1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, penyakit yang menyerang manusia jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun, begitu pula dengan penyakit-penyakit mematikan yang dapat merenggut nyawa manusia. Salah satu penyakit yang masih menjadi masalah utama di Indonesia dan dunia adalah penyakit tuberkulosis. Menurut data dari WHO, terdapat 9,6 juta kasus tuberkulosis baru di tahun 2014, dimana 58% kasus adalah di Asia Tenggara (Anonim, 2015). Berbagai obat baik sintetik maupun obat-obatan herbal telah diteliti dan digunakan untuk pengobatan penyakit tuberkulosis ini. Salah satu obat sintetik yang banyak digunakan sebagai first-line therapy dalam pengobatan penyakit tuberkulosis ini adalah isoniazid (INH). Penggunaan obat INH telah sejak lama digunakan dalam terapi pengobatan penyakit berbahaya seperti tuberkulosis. Dalam pengobatan penyakit tersebut, pasien perlu menggunakan INH ini dalam jangka waktu yang panjang yaitu 6 bulan lamanya hingga penyakit tersebut dapat disembuhkan.
Penggunaan
obat-obatan
tertentu
seperti
INH
dapat
menimbulkan efek samping salah satunya adalah kerusakan pada organ hati (hepatotoksik).
1
2
Obat
INH
merupakan
obat
yang
metabolismenya
dapat
meningkatkan toksisitas dan menghasilkan nekrosis hepatis, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada organ hati (hepatotoksik) (Gibson & Skett, 1991). Obat INH dalam bentuk utuh dan metabolitnya membentuk radikal bebas yang dapat berikatan secara kovalen dengan protein di hati dan menyebabkan kerusakan hati (Metushi dkk., 2011; Metushi dkk., 2012; Tostmann dkk., 2007). Hepatotoksik merupakan salah satu penyebab penyakit dan kematian pada manusia serta hewan di seluruh dunia. Hepatotoksisitas karena obat merupakan penyebab utamanya (Bhawna & Kumar, 2010). Oleh karena itu, para peneliti berusaha mencari solusi yang tepat untuk mengurangi efek samping dari obat yang umumnya merupakan first-line therapy dan obat yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan bahan alam yaitu buah mengkudu. Berdasarkan penelitian panjang yang telah dilakukan oleh para ahli, buah mengkudu diketahui memiliki banyak manfaat dalam bidang kesehatan. Buah mengkudu dilaporkan memiliki aktivitas sebagai anti mikroba (Selvam dkk., 2008), imunomodulator (Palu dkk., 2008), antihiperglikemik (Rao & Subramanian, 2008; Nayak dkk., 2011), antioksidan (Rao & Subramanian, 2008; Srinivasahan & Durairaj, 2014), dan lain-lain. Berdasarkan penelitian Surendiran & Mathivanan (2011) diketahui jus buah Morinda tinctoria Roxb. dapat mencegah kerusakan hati oleh adanya
3
aktivitas antioksidan yang dapat mencegah radikal bebas, sehingga diduga buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) memiliki aktivitas yang serupa. Menurut penelitian Rao & Subramanian (2008) dan Srinivasahan & Durairaj (2014), aktivitas antioksidan pada buah mengkudu mampu mencegah berbagai faktor stres oksidatif dan radikal bebas. Oleh karena itu buah mengkudu dapat berperan sebagai agen hepatoprotektor melalui aktivitas antioksidannya sehingga dapat mengurangi efek samping kerusakan hati akibat penggunaan INH.
B. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah kombinasi ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan isoniazid dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan hati akibat penggunaan isoniazid melalui parameter histopatologi hati? 2. Berapakah konsentrasi ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) yang paling efektif dalam mengurangi kerusakan hati akibat penggunaan isoniazid?
C. Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi dan bukti ilmiah bahwa kombinasi isoniazid dengan ektrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dapat mengurangi kerusakan hati akibat penggunaan isoniazid
4
melalui parameter histopatologi hati beserta konsentrasi ekstrak etanol buah mengkudu yang paling efektif dalam mengurangi kerusakan hati tersebut. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian yang terkait.
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh kombinasi ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan isoniazid dalam mengurangi kerusakan hati melalui parameter histopatologi hati. 2. Mengetahui konsentrasi ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) yang paling efektif dalam mengurangi efek samping kerusakan hati akibat penggunaan isoniazid.
E. Tinjauan Pustaka 1. Isoniazid Isoniazid (INH) merupakan salah satu obat yang tergolong ke dalam obat antituberkular. Obat antituberkular (Antitubercular drugs / ATT) merupakan obat-obat yang dimetabolisme dan didetoksifikasi di hati pada fase I maupun fase II oleh enzim pemetabolisme di hati. Klirens obat ATT ini tergantung pada aktivitas beberapa enzim, seperti N-asetil transferase 2 (NAT2), sitokrom P450 oksidase (CYP), dan glutation S-
5
trasferase
(GSTM1).
