BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sistem penghantaran obat transdermalatau transdermal drug delivery systems (TDDS) memudahkan penghantaran sejumlah bahan obat terapeutik melalui kulit dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik (Ansel dkk., 2011). Keuntungan rute ini antara lain menghindari kesulitan penyerapan obat di gastrointestinal yang disebabkan oleh pH saluran pencernaan, aktivitas enzim, interaksi obat dengan makanan, minuman, dan obat-obatan, menghindari metabolisme lintas pertama oleh hati, menghindari ketidaknyamanan terapi parenteral, obat yang memiliki waktu paruh pendek dapat diperpanjang pelepasannya melalui reservoir obat, terapi obat dapat dihentikan secara cepat dengan penghapusan aplikasi dari permukaan kulit (Ansel dkk., 2011). Bahan obat yang dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan transdermal harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya memiliki bobot molekul kurang dari 500 dalton, bioavailabilitas yang rendah serta waktu paruh pendek (Dhiman dkk., 2011). Diltiazem HCl merupakan obat golongan calcium channel blocker (CCB) yang mengalami metabolisme lintas pertama di hati dan memiliki bioavailabilitas rendah sekitar 40% (Lacy dkk., 2009), sehingga diltiazem HCl dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan transdermal agar dicapai bioavailabilitas yang lebih baik. Penelitian tentang sediaan film transdermal diltiazem HCl telah banyak dilakukan. Salah satu tipe film transdermal yang banyak digunakan dalam penelitian adalah sistem matriks, dimana obat terdispersi dalam matriks polimer (Dhiman dkk., 2011). Polimer etil selulosa merupakan polimer lipofilik yang sering dikombinasikan dengan polimer-polimer hidrofilik dalam pembuatan sediaan film transdermal dan dapat memberikan karakteristik fisik maupun pelepasan yang baik.
Penelitian oleh Limpongsa dan Kraisri (2008) menyebutkan bahwa kombinasi polimer hidroksipropil metilselulosa (HPMC):etil selulosa (EC) pada perbandingan 8:2 memiliki karakteristik fisik dan profil pelepasan obat diltiazem HCl yang baik.Penelitian lain yang dilakukan oleh Patel dkk., (2010) tentang sediaan film transdermal diltiazem HCl dengan polimer polivinil alkohol (PVA) memberikan profil pelepasan obat secara in vitro dan permeasi kulit secara ex vivo yang lebih baik daripada formulasi lain.Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian lebih lanjut tentang formulasi sediaan film transdermal menggunakan polimer polivinil alkohol (PVA) yang dikombinasikan dengan polimer etil selulosa (EC).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik fisik sediaan film transdermal diltiazem HCl dengan polimer polivinil alkohol dan etil selulosa? 2. Bagaimanakah permeasi sediaan film transdermal diltiazem HCldengan polimer polivinil alkohol dan etil selulosa?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui karakteristik fisik sediaan film transdermal diltiazem HCl dengan polimer polivinil alkohol dan etil selulosa. 2. Mengetahuipermeasi sediaan film transdermal diltiazem HCldengan polimer polivinil alkohol dan etil selulosa.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan informasi tambahan dan landasan ilmiah mengenai pembuatan sediaan film transdermal diltiazem HCl dengan variasi polimer polivinil alkohol dan etil selulosa.
