BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Diltiazem Hidroklorida merupakan obat golongan calcium channel blocker yang dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan inhibitor enzim angiotensin untuk mengobati hipertensi. Tablet konvensional diltiazem HCl memiliki bioavailabilitas sekitar 15-30% dan kapasitas ikatan proteinnya sebesar 70-80%. Diltiazem HCl dimetabolisme di hati dan diekskresikan dalam urin. Waktu paruh obat ini sekitar 2-6 jam. Jumlah dosis diltiazem oral yang biasa diberikan adalah 30-60 mg tiga kali sehari (Pillai dkk., 2011). Pemakaian tablet konvensional Diltiazem HCl secara berulang pada pengobatan hipertensi dapat menyebabkan rendahnya kepatuhan pasien dalam minum obat, sehingga upaya pembuatan obat saat ini difokuskan pada sistem penghantaran baru sediaan obat yaitu secara
transdermal yang dapat
meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pasien karena dapat mengurangi frekuensi pemberian obat. Pemberian obat secara transdermal tidak hanya untuk penargetan obat-obatan secara lokal, tetapi juga untuk kontrol penghantaran obat secara sistemik yang lebih baik (Pillai dkk., 2011). Target aksi dari sediaan transdermal adalah melalui kulit, lapisan terluar dari epidermis yaitu stratum korneum merupakan penghalang yang tangguh dalam penyerapan obat secara transdermal, sehingga stratum korneum dapat menentukan tingkat penetrasi ke dalam kulit (Pandey dkk., 2014). 1
2
Peningkat penetrasi dapat digunakan untuk meningkatkan penyerapan obat melintasi stratum korneum. Peningkatan penetrasi obat terjadi melalui interaksi antara peningkat penetrasi dengan kepala polar dari lipid. Salah satu jenis bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi adalah polietilen glikol 400 (PEG 400) yang termasuk dalam golongan surfaktan hidrofilik yang memiliki kemampuan potensial untuk melewati lipid stratum korneum, dengan demikian surfaktan dapat bertindak sebagai peningkat penetrasi (Pandey dkk., 2014). Film transdermal diltiazem HCl dengan kombinasi polimer polivinil alkohol dan etil selulosa 7:3 memiliki nilai persentase permeasi paling tinggi dibandingkan kombinasi polimer polivinil alkohol dan etil selulosa 9:1 dan 8:2 (Sulistyowati, 2015). Kombinasi peningkat penetrasi PEG 400 dan tween 60 masing-masing sebanyak 1% memberikan hasil permeasi yang paling baik dibandingkan dengan formula lain atas dasar evaluasi profil pelepasan obat (Omray dkk., 2014). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka saat ini perlu dikembangkan sediaan transdermal diltiazem HCl dengan variasi konsentrasi peningkat penetrasi PEG 400 untuk mengetahui karakteristik fisik dan permeasinya.
3
B. Perumusan masalah 1. Apakah ada perbedaan organoleptis, keseragaman bobot, penyerapan lembab, ketebalan, daya tahan lipat serta kandungan zat aktif film transdermal diltiazem HCl dengan variasi konsentrasi peningkat penetrasi PEG 400? 2. Bagaimana permeasi film transdermal diltiazem HCl dengan variasi konsentrasi peningkat penetrasi PEG 400? 3. Bagaimana perubahan karakter kristal diltiazem HCl dalam matriks film transdermal pada analisis XRD?
C. Tujuan penelitian 1. Mengetahui perbedaan karakteristik fisik organoleptis, keseragaman bobot, penyerapan lembab, ketebalan, daya tahan lipat serta kandungan zat aktif film transdermal diltiazem HCl dengan variasi konsentrasi peningkat penetrasi PEG 400. 2. Mengetahui permeasi film transdermal diltiazem HCl dengan variasi konsentrasi peningkat penetrasi PEG 400. 3. Mengetahui perubahan bentuk kristal diltiazem HCl dalam matriks film transdermal pada analisis XRD.
4
D. Manfaat penelitian 1. Pengembangan ilmu pengetahuan, terutama untuk penelitian di bidang biofarmasetika dan teknologi farmasi dalam hal formulasi dan studi in vitro sediaan transdermal. 2. Bagi industri farmasi di Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan formulasi produk baru dengan sistem penghantaran obat secara transdermal.
