BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum demikian ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu ciri dari negara hukum adalah menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Perlindungan hak asasi manusia salah satu di antaranya yaitu perlakuan yang sama bagi setiap warga negara sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disingkat UU No. 48 Tahun 2009), dijelaskan bahwa: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip
penting
negara
hukum
adalah
adanya
jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
1
Peradilan yang bebas sebagaimana Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, dipertegas oleh Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009, bahwa ”Kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka tidak terdapat penjelasan lebih lanjut, hanya saja dalam memutuskan suatu perkara hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009. Negara hukum memberikan perlakuan yang sama dalam hukum di antaranya adalah suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap
terdakwa
diterapkan
ketentuan
yang
paling
menguntungkannya sebagaimana Pasal 1 ayat (2) Kitab Undangundang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP). Sejalan dengan konsep negara hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegang teguh asas
2
“Rule of Law”. Untuk menegakkan Rule of Law para hakim dan mahkamah pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Supremasi Hukum b. Equality Before the Law c. Human Rights
Ketiga hal tersebut adalah konsekuensi logis dari prinsip-prinsip negara hukum, yakni : a. Asas Legalitas (Principle of Legality) b. Asas Perlindungan HAM (Principle of Protection of Human Rights) c. Asas Peradilan Bebawd (Free Justice Principle)1
Berdasarkan pada fungsi peradilan diatas maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya perilaku hakim menjadi salah satu barometer utama untuk melihat keberhasilan, keobyektifan, dari proses penegakan hukum yaitu terwujud dalam putusannya, sehingga dapat untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan undang-undang. Aparat penegak hukum menjadi titik netral dalam proses penegakan hukum yang harus memberikan teladan dalam menjalankan hukum dan undang-undang. Dalam praktek, prinsip-prinsip peradilan yang bebas tidak selalu konsisten diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan praktek peradilan, sering terjadi kesenjangan dalam putusan terhadap pelaku tindak pidana sehingga bermunculan isu yang seringkali muncul 1
Moh. Kusnardi dan Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1983, Hal. 39.
3
seperti, mafia peradilan, menyuap, konspirasi, KUHP disingkat menjadi (Kasih Uang Habis Perkara), dan istilah-istilah lain. Isu seperti ini akan muncul ketika terjadi ketidakadilan dalam proses peradilan. Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan menyolok dalam proses penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama, biasa disebut disparitas pidana. Adanya disparitas pidana ini menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Paling tidak ada dua aspek yang menonjol, yaitu tentang hakhak apa yang menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan dan dampak akan akibat apa yang muncul dari disparitas pidana. Kekuasaan kehakiman sebagai suatu kekuasaan Negara yang bebas dan merdeka di satu sisi membawa dampak yang positif terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini, hakim menjadi suatu badan yang independen dan putusannya tidak dapat dipengaruhi oleh suatu badan-badan atau kekuasaan yang lain. Namun di sisi lain, kebebasan hakim ini dalam menjatuhkan putusan di lain pihak juga membawa dampak negatif yaitu munculnya disparitas
pidana
itu
sendiri.
Disparitas
pidana
(Disparity
of
Sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap jenis tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat dipertimbangkan (Offence of Comparable Seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.
4
Sepintas terlihat bahwa disparitas pidana adalah suatu bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim terhadap para pencari keadilan. Masyarakat tentunya akan membandingkan putusan hakim secara general dan menemukan bahwa terjadi disparitas dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas ini sendiri membawa problematika dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda, disparitas merupakan bentuk diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tetapi di satu sisi lain pemidanaan yang berbeda, disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana termasuk masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan pandangan negatif oleh masyarakat terhadap institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam
bentuk
ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam
masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dalam sistem peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu menimbulkan ketidakseimbangan dalam putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep Rule of Law yang
dianut
oleh
negara
Indonesia,
5
dimana
pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yaitu institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika masyarakat tidak percaya lagi pada penegakan hukum di Indonesia. Tidak sampai disitu saja, konsep equality before the law yang menjadi salah satu ciri dari negara hukum pun masih perlu dipertanyakan terkait dengan realita yang ada, dimana disparitas pidana tampak begitu nyata dalam penegakan hukum. Disparitas pemidanaan merupakan masalah pada pemidanaan. Fakta tersebut merupakan bentuk dari perlakuan peradilan yang tidak sama terhadap sesama pelaku tindak pidana sejenis yang kemudian diberikan hukuman yang berbeda. Misalnya dalam kasus pencabulan terhadap anak laki-laki yang sifat dan karakteristiknya sama, tetapi hakim menjatuhkan pidana yang berbeda. Maraknya kasus pencabulan terhadap anak-anak, dewasa ini menjadi perhatian bagi masyarakat terkhusus bagi para aparat penegak hukum. Undang-undang perlindungan anak yang diharapkan mampu
memberikan
perlindungan
terhadap
anak
kini
mulai
dipertanyakan eksistensinya apalagi kasus tentang penganiayaan hingga pencabulan terhadap kian hari kian marak. Putusan terhadap para pelaku pencabulan anak ini terkhusus pada pencabulan terhadap anak laki-laki juga kian bervariasi. Hal ini dapat diliat pada contoh kasus pencabulan terhadap anak Tahun 2002
6
di Pantai Lovina Singaraja, yang melibatkan Mario Manara yang mencabuli puluhan anak, yang divonis 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Singaraja. 2 Kasus serupa terjadi Tahun 2004 di Bali yang melibatkan seorang mantan Diplomat Australia Brown William Stuart alias Tony, yang melakukan pencabulan terrhadap belasan anak dan dijatuhi vonis 13 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Amlapura.3 Kasus pencabulan terhadap anak laki-laki tidak hanya terjadi di Bali tetapi juga terjadi di Makassar hal ini berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Makassar
tahun 2007 yang melibatkan Michael
Johson sebagai pelaku, pengadilan menjatuhkan putusan 3 (tiga) tahun penjara dengan dakwaan mencabuli 4 (empat) anak di bawah umur. Hal serupa dengan Achmad Yolan yang divonis 4 (empat) tahun penjara dan pidana denda sebanyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 2(dua) pengadilan nomor
bulan kurungan berdasarkan putusan
816/Pid.B/2010/PN Mks atas tindak pidana
pencabulan terhadap anak. Selain itu kasus yang sama terjadi 2010 di Pengadilan Negeri Makassar yang melibatkan Nuhung Dg Ngitung yang divonis penjara 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan penjara dan denda
2
http://article.wn.com/view/2013/01/15/Hakim_didesak_hukum_berat_WN_Belanda_pela ku_pencabulan_anak/ Diakses pada hari Sabtu Tanggal 19 April 2014 3 http://en.tempo.co/read/news/2008/08/08/058130140/Turis-Australia-Pelaku-PedofiliaResmi-Jadi-Tersangka Diakses pada hari Sabtu Tanggal 19 April 2014
7
sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan. 4 Bervariasinya lamanya pemidanaan terhadap para pelaku kasus tindak pidana pencabulan terhadap anak laki-laki yang terjadi di Pengadilan Negeri Makassar menimbulkan terjadinya disparitas pemidanaan. Atas dasar pemikiran dan uraian tersebut diatas, Penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut permasalahan mengenai disparitas pidana dan menuangkannya dalam sebuah skripsi dengan judul “ Disparitas Penjatuhan Sanksi Pidana Dalam Putusan Perkara Pencabulan Terhadap Anak di Pengadilan Negeri Makassar”.
B. Rumusan Masalah Dari
latar
belakang
masalah
tersebut,
maka
rumusan
permasalahannya adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi adanya disparitas penjatuhan pidana dalam perkara pencabulan terhadap anak di Pengadilan Negeri Makassar? 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara pencabulan terhadap anak di Pengadilan Negeri Makassar?
4
Putusan Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2007 dan 2011
8
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya disparitas penjatuhan pidana dalam perkara pencabulan terhadap anak di Pengadilan Negeri Makassar. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara pencabulan anak di Pengadilan Negeri Makassar.
D. Kegunaan Penelitian Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktikal. 1. Kegunaan Teoritis : a. Hasil
dari
penelitian
ini
dapat
memberikan
sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya, serta mengurangi kasus tindak pidana pelecehan seksual (pencabulan terhadap anak). b. Hasil
Penelitian
ini
dapat
memberikan
referensi
dan
pengetahuan bagi penulis sendiri dan juga bagi kalangan akademisi lainnya terutama bagi mahasiswa fakultas hukum.
9
2. Kegunaan Praktikal a. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak terkait dalam hal penanggulangan tindak pidana pencabulan terhadap anak di tengah-tengah masyarakat. b. Sebagai bahan informasi dan masukan dalam rangka proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat untuk mencegah terjadinya peristiwa yang serupa. c. Sebagai
bahan
masukan
bagi
aparat
penegak
hukum,
khususnya bagi hakim Pengadilan Negeri Makassar dalam menjatuhkan Putusan terhadap perkatra tindak pidana yang sama.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Disparitas Pidana A.1. Pengertian Disparitas Pidana Masalah disparitas pemidanaan menjadi pertanyaan utama yang berkaitan erat dengan pertanyaan apakah suatu putusan hakim itu sudah memenuhi rasa keadilan. Muladi menyebutkan disparitas pidana sebagai “ disturbing issue” dalam berbagai sitem peradilan pidana.5 Sementara
Harkristuti
Harkrisnowo
menyatakan
bahwa
disparitas pidana sebagai “universal issue” yang kerap melanda berbagai sistem peradilan pidana. Masalah disparitas pemidanaan muncul apabila kita memperbandingkan penjatuhan sanksi pidana satu putusan hakim dengan putusan hukum lainnya.6 Makna disparitas atau disparity berarti Inequality; a defference in quantity or quantity between two or more things.7 Alfred Blumstein mendefinisikannya sebagai a form of anequal treatment that is of often of unexplained cause and is at least incongruous, unfair and
5
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet.1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,1995. Hal.80. 6 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar di universitas Indonesia, Depok, 2003. Hal.7. 7 Bryan A.Garner (Ed). Black’s Law Dictionary, 7 edition, St.Paul, Minn,2000, Hal.381.
11
disadvantaging in consequence.8 Makna disparitas pemidanaan akan tercermin dari putusan jumlah pidana yang dijatuhkan atas satu pelanggaran hukum yang sama. Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.9 Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih
spesifik
dari
pengertian
itu,
menurut
Harkristuti
Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:
1. Disparitas antar tindak pidana yang sama ; 2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama ; 3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim ; 4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. 10
8
Eva Achjani Zulfa. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Penerbit Lubuk Agung, Bandung, 2011. Hal.31. 9 Muladi-Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. 1984, Hal. 52. 10 Harkristuti Harkrisnowo, Op.Cit. Hal.7
12
Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan wadah dimana disparitas tumbuh dan menjarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan
mengenai
ruang
lingkup
tumbuhnya
disparitas
ini
menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.