Sitokrom
P450s
(CYPs)
merupakan
enzim
pemetabolisme yang bertanggung jawab dalam biotransformasi senyawa beracun (xenobiotik) dan komponen endogenus (Singh, 2011). Obat ATT dapat menyebabkan efek samping pada pengobatan tuberkulosis
seperti
hepatotoksik,
reaksi
pada
kulit,
gangguan
gastrointestinal dan gangguan neurologi serta penyakit autoimun lupus (Tostmann dkk., 2007; Metushi dkk., 2011). Hepatotoksik merupakan efek samping yang paling berbahaya dimana obat tersebut dapat menghasilkan metabolit yang bersifat toksik dan dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati. Obat ini menyebabkan efek samping hepatotoksik dengan variasi antara 2-28% yang tergantung pada populasi dan ketika obat diberikan dengan dosis yang direkomendasikan. Kebanyakan dari obat ATT yang menginduksi hepatotoksik pada penggunaan bulan pertama terapi adalah pada obat Rifampicin (RIF) dan INH (Singh, 2011). Isoniazid atau isonicotinic acid hydrazid merupakan derivat asam isonikotinik dan obat bakterisidal pilihan untuk mengobati tuberkulosis (Anonim, 2012). Obat INH telah digunakan secara klinis sebagai first-line drug untuk terapi pengobatan tuberkulosis sejak 1952 dengan efek samping berupa hepatotoksik (Singh, 2011). Obat INH terkenal karena kecenderungannya menyebabkan hepatitis dengan penggunaan kronis. Overdosis akut INH adalah penyebab umum dari obat penginduksi kejang dan asidosis metabolik. Hanya satu derivat INH yang diketahui
6
menghambat pembelahan kuman tuberkulosis, yakni iproniazid, tetapi obat ini terlalu toksis untuk manusia. (Olson, 1999). Berikut adalah pemerian dari INH:
Gambar 1. Struktur INH (www.drugbank.ca)
Rumus molekul : C6H7N3O Berat molekul
: 137,14
Pemerian
: hablur putih atau tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau, perlahan-lahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya.
Titik lebur
: 170oC – 173oC
Kelarutan
: mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, sukar larut dalam kloroform dan dalam eter. (Olson, 1999)
Obat INH secara invitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan KHM (konsentrasi hambatan minimum) sekitar 0,025-0,050 µg/ml. Mekanisme kerja isoniazid ialah menghambat asam mikolat
7
(mycolicic
acid)
yang
merupakan
unsur
penting
dinding
sel
mikrobakterium. Obat INH kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam dan menurunkan jumlah asam lemak yang terekstasi oleh metanol dari mikrobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap kuman peka ke dalam selnya, dan proses ini merupakan proses aktif (Olson, 1999). Obat INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Obat INH merupakan obat yang metabolismenya dapat meningkatkan toksisitas dan menghasilkan nekrosis hepatis. Zat ini jika berada dalam jumlah yang besar di dalam tubuh khususnya hati akan mengakibatkan kerusakan sel, seperti infiltrasi sel radang, degenerasi melemak, piknosis dan kongesti. Oleh karena itu, INH merupakan obat yang dapat menginduksi timbulnya penyakit hati (drug induced liver disease) (Olson, 1999; Gibson & Skett, 1991). Obat INH merupakan obat yang metabolismenya terjadi di hati. Di hati, INH terutama mengalami metabolisme oleh enzim N-asetil transferase 2 (NAT2) sebagai mediator asetilasi, yang menghasilkan asetilisoniazid dan akan dihidrolisis menjadi asetilhidrazin dan asam isonikotinik. Skema tentang proses metabolisme INH dapat dilihat pada Gambar 2. Pada kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan waktu paruhnya. Ekskresi yang utamanya yaitu melalui ginjal dan
8
sebagian besar sebagai asetilisoniazid (Tostmann dkk., 2007; Olson, 1999).
Gambar 2. Metabolisme INH. Garis tebal: jalur metabolik utama; Garis putusputus: jalur metabolik prediksi; [O]: oksidasi (Metushi dkk., 2011)
Obat
INH
dalam
bentuk
utuh
dan
metabolitnya
dapat
menyebabkan kerusakan hepar pada manusia. Menurut Metushi dkk. (2011), terdapat 2 metabolit dari INH yang bertanggung jawab terhadap hepatotoksisitas Asetilhidrazin
yang
terjadi
yaitu
asetihidrazin
dan
hidrazin.
