BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan salah satu hal yang paling berharga bagi manusia. Dengan tubuh yang sehat, berbagai aktivitas yang bermanfaat dapat dijalankan dengan baik. Namun pada saat tubuh sakit dan memerlukan terapi tambahan dengan obat, maka dibutuhkan obat yang memenuhi aspek produk obat yang baik yaitu safety, quality, dan efficacy (World Health Organization, 2003). Perkembangan dunia pengobatan saat ini telah sampai pada tahap yang cukup baik, dengan ditemukannya berbagai obat-obat baru yang dapat membantu penyembuhan banyak penyakit, semakin canggihnya peralatan untuk pengobatan, keberhasilan dalam penyempurnaan dan penemuan berbagai bentuk sediaan farmasi yang sangat membantu dalam efektivitas dan kemudahan proses pengobatan. Pada akhirnya dunia pengobatan saat ini mulai melirik kepada aspek herbal, dengan semakin banyaknya praktisi kesehatan yang sadar akan banyaknya efek samping obat sintesis sehingga kemudian melakukan pengembangan terhadap obat herbal sebagai produk komplementer (Pramudjito, 2011), terutama untuk penyakit-penyakit kronis (Pal, 2002). Aspek ekonomi terkait dengan pemanfaatan tumbuhan obat juga semakin meningkat. Beberapa contoh peningkatan tersebut antara lain berkembangnya budi daya tumbuhan obat dan produksi simplisia sebagai bahan baku obat tradisional, mulai dibukanya instalasi herbal di rumah sakit, banyaknya industri
1
2
farmasi yang juga membuka divisi herbal dan memperbanyak persentase penjualan obat herbal di dalam produk-produk mereka, serta kemunculan industriindustri kecil farmasi yang berfokus pada obat herbal. Pada akhirnya produk herbal mulai marak beredar dan digemari di tengah masyarakat (Pranata, 2011). Hal tersebut memunculkan tantangan kepada pemerintah dan segenap praktisi kesehatan di Indonesia untuk mengawal dan menjaga kualitas produk herbal yang beredar di pasaran. Sehingga kemudian pemerintah mulai meningkatkan fokus di bidang pengembangan obat herbal yang salah satunya adalah munculnya aturan dalam menjaga kualitas obat herbal dengan cara menstandardisasi proses pembuatan dan parameter mutu produk. Salah satu produk peraturan pemerintah yang dihasilkan adalah Farmakope Herbal Indonesia (FHI) yang hingga disusunnya penelitian ini pada Januari 2014, telah terbit edisi pertama dan empat suplemennya. Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, tidak hanya berupa bahan tambang tetapi juga kekayaan akan jenis-jenis tumbuhan terutama yang telah dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Meski demikian, bukan berarti bahan baku yang tersedia terjamin. Cukup banyak industri herbal yang merasa kesulitan mendapatkan bahan baku karena budi daya tanaman obat belum marak dan masih dalam tahap pengembangan. Menurut Badan POM (2006), 283 tanaman telah diregistrasi untuk penggunaan obat tradisional/jamu dan 180 jenis diantaranya merupakan tanaman obat yang masih ditambang dari hutan (bukan tanaman budi daya). Keadaan ini juga dapat memicu adanya pemalsuan bahan baku oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. Hal yang juga mempengaruhi pentingnya
3
dilakukan penjagaan kualitas bahan baku obat herbal adalah karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi kualitas bahan baku yang berasal dari tanaman seperti tempat tumbuh, nutrisi tanah, dan sebagainya (Pramono, 2014). Hal inilah yang kemudian menyebabkan pentingnya dilakukan pemenuhan terhadap standar parameter mutu ekstrak yang terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik yang berkorelasi langsung dengan kualitas dan reprodusibilitas produk. Salah satu tumbuhan yang sering digunakan dalam obat tradisional adalah mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.). Bagian tanaman yang umumnya digunakan untuk pengobatan adalah biji mahoni. Secara empirik biji mahoni telah digunakan masyarakat dengan cara menumbuk biji mahoni sampai halus, ditambah dengan air hangat, dan diminum secara langsung sehingga komponen biji mahoni dapat masuk ke dalam tubuh. Namun jika tahan pahit, biji mahoni dapat dimakan mentah-mentah (Hamzari, 2008). Berdasarkan fakta, mahoni bukanlah tumbuhan yang memiliki tingkat populasi tinggi, bahkan tanaman ini masuk ke dalam tumbuhan dengan kelompok populasi rentan (IUCN, 1998). Oleh karena itu keterbatasan bahan baku mahoni dapat menjadi salah satu faktor tingginya potensi pemalsuan dan variasi kualitas produk yang beredar di pasaran. Dalam proses pengembangannya, FHI juga belum mencantumkan mahoni yang telah terstandar. Publikasi ilmiah yang mendeskripsikan secara khusus tanaman mahoni sulit peneliti jumpai, tidak sebanyak jika dibandingkan dengan tanaman obat lainnya.
4
Hal yang cukup memprihatinkan adalah semakin tingginya budaya konsumtif dan serba instan yang ada di masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi pada pola konsumsi melainkan juga pola hidup sehari-hari (Wahyudi, 2010). Sisi negatif dari budaya serba instan adalah masyarakat dimanjakan dengan berbagai produk yang beredar di masyarakat (Nadarlis, 2012), sehingga pengetahuan mengenai bahan-bahan kebutuhan hidup pada umumnya dan obat-obatan pada khususnya menjadi menurun seiring dengan semakin banyaknya produk instan di masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam upaya memberikan edukasi mengenai pengenalan terhadap bahan baku obat herbal kepada masyarakat serta mendukung pengembangan obat herbal di Indonesia menuju ke arah yang lebih baik sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. B. Rumusan Masalah 1. Apakah aspek yang dapat dikaji sebagai tindakan awal dalam mengenali simplisia biji mahoni Kabupaten Ponorogo? 2. Apa saja aspek parameter mutu yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam penjagaan kualitas ekstrak etanolik biji mahoni Kabupaten Ponorogo? C. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji aspek-aspek pendahuluan yang dapat dilakukan untuk mengenali simplisia biji mahoni Kabupaten Ponorogo. 2. Menetapkan parameter standar mutu pendahuluan ekstrak biji mahoni Kabupaten Ponorogo
5
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi masyarakat umum dan yang sedang melakukan penelitian, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber dalam mengetahui ciri-ciri dan identitas khas dari biji mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) sebagai bahan kajian ilmiah yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan dalam rangka mengenali simplisia biji mahoni. 2. Bagi Fakultas Farmasi UGM, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mendukung kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang pengembangan bahan baku obat herbal. 3. Bagi industri herbal dan obat tradisional, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran awal dan informasi ilmiah dalam rangka penelitian maupun sarana pertimbangan dalam rencana produksi obat herbal yang menggunakan bahan baku biji mahoni. 4. Bagi Pemerintah khususnya Departemen Kesehatan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian ilmiah yang dapat digunakan sebagai gambaran awal atau sarana masukan dalam penyusunan Farmakope Herbal Indonesia dan produk aturan hukum lainnya.