Disparitas pidana dapat terjadi pada penghukuman terhadap mereka yang melakukan bersama suatu delik (co’defendant). Dalam hal ini, maka disparitas putusan pengadilan atau disparitas pidana mempunyai damapak yang dalam, karena di dalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak Negara untuk memidana.
Terjadinya disparitas dalam putusan pengadilan dikarenakan sistem peradilan di Indonesia yang memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana. Namun demikian kebebasan tersebut dibatasi dengan adanya sistem pembuktian negatif ( negatief wettelijk) yang dianut di Indonesia, dimana selain berdasarkan keyakinan hakim juga harus didukung dengan alat-alat bukti yang cukup yang ditentukan dalam undang-
13
undang. Selain itu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Dalam praktek peradilan sehari-hari sifat yang baik dari terdakwa direflesikan ke dalam faktor-faktor yang meringankan terdakwa (Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).
Faktor-faktor yang meringankan antara lain yaitu berlaku sopan dan
mengakui
perbuatannya.
Faktor-faktor
yang
memberatkan
misalnya, memberi keterangan yang berbelit-belit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan Negara dan sebagainya. Terhadap hal-hal atau keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa merupakan suatu keharusan yang perlu diatur dalam suatu putusan pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
A.2. Faktor Penyebab Disparitas Pidana
Kompleksitas
dari
kegiatan
pemidanaan
serta
adanya
pengakuan bahwa masalah pemidanaan hanyalah merupaakn salah satu sub sistem penyelenggaraan hukum pidana, maka sebelumnya dapat diperkirakan bahwa faktor-faktor tersebut akan bersifat multi dimensional serta multi kausal. Bersifat multidimensional berarti bahwa
14
faktor-faktor tersebut tidak terbatas ruang dan waktu tertentu saja tetapi memiliki segi jangkauan yang lebih jauh termasuk segi social, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Bersifat multi kausal bahwa faktor-faktor penyebab disparitas pidana ini bukan hanya ditimbulkan oleh satu penyebab saja akan tetapi penyebab disparitas pidana ini meliputi berbagai segi yang membawa pengaruh terjadinya disparitas tersebut.
Beberapa faktor yang menjadi pemicu timbulnya disparitas pidana antara lain sebagai berikut :
a. Masalah Falsafah Pemidanaan
Dalam KUHP perumusan pemidanaan yang dianut dalam Wvs yang diundangkan tahun 1881 itu adalah pembalasan (werking der vergelding). Falsafah ini pada tahun 1886 ditinggalkan karena pengaruh aliran klasik baru yang mendapat ilmu yang baru muncul waktu itu yaitu psikologi yang menghendaki agar pidana yang dijatuhkan hakim itu haruslah sesuai pula dengan keperibadian si pelanggar, asas ini kemudian dikenal sebagai asas individualisasi.
Ketentuan mengenai hal tersebut tercantum dalam pasal baru yang disisipkan pada tahun 1927 yaitu Pasal 14 a, dalam memori van toelichting dari Wvs tersebut dijelaskan bahwa
15
“dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu, kerugian apakah yang ditimbulkan,bagaimanakah sepak terjang si pembuat dulu, apakah kesalahan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukah suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak-watak jahat yang sebelumnya sudah tampak, batas antara maksimal dan minimal harus ditetapkan seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan diatas itu dijawab dengan merugikan terdakwa, maksimal pidana yang biasa itu sudah memadai“. 11
Dengan adanya perubahan teori pemidanaan yang dianut Sudarto
12
mengatakan, “MvT ini berlaku juga untuk WvS kita,
karena Wvs ini meneladani Wvs Belanda tahun 1886 tersebut dengan
penyimpangan
penyimpangan
yang
disesuaikan
dengan keadaan khas hindia belanda sebagai Negara jajahan juga
karena
keadaan
masyarakatnya
berlainan.
Namun
karakteristiknya atau jiwa dan falsafah yang menjadi dasar adalah sama.”
11
Eddy Djunaedy, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana, Penerbit Alumni : Bandung, 2008. Hal. 7 12 Ibid. Hal. 7
16
Hukum pidana yang berlaku sekarang meskipun hasil dari aliran neo klasik dengan adanya pengaruh aliran modern disebut juga schuld strafrecht (hukum pidana kesalahan) yang mengandung arti bahwa untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat itu. Jadi meskipun dalam wvs kita tidak ada pasal yang memberikan pedoman pemberian pidana tetapi dengan adanya penjelasan tersebut diatas maka dapat juga dikatakan ada pedoman yang memberi ukuran kepada hakim dalam menentukan pidana.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa ada beberapa bentuk atau macam falsafah atau tujuan pemidanaan yaitu berupa pembalasan
(aliran
klasik)
dan
berupa
pembinaan
dan
perbaikan terpidana menurut aliran modern. Menurut Andi Hamzah13,tujuan pidana yang berkembang dari dulu sampai kini telah menjurus pada arah yang lebih rasional. Yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri atau pihak yang dirugikan atau korban kejahatan. Tujuan yang dipandang kuno ialah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang 13
Andi Hamzah. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2008 Hal 15-16
17
disebut terakhir yang paling modern dan popular dewasa ini. Bukan saja tujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum. Pandangan ini merupakan salah satu pemikiran dari ahli hukum Indonesia bahwa filosofi pemidanaan yang menekankan pada aspek balas dendam (retributive) telah ditinggalkan oleh sistem hukum di Indonesia.
Filosofi pemidanaan di Indonesia lebih dititikberatkan pada usaha rehabilitasi dan reintegrasi social bagi pelaku tindak pidana. Hal ini pun telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the Guardian of Constitution yang memutuskan dalam putusan 013/PUU-1/2003, Bahwa asas non retroaktif lebih mengacu kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di Negara kita yang lebih merujuk pada asas preventif dan edukatif.14
Jadi untuk menghindari terjadinya disparitas pidana yang menyolok maka sebaiknya dalam KUHP kita yang akan datang, falsafah pemidanaan ini dirumuskan dengan jelas. Dengan kata lain falsafah yang kita anut harus dirumuskan secara tertulis dan
14
Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, Kompas Media Nusantara, Jakarta,2009. Hal. 63
18
diaplikasikan
secara
konsisten
dengan
apa
yang
telah
ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
b. Pedoman Pemidanaan Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Sudarto15 mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat sudarto ini dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional. Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana, maka didalam konsep rancangan KUHP yang baru Buku I tahun 2013, pedoman pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut: Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan: 1. Kesalahan pembuat tindak pidana; 15
Eddy Djunaedy. Op.Cit. Hal.9
19
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana ; 3. Sikap batin pembuat tindak pidana ; 4. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan ; 5. Cara melakukan tindak pidana ; 6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana ; 7. Riwayat hidup, keadaan social dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana ; 8. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat ; 9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban ; 10. Pemaafan dari korban dan/ atau keluarganya ; 11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.16
c. Masalah Patokan Pidana
Hal lain yang dapat menimbulkan disparitas pidana adalah ketidakadaan patokan pemidanaan dalam perundang-undangan kita maupun dalam praktek di pengadilan. Tanpa pedoman yang memadai dalam undang-undang hukum pidana dikhawatirkan masalah disparitas pidana dikemudian hari akan menjadi lebih parah dibandingkan dengan saat ini.
Senator Edward M. Kennedy, seperti yang dikutip Eddy Djunaedi17 mengatakan bahwa dengan tidak adanya pedoman dalam hukum pidana, keanekaragaman pidana akan terjadi
16 17
Rancangan KUHP Buku Kesatu Tahun 2013 Eddy Djunaedy. Op.Cit. Hal.12
20
walaupun hakim-hakim akan melaksanakan tugas pemidanaan dengan penuh tanggung jawab dan secermat mungkin.
Maksud dari patokan pemidanaan menurut Edward M. Kennedy adalah pidana rata-rata yang dijatuhkan hakim dalam wilayah pengadilan tertentu, misalnya wilayah pengadilan tinggi Jakarta. Dengan demikian pidana yang terlalu ekstrim, terlalu berat, atau terlalu ringan dapat dibatasi. Patokan tersebut tidak bersifat mutlak. Setiap majelis hakim bebas untuk menyimpang dari patokan tersebut asal saja dengan memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya.
d. Faktor yang bersumber dari hakim sendiri 1. Faktor eksternal yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber pada undang-undang Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI memberikan landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini telah memberikan jaminan terhadap kebebasan lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya, kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis pidana, karena tersedia jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam ketentuan
21
perundang-undangan pidana. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 ayat (2) KUHP, yang menyebutkan bahwa “pidana penjara waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut turut. Sedangkan dalam ayat (4)nya diatur bahwa pidana penjara selam waktu tertentu sekali sekali tidak boleh melebihi dua puluh tahun”. Demikan pula dengan halnya pidana kurungan dalam Pasal 18 ayat (1) KUHP, dinyatakan bahwa “ Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, sedangkan dalam pasal 18 ayat 3 KUHP diatur bahwa pidana kurungan sekali kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”. Didalam Pasal 30 KUHP, diatur bahwa : “ Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen. Apabila pidana denda tidak dibayar, ia digani dengan pidana kurungan dan lamanya pidana kurungan pengganti denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan”. 2. Faktor Internal yang bersumber dari diri hakim sendiri Menyangkut faktor yang bersumber pada diri hakim terutama yang menyangkut profesionalitas dan integritas untuk menaruh perhatian terhadap perkara yang ditangani dengan mengingat tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, maka terhadap perbuatan perbuatan pidana yang sama pun akan dijatuhkan pidana yang berbeda beda.
22
Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa disparitas dalam pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan penggunaan kebebasan hakim, yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh UU dan memang nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringkali penggunannya melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan hukum di Indonesia.
A.3. Dampak Disparitas Pidana Adanya
disparitas
pidana
yang
terjadi
di
negara
kita
menyebabkan terjadinya kesenjangan yang mencolok antara putusan pidana yang satu dengan putusan pidana yang memiliki tingkat keseriusan yang dama yang dijatuhkan oleh hakim dalam proses pengadilan. Disparitas piodana merupakan diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif masyarakat terhadap institusi lembaga peradilan dalam hal ini pengadilan negeri merupakan suatu dampak dari terjadinya disparitas pidana. Disparitas pidana ini memunculkan pula ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Muladi dan Barda Nawawi Arief 18 menjelaskan akibat yang timbul apabila disparitas pidana yang terjadi bersifat mencolok adalah : 1. Merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap pelaku
18
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op.Cit. Hal.54
23
Disparitas
pemidanaan
yang
mencolok
akan
menimbulkan dampak yang serius terhadap terpidana bila dikaitkan
dengan
usaha-usaha
perbaikan
narapidana.