E. Tinjauan pustaka 1. Diltiazem hidroklorida Diltiazen HCl merupakan obat golongan calcium channel blocker yang dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan inhibitor enzim angiotensin
untuk
mengobati
hipertensi.
Diltiazem
HCl
memiliki
bioavailabilitas sekitar 15-30% dan kapasitas ikatan proteinnya sebesar 7080%. Diltiazem HCl dimetabolisme di hati dan diekskresikan dalam urin. Waktu paruh obat ini sekitar 2-6 jam. Jumlah dosis oral yang biasa diberikan adalah 30-60 mg tiga kali sehari (Pillai dkk., 2011).
Gambar 1. Struktur kimia diltiazem hidroklorida (USP30-NF25, 2007)
5
Diltiazem hidroklorida memiliki bobot molekul 450,98 dan rumus molekul C22H26N2O4S.HCl. Diltiazem HCl berupa serbuk hablur kecil putih, tidak berbau, melebur pada suhu 210ºC disertai peruraian, mudah larut dalam kloroform, methanol, air dan asam, asam agak sukar larut dalam etanol etanol, mutlak dan tidak larut dalam eter (Depkes ( RI, 1995). 2. Sistem penghantaran enghantaran sediaan transdermal Kulit
sebelumnya
dianggap
sebagai
pelindung
yang
bersifat
impermeable, tapi penelitian selanjutnya membuktikan bahwa kulit dapat digunakan sebagai rute untuk penghantaran obat secara sistemik. Kulit adalah organ yang paling intensif karena hanya ada sebagian kecil jaringan yang memisahkan permukaan dari jaringan kapiler yang mendasari.
Gambar 2. Penampang kulit (Pandey dkk., 2014)
Sistem penghantaran obat dari patch secara sistemik ada tiga yaitu rute interseluler di mana obat yang melintasi kulit dengan rute ini harus melewati ruang-ruang ruang kecil antar sel kulit. Rute transeluler di mana obat yang melintasi kulit dengan rute ini i harus melewati sel (keratin). Rute transappendageal ransappendageal di
6
mana obat yang melintasi kulit dengan rute ini harus melalui kelenjar keringat, folikel rambut dan kelenjar sebasea (Pandey dkk., 2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi ke dalam kulit diantaranya ketebalan lapisan tanduk, kondisi kulit, kelarutan, konstanta disosiasi, ukuran partikel, penetrasi ke dalam epidermis dan perubahan permeabilitas kulit (Pandey dkk., 2014). Sediaan transdermal adalah sediaan obat yang ditempatkan pada kulit untuk menghantarkan obat dengan dosis tertentu melalui kulit dan masuk ke aliran darah (Gopal dkk., 2014). Sistem penghantaran secara transdermal efektif untuk obat yang mudah berpenetrasi ke dalam kulit dan mudah mencapai situs target. Sediaan ini dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan mengurangi frekuensi pemberian obat dibandingkan dengan oral. Formulasi transdermal dapat menjaga dan memastikan bahwa konsentrasi obat agar berada dalam rentang konsentrasi efektif (Sharma dkk., 2013). Bahan dasar yang digunakan dalam sistem penghantaran sediaan transdermal adalah: a. Polimer Polimer adalah parameter penting sistem penghantaran sediaan transdermal yang mengontrol pelepasan obat. Matriks polimer dapat dibuat dengan dispersi obat ke dalam larutan atau polimer sintetik basa. Polimer dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu polimer alami seperti turunan
7
selulosa, zein, gelatin, selak, lilin dan gum, Elastomer sintetik seperti polibutadiena, karet hidrin, poli-isobutilen, silikon akrilonitril, neopren serta polimer sintetik seperti polivinil alkohol, polivinil klorida, polietilen, poliakrilat, poliamida, poliurea (John, 2014). b. Obat Obat yang digunakan dalam sediaan transdermal harus dipilih dengan hati-hati. Sifat fisiko kimia obat untuk sistem penghantaran transdermal diantaranya obat harus memiliki berat molekul kurang dari sekitar 1000 Dalton, memiliki afinitas untuk kedua fase lipofilik dan hidrofilik serta memiliki titik leleh yang rendah. Obat juga harus memenuhi sifat biologi seperti waktu paruh yang pendek, harus kuat apabila diberikan dalam dosis harian, tidak menimbulkan iritasi kulit atau respon alergi, obat yang terdegradasi di saluran pencernaan, serta obat yang diberikan untuk jangka waktu panjang (John, 2014). c. Peningkat penetrasi Permeabilitas menuju stratum korneum dapat ditingkatkan dengan penambahan peningkat penetrasi untuk mencapai tingkat terapeutik obat yang lebih tinggi. Peningkat penetrasi berinteraksi dengan struktur komponen stratum korneum seperti protein dan lipid. Peningkat penetrasi dapat diklasifikasikan secara kimia seperti menthol, karvon, azon, asam oleat, dimetil sulfoksida dan secara fisika seperti iontophoresis dan ultra sound (John, 2014).