merupakan metabolit yang paling banyak diketahui
menyebabkan hepatotoksik dari INH. Pada tikus, sangat sedikit dari INH yang dihidrolisis, tetapi >30% asetilisoniazid dihidrolisis menjadi asam
9
isonikotinik dan asetilhidrazin. Asetilhidrazin dapat berikatan secara kovalen dengan protein hati sehingga menyebabkan kerusakan pada hati. Selain itu INH dan asetilhidrazin juga dapat mengalami oksidasi menjadi radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan hati (Metushi dkk., 2011; Metushi dkk., 2012). Metabolit lain dari INH yang dapat menginduksi terjadinya hepatotoksik adalah hidrazin, yang pada umumnya bersifat hepatotoksik, karsinogenik, dan mutagenik. Proses metabolisme INH yang terjadi di hati oleh enzim pemetabolisme khususnya NAT-2 dan enzim sitokrom P450 (CYP 450) mampu meningkatkan produksi metabolit toksik hidrazin dari INH (Singh, 2011). Metabolisme mikrosomal dari hidrazin menghasilkan reaktif alkilating agent yang dapat berikatan secara kovalen dengan makromolekul jaringan dan menyebabkan nekrosis hepar. Pendapat lain menyebutkan bahwa metabolit reaktif hidrazin kemungkinan menjadi agen toksik pada jaringan melalui produksi radikal bebas (Tostmann dkk., 2007). Menurut Metushi dkk. (2014), pada uji hepatotoksisitas akut dengan menggunakan kelinci diketahui bahwa metabolit hidrazin lebih berperan sebagai metabolit hepatotoksik dibandingkan INH utuh atau metabolit asetilhidrazin.
10
2. Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Mengkudu (Morinda citrifolia L.) merupakan tumbuhan tropis yang telah dikenal oleh masyarakat umum. Morinda citrifolia L. termasuk dalam family Rubiaceae. Pada genus Morinda terdapat 80 spesies yang umumnya berada di daerah tropis (Potterat & Hamburger, 2007). Secara umum mengkudu memiliki ciri-ciri berupa pohon dengan tinggi 1-6 m, bunga berwarna putih, daun berbentuk lonjong lebar mengkilat. Buah mengkudu berbentuk bulat lonjong, panjangnya 5-8 cm, permukaan seperti terbagi dalam sel-sel poligonal (bersegi banyak) yang berbintik-bintik dan berkutil (Herdriani, 2007). Klasifikasi dari mengkudu tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Buah Mengkudu (Anonim, 2014)
Famili
: Rubiaceae
Divisi
: Lignosae
Filum
: Angiospermae
Sub filum : Dycotiledones
11
Genus
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia (Soesilo, 2012)
Kandungan kimia dalam mengkudu adalah morindin, morindon, prokseronin, rubidin, skopoletin, asam oktanoat, kalium, vitamin C, vitamin A, terpenoid, asperulosid, asam kaprilat, asam kaproat dan rutin (Yulinah, 2008). Salah satu bagian tanaman yang paling penting adalah daun dan buahnya, namun yang banyak dimanfaatkan adalah bagian buahnya. Pada buah mengkudu terdapat kandungan fitokimia seperti zat nutrisi (protein, vitamin, mineral), terpenoid, steroid, glikosida jantung, flavonoid, lignin, antrakinon, tanin, alkaloid, saponin, scopoletin, polisakarida dan lain-lain. Kandungan dalam buah mengkudu ini dapat bervariasi tergantung pada negara asal, waktu pemanenan, dan proses ekstraksi (Nagalingam dkk., 2012; Potterat & Hamburger, 2007; Soesilo, 2012; Singh, 2012). Mengkudu merupakan tanaman obat yang memiliki banyak aktivitas farmakologi dan
banyak digunakan dalam terapi berbagai
penyakit. Buah mengkudu dilaporkan memiliki aktivitas sebagai anti mikroba (Selvam dkk., 2008), imunomodulator (Palu dkk., 2008), antihiperglikemik (Rao & Subramanian, 2008; Nayak dkk., 2011), dan antioksidan (Rao & Subramanian, 2008; Srinivasahan & Durairaj, 2014).