Terpidana setelah memperbandingkan vonis kemudian merasa menjadi korban dari “the judicial caprice” (kesalahan peradilan), akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu tujuan dari pemidanaan. 2. Memelihara
berkembangnya
perasaan
sinis
masyarakat
terhadap sistem pidana yang ada Disparitas pemidaan yang mencolok selain menimbulkan masalah
yang
menimbulkan
serius
terhadap
ketidakpuasaan
narapidana, dan
juga
akan
ketidakpercayaan
masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. 3. Kegagalan sistem penyelenggaraan hukum pidana dalam mencegah terjadinya tindak pidana Adanya disparitas pidana yang mencolok berarti, ada pelaku yang divonis ringan da nada pula yang divonis berat. Pelaku-pelaku yang vonisnya ringan kemungkinan akan menjadi pelaku yang kambuhan yang tidak jera melakukan kejahatan karena menganggap pidana yang diterimanya tidalk jauh berbeda dari sebelumnya.
24
Dari pandangan Muladi dan Barda Nawawi diatas dapatlah kita ketahui bahwa akibat dari adanya disparitas pidana tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana dan semangat dari falsafah pemidanaan. Disparitas
pidana
semakin
menimbulkan
kekacauan
dalam
masyarakat, tidak hanya menyakiti rasa keadilan masyarakat, tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan pidana. Kondisi inilah yang kemudian menjadi bentuk dari kegagalan penegakan hukum pidana, dimana penegakan hukum malah diartikan sesuatu yang sepele oleh masyarakat.
Suatu fakta hukum dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, dalam hal ini, ada juga ahli hukum yang tidak sependapat bahwa disparitas
hanya
membawa
dampak
negatif
sehingga
harus
diminimalisasi, mereka tidak memandang disparitas pidana sebagai suatu kesalahan atau cacat tubuh dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
Sehubungan
dengan
hal
ini,
Oemar
seno
Adji 19
berpendapat bahwa disparitas di dalam pemidanaan dapat dibenarkan, dalam hal sebagai berikut:
1. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan pembenaran yang jelas
19
Oemar Seno Adji, Hukum-Hukum Pidana. Erlangga, Jakarta, 1984. Hal. 28-29
25
2. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun wajar.
Dari uraian diatas yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji merupakan suatu dampak positif dari disparitas pidana itu sendiri, karena disparitas pidana dipandang sebagai pembenaran denga ketentuan bahwa disparitas tersebut harus didasarkan pada alasan yang jelas dan dapat dipertahankan kebenarannya. Pandangan ini sejalan dengan asas kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Pandanangan ini merupakan bentuk refleksi dimana hakim dalam usahanya untuk tetap menjaga kewibawaan hukum harus dapat mempertanggungjawabkan segala bentuk putusan yang dihasilkannya dengan memberikan alasan yang benar serta wajar tentang perkara yang diperiksanya. Jika hal ini diterapkan, secara logika tentu saja disparitas pidana akan dapat diterima
oleh
masyarakat
dengan
tidak
mengusik
kepuasaan
masyarakat terhadap putusan yang ditetapkan oleh hakim.
B. Pengertian Tindak Pidana Pertama-tama dikemukakan arti tindak pidana dalam hukum pidana positif, istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu “strafbaar feit”. Istilah Strafbaar Feit ini terdiri dari tiga kata yaitu : -
Straf : Hukuman (Pidana) Baar : Dapat (Boleh)
26
-
Feit : Peristiwa (Perbuatan) Jadilah istilah Strafbaar Feit diartikan sebagai peristiwa yang
dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Untuk lebih jelasnya beberapa pendapat yang dikemukakan oleh pakar hukum tentang istilah Strafbaar Feit antara lain : 1. Simons menggunakan istilah Perbuatan Pidana, yang didefinisikan sebagai “Kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Dari definisi/rumusan pengertian tersebut Simons membagi dalam dua golongan unsur tindak pidana yakni : a.Unsur Objektif berupa tindakan yang dilarang, atau yang diharuskan (diperintahkan oleh UU) dari akibat, keadaan atau masalah tertentu. b.Unsur
Subyektif
bertanggung
berupa
jawab
kesalahan
(Schuld)
(Trekeningstrafbaar
Feit)
dan
mampu
dari
pelaku
(Petindak).20 2. Van Hamel merumuskan Strafbaar Feit dengan kelakuan orang (Menselijke Gedraging) yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (Strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.21
20 21
Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1983. Hal.56. Ibid.
27
3. Wirjono Prodjodikoro memakai istilah Strafbaar Feit dengan Tindak Pidana yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.22 4. R. Tresna menggunakan istilah Strafbaar Feit dengan Peristiwa Pidana yaitu suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau aturan perundangundangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.23 5. Moeljatno
menggunakan
istilah
Perbuatan
Pidana
yang
didefinisikan sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 24 Istilah-istilah tersebut di atas pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum. Seperti istilah Perbuatan Pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno dipergunakan dalam UU Darurat no.1 Tahun 1951 Pasal 5 ayat 1, UU Darurat no.8 Tahun 1954 LN no.65 Tahun 1954 pasal 13 (Penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat), UU no.29 Tahun 1956 LN no.74 Tahun 1956 pasal 6 (UU tentang aturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan) dan UU no.1 Tahun
22
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT.Eresco,Bandung,1981. Hal.87. 23 Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2009. Hal.73 24 Moeljatno.Op.Cit. Hal.54
28
1958 LN no.2 Tahun 1958 pasal 12 (UU tentang penghapusan tanahtanah partikulir). Namun,
istilah
yang
paling
sering
digunakan
di
dalam
perundang-undangan saat ini adalah istilah Tindak Pidana seperti dalam Undang-Undang No.6 Tahun1982 tentang Hak Cipta, UndangUndang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotika, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme dan beberapa ketentuan perundang-undangan lainnya. Adapun alasan-alasan para pakar hukum ini mengartikan Strafbaar Feit seperti yang dikemukakan oleh Moeljatno, menggunakan istilah Perbuatan Pidana, dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut: 1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang timbul oleh kelakuan orang),
artinya
larangan
itu
ditujukan
pada
perbuatannya
sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orangnya. 2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. 3. Untuk menyatakan adanya hubungan erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah Perbuatan Pidana, suatu pengertian abstrak yang
29
menunjukkan pada dua keadaan konkrit yaitu : Pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan Kedua adanya orang yang berbuat atau menimbulkan kejadian itu.25 Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang yaitu: 1. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan ; b. Yang dilarang (oleh aturan hukum) ; c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)
26
Menurut R.Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yaitu : a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia) ; b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ; c. Diadakan tindakan penghukuman.27
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Adami Chazawi, dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana yaitu : a. Unsur tingkah laku ; b. Unsur melawan hukum ; c. Unsur kesalahan ; d. Unsur akibat konstitutif ; e. Unsur keadaan yang menyertai ; f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana ; 25
Ibid Adami Chazawi. Op.Cit. Hal. 71. 27 Ibid. Hal.73 26
30
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana ; h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana ; i.
Unsur objek hukum tindak pidana ;
j.
Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana ;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
28
Dari uraian dan beberapa istilah yang dikemukakan oleh pakar hukum, penulis dapat menarik kesimpulan apa yang dimaksud dengan tindak pidana yaitu suatu perbuatan atau tindakan yang dilarang oleh hukum dan peraturan perundang-undangan yang memiliki sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya serta perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. C. Pengertian Perbuatan Cabul Istilah pencabulan cukup sering digunakan untuk menyebut suatu perbuatan atau tindakan tertentu yang menyerang kehormatan kesusilaan. Di berbagai negara terdapat perbedaan definisi mengenai pencabulan, di Amerika pencabulan didefinisikan sebagai “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berbeda dalm posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”, sedangkan di Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan yaitu “Persetubuhan diluar perkawinan yang dilarang dan diancam pidana”.
28
Ibid.Hal.82
31
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pencabulan berasal dari kata ”cabul” yang berarti keji, kotor dan tidak senonoh. Menurut R.Soesilo di dalam KUHP menjelaskan perbuatan cabul sebagai berikut : “Segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian cabul”.29
Lebih tegas Adami Chazawi mengemukakan perbuatan cabul sebagai : “Segala macam wujud perbuatan baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya : mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan sebagainya”. 30 Hal sama diungkapkan oleh Simon “ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk
29 30
R Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Bogor, 1996. Hal.212. Adami Chazawi. Op.Cit. Hal.80.
32
memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.31 KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud
daripada
mencampuradukkan persetubuhan, ditambahkan
pencabulan pengertiannya
sedangkan kata
dalam
itu
sendiri
dan
terkesan
dengan
perkosaan
rencana
KUHP
“persetubuhan”
disamping
ataupun
yang
pencabulan
baru dan
persetubuhan dibedakan. Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki haru masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hoge Raad 5 februari 1912 (W. 9292). 32 Dalam pengertian persetubuhan diatas disimpulkan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan suatu persetubuhan jika alat kelamin laki-laki
masuk
ke
dalam
alat
kelamin
perempuan
sampai
mengeluarkan air mani yang dapat mengakibatkan kehamilan. Hal lain diungkapkan oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja, yang dimaksud dengan persetubuhan adalah persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumya dapat
31
P.A.F.Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya, Bandung,1997.Hal. 159. 32 R. Soesilo. Op. Cit. Hal.209.
33
menimbulkan kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.33 Pengertian “bersetubuh” pada saat ini diartikan bahwa penis telah penetrasi (masuk) ke dalam vagina. Berdasarkan uraian diatas bahwa pengertian bersetubuh berbeda dengan yang diungkapkan oleh R. Soesilo karena disini tidak disyaratkan terjadi pengeluaran air mani dari penis laki-laki yang dapat menyebabkan kehamilan. Jadi
terlihat
jelas
perbedaan
antara
pencabulan
dan
persetubuhan yaitu jika seseorang melakukan persetubuhan itu sudah termasuk perbuatan cabul sedangkan ketika seseorang melakukan perbuatan cabul ia belum dikategorikan telah melakukan persetubuhan karena
suatu
perbuatan
dapat
dikategorikan
sebagai
suatu
persetubuhan jika disyaratkan masuknya penis ke dalam vagina perempuan kemudian laki-laki mengeluarkan air mani yang biasanya menyebabkan terjadinya kehamilan sehingga jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka bukan dikategorikan sebagai suatu persetubuhan melainkan
perbuatan
menimbulkan kehamilan.
cabul.
kehamilan
Selain
sedangkan
itu
perbuatan
persetubuhan
cabul
tidak
menimbulkan
34
33
Leden Marpaung. 2008. Kejahatan Terhadap Kesusilaan Prevensinya.Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 2008. Hal. 53 34 Ibid. Hal.70.