E. Tinjauan Pustaka 1. Diltiazem hidroklorida
Gambar 1. Struktur kimia diltiazem HCl (USP30-NF25, 2007)
Diltiazem hidroklorida merupakan obat golongan calcium channel blocker (CCB) yang digunakan untuk membantu menurunkan tekanan darah tinggi. Diltiazem HCl dimetabolisme di hepar, memiliki onset 30-60 menit, bioavailabilitas sekitar 40%, waktu paruh 3 – 4,5 jam (Lacy dkk., 2009), dan bobot molekul 450,98 (Depkes RI., 1995). Mekanisme aksi diltiazem HCl yaitu menghambat ion kalsium yang masuk ke kanal kalsium dari otot polos pembuluh darah dan myocardium ketika depolarisasi, menghasilkan relaksasi di otot polos pembuluh darah jantung dan vasodilatasi jantung, meningkatkan aliran oksigen miokard pada pasien dengan vasospastic angina. Diltiazem HCl berupa serbuk hablur atau hablur kecil putih, tidak berbau, melebur pada suhu 210ºC disertai peruraian, mudah larut dalam kloroform, metanol,
asam format, dan dalam air, agak sukar larut dalam etanol mutlak, serta tidak larut dalam eter (Depkes RI., 1995). 2. Sistem penghantaran obat transdermal Sistem penghantaran obat transdermal atau film transdermal diperkenalkan untuk mengatasi kesulitan pemberian obat secara per-oral. Sistem penghantaran obat transdermal menawarkan banyak keuntungan dibandingkan injeksi maupun oral (Dhiman dkk., 2011). Beberapa keuntungan sistem penghantaran obat transdermal yaitumenghidari kesulitan penyerapan obat di gastrointestinal yang disebabkan oleh pH pencernaan, aktivitas enzim, interaksi obat dengan makanan, minuman, dan obatobatan;menghindari metabolisme lintas pertama di hati;menghindari ketidaknyaman terapi parenteral;obat yang memiliki waktu paruh pendek dapat diperpanjang pelepasannya melalui reservoir obat; serta terapi obat dapat dihentikan secara cepat dengan penghapusan aplikasi dari permukaan kulit (Ansel, 2011). Sistem penghantaran transdermal juga memiliki kelemahan,antaralain dapat menyebabkan iritasi lokal, eritema, gatal, reaksi alergi; dan hanya untuk obat yang memiliki berat molekul kurang dari 500 dalton (Dhiman dkk, 2011). Komponen-komponen utama dalam film transdermal adalah:
Gambar 2. Komponen filmtransdermal(Rani dkk., 2011)
a. Polimer Polimer merupakan tulang punggung penghantaran obat transdermal yang mengontrol pelepasan obat. Polimer yang digunakan harus non reaktif, tidak terurai pada penyimpanan, tidak beracun, dan biayanya tidak mahal. Contoh dari polimer
antaralain derivat selulosa, silikon, polivinil alkohol, polivinil klorida, polivinil pirolidon (Dhiman, 2011). b. Obat Rute transdermal biasanya digunakan untuk obat yang mengalami metabolisme lintas pertama oleh hepar, obat yang memiliki jendela terapi sempit, atau obat yang memiliki waktu paruh yang pendek (Dhiman, 2011). c. Peningkat penetrasi Peningkat penetrasi dapat meningkatkan permeabilitas stratum korneum sehingga dapat mancapai tingkat terapi obat yang lebih tinggi, yang termasuk golongan peningkat penetrasi adalah pelarut lipofilik dan senyawa penurun tegangan permukaan (Dhiman, 2011).Beberapa contoh peningkat penetrasi adalah dimetilsulfoksid (DMSO), asam oleat, propilen glikol, isopropil miristat, eugenol (Gaikwad, 2013). d. Perekat Perekatdapat di tempatkan pada bagian depan maupun belakang sediaan transdermal. Beberapa syarat perekatantara lain dapat melekat pada kulit, mudah untuk di hilangkan, tidak meninggalkan sisa pada kulit yang sukar dicuci, tidak mengiritasi kulit (Hafeez, 2013). Umumnya yang digunakan untuk perekat ada tiga golongan yaitu asilat, poliisobutilen, dan polisiloksan (Gungor, 2012). e. Backing laminates Backing laminates harus memiliki modulus rendah atau fleksibilitas yang tinggi (Dhiman dkk., 2011), digunakan untuk melindungi sediaan dari pengaruh luar saat pemberian serta menjamin keutuhan sistem dalam sediaan waktu penyimpanan, contohnya etilen vinil asetat, polietilen, polipropilen, polivinil klorid, dan poliuretan (Gungor, 2012).
f. Release liner Release liner berfungsi untuk melindungi film selama penyimpanan, liner harus dilepas sebelum digunakan (Dhiman dkk., 2011).Beberapa contohnyayaitu etilen vinil asetat, aluminium foil, silikon, fluorosilikon (Gungor, 2012). g. Bahan lain seperti plasticizer dan pelarut Plasticizer umumnya berupa cairan organik tidak mudah menguap atau padat yang mencair pada temperatur rendah, dan ketika ditambahkan dengan polimer menyebabkan perubahan karakteristik fisik dan kimia. Plasticizer dalam sistem transdermal digunakan untuk memperbaiki kerapuhan dari polimer dan memberikan fleksibilitas pada sediaan transdermal (Gungor, 2012). Berbagai macam pelarut digunakan untuk melarutkan atau mendispersikan polimer atau obat dalam preparasi sediaan film transdermal. Contoh pelarut yang sering digunakan antara lain kloroform, metanol, aceton, isopropanol dan diklorometan (Gungor, 2012). Tipe-tipe dari film transdermal antaralain: a. Sistem obat dalam perekat satu lapis Tipe ini lapisan perekat mengandung obat. Lapisan perekat tidak hanya berfungsi untuk merekatkan tetapi juga melepaskan obat ke dalam kulit. Lapisan perekat dikelilingi oleh liner dan backing(Hafeez dkk., 2013).
