BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan semakin berkembang dengan banyaknya penelitian dan ditemukannya hukum-hukum yang baru. Begitu pula ilmu pengetahuan di bidang kesehatan yang terus berkembang dengan banyaknya temuan-temuan penyakit baru dan penelitian tentang obat-obatan, baik obat-obatan sintetik atau berasal dari alam. Namun, akhir-akhir ini prinsip back to nature sangat populer, termasuk dalam penggunaan obat-obatan. Masyarakat Indonesia sendiri memiliki kepercayaan yang besar terhadap obat-obatan tradisional yang telah digunakan secara turun-temurun oleh nenek moyang selama berabad-abad lamanya. Demam merupakan gejala suatu penyakit yang timbul karena berbagai macam penyebab, tetapi umumnya gejala tersebut harus diatasi agar tidak mengakibatkan efek yang lebih berbahaya (Petersdorf & Root, 1987). Obat antipiretik yang digunakan sebagai penurun demam adalah golongan salisilat, derivat paraaminofenol, dan derivat pirazolon. Obat tradisional yang digunakan oleh masyarakat Indonesia tidak hanya dari tanaman obat, tetapi juga berasal dari hewan. Hewan-hewan yang dipercaya memiliki khasiat sebagai obat meliputi hewan laut dan hewan darat. Salah satu hewan darat yang dipercaya masyarakat memiliki banyak manfaat
1
2
bagi kehidupan adalah cacing tanah. Cacing tanah tersebar di seluruh permukaan bumi dan mudah dikembangbiakan dengan keunggulan seperti penambahan berat badan cepat, produksi telur yang banyak, dan tidak terlalu sensitif terhadap lingkungan (Ciptanto, 2011). Cacing tanah mengandung kadar protein tinggi yaitu 58% - 78% dan kadar lemak yang rendah yaitu 3% 10% dari bobot keringnya. Protein yang ada dalam cacing tanah mengandung asam amino esensial (Sabine, 1983). Cacing tanah banyak digunakan untuk ramuan obat baik untuk pencegahan maupun pengobatan dan bahan dasar kosmetika (Rukmana, 1999). Salah satu sumber obat tradisional tersebut adalah cacing tanah. Cacing tanah dipercaya oleh masyarakat sebagai salah satu obat alami yang dapat membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sebagaimana tertulis dalam catatan pengobatan tradisional Cina, Ben Cao Gang Mu, cacing tanah telah digunakan sejak lama sebagai salah satu ramuan obat serta dipercaya dapat menurunkan demam dan membantu memperlancar peredaran darah (Cooper & Yamaguchi, 2002). Masyarakat Bali menggunakan tepung cacing tanah sebagai obat demam, rematik, diabetes, dan antikolesterol (Kopmann, 2000). Di Indonesia cacing sudah digunakan sebagai bahan baku obat dan kosmetik (Kuswanto, 2002). Cacing tanah mengandung asam arakidonat yang sangat efektif sebagai penurun suhu tubuh pada demam infeksi (Waluyo, 2005). Penggunaan cacing tanah sebagai penurun demam sudah dikenal luas di masyarakat. Cacing tanah juga banyak digunakan sebagai obat alternatif untuk penyakit tifus. Di pasaran, cacing tanah dijual dalam bentuk serbuk
3
kering untuk diseduh dengan air atau dalam bentuk kapsul. Penggunaan sebagai antipiretik yang sudah lebih umum adalah cacing tanah jenis Pheretima aspergillum, sedangkan Lumbricus rubellus baru dikembangkan akhir-akhir ini (Santoso, 2002). Penelitian dan riset mengenai efek antipiretik Fermino® yang berisi serbuk cacing tanah jenis Lumbricus rubellus belum pernah dilakukan. Oleh karena itu untuk mengetahui efek antipiretik Fermino®, peneliti melakukan percobaan dengan menggunakan tikus putih galur Wistar sebagai hewan percobaan.
B. Rumusan Masalah 1. Apakah serbuk cacing tanah (Fermino®) memiliki efek antipiretik pada tikus yang diinduksi vaksin Campak? 2. Bagaimana aktivitas antipiretik serbuk cacing tanah (Fermino®) dibanding Parasetamol?
C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengetahui efek antipiretik serbuk cacing tanah (Fermino®) pada tikus yang diinduksi vaksin Campak. 2. mengetahui aktivitas antipiretiknya dibandingkan dengan parasetamol.