34
dan
Masalah
Dari
uraian
diatas
penulis
dapat
menyimpulkan
bahwa
pengertian perbuatan cabul adalah “Perbuatan yang melanggar normanorma kesusilaan dan kesopanan yang hidup dalam masyarakat yang dapat membangkitkan nafsu birahi kelamin”.
D. Pengertian Anak Dalam pembahasan kali ini penulis mejabarkan pengertian anak ditinjau dari aspek hukum dan peraturan perundang-undangan yaitu : a. Pengertian Anak Dalam Hukum Perdata Dalam hukum perdata, semua manusia tanpa pengecualian merupakan subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban bahkan dimulai sejak ia dalam kandungan ketika ada kepentingan yang menghendaki. Ketentuan yang mengatur mengenai batasan umur dapat kita temui dalam beberapa pasal baik buku I tentang orang maupun buku III tentang perikatan, dimana batasan umur seseorang yang dianggap masih anak-anak atau belum dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum (Onbekwaaam) tercantum dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (Dua puluh satu) tahun dan tidak terlebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka 21 (dua puluh satu) tahun , maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa”.
35
b. Pengertian Anak Dalam Hukum Islam Menurut hukum islam, anak adalah seseorang yang belum baliq atau berakal, dimana mereka belum dianggap cakap untuk berbuat dan bertindak. c. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa anak adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (Delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. d. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. e. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bahwa pengertian anak yaitu “Seseorang yang belum mencapai usia 21 (Dua puluh satu) tahun dan belum kawin”. f. Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the rights of the child). Bahwa Anak adalah “Mereka yang belum berumur 18 (Delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang
36
berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Dalam konvensi ini tidak disebutkan pernah kawin sebagai persyaratan
kedewasaan
sehingga
hal
ini
menimbulkan
kesimpangsiuran. Namun pembatasan kriteria mengenai anak tidak berlaku mutlak bagi negara-negara yang telah meratifikasi hasil konvensi tersebut. Negara diberi kebebasan untuk membatasi kriteria seseorang berdasarkan undang-undang yang berlaku di negara masing-masing. Melihat berbagai uraian pengertian anak, meskipun sulit menentukan batasan umur dari anak karena banyaknya batasan kedewasaan yang diberikan dari berbagai aspek masyarakat maupun dari
aspek
hukum
dan
perundang-undangan,
namun
penulis
berkesimpulan bahwa pengertian anak mengacu pada UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu “Seseorang yang belum berusia 18 (Delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
E. Pengaturan tentang Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Terhadap Anak Tindak pidana pencabulan terhadap anak diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun penjabarannya yaitu sebagai berikut :
37
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam KUHP ketentuan mengenai perbutan cabul yang dilakukan terhadap anak diatur dalam Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294 ayat (1), dan pasal 295. Adapun isi dari pasal tersebut yaitu : Pasal 290 Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun ; 1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. Pengertian pingsan disini diartikan dengan “tidak sadar”, “tidak ingat” sedangkan kata “tidak berdaya” adalah “tidak bertenaga” atau sangat lemah. Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja. Dengan demikian si pelaku, mengetahui bahwa yang dicabulinya tersebut, dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 (Lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat dikawin. Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak/emaja. Perlu diperhatikan bahwa pada pasal tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun dilakukan terhadap anak/remaja pria, misalnya oleh homoseks atau yang disebut sehari-hari oleh “tante girang” maka pasal ini dapat diteapkan. Tetapi jika sejenis maka hal itu diatur dalam Pasal 292.
38
Kata “diketahuinya atau patut harus disangka” merupakan unsur kesalahan (dolus atau culpa) terhadap umur yakni pelaku dapat menduga bahwa umur anak/remaja tersebut belum lima belas tahun. 3) Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 (Lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin. Pada Pasal ini yang lebih ditekankan bukan pelaku cabul tetapi “yang membujuk”. Pasal 292 “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”. Yang diancam dalam Pasal ini adalah orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak yang belum dewasa yang sejenis dengan dia. “Dewasa” berarti telah berumur 21 (Dua puluh satu) tahun , atau belum mencapai umur itu, tetapi sudah kawin. “Jenis kelamin yang sama” berarti laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Perbuatan cabul disini termasuk onani. Pasal 293 1) Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak tercatat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut
39
harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya,dihukum penjara selama-lamanya 5 (Lima) tahun. 2) Penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan orang yang dikenai kejahatan itu. 3) Jangka waktu tersebut dalam pasal 74, ditentukan buat satusatu pengaduan ini adalah 9 (Sembilan) dan 12 (Dua belas) bulan. Tindak pidana menurut Pasal ini adalah menggerakkan seseorang yang belum dewasa dan berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Sebagai alat untuk tindak pidana menggerakkan seseorang itu adalah memberi hadiah atau berjanji akan memberi uang atau barang dan dengan jalan demikian pelaku lalu menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan demikian menyesatkan orang tersebut. Orang disesatkan atau digerakkan itu haruslah belum dewasa atau diketahuinya belum dewasa atau patut harus diduganya bahwa orang itu belum dewasa. Sementara itu seseorang yang belum dewasa atau yang diketahuinya belum dewasa atau patut harus diduga bahwa ia belum dewasa tersebut adalah berkelakuan baik. Tindak pidana ini adalah tindak pidana biasa dan bukan tindak pidana aduan dan mengingat seriusnya dan oleh karenanya diadakan minimum khusus. Pasal 294 ayat (1) “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan
40
padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun”. Tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal ini adalah melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan. Menurut pasal ini perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan mereka yang dikategorikan khusus yaitu yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga. Menurut pasal ini maka perbuatan-perbuatan cabul atau persetubuhan adalah suatu tindak pidana biasa. Pasal 295 1) Dipidana : Ke-1 Dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan anaknya, anak tirinya atau anak piaranya, anak yang di bawah pengawasannya, semuanya di bawah umur, orang di bawah umur yang dipercayakan kepadanya supaya dipeliharanya, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang bawahannya, keduanya masih di bawah umur, sehingga semua orang tersebut itu melakukan cabul dengan orang lain. Ke-2 Dengan penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dalam hal di luar yang disebut pada ke-1, orang di bawah umur yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa ia di bawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan orang lain. 2) Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijadikannya sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidana itu dapat ditambah sepertiga. Menyebabkan atau memudahkan itu harus dilakukan dengan sengaja, misalnya :
41
-
Seorang ibu membiarkan anaknya yang masih di bawah umur tanpa orang lain, berduaan dengan seorang laki-laki dalam sebuah kamar, menurut Hoge Raad (tanggal 11 Mei 1931) telah dengan sengaja memudahkan anaknya melakukan perbuatan cabul.
35
Tindak memudahkan
pidana
ini
orang
lain
terdiri
atas
melakukan
menghubungkan perbuatan
cabul
atau atau
persetubuhan dengan orang-orang tertentu yang disebut dalam pasal ini. Dalam butir ke-2 orang lain yang disebut dalam butir ke-1 dirumuskan secara umum yaitu mereka yang diketahuinya atau patut harus menduganya belum dewasa. Menurut ayat ke-2 dari pasal ini tindak pidana tersebut ancamannya diperberat secara khusus jika dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah salah satu undang-undang yang secara khusus mengatur hal-hal tertentu yang menyangkut masalah anak khususnya yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak. Untuk mengefektifkan berlakunya undang-undang perlindungan anak ini, pembentukan undang-undang bukan hanya mengamanatkan untuk dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), akan tetapi juga
35
Ibid. Hal. 71.
42
melengkapinya dengan ketentuan pidana yang secara khusus mengatur tentang perlindungan anak. 36 Ketentuan pidana dalam undang-undang perlindungan anak ini diatur dalam Bab XII yaitu mulai dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 90. Sementara Pasal yang mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak diatiur dalam Pasal 82. Adapun isi dari Pasal tersebut sebagai berikut : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (Tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah)”.
F. Unsur-Unsur Perbuatan Cabul Untuk mengetahui unsur-unsur dari perbuatan cabul, penulis akan menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal yang menyangkut dengan pebuatan cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam pasal 289 KUHPidana sebagai berikut : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
36
Waluyadi. Hukum Perlindungan Anak. Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2009. Hal.22.
43
Apabila rumusan Pasal 289 tersebut dirinci, akan terlihat unsurunsurnya sebagai berikut : 1. Perbuatannya : Perbuatan cabul dan memaksa 2. Caranya dengan : a.Kekerasan atau b.Ancaman kekerasan 3. Objeknya : Seseorang untuk a.Melakukan atau b.Membiarkan melakukan.37
Mengenai yang dimaksud dengan perbuatan cabul telah dibahas penulis pada pembahasan sebelumnya, yang pada intinya perbuatan cabul (Ontuchtige handelingen) adalah segala perbuatan yang
melanggar
kesusilaan
(kesopanan)
yang
berlaku
dalam
masyarakat yang dapat merangsang naiknya nafsu birahi kelamin misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Perbuatan memaksa adalah suatu perbuatan
yang
demikian
rupa
sehingga
tak
berdaya
untuk
menghindarinya38 Adami Chazawi memberikan pengertian perbuatan memaksa sebagai perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain
37 38
Adami Chazawi. Op.Cit. Hal. 78 Leden Marpaung. Op. Cit. Hal. 53
44
itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.39 Adapun yang dimaksud dengan kekerasan diutarakan oleh R.Soesilo40 yaitu mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Mengenai ancaman kekerasan, Adami Chazawi mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah Ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan
kemudian
bilaman
ancaman
itu
tidak
membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.41 Perbuatan
memaksa
dengan
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan ditujukan pada dua hal, yakni orang yang melakukan perbuatan cabul dan orang yang membiarkan dilakukannya perbuatan cabul
Pelaku perbuatan
cabul
dapat
dilakukan baik
seorang
perempuan maupun laki-laki. Jadi perbuatan cabul, dapat terjadi antara seorang laki-laki maupun perempuan, antara sesama laki-laki (Homo) maupun sesama perempuan (Lesbi). Perbuatan cabul terhadap anak diatur pada Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294 ayat 1, dan Pasal 295 serta Pasal 82 39
Adami Chazawi. Op. Cit. Hal.63 R. Soesilo. Op. Cit. Hal. 98. 41 Adami Chazawi. Op.Cit. Hal. 65. 40
45
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun dalam pembahasan kali ini hanya menyangkut 2 (Dua) pasal yaitu Pasal 292 KUHP dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 292 KUHP berbunyi : “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”. Adapun unsur-unsur dari Pasal tersebut adalah sebagai berikut : a. Unsur-Unsur Subjektif : yang ia ketahui atau sepantasnya harus dapat ia duga. b. Unsur-Unsur Objektif
:
1. Seorang dewasa ; 2. Melakukan tindakan melanggar kesusilaan ; 3. Seorang anak belum dewasa dari jenis kelamin yang sama ; 4. Kebelumdewasaan42
Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai “Homoseks” dan “Lesbian”.Dalam kamus besar bahasa Indonesia, dimuat arti “Homoseksual” dan “Lesbian” : “Dalam keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama (Homoseksual), sedang “Lesbian” adalah wanita yang cinta birahi kepada sesama jenisnya (Wanita homoseks)”.
