BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Furosemid merupakan obat golongan loop diuretik yang banyak digunakan untuk berbagai macam indikasi, diantaranya: antihipertensi, asites, sindrom kekurangan hormon antidiuretik, hiperkalemi, serta dapat mengurangi odem perifer dan odem paru pada kompensasi gagal jantung menengah sampai berat (Wells et al., 2009). Furosemid disukai penggunaannya karena memiliki awal mula kerja cepat dengan durasi agak pendek. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat reabsorbsi natrium dan klorida di tubulus proksimal pada bagian naik yang tebal pada loop of Henle (Neal, 2002). Bagian ini memiliki kapasitas reabsorbsi NaCl tinggi sehingga furosemid memiliki efek diuresis yang lebih besar dibandingkan diuretik lain. Efek diuresis ini akan semakin besar pada loop diuretik generasi terbaru misalnya torasemid dan bumetanid. Namun efek terapi yang besar tersebut juga diikuti dengan efek samping yang besar pula sehingga pemakaian furosemid tetap menjadi pilihan (Knauf & Mutschler, 1998). Mekanisme kerja golongan loop diuretik ini sangat kuat, sehingga menimbulkan banyak sekali efek samping, tidak terkecuali furosemid (meskipun efek diuresisnya paling kecil diantara loop diuretik yang lain). Efek samping utama furosemid adalah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit dengan kondisi hipokalemi dan dehidrasi yang serius. Efek samping lain yakni dapat menginduksi anemia aplastis, menginduksi gangguan kulit berupa pseudoporphyria (kulit
1
menjadi rapuh, melepuh pada paparan cahaya), dan pankreatitis akut (Sweetman, 2009). Furosemid juga dapat berinteraksi dengan banyak obat. Interaksi yang paling perlu diperhatikan adalah antara furosemid dengan captopril (ACE inhibitor) yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah (hipotensif) secara tajam pada awal pemberian terutama pada hipertensi dengan aktivitas renin tinggi. Interaksi lain adalah furosemid yang diberikan bersama dengan antibiotik golongan aminoglikosida akan mengakibatkan nefrotoksisitas berat pada pasien (Stockley, 2008). Selain permasalahan efek samping dan interaksi obat yang luas, furosemid juga memiliki masalah dengan sifat fisikokimianya. Furosemid memiliki sifat praktis tidak larut dalam air sehingga akan menyulitkannya dalam proses disolusi. Percobaan yang dilakukan oleh Syukri & Sukmawati (2004) diperoleh profil disolusi yang bervariasi dari 10 macam produk tablet furosemid yang beredar di Indonesia. Disolusi menjadi faktor utama agar obat dapat tersedia secara hayati untuk menimbulkan efek secara farmakodinamik. Hal ini dikarenakan dalam sistem biologi, pelarutan obat dalam media aqua merupakan suatu bagian penting sebelum diabsorpsi secara sistemik. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel & Yu, 1988). Meskipun demikian disolusi bukanlah faktor yang berkorelasi langsung dengan efek obat di dalam tubuh karena dilakukan secara in vitro yang tidak menggambarkan secara utuh kondisi biologis manusia. Untuk mendapatkan
2
gambaran yang utuh tentang efek farmakodinamika suatu obat maka perlu dilakukan studi tentang bagaimana ketersediaan obat tersebut dalam tubuh karena banyaknya obat di dalam tubuh akan secara langsung mempunyai dampak terhadap keberhasilan terapi pasien. Studi farmakokinetika tersebut berupa uji bioavailabilitas, dan apabila dibandingkan dengan produk inovator atau produk standar maka disebut uji bioekivalensi. Hal ini merupakan bagian dari upaya menjamin kualitas obat agar produk yang beredar senantiasa memenuhi persyaratan yang ditentukan. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10217 tahun 2011 tentang Obat Wajib Uji Ekivalensi juga menyatakan bahwa obat copy yang mengandung zat aktif furosemid wajib dilakukan uji bioekivalensi. Dengan demikian, agar dapat lolos registrasi maka produk yang berisi furosemid harus memenuhi persyaratan uji bioekivalensi (BPOM, 2004), sedangkan di Indonesia sendiri belum ada metode yang dikembangkan untuk dilakukan uji bioekivalensi pada furosemid. Metode analisis furosemid dari USP (2006) dan BP (2009) tidak dilakukan dalam plasma, sedangkan metode dari Clarke’s Analysis of Drug and Poison (Moffat et al., 2011) memberikan metode analisis furosemid dengan KCKT di dalam plasma. Namun di dalam metode-metode tersebut tidak ditambahkan internal standar, padahal menurut Guideline on Validation of Bioanalytical Methods dari EMA (2011), metode bioanalisis harus menggunakan internal standar untuk proses validasinya.