12
Selain itu menurut McChatchey (2002) bahwa buah mengkudu diketahui dapat mengurangi inflamasi dan menstimulasi sistem imun untuk melawan infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur. Pada penelitian ini digunakan ekstrak kental dari buah mengkudu yang diperoleh melalui proses ekstraksi dengan cairan penyari etanol yaitu Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (EEBM). Berdasarkan penelitian Nagalingam dkk. (2012) pada buah mengkudu yang diekstraksi dengan etanol terdapat kandungan utama seperti senyawa steroid, glikosida jantung, fenol, terpenoid, karbohidrat, tanin, flavanoid serta alkaloid dan lipid dalam jumlah kecil. Kerusakan hati pada penggunaan INH disebabkan INH dalam bentuk utuh dan metabolitnya yang dapat membentuk radikal bebas dan berikatan secara kovalen dengan protein di hati sehingga menyebabkan kerusakan hati. Untuk itu dibutuhkan senyawa antioksidan yang dapat mencegah radikal bebas yang terbentuk dan mencegah kerusakan hati yang terjadi. Keberadaan aktivitas antioksidan dari buah mengkudu dilaporkan oleh Rao & Subramanian (2008) dan Srinivasahan & Durairaj (2014) bahwa aktivitas antioksidan pada ekstrak etanol buah mengkudu mampu mencegah berbagai faktor stres oksidatif dan radikal bebas. Penelitian lainnya dilakukan oleh Wang dkk. (2008) yang menunjukkan bahwa jus buah mengkudu mampu melindungi organ hati dari kerusakan akibat
13
paparan CCl4. Nayak dkk. (2011) juga melaporkan bahwa jus buah mengkudu mampu melindungi organ hati yang diduga disebabkan aktivitas antioksidan yang mampu mencegah terbentuknya radikal bebas. Penelitian lainnya dilakukan oleh Lin dkk. (2013) menunjukkan bahwa jus buah mengkudu yang kaya akan polifenol dapat berperan sebagai agen hepatoprotektif pada hamster yang diet lemak tinggi melalui respon anti inflamasi dan antioksidatif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nagalingam dkk. (2012) pada ekstrak buah mengkudu dengan cairan penyari air dan etanol memiliki kandungan fitokimia yang mirip yaitu steroid, glikosida jantung, fenol, tanin, terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Jadi diduga aktivitas hepatoprotektor dari EEBM mirip dengan aktivitas hepatoprotektor dari jus buah mengkudu. Surendiran & Mathivanan (2011) juga menyatakan jus buah Morinda tinctoria Roxb. dapat mencegah kerusakan hati oleh adanya aktivitas antioksidan yang dapat mencegah radikal bebas, sehingga diduga buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) memiliki aktivitas yang serupa. Oleh karena itu ekstrak etanol buah mengkudu dapat berperan sebagai hepatoprotektor dalam mengurangi efek samping kerusakan hati akibat penggunaan INH melalui aktivitas antioksidannya.
14
3. Hati a. Anatomi dan Fisiologi Hati Hati merupakan organ kelenjar padat yang terletak di sebagian besar anterior abdomen dekat dengan diafragma dan merupakan organ terbesar dalam tubuh. Secara makroanatomi hati yaitu dilapisi kapsula yang terdiri dari jaringan ikat fibrosa (Glisson’s capsule). Lapisan serosa menyelimuti kapsula kecuali bila hati menempel tepat ke diafragma dan organ lain. Secara anatomi, hati terbagi menjadi dua lobus besar (lobus kanan dan kiri) dan dua lobus yang lebih kecil (lobus quadrate dan caudate) (Bacha & Bacha, 2000; Anandaputri, 2015). Struktur mikroanatomi hati yaitu dilapisi oleh kapsul jaringan konektifus tipis (Glisson’s capsule). Irisan tipis dari hati bila dilihat dibawah mikroskop akan terlihat unit struktural yang disebut lobulus hati. Komponen struktural dari hati yaitu sel hati (hepatosit) yang berbentuk polihedral dengan 6 atau lebih permukaan. Pada pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) sitoplasma hepatosit terwarnai eosinofil (Bacha & Bacha, 2000; Anandaputri, 2015). Hati memiliki banyak fungsi penting yang berbeda-beda dan bergantung pada sistem aliran darahnya yang unik dan sel-selnya yang sangat khusus. Fungsi-fungsi dari organ hati ini dapat dilihat pada Tabel I. di bawah ini (Anandaputri, 2015; Corwin, 2009).
15
Tabel I. Fungsi Hati
Tipe Metabolik Masa absortif
Masa pasca-absortif
Imunologik Perubahan metabolik Fungsi pembekuan Protein plasma Fungsi eksokrin Fungsi endokrin
Terapi Mengubah glukosa menjadi glikogen dan trigliserida: menyimpan glikogen. Mengubah asam amino menjadi asam lemak atau simpanan asam amino. Membuat lipoprotein dari trigliserida dan kolesterol. Menghasilkan glukosa dari glikogen (glikogenolisis) dan asam lemak serta asam amino (glikonogenesis). Mengubah lemak menjadi keton (makin cepat jika puasa). Menghasilkan urea dari katabolisme protein. Menyerap darah yang disaring. Detoksifikasi atau menyatukan produk sisa, hormon, obat-obatan. Menghasilkan beberapa faktor pembekuan esensial. Mensintesis albumin dan protein plasma lain Mensintesis garam empedu. Terlibat dalam aktivasi vitamin D, menghasilkan angiotensin, mensekresi faktor pertumbuhan seperti insulin (somatomedin).