6
E. Tinjauan Pustaka 1. Deskripsi tanaman Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) a. Nomenklatur Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Sapindales
Suku
: Meliaceae
Marga
: Swietenia
Spesies
: Swietenia mahagoni (L.) Jacq. (Tjitrosoepomo, 2000)
b. Nama Indonesia Mahagoni,
Mahoni,
Moni
(Permadi,
(Wijayakusuma, 2008). c. Morfologi tanaman
Gambar 1. Pohon Mahoni
2011),
dan
Maoni
7
Mahoni termasuk tumbuhan anggota suku Meliaceae, memiliki ciri dan karakter sebagai tumbuhan berhabitus pohon, batang tumbuh tegak, tinggi batang dapat mencapai 30 m. Helaian daun merupakan daun majemuk dengan susunan daun majemuk menyirip, genap, dengan jumlah anak daun 4-14 pasang pada setiap ibu tangkai daun, letak helaian daun berhadapan, pangkal sampai tepi daun agak melekuk, bentuk daun bulat telur atau bulat memanjang, ujung runcing atau meruncing, ukuran helaian daun panjang 3-12 cm, lebar 1,3-5 cm, dengan panjang tangkai daun 3-13 mm. Bunga majemuk tipe malai, dengan panjang malai 2-10 cm, panjang tangkai bunga 1-4 mm; kelopak berlekatan membentuk tabung kelopak, mahkota bunga hijau kekuningan, panjang mahkota 3-4 mm; panjang tabung benang sari 2-3 mm, pangkal tabung benang sari mula-mula jingga dan setelah masak berwarna merah; panjang putik 0,5 mm; buah berukuran 7-10 cm; biji membulat dan pipih, ukuran biji termasuk sayapnya 4,5-5,5 cm; daging biji dan sayap berongga, tumbuhan yang berbunga sepanjang tahun, tumbuh di daerah kering (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1965). Ada dua jenis tanaman mahoni, yaitu spesies mahoni Swietenia mahagoni (L.) Jacq. dan Swietenia macrophylla King dengan penampakan yang hampir sama persis (Sunanto, 2009). Namun tanaman tersebut dapat dibedakan berdasarkan ukuran buah dan daunnya. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. memiliki daun dan buah yang relatif lebih kecil dan lebih melengkung, sedangkan Swietenia
8
macrophylla King memiliki daun yang lebih besar dan lebar serta buah yang lebih besar (Santosa, 2014).
Gambar 2. Herbarium daun dan buah Swietenia mahagoni (L.) Jacq. (Poppleton, 1971)
Gambar 3. Herbarium daun, sayap dan kulit buah Swietenia mahagoni (L.) Jacq. (Poppleton, 1971)
9
d. Budi daya tanaman Perlakuan pendahuluan dalam budi daya tidaklah begitu penting, Perkecambahan benih (biji) dapat ditingkatkan dengan merendam dalam air selama 12 jam. Untuk pengujian, benih dikecambahkan pada media pasir dengan kisaran suhu 30 sampai 35°C, atau suhu tetap 30°C selama 1 atau 0,5 jam terang/gelap. Di persemaian, benih ditabur di bak pasir terbuka sedalam 3 sampai 7 cm atau langsung ditabur di kantong. Benih akan berkecambah dalam 10 sampai 12 hari. Bibit dijaga tetap dalam naungan sampai ditanam di lapangan setelah tingginya mencapai 50–100 cm (Joker, 2001). Tumbuhan dapat diperbanyak dengan menggunakan biji, cangkok, maupun okulasi. Mahoni dirawat dengan disiram air yang cukup, dijaga kelembapan tanahnya, dan dipupuk dengan pupuk organik (Hariana, 2008). e. Kandungan kimia Kandungan kimia dari ekstrak etanolik biji mahoni antara lain alkaloid, terpenoid, dan flavonoid. Menurut Shahidur dkk. (2009), golongan triterpenoid yang terdapat di dalam biji mahoni adalah senyawa limonoid, yaitu swietenin, swietenolida, swietemahonin, kayasin, augustineolida, 7-deaseto-7-oksogenudin, 6-deoksi swietenin proseranolida, 6-hidroksi swietenina, dan 6-O-asetil swietenolida (Sianturi, 2001).
10
Biji mahoni juga memiliki kandungan metabolit sekunder berupa alkaloid, flavonoid, terpenoid/steroid, dan saponin (Rasyad dkk., 2012). f. Khasiat dan kegunaan Secara empiris, biji mahoni telah digunakan masyarakat unuk pengobatan dengan cara menumbuk biji mahoni sampai halus, ditambah dengan air hangat, dan diminum secara langsung sehingga komponen biji mahoni dapat masuk ke dalam tubuh, namun jika tahan pahit, biji mahoni dapat dimakan mentah-mentah (Hamzari, 2008). Biji mahoni juga dapat berfungsi sebagai penurun kadar gula darah (Raja, 2008). Selain itu biji mahoni memiliki efek antibakteri (Haryanti, 2002) dan aktivitas antioksidan (Kumar & Kumar, 2009). Menurut Hariana (2007), biji mahoni juga bermanfaat sebagai penurun panas, penurun tekanan darah, mengobati rematik, menambah nafsu makan, dan untuk mengobati eksim. 2. Standardisasi Obat Herbal/Tradisional dan Parameter Mutu a. Dasar dan pengertian standardisasi Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur, dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. Mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian pada umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter
11
standar umum dan parameter standar spesifik. Hal ini berkaitan dengan tegaknya aspek quality, safety dan efficacy (Wahyono, 2013). Standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (ekstrak bahan alam) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu. Pengembangan obat tradisional tersebut harus mencakup berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistematik (Wahyono dkk., 2013). Obat tradisional atau yang disebut juga dengan obat herbal adalah material herbal yang digunakan untuk kepentingan terapi, baik zat aktifnya sudah diketahui ataupun belum (Gaedcke & Steinhof, 2003). Obat herbal merupakan tanaman atau bagian dari tanaman yang telah diproses hingga siap digunakan (Hansel, 1991). Definisi menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.41.1384 tahun 2005, menerangkan bahwa Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sedangkan Jamu adalah nama lazim bagi obat tradisional yang berasal dari Indonesia. Tanaman obat meliputi tanaman liar dan tanaman yang ditanam secara industri (kultivasi) yang dapat digunakan untuk tujuan
12
pengobatan, baik secara langsung maupun tidak langsung karena bahan berkhasiat (aktif) yang dikandungnya (Agoes, 2007). Pemeriksaan mutu simplisia sebaiknya dilakukan secara periodik. Pertama kali dilakukan perhatian khusus pada saat bahan simplisia diterima dari pengepul atau pedagang lainnya. Buku pedoman yang digunakan sebagai pegangan adalah Materia Medika Indonesia atau Farmakope Indonesia. Agar diperoleh simplisia yang tepat, sebaiknya dilakukan arsipasi simplisia sebagai standar intern atau pembanding. Mengenai pemeriksaan mutu, akan lebih baik lagi jika dibangun suatu laboratorium pemeriksaan mutu simplisia atau obat tradisional yang terakreditasi serta dapat melayani kebutuhan pemeriksaan mutu dari produsen obat tradisional. Setelah pemeriksaan mutu dan ternyata sesuai standar obat herbal, maka obat herbal dapat digunakan untuk kesehatan (Emilan dkk., 2011). b. Proses Ekstraksi Penyarian merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Zat aktif yang awalnya berada di dalam sel, ditarik cairan penyari sehingga terjadi pelarutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut. Pada umumnya penyarian akan bertambah baik apabila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin luas (Anonim, 1986).