3
Beberapa penelitian yang telah dikembangkan untuk penetapan kadar furosemid dalam plasma diantaranya: KCKT-MS/MS (Bragatto et al., 2011; Sora et al., 2010), RPLC/MS (Hamid, 2000) dimana penggunaan kedua alat ini masih rendah di Indonesia sehingga tidak aplikatif. Penelitian-penelitian lain pada analisis furosemid dalam plasma sebagaimana tercantum dalam Bosch et al. (2008)
menggunakan
KCKT/elektrotermal
dan
KCKT/fluoresensi
yang
penanganan sampelnya cukup rumit dan panjang, sedangkan yang menggunakan KCKT/UV masih memiliki batas deteksi yang tinggi. Penelitian lain yang menggunakan RPLC/UV (El-Saharty, 2003) dilakukan dalam plasma kelinci. Penelitian furosemid pernah dilakukan oleh Walash et al. (2012) secara KCKT/UV dengan kolom Shim-pack VP-ODS C18 (250 mm x 4,6 mm x 5 µm) dan fase gerak SDS 0,1 M, trietilamin (TEA) 0,3%, n-propanol 10% yang dipreparasi dalam asam orto fosfat 0,02 M pada pH 4,0. Laju alir untuk fase gerak adalah 1 mL/menit dan deteksi dilakukan pada panjang gelombang 238 nm. Penelitian dilakukan pada sediaan kombinasi furosemid dan spironolakton yang aplikasinya dilakukan pada plasma manusia menggunakan standar internal indapamid. Nilai LOD dan LOQ untuk furosemid adalah 0,03 dan 0,1 µg/mL serta waktu retensi 6,91 menit. Penelitian menggunakan metode KCKT yang dikembangkan oleh Mojtahedzadeh et al. (2005) menggunakan fase gerak asetonitril-bufer fosfat pH 4,25 (30:70) dengan kecepatan alir sebesar 0,9 mL/menit. Deteksi dilakukan pada panjang gelombang 235 nm dan memiliki batas deteksi sebesar 20 ng serta nilai CV<10%, sedangkan parameter lain belum tervalidasi.
4
Penelitian terbaru menggunakan KCKT oleh Youm & Youan (2013) dilakukan dengan fase diam Spherisorb C18 ODS 2 dan fase gerak asetonitrilbufer fosfat 10mM pada pH 3,85 (70:30). Panjang gelombang untuk deteksi dipilih pada 233 nm dengan waktu retensi 7,0 menit, tetapi aplikasi metode ini dilakukan pada tablet nanopartikel. LOD dan LOQ yang diperoleh sebesar 5,2 dan 15,8 ng/mL. Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti ingin mengembangkan dan melakukan validasi metode analisis furosemid dalam plasma dengan memakai standar internal yang sesuai serta menggunakan metode KCKT fase terbalik yang lebih sederhana, cepat, dan mudah.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang muncul sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi optimum penetapan kadar furosemid dalam plasma manusia menggunakan KCKT fase terbalik C18? 2. Apakah kondisi optimal analisis yang dikembangkan pada butir 1 dapat memberikan data yang valid untuk penetapan kadar furosemid dalam spiked plasma manusia?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan pustaka yang telah ditemukan, metode analisis penetapan kadar furosemid dalam spiked plasma manusia secara KCKT/UV menggunakan kolom
5
fase terbalik C18 dengan fase gerak metanol : asetonitril : bufer fosfat pH 3,0 belum pernah dilakukan dan dipublikasikan sebelumnya, sehingga perlu dilakukan validasi terhadap metode analisis penetapan furosemid yang dikembangkan oleh peneliti.
D. Urgensi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan metode analisis penetapan kadar furosemid dalam plasma manusia menggunakan metode KCKT dengan kolom fase terbalik C18. Metode ini diharapkan dapat menjadi metode analisis alternatif yang sederhana, cepat, dan selektif dibanding metode KCKT lain yang pernah dilaporkan. Dengan demikian dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar furosemid pada uji bioavailabilitas dan bioekivalensi, uji farmakokinetik, atau toksikologi.
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut: a.
Mengembangkan metode analisis yang optimum untuk penetapan kadar furosemid dalam plasma secara KCKT fase terbalik yang lebih selektif, cepat, mudah, dan sederhana.
b.
Memvalidasi metode
analisis yang dikembangkan pada butir a dengan
parameter-parameter selektivitas, linearitas, akurasi, presisi, stabilitas, batas deteksi, dan robustness (ketahanan) untuk penetapan kadar furosemid dalam plasma manusia.
6