Hati merupakan organ terbesar dan memberikan proses metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Organ utama dalam metabolisme obat adalah hati, namun organ-organ lain, seperti saluran gastrointestinal dan paru-paru, mempunyai aktivitas yang patut dipertimbangkan. Obat yang diberikan secara oral biasanya diabsorpsi dalam usus halus dan masuk ke sistem porta menuju hati. Di hati obat ini mungkin mengalami metabolisme secara
16
luas (misalnya lidokain, morfin, propanolol). Hal ini disebut metabolisme lintas pertama, suatu istilah yang tidak mengacu hanya pada metabolisme hepatik (Hendriani, 2007; Neal, 2006). Hati dalam memetabolisme obat terlibat dalam dua tipe umum reaksi yaitu (Sylvia & Lorraine, 2005): 1) Reaksi Fase I Reaksi ini meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang lebih polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus fungsional (misalnya –OH, -NH2, -SH). Oksidasi merupakan reaksi yang paling umum dan reaksi ini dikatalisasi oleh suatu kelas enzim yang penting yang disebut oksidase dengan fungsi campuran (sitokrom P-450). Spesifisitas substrat dari kompleks enzim ini sangat rendah dan banyak obat yang berbeda-beda dapat dioksidasi. Reaksi fase I yang lain adalah reduksi dan hidrolisis. Obat-obat yang metabolismenya merupakan reaksi fase I seperti warfarin, fenitoin, NSAIDs, omeprazole, dan lain-lain. 2) Reaksi Fase II Obat atau metabolit fase I yang tidak cukup polar untuk dapat dieksresi dengan cepat oleh ginjal dibuat menjadi lebih hidrofilik melalui konjugasi dengan senyawa endogen dalam hati. Konjugat yang dihasilkan hampir selalu kurang aktif dan
17
merupakan molekul polar yang mudah diekskresi oleh ginjal. Obat-obat yang metabolismenya termasuk reaksi fase II seperti isoniazid, hidralazin, dan lain-lain.
b. Histologi Hati Pengamatan
histologi
organ
hati
dilakukan
untuk
mengetahui pengaruh senyawa atau obat-obatan terhadap organ hati, apakah senyawa atau obatan tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati yang diamati secara mikroskopi. Histopatologi mampu menunjukkan perubahan morfologi yang terjadi pada organ hati dan apakah suatu senyawa memiliki aktivitas farmakologi antara lain sebagai hepatoprotektor (Wang dkk., 2008). Pada pengamatan histopatologi hati sering digunakan teknik pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) yang merupakan teknik pewarnaan yang paling banyak digunakan dalam histopatologi. Pewarnaan HE digunakan untuk mengenali berbagai tipe jaringan dan perubahan morfologi akibat penggunaan obat-obatan, zat beracun (toksin), dan lain-lain. Hematoksilin akan mewarnai bagian inti (nuklear) secara detail dan Eosin akan mewarnai sitoplasma sehingga kombinasinya akan memberikan gambaran jaringan yang detail (Fischer dkk., 2008).
18
Hematoksilin adalah bahan pewarna yang sering digunakan pada pewarnaan histoteknik, yang merupakan ekstrak dari pohon yang diberi nama logwood tree. Hematoksilin bekerja sebagai pewarna basa, artinya zat ini mewarnai unsur basofilik jaringan. Hematoksilin memulas inti dan struktur asam lainnya dari sel (seperti bagian sitoplasma yang kaya akan RNA dan matriks tulang rawan) menjadi berwarna biru. Eosin bersifat asam yang akan memulas komponen asidofilik jaringan seperti mitokondria, granula sekretoris dan kolagen. Tidak seperti hematoksilin, eosin mewarnai sitoplasma dan kolagen menjadi berwarna merah muda (Junqueira & Carneiro, 1992). Unsur struktur utama hati adalah sel-sel hati atau hepatosit. Hepatosit tersusun radier dalam lobulus hati (Gambar 4.) dan berkumpul membentuk lapisan sel yang tebal seperti dinding tembok. Lempeng-lempeng hepatosit berjalan dari perifer lobulus menuju ke bagian tengah dan beranastomosis dengan bebas, membentuk kompleks labirin. Celah antar lempeng terdapat sinusoid-sinusoid kapiler yang dinamakan sinusoid hati (Junqueira & Carneiro, 1992). Sinusoid hati adalah saluran yang berliku-liku dan melebar, diameternya tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan pipih gelap, sel kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk
19
menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks ekstraseluler serta kolagen. Sinusoid hati disuplai darah oleh vena portal dan arteri hepatika yang membawa darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung (Mescher, 2009).