13
Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria berikut: 1) Murah dan mudah diperoleh 2) Stabil secara fisik dan kimiawi 3) Bereaksi netral 4) Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar 5) Selektif dalam menyari zat yang berkhasiat 6) Tidak berpengaruh terhadap zat berkhasiat 7) Diizinkan oleh peraturan (Anonim, 1986) Metode penyarian itu sendiri dapat dibedakan menjadi: infundasi, maserasi, perkolasi, dan penyarian berkesinambungan (Anonim, 1986). c. Maserasi Maserasi merupakan cara penyarian
yang sederhana.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel, larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa
tersebut
berulang
hingga
terjadi
keseimbangan
konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel (Anonim, 1986). Penyarian dengan metode maserasi memerlukan pengadukan secara berkala agar tidak terjadi kejenuhan penyari pada lapisan
14
antara cairan penyari dan bahan yang disari. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi yaitu cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah dilakukan. Kerugian cara maserasi yaitu waktu pengerjaan lama dan penyarian kurang sempurna (Anonim, 1986). Remaserasi adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya, dengan kata lain adalah replikasi dengan pelarut yang sama dengan jumlah sama terhadap bahan (Anonim, 2000). d. Ekstrak Ekstrak
adalah
sediaan
kental
yang
diperoleh
dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditentukan (Anonim, 1995). Penguapan (pemekatan) merupakan peningkatan jumlah bagian solut (senyawa terlarut) secara penguapan tanpa sampai menjadi kondisi kering, namun hanya sampai menjadi kental atau pekat (Anonim, 2000).
15
e. Parameter Non-Spesifik 1) Susut pengeringan Susut pengeringan merupakan kadar bagian yang menguap dari suatu zat. Kecuali dinyatakan lain, sebanyak 1 g sampai 2 g zat ditetapkan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan mendingin dalam keadaan tertutup di dalam eksikator hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan, pengeringan dilakukan pada suhu antara 5°C dan 10°C dibawah suhu leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap (Anonim, 1989). Tujuan dari susut pengeringan adalah untuk memberikan batas maksimal (rentang) besarnya senyawa yang hilang selama proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Anonim, 2000). Pada biji, susut pengeringan yang dipersyaratkan adalah kurang dari 10% (Agoes, 2007). 2) Kadar abu total Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain: a) menentukan baik tidaknya suatu pengolahan, b) mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan
16
c) penentuan parameter nilai gizi pada bahan makanan. (Pine dkk., 2011) Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik apabila simplisia dipijarkan hingga seluruh unsur organik hilang. Abu fisiologik merupakan abu yang diperoleh dari sisa pemijaran (Anonim, 2000). Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak.
Nilai
maksimal
atau
rentang
yang
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi berkaitan dengan zat anorganik (Anonim, 2000). Prinsip
kerja
penetapan
kadar
abu
adalah
dengan
memasukkan 1 g sampai 2 g zat yang telah ditimbang saksama, kemudian dipijarkan perlahan hingga arang habis lalu didinginkan dan ditara (Anonim, 1989). Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar berhubungan dengan mineral yang dikandung dalam suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu: a) Garam-garam organik, misalnya garam dari asam malat, oksalat, asetat, pektat, dan lain-lain.
17
b) Garam-garam anorganik, misalnya fosfat, karbonat, klorida, sulfat nitrat, dan logam alkali. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organik. Menentukan jumlah mineral dalam bentuk aslinya memerlukan proses yang sangat sulit, oleh karena itu biasanya hanya dilakukan penetapan kadar abu dari sisa pembakaran garam mineral tersebut (Sudarmadji, 1986). 3) Kadar abu tak larut asam Penetapan kadar abu tidak larut asam merupakan kelanjutan dari penetapan kadar abu, yaitu dengan melarutkan hasil abu dari penetapan kadar abu sebelumnya dalam larutan asam. Parameter ini memberikan profil mengenai kemungkinan adanya senyawa yang tidak larut terhadap asam. Nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan
terkait
dengan
kemurnian
dan
kontaminasi
(Anonim, 2000). Besarnya kadar abu total dalam ekstrak mengindikasikan bahwa ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi dan infudasi banyak mengandung mineral. Sedangkan kandungan abu yang tidak larut dalam asam menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain (Pine dkk., 2011).
18
4) Kadar sari larut air dan etanol Kadar sari larut air adalah kadar senyawa yang dapat larut dalam air. Tujuan dilakukan penetapan ini adalah untuk memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa yang larut dalam air (Anonim, 2000). Kadar sari larut etanol adalah kadar senyawa yang dapat larut dalam etanol. Tujuan dilakukan penetapan ini adalah untuk memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa yang larut dalam etanol. (Anonim, 2000). Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan kelarutan dalam air. Sedangkan sifat lipofilik atau hidrofobik berhubungan dengan kelarutan dalam lemak. Gugus yang meningkatkan kelarutan dalam air disebut gugus hidrofilik (polar) sedangkan gugus yang meningkatkan kelarutan dalam lemak disebut gugus lipofilik (non polar). Sifat kelarutan berhubungan dengan aktivitas biologis obat. Senyawa yang lebih non polar akan lebih mudah dalam menembus membran lipid (Siswandono, 2014). 5) Kadar air Parameter kadar air merupakan banyaknya hidrat yang terkandung dalam bahan. Tujuan penetapan kadar air adalah untuk memberikan batasan maksimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Nilai maksimal atau rentang yang
19
diperbolehkan
terkait
dengan
kemurnian
dan
kontaminasi
potensi
tumbuhnya
(Anonim, 2000). Kadar
air
berhubungan
dengan
mikroorganisme yang dapat menurunkan daya tahan bahan. Parameter ini juga dapat menggambarkan besaran potensi degradasi senyawa akibat proses hidrolisis atau degradasi karena mikroorganisme dengan air sebagai pendukungnya (Pramono, 2014). Air dalam suatu bahan makanan terdapat dalam tiga bentuk yaitu air bebas, air terikat secara lemah, dan air terikat kuat. a) Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antarsel dan inter granular dan pori-pori yang terdapat dalam bahan. b) Air yang terikat secara lemah karena (teradsorbsi) pada permukaan koloid makromolekuler seperti protein, pectin, pati, sellulosa. Selain itu, air juga terdispersi di antara koloid tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam sel. Air yang ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada proses pembekuan. Ikatan antara air dengan koloid tersebut merupakan ikatan hidrogen. c) Air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan.