42
Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Edisi 2 Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hal. 153
46
Pada umumnya, pengertian sehari-hari, homoseks dimaksudkan bagi pria sedang lesbian dimaksudkan untuk wanita. Kurang jelas kenapa terjadi hal ini karena arti sebenarnya dari “homoseksual” adalah perhubungan kelamin antara jenis kelamin yang sama. Kemungkinan karena untuk wanita disebut lesbian maka untuk pria disebut homoseksual. Bagi orang yang di bawah umur, perlu dilindungi dari orang dewasa yang homoseks/lesbian, karena sangat berbahaya bagi perkembangannya, itulah mengapa diciptakan pasal ini untuk melindungi orang dewasa terutama anak.43 Unsur-unsur dari Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (Tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah)”. Adapun unsur-unsur dari Pasal tersebut adalah sebagai berikut : 1). Unsur Objektif : a. Perbuatannya memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk ; b. Objeknya seorang anak untuk melakukan atau membiarkan melakukan ; c. Perbuatan cabul. 43
Leden Marpaung. Op.Cit. Hal. 67
47
2). Unsur Subjektif yaitu Sengaja.
Beberapa unsur-unsur dari Pasal 82 ini memiliki kesamaan dengan unsur-unsur perbuatan cabul pada Pasal 289 KUHP yang telah diuraikan diatas, hanya saja perbedaannya pada Pasal 82 ini terdapat beberapa perbuatan yang tidak dirumuskan dalam Pasal 289 KUHP, yaitu : tipu muslihat, serangkaian kebohongan, dan membujuk. Mengenai perbuatan memaksa, perbuatan cabul, kekerasan dan
ancaman
kekerasan
telah
diuraikan
pada
pembahasan
sebelumnya. Sehingga kali ini penulis hanya membahas masalah apa yang dimaksud dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, dan membujuk. Kata tipu muslihat berasal dari kata tipu dan muslihat, dimana menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata tipu berarti “Perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (Bohong, palsu,dsb) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali ata mencari untung”. Sementara kata muslihat berarti “siasai atau imu”. R.Soesilo mengartikan tipu muslihat sama dengan akal cerdik yaitu “Suatu tipu yang demikian liciknya sehingga seorang berpikiran normal dapat tertipu”.44 Sementara pengertian kebohongan menurut R.Soesilo mendefinisikan serangkaian kebohongan dengan “Banyak
44
R. Soesilo. Op.Cit. Hal.261
48
kata-kata
bohong
yang
tersusun
demikian
rupa,
sehingga
keseluruhannya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar”.45 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tipu muslihat dan serangkaian kebohongan memiliki makna yang sama yaitu mengisyaratkan adanya sesuatu yang tidak benar. Membujuk berasal dari kata verleiden (Belanda) yang berarti berusaha mempengaruhi supaya orang menuruti kehendak yang membujuk.
Mr.J.M.Van
Bemmelen
mengutarakan
persepsi
“membujuk” sebagai berikut : “Langemeijer mengatakan bahwa pada perkataan ini harus diberikan pengertian menggerakkan seseorang melakukan sesuatu yang jahat. Pembujukan itu tidak perlu dilakukan dengan sarana-sarana pembujukan tertentu, juga tidak disyaratkan bahwa pembujukan itu dilakukan oleh seseorang yang dinamakan pembujuk”. 46 Dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti “membujuk” sebagai berusaha meyakinkan seseorang bahwa yang dikatakannya benar (untuk memikat hati, menipu dan sebagainya); merayu. Tetapi, tampaknya apa yang diutarakan Mr.J.M.Van Bemmelen tersebut secara rasional, cara-cara yang ditentukan pada Pasal 55 ayat (1) ke-2 telah mencakup seluruh sarana merayu/membujuk yakni : 45 46
Pemberian ; Perjanjian ; Salah memakai kekuasaan (Misbruik van gezag) ; Menyalahgunakan jabatan/martabat ; Kekerasan ;
Ibid Leden Marpaung. Op.Cit. Hal.63
49
-
Ancaman ; Tipu ; Memberikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan. 47 Hal yang hampir sama diutarakan oleh Adami Chazawi tentang
pengertian membujuk yaitu menarik kehendak orang yang bersifat mengiming-imingi. Pendapat Adami Chazawi diatas dapat lebih dipertimbangkan, karena sifat mengiming-imingi lebih tepat digunakan dalam pengertian Pasal ini, berhubung orang yang dibujuk adalah anak-anak, yang secara psikis masih lugu atau polos sehingga lebih mudah terpengaruh daripada orang dewasa. 48 Menurut R.Soesilo membujuk adalah “melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian”. 49 Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbuatan membujuk dalam Pasal
82
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak adalah perbuatan mempengaruhi seseorang untuk menuruti kehendak orang lain yang bersifat mengiming-imingi. G. Pidana Dan Pemidanaan Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa belanda hanya dikenal dengan satu istilah umum untuk keduanya, yaitu straf. Istilah hukuman adalah istilah
47
Ibid Adami Chazawi.Op.Cit. Hal.86 49 R.Soesilo. Op.Cit. Hal.261 48
50
umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana. Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat, inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena dapat berupa nestapa juga, tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat
menjadi satu yaitu
memperbaiki pembuat. Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : a. Pidana
itu
pada
hakekatnya
merupakan
suatu
pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan ; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) ; c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.50 Sementara
yang
dimaksud
dengan
pemidanaan
adalah
tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seorang terdakwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto : “Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berschen) menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu maka tulisan ini 50
Amir Ilyas, Yuyun Widaningsih. Hukum Korporasi Rumah Sakit, Penerbit Rangkang Education, Yogyakarta, 2010. Hal.12
51
berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya yaitu penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali bersinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”. Menurut M. Sholehuddin mengatakan : “Tujuan pemidanaan harus sesuai dengan politik hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku”.51 Dalam masalah pemidanaan dikenal ada dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari zaman Wetboek van Strafrecht (W.v.S) Belanda sampai dengan sekarang yang diatur dalam KUHP yaitu : a. Bahwa orang dipenjara harus menjalani pidananya dalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai dan terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan di belakang tembok penjara. b. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk
kembali
bermasyarakat
atau
rehabilitasi/resosialisasi. 52
Berkaitan dengan pemidanaan, maka muncullah teori-teori mengenai hal tersebut : A. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien) Aliran ini menganggap sebagai dasar dari hukum pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori ini 51 52
Ibid. Hal.13 Ibid. Hal.14
52
diperkenalkan pada akhir abad 18 dan mempunyai pengikut seperti Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl dan Leo polak. Menurut Kant bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan,
hukuman
mati
terhadap
penjahat
yang
melakukan
pembunuhan berencana mutlak dijatuhkan. Sedangkan menurut Stahl mnegmukakan bahwa “ Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan Negara sebagai abdiatu wakil Tuhan di dunia ini. Karena itu Negara wajib memelihara
dan
melaksanakan
hukum
dengan
cara
setiap
pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya”. 53 B. Teori Relatif atau Teori Tujuan (doel theorien) Teori ini memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum pidana adalah teletak pada tujuan pidana itu sendiri.
Oleh karena
pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving der maatshappeljikeorde). Mengenai cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari teori tujuan yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan 53
Amir Ilyas. Asas-Asas Hukum Pidana, Pukap, Yogyakarta, 2012. Hal.98
53
kejahatan melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Sedangkan Prevensi Umum mempengaruhi
adalah
tingkah
bahwa laku
pengaruh pidana
anggota
masyarakat
yaitu untuk untuk
tidak
melakukan tindak pidana. Teori-teori yang dimaksud dalam teori prevensi umum adalah seperti yang ditulis oleh Lamintang sebagai berikut : a. Teori- teori yang mampu membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat orang jera semua warga masyarakat agar mereka tidak melakukan kejahatan ataupun pelanggaranpelangggaran terhadap kaedah-kaedah hukum pidana . b. Ajaran mngenai pemaksaan secara psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anslm Fuerbach. Menurutnya ancaman hukuman itu harus dapat mencegah orang melakukan tindak pidana,
dalam
arti
apabila
bahwa
orang
melakukan
kejahatan, mereka pasti dikenakan sanksi pidana maka mereka pasti akan mengurungkan niat mereka untuk melakukan kejahatan. 54 Adapun menurut Van Hammmel bahwa teori pencegahan umum ini adalah pidana yang ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut berbuat jahat.
54
Ibid. Hal.100
54
Van Hammel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus yaitu : 1. Pidana adalah senantiasa untuk pencegahan khusus yaitu untuk
menakut-nakuti orang-orang
dicegah
dengan
cara
yang cukup dapat
menakut-nakutinya
mellaui
pencegahan pidana itu agar ia tidak melakukan niatnya. 2. Akan tetapi bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, maka penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya (reclasering). 3. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, maka penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya. 4. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat. C. Teori Gabungan (vernegins theorien). Disamping Teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Dengan
munculnya
teori
gabungan
ini
maka
terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitikberatkan
pembalasan
dan
55
adapula
yang
ingin
unsur
pembalasan
dan
prevensi
seimbang.
Yang
pertama,
yaitu
menitikberatkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe yang menyatakan “ Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain tetapi tetap ada cirri-cirinya dan tidak dapat dikecilkan artinya pidana adalah suatu sanksi dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum”. Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi marakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan olh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Teori
gabungan
yang
kedua
yaitu
menitikberatkan
pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.
56
Menurut Vos, pidana berfungsi sebagai prevensi umum bukan yang khusus kepada terpidana, karena jika ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman. Teori gabungan yang ketiga, yaitu memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.
55
Adapun teori tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh Remmelink, hukum pidana bukan bertujuan pada diri sendiri tetapi ditujukan juga untuk tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana biasa disingkat 3R dan 1D yakni Reformation, Restraint, dan Restribution. Sedangkan 1D adalah Deterrence yabg terdiri dari Individual Detterence dan General Detterence. 1. Reformation
berarti
memperbaiki
atau
merehabilitasi
penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Reformasi perlu digabung dengan tujuan yang lain seperti pencegahan. 2. Restraint berarti mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. 3. Retribution yakni pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.