8
d. Perekat Perekat
mempertahankan
hubungan
antara
patch
dengan
permukaan kulit. Misalnya poliakrilat, poliisobutilen dan silikon. Sistem perekat harus memenuhi kriteria seperti tidak mengiritasi kulit, tidak berubah posisi saat pengguna melakukan aktivitas seperti mandi dan olahraga, harus mudah dilepas, tidak meninggalkan residu yang tidak tercuci pada kulit dan harus memiliki kontak yang sangat baik dengan kulit (John, 2014). e. Backing laminates Fungsi utama backing laminates adalah untuk memberikan ikatan yang baik antara obat dengan pembawa dan menjaga keutuhan sediaan sewaktu penyimpanan. Misalnya aluminium foil dan poliuretan yang fleksibel (John, 2014). f. Release liner Fungsi utama dari release liner adalah untuk mencegah obat bermigrasi ke dalam perekat selama penyimpanan, sehingga dianggap sebagai bagian dari kemasan primer. Misalnya kain kertas, polietilen, dan polivinil klorida (John, 2014). g. Bahan tambahan lain seperti plasticizer dan pelarut. Plasticizer ditambahkan ke dalam sistem sediaan transdermal untuk memperbaiki kerapuhan dari polimer dan memberikan fleksibilitas
9
pada sediaan transdermal (Gungor dkk., 2012). Misalnya minyak jarak dan propilen glikol (John, 2014). Pelarut digunakan untuk melarutkan atau mendispersikan polimer atau obat dalam sediaan transdermal (Gungor dkk., 2012). Misalnya kloroform, metanol, dan aseton (John, 2014). Beberapa tipe dalam sistem penghantaran sediaan transdermal diantaranya: a. Sistem obat dalam perekat satu lapis Perekat mengandung obat dan semua bahan pembawa yang berada satu lapis di bawah backing, sehingga perekat tidak hanya berfungsi untuk merekatkan sediaan transdermal pada kulit, tetapi juga berfungsi untuk melepaskan obat (John, 2014). b. Sistem obat dalam perekat berlapis Tipe ini hampir sama dengan sistem obat dalam perekat satu lapis. Perekat mengandung obat dan semua bahan pembawa yang berada satu lapis di bawah backing serta menambahkan lapisan perekat-obat lain yang dipisahkan oleh suatu membran (Hafeez dkk., 2013). c. Sistem reservoir Sistem reservoir dalam perekat ditandai dengan adanya obat dalam bentuk cairan atau suspensi yang terdapat diantara backing dan membran. Membran dalam sistem ini merupakan bagian dari perekat yang berfungsi untuk mengontrol pelepasan obat (Gungor dkk., 2012).
