, 1994). c.
Tindakan Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dan bentuk nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003). Empat tingkatan tindakan adalah : 1) Persepsi (Perception) Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang diambil. 2) Respon terpimpin (Guided Response) Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar. 3) Mekanisme (Mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan. 4) Adaptasi (Adaptation) Suatu praktek tidakan yang sudah berkembang dengan baik, atrinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Sedangkan menurut Rapoff (2010) faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan tingkat kepatuhan dalam pengobatan antara lain:
33
a.
Faktor pasien atau keluarganya Meliputi demografi (seperti umur dan jenis kelamin), sosial ekonomi, ras (misalnya beberapa kaum minoritas biasanya memiliki kepatuhan yang rendah), dan pengetahuan. Pedoman konseling Departemen Kesehatan RI (2006) menyebutkan bahwa kepribadian, motivasi
diri,
dukungan
keluarga,
dan
komunikasi
juga
bisa
mempengaruhi. b.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan obat Faktor yang berhubungan dengan penyakit seperti lamanya menderita penyakit (perbedaan kepatuhan pada penyakit akut dan kronis), lamanya terapi berlangsung (kepatuhan menurun seiring durasi terapi yang bertambah), gejala atau keparahan penyakit (tingkat keparahan penyakit yang lebih tinggi cenderung akan lebih patuh terhadap pengobatan yang diberikan), persepsi pasien tentang tingkat keparahan penyakit. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan obat seperti bentuk sediaan dan kompleksitas penggunaannya, harga, efek samping, efikasi pengobatan. Pengukuran kepatuhan pasien dapat dilakukan dengan beberapa
kuesioner untuk melihat penyakit pasien yang berbeda. Kuesioner dibagi menjadi 2 berdasarkan penyakit pasien, yaitu gangguan metabolik (diabetes, hipertensi, dislipidemia) dan gangguan mental (schizophrenia, psychosis,
34
depresi). Kuesioner untuk mengukur kepatuhan pada pasien dengan penyakit gangguan metabolik antara lain Medication Adherence Questionnaire (MAQ), Self-Efficacy for Appropriate Medication Use Scale (SEAMS), Brief Medication Questionnaire (BMQ), dan Hill-Bone Compliance Scale. Kuesioner MAQ juga dikenal dengan Modified Morisky Adherence Scale (MMAS). Pengukuran kepatuhan pada pasien dengan gangguan mental dapat menggunakan Medication Adherence Rating Scale (MARS) dan BMQ (Lavsa dkk., 2011). Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8) merupakan pengembangan dari kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 4 (MMAS-4) (Morisky dkk., 2011). Kuesioner MMAS-4 terdiri dari 4 item pertanyaan sedangkan kuesioner MMAS-8 terdiri dari 8 item pertanyaan. Kuesioner MMAS-8 telah divalidasi pada 1367 responden dengan α sebesar 0,83 (Morisky dkk., 2008). MMAS merupakan kuesioner standar yang dibuat pada awal tahun 1986 oleh Donald E. Morisky dari Universitas California. Kuesioner ini relatif sederhana dan praktis digunakan pada kondisi klinik untuk melihat masalah kepatuhan pasien di awal dan untuk memantau kepatuhan selama pelaksanaan terapi (Morisky dkk., 2008). Uji validitas dan realibilitas kuesioner MMAS-8 untuk beberapa versi bahasa telah dilakukan. Beberapa penelitian uji validitas dan realibilitas kuesioner MMAS-8 pada pasien hipertensi yang dilaporkan yaitu versi Brazil
35
pada 937 pasien didapatkan α values sebesar 0,682 (de Oliveira-Filho dkk., 2014), versi Perancis dilakukan pada 199 pasien didapatkan α values sebesar 0,540 (Korb-Savoldelli dkk., 2012), versi Persia dilakukan pada 200 pasien didapatkan α values sebesar 0,697 (Moharamzad dkk., 2015), dan versi Pakistan dilakukan pada 150 pasien didapatkan α values sebesar 0,700 (Saleem dkk., 2012). Kuesioner MMAS-8 lebih spesifik untuk melihat tingkat kepatuhan pasien. Setiap pertanyaan diberi skor 0 untuk jawaban “ya” dan 1 untuk jawaban “tidak”. Kuesioner MMAS-8 mengukur kepatuhan dengan rentang skor 0 sampai 8. Jika skor <6 maka responden tidak patuh sedangkan jika skor 6-8 maka responden patuh. Keuntungan dan keterbatasan kuesioner MMAS yaitu : a.