20
Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak. Sedangkan air dalam bentuk lainnya tidak membantu terjadinya proses kerusakan tersebut diatas. Oleh karenanya kadar air bukan merupakan parameter absolut yang dapat dipakai untuk meramalkan kecepatan terjadinya kerusakan bahan makanan. Dalam hal ini digunakan pengertian Aw (Aktivitas air) untuk menentukan kemampuan air dalam proses kerusakan bahan makanan (Sudarmadji dkk., 1996). Biji dapat mengalami masa tidak aktif (dormansi) akibat kandungan air dalam biji yang rendah, yaitu sekitar 5-10%. Dormansi pada biji dapat dilihat dari kulit biji yang keras yang menghalangi penyerapan air dan oksigen. Peningkatan kandungan air dalam biji dapat memicu pengaktifan enzim-enzim dalam kotiledon yang akan merombak cadangan makanan menjadi molekul-molekul sederhana, yang selanjutnya akan diangkut menuju lokasi pertumbuhan pada embrio (Furqonita, 2007). f. Parameter Spesifik 1) Parameter Identitas Parameter identitas meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama Indonesia tumbuhan) dan dapat mempunyai senyawa
21
identitas. Tujuannya untuk memberikan identitas objektif dari nama dan identitas spesifik dari senyawa identitas (Anonim, 2000). 2) Organoleptik Parameter organoleptik merupakan cara mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa dengan menggunakan panca indera. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk pengenalan awal yang sederhana dan seobjektif mungkin (Anonim, 2000). 3) Profil kromatografi lapis tipis (KLT) Pada parameter profil kromatografi lapis tipis atau pola kromatogram, ekstrak ditimbang, diekstraksi dengan pelarut dan cara tertentu, lalu dianalisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Parameter ini mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran awal komponen kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (Anonim, 2000). 3. Analisis Mikroskopi Analisis mikroskopi dari material herbal didasarkan pada bentuk, ukuran, warna, karakteristik permukaan, tekstur, dan penampakan penampang melintangnya. Bagaimanapun penilaian terhadap aspek ini sangat subjektif. Kehadiran dari konten-konten pengotor sel seperti plastid, lemak, minyak, dan sebagainya dapat mengganggu pengamatan. Reagen yang dapat melarutkan beberapa dari konten tersebut dapat digunakan untuk menjernihkan pandangan dalam proses pengamatan. Beberapa reagen yang sering digunakan untuk pengamatan adalah Chloralhydrate,
22
Lactochoral, Lactophenol, Sodium Hypochlorite. Selain itu digunakan juga solven untuk lemak dan minyak seperti Xylene dan Light Petroleum (World Health Organization, 1998). a. Struktur umum tumbuhan biji tertutup (angiospermae) Angiospermae merupakan tumbuhan berbiji tertutup yang memiliki bunga. Ciri-ciri angiospermae adalah memiliki akar, batang, daun, dan bunga yang sesungguhnya. Organ reproduksi terletak pada bunga. Selain itu memiliki bentuk yang bervariasi. Bunga pada angiospermae memiliki bagian steril, yaitu sepal (mahkota) dan petal (kelopak). Bagian reproduksinya adalah stamen (benang sari) untuk jantan dan pistillium (putik) untuk betina. Semua anggota angiospermae ditempatkan dalam satu divisi yakni Antophyta. Divisi Antophyta dibagi menjadi dua kelas, yakni monokotil dan dikotil (Ferdinand & Ariebowo, 2007). Biji mengandung tumbuhan embrio, yang diselubungi dan dilindungi oleh kulit biji, serta dilindungi dengan sumber makanan cadangan. Embrio tumbuhan terdiri atas sumbu kecil dengan dua kutub (titik tumbuh tunas akar dan titik tumbuh tunas pucuk). Pada sumbu kecil itu, terdapat kotiledon atau keping biji yang berkedudukan menyamping. Makanan yang diperlukan untuk perkecambahan anak tumbuhan biasanya disimpan dalam keping-keping biji atau dalam endosperma (Fahn, 1982).
23
Biji dapat berkecambah karena di dalamnya terdapat embrio atau lembaga tumbuhan. Embrio atau lembaga tumbuhan memiliki tiga bagian, yaitu akar lembaga/calon akar (radikula), daun lembaga (kotiledon), dan batang lembaga (kaulikulus).
Gambar 4. Bagian biji tanaman dikotil (Aryulina dkk., 2004)
Dycotiledonae atau tumbuhan biji belah adalah tumbuhan yang bijinya memiliki dua daun lembaga. Biji ini jelas terlihat terdiri atas dua belahan atau dua keping. Lembaga adalah calon tumbuhan baru, biasa disebut dengan istilah embrio. Daun lembaga (cotyledo) merupakan daun pertama pada suatu tumbuhan. Daun lembaga dapat memiliki fungsi yang berbeda-beda antara lain: 1) Sebagai tempat penimbunan makanan, yang kemudian terlihat tebal, seringkali berbentuk cembung pada satu sisi dan rata pada sisi yang lainnya, jumlahnya biasanya dua dan duduk berhadapan pada sisi yang rata. Seringkali fungsi ini membuatnya dinamakan sebagai belahan biji atau keping biji, yang sebenarnya tidak tepat. 2) Sebagai alat untuk melakukan asimilasi, hal ini sama seperti daundaun tumbuhan biasanya. Seringkali dapat kita saksikan bahwa
24
daun-daun lembaga itu kemudian berwarna hijau dan tinggal agak lama pada tumbuhan yang masih kecil. 3) Sebagai alat penghisap makanan untuk lembaga dari putih lembaga (albumen). Dalam hal ini, daun lembaga merupakan suatu alat berupa lapisan tipis yang memisahkan putih lembaga dari lembaganya. Oleh karena bentuknya seperti perisai kecil, biasanya dinamakan skuletum (sculletum). Dalam keadaan ini biji sama sekali tidak memperlihatkan belahan atau keping biji.