Gambar 3. Film transdermal sistem obat dalam perekat satu lapis (Hafeez dkk., 2013)
b. Sistem obat dalam perekat berlapis Filmtipe ini mirip dengan sistem obat dalam perekat satu lapis, tetapi mengandung lapisan pelepasan obat segera dan lapisan lainnya yang akan mengontrol pelepasan obat bersama dengan lapisan perekat. Lapisan perekat
bertanggungjawab terhadap pelepasan obat, pada film tipe ini terdapat temporary liner-layer dan permanent backing(Hafeez dkk., 2013).
Gambar 4. Filmtransdermal sistem obat dalam perekat berlapis (Hafeez dkk., 2013)
c. Sistem reservoir Sistem ini reservoirobat terdapat diantara imperviousbacking layer dan membran yang berfungsi untuk mengontrol pelepasan obat, dapat berupa micro porous atau non porous, dalam kompartemen reservoir, obat dapat berbentuk larutan, suspensi, gel, atau terdispersi dalam matriks polimer padat. Polimer perekat hipoalergenik dapat diterapkan sebagai permukaan luar membran polimer yang kompatibel dengan obat (Hafeez dkk., 2013).
Gambar 5. Filmtransdermal sistem reservoir(Hafeez dkk., 2013)
d. Sistem obat matriks dalam perekat Desain sistem matriksterdapat lapisan obat matriks semipadat yang mengandung larutan obat atau suspensi. Lapisan perekat pada tipe filmini mengelilingi lapisan obat yang sebagian melapisinya (Patel dkk., 2012).
Gambar 6. Film transdermal sistem obat matriks dalam perekat (Hafeez dkk., 2013)
1) Sistem obat dalam perekat Tipe film ini diformulasikan dengan mencampur obat dengan polimer perekat untuk membentuk reservoir obat, kemudian diikuti dengan penyebaran pada impervious backing layer menggunakan metode solvent
casting atau melting. Bagian atas reservoirterdapat lapisan polimer perekat untuk melindungi film. Sistem ini dapat menghantarkan lebih dari satu obat dalam satu film. Menawarkan keuntungan dalam mengurangi ukuran, tebal, dan meningkatkan kenyamanan saat penggunaan film (Alam dkk., 2013). 2) Sistem Dispersi Matriks Film tipe ini, obat terdispersi secara merata dalam polimer lipofilik atau hidrofilik. Obat berisi disk polimer yang diletakkan dalam occlusive base platepada kompartemen yang dibuat dari impermeable backing layer. Obat tersebut tersebar melingkar sehingga membentuk pinggiran perekat (Alam dkk., 2013). e. Vapour Patch Film tipe ini, lapisan perekat tidak hanya berfungsi untuk menempelkan berbagai lapisan, tetapi juga berfungsi untuk melepaskan uap. Film jenis ini tergolong baru di pasaran, biasanya digunakan untuk melepaskan minyak esensial padadecongestion. Jenis lainnya yang terdapat dipasaran contohnya digunakan untuk meningkatkan kualitas tidur dan mengurangi kebiasaan merokok (Alam dkk., 2013). f. Sistem mikroreservoir Sistem mikroreservoir merupakan kombinasi dari sistem reservoir dan sistem dispersi matriks. Larutan polimer larut air dicampur dengan obat untuk membentuk sistem reservoir, kemudian larutan yang telah homogen disebarkan dalam
polimer
lipofilik
untuk
mikroskopik(Alam dkk., 2013).
membentuk
ribuan
reservoir
obat
Gambar 7. Filmtransdermal sistem mikroreservoir (Alam dkk., 2013)
3. Anatomi dan fisiologi kulit Kulit adalah organ terbesar dari tubuh, sekitar 15% dari total berat badan orang dewasa (Kolarsick dkk., 2009).Kulit mempunyai banyak fungsi yaitu: di dalamnya terdapat ujung saraf peraba yang membantu mengatur suhu dan mengendalikan hilangnya air dari tubuh dan mempunyai sedikit kemampuan ekskretori, sekretori, dan absorbsi (Pearce, 2002). Kulit manusia terdiri dari tiga lapisan jaringan, yaitu epidermis, dermis, dan jaringan subkutan (Kolarsick dkk., 2009).
