BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dunia kesehatan semakin berkembang pesat seiring dengan terus munculnya penyakit-penyakit baru. Berkembangnya penyakit juga tentunya diikuti dengan tingginya penggunaan obat. Obat-obatan tersebut juga beragam, tidak hanya sintetik tetapi juga obat-obatan yang dihasilkan dari bahan alam dengan tujuan untuk mengobati, mencegah maupun hanya bersifat paliatif. Tuberkulosis merupakan penyakit kronis pada saluran pernafasan yang tingkat prevalensinya di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan laporan WHO pada tahun 1999, Indonesia merupakan negara terbesar keempat penyumbang penyakit TB setelah India, Cina dan Afrika Selatan. Tidak hanya itu, tuberkulosis juga menjadi penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan pernafasan akut di seluruh tingkat usia. Pemerintah sebenarnya telah menyusun Program Pengendalian Tuberkulosis dengan melakukan strategi DOTS yang mengharuskan pasien untuk mengonsumsi obat anti-tuberkulosis kombinasi dalam jangka waktu (6-8 bulan) dan jumlah yang banyak (Kemenkes., 2011). Strategi ini muncul bukan tanpa alasan, melainkan karena tingginya resistensi bakteri TB yang diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien minum obat. Penerapan konsep DOTS juga belum sepenuhnya berhasil. Hal ini disebabkan pasien harus mengonsumsi obat yang banyak, dan tidak sedikit pula yang memiliki efek samping. Isoniazid merupakan obat sintetik yang masih digunakan sebagai lini pertama pengobatan TB (tuberkulosis) dengan jangka waktu pengobatan yang lama. 1
2
Berdasarkan studi literatur, penggunaan isoniazid jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya efek samping sebagai hasil dari proses metabolisme isoniazid di hepar. Salah satu metabolit toksik yang dihasilkan dari proses hidrolisis adalah asetilhidrazin dan hidrazin yang dieksreksi melalui urin (Gurumurthy dkk., 1991). Proses ekskresi metabolit tersebut melalui tahapan-tahapan seperti filtrasi serta reabsorpsi yang melibatkan peran dari jaringan ginjal, sehingga jaringan ginjal akan mengalami interaksi dengan metabolit selama tahapan ekskresi. Dengan adanya fakta tersebut, dibutuhkan solusi untuk dapat meminimalisir terjadinya efek samping dari penggunaan isoniazid kronik. Solusi tersebut adalah melakukan kombinasi terapi dengan memanfaatkan bahan alam sebagai pendamping penggunaan obat utama. Subtansi bahan alam yang berpotensi tersebut diduga berasal dari buah mengkudu (Morinda citrifolia L.). Mengkudu merupakan tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai obat alami dan dapat dengan mudah ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia termasuk Yogyakarta. Setiap bagian dari tumbuhan ini memiliki kadar komponen kimia yang beragam. Kandungan utama dari buah mengkudu antara lain triterpenoid, steroid, senyawa fenolik, skopoletin, alkaloid serta senyawa golongan antrakuinon (damnacanthal, morindon, morindin, dan lainnya) (Wang & Su, 2001). Tanaman ini telah banyak digunakan sebagai antihipertensi, antinyeri saat menstruasi, meringankan tukak lambung, depresi mental, pengobatan radang ginjal dan lainnya. Sementara itu, dari skrining fitokimia yang dilakukan oleh Nagalingam dkk., (2012) diketahui bahwa kandungan kimia dalam ekstrak etanol buah mengkudu (EEBM) adalah senyawa alkaloid, fenolik (flavonoid dan lain-lain), triterpen dan steroid. Senyawa-
3
senyawa tersebut memiliki potensi sebagai antioksidan yang dapat digunakan untuk memperbaiki terjadinya kerusakan pada organ, seperti ginjal (Kahkonen dkk., 1999; Ramamoorthy & Bono, 2007). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek pemberian EEBM (ekstrak etanol buah mengkudu) yang digunakan secara bersamaan dengan obat antituberkulosis (isoniazid) sehingga diharapkan dengan adanya EEBM dapat meminimalisir dan memperbaiki efek samping yang ditimbulkan dari pemberian isoniazid dosis tinggi dan dalam jangka waktu cukup panjang. Penelitian dilakukan dengan metode in vivo melalui nekropsi ginjal dan efek kombinasi EEBM-Isoniazid yang dihasilkan tersebut dievaluasi melalui gambaran mikroskopik histopatologi ginjal pada tikus betina galur Wistar. Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan histopatologi ginjal tiap kelompok sehingga dapat diketahui apakah terdapat perbaikan pada ginjal. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat dirumuskan permasalahan sebagai fokus penelitian yakni : 1. Apakah pemberian ekstrak etanol buah mengkudu dosis 10 mg/200gBB dan 50 mg/200gBB dapat memperbaiki ginjal tikus betina galur Wistar yang diinduksi isoniazid melalui evaluasi histopatologi ginjal? 2. Pada kelompok kombinasi manakah terjadi pengaruh signifikan terhadap ginjal tikus betina galur Wistar melalui evaluasi histopatologi? 3. Bagaimana profil kromatogram dari ekstrak etanol buah mengkudu yang dihasilkan?