4
D. Pentingnya Penelitian Dilakukan Menguji adanya aktivitas antipiretik Fermino® yang berisi serbuk cacing tanah secara in vivo dan selanjutnya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut seperti identifikasi senyawa aktif yang berefek sebagai antipiretik dan dapat dilakukan purifikasi senyawa aktif tersebut.
E. Tinjauan Pustaka 1. Demam a. Termoregulasi Termoregulasi merupakan salah satu proses homeostatis tubuh. Termoregulasi adalah mekanisme tubuh untuk mempertahankan suhu dalam rentang yang dapat ditolerir. Suhu tubuh diatur di pusat hypothalamic thermoregulatory. Suhu tubuh diatur dengan berbagai macam mekanisme termoregulator. Salah satu mekanisme untuk mengatasi kehilangan panas tubuh adalah melalui pengaturan pembuluh darah dan kecepatan aliran darah. Menggigil merupakan mekanisme untuk menghasilkan panas. Sistem simpatis dapat mengurangi
kehilangan
panas
melalui
vasokonstriksi
atau
meningkatkan produksi keringat. Ketika produksi keringat dihambat akan terjadi peningkatan aliran darah di kulit. Jika panas tubuh tidak dikeluarkan dengan cukup melalui mekanisme ini, maka terjadi hipertermia. Gangguan pada kelenjar tiroid menimbulkan gangguan pada termoregulator karena sekresi hormon tiroid yang berlebihan
5
dapat menyebabkan peningkatan produksi panas metabolik. Dalam rangka mempertahankan suhu tubuh pada tingkat fisiologis, kelebihan panas harus hilang. Hal tersebut yang menyebabkan kulit pasien menjadi panas dan berkeringat (Lüllmann dkk., 2000).
Gambar 1. Alur Termoregulasi. Tubuh merespon perubahan suhu yang terjadi dengan mengirimkan impuls dari termoreseptor ke pusat termoregulasi. Selanjutnya pusat termoregulasi akan mengatasi dengan berbagai cara (Lüllmann dkk., 2000)
b. Definisi Demam Demam adalah peningkatan suhu tubuh di atas batas normal di hipotalamus (Corwin, 2001). Demam merupakan salah satu respon imun terhadap infeksi atau zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Demam juga merupakan pengaturan suhu tubuh menjadi lebih tinggi dari suhu fisiologi rata-rata (37ºC) sebagai respon terhadap pirogen
6
endogen, ditegakkan bila suhu oral lebih dari 37,5ºC dan suhu rektal lebih dari 38ºC. Demam diartikan sebagai tahap peningkatan suhu tubuh yang merupakan
bagian
dari
respon
pertahanan
terhadap
invasi
mikroorganisme hidup atau mati yang dikenali sebagai patogen atau benda asing oleh host. Respon demam adakah reaksi fisiologi yang kompleks dari penyakit, disertai mediator sitokin dalam peningkatan suhu tubuh, gejala akut, dan banyak mengaktivasi sistem fisiologi, endokrin, dan imunologi. Peningkatan suhu yang terjadi selama demam berbeda dengan yang terjadi pada hipertermia. Tidak seperti demam, peningkatan suhu tubuh hipertermia terjadi karena kegagalan homeostasis termoregulasi dimana produksi panas tubuh tidak terkontrol, pengeluaran panas tidak mencukupi, atau gangguan pada termoregulasi hipotalamus (Mackowiak, 1998). Menurut keadaan klinis, demam didefinisikan secara khas sebagai peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal yang diakibatkan mediator pirogen. Definisi tersebut selanjutnya tidak digunakan lagi karena menyatakan secara tidak langsung bahwa suhu tubuh adalah sebuah satu kesatuan. Faktanya ditemukan bahwa tubuh terdiri dari bagian-bagian dan mengalami bermacam-macam keadaan sepanjang hari untuk merespon aktivitas harian dan pengaruh ritme endogen harian (Mackowiak, 1998).