Gambar 8. Jaringan-jaringan pada kulit (Aulton dkk., 2013)
a. Epidermis Epidermis merupakan beberapa lapisan yang mengandung berbagai jenis sel, termasuk keratinosit, melanosit, dan sel Langerhans. Keratinosit pada lapisan basal (stratum basale) terbagi dan bermigrasi keluar membentuk stratum spinosum, kemudian stratum granulosum, dan akhirnya terbentuk stratum korneum (Aulton dkk., 2013). b. Dermis Dermis memiliki tebal 3-5 mm, dan merupakan komponen utama dari kulit manusia. Dermis terdiri dari jaringan yang sebagian besar berupa kolagen dan elastin
di gel mukopolisakarida, kombinasi ini menyediakan lingkungan berair yang mirip dengan hidrogel. Dermis memiliki beberapa strukturpelengkap di ujung saraf tertentu yaitu pilosebaseus (folikel rambut dan kelenjar sebaseus), ecrin dan kelenjar keringat apocrin (Aulton dkk., 2013). c. Jaringan subkutan Jaringan subkutan disebut juga hipodermis, jaringan ini tidak benar-benar dianggap sebagai bagian dari jaringan ikat. Jaringan subkutan terdiri dari lapisan bertekstur longgar, putih, jaringan ikat fibrosa yang mengandung darah dan getah bening (Alam dkk., 2013). Jaringan subkutan merupakan bantalan dari epidermis dan dermis,tempat lemak diproduksi dan disimpan, jaringan subkutan ini juga bertindak sebagai insulator panas dan shock absorber(Latheeshjlal dkk., 2011). Jalur permeasi transdermal yaitu:
Gambar 9. Jalur permeasi transdermal (Aulton dkk., 2013)
a. Absorbsi Perkutan Ketika obat secara topikal digunakan, obat terlepas dari pembawa dan berdifusi ke stratum korneum atau sebum yang berisi saluran dari kelenjar pilosebaseus. Pergerakan proses difusi akan terus berlanjut masuk ke epidermal atau dermal, dengan jalur ini akan timbul gradien konsentrasi hingga mencapai mikrosirkulasi pada kulit, yaituobat akan dibawa oleh aliran kapiler dan didistribusikan ke seluruh tubuh (Gupta dkk., 2012).
b. Absorbsi Transepidermal Jalur transepidermal bertanggungjawab terhadap difusi pada kulit. Hambatan utama pada jalur ini terdapat di stratum korneum. Permeasi melalui rute transepidermal melibatkan partisi ke dalam stratum korneum, kemudian berdifusi melewati jaringan ini. Sebagian besar zat menyebar melalui stratum korneum melalui rute intercellular lipoidal. Molekul lipofilik akan dengan mudah berdifusi melalui wilayah intercellular horny layer, kemudian obat akan masuk ke lapisan epidermis dan mencapai pembuluh darah dengan segera. Jalur ini tidak dapat dilalui oleh molekul ion dan molekul elektrolit non polar. Rute ini dianggap sebagai jalur utama untuk permeasi obat melalui stratum korneum (Gupta dkk., 2012). c. Absorbsi Transfolicular (shunt pathway) Kelenjar sebaseus dan ecrin merupakan pelengkap kulit yang dapat digunakan sebagai jalur sekunder permeasi untuk melewati stratum korneum. Molekul obat yang kontak dengan permukaan kulit akan berpenetrasi melalui tiga jalur potensial, antaralain kelenjar keringat, folikel rambut, dan jaringan sebaseus (disebut shunt atau rute appendageal) atau langsung menembus stratum korneum. Rute shunt follicular bertanggungjawab untuk permeasi presteady state molekul polar dan fluks dengan molekul polar yang besar atau ion-ion yang memilliki masalah dalam berdifusi melewati stratum korneum (Gupta dkk., 2012). 4. Transport obat melalui kulit Berbagai macam lapisan yang kompleks dari kulit dan banyak faktor yang mempengaruhi penghantaran obat transdermal, timbul prinsip yang sulit untuk menjabarkan prosesnya yang kompleks, tetapi ada prinsip sederhana yang dapat digunakan untuk memahami prinsip dari permeasi melewati membran, termasuk kulit