4
Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan kedepannya dapat diketahui apakah EEBM berpotensi untuk dikembangkan sebagai kombinasi pada terapi antituberkulosis jangka panjang dengan menggunakan isoniazid. Penelitian ini juga akan menjadi kesempatan ilmiah dalam penemuan obat baru dan eksplorasi lebih lanjut lagi terhadap tanaman mengkudu. Tujuan Penelitian a. Mengetahui efek pemberian ekstrak etanol buah mengkudu terhadap perbaikan ginjal tikus betina galur Wistar yang diinduksi isoniazid melalui evaluasi histopatologi ginjal b. Mengetahui kelompok kombinasi yang memberikan pengaruh signifikan terhadap ginjal tikus betina galur Wistar melalui evaluasi histopatologi ginjal c. Mengetahui profil kromatogram ekstrak etanolik buah mengkudu secara kualitatif Tinjauan Pustaka 1.
Isoniazid
Piridin-4-karboksil-hidrazida Rumus molekul : C6H7N3O Pemerian
: kristal tidak berwarna atau serbuk kristal berwarna putih
Berat molekul : 137,139 g/mol
5
Titik leleh Kelarutan
: 170-174°C : Isoniazid larut 1 bagian dalam 8 bagian air, 1 bagian dalam 45 bagian etanol dan 1 bagian dalam 1000 bagian kloroform; praktis tidak larut dalam benzena dan eter
pKa
: 1.8, 3.5, 10.8
LogP (oktanol/pH 7.4) : 1.1
(Moffat dkk., 2011)
Isoniazid merupakan derivat dari asam isonikotinat yang berfungsi sebagai agen bakterisida pada bakteri Mycobacterium tuberculosis. Isoniazid masuk ke dalam sel bakteri ini melalui difusi pasif (Bardou dkk., 1998). Isoniazid sendiri tidak bersifat toksik terhadap sel bakteri sebab isoniazid merupakan prodrug yang selanjutnya akan diaktivasi oleh enzim mikobakterial yakni KatG (enzim katalaseperoksidase) untuk membentuk anion asil isonikotinat (Zhang dkk., 1992). Isoniazid dapat membunuh bakteri ini dengan mekanisme menghambat sintesis asam mikolat sehingga dinding sel bakteri tidak akan terbentuk (Jones, 2011). Dalam studi pustaka, dipaparkan bahwa isoniazid pada dosis 30mg/200gBB, dapat mempengaruhi kadar SGPT pada tikus (Himawan, 2008). Sementara itu, dosis maksimal isoniazid untuk manusia adalah 300 mg (Jones, 2011). Isoniazid dapat dengan mudah diabsorpsi melalui saluran cerna maupun secara parenteral.
Isoniazid
mudah
diserap,
namun
proses
penyerapan
dan
bioavalibilitasnya bergantung pada asupan makanan karena adanya penundaan dalam waktu pengosongan lambung yang dapat menurunkan konsentrasi penyerapan melalui saluran pencernaan (GIT) (Chambers, 2001). Dosis dewasa 300
6
mg/hari dan dosis anak-anak dari 5mg/kg menghasilkan konsentrasi plasma puncak sebesar 3-5 ug/ml dalam waktu 1-2 jam. Metabolisme dan Eliminasi Isoniazid Secara umum, farmakokinetik obat ini berbeda antara individu, dipengaruhi oleh aktivitas enzim asetiltransferase pasien, dimana enzim ini ditemukan di hati dan usus kecil. Terdapat 2 tipe asetilator pada pasien yakni asetilator cepat dan lambat. Pada tipe setilator cepat, waktu paruh eliminasi isoniazid lebih kecil ± 50% (1,6 jam) dibandingkan waktu paruh eliminasi tipe asetilator lambat (3,4 jam), sehingga konsentrasi isoniazid pada kedua fenotip tersebut akan berbeda (Gurumurthy dkk., 1991). Isoniazid diekskresi melalui ginjal dalam bentuk terasetilasi yang sebelumnya telah mengalami proses metabolisme di hepar melalui fase 2 (terjadinya adisi gugus asetil). Pada kondisi ginjal normal, eliminasi dari isoniazid melalui asetilasi dapat terjadi >90% dari dosis baik pada tipe asetilator cepat maupun lambat (Gurumurthy dkk., 1991). Berikut adalah skema metabolisme isoniazid secara normal :
Gambaran Metabolisme Isoniazid Normal (Gross dkk., 1990)
7
Pada kondisi normal seperti Gambar 1., isoniazid akan dimetabolisme di hepar oleh N-asetil transferase menjadi asetil-isoniazid. Asetil-isoniazid kemudian akan dihidrolisis menjadi asetil hidrazin dan asam nikotinat yang selanjutnya akan diekskresi melalui urin. Asetilhidrazin akan dimetabolisme melalui 2 jalur. Jalur pertama menghasilkan metabolit nontoksik yakni diasetilhidrazin yang dihasilkan dalam kondisi normal, sedangkan asam isonikotinat akan diikat oleh glisin. Namun, dapat terjadi perubahan jalur yang melibatkan reaksi oksidasi oleh sitokrom P450, khususnya sub tipe 2E1 sehingga menghasilkan metabolit reaktif dan bertanggungjawab pada terjadinya respon hepatotoksik. Berikut adalah skema metabolisme isoniazid untuk memperjelas gambaran metabolisme isoniazid seperti paparan sebelumnya :
Skema Metabolisme Isoniazid dengan peranan enzim katalisator meliputi metabolisme fase I (hidrolisis dan oksidasi) dan fase II (asetilasi dan konjugasi) (Mitchell dkk., 1976; Roy dkk., 2008)