Keuntungan 1) Mudah dan bersifat ekonomis untuk digunakan 2) Relatif sederhana dan praktis untuk digunakan pada pasien rawat jalan 3) Data yang didapat bersifat langsung dari pasien dalam waktu yang singkat 4) Dapat mengemukakan faktor-faktor potensial yang menyebabkan rendahnya kepatuhan meliputi kondisi sosial, situasi, dan faktor perilaku
36
5) Instrumen untuk identifikasi awal pasien dengan permasalahan kepatuhan dan dapat digunakan untuk memonitor kepatuhan terhadap pengobatan. b.
Keterbatasan Bias (penyimpangan) terkait daya ingat dari pasien (Morisky dkk., 2008).
7.
Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta Puskesmas Jetis terletak di Jalan Pangeran Diponegoro nomor 91, Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah kerja Puskesmas Jetis seluas 156.000 Ha dan jumlah penduduk 27.939 jiwa. Jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 13.625 jiwa dan perempuan sebanyak 14.314 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di tiga kelurahan yaitu Bumijo (10.405 jiwa), Cokrodiningratan (9.119 jiwa), dan Gowangan (8.415 jiwa). Puskesmas Jetis merupakan Puskesmas ISO 9001 : 2008. Produk pelayanan yang ada di Puskesmas Jetis adalah jasa pelayanan dasar dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Jumlah apoteker di Puskesmas jetis menurut data Profil Puskesmas Jetis tahun 2014 sebanyak 3 orang dan 2 diantaranya merupakan outsourcing. Sedangkan jumlah asisten apoteker sebanyak 2 orang. (Puskesmas Jetis, 2015)
37
F. Landasan Teori Penelitian Suryani dkk. (2013) di RSUD Wangaya selama bulan November-Desember 2012 pada pasien DM Tipe 2 dengan riwayat hipertensi menunjukkan adanya peningkatan skor kepatuhan pasien dan terdapat perbedaan yang bermakna antara kepatuhan pasien dalam penggunaan obat sebelum dan setelah pelaksanaan konseling dalam home pharmacy care. Penelitian yang dilakukan oleh Raditya (2015) juga menunjukkan pemberian home pharmacy care pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Srandakan Bantul dapat meningkatan kepatuhan kelompok intervensi secara signifikan sebesar 1,322±1,653 (0,012). Penelitian Dewi (2014) pada pasien hipertensi anggota program pengelolaan penyakit kronis (PROLANIS) pada dokter keluarga di Kabupaten Kendal periode November 2013-Januari 2014 menunjukkan konseling farmasi memberikan perbedaan yang signifikan antara tingkat kepatuhan sebelum dan setelah mendapatkan konseling dan hasil terapi pasien hipertensi. Konseling farmasi terhadap pasien hipertensi di RSU Kardinah Tegal menunjukkan perbaikan terhadap tekanan darah dan pasien hipertensi dapat mencapai target tekanan darahnya (Kusumaningjati, 2008). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut konseling dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dan hasil terapi pasien hipertensi. Menurut Hairunisa dkk. (2014), terdapat hubungan bermakna antara kepatuhan minum obat (p≤0,001) dengan terkontrolnya tekanan darah.
38
G. Kerangka Konsep Penelitian Pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta yang memenuhi kriteria penelitian Kepatuhan
Konseling home pharmacy care
Jenis kelamin Usia Pendidikan Pekerjaan Durasi hipertensi Jenis antihipertensi
Tekanan darah Keterangan : = Tidak dianalisis hubungannya dengan kepatuhan
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis Berdasarkan landasan teori maka hipotesis yang dapat ditarik pada penelitian, yaitu: 1.
Konseling melalui home pharmacy care dapat meningkatkan kepatuhan pasien hipertensi.
2.
Konseling melalui home pharmacy care dapat meningkatkan hasil terapi pasien hipertensi dengan menurunkan tekanan darah pasien.
3.
Kepatuhan berhubungan dengan hasil terapi pasien hipertensi berupa penurunan tekanan darah.