dan formulasi bentuk sediaan transdermal serta penghantaran obat topikal. Difusi pasif yaitu terjadi proses pemindahan molekul dari satu tempat menuju tempat yang konsentrasinya
lebih
kecil,
kemudian
transport
obatnya
dapat
dijabarkan
menggunakan hukum Fick yang pertama dari difusi (Aulton dkk., 2013). J = dM S.dt
(1)
Dimana J adalah fluks yaitu sejumlah massa zat (M) yang mengalir melalui suatu satuan penampang melintang (S) dalam satu satuan waktu (t) (Sinko, 2011). Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi, persamaannya: J = - D dC dx
(2)
D adalah koefisien difusi, C = konsentrasi, dan x = jarak dari pergerakan tegak lurus terhadap permukaan batas tersebut. Tanda negatif dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa difusi terjadi dalam arah berlawanan dengan naiknya konsentrasi, dapat dikatakan bahwa difusi berjalan seiring dengan menurunnya konsentrasi, jadi aliran selalu merupakan bilangan positif ( Sinko, 2011). Hukum Fick yang pertama ada tiga variabel yaitu J, C, dan x. J merupakan variabel ganda, dm/dt, dimana m adalah jumlah dan t waktu, untuk mengurangi jumlah variabel digunakan hukum Fick yang kedua: dC= D d2C dt dx2
(3)
Banyak desain penelitian yang menggunakan membran untuk memisahkan dua kompartemen, dengan konsentrasi gradien selama menjalankan penelitian dan mempertahankan kondisi sink pada kompartemen reseptor. Jumlah (m) kumulatif dari difusan yang melewati membran per satuan luas sebagai fungsi waktu. Pada waktu yang lama plot mendekati garis lurus dan dari kemiringannya diperoleh fluks yang stabil dm/dt, persamaannya (Aulton dkk., 2001):
dm= D Co K dt h
(4)
Gambar 10. Profil difusi molekul melalui kulit (Aulton dkk., 2001)
Coadalah konsentrasi obat yang konstan pada larutan donor, K adalah koefisien partisi dari larutan diantara membran dan bathingsolution, h merupakan tebal membran. Jika alur steady-state diekstrapolasikan terhadap sumbu waktu, intersep diperoleh saat m = o adalah waktu lag (L) (Aulton dkk., 2001): L = h2 6D
(5)
D dapat dihitung apabila tebal (h) diketahui. Kadang-kadang membran biologi (misalnya kulit) tidak bisa untuk memisahkan nilai D dari K, sehingga bisa menggunakan parameter koefisien permeabilitas (P), dimana P = KD atau P = KD/h(Aulton dkk., 2001). 5. Spektrofotometri ultraviolet Spektrofotometri adalah teknik yang menggunakan cahaya untuk mengukur konsentrasi suatu senyawa kimia (Harris, 2007).Spektrum ultraviolet(uv) diperoleh dengan mengukur intensitas penyerapan radiasi monokromatik di berbagai panjang gelombang melalui suatu larutan yang berada dalam kuvet. Panjang gelombang uv berada pada 190–400 nm (Kellner dkk., 1998). Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Dalam hukum Lambert-Beer tersebut, ada beberapa pembatasan yaitu sinar yang digunakan
dianggap monokromatis, penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama, senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut, tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforesensi (Gandjar dan Rohman, 2012).
6. Monografi bahan a. Polivinil alkohol Polivinil alkohol (PVA) merupakan polimer hidrofilik yang memiliki gugus hidroksil dalam strukturnya, hal ini dikarenakan polimerisasi vinil asetat menjadi polivinil asetat (PVAc) yang kemudian dihidrolisis untuk mendapatkan PVA (Kadajji dan Betageri., 2011). PVA berfungsi sebagai coating agent, pelumas, untuk menstabilkan serta meningkatkan viskositas. PVA berbentuk bubuk granular, berwarna putih sampai krem (Rowe dkk., 2009). PVA bersifat sangat polar, larut dalam pelarut hidrofilik seperti air, dimetilsufoksida (DMSO), etilen glikol (EG), dan N-Metil pirolidon (NMP) (Kadajji dan Betageri, 2011).