Pada tipe asetilator lambat (Gambar 3.), terjadi penurunun kuantitas dari NAT2 (N-asetil transferase) sebesar 10-20% di hepar, sehingga terjadi penurunan
8
metabolisme isoniazid yang mengakibatkan akumulasi isoniazid. Isoniazid tidak toksik, tetapi produk dari yang hidrolisisnya yakni asetilhidrazin dan hidrazin yang bersifat toksik (Gross dkk., 1990). Pada tipe ini, hidrazin dan asetilhidrazin akan diekskresi oleh ginjal namun terjadi perubahan jalur dari kondisi normal dengan melibatkan reaksi oksidasi oleh sitokrom P450 sehingga akan terbentuk metabolit reaktif MAH (mono asetil hidrazin). Metabolit inilah yang bertanggungjawab terhadap peningkatan terjadinya hepatotoksisitas (Gross dkk., 1990). Respon toksik pada hepar ini kemungkinan juga dapat terjadi pada organ ginjal sebab proses eliminasi melalui berbagai tahapan menyebabkan terjadinya kontak intens baik antara isoniazid utuh maupun metabolitnya sehingga dapat berakibat pada kerusakan ginjal. Radikal bebas ini selanjutnya akan terkait dengan aktivitas tiol dan antioksidan glutation peroksidase maupun aktivitas katalase yang menjadi sumber antioksidan internal dalam tubuh tikus. Namun, aktivitas ini dapat ditiadakan oleh akumulasi isoniazid sehingga proses repair dari tubuh untuk menangkal radikal bebas tidak dapat dilakukan (Troy dkk., 1999; Jussi dkk., 2006).
Gambaran Metabolisme Isoniazid Tipe Asetilator Lambat (Gross dkk., 1990)
Pada tipe asetilator cepat akan terjadi peningkatan kuantitas asetilhidrazin (metabolit toksik) lebih besar dibandingkan dengan asetilator lambat. Tetapi, pada
9
tipe ini masih dapat terjadi asetilasi asetilhidrazin menjadi diasetilhidrazin (metabolit nontoksik) oleh enzim NAT-2. Isoniazid merupakan hasil dealkilasi obat antidepresan yaitu iproniazid yang menghasilkan aktivitas baru yakni sebagai antituberkulosis. Toksisitas obat dapat diinduksi oleh proses metabolisme yang erat kaitannya dengan mekanisme asetilasi, dimana kecepatan dari reaksi asetilasi bergantung pada kerja dari enzim Nasetiltransferase. Enzim ini menunjukkan adanya fenomena polimorfisme genetik pada ras yang berbeda. Ras kulit putih sebanyak 60% cenderung tergolong memiliki tipe asetilator lambat. 2.
Ginjal dan Histopatologinya Ginjal merupakan salah satu organ dalam sistem perkemihan yang berjumlah
sepasang dan berbentuk seperti kacang. Dalam sistem perkemihan terdiri atas sepasang ginjal dan ureter, satu kandung kemih dan uretra. Ginjal menjadi organ ekskresi utama pada makhluk hidup baik manusia maupun hewan khususnya vertebrata. Secara histologi, ginjal terdiri atas 3 unsur utama yakni glomerolus (lipatan atau gulungan pembuluh darah kapiler yang masuk melalui aferen, tubuli (parenkim dan glomerolus membentuk nefron) dan interstitium beserta pembuluh darah, limfe dan syaraf. Fungsi Ginjal berperan sangat penting dalam mengatur susunan kimia lingkungan internal dengan proses kompleks yang terdiri dari filtrasi, absorpsi aktif, absorpsi pasif, dan ekskresi. Filtrasi terjadi dalam glomerolus dan dihasilkan urin primer. Sementara itu, tubulus-tubulus nefron terutama tubulus kontortus proksimal
10
berfungsi mereabsorpsi zat-zat dalam filtrat atau urin primer yang berguna bagi metabolisme tubuh, memindahkan hasil sisa-sisa dari darah ke lumen tubulus yang dikeluarkan dalam urin. Kedua ginjal ini akan menghasilkan filtrat sebanyak 125 mL per menit, dimana 124 mL nya direabsorpsi kembali sedangkan 1 mL dikeluarkan sebagai urin. Setiap 24 jam, dibentuk sekitar 1500 mL (Junqueira dkk., 2007). Ginjal adalah organ kedua setelah hepar yang cukup rentan terhadap paparan zat kimia dan dapat menjadi target perusakan fungsi. Hal ini dikarenakan organ ini menerima 25-30% dari sirkulasi darah untuk dibersihkan sehingga sebagai organ ekskresi terjadinya perubahan patologi sangat mungkin terjadi (Corwin, 2008). Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan pada organ ginjal : 1. Sebagai pusat regulasi proses filtrasi, reabsorpsi dan ekskresi xenobiotik dan metabolit 2. Toksin dapat terkonsentrasi pada filtrat glomerulus atau pada sel tubulus 3. Tubulus proksimal lebih sensitif terhadap toksin karena di bagian ini terdapat enzim CYP450 yang dapat memetabolisme zat sehingga dihasilkan metabolit toksik yang reaktif dan mengakibatkan kerusakan sel (Kumar, dkk., 2005). Adapun korelasi dari ketoksikan isoniazid terhadap ginjal adalah terletak pada proses eksreksi dari metabolit isoniazid yang bersifat toksik yaitu asetilhidrazin dan hidrazin yang juga dapat mengalami reaksi oksidasi oleh enzim CYP450 (khususnya sub tipe 2E1) menjadi metabolit reaktif (Gurumurthy dkk., 1991). Metabolit reaktif inilah yang dapat menginduksi terjadinya kerusakan ginjal.