Gambar 5. Bagian-bagian biji (Saktiyono, 2004)
Biji pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu kulit biji (spermodermis), tali pusat (funiculus), dan inti biji (isi biji). Pada tumbuhan Angiospermae, kulit biji memiliki dua lapisan yaitu kulit luar (testa) dan kulit dalam (tegmen). Kulit luar bersifat tipis tetapi keras, sedangkan kulit dalam tipis seperti selaput dan sering disebut kulit ari. Tali pusat (funiculus) merupakan bagian yang menghubungkan biji dengan papan biji (plasenta). Jika biji telah masak, tali pusat lepas sehingga pada biji hanya terlihat bekasnya sebagai pusat biji (hilus). Inti biji (nucleus seminis) adalah semua
25
bagian biji yang terdapat di dalam kulit ari, terdiri dari lembaga (embrio) sebagai calon individu baru dan putih lembaga (endosperm) sebagai tempat cadangan makanan. Tidak semua biji memiliki putih lembaga, seperti pada Leguminoceae (polong-polongan), cadangan makanan tersimpan dalam daun lembaga (Mikrajuddin dkk., 2007). b. Jaringan tumbuhan Tumbuhan
tersusun
atas
berbagai
jaringan.
Banyaknya
pengetahuan tentang struktur jaringan menyebabkan kesulitan dalam memberi definisi yang tepat kepada suatu jaringan. Definisi jaringan adalah sekelompok sel dengan asal usul, struktur, dan fungsi yang sama. Definisi ini tidak tepat untuk semua kasus. Diperlukan definisi yang lebih lentur untuk jaringan tumbuhan tingkat tinggi. Bentukbentuk peralihan menimbulkan kesulitan dalam pengelompokan jaringan. Percobaan dengan suatu perlakuan dapat menyebabkan suatu tipe sel berubah menjadi tipe sel yang lain. Sebagai contoh, sel parenkim dapat dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi unsur berpembuluh. Jaringan mungkin juga terdiri atas sel yang berbeda bentuk, bahkan fungsinya, tetapi susunannya selalu sama. Berdasarkan jumlah tipe sel penyusunnya, jaringan dibedakan menjadi jaringan sederhana dan jaringan rumit. Jaringan sederhana bersifat homogen, hanya terdiri atas satu tipe sel, sedangkan jaringan rumit bersifat heterogen, terdiri atas dua atau lebih tipe sel. Parenkim, kolenkim, dan
26
sklerenkim adalah jaringan sederhana, sedangkan xilem, floem, dan epidermis adalah jaringan rumit (Mulyani, 2006). Masing-masing jaringan pada hewan menunjukan perbedaan yang mudah diamati. Sedangkan pada tumbuhan, batas-batas antara jenisjenis jaringanya cenderung kabur dan satu jenis jaringan bisa berubah menjadi jaringan lain seiring degan tahap perkembangannya. Selain itu, ciri-ciri struktural yang tampak begitu jelas pada sel-sel hewan, sangat tidak jelas pada sel-sel tumbuhan (Fried & Hademenos, 1999). 1) Jaringan Meristem Pada tahap perkembangan embrio, semua sel mengalami pembelahan. Pertumbuhan dan perkembangan sel lebih lanjut menunjukkan adanya diferensiasi menjadi bagian khusus tumbuhan dan juga masih ada sel yang tetap bersifat embrional, yaitu mampu mengadakan pembelahan secara terus menerus. Jaringan embrional dalam tubuh tumbuhan dewasa ini disebut meristem. Pembelahan sel juga dapat terjadi dalam jaringan selain jaringan meristem, contohnya dalam korteks batang muda dan pada perkembangan jaringan pembuluh. Pembelahan dalam jaringan ini terbatas. Sementara, sel meristem terus menerus membelah sehingga menghasilkan sel baru yang menambah tubuh tumbuhan. Ada pula meristem yang mengalami masa istirahat sementara. Sifat sitologi meristem; sel meristem biasanya berdinding tipis, bentuknya lebih isodiametris dibandingkan dengan sel
27
jaringan dewasa dan relatif lebih banyak mengandung protoplasma. Biasanya protoplas sel meristem tidak mengandung bahan cadangan dan kristal. Hampir semua sel meristem pucuk dari sejumlah besar tumbuhan, khususnya angiospermae, memiliki vakuola yang sangat kecil, tidak terlihat, dan tersebar dalam protoplas. Pada Pteridophyta, beberapa sel meristem pucuk memiliki vakuola yang jelas. Sel kambium juga mempunyai banyak vakuola. Ukuran sel meristem beragam. Perbandingan antara ukuran sel dan inti sangat besar. Dinding sel meristem biasanya tipis, tetapi sel tertentu dalam meristem pucuk mempunyai dinding tebal (Mulyani, 2006). 2) Jaringan Parenkim Jaringan parenkim merupakan jaringan dasar yang ditemukan pada hampir semua bagian (organ) tumbuhan. Jaringan parenkim disebut sebagai jaringan dasar karena menyusun sebagian besar jaringan pada akar, batang, daun, dan buah, serta terdapat diantara jaringan lain seperti xilem dan floem. Jaringan parenkim dapat dibedakan dengan jaringan lain karena memiliki ciri-ciri : a) Sel-selnya merupakan sel hidup yang berukuran besar dan tipis, serta umumnya berbentuk segi enam b) Memiliki banyak vakuola c) Letak inti sel mendekati dasar sel
28
d) Mampu bersifat embrional atau meristematis karena dapat membelah diri e) Memiliki ruang antar sel yang banyak sehingga letaknya tidak rapat (Aryulina dkk., 2004). Beberapa tumbuhan memiliki sel parenkim dengan vakuola yang cukup besar untuk menyimpan damar atau getah. Secara umum, sel parenkim berfungsi dalam fotosintesis, respirasi, sekresi, serta penyimpanan makanan cadangan dan air (Ferdinand & Ariebowo, 2007). 3) Jaringan Kolenkim Jaringan kolenkim merupakan jaringan hidup yang memiliki banyak sifat jaringan parenkim dan secara struktural dapat dianggap sebagai jaringan parenkim khusus yang menunjang organ muda pada tumbuhan. Bila kolenkim dan parenkim terletak berdampingan, keduanya akan berbaur menjadi bentuk transisi. Kemiripan antara kolenkim dan parenkim juga ditunjukkan oleh sering terdapatnya kloroplas pada kolenkim dan kemampuan kolenkim untuk melanjutkan aktivitas meristem. Sel-sel kolenkim memanjang ke arah poros panjang organ tempatnya berada dan ditandai oleh adanya sel primer yang berdinding sel tebal dan tidak berlignin (tidak memiliki zat kayu). Walaupun demikian, penebalan dinding sel-sel kolenkim tidak merata pada seluruh permukaan
