BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya bagi manusia pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen ke-IV menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal ini mengamanatkan betapa pentingnya anak sebagai penerus bangsa sehingga harus dilindungi dan didorong untuk tumbuh dan berkembang dalam harkatnya sebagai anak-anak. Oleh karena itu, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perekonomian fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal
1
2
tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice) tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana.
3
Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (SMR-JJ) atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan anak (Aims of Juvenile Justice), sebagai berikut: “The juvenile Justice System shall emphasize wel-being of the juvenile ang shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offender and offence.” (Sistem Peradilan pidana bagi anak/remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggarpelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya).1 Dibentuknya Undang-undang tentang pengadilan anak, antara lain karena disadari bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus.
2
Dari hasil
pengamatan yang penulis lakukan terhadap pelaksanaan peradilan pidana
1
Abintoro Prakoso, Vage Normen Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum diterapkan oleh Polisi Penyidik Anak, Vol.17, No.2, April 2010, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, 2010, hlm. 251. 2 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika,Jakarta, 2008, hlm. 29.
4
anak, terdapat fakta bahwa proses pengadilan pidana bagi anak, menimbulkan dampak negatif pada anak. Untuk menanggulangi dampak negatif tersebut, di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak3, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial. Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal maupun factor eksternal.
3
Dalam penuisan tesis ini Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak masih berlaku, mengingat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak baru berlaku 2 (dua) tahun setelah diundangkan, yaitu mulai berlaku tahun 2014 yang akan datang.
5
Salah satunya adalah dalam sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia. Padahal pemidanaan itu sendiri lebih berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual / personal (Individual responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu
untuk
bertanggung
jawab
penuh
terhadap
perbuatan
yang
dilakukannya. Sedangkan anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan / perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal tersebut tentu saja dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak tersebut. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang yang ada di dekatnya. Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Deliquency, dibahas dalam Badan Peradilan Amerika Serikat dalam usaha untuk membentuk suatu Undang-Undang Peradilan Anak. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu segi pelanggaran hukumnya dan sifat
6
tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku dan melanggar hukum atau tidak. Juvenile Deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anakanak usia muda.4 Pengadilan anak dibentuk karena dilatar belakangi sikap keprihatinan yang melanda Negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun perlakuan terhadap pelaku tindak kriminal dewasa, sehingga diperlukan tindakan perlindungan khusus bagi pelaku kriminal anak-anak. Pengadilan anak dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bagi anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan hakhak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child).
4
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, 2009. hlm.11.
7
Seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak akan lebih mudah pengendaliannya dan perbaikannya daripada seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan karena taraf perkembangan anak itu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, pada usia bayi, remaja dewasa dan usia lanjut akan berlainan psikis maupun jasmaninnya. Sistem pemidanaan dengan pemberian sanksi pidana yang bersifat edukatif / mendidik selama ini jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia khususnya oleh hakim. Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua / wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau dianutnya. Sistem pemidanaan individual (individual responsibility) yang digunakan selama ini adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat fragmentair yaitu hanya melihat upaya pencegahan tersebut dari segi individu/personalnya saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak hanya dilihat dari penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari banyak faktor, salah satunya adalah membuat bagaimana si anak tidak lagi mengulangi perbuatannya namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang baik kepada si anak.
8
Hal ini dimaksudkan agar mental spiritual si anak itu lebih terdidik sehingga perilaku yang menyimpang dari si anak inipun menjadi lebih baik. Dengan dimasukkannya si anak sebagai pelaku kejahatan ke Lembaga Pemasyarakatan bukannya tidak menjamin bahwa si anak tersebut dapat berubah, namun di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut tidak ada masukan yang lebih bagi perbaikan mental spiritual anak karena mereka diasingkan bersama-sama dengan para pelaku tindak pidana lain hal ini mengakibatkan proses pemulihan perilaku si anak untuk menjadi lebih baik sering kali terhambat yang disebabkan lingkungan dari dalam LP itu sendiri yang kurang kondusif. Tentunya hal ini akan berbeda jika menempatkan si anak pada suatu lingkungan dimana dia tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pelaku tindak pidana, namun lebih memperlakukan si anak sebagai seorang manusia yang belum dewasa yang masih belum tahu apa-apa sehingga masih perlu diberikan bimbingan, pengarahan serta pengajaran mana yang disebut dengan tindakan baik dan mana yang disebut dengan tindakan buruk. Tentu saja perlakuan yang diberikan kepada mereka yang terlibat tindak pidana, selama dalam proses hukum dan pemidanaannya menempatkan mereka sebagai pelaku tindak kriminal muda yang mempunyai perbedaan karakteristik dengan pelaku tindak kriminal dewasa. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih
9
panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembaruan sistem peradilan pidana anak di Indonesia antara lain, mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
10
Oleh sebab itu Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.Yk.