7
c. Penyebab Demam Penyebab demam infeksi merupakan interaksi atau rangsangan organisme atau agen patogen dalam tubuh manusia. Infeksi tersebut dapat disebabkan oleh bakteri, virus, amuba, dan parasit lainnya yang merangsang pelepasan pirogen endogen oleh sel. Pada beberapa kondisi, penurunan suhu tubuh sangat penting dan penyebabnya harus segera diketahui (Peterdorf & Root, 1987). d. Patofisiologi demam Demam muncul sebagai gejala penyakit atau penyakit yang disebabkan oleh adanya agen penginfeksi, sehingga memicu pelepasan pirogen endogen. Pirogen endogen dalam hipotalamus identik dengan interleukin-1, interleukin-6, dan TNF yang merangsang pelepasan asam arakidonat. Asam arakhidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin oleh enzim siklooksigenase (Murray dkk., 2003). Beberapa substansi eksogen dari bakteri yang dapat menimbulkan demam pada hewan uji. Substansi eksogen seperti lipopolisakarida (LPS), superantigen, peptidoglikan, muramildipeptida, dan produk virus juga dicurigai menjadi penyebab timbulnya demam (Dalal & Zhukovsky, 2006). Pada saat diinjeksi secara sistemik pada hewan uji, pirogen eksogen terlihat menginduksi pengeluaran sitokin, seperti interleukin 1β (IL-1β) dan 6 (IL-6), interferon α (INF-α), dan tumor necrosis factor (TNF) yang masuk dalam sirkulasi hipotalamus dan
8
menstimulasi pengeluaran prostaglandin, mengubah keadaan termal hipotalamus. Aktivitas dari beberapa sitokin pirogenik dapat berbeda dengan sitokin yang lain, seperti IL-10, dan substansi, seperti arginin vasopresin, melanocytestimulating hormone, dan glukokortikoid, dimana semua memiliki sifat sebagai antipiretik, dengan begitu membatasi besar dan lama dari demam. TNF menunjukkan adanya sifat pirogenik dan antipiretik, tergantung kondisi eksperimen. Akhirnya jumlah interaksi antara sitokin pirogenik dan antipiretik yang bertanggungjawab terhadap tinggi dan lama respon demam yang terjadi (Dalal & Zhukovsky, 2006). Ada dua jenis enzim siklooksigenase, yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Dalam hal ini, COX-1 mengkatalisis pembentukan prostaglandin yang menjalankan fungsi regulasi
fisiologis
dan
COX-2
mengkatalisis
pembentukan
prostaglandin yang menyebabkan radang (Davey, 2005). Prostaglandin yang disintesis melalui COX-2 akan menstimulasi hipotalamus arterior (meningkatkan suhu tubuh), nukleus periventrikularis (merangsang produksi neuroendokrin), dan batang otak (merangsang vasokontriksi pembuluh darah tepi dan kelenjar keringat) sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembentukkan dan pengeluaran panas yang akhirnya menimbulkan demam.
9
2. Vaksin campak Vaksin campak adalah vaksin virus hidup yang dilemahkan, merupakan vaksin beku kering berwarna kekuningan pada vial gelas yang harus dilarutkan dengan pelarutnya. Vaksin campak berupa serbuk injeksi. Vaksin campak diindikasikan untuk pencegahan terhadap penyakit campak. Cara kerja vaksin campak adalah merangsang tubuh membentuk antibodi untuk memberi perlindungan terhadap infeksi penyakit campak. Imunisasi campak diberikan pada balita umur 9 bulan dengan dosis tunggal 0,5 mL secara subkutan. Vaksin campak dapat mengakibatkan sakit ringan dan bengkak pada lokasi suntikan yang terjadi 24 jam setelah vaksinasi. Hasil pemantauan efek samping vaksin menunjukkan adanya 5,5% demam dengan suhu antara 37,5ºC – 38,4ºC, 4,92% anak mengalami batuk pilek dan 1,57% anak menderita ruam kurang dari 3 hari (Yuwono, 2000). 3. Parasetamol a. Pendahuluan Obat antipiretik adalah terapi yang banyak digunakan untuk mengatasi demam. Kerja antipiretik adalah menghambat kerja enzim siklooksigenase yang mengkatalisis pembentukan prostaglandin. Dengan terhambatnya pembentukan prostaglandin, termoregulator di hipotalamus kembali normal dan pelepasan panas dengan cara vasodilatasi (Payan & Katzung, 1998). Antipiretik yang umum digunakan adalah golongan salisilat (aspirin), golongan derivat
10
paraaminofenol (parasetamol), dan golongan derivat pirazolon (fenilbutazon)
(Northrup
dkk.,
1981).
Struktur
parasetamol
ditunjukkan oleh gambar 2.