29
dinding dalam sel, melainkan menebal pada sudut-sudut sel (Aryulina dkk., 2004). 4) Jaringan Sklerenkim Jika jaringan kolenkim berfungsi sebagai penunjang organorgan muda, maka jaringan sklerenkim memiliki peran sebagai penyokong organ-organ tua. Ketika pertumbuhan pada organ sudah mulai berkurang, jaringan kolenkim yang dominan, perlahan digantikan perannya oleh jaringan sklerenkim yang jauh lebih kuat. Jaringan sklerenkim merupakan jaringan sel yang mengalami penebalan di seluruh bagian dinding selnya. Dinding selnya lebih kuat dibandingkan jaringan kolenkim. Hal tersebut karena sel sklerenkim memiliki lignin (Ferdindand & Ariebowo, 2007). Jaringan sklerenkim umumnya terdapat pada bagian-bagian keras seperti tulang daun dan batang. Jaringan sklerenkim tersusun oleh sel-sel dengan dinding yang keras. Jaringan sklerenkim berfungsi menutup bagian luar dari biji atau buah, biasanya pada kenari dan tempurung kelapa (Saktiyono, 2004). 5) Jaringan Epidermis Jaringan epidermis merupakan lapisan sel paling luar pada daun, akar, buah, biji, dan batang. Jaringan epidermis terdiri atas deretan sel tunggal yang tersusun rapat. Jaringan epidermis memiliki beberapa modifikasi, baik yang terdapat pada akar, batang, maupun daun. Pada dinding sel-sel epidermis terdapat
30
lapisan
lilin
atau
kutikula
yang
dapat
mencegah
atau
meminimalisasi hilangnya air dari tumbuhan. Lapisan tersebut juga berguna sebagai pelindung terhadap serangan bakteri dan organisme patogenik lainnya. Pada umunya jaringan epidermis berfungsi sebagai pelindung untuk semua bagian tumbuhan. Namun, fungsi demikian dapat menjadi berkembang dengan ditemukannya beberapa modifikasi pada jaringan epidermis. Pada permukaan daun bagian bawah, terdapat bentuk modifikasi dari selsel epidermis, yaitu berupa sel penutup pada stomata (mulut daun). Susunan sel-sel epidermis pada akar tidak serapat pada daun sehingga air dan mineral dapat masuk ke dalam tumbuhan. Pada tumbuhan berkayu yang telah tua, sel epidermis batang berganti membentuk jaringan gabus. Lapisan gabus pada tumbuhan berguna untuk memperbesar daya perlindungan batang dan mengurangi pengupan air (Sudjadi & Laila, 2007). c. Preparasi bahan uji Preparasi
bahan
uji
dapat
dilakukan
dengan
cara
membersihkannya dari kotoran dengan air mengalir, kemudian ditiriskan dan dibuat penampang melintang, diberi kloralhidrat, dipanaskan, dan kemudian diamati dengan mikroskop (Mulyani dkk., 2013).
31
d. Reagen kloralhidrat Kloralhidrat merupakan salah satu dari beberapa reagen penjernih dalam analisis mikroskopi. Fungsi dari kloralhidrat sebagai reagen penjernih sudah diketahui sejak lama dan telah digunakan oleh berbagai kalangan dalam berbagai protokol penelitian, untuk menganalisis berbagai bahan dan spesies secara mikroskopi. Dalam penggunaannya kloralhidrat mampu membuat preparat menjadi lebih transparan, secara nyata mengatasi problema pencahayaan yang biasanya ada pada pengamatan mikroskopi, sehingga gambar dapat diamati dengan lebih jelas dan dengan resolusi yang lebih tinggi (Haselof, 2003). Pada akhirnya kloralhidrat menjadi standar industri dan reagen penting yang diperlukan dalam penaksiran kualitas produk herbal (Villani dkk., 2013). e. Pembuatan reagen kloralhidrat Sejumlah 80,0 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 mL air dengan pemanasan (Stahl, 1973). 4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Egon Stahl dengan menghamparkan penyerap pada lempeng gelas, sehingga berupa lapisan tipis. KLT merupakan kromatografi serapan, tetapi dapat juga merupakan kromatografi partisi karena bahan penyerap telah dilapisi air dari udara. Sistem ini memberikan banyak keuntungan, yaitu peralatan
32
yang diperlukan sedikit, relatif murah, sederhana, waktu analisis cepat, dan daya pisah cukup baik (Sudjadi, 1988). KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Gritter dkk., 1985). a. Dasar kromatografi lapis tipis Konsep pemisahan pada sistem KLT adalah berdasarkan perbedaan polaritas. Pemisahan dilakukan akibat keseimbangan berturutan cuplikan dalam dua fasa, satu diantaranya (fase gerak) bergerak terhadap yang lainnya (fase diam). Terjadi proses penyebaran molekul cuplikan karena proses nonideal (Sudjadi, 1988). Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode pemisahan fisikokimia. Fase diam ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam, ataupun lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan pada fase diam berupa bercak maupun garis (awal). Selanjutnya fase diam dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang telah berisi fase gerak yang sesuai. Pemisahan terjadi selama pengembangan, selanjutnya senyawa yang tidak berwarna dideteksi dengan metode yang sesuai (Stahl, 1973).