yang
menjatuhkan
pidana
penjara
terhadap
Muhammad Viro Raihantio alias Iwenk Bin Dewantoro Indro Koesoema yang baru berumur 17 tahun dengan status pelajar di Kota Yogyakarta, merupakan putusan yang tidak sesuai terhadap konsep pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Selain Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta, masih banyak putusan pengadilan anak yang cenderung menjatuhkan pidana penjara daripada tindakan terhadap anak nakal, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium/the last resort principle) dan dijatuhkannya hanya untuk waktu yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai ultimum remedium atau the last resort principle adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak. Asas ultimum remidium atau the last resort untuk pemidanaan anak juga memiliki landasan hukum dalam Instrumen-Instrumen Internasional yaitu Beijing
Rules,
Riyadh
Guidelines,
Peraturan-Peraturan
PBB
bagi
Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya. Ketentuan hukum internasional seperti Beijing Rules (United Nations Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice) menegaskan bahwa Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum
11
berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya. Anak-anak hanya dapat dihilangkan kebebasannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada dalam The Beijing Rules. Ditegaskan bahwa, menghilangkan kebebasan seorang anak haruslah merupakan suatu keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang minimum serta terbatas pada kasus-kasus yang luar biasa. Ketentuan demikian terdapat dalam bagian satu prinsip-prinsip umum butir ke-5 tentang Tujuan-tujuan peradilan bagi anak. Selanjutnya dalam The Riyadh Guidelines (United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency) butir 54 menyebutkan tidak seorang anak atau remajapun yang menjadi obyek langkah-langkah penghukuman yang keras dan merendahkan martabat di rumah, sekolah atau institusi-institusi lain. Ditegaskan dalam Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United Nations Rules For The Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty) bahwa, Sistem pengadilan anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental anak. Hukuman penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir. Dalam The United Nations Rules for The Protection of Juvenile Deprived Of Their Liberty ini menyebutkan seperti dalam Beijing Rules bahwa perampasan kemerdekaan anak hendaknya ditempatkan sebagai usaha terakhir dan itupun untuk jangka waktu yang pendek. Perampasan kemerdekaan atas diri anak, hendaknya tetap memperhatikan penghormatan hak-hak asasi anak, yang diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat
12
kegiatan yang bermanfaat demi peningkatan kesehatan dan munculnya selfrespect pada diri anak dalam rangka mempersiapkan anak berintegrasi di masyarakat. Dalam kepustakaan dan doktrin ditekankan bahwa, tujuan pemidanaan yang mempunyai fungsi perlindungan dan kesejahteraan menjadi pandangan yang banyak diikuti oleh para ahli hukum pidana saat ini. Para ahli hukum pidana berpendapat bahwa pemidanaan diusahakan untuk lebih manusiawi dan menjaga harkat dan martabat dari terpidana sehingga ketika dia kembali ke masyarakat, terpidana menjadi orang yang berguna di masyarakat. Tujuan pemidanaan yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan pada pelaku tindak pidana sesuai juga dengan tujuan pemidanaan kelompok utilitarian, yang terfokus pada segi manfaat atau kegunaannya. Dalam konteks ini, penekanannya pada situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan melalui penjatuhan pidanatersebut. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang dilarang itu. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward looking) dan sekaligus mempunyai sifat penjeraan (detterence). Seorang penulis lain, Fox berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan anak adalah “…to provide for welfare and healthy development of all children who come before it, including those who are charged with violating the
13
criminal law.”5 Jadi pemidanaan terhadap anak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi perkembangan anak termasuk dalam anak yang dituntut karena pelanggaran hukum pidana. Dengan demikian pemidanaan terhadap anak nakal haruslah tetap memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi perkembangan fisik dan psikis anak. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”TINJAUAN PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK NAKAL (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.Yk.).
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangatlah penting, yaitu untuk menegaskan pokok masalah atau sebagai pedoman dari masalah yang akan diteliti sehingga mempermudah bagi penulis dalam membahas permasalahan serta dapat mencapai sasaran, sesuai dengan apa yang diharapkan. Berpangkal pada latar belakang yang telah dikemukakan dimuka, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.Yk?
5
Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Sec ed, MacMillan Publishing Company, New York,1990 hlm. 309.
14
2. Apa manfaat pidana penjara bagi anak pada Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.Yk?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian sebagai pemecahan masalah yang dihadapi. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah: 1. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh data yang akan dipergunakan oleh Penulis dalam penyusunan tesis, sebagai syarat dalam meraih program pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. b. Untuk menambah pengetahuan Penulis dalam bidang hukum, khususnya dalam hal pemidanaan terhadap perkara tindak pidana anak, dengan harapan dapat bermanfaat di kemudian hari. 2. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara pada anak sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.Yk? b. Untuk mengetahui dan menganalisis manfaat pidana penjara bagi anak
Putusan
Pengadilan
78/Pid.B/2010/PN.Yk?