10
d. Sistem matriks obat dalam perekat Sistem matri atriks ditandai dengan adanya obat dalam bentuk cairan atau suspensi yang bersentuhan langsung dengan release liner. Komponen perekat pada tipe ini mengelilingi lapisan matriks obat dan bertanggung jawab dalam merekatkan sediaan transdermal pada kulit (John, 2014). 2014)
3. Surfaktan Surfaktan merupakan suatu senyawa yang biasa digunakan dalam berbagai produk sebagai pembersih, pembasah, pengemulsi, dan anti-foaming agent.Surfaktan Surfaktan biasanya senyawa organik yang amphiphilic, amphiphilic yang berarti mengandung kedua kelompok hidrofobik (ekor) dan kelompok elompok hidrofilik (kepala) (Yunfei, 2011). Surfaktan dapat digunakan sebagai pengemulsi dalam formulasi untuk aplikasi melalui kulit kulit. Bahan yang positif teradsorpsi pada zat cair, uap atau yang lainnya disebut surfaktan. surfaktan Molekul surfaktan akan menyebar dalam air dan menyerap di antarmuka antara udara dan air atau antarmuka antara minyak danair (Pandey dkk., dkk 2014).
Gambar 3. Struktur surfaktan (Yunfei, 2011)
Surfaktan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama utama, yaitu anionik (misalnya natrium lauril laur sulfat), kationik (misalnya cetil cet trimetil amonium bromida, bromida alkilamid dimetil propilamid), nonionik (misalnya
11
polioksietilen sorbitan monopalmitat, polietilen glikol) dan amfoter (misalnya N-dodesil-N, N-dimetilbetain). Penelitian mengungkapkan bahwa surfaktan nonionik memiliki toksisitas dan potensi iritasi kulit yang rendah, sehingga saat ini telah digunakan secara luas sebagai peningkat penetrasi ke dalam kulit (Pandey dkk., 2014). 4. Spektrofotometri uv-visible Metode Spektrofotometri uv-vis telah banyak diterapkan untuk penetapan senyawa-senyawa organik yang umumnya dipergunakan untuk penentuan senyawa dalam jumlah yang sangat kecil. Prinsip kerja spektrofotometri uv-vis berdasarkan penyerapan cahaya atau energi radiasi oleh suatu larutan. Jumlah cahaya atau energi radiasi yang diserap memungkinkan pengukuran jumlah zat penyerap dalam larutan secara kuantitatif (Skoog dkk., 2007). Gugus molekul dalam suatu larutan yang dapat mengabsorpsi cahaya dinamakan gugus kromofor, contohnya antara lain: C = C, C = O, N = N, N = O, dan sebagainya. Molekul-molekul yang hanya mengandung satu gugus kromofor dapat mengalami perubahan pada panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang sinar uv berada pada 200-400 nm, sedangkan panjang gelombang sinar tampak (visible) berada pada 400-750 nm (Skoog dkk., 2007).
12
Metode Spektrofotometri uv-vis berdasarkan pada hukum LambertBeer. Hukum tersebut menyatakan bahwa jumlah radiasi cahaya tampak, uvvis dan cahaya-cahaya lain yang diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan. Intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Ada beberapa pembatasan yaitu sinar yang digunakan dianggap monokromatis, penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama, senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut, tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforesensi (Gandjar dan Rohman, 2012). 5. X-ray diffraction X-Ray Diffraction merupakan suatu teknik pengujian yang digunakan untuk menentukan unsur atau senyawa kimia, struktur kristal, parameter kisi, volume kisi dan lain-lain. Identifikasi suatu bahan dilakukan dengan memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik sinar X. Teknik pengujian ini tidak merusak material yang akan diuji maupun manusia (Cullity, 1956). Prinsip dari uji XRD ini adalah ketika berkas sinar X berinteraksi dengan suatu material, maka sebagian berkas akan diabsorbsi, ditransmisikan dan sebagian lagi dihamburkan. Berkas yang dihamburkan inilah yang dideteksi oleh XRD. Berkas sinar X yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling
13
menguatkan karena fasanya sama. Berkas yang saling menguatkan itu disebut berkas difraksi. Pucak difraksi dihasilkan oleh interfensi secara konstruktif cahaya yang dipantulkan oleh bidang-bidang kristal. Semakin lebar puncak difraksi, maka semakin kecil ukuran kristalnya, sedangkan kristal yang besar akan menghasilkan pucak difraksi yang semakin tinggi (Cullity, 1956). Metode difraksi sinar-X adalah salah satu cara untuk mempelajari keteraturan atom atau molekul dalam suatu struktur tertentu. Jika struktur atom atau molekul tertata secara teratur membentuk kisi, maka radiasi elektromagnetik pada kondisi eksperimen tertentu akan mengalami penguatan. Sinar-X dapat terbentuk apabila suatu logam sasaran ditembaki dengan berkas elektron berenergi tinggi. Dalam eksperimen digunakan sinar-X yang monokromatis. Kristal akan memberikan hamburan yang kuat jika arah bidang kristal terhadap berkas sinar-X (sudut θ) memenuhi persamaan Bragg, seperti ditunjukkan dalam ilustrasi berikut:
Gambar Gambar 4. 4. Ilustrasi Ilustrasi hukum Hukumbragg Bragg(Settle, (Settle,1997) 1997)
14
Difraksi sinar-X mengikuti persamaan hukum Bragg seperti yang diilustrasikan pada gambar 2. Dimana n adalah orde pantulan (n ϵ {1, 2, 3,...}), λ adalah panjang gelombang, d adalah jarak antara bidang kisi, dan θ adalah sudut antara bidang belokan cahaya dan bidang kisi yang dikenal sebagai sudut Bragg. Dalam menentukan hubungan matematis antara sudut difraksi, panjang gelombang, dan jarak antara lapisan atom dalam kristal. Jika panjang gelombang dikenal, dan sudut difraksi diketahui, jarak antara atom dalam kristal dapat ditentukan sesuai dengan persamaan berikut: n λ = d sin θ + d sin θ n λ = 2 d sin θ Salah satu metode untuk menafsirkan difraksi sinar-x adalah formulasi Bragg. Gelombang x-ray dianggap sebagai cerminan dari lembaran atom dalam kristal. Ketika seberkas sinar x-monokromatik (panjang gelombang seragam) menyerang kristal, gelombang tersebar oleh atom dalam setiap lembar bergabung membentuk gelombang yang dipantulkan (Settle, 1997). 6. Monografi bahan a. Polivinil alkohol Polivinil alkohol (PVA) merupakan suatu bahan berbentuk granul atau serbuk, berwana putih hingga krem, tidak berbau, mudah larut dalam air dan biasa digunakan sebagai suspending agent dan peningkat viskositas (Rowe dkk., 2009). PVA pada dasarnya terbuat dari polivinil asetat melalui hidrolisis. PVA adalah polimer buatan yang telah digunakan
15
selama paruh pertama abad ke-20 di seluruh dunia, aman bagi makhluk hidup, tidak berbahaya dan tidak beracun. PVA telah digunakan di sektor industri, makanan, kesehatan dan komersial. Polimer ini banyak digunakan oleh pencampuran dengan polimer lainnya senyawa, seperti biopolimer dan polimer lain yang bersifat hidrofilik yang dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi industri dalam meningkatkan sifat mekanik film karena strukturnya yang kompatibel dan hidrofilik (Gaaz dkk., 2015).
Gambar 5. Struktur kimia polivinil alkohol (Rowe dkk., 2009)
b. Etil selulosa Etil selulosa (EC) adalah suatu polimer hidrofobik yang telah banyak digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi. EC bersifat nontoksik, stabil, kompresibel dan inert. Polimer hidrofobik memberikan beberapa keuntungan, mulai dari stabilitas yang baik diberbagai nilai pH dan tingkat kelembaban yang aman. Polimer hidrofobik ini cocok dikombinasikan bersama dengan matriks hidrofilik untuk suatu obat yang memiliki tingkat kelarutan tinggi dalam air, dan dapat dikembangkan untuk bentuk sediaan dengan pelepasan obat terkontrol (Enayatifard dkk., 2009).