33
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf
Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1973). b. Fase diam Pada semua prosedur kromatografi, kondisi optimum suatu pemisahan merupakan hasil kecocokan antara fase diam dan fase gerak. Dalam KLT, fase diam harus mudah didapat. Pada umumnya fase diam yang digunakan adalah silika gel. Fase diam dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal, yaitu sifat kimianya; senyawa organik atau anorganik, dan mekanise pemisahan. Namun ada beberapa faase diam yang sukar dikelompokkan seperti poliamida dan porapak (Sudjadi, 1988). Silika gel merupakan fase diam yang paling sering digunakan untuk KLT. Untuk penggunaan dalam suatu tipe pemisahan perbedaannya tidak hanya pada struktur tetapi juga pori-pori dan struktur lubangnya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan disamping pemilihan fase gerak. Dalam perdagangan, silika gel mempunyai ukuran 10 sampai 40 µ. Ukuran ini terutama mempengaruhi kecepatan alir dan kualitas pemisahan. Sedangkan proses serapan terutama
34
dipengaruhi oleh ukuran porinya, yang bervariasi antara 20 sampai 150 Å. Masalah aktivasi silika gel tidak begitu mempengaruhi kebanyakan jenis pemisahan, tetapi deaktivasi silika gel merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Derajat deaktivasi ditentukan oleh kelembapan relatif kamar dimana pemisahan dilakukan dan lempeng silika gel disimpan (Sudjadi, 1988). Ada beberapa macam silika gel yang beredar, diantaranya: 1) Silika gel dengan pengikat 2) Silika gel dengan pengikat dan indikator fluoresensi 3) Silika gel tanpa pengikat 4) Silika gel tanpa pengikat dengan indikator fluoresensi 5) Silika gel untuk keperluan pemisahan preparatif. Jenis silika gel dengan pengikat dan indikator fluoresensi biasanya berfluoresensi kehijauan jika dilihat pada sinar ultraviolet pada panjang gelombang pendek. Sebagai indikator biasanya digunakan timah-kadmium sulida atau mangan-timah silikat aktif. Jenis ini biasa dikenal sebagai Silica Gel GF atau GF254 (Sudjadi, 1988). c. Fase Gerak Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa macam pelarut, yang bergerak dalam fase diam karena adanya gaya kapiler. Pelarut yang digunakan adalah pelarut berderajat analitik, jika dimungkinkan campuran pelarut yang paling baik adalah
35
yang paling sederhana dan tidak lebih dari tiga macam campuran. Angka banding campuran dinyatakan dalam
bagian volume
sedemikian rupa sehingga volume total adalah 100 (Stahl, 1973). Pada proses serapan, yang terjadi jika menggunakan silika gel, alumina, dan fasa diam lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi kolom serapan. Sistem tak berair paling banyak digunakan dan contoh pelarut organik dalam seri pelarut mikrostop adalah sebagai berikut: 1) Kelompok pemisahan senyawa hidrofil, contohnya adalah air, formaldehida, metanol, asam asetat, etanol, isopropanol, aseton, n-propanol, tert-butanol, fenol, n-butanol, dan lainnya. 2) Kelompok pemisahan senyawa lipofil, contohnya adalah namil alkohol, etil asetat, eter, n-butil asetat, kloroform, benzena, tolueana, sikloheksana, eter petroleum, petroleum, minyak parafin, dan lainnya. Jika fase gerak yang digunakan adalah sistem pelarut campuran, pada lapisan fase diam, susunan pelarut itu dapat mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Hal ini akan menghasilkan pemisahan yang kurang baik. Oleh karena itu sistem dua pelarut lebih disenangi. Hal yang mempengaruhi kualitas pemisahan adalah kejenuhan bejana pengembang. Penyusunan sistem pelarut dapat dipilih sesuai dengan kemampuan membentuk ikatan hidrogen dalam satu seri dari hidrofil
36
sampai ke hidrofob. Kombinasi pelarut yang mempunyai sifat berbeda memungkinkan didapatkannya sistem pelarut yang cocok (Sudjadi, 1988). d. Prinsip kromatografi jerap Penjelasan berikut adalah konsep dari kromatografi jerap: 1) Hidrokarbon jenuh terjerap sedikit atau tidak sama sekali. Oleh karena itu ia akan bergerak paling cepat. Penjerapan hidrokarbon tidak jenuh meningkat dengan meningkatnya jumlah ikatan rangkap dan ikatan rangkap terkonjugasi. Oleh karena itu, untuk pemisahan harus digunakan suatu penjerap yang aktif dan pelarut pengembang yang kurang polar. Kemungkinan lainnya adalah dengan pembalikan fase. Dalam hal ini fase diam dibacem dengan suatu lipida dan sebagai pelarut digunakan pelarut hidrofilik. 2) Bila gugusan fungsi dimasukkan ke dalam suatu hidrokarbon, afinitas jerap naik menurut urutan berikut:
Misalnya
jika
digunakan
benzena
sebagai
larutan
pengembang, eter dan ester akan terdapat pada bagian atas kromatogram KLT berlapis silika gel atau aluminium hidroksida, keton, dan aldehida kurang lebih berada di tengah, alkohol berada di bawahnya, sedangkan asam berada di titik awal. Dengan kata lain, pemisahan terjadi menurut kepolaran senyawa dalam larutan uji (Stahl, 1973).
37
e. Senyawa pembanding Disamping larutan cuplikan, selalu ada suatu campuran pembanding yang dielusi bersamaan dengan sampel. Campuran senyawa pembanding dapat terdiri atas 1 – 5 senyawa yang diketahui, dengan konsentrasi yang diketahui pula. Bila mungkin, senyawa pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat di dalam larutan cuplikan atau sampel. Namun, senyawa lain yang berbeda boleh digunakan jika memiliki sifat rambat yang serupa dengan senyawa cuplikan. Jika mungkin, akan lebih baik digunakan pelarut yang sama untuk membuat larutan pembanding dan larutan cuplikan (Stahl, 1973). Dalam proses pembuatan larutan uji, jumlah obat atau sampel yang ditimbang harus sedikit, jika dimungkinkan lakukan maserasi sederhana dengan memakai pelarut yang jumlahnya minimum (0,5 – 5 mL). Selanjutnya ekstraksi dapat dilakukan dalam tabung reaksi kecil. Endapan yang tersisa dapat dihilangkan dengan beberapa cara, antara lain dengan pemusingan (sentrifugasi) atau dengan penyaringan melalui corong yang telah diberi kertas saring atau kapas (Stahl, 1973). Zat indikatif (senyawa pembanding) dapat dipilih di antara konstituen tanaman obat, tanpa memandang apakah zat ini merupakan zat aktif atau zat lain yang terdapat dalam tanaman. Syaratnya adalah
38