11
Histologi Ginjal Histologi merupakan ilmu biologi yang mempelajari jaringan, sedangkan patologi mempelajari perubahan yang terjadi pada organ, histologi dan lainnya dikarenakan faktor internal dan eksternal. Dengan demikian, histopatologi merupakan ilmu yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan terkait dengan kerusakan yang terjadi pada jaringan dan berhubungan dengan penyakit tertentu. Berikut adalah gambaran nefron ginjal manusia :
Gambaran Nefron Ginjal Manusia (Sherwood, 2010)
Setiap ginjal terdiri atas 1,4 juta nefron. Setiap nefron tersebut tersusun atas bagian yang melebar yaitu korpuskel renalis, tubulus kontortus proksimal, segmen tipis dan lengkung Henle, tubulus kontortus distal, tubulus dan duktus koligentes.
12
Kopuskel Renalis dan Filtrasi Darah Tiap korpuskel renalis memiliki diameter 200µm dan terdiri atas seberkas kapiler yakni glomerolus yang dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda disebut Kapsula Bowman. Membran basal glomerulus merupakan suatu saringan makromolekul yang selektif dengan lamina densa sebagai saringan. Glomerulus terdiri atas kapiler arteri dengan tekanan hidrostatik ±45 mmHg dan lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler lain di tubuh. Dalam glomerulus terjadi proses filtrasi yang menghasilkan komponen kimia serupa dengan plasma darah tetapi hampir tidak mengandung protein karena makromolekul tidak mudah menembus saringan glomerulus. Pada bagian kapiler glomerulus, terdapat salah satu bagian penting yakni sel mesangial yang memiliki reseptor terhadap faktor nutriuretik. Faktor ini berpengaruh pada respon vasodilatasi dan akan merelaksasi sel-sel mesangial sehingga dapat menambah aliran darah dan membentuk daerah yang efektif untuk filtrasi. Sel ini juga berfungsi membuang molekul normal dan patologis (kompleks imun) yang terjerap di membran basal glomerulus dan menghasilkan mediator kimia seperti sitokin dan prostaglandin. Tubulus Kontortus Proksimal Di korpuskel ginjal tepatnya pada kutub urinarius, epitel pipih di lapisan parietal kapsula Bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus kontortus proksimal. Dalam keadaan sehat atau normal, sel-sel epitel ini berbentuk kuboid atau silindris rendah. Sel-sel epitel kuboid ini memiliki sitoplasma yang mengandung mitokondria panjang dalam jumlah banyak. Tubulus ini memiliki
13
ukuran lebih panjang daripada tubulus kontortus distal sehingga cenderung terlihat lebih dekat dengan korpuskel ginjal dalam korteks dan apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang ±1µm membentuk brush border. Pada hewan masih hidup dan normal, tubulus kontortus proksimal memiliki lumen lebar dan dikelilingi oleh kapiler peritubular. Aktivitas dari tubulus kontortus proksimal adalah sebagai tempat reabsorpsi dan ekskresi. Filtrat glomerolus yang terbentuk di korpuskel ginjal akan masuk ke dalam TKP (Tubulus Kontortus Proksimal). Di TKP, akan terjadi absorpsi seluruh glukosa dan asam amino, ±85% NaCl, dan air dari filtrat selain fosfat dan kalsium. Mekanisme absorpsi ini terjadi secara transport aktif yang melibatkan pompa Na+/K+ ATPase. Di bagian ini, juga terjadi ekskresi dari kreatinin dan substansi asing bagi organisme dari plasma interstitial ke dalam filtrat (Junqueira dkk., 2007). Tubulus Kontortus Distal Tubulus kontortus distal memiliki perbedaan dengan Tubulus Kontortus Proksimal, yakni tidak memiliki brush border dan ukuran yang lebih kecil. Sel-sel pada tubulus yang lebih kecil ini membuat jumlah sel dan intinya tampak lebih banyak di dinding epitelnya dibandingkan dengan di dinding TKP. Tubulus ini mengadakan kontak dengan kutub vaskular di korpuskel ginjal sehingga mengakibatkan terjadinya modifikasi dari Tubulus Kontortus Distal (TKD) yaitu bentuknya menjadi silindris dan intinya berhimpitan. Dinding tubulus distal yang termodifikasi ini lebih gelap karena inti sel yang rapat dan disebut dengan makula densa. Dalam tubulus distal terjadi pertukaran ion, natrium akan diabsorpsi dan ion kalium diekskresi. Selain itu bagian ini juga menyekresi ion
14
hidrogen dan amonium ke dalam urin tubulus yang penting untuk mempertahankan keseimbangan asam basa (Junqueira dkk., 2007). Berikut adalah gambaran histologi ginjal normal (Gambar 5. dan Gambar 6.) meliputi glomerulus yang dilengkapi kapsula Bowman, dan tubulus. Pada tubulus terlihat tubulus konvolatus distal dan tubulus proksimal yang memiliki perbedaan pada ada atau tidaknya brush border, ukuran yang relatif berbeda serta keberadaan inti selnya.