Gambar 2. Struktur Parasetamol
Parasetamol adalah hasil metabolisme fenasetin (asetofenetidin). Parasetamol merupakan analgetik antipiretik yang banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi (Siswandono & Soekardjo, 2008). Parasetamol mempunyai efek analgesik dan antipiretik sebanding dengan aspirin pada dosis yang sama (Katzung, 1998). Parasetamol dianggap sebagai obat antinyeri yang paling aman dan digunakan sebagai swamedikasi (Tjay & Rahardja, 2002). Parasetamol hampir tidak memiliki efek antiinflamasi (Ganiswarna dkk., 1995). b. Farmakokinetika parasetamol Absorbsi obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna, kadar plasma tertinggi dicapai dalam waktu ± 30-60 menit setelah pemberian secara oral. Parasetamol memiliki waktu paro plasma ± 12,5 jam (Siswandono & Soekardjo, 2008). Konsentrasi parasetamol tertinggi dlm plasma dicapai dalam waktu 30 menit dan masa paro
11
plasma antara 1-3 jam (Freddy, 2007). Dalam plasma, 25% parasetamol terikat pada protein plasma. Parasetamol dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian besar parasetamol (80%) terkonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya terkonjugasi dengan asam sulfat. Selain itu, Parasetamol juga dapat mengalami hidroksilasi. Parasetamol dieksresikan melalui ginjal, sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi dan sebagian kecil (3%) dalam bentuk utuh (Ganiswarna dkk., 1995). c. Farmakodinamik parasetamol Efek analgetik parasetamol mirip dengan golongan salisilat, yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Efek antipiretik parasetamol ditimbulkan oleh gugus aminobenzen (Freddy, 2007).
Efek
diindikasikan
anti-inflamasinya sebagai
sangat
antireumatik.
lemah,
sehingga
Parasetamol
tidak
merupakan
penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah (Ganiswarna dkk., 1995). d. Efek samping parasetamol Efek iritasi, erosi, dan pendarahan lambung tidak terlihat pada parasetamol, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/kgBB) parasetamol (Ganiswarna dkk., 1995).
12
e. Dosis parasetamol Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 125 mg / 5 mL. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap dalam bentuk tablet dan sirup. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg – 1 gram sekali pemakaian dan dosis maksimum 4 gram dalam sehari (Ganiswarna dkk., 1995). Dosis parasetamol untuk dewasa 325-650 mg diberikan tiap 3-4 jam secara oral, dosis maksimum 4 gram sehari, sedangkan untuk anak 10-20 mg/kgBB untuk sekali pemakaian secara oral dengan dosis maksimal 5x pemberian/hari atau 80 mg/kgBB/hari (Chan & Gennrich, 2004). Dosis lazim parasetamol untuk sekali pemakaian adalah 500 mg dan 500 mg – 2 gram dalam sehari (Anonim, 1979). 4. Cacing tanah (Lumbricus rubellus) a. Deskripsi Panjang tubuh cacing tanah dapat mencapai 14 cm dengan 95-100 segmen. Klitelum terletak di segmen ke-27 hingga 32. Tubuh bagian dorsal berwarna coklat cerah hingga ungu kemerahan, sedangkan bagian ventralnya berwarna coklat muda hingga kekuningan pada bagian ekor. Gerakan cacing tanah lamban dan kadar airnya mencapai 78% (Rukmana, 1999). Pada umumnya cacing tanah akan mencapai usia dewasa pada umur 179 hari, sedangkan masa hidupnya sampai 2,5 tahun (Dewangga, 2009).