55
Ibid. Hal.103
57
4. Deterrence yakni menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. 56 Selain
Remmelink
dengan
pendapatnya
tentang
teori
pemidanaan ada juga pendapat dari Ted Honderich dalam buku Sistem
Sanksi
dalam
Hukum
PIdana,
mengemukakan
tujuan
pemidanaan memuat 3 unsur yaitu : 1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. 2. Setiap
pemidanaan
berwenang
secara
harus datang
dari institusi
yang
hukum.
pemidanaan
tidak
Jadi
merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan melainkan sebagi hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga
berkuasa.
Karenanya,
pemidanaan
bukan
merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelangggar hukum yang mengakibatkan penderitaan. 3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara
56
Ibid. Hal.105
58
sengaja melanggar hukum atas peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atas peraturan.57
57
Ibid. Hal. 106.
59
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan tujuan agar penulis memperoleh berbagai data, informasi dan fakta-fakta yang diperlukan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji,
sehingga skripsi ini
menjadi suatu karya ilmiah
yang
proporsional. A. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data dan informasi yang relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian awal dengan memilih lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Makassar dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian tersebut relevan dengan masalah yang akan diteliti. Dalam hal ini, perlu suatu penelusuran secara sistematis terhadap instansi tersebut dalam memberikan perlindungan dan keadilan kepada pelaku kejahatan dan korban kejahatan karena instansi tersebut sebagai institusi yang melaksanakan putusan pengadilan dan selaku pengawas terhadap terpidana dalam menjalankan pidananya. Selain melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Makassar, penulis juga mengumpulkan data dan informasi di tempat yang menyediakan bahan pustaka yaitu Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
60
B. Jenis dan Sumber Data Adapun jenis dan sumber data yang penulis akan lakukan dalam penelitian ini yaitu diperoleh melalui penelitian lapangan dan kepustakaan, yang dibedakan ke dalam 2 (dua) jenis data yaitu : 1. Data Primer adalah data atau informasi yang diperoleh langsung di lokasi penelitian lapangan, dimana data tersebut diperoleh dengan melakukan wawancara secara langsung dengan narasumber yang berkompeten dan pihak-pihak terkait di lokasi penelitian. 2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung melalui Putusan Pengadilan Negeri Makassar No.1325/Pid.B/2010/PN
Mks
dan
Putusan
No.816/Pid.B/2010/PN Mks dan juga melalui penelitian kepustakaan (Library Research) baik dengan pengumpulan dan inventarisasi buku-buku imu hukum, karya-karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, internet, media cetak, dokumen-dokumen, termasuk pula data yang bersumber Pengadilan Negeri Makassar serta bacaan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. C. Teknik Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan
data
yang
digunakan
memperoleh data dan informasi adalah sebagai berikut :
61
untuk
1. Wawancara, yaitu pengumpulan data secara langsung melalui tanya jawab berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan untuk memperoleh data yang diperlukan dan wawancara dilakukan terhadap hakim yang pernah memutus perkara pencabulan terhadap anak di Pengadilan Negeri Makassar. 2. Studi Kepustakaan, yaitu dengan mempelajari Putusan Pengadilan Negeri Makassar No.1325/Pid.B/2010/PN Mks dan Putusan No.816/Pid.B/2010/PN Mks, buku-buku, karya ilmiah, dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian serta perundang-undangan. D. Teknik Analisis Data Data-data yang telah diperoleh baik data primer dan data sekunder kemudian akan dianalisis dan diolah dengan metode kualitatif menggunakan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan menguraikan masalah sesuai data yang diperoleh di lapangan guna menghasilkan suatu kesimpulan, kemudian disajikan secara deskriptif guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah pada hasil penelitian nantinya.
62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor
Yang
Melatarbelakangi
Adanya
Disparitas
Penjatuhan Pidana Dalam Perkara Pencabulan Terhadap Anak di Pengadilan Negeri Makassar Keanekaragaman putusan dalam Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak di Pengadilan Negeri Makassar ditakutkan dapat menimbulkan anggapan dalam masyarakat bahwa telah terjadi ketidakadilan dan memberikan citra buruk kepada para penegak hukum kita karena dalam putusan hakim disebutkan secara rinci dasar pertimbangannya dalam menjatuhkan putusan. Padahal putusan-putusan hakim terhadap terdakwa yang menimbulkan disparitas pemidanaan tersebut mengandung maksud dan tujuan untuk menegakkan keadilan serta kepastian bagi terdakwa itu sendiri dan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa perkara yang memiliki disparitas putusan dan diketahui latar belakang terjadinya disparitas putusan pidana itu diantaranya dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari hakim. Dari faktor itulah dapat diketahui bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya juga memperhatikan faktor-faktor yang ada dalam diri terdakwa. Menyikapi hal-hal tersebut diatas, kepada semua pihak khususnya hakim dalam memutuskan perkaranya hendaknya menyebutkan 63
secara terperinci dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan, karena selama ini hampir sebagian besar dalam menjatuhkan putusannya,
hakim hanya selalu menyebutkan
unsur
yang
memberatkan dan meringankan yang relatif sama pada setiap perkara. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan anggapan dalam masyarakat telah terjadi ketidakadilan. Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya disparitas penjatuhan sanksi pidana dalam putusan perkara pencabulan terhadap anak di Pengadilan Negeri Makassar antara lain : 1. Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Didalam peraturan perundang-undangan pidana baik itu yang ada di dalam KUHP maupun ketentuan-ketentuan khusus yang berada diluar KUHP tidak ada satu pasal
yang
mencerminkan pengaturan penghukuman/ pemidanaan terhadap seseorang
dengan
jelas,
artinya
ketentuan-ketentuan
pemidanaan dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang pedoman mengenai pengaturan sanksi sebagaimana diatur dalam rancangan KUHP yang baru. Di dalam Rancangan KUHP Tahun 2013 di dalam Buku satu Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang pedoman pemidanaan yaitu sebagai berikut: (1) Dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan : a. Kesalahan pembuat tindak pidana ; 64
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana ; c. Sikap batin pembuat tindak pidana ; d. Tindak
pidana
yang
dilakukan
apakah
direncanakan atau tidak direncanakan ; e. Cara melakukan tindak pidana ; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana ; g. Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana ; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana ; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban ; j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya ; dan/atau k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan ; (2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.58
Pedoman pemidanaan yang diatur dalam Rancangan KUHP bersifat objektif sehingga diharapkan hakim dalam menjatuhkan
putusan
wajib
berpedoman
pada
ketentuan
tersebut sehinggan putusan yang dihasilkan dapat memberikan
58
Pasal 55 Rancangan KUHP Tahun 2013
65
rasa keadilan terhadap semua pihak baik pelaku tindak pidana maupun
korbannya.
Adapun
kebebasan
hakim
dalam
menjatuhkan putusan adalah bersifat subyektif. Di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang didalamnya termuat batasan minimum dan maksimun sehingga membawa konsekuensi terhadap aparat penegak hukum baik itu kepada jaksa/penuntut umum dalam hal pemberian tuntutan hukuman kepada seorang terdakwa,maupun kepada hakim dalam menjatuhkan putusan pidanannya kepada seseorang terdakwa. Adanya batasan maksimun dan minimum tersebut dalam prakteknya membuat para penegak hukum baik itu pihak jaksa/ penuntut umum bebas membuat tuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak maupun bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidananya. Kecenderungan terjadinya diparitas terlebih lagi disparitas putusan pidana sering kali dijumpai dalam praktek peradilan pidana. Akibatnya putusan yang dijatuhkan memberi kesan adanya ketimpangan keadilan dalam perlakuannya terhadap terdakwa itu sendiri, apalagi terhadap terdakwa yang diancam hukuman lebih berat dengan memperbandingkan
terdakwa
yang
dijatuhi
pidana
lebih
ringan.Padahal kapasitas keduanya hampir sama. Terjadinya ketimpangan keadilan disini salah satunya disebabkan karena di
66
dalam peraturan regulatornya pun hanya mencantumkan batas maksimun dan minimun ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak secara umum, sehingga hakim terkesan memutus hanya berdasarkan aturan peraturan perundang-undangan yang ada tanpa adanya penemuan hukum. Oleh karenanya penilaian hakim dalam suatu kasus bersifat subyektif sehingga melahirkan disparitas pemidanaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Makassar H. Muhammad Ansar, S.H,M.H. (Kamis 08 Januari 2015) menyatakan bahwa penilaian hakim terhadap suatu kasus bersifat subyektif, penilain ini bersumber dari adanya batasan maksimum dan minimum dari undang-undang untuk menjatuhkan suatu putusan, hakim dimungkinkan untuk menjatuhkan masa hukuman dengan berpatokan pada masa minimum dan maksimum hukuman sehingga hal ini yang mendorong lahirnya disparitas penjatuhan sanksi antara putusan yang satu dengan yang lain. 2. Kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan yang bersumber pada undang-undang Dalam ketentuan Pasal 24 ayat 1 UUD NRI memberikan landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
67
keadilan. Ketentuan ini telah memberikan jaminan terhadap kebebasan lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk di dalamnya kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan No. 816/Pid.B/2010/PN.Mks
dan
PutusanNo.1325/Pid.B/2010/PN.Mks. Di dalam kedua putusan tersebut jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yaitu dakwaan pertama Pasal 82 UndangUndang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau dakwaan kedua Pasal 290 ayat 2 KUHP. Di dalam Pasal 82 dinyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (Tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah)”. Dalam Pasal 290 ayat (2) KUHP dinyatakan bahwa : “ Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin”. Sebelum hakim menjatuhkan putusan hakim terlebih dahulu melihat fakta-fakta yang terungkap di persidangan dengan 68
mendengarkan
keterangan
dari
saksi-saksi,
keterangan
terdakwa dan adanya barang bukti berupa visum et repertum dari korban dan dalam kedua putusan perkara pencabulan terhadap anak hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti bersalah memenuhi unsur Pasal 82 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Hal
ini jelas bahwa hakim
mempunyai kebebasan dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Tabel 1 Hakim yang memutus perkara pencabulan terhadap anak di Pengadilan Negeri Makassar No
Nomor Putusan
Hakim
.
Penerapan
Putusan Hakim
Hukum Pidana Materiil
1.
1241/Pid.B/2007/P
Pudjo.