Gambar 4. Lobulus hati tikus. Pewarnaan: Hematosilin-Eosin; Perbesaran: 40x (Nawab, 2015)
Jaringan penghubung atau connective tissue berada mengelilingi lobulus hati, sedangkan vena sentralis terdapat ditengahnya. Pada jaringan penghubung tersebut terdapat bentukan segitiga yang berada diantara beberapa lobulus yang disebut dengan segitiga portal atau glisson triad. Segitiga portal terdiri atas percabangan vena portal (vena interlobularis), percabangan arteri hepatika (arteri interlobularis) dan percabangan duktur biliverus (duktus interlobularis). Duktus biliverus dilapisi oleh epitelium kuboid (berbentuk isoprismatik). Segitiga portal dikelilingi oleh
20
lempeng hepatosit (lamina) dan sinusoid yang berisi eritrosit (Kuehnel, 2003). Hepatosit (sel parenkhim hati) merupakan bagian terbesar organ hati dan bertanggung jawab terhadap peran sentralnya dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu, sedangkan sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendothelial tubuh (Frappier, 2007). Gambaran histologi hati beserta bagian-bagiannya dapat diamati pada Gambar 5.
Gambar 5. Gambaran histologi hati. Pewarnaan: Hematosilin-Eosin; Perbesaran; 400x (Thomas, 2015)
21
c. Mekanisme Kerusakan Hati Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Terdapat dua alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima 80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastro intestinal. Kedua, hati menghasilkan
enzim-enzim
yang
mempunyai
kemampuan
biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat menjadi bentuk lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan hati (Mardiastuti, 2002). Sebagian besar bahan toksik memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah terjadi proses penyerapan, bahan toksik tersebut dibawa oleh vena porta hati menuju hati. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika serta disalurkan melalui vena sentralis kemudian vena hepatika, hingga akhirnya ke dalam vena kava. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan (Mardiastuti, 2002). Obat-obatan merupakan bahan kimia yang sangat mungkin mempengaruhi fungsi organ dalam tubuh, terutama hati. Oleh karena itu beberapa obat dapat menyebabkan kerusakan pada hati yang dikenal dengan obat penginduksi kerusakan hati (drug induced liver injury) dan efeknya disebut hepatotoksik atau toksik ke hepar (hati).
22
Kerusakan hati yang diakibatkan obat-obatan ini merupakan faktor utama yang penyebab terjadinya kerusakan hati. (Intan, 2012; Sharma & Sharma, 2010). Kerusakan hati juga dapat ditimbulkan akibat konsumsi alkohol pada manusia yaitu menyebabkan cedera hati dan sirosis, akibat biotransformasi alkohol menjadi asetaldehida oleh alkohol dehidrogenase dalam sitosol hati. Bila kadar dalam darah meningkat juga oleh sitokrom P450. Nikotinamida Adenin Dinukleotida (NAD) mengalami reduksi menjadi NADH yang akan menghambat oksidasi asam lemak dan berbagai efek sekunder hati jika jumlahnya berlebihan (Ahadi, 2015). Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan salah satu zat kimia yang menimbulkan efek hepatotoksik. Karbon tetraklorida diubah oleh enzim sitokrom P450 yang terdapat dalam retikuloendoplasma hati menjadi trikometil (CCl3) suatu radikal bebas yang menyebabkan autolisis asam lemak yang terdapat pada fosfolipid membran sel (Ahadi, 2015). Bahan toksik dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati antara lain sebagai berikut: 1) Degenerasi hidropik Degenerasi hidropik merupakan manifestasi pertama yang terjadi hampir pada semua kerusakan sel hati. Degenerasi
23
hidropik hati atau disebut juga balloning degeneration dan granular degeneration merupakan pembengkakan sel yang disebabkan
oleh
akumulasi
cairan
intraseluler
(retikulum
endoplasma) pada sel hepatosit sebagai respon terhadap cedera sel. Secara mikroskopis, degenerasi hidrofik merupakan kebengkakan akut (Popp & Russell, 1991; Dorland, 2012). Pembengkakan sel ini merupakan
respon dari
hilangnya
homeostasis
sel
akibat
keracunan, infeksi bakteri, virus dan radikal (Myers & McGavin, 2007). Menurut Kumar dkk. (2014) degenerasi hidropik terjadi karena
akumulasi
air
di
dalam
sel
akibat
kegagalan
mempertahankan homeostatis ionik dan cairan, terhambatnya pembentukan adenosin trifosfat (ATP) dan sintesis protein. Dalam keadaan normal, energi yang berasal dari ATP yang digerakkan pompa Na+ (sodium pomp) di dalam membran sel untuk selanjutnya membawa Na+ keluar, namun karena terjadi kerusakan pada membran sel, proses transpor aktif tersebut menjadi terganggu. Hal tersebut mengakibatkan sel tidak mampu untuk memompa ion Na+ keluar sehingga konsentrasi ion Na+ dalam sel naik dan menyebabkan infulks air di dalam sel (Myers & McGavin, 2007).