13
Gambar 3. Cacing tanah (Storey, 2011)
Gambar 4. Serbuk Cacing tanah (Fermino®)
b. Klasifikasi Cacing tanah Lumbricus rubellus berasal dari Eropa. Klasifikasi L. rubellus adalah sebagai berikut : Filum
: Annelida
Kelas
: Clitellata
Sub kelas : Oligochaeta Ordo
: Haplotaxida
Famili
: Lumbricidae
Genus
: Lumbricus
Spesies
: Lumbricus rubellus (Rukmana, 1999)
14
c. Kandungan kimia Cacing tanah mengandung kadar protein tinggi yaitu 58% - 78% dan kadar lemak yang rendah yaitu 3% - 10% dari bobot keringnya. Protein yang ada dalam cacing tanah mengandung asam amino esensial (Sabine, 1983). Serbuk cacing tanah mengandung banyak asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino esensial yang paling tinggi, yaitu isoleusin (3,14% bahan kering), lisin (8,16% bahan kering), dan leusin (1,71% bahan kering). Sedangkan asam amino non-esensial yang mendominasi, yaitu asam glutamat (7,67% bahan kering) dan serin (14,52% bahan kering) (Hayati dkk., 2011). Fraksi hasil KLT preparatif fase air ekstrak cacing tanah mengandung senyawa golongan alkaloid (Santoso, 2002). Lumbricus rubellus dewasa mengandung protein
Lumbricin
I
yang dapat
digunakan sebagai
peptida
antimikrobial (Cho dkk., 1998). Fermino® merupakan salah satu produk jamu yang berisi serbuk cacing tanah dalam kapsul. Fermino® diproduksi oleh PJ. Herbalindo Citra Mandiri, Jakarta. Hasil analisis kandungan Fermino®, yaitu lemak (8,11%), lemak jenuh (4,77), kolesterol (8252,16 mg/kg), sodium (2631,35 mg/kg), karbohidrat (8,40%), protein (72,06%), kalsium (1146,32 mg/kg), besi (1408,02 mg/kg), dan kalori (394,83 kcal/100g).
15
d. Khasiat Ekstrak cacing tanah memiliki anti-elastase activity pada konsentrasi 5 dan 20 mg/mL dimana tingkat inhibisi sebesar 53%. Pada percobaan aktivitas anti-MMP-1, ekstrak Lumbricus rubellus menunjukkan tingkat inhibisi sebesar 72,90% pada konsentrasi 10 mg/mL. Sedangkan pada percobaan efek menghambat enzim tirosinase, ekstrak Lumbricus rubellus menunjukkan nilai inhibisinya sebesar 71,28% pada konsentrasi 0,25 mg/mL. Dari percobaan tersebut, ekstrak Lumbricus rubellus potensial untuk digunakan sebagai anti-wringkle agent (Azmi dkk., 2014). Penambahan serbuk ekstrak Lumbricus rubellus pada pelet pakan mencit Swiss Albino dengan rasio 25% dapat menurunkan suhu tubuh sampai titik normal dalam waktu 5 hari, sedangkan dengan rasio 35% dalam waktu 3 hari dan pada rasio 50% suhu tubuh kembali normal dalam waktu kurang dari 24 jam (Kalvin dkk., 1995). Pemberian seduhan serbuk cacing tanah jenis Lumbricus rubellus secara oral dengan dosis 270 mg/ 200 gramBB dapat menurunkan demam akibat induksi debris sel Escherichia coli 0,1 mL/200 gramBB (Resmisari, 2002). Pemberian seduhan serbuk cacing tanah Lumbricus rubellus secara oral dengan dosis 270 mg/200 gram BB dapat menurunkan demam pada tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi suspensi debris sel Shigella dysenteriae 1,1 mg/200 gram BB secara intramuskular (Wijayati, 2003).
16
DLBS1033 adalah suatu ekstrak protein dari cacing tanah jenis Lumbricus rubellus yang memiliki aktivitas sebagia antitrombotik dan trombolitik dengan mekanisme menginduksi agregasi antiplatelet dan mempercepat fibrinolisis (Trisina dkk., 2011). F. Landasan Teori Penambahan serbuk ekstrak Lumbricus rubellus pada pelet pakan mencit Swiss Albino dengan rasio 25% dapat menurunkan suhu tubuh sampai titik normal dalam waktu 5 hari, sedangkan dengan rasio 35% dalam waktu 3 hari dan pada rasio 50% suhu tubuh kembali normal dalam waktu kurang dari 24 jam. Pemberian seduhan serbuk cacing tanah jenis Lumbricus rubellus secara oral dengan dosis 1350 mg/kgBB dapat menurunkan demam akibat induksi debris sel Escherichia coli 0,5 mL/kgBB. Pemberian seduhan serbuk cacing tanah Lumbricus rubellus secara oral dengan dosis 1350 mg/kgBB dapat menurunkan demam pada tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi suspensi debris sel Shigella dysenteriae 5,5 mg/kgBB secara intramuskular. G. Hipotesis Fermino® yang berisi serbuk cacing tanah memiliki efek antipiretik pada tikus putih galur Wistar yang diinduksi vaksin Campak.