Negeri
Yogyakarta
No.
15
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tidak ditemukan penelitian serupa yang dilakukan oleh peneliti lain tentang Tinjauan Putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara terhadap anak nakal. Namun dalam penelusuran studi kepustakaan, ada beberapa penulisan hukum yang terkait dengan penegakan hukum dalam perkara pidana anak, yaitu: 1.
I Nyoman Ngurah Suwarnatha (07/259455/PHK/4319) mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada yang ditulis pada tahun 2009 dengan judul “Perlindungan Hak Asasi Anak Pidana Dalam Menjalani Masa Pidana”. Hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana pelaksanaan perlindungan hak asasi pidana anak dalam masa pidana, bagaimana pemberian dan pembatasan hak asasi anak pidana selama menjalani masa pidana, dan bagaimana proyeksi perlindungan hak asasi anak pidana dalam menjalani masa pidana yang akan datang. Pelaksanaan Perlindungan terhadap anak dilakukan melalui pembinaan dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama. Lapas anak memberikan perawatan rohani dan jasmani, dimana pelaksanaan pendidikan dan keterampilan pada lapas anak dapat menempuh pendidikan kejar paket A, B, keterampilan elektro dan otomotif. Lapas anak dapat memberikan ijin anak pidana melakukan komunikasi dengan keluarga dan teman.
16
2.
Zahru Arqom (08/276003/PHK/5136) mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada yang ditulis pada tahun 2011 dengan judul “Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Dalam Perkara Anak Nakal Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak di Yogyakarta”. Hal yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana penegakan hukum bagi anak dalam perkara anak nakal berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak di Yogyakarta, Bagaimana putusan perkara anak nakal tahun 2010 di Yogyakarta, bagaimana penerapan konsep keadilan bagi pidana anak. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 telah memberikan upaya konkret tentang perlindungan terhadap pelaku tindak pidana yang masih bersatus sebagai anak meski masih bernuasa menganut model keadilan retributif. Berdasarkan penulisan hukum tersebut di atas, penelitian yang
dilakukan oleh penulis apabila diperbandingkan substansi dan pokok bahasannya adalah berbeda dengan tesis ini. Tesis ini membahas 2 (dua) pokok bahasan yakni pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak dan manfaat pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana dengan objek penelitian Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Yogyakarta, Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas I Yogyakarta.
17
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian awal guna mengetahui lebih dalam mengenai objek penelitan. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran mengenai bagaimana dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap perkara tindak pidana anak dan apa manfaat pidana penjara bagi tindak pidana anak. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman kepada publik dan pihak-pihak terkait yang berminat dan berkepentingan terhadap persoalan yang berkaitan dengan tindak pidana anak. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran, masukan, dan perluasan ilmu hukum pada umumnya serta hukum acara pidana anak pada khususnya. F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan lengkap tentang hal-hal yang akan diuraikan dalam penulisan hukum ini, maka penulis akan memberikan sistematika penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari V bab, beberapa sub bab, termasuk pula daftar pustaka dan lampiran. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
18
BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini akan diuraikan tentang tinjauan pustaka yang menjadi literatur pendukung dalam pembahasan penulisan hukum ini. Tinjauan pustaka dalam penulisan hukum ini meliputi Tindak Pidana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Tinjauan Tentang Pengertian Anak, Tinjauan Tentang Tindak Pidana yang Dilakukan Anak, dan Tinjauan Tentang Tata Cara Persidangan di Pengadilan Anak. BAB III : METODE PENELITIAN Dalam Bab ini akan diuraikan tentang sifat penelitian, jenis data yang dianalisa yang terdiri dari data dokumen data lapangan, cara pengumpulan data yang terdiri dari pengumpulan data pustaka dan pengumpulan data lapangan, analisis data yang bersifat deskriptif kualitatif. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan
yaitu
mengenai
dasar
pertimbangan
yang
dipergunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara pada anak, penerapan asas ultimum remidium, dan manfaat
19
putusan pidana penjara yang dijatuhkan hakim dalam kasus pidana anak serta upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi penggunaan pidana penjara pada anak. BAB V : PENUTUP Pada bagian penutup memuat pokok-pokok yang menjadi simpulan dan saran. Pokok-pokok simpulan adalah jawaban dari pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Pokok-pokok simpulan diuraikan secara padat, ringkas dan spesifik. Pada bagian saran merupakan sumbangan pemikiran dalam praktik peradilan, khususnya bagi para hakim.