Gambaran Mikrostruktur Glomerolus dan Tubulus (Baker, 2010)
15
Gambaran Mikrostruktur Glomerolus dan Tubulus (Baker, 2010)
Gambaran Mikrostruktur Tubulus Proksimal, Distal, dan Kolektif (Baker, 2010)
16
Gambaran histologi tubulus baik itu tubulus proksimal, distal, maupun kolektif ditunjukkan lebih jelas pada Gambar 7. Interstitium Ginjal Celah yang terdapat diantara tubulus uriniferus, dan pembuluh darah dan limfe disebut interstitium ginjal. Celah ini berada di ruang kecil di korteks ginjal yang melebar hingga medula. Pada bagian ini terdapat sedikit jaringan fibroblas dan sedikit serat kolagen. Di dalam medula ini terdapat substansi dasar berhidrasi tinggi yang kaya dengan proteoglikan, serta terdapat sel-sel sekresi yang disebut sel interstitial (Junqueira dkk., 2007). Histopatologi Ginjal Patologi yang dapat terjadi pada organ ginjal antara lain terkait dengan 3 unsur utama dari histologinya seperti glomerulonefritis, nefrosis tubuli ataupun radang interstitium. Nefrosis terkait dengan kerusakan pada ginjal dan merupakan salah satu jenis dari nefritis. Nefrosis merupakan perubahan epitel pada ginjal, baik pada tubuli (tubulonefrosis) maupun glomerolus (glomerulonefrosis). Tubulonefrosis dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme air dan protein dalam sel, degenerasi hialin, penyakit sistemik seperti diabetes mellitus/diabetik nefropati, amiloidosis, SLE. Glomerulonefrosis merupakan peradangan yang disebabkan gangguan pra renal dan humoral. Diantara ketiga histologi utama ginjal, tubulus proksimal merupakan bagian ginjal yang paling banyak dan mudah mengalami kerusakan pada kasus nefrotoksik. Hal ini terjadi karena akumulasi bahan-bahan toksik serta sifat epitel dari tubulus proksimal yang cenderung lemah sehingga mudah terjadi kebocoran. Oleh sebab
17
itu, terjadinya kerusakan pada tubulus proksimal berkorelasi erat dengan transpor bagian tubulus dengan akumulasi, toksisitas, dan juga reaksi-reaksi obat pada sel target tubulus proksimal (Prasta, 2010). Berikut adalah beberapa gambaran histopatologi ginjal yang sering terjadi meliputi bagian glomerulos, tubulus dan interstitial :
Gambaran Mikrostruktur Glomerulonefritis (Saunders, 2007)
Gambaran Mikrostruktur Tubulonefrosis (Saunders, 2007)
18
Gambaran Mikrostruktur Nefritis Interstitial (Saunders, 2007)
3.
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) a. Tanaman mengkudu memiliki klasifikasi sebagai berikut : Klasifikasi Tanaman Mengkudu
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia L. (Depkes., 2010)
19
b.
Habitat Tanaman mengkudu ini tumbuh pada tanah berkapur tanpa bergantung pada
keadaan tanah (Heyne, 1950) dan dapat tumbuh pada 1300 m dari ketinggian laut (Nagalingam dkk., 2012). Di Jawa, tanaman ini dapat tumbuh di daerah dengan elevasi 1-300 m dpl. Selain itu penanaman juga bisa dilakukan di daerah elevasi >1500 m dpl yang pada umumnya berada di dekat pantai dan batuan lime stone (Backer dkk., 1965; Van, 1997). c.
Morfologi buah mengkudu
Buah Mengkudu
Tanaman ini memiliki buah berbentuk bongkol (kepala) bersifat apokarp, berbenjol-benjol tidak teratur, jika masak berdaging dan berair, kuning kotor atau putih kuning. Panjang buahnya sekitar 5-10 cm dagingnya tersusun dari buah –buah batu berbentuk piramid berwarna coklat merah. Baunya yang tidak enak seperti keju busuk (hasil dari pencampuran antara asam kaprik dan asam kaproat) membuat banyak orang yang tidak menyadari potensi dari Queen of Morinda ini. Namun, perkembangan di dunia penelitian mampu menguak potensi yang dapat diambil dari tanaman ini khususnya dari tiap bagiannya.
20
d.