karakteristik untuk tanaman obat yang diteliti mudah untuk ditunjukkan (Agoes, 2007). f. Pengembangan kromatogram Kromatogram biasanya dikembangkan dengan teknik naik linier dengan menggunakan bejana pengembang gelas atau logam. Pada bejana itu diberi kertas saring dan fase gerak sampai kedalaman 0,5 cm. Agar pemisahannya baik, jarak antara permukaan fase gerak dan garis batas harus sama (1 – 2 cm). Harga Rf sering tidak sama karena perbedaan kejenuhan (Sudjadi, 1988). g. Penetapan kadar secara KLT-Densitometri KLT dapat digunakan untuk penetapan kuantitatif dengan cara mengukur besar dan intensitas pada bercak. Alat untuk mengukur besar dan intensitas bercak secara langsung pada lempeng KLT adalah densitometer, yang terdiri dari alat mekanik yang menggerakkan lempeng atau alat pengukur sepanjang sumbu x dan y, perekam, integrator atau komputer yang sesuai. Untuk zat yang memberikan respon terhadap UV-vis, fotometer dengan sumber cahaya, digunakan alat optik yang mampu menghasilkan cahaya monokromatis dan foto sel dengan sensitivitas yang sesuai untuk mengukur pantulan. Pada pengukuran fluoresensi, diperlukan filter yang sesuai untuk mencegah cahaya yang digunakan untuk eksitasi mencapai fotosel dengan membiarkan emisi yang spesifik dapat lewat. Rentang linearitas dari alat pencacah harus diverifikasi. Jika perlu dilakukan penotolan pada
39
lempeng tidak kurang dari 3 larutan baku dari zat yang ditetapkan, dengan kadar di antara perkiraan zat dalam larutan uji (misal: 80%, 100%, 120%). Jika perlu dilakukan derivatisasi dengan pereaksi dan rekam pantulan atau fluoresensi pada kromatogram. Gunakan hasil pengukuran untuk perhitungan jumlah zat dalam larutan uji (Anonim, 2008). h. Metode Identifikasi (Deteksi) Menurut Sudjadi (1988), untuk melihat senyawa tak berwarna pada lempeng, biasanya digunakan metode sebagai berikut: 1) Melihat kromatogram di bawah sinar ultraviolet (254 nm atau 366 nm) a) Pada lapisan berfluoresensi, misalnya silika gel GF254, bercak muncul sebagai noda hitam. b) Untuk senyawa berfluoresensi, digunakan lapisan biasa, bercak terlihat berfluoresensi. 2) Menyemprot dengan pereaksi yang menghasilkan warna dan atau berfluoresensi. i. Anisaldehida-Asam Sulfat Anisaldehida-asam sulfat adalah nama lain atau singkatan dari pereaksi anisaldehida yang dilarutkan dalam larutan asam sulfat. Anisaldehida juga dapat dibuat dalam larutan lain seperti dalam asam asetat. Anisaldehida (4-Methoxybenzaldehyde, C8H8O2) merupakan senyawa berbentuk cair dalam suhu ruang, tidak berwarna (colourless)
40
sampai berwarna kuning, larut baik dalam air dan bercampur dengan etanol (World Health Organization, 2006). Cara pembuatan anisaldehida-asam sulfat adalah dengan mencampurkan 0,5 mL anisaldehida dengan 10 mL asam asetat glasial. Kemudian ditambahkan 85 mL metanol dan 5 mL asam sulfat P. Lalu dilakukan pemanasan pada suhu 100°C selama 5 – 10 menit (Wagner & Bladt, 1996). Cara lainnya adalah dengan memanaskan pada suhu 100-110°C selama 10 menit. Deteksi dilakukan di bawah sinar tampak (Stahl, 1973). Pengamatan profil KLT dilakukan pada saat sebelum dan setelah plat KLT disemprot dengan pereaksi anisaldehida-asam sulfat. Anisaldehida-asam sulfat merupakan reagen umum yang digunakan untuk
produk-produk
alam,
diantaranya
antioksidan,
steroid
prostaglandin, karbohidrat, fenol, glikosida, sapogenin, terpenoid, antibiotik dan mikotoksin (Fried & Sherma, 1999), flavonoid, terpenoid, saponin (D’Amelio, 1999), steroid glikosida, terpenoid glikosida (Wagner & Bladt, 1996), dan senyawa yang umum dan spesifik yang secara spesifik telah diteliti seperti alilestrenol (Trivedi dkk., 2007), partenolida (Tampubolon dkk., 2005), aestin (senyawa resin), borneol, santonin, kanabinoid, dan masih banyak lainnya (European Pharmacopoeia Commision, 2004). Pereaksi penampak bercak untuk senyawa yang sudah dielusi diperlukan untuk mengenali golongan senyawa tertentu. Pada cahaya
41
tampak, karbohidrat akan menghasilkan warna merah (Agrawal dkk., 2012)
saponin
akan
menghasilkan
warna
biru,
biru
violet
(Hostettmann & Marston, 1995), dan kuning (Fried & Sherma, 1996). Alkaloid opium/ alkaloid akan menghasilkan warna merah violet dan hijau (Svendsen, 1983). Steroid akan menghasilkan warna jingga (Gorog, 1983). Steroid dan glikosidanya akan memberikan warna biru, biru violet, atau merah muda (Kumar dkk., 2010), glikosida flavonoid berwarna merah sampai merah jingga, glikosida iridoid, terpenoid alkohol, terpenoid aldehida, terpenoid keton dan ester akan berwarna biru violet, furano sesquiterpen akan berwarna violet. Komponen minyak esensial/ minyak atsiri akan berwarna biru, hijau, merah hingga cokelat dengan baik, Sedangkan pada UV 366, iridoid glikosida akan berfluoresensi hijau. Furanoid akan berfluoresensi biru violet dan terpenoid alkohol akan berfluoresensi cokelat-merah (Wagner & Bladt, 1996). j. Folin-Ciocalteu Metode yang saat ini dikembangkan untuk mendeteksi senyawa fenol berasal dari sekitar 100 tahun yang lalu yang diinisiasi oleh Folin dan Denis (1912), yang melakukan penelitian dengan membuat metode kolorimetri untuk mendeteksi asam amino tirosin. Kemudian reagen Folin-Denis ini disempurnakan pada tahun 1927 oleh Folin dan Ciocalteu. Reagen ini tidak hanya dapat mendeteksi tirosin dan
42
triptopan, melainkan juga dapat mendeteksi senyawa fenolik dari berbagai sumber secara luas (Vermerris & Nicholson, 2008). Folin-Ciocalteu digunakan untuk mendeteksi adanya fenol total. Pengujian ini didasarkan pada proses oksidasi senyawa fenolik yang diamati dengan timbulnya gugus kromofor akibat dari tereduksinya reagen. Adanya beberapa senyawa reduktor seperti asam askorbat, asam amino, xantin, protein, dan lainnya dapat mengganggu pengujian (Makkar, 2003). Reaksi folin dengan protein pada penelitian menunjukkan timbulnya bercak berwarna biru (Rastogi, 2005). Reaksi folin dengan agen pereduksi seperti protein dan senyawa fenol juga dapat memberikan warna biru pada plat (Spangenberg dkk., 2011). FolinCiocalteu (10%) juga digunakan untuk mendeteksi senyawa polifenol (Voeks & Rashford, 2013), bercak fenol yang terjadi akan berwarna biru, namun dapat menjadi keabuan saat diberikan senyawa amoniak (Dey & Harborne, 1989), khususnya pada senyawa fenol yang memiliki inti katekol dan hidroquinon (Harborne, 1998). k. Senyawa Fenol Istilah senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang memiliki cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih hidroksil. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya mereka sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel.
43
Flavonoid merupakan golongan yang terbesar, diikuti fenol monosiklik sederhana seperti fenilpropanoid dan kuinon fenolik. Beberapa golongan bahan polimer penting dalam tumbuhan seperti lignin, melanin, dan tanin juga merupakan senyawa polifenol. Kadang-kadang satuan fenolik juga dijumpai pada protein, alkaloid, dan terpenoid (Harborne, 1973).
F. Keterangan Empiris yang Diharapkan 1. Deskripsi mengenai simplisia biji mahoni dan gambaran mikroskopis awal dari sayatan melintang biji dan sayap biji dari tanaman mahoni. 2. Besaran nilai parameter mutu serta profil KLT dari ekstrak etanolik biji mahoni Kabupaten Ponorogo.