24
Kumar dkk. (2014) juga mneyatakan bahwa sel dapat mengompensasi gangguan degenerasi hidropik tersebut dan jika rangsangan dihilangkan dihilangkan maka sel dapat kembali pada keadaan normal atau disebut bersifat reversibel. Karakteristik mikroskopik dari degenerasi hidropik yaitu terlihat ruang kosong, biasanya
mengelilingi
nukleus,
sitoplasma
yang
terwarnai
terdorong ke tepi sel (Smith & Jones, 2006). 2) Kongesti pembuluh darah hati Kongesti pembuluh darah hati merupakan istilah yang menunjukkan kelebihan volume darah pada suatu bagian pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi karena terlalu banyak darah yang masuk ke arteri atau terlalu kecilnya darah yang menuju vena. Secara mikroskopis kongesti dicirikan dengan adanya dilatasi pada dinding arteri atau kapiler yang disebabkan oleh banyaknya volume darah pada bagian tersebut (Jones dkk., 1997). Kongesti ini bersifat reversibel atau dapat kembali jika paparan penginduksi kerusakan dihilangkan. 3) Nekrosis sel hati Nekrosis sel hati merupakan kematian sel hati yang terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpapar toksin dan ditandai dengan kebengkakan sel, denaturasi protein, dan kerusakan organela. Nekrosis merupakan proses lanjutan dari
25
degenerasi. Nekrosis bersifat irreversible karena sel tidak mampu memperbaiki disfungsi mitokondria (Kumar dkk, 2014). Berdasarkan lokasinya nekrosis terbagi menjadi tiga yaitu nekrosis fokal, nekrosis zona, nekrosis submasif. Nekrosis sel hati fokal adalah nekrosis yang terjadi secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik (councilman) yang merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga pada daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hati adalah nekrosis sel hati yang terjadi pada regio-regio yang identik disemua lobulus hati, sedangkan nekrosis submasif merupakan nekrosis sel hati yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis) (Chandrasoma & Taylor, 2005). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Piknosis merupakan fase nekrosis awal yang ditandai dengan terjadi pengerutan inti sel sehingga inti terlihat lebih kecil dari ukuran normalnya dan berada dipinggir sel serta biasanya sel yang mengalami piknosis akan terlihat berwarna gelap. Karioreksis merupakan fase nekrosis
26
lanjutan yang ditandai dengan inti yang pecah dan menjadi bagianbagian yang kecil yang tersebar disekitar tempat sel tersebut berada sebelumnya. Kariolisis ditandai dengan kosongnya sel karena nukleus yang hilang dari dalam sel, sehingga sel hanya berupa rongga kosong atau bahkan bila kariolisis terjadi secara sempurna maka sel tersebut sudah tidak akan terlihat lagi bila diamati. (Young dkk., 2011; Sutjibto, 1998). Selain itu nekrosis dapat pula ditandai dengan susunan sel hepar (hepatosit) yang tidak teratur dan terjadinya peradangan. Pengamatan
morfologi
secara
makroskopik
dan
mikroskopik hati dapat mengambarkan potensi toksisitas dari obat atau bahan kimia. Informasi ini dapat menuntun untuk memahami mekanisme toksisitas atau aktivitas toksisitas. Kerusakan yang terjadi pada hati dapat digambarkan dengan beberapa parameter seperti uji kimia darah, serum, dan urin; histokimia dan imunohistokimia; pengamatan molekular untuk perubahan ekspresi gen; dan lain-lain (Hardisty & Brix, 2005). Pada pemeriksaan patologi makroskopik hati, warna dan penampilan sering dapat menunjukkan sifat toksisitas, seperti perlemakan hati atau sirosis. Berat organ merupakan petunjuk yang sangat peka dari pengaruh zat uji pada hati. Pada pemeriksaan
27
mikroskopik hati, dapat dideteksi berbagai kelainan histologi seperti perlemakan, nekrosis, sirosis, nodul hiperplastik dan neoplasia. Selain juga dapat mendeteksi perubahan dalam berbagai struktur subsel. Data tersebut jika digabungkan dengan data uji biokimia seperti penentuan kadar kreatinin, SGOT, SGPT, dan lain-lain dapat menggambarkan cara kerja toksikan (Hendriani, 2007).