Kandungan Kimia Mengkudu merupakan salah satu tanaman yang tiap bagiannya memiliki
kandungan kimia spesifik serta mampu menghasilkan efek yang bervariasi. Bagian dari tanaman ini yang biasanya dimanfaatkan adalah daun dan buahnya. Terdapat sekitar 200 senyawa fitokimia yang teridentifikasi dalam tanaman mengkudu yakni senyawa fenol dan alkohol, asam organik, alkaloid, antrakuinon, glikosida antrakuinon, karotenoid, ester, flavonoid, iridoid, keton, lakton, lignan, nukleosida, triterpenoid, sterol dan beberapa senyawa minor lainnya. Antrakuinon adalah senyawa fenolik utama yang telah diidentifikasi dan diisolasi dari bagian yang berbeda dari tanaman mengkudu seperti damna-canthal, morindon, morindin, skopoletin, alizarin, aukubin, nordam-nacanthal, rubiadin, rubiadin-1-metil eter dan glikosida antrakuinon (Morton, 1992; Dittmar, 1993; Dixon dkk., 1999; Wang & Su, 2001). Asam organik utama adalah asam kaproat dan kaprilat (Dittmar, 1993), sedangkan alkaloid yang penting adalah proxeronin (Heinicke, 1985). Menurut Singh (2012), senyawa alkoholik dan fenol yang terdapat dalam mengkudu antara lain benzil alkohol, 1-butanol, eugenol, 1-heksanol, 3-metil-2buten-1-ol, sedangkan senyawa flavonoid yang ada yaitu kaempferol, kuersetin dan rutin. Berikut adalah struktur dari beberapa kandungan kimia yang terdapat dalam tanaman mengkudu secara umum (Gambar 12. dan Gambar 13.) :
21
Struktur Kandungan kimia Morinda citrifolia L. (Morton, 1992; Dittmar, 1993; Dixon dkk., 1999; Wang & Su, 2001)
22
Struktur Kandungan kimia Morinda citrifolia L. (Wang & Su, 2001)
Pada bagian buahnya, kandungan kimia yang mendominasi adalah morindin, asam malat, asam sitrat, glukosa, gom dan senyawa golongan saponin (Gunawan, 1989; Mulyani, 1989). Selain itu, dalam buah mengkudu juga terkandung beberapa senyawa iridoid (deacetylasperulosidic acid and asperulosidic acid) (Deng dkk., 2010; West dkk., 2011), antrakuinon, triterpen, turunan kumarin seperti skopoletin, saponin, dan 4-hidroksi flavon tanpa gugus hidroksi pada atom C-5 (Pramono, 1989; Prasetyaningsih, 1990; Supriyanto,1989). Triterpenoid merupakan salah satu dari jenis terpenoid yang terdiri dari 6 unit isoprena, sering disebut juga sebagai isoprenoid, karena dilihat dari strukturnya,
23
senyawa ini tersusun dari unit-unit isoprena. Isoprena merupakan senyawa yang memiliki kerangka 5 atom karbon dengan satu rantai cabang dan dua ikatan rangkap dua. Triterpen tersusun dari 6 unit isoprena (C30) yang dihasilkan melalui penggabungan ekor dan ekor dari unit C-15 atau C-20. Menurut Harborne (1987), secara umum proses biosintesis senyawa triterpenoid dengan jalur mevalonat. Pada umumnya berbentuk padatan, bersifat tidak aromatis sehingga tidak mudah menguap, dan beberapa berfungsi dalam pengobatan. Kegunaan dari senyawa triterpen ini salah satunya adalah sebagai antioksidan, meskipun masih bersifat lemah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cui dkk., (2003) bahwa senyawa triterpenoid pada ekstrak etanol 80% Inonotus obliqus yang diuji dengan radikal DPPH memiliki aktivitas antioksidan. Triterpen yang terdapat dalam buah mengkudu yakni asam ursolat memiliki efek sebagai antiinflamasi, antifungi, membantu penyembuhan AIDS dan leukimia (Lin dkk., 1990; Kashiwada dkk., 1998). Steroid merupakan bentuk modifikasi dari struktur triterpenoid yang memiliki 4 ring system yaitu 3 cincin sikloheksana dan 1 cincin siklopentana dengan jumlah atom karbon sama yakni 30.
Isoprena
Steroid
Kandungan senyawa triterpen dan sterol yang terdapat dalam buah mengkudu adalah 3,19-asam dihidroksiursolat dan 19 α–asam metilursolat (Sang dkk., 2002),
24
β–Hidroksipropiovanilon dan 4-Hidroksi-3-metoksisinamaldehid (Pawlus dkk., 2005), Isoskopoletin (Deng dkk., 2007). Kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol dari buah mengkudu diantaranya sebagai berikut : Kandungan kimia buah mengkudu dalam berbagai penyari (Nagalingam dkk., 2012)
e.
Kegunaan Tanaman
mengkudu
sudah
banyak
digunakan
diantaranya
sebagai
antihipertensi, antinyeri saat menstruasi, meringankan tukak lambung, depresi mental, keseleo, luka, atherosklerosis, masalah pada pembuluh darah, pecandu, penghilang rasa sakit, dan lainnya. Sementara itu, buah mengkudu secara khusus dimanfaatkan untuk obat cacing, sariawan, pelembut kulit, peluruh dahak atau obat batuk, peluruh haid, pencahar, pencegah mual, kesulitan buang air kecil, penurun tekanan darah, mengobati malaria, cacar, radang empedu, radang ginjal, radang
25
amandel. Buah mengkudu juga mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus putih melalui hambatan absorpsi glukosa pada usus dan meningkatkan sekresi insulin (Depkes., 1985). Kerusakan ginjal yang diakibatkan oleh pemejanan isoniazid dalam waktu lama diperantarai oleh metabolit reaktif yang terbentuk dari hasil metabolisme isoniazid di hepar. Metabolit reaktif ini dieksreksi melalui urin sehingga adanya kontak antara metabolit reaktif tersebut dengan bagian-bagian ginjal saat tahapan ekskresi diduga dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal. Metabolit reaktif ini dapat dicegah pembentukannya maupun dinetralkan dengan senyawa antioksidan. Dari skrining fitokimia yang dilakukan oleh Nagalingam dkk., (2012) diketahui bahwa kandungan kimia dalam ekstrak etanol buah mengkudu (EEBM) adalah senyawa alkaloid, fenolik (flavonoid dan lain-lain), triterpen dan steroid. Ramamoorthy & Bono (2007) memaparkan bahwa kandungan kimia dalam mengkudu memiliki aktivitas antioksidan yaitu beta-karoten, asam askorbat, terpenoid, alkaloid, beta-sitosterol, karoten, polifenol seperti flavonoid, glikosida flavon, rutin dan sebagainya. Hal ini juga selaras dengan penelitian Zain (2006) yang membuktikan ekstrak dari buah mengkudu dapat mengurangi terjadinya nekrosis ginjal tikus yang diinduksi CCL4. Oleh karena itu, ekstrak etanol buah mengkudu dapat menghasilkan aktivitas antioksidan sehingga dapat memperbaiki kerusakan ginjal akibat penggunaan INH yang disebabkan oleh metabolit reaktif. 4.
Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak
dapat larut dengan pelarut cair, sedangkan hasil dari ekstraksi adalah ekstrak.
26
Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan melakukan penyarian kandungan kimia bahan nabati, hewani atau mineral dengan pelarut dan metode yang sesuai, dilanjutkan dengan penguapan sebagian atau seluruh pelarut sehingga diperoleh konsistensi yang diinginkan (ekstrak cair, ekstrak kental, ekstrak kering) diikuti dengan penguapan cairan, kemudian sisa serbuk bahan diekstraksi kembali sehingga setelah digabung akan diperoleh ekstrak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan (Depkes., 1995). Ekstraksi bertujuan untuk menarik zat-zat aktif larut yang terdapat dalam suatu simplisia. Namun, kandungan kimia banal (zat ballast) dalam suatu simplisia seperti resin, klorofil, karbohidrat, protein, lemak, gula dan serat juga dapat ikut tersari. Simplisia merupakan bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan apapun, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes., 1979). Pada proses ekstraksi, peristiwa difusi jauh lebih berpengaruh dibandingkan osmosa. Penyari akan berpenetrasi ke dalam bahan melintasi lapisan batas antara butir serbuk yang selanjutnya akan membasahi simplisia dan menyebabkan terjadinya pengembangan ruang intrasel dan interseluler sel. Setelah itu, akan terjadi interaksi antara cairan penyari dan simplisia yang efektivitasnya ditentukan oleh perbedaan konsentrasi zat aktif di luar dan di dalam sel. Makin besar perbedaan konsentrasi, maka proses ekstraksi akan berlangsung semakin cepat dan efektif. Pelarutan zat aktif oleh penyari akan terjadi jika zat aktif memiliki polaritas yang mirip dengan penyari (like dissolves like). Oleh karena itu, pemilihan penyari juga merupakan hal penting pada ekstraksi (Depkes., 1986).
27
Etanol dipilih sebagai penyari karena beberapa hal seperti lebih selektif, tidak mudah tercemar kapang dan mikroba, tidak beracun, netral, absorpsinya baik. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak atsiri, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakuion, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Sedangkan lemak, malam, tanin, dan saponin hanya sedikit larut sehingga zat ballast yang larut cukup terbatas (Depkes., 1986). 5.
Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman
menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif melalui proses difusi. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang pekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes., 1986). Keseimbangan konsentrasi tersebut diatasi dengan adanya pengadukan yang dilakukan sesekali sehingga akan meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia. Dengan begitu, derajat perbedaan konsentrasi sekecilkecilnya tetap terjaga di dalam dan luar sel dan dengan demikian proses ekstraksi terus berlanjut. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan kerugian
28
cara maserasi adalah pengerjaannya yang lama dan penyariannya kurang sempurna (Depkes., 1986). Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukan kedalam bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, sari diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari, kemudian endapan dipisahkan (Depkes., 1986). Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan (Depkes., 1986). 6.
Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak
a.
Parameter Non Spesifik Parameter non spesifik ekstrak adalah parameter yang ditetapkan pada hampir
semua jenis ekstrak atau dengan kata lain tidak bersifat spesifik antara ekstrak satu dengan lainnya. Parameter non spesifik yang dilakukan yaitu : 1) Susut Pengeringan Parameter susut pengeringan bertujuan untuk memberikan batasan maksimal (rentang) mengenai besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan, yaitu sisa zat setelah pengeringan pada suhu 105°C selama 30 menit atau sampai bobot konstan (selisih antara dua kali penimbangan tidak lebih dari 0,25%) yang dinyatakan sebagai nilai persen (Depkes., 2000). Dalam hal khusus (jika bahan
29
tidak mengandung minyak menguap atau atsiri dan sisa pelarut organik menguap), maka susut pengeringan identik dengan kadar air karena berada di atmosfer atau lingkungan udara terbuka sehingga dipengaruhi oleh kelembaban lingkungan penyimpanan. Namun, jika bahan atau simplisia mengandung minyak atsiri maka bukan berarti hasil susut pengeringan adalah kadar air. Dalam Farmakope Indonesia IV, untuk berat konstan alat, selisih dua kali penimbangan tidak lebih dari 0,1% sedangkan untuk bahan dari tanaman, selisih dua kali penimbangan tidak lebih dari 0,25%. Jadi, secara teoritis angka susut pengeringan biasanya lebih besar dari angka kadar air. Semakin besar persentase susut pengeringan yang diperoleh, semakin banyak pula komponen yang menguap dalam simplisia tersebut (tidak hanya air). % Susut Pengeringan =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑛𝑎𝑠𝑎𝑛−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑛𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑛𝑎𝑠𝑎𝑛
𝑥 100%
2) Kadar abu (tidak lebih dari 0,78%) (Depkes., 2010) Prinsip pengukuran kadar abu adalah bahan dipanaskan pada suhu dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga unsur mineral atau senyawa anorganik lainnya yang tidak dapat terabukan akan menetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Kadar abu =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑥 100%