Pasal
N Mks
H, S.H
UU
82 3 (tiga) Tahun No.23 dan
pidana
Tahun 2002 denda tentang
sebanyak
Perlindunga
Rp.60.000.000
n Anak Jo ,- (enam puluh Pasal
64 juta
ayat
(1) subsider
KUHP
dan (satu)
Pasal
292 kurungan
Jo Pasal 64
69
rupiah) 1 bulan
ayat
(1)
KUHP. 2.
816/Pid.B/2010/PN
Aswijo,
Pasal
82 4
Mks
S.H,M.
UU
H
Tahun 2002 dan
(empat)
No.23 tahun penjara pidana
tentang
denda
Perlindunga
sebanyak
n Anak dan Rp.60.000.000 Pasal
290 ,- (enam puluh
ayat
(2) juta
KUHP
dan subsider
Pasal
292 (dua)
KUHP. 3.
rupiah) 2 bulan
kurungan.
1325/Pid.B/2010/P
Jamuka Pasal
82 3 (tiga) tahun
N Mks
Sitorus,
UU
S.H,
Tahun 2002 bulan
M.Hum
tentang
dan
Perlindunga
sebesar
No.23 dan 6 (enam) penjara denda
n Anak dan Rp.60.000.000 Pasal ayat KUHP
290 ,- (enam puluh (2) juta
rupiah)
subsider (dua)
2 bulan
kurungan
Dari Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa setiap hakim dalam memutuskan suatu perkara terhadap tindak pidana yang sama berbeda-beda karena hakim memiliki kebebasan dalam menjatuhkan putusan.
70
Adanya ruang yang bebas yang diberikan kepada hakim untuk memutus suatu perkara menjadi salah satu timbulnya disparitas pemidanaan hal ini dikarenakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana berdasarkan pada minimal dan maksimum dari lamanya pidana yang dijatuhkan yang termuat dalam undang-undang sehingga tidak menutup kemungkinan adanya penjatuhan sanksi pidana yang berbeda untuk suatu kasus yang sama, hal ini dibenarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Makassar H. Muhammad Ansar, S.H, M.H. (Wawancara, Kamis 08 Januari 2015) menyebutkan bahwa penjatuhan sanksi pidana pada setiap kasus yang sama dapat berbeda tergantung dari fakta yang terungkap di persidangan, disini jelas adanya kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu kasus”. 3. Rasa Keadilan Hakim Kewenangan
yang
diberikan
kepada
Hakim
untuk
mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan : “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Berdasarkan aturan hukum tersebut, terdapat norma hukum “mewajibkan Hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami
71
nilai-nilai
hukum
dan
rasa
keadilan
yang
hidup
dalam
masyarakat. Untuk memenuhi norma tersebut, maka Hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum”. Penentuan atas tuntutan rasa keadilan yang harus diterapkan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara, secara teori para Hakim akan melihat “konsep-konsep keadilan yang telah baku”. Konsep keadilan tersebut sepanjang sejarah telah banyak macamnya, sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama (cardinal virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota masyarakat dalam hubungannya yang satu terhadap yang lainnya. Konsep keadilan sebagai suatu kebajikan tertentu berasal dari filusuf Yunani Kuno, yaitu Plato (427-347 sebelum Masehi) yang dalam bukunya Republic (terjemahan
bahasa
Inggris,
Book
IV,
Section
12)
mengemukakan adanya 4 kebajikan pokok dari konsep keadilan, yakni kearifan (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline) dan keadilan (justice). Rasa keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, dapat dirasakan dan dipikirkan tetapi tidak dapat dilihat bentuknya. Setiap orang memiliki tingkatan rasa keadilan yang berbedabeda demikian juga dengan yang dirasakan oleh hakim. Dalam sejumlah kasus yang sama hakim memberikan penilaian tentang
72
keadilan yang berbeda-beda terhadap setiap kasus salah satunya
kasus
pencabulan
terhadap
anak.
Berdasarkan
wawancara terhadap salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Makassar mengatakan bahwa : “Hakim dalam memutus menggunakan penalaran logis, pengetahuan dan pengalaman sehingga hakim tidak salah dalam menjatuhkan putusan. Pengalaman juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi rasa keadilan hakim. Kedekatan personal antara hakim dan terdakwa dapat mempengaruhi subjektivitas hakim dalam memutus perkara. Pengalaman sangat berpengaruh terhadap pola pikir hakim seperti pandangannya mengenai rasa keadilan dalam memutus perkara, entah pengalaman itu ada sebelum menjabar profesi hakim atau selama memangku posisi hakim. Oliver Wendell Holmes59 menekankan bahwa kehidupan hukum bukan logika, melainkan pengalaman. Pandangan Oliver Wender Holmes ini berpengaruh terhadap aliran realism hukum. Kemudian Johny Dewey dalam bukunya yang berjudul “Logical Method Of Law”, menurutnya logika adalah suatu teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin, suatu proses dimana prinsip-prinsip umumnya hanya dapat dipergunakan sebagai alat yang harus dibenarkan oleh pekerjaan yang dilakukan. Jika proses tersebut diterapkan dalam hukum, hal tersebut berarti bahwa kepercayaan akan kebenaran dari putusan-putusan 59
Munir Fuady, 2005. Filsafat dan Teori Hukum Postmodern. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Hal.59
73
hakim yang dulu telah disiapkan kepercayaan pada asas-asas umum harus ditinggalkan dan diganti dengan satu logika yang fleksibel dan didasarkan pada pengalaman. Menurut Dewey, hukum adalah proses berdasarkan eksperimen-eksperimen dimana logika hanya menjadi salah satu unsur dari sejumlah unsur lain yang mengarah pada suatu kesimpulan. Dalam
memutus
mempertimbangkan
suatu
pengalaman
perkara selama
hakim selama
harus
menjabat
sebagai hakim tidak hanya pengalaman pribadi juga pengalaman hakim
lainnya
sehingga
dapat
menjadi
rujukan
dalam
memutuskan suatu perkara guna memenuhi rasa keadilan semua pihak. 4.
Keadaan- keadaan dalam diri terdakwa Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
seseorang
untuk
melakukan kejahatan ada 2 (dua) yaitu faktor-faktor yang datangnya dari dalam diri pelaku dan faktor-faktor yang datangnya dari luar diri pelaku. Kejahatan yang datangnya dari dalam diri pelaku, bisa saja terjadi karena pelaku sudah terbiasa untuk melakukan kejahatan, artinya apabila pelaku tersebut melakukan suatu kejahatan maka dirinya akan merasa puas.Bisa juga ada kelainan jiwa dari diri pelaku atau kejahatan itu sendiri sudah menjadi profesinya sedangkan kejahatan yang datangnya dari luar diri pelaku bisa saja terjadi karena adanya pengaruh
74
pihak lain yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu kejahatan atau karena faktor ekonomi dan faktor lainnya yang memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu kejahatan. Pengertian kejahatan dapat ditinjau dari berbagai segi: 1. Dari segi yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarnya diancam dengan sanksi. 2. Dari segi kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari masyarakat. 3. Dari segi psikologi, yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut. Terjadinya disparitas pidana dalam penjatuhan pidana terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak tidak terlepas dari keadaan-keadaan yang terdapat dalam diri terdakwa. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi terdakwa, bisa menjadi pedoman hakim untuk menjatuhkan pidana yang berbeda untuk perkara yang sama. Terjadinya
disparitas
penjatuhan
pidana
bersifat
kasuistis.Terjadinya perbedaan itu disebabkan oleh keadaankeadaan seperti: a. Apakah terdakwa sebelumnya sudah pernah dihukum atau tidak; b. Faktor-faktor yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak ,misalnya : faktor psikologis, keadaan ekonomi, lingkungan dll;
75
c. Tingkat pengetahuan/pemahaman terdakwa, misalnya: Tingkat pengetahuan/pemahaman terdakwa, perbedaan tingkat pendidikan atau profesi pelaku; d. Apa peranan terdakwa; e. Cara melakukan tindak pidana antara terdakwa yang satu dengan terdakwa yang lain berbeda; Hakim dalam menjatuhkan pidananya,sedapat mungkin menghindari diri dari putusan yang timbul dari kehendak yang sifatnya subjektif. Walaupun hakim mempunyai kebebasan untuk itu, akan tetapi hakim tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena adanya kontrol dari masyarakat yang menjadi kendali terhadap setiap putusan hakim apabila putusan tersebut tidak menunjukkan rasa keadilan
masyarakat
atau
menjunjung
perasaan keadilan masyarakat. Dalam kenyataannya sering dijumpai putusan hakim yang sangat kontradiktif dengan rasa keadilan masyarakat sehingga kewibawaan hukum itu sendiri sudah hilang di mata masyarakat 5.
Karakteristik dari kasus yang bersangkutan Meski suatu kejahatan atau tindak pidana berada dalam
kategori tindak pidana yang sejenis, tetapi setiap kasus tidak mutlak sama persis dengan kasus lainnya. Ada ciri-ciri yang membedakan antara kasus yang satu dengan kasus lainnya yang menyebabkan disparitas pidana. Ciri-ciri tersebut yang dimaksud karakteristik dimana berkaitan dengan perumusan dalam bentuk yang diperingan dan yang diperberat. Perumusan
76
bentuk pokok merupakan pengertian yuridis dan tindak pidana bersangkutan,
sementara
perumusan dalam bentuk
yang
diperingan dan yang diperberat itu terkait unsur-unsur dari bentuk pokoknya. Menurut H. Muhammad Ansar, S.H, M.H, menyatakan bahwa : “ Dalam perkara pidana sifatnya kasuistis, tindak pidana pencabulan anak masuk dalam undang-undang perlindungan anak, adanya disparitas pemidanaan antara putusan yang satu dengan putusan yang lain dimungkinkan dilhat dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa” Terjadinya
disparitas
pidana
dalam
tindak
pidana
pencabulan terhadap anak dapat dilihat dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan baik keterangan terdakwa, keterangan saksi, alat bukti, banyaknya korban dari tindak pidana tersebut dapat mempegaruhi hakim dalam memutus suatu perkara. Dalam proses peradilan hakim akan memperhatikan aspek sosiologis dan kriminologisnya, aspek sosiologis misalnya berbicara tentang tingkat keseriusan dari tindak pidana yang dilakukan atau kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku tersebut, sedangkan aspek kriminologisnya misalnya berbicara latar belakang atau sebab terjadinya tindak pidana tersebut apakah ada hal-hal yang mendorong bagi diri pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut.