4. Ekstraksi Ekstraksi atau penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain (Anonim, 1986). Penyarian merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pada proses penyarian terjadi proses pemindahan massa dimana zat aktif yang semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi larutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut (Anomin, 2000). Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang
28
dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus (Anonim, 2000). Cairan penyari dalam proses ekstraksi adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan penyari dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Anonim, 2000). Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah sebagai berikut: a. Selektifitas b. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan penyari tersebut c. Ekonomis d. Ramah lingkungan e. Keamanan (Anonim, 2000)
29
Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria berikut: a. Murah dan mudah diperoleh b. Stabil secara fisika dan kimia c. Bereaksi netral d. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar e. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki f. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat g. Diperbolehkan oleh peraturan (Anonim, 1986) Pada prinsipnya cairan penyari harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “pharmaceutical grade” (Anonim, 2000). Farmakope Indonesia Edisi III (1986) menetapkan bahwa sebagai cairan penyari yang dapat digunakan adalah air, etanol, serta campurannya. Jenis pelarut lain seperti metanol dan lain-lain (alkohol turunannya), heksana dan lain-lain (hidrokarbon alifatik), toluen dan lain-lain (hidrokarbon aromatik), kloroform (dan segolongannya), aseton umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khusus metanol, dhindari penggunaannya karena sifatnya yang toksik akut dan kronik, namun demikian jika dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negatif, maka metanol sebenarnya pelarut yang lebih baik dari etanol (Anonim, 2000).
30
Secara umum, jenis penyarian ada beberapa macam, yaitu: infundasi, maserasi, perkolasi, dan destilasi uap. Ketiga jenis penyarian tersebut sering kali dimodifikasi, seperti maserasi dapat disempurnakan dengan digesti (Anonim, 1986). Maserasi berasal dari bahasa Latin, macerare yang berarti merendam, yaitu teknik penyarian zat aktif menggunakan pelarut polar atau non polar, misalnya etanol encer, selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan dalam buku resmi kefarmasian (Anonim, 1995). Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yaitu dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam carian penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel (Anonim, 1986). Cairan penyari yang digunakan dalam proses penyarian dapat pula berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Bila cairan penyari yang digunakan adalah air maka untuk mencegah timbulnya kapang, untuk itu dapat ditambahkan bahan pengawet yang diberikan pada awal
31
penyarian (Anonim, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan teknik maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya yang lama dan penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986). Proses penyarian dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari pusat butir serbuk simplisia sampai ke permukaannya, maupun pada perbedaan konsentrasi yang terdapat di lapisan batas, sehingga suatu titik akan dicapai oleh zat-zat yang tersari jika ada daya dorong yang cukup untuk melanjutkan pemindahan massa. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar daya dorong tersebut hingga makin cepat penyarian. Cairan penyari harus dapat mencapai seluruh serbuk dan secara terus menerus mendesak larutan yang memiliki konsentrasi yang lebih tinggi keluar (Anonim, 1986). Hasil dari proses ekstraksi adalah ekstrak yang dapat berupa ekstrak kental maupun ekstrak cair. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995). Ekstrak cair adalah sediaan simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada
32
masing-masing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 gram simplisia yang memenuhi syarat (Anonim, 2000). Pada penelitian ini penyarian dilakukan dengan maserasi dan remaserasi terhadap serbuk buah mengkudu. Tujuan dilakukan maserasi adalah untuk menarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan cairan penyari etanol 96%. Etanol digunakan sebagai cairan penyari karena bersifat lebih selektif, tidak beracun, netral, mikroorganisme sulit tumbuh dalam etanol pada konsentrasi 20% ke atas dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit, sehingga proses maserasi dan pemekatan hingga diperoleh ekstrak kental akan lebih mudah (Anonim, 1986). Ekstrak buah mengkudu yang digunakan dalam penelitian ini juga merupakan ekstrak total, maka digunakan etanol untuk melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung dalam mengkudu. Setelah diperoleh ekstrak cair buah mengkudu dari proses penyarian, kemudian dilakukan pemekatan. Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solut (senyawa terlarut) secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya menjadi pekat/kental (Anonim, 2000).
33
F. LANDASAN TEORI Dari berbagai pustaka yang telah diuraikan sebelumnya, diketahui bahwa isoniazid (INH) sebagai first-line therapy dalam pengobatan tuberkulosis yang memiliki efek samping hepatotoksik. Untuk mengurangi efek samping tersebut maka dibutuhkan kombinasi pengobatan seperti menggunakan senyawa dari alam yang diketahui memiliki efek samping yang minimal. Senyawa alam yang diketahui memiliki efek farmakologi yang luas, salah satunya adalah buah mengkudu. Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (EEBM) memiliki aktivitas antioksidan yang dapat mencegah terbentuknya radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan hati sehingga EEBM berperan sebagai agen hepatoprotektor. Oleh karena itu EEBM dapat digunakan dalam kombinasi dengan INH untuk mengurangi efek samping kerusakan hati akibat penggunaan INH. Efek kombinasi EEBM dan INH ini akan diujikan aktivitas farmakologinya melalui penelitian in vivo dengan mengevaluasi parameter histopatologi hati.
G. HIPOTESIS Ekstrak etanolik buah mengkudu (EEBM) mempunyai aktivitas hepatoprotektor, sehingga dapat mengurangi efek samping kerusakan hati dari penggunaan isoniazid (INH) dalam terapi tuberkulosis.