3) Kadar Abu tak Larut Asam (tidak lebih dari 0,1%) (Depkes., 2010) Prinsip pengukuran kadar abu tidak larut asam adalah hasil dari penetepan kadar abu ekstrak ditambahkan asam sulfat encer kemudian bagian yang tidak larut
30
asam dikumpulkan, dicuci dengan air panas lalu dipijarkan hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Kadar abu tak larut asam =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑥 100%
b. Parameter Spesifik Parameter spesifik menunjukkan sifat khas dari tiap ekstrak dan parameter ini erat kaitannya dengan efek terapi. 1) Organoleptik Parameter organoleptik ekstrak menunjukkan gambaran dari hasil ekstrak yang diperoleh dan dapat dilakukan dengan menggunakan panca indera untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa ekstrak. Organoleptik ini juga dapat menunjukkan ciri khas dari ekstrak yang dapat membedakan ekstrak satu dengan yang lainnya. 2) Uji kandungan kimia ekstrak a. Pola kromatogram Parameter pola kromatogram dapat memberikan informasi mengenai kandungan kimia apa saja yang terdapat dalam ekstrak secara kualitatif dengan teknik deteksi melalui nilai Rf, dan deteksi visualisasi bercak dengan lampu UV 254 dan UV 366 nm. Pada penelitian ini difokuskan pada penyelidikan senyawa steroid serta senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan. 7.
Kromatografi lapis tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran
senyawa menjadi senyawa murni dengan menggunakan fase diam yang dilapiskan pada penyangga dan senyawa dalam bahan akan dielusi dengan fase gerak atau
31
campuran fase gerak. Fase diam yang digunakan biasanya berupa silika gel, selulosa, atau alumina. Senyawa yang akan dipisahkan ditotolkan pada fase diam dan dielusi berdasarkan polaritas dari senyawa dan fase diam atau fase gerak (like dissolves like). Oleh karena itu, pemilihan fase gerak baik tunggal maupun kombinasi sangat penting dalam pemisahan senyawa (Sastrohamidjojo, 1985). Selanjutnya, senyawa yang telah terelusi akan divisualisasi di detektor UV 254 nm dan 366 nm. 1. Pada UV 254 nm Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi karena terdapat indikator fluorescein, sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap (meredam). Penampakan bercak pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. 2. Pada UV 366 nm Pada UV 366 nm, bercak akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Hal ini dikarenakan energi yang diserap oleh gugus kromofor lebih besar dibandingkan yang dapat diserap oleh fluorescein. Penampakan bercak pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada bercak senyawa tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh
32
komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi, sehingga bercak yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm. Untuk dapat melihat bercak, senyawa yang secara alamiah tidak memiliki gugus kromofor panjang direaksikan dengan penampak bercak yang akan berikatan secara spesifik dengan gugus-gugus tertentu (Stahl, 1985). Hasil yang diperoleh dari KLT tidak hanya profil kromatogram, tetapi juga nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa dalam ekstrak. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan nilai Rf untuk senyawa murni dengan nilai Rf senyawa standar atau pembanding. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik totolan awal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak dari titik totolan awal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0. LANDASAN TEORI Isoniazid merupakan salah satu obat dengan penggunaan cukup besar di Indonesia sebagai anti-tuberkulosis yang dalam penggunaan jangka panjangnya dapat beresiko menimbulkan efek samping pada organ ginjal sebagai akibat dari metabolit toksiknya. Dari studi literatur yang dilakukan, ekstrak etanolik buah mengkudu mengandung senyawa triterpenoid, steroid, senyawa fenolik, dan alkaloid, yang berpotensi sebagai antioksidan. Literatur lain dalam skrining fitokimia juga
33
menyebutkan bahwa senyawa-senyawa ini dapat tertarik dalam pelarut etanol 96%. Adanya sinergisme aktivitas antioksidan dari beberapa senyawa kimia tersebut diharapkan dapat membantu mengurangi efek samping dari penggunaan isoniazid jangka panjang yang dievaluasi melalui gambaran histopatologi ginjal tikus Wistar betina. Pada penelitian ini dilakukan pemberian EEBM (ekstrak etanol buah mengkudu) bersama isoniazid, dimana isoniazid diberikan dengan dosis tinggi dalam jangka waktu 8 minggu. Pemejanan isoniazid pada dosis tinggi (30mg/200gBB) dan dalam jangka waktu 8 minggu diduga dapat mengakibatkan kerusakan pada organ ginjal tikus. Adanya pemberian EEBM secara bersamaan dengan isoniazid diharapkan dapat membantu memulihkan kerusakan yang terjadi pada organ ginjal tersebut. HIPOTESIS Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, beberapa kandungan kimia dalam ekstrak etanolik buah mengkudu adalah senyawa triterpen, steroid, alkaloid dan berbagai senyawa fenolik. Senyawa-senyawa tersebut dapat bekerja secara sinergis dalam menghasilkan aktivitas antioksidan sehingga diduga dapat berkontribusi pada efek perbaikan ginjal tikus yang diinduksi isoniazid melalui parameter histopatologi ginjal.