Gambar 11. Struktur kimia polivinil alkohol(Rowe dkk., 2009)
b. Etil selulosa Etil selulosa (EC) merupakan polimer lipofilik yang secara luas digunakan dalam farmasi untuk sediaan oral maupun topikal. EC digunakan untuk coating agent, flavouring agent, bahan pengikat dan pengisi tablet, serta untuk meningkatkan viskositas. EC berbentuk bubuk berwarna putih, free-flowing, berasa
hambar. EC praktis tidak larut dalam gliserin, propilenglikol dan air (Rowe dkk, 2009).
Gambar 12. Struktur kimia etil selulosa(Rowe dkk., 2009)
c. Isopropil miristat Isopropil miristat (IPM) merupakan emolien tidak berminyak yang mudah diserap oleh kulit. IPM digunakan sebagai peningkat penetrasi untuk formulasi sediaan transdermal. IPM berupa cairan tidak barbau, tidak berwarna, memiliki viskositas rendah yang mengental pada suhu ± 5ºC. IPM larut dalam aceton, kloroform, etanol 95%, etil asetat, lemak, minyak tidak menguap, cairan hidrokarbon, toluen, dan lilin, serta praktis tidak larut dalam gliserin, glikol, dan air (Rowe dkk., 2009).
Gambar 13. Struktur kimia isopropil miristate(Rowe dkk., 2009)
d. Propilenglikol Propilenglikol (PG) telah banyak digunakan sebagai pelarut, ekstraktan, dan pengawet dalam berbagai sediaan parenteral maupun nonparenteral. PG umumnya digunakan untuk plasticizer. PG berupa cairan tidak berwarna, kental, berbau manis, rasa sedikit pedas menyerupai gliserin. PG larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin, dan air, larut pada 1 dalam 6 bagian eter, tidak larut dalam
minyak-minyak maupun mineral, tetapi dapat larut dalam beberapa minyak esensial (Rowe dkk, 2009).
Gambar 14. Struktur kimia propilenglikol(Rowe dkk., 2009)
F. Landasan Teori Sistem penghantaran obat transdermal, merupakan bentuk sediaan obat yang dirancang untuk memberikan terapi pengobatan melalui kulit. Penghantaran transdermal memiliki beberapa keunggulan dibandingkan obat konvensional, diantaranya menghindari metabolisme lintas pertama di hati, serta dapat mengontrol pelepasan obat yang memiliki waktu paruh pendek (Hafeez dkk., 2013).Diltiazem HCl termasuk obat golongan calcium channel blocker (CCB) yang memiliki bioavailabilitas sekitar 40% , dan waktu paruh 3 - 4,5 jam (Lacy dkk, 2009)dan bobot molekul 450,98 (Depkes RI., 1995). Karakteristik ini menjadikan diltiazem HCl dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan film transdermal. Polimer merupakan tulang punggung penghantaran obat transdermal yang mengontrol pelepasan obat. Polimer yang sering digunakan dalam pembuatan sediaan film transdermal antaralain polimer larut air (hidrofilik) dan polimer tidak larut air (lipofilik). Polimer etil selulosa adalah salah satu polimer lipofilik yang sering dikombinasikan dengan polimerpolimer hidrofilik dalam pembuatan sediaan film transdermal dan dapat memberikan karakteristik fisik maupun pelepasan yang baik. Penelitan yang dilakukan oleh Patel dkk., (2010) tentang sediaan film transdermal dengan polimer polivinil alkohol (PVA) memberikan profil pelepasan obat secara in vitro dan permeasi kulit secara ex vivo lebih baik daripada formulasi dengan polimer lain. Berdasarkan penelitian Sarfaraz dkk., (2012)
film
transdermal dengan polimer polivinil alkohol (PVA) memberikan hasil uji permeasi selegilin HCl yang lebih baik daripada polimer lainnya yaitu 90,08 % selama 24 jam.
G. Hipotesis Kombinasi polimer polivinil alkohol dan etil selulosa akan memberikan perbedaan terhadap karakteristik fisik dan permeasi sediaan film transdermal diltiazem HCl.