77
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pada Perkara Pencabulan Terhadap Anak di Pengadilan Negeri Makassar Dasar pertimbangan hakim merupakan hasil musyawarah antara majelis hakim yang telah menangani suatu perkara untuk dijatuhi putusan. Dalam Bab XI mengenai Putusan Pengadilan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “ Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk nengadili”. Hakim di Pengadilan Negeri Makassar dalam menjatuhkan putusan dalam perkara pencabulan terhadap anak wajib memuat dasar pertimbangan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan. Dasar pertimbangan hakim ini dimusyawarakan dalam rapat majelis hakim yang menangani suatu perkara tersebut. Secara implisit di dalam undang-undang tidak diatur secara tegas mengenai penentuan berat ringannya pidana namun secara eksplisit dapat ditemukan beberapa ketentuan yang dapat digunakan hakim sebagai pedoman yaitu : 1. Pasal 28 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari si petindak;
78
2. Pasal 54 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009 menyatakan bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan; 3. Pasal 55 Rancangan KUHP Tahun 2013 menyatakan bahwa dalam
pemidanaan
hakim
wajib
mempertimbangkan
kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap bathin pembuat tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana, pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, pemaafan dari korban dan/atau keluarganya serta pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Putusan hakim yang berkeadilan pertimbangannya didasarkan pada pelaku dan juga korban. Pada pelaku pertimbangannya didasarkan pada :
79
a. Pertimbangan yuridis (bersifat objektif) 1. Alat bukti yang mendukung ; 2. Ada alasan pengecualian, pemberatan dan peringanan pidana. b. Pertimbangan subjektif terhadap pelaku 1. Hal-hal yang meringankan pelaku tindak pidana; 2. Hal-hal yang memberatkan pelaku tindak pidana. Lain halnya dengan pertimbangan hakim terhadap korban yaitu didasarkan pada : a. Pertimbangan yuridis (objektif) yaitu peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, hal ini bisa dijadkan alasan yang meringankan atau yang memberatkan pidana terhadap pelaku ; b. Pertimbangan terhadap dampak tindak pidana terhadap korban ( bersifat subjektif).
Hakim dalam menjatuhkan putusan harus didasarkan pada keyakinan hakim melalui alat bukti yang sah yang telah ditentukan oleh undang-undang, lebih lanjut dengan tidak adanya ketentuan minimum dan hanya dicantumkan maksimum saja dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam KUHP maka besar kemungkinan akan lahir putusanputusan yang beragam. Hal demikian mengingat subyektifitas masingmasing hakim sebagai manusia terdapat perbedaan. Dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Negeri Makassar dalam menjatuhkan putusan dalam perkara pencabulan terhadap anak akan disajikan dalam tabel berikut :
80
Tabel 2 Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Makassar No.
Nomor Putusan
Hakim
Terdakwa
Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
1. No.1325/Pid.B/20 10/PN. Mks
Jamuka
Nuhung DG
Sitorus, S.H,
Ngitung
M.Hum
1. Perbuatan terdakwa membuat para saksi korban trauma; 2. Perbuatan terdakwa tersebut
dapat
merusak
masa
depan anak-anak; 3. Perbuatan terdakwa melanggar
norma-
norma agama; 4. Alat
bukti
visum
et
berupa repertum
No.VER/35/VI/2010/ Rumkit atas nama Rudi
Aryanto,
Alimuddin
dan
Ali
Muhammad Akram. 5. Korbannya
adalah
anak-anak yaitu Rudi Aryanto,
Alimuddin
dan Ali Muhammad Akram.
81
6. Terdakwa
adalah
recidivis
(dengan
perbuatan
yang
sama) ; 7. Terdakwa
bekerja
sebagai pemulung. 2. No.816/Pid.B/201 0/PN.Mks
Aswijo,
Achmad
1. Perbuatan
terdakwa
S.H,M.H
Yolan Alias
telah merusak moral
Master
korban yang masih anak-anak dan belum patut mengetahui halhal
yang
dilakukan
terdakwa; 2. Perbuatan
terdakwa
dapat mengakibatkan korban
trauma
psikisnya; 3. Alat
bukti
berupa
Visum Et Repertum atas nama Muh.Nur Hidayat No.Ver/44/III/2010/Ru mkit,
Andi
Ilham
Ramadhan No.Ver/II/III/2010/Ru mkit
dan
Afral
No.Ver/45/III/2010/Ru mkit. 4. Korbannya
adalah
anak-anak
yaitu
Muh.Nur
82
Hidayat,
Andi
Ilham
Ramadhan dan Afral. 5. Terdakwa
bersikap
sopan di persidangan dan telah mengakui kesalahannya
dan
menyesalinya; 6. Terdakwa muda
masih
dan
dapat
masih diharap
merubah kelakuaannya
di
masa datang; 7. Terdakwa
belum
pernah dihukum; 8. Terdakwa sebagai swasta.
Dari uraian tabel diatas, akan diuraikan dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku
tindak
pidana
pencabulan
terhadap
anak
sehingga
menyebabkan adanya disparitas putusan hakim. 1. Terdakwa adalah recidivis Dalam putusan pengadilan No.1325/Pid.B/2010/PN. Mks terdakwa merupakan adalah seorang recidivis sehingga hal tersebut
memberatkan
hukumannya
83
dan
dalam
putusan
bekerja karyawan
tersebut
disebutkan
bahwa
tidak
terdapat
hal-hal
yang
meringankan terdakwa. 2. Terdakwa belum pernah dihukum Dalam putusan pengadilan No.816/Pid.B/2010/PN Mks hal-hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa bersikap sopan di persidangan dan juga terdakwa masih muda sehingga diharapkan dapat merubah perbuatannya dan tidak melakukan perbuatan tersebut lagi. 3. Perbuatan tersebut menimbulkan trauma psikis pada korban Dari kedua putusan pengadilan tersebut menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku menimbulkan trauma psikologis bagi korban dalam hal ini anak sehingga hal tersebut menjadi hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa 4. Perbuatan tersebut dapat merusak masa depan anakanak yang menjadi korban pencabulan Dari kedua putusan pengadilan tersebut menyatakan bahwa perbuatan terdakwa dapat merusak masa depan anakanak yang menjadi korban pencabulan 5. Alat bukti surat berupa Visum Et Repertum Dalam putusan pengadilan Nomor 1325/Pid.B/2010/PN Mks terdapat alat bukti berupa visum et repertum dari RS Bhayangkara
Mappaodang
84
Makassar
No:VER/35/III/2010/Rumkit, yang dibuat oleh Dr.Irma P.S pada tanggal 27 Juni 2010 sedangkan pada putusan pengadilan No.816/Pid.B/2010/PN Mks, Alat bukti surat berupa visum et repertum dari RS Bhayangkara Mappaodang atas nama Muh.Nur
Hidayat
no.
Ver/44/III/2010/Rumkit,
Afral
no.
Ver/45/III/2010/Rumkit yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Suzy Wijaya tanggal 20 Maret 2010 dan atas nama Andi Ilham Ramadhan No. Ver/II/III/2010/Rumkit yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Suwandi tanggal 25 Maret 2010. 6. Korbannya adalah anak-anak Dari kedua putusan pengadilan diatas menyebutkan bahwa korbannya adalah anak-anak, pada putusan pengadilan No.1325/Pid.B/2010/PN Mks korbannya adalah Rudi Aryanto, Alimuddin dan Ali Muhammad Akram sedangkan pada putusan pengadilan No.816/Pid.B/2010/PN Mks,
korbannya adalah
Muh.Nur Hidayat, Andi Ilham Ramadhan dan Afral. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan didasarkan pada hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan yang terdapat dalam diri dan perbuatan dari terdakwa dalam kasus yang penulis angkat dalam putusan pengadilan No.1325/Pid.B/2010/PN
Mks
dan
putusan
pengadilan
No.816/Pid.B/2010/PN Mks tidak terdapat hal-hal yang dapat menjadi alasan penghapusan pidana. Adapun yang membedakan pada kasus
85
ini yaitu pada putusan pengadilan No.1325/Pid.B/2010/PN Mks terdakwa dijerat dengan pasal yang bersifat kumulatif yaitu Pasal 82 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 290 ayat (2) KUHP dan dijatuhi pidana 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan penjara dan denda sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan sedangkan pada putusan pengadilan No.816/Pid.B/2010/PN Mks terdakwa dijerat dengan Pasal yang bersifat kumulatif yaitu Pasal 82 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 290 ayat (2) KUHP dan Pasal 292 KUHP, terdakwa dijatuhi pidana 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan. Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa
pidana
yang
dijatuhkan
pada
putusan
pengadilan
No.816/Pid.B/2010/PN Mks jauh lebih lama dari pidan yang dijatuhkan pada putusan pengadilan No.1325/Pid.B/2010/PN Mks. Menurut Hakim Pengadilan Negeri Makassar H. Muhammad Ansar S.H, M.H, (Wawancara, Kamis 08 Januari 2015) menyebutkan bahwa “ pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap suatu kasus tidak harus sama hal tersebut bersifat kasuistis tergantung dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa sebagai contoh bahwa terdakwa yang hanya melakukan perbuatan cabul tidak sampai pada perbuatan sodomi maka pidana yang dijatuhkan jauh lebih ringan dari terdakwa yang melakukan sodomi
86
terhadap korbannya dan juga apakah keluarga korban sudah memaafkan perbuatan pelaku turut menjadi faktor yang mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan”.
87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas penjatuhan pidana dalam perkara pencabulan terhadap anak di Pengadilan
Negeri
Makassar
adalah
perangkat
peraturan perundang-undangan,kekuasaan hakim dalam menjatuhkan putusan yang bersumber pada undangundang, rasa keadilan dari hakim, karakteristik dari kasus yang bersangkutan dan adanya pertimbangan tentang keadaan-keadaan dalam diri terdakwa. 2.Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan dakwaan penuntut umum didasarkan pada alat-alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, alat bukti surat yaitu visum et repertum dan keterangan terdakwa serta fakta-fakta lengkap di depan persidangan diperkuat dengan
keyakinan
hakim
itu
sendiri.
Dan
tidak
diperolehnya alasan penghapusan pidana yang membuat terdakwa lepas dari jeratan hukum. Selain itu, hakim juga
88
turut
mempertimbangkan
hal-hal
yang
dapat
memberatkan dan meringankan bagi terdakwa. B. Saran Terkait dengan penulisan karya ilmiah mengenai disparitas penjatuhan sanksi pidana terhadap putusan perkara pencabulan terhadap anak, penulis memberikan saran yaitu : 1. Meskipun
terdapat
perbedaan
yang
mencolok
dari
putusan hakim yang satu kasus dengan kasus yang lain yang dapat menimbulkan disparitas pemidanaan, hakim hendaknya tetap memperhatikan rasa keadilan yang ada didalam setiap pengambilan keputusan tersebut. 2. Adanya disparitas pemidanaan ini diharapkan akan membuat para pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak akan jera untuk mengulangi perbuatannya dan menjadi upaya preventif untuk masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan yang sama.
89