Gambar 6. Struktur kimia etil selulosa (Rowe dkk., 2009)
16
c. Polietilen glikol 400 PEG 400 adalah cairan kental jernih, tidak berwarna atau praktis tidak berwarna, bau khas lemah dan agak higroskopis. PEG 400 larut dalam air, etanol 95%, aseton, praktis tidak larut dalam eter dan hidrokarbon alifatik (Depkes RI, 1979). PEG digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi parenteral, oral, topikal, maupun rektal. PEG juga berfungsi sebagai polimer yang biodegradable dalam formulasi sediaan controlled release. PEG bersifat hidrofil, tidak mengiritasi kulit, dan tidak berpenetrasi melalui kulit (Rowe dkk., 2009). PEG 400 termasuk dalam golongan surfaktan nonionik. Ada dua kemungkinan mekanisme dimana laju transportasi dapat ditingkatkan dengan menggunakan surfaktan nonionik. Pertama, surfaktan menembus ke daerah antar stratum korneum, meningkatkan fluiditas dan akhirnya melarut. Kedua, surfaktan berpenetrasi ke dalam matriks interselular diikuti dengan adanya interaksi dengan cara terikat dengan filamen keratin (Pandey dkk., 2014).
Gambar 7. Struktur kimia polietilen glikol 400 (Rowe dkk., 2009)
17
d. Propilen glikol Propilen glikol (PG) merupakan suatu cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, sedikit kental, larut dalam air, aseton dan kloroform. PG biasa digunakan sebagai humektan, plasticizer dan pelarut. PG tidak larut dalam minyak-minyak maupun mineral, tetapi dapat larut dalam beberapa minyak esensial (Rowe dkk., 2009).
Gambar 8. Struktur kimia propilen glikol (Rowe dkk., 2009)
F. Landasan teori Tablet konvensional diltiazem HCl memiliki bioavailabilitas sekitar 1530% dan kapasitas ikatan proteinnya sebesar 70-80%. Waktu paruh obat ini sekitar 2-6 jam. Jumlah dosis diltiazem oral yang biasa diberikan adalah 30- 60 mg tiga kali sehari (Pillai dkk., 2011). Formulasi transdermal dapat meningkatkan kepatuhan pasien dibandingkan dengan oral serta dapat menjaga konsentrasi obat berada dalam rentang konsentrasi efektif (Sharma dkk., 2013). Sediaan transdermal diltiazem HCl dengan kombinasi polimer PVA dan EC 7:3 memiliki nilai persentase permeasi paling tinggi dibandingkan kombinasi polimer PVA dan EC 9:1 dan 8:2 serta memberikan perbedaan terhadap karakteristik fisik film, yaitu pada keseragaman bobot, penyerapan lembab dan ketebalan (Sulistyowati, 2015).
18
Surfaktan hidrofilik PEG 400 dengan konsentrasi 40% dalam dispersi vesikel formula transdermal quersetin yang diujikan secara ex-vivo menggunakan sel difusi Franz pada kulit babi yang baru lahir merupakan peningkat penetrasi yang berpotensi untuk menghantarkan obat ke dalam kulit, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian dan kinerja lebih lanjut (Chessa dkk., 2011). Formula film transdermal diltiazem HCl yang menggunakan kombinasi polimer karboksi metil selulosa, polivinil pirolidon dan karbopol 934 serta kombinasi peningkat penetrasi PEG 400 dan tween 60 masing-masing sebanyak 1% memberikan hasil permeasi yang paling baik dibandingkan dengan formula lain atas dasar evaluasi profil pelepasan obat (Omray dkk., 2014). Polimer polivinil pirolidon dapat bertindak sebagai agen anti-nucleating yang menghambat kristalisasi dari diltiazem HCl dalam matriks film transdermal pada analisis X-Ray Diffraction. Semakin tinggi konsentrasi polivinil pirolidon, maka tingkat kristalinitas diltiazem HCl akan semakin menurun, sehingga memudahkan diltiazem HCl untuk berpenetrasi ke dalam kulit (Rao dan Diwan, 1998). G. Hipotesis 1.
Film transdermal diltiazem HCl dengan variasi peningkat penetrasi PEG 400 memberikan perbedaan terhadap organoleptis, keseragaman
bobot,
penyerapan lembab, ketebalan, daya tahan lipat dan kandungan zat aktif.
19
2.
Terdapat pengaruh variasi peningkat penetrasi PEG 400 terhadap permeasi film transdermal diltiazem HCl.
3.
Ada perubahan karakter kristal dari diltiazem HCl dalam matriks film transdermal pada analisis XRD.