BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(selanjutnya disebut UUD 1945) hasil amandemen kedua memberi definisi tentang penduduk dalam dua kategori yaitu warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Adminduk) juga memberi definisi yang sama, penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Kedua ketentuan di atas memberi definisi yang berbeda terhadap penggolongan penduduk yang sebelumnya diatur dalam Pasal 163 Indische Staatregeling, ketentuan ini membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan:
Golongan
Eropa,
Golongan
Timur
Asing
dan
Golongan
Pribumi/Bumiputera. Amanat ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Adminduk yaitu menghapus penggolongan penduduk dalam hal pelayanan administrasi kependudukan. Kaitannya dalam penelitian ini bahwa kedua ketentuan tersebut di atas, tidak serta merta menghapus ketentuan berlakunya hukum waris barat. Hukum waris barat merupakan bagian dari isi Kitab Undangundang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) diterapkan dalam mengatur dan 1
2 menyelesaikan urusan waris di Indonesia. Hal ini juga berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 hasil amandemen keempat yang dengan tegas mengatur bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru. Satu komunitas yang sama, dimungkinkan di dalamnya ada beberapa sistem hukum berlaku secara bersamaan, keberlangsungan pluralitas sistem hukum dapat memicu berbagai masalah dan ketegangan, namun ketegangan tersebut menjadikan Hukum Barat berkembang seiringan dengan penerapannya dan menjadi acuan hukum yang mampu memecahkan beberapa konflik hukum. Dasar hukum berlakunya BW di Indonesia adalah Azas Konkordansi dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Sudikno Mertokusumo menambahkan, bahwa para ahli tidak mempersoalkan secara mendalam mengapa hukum Belanda masih berlaku di Indonesia dan sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 serta masih dibutuhkan.1 Masalah warisan di Indonesia dapat diselesaikan menurut hukum waris barat, hukum waris Islam dan hukum waris adat. Hukum waris barat bersumber dari KUHPerdata terjemahan dari BW peninggalan Belanda. Hukum waris Islam bersumber dari firman Allah SWT dan Sunnah Rasul Muhammad SAW yang diyakini berlaku secara universal di seluruh belahan dunia, sumber lainnya adalah ijtihad alim ulama yang disesuaikan dengan budaya dan hukum lokal di Indonesia, menjadi pedoman bagi penduduk yang beragama Islam. Acuan berikutnya dalam
1
Mas Anienda Tien, Hukum Perdata Dalam Sistim Hukum Nasional,http://elearning.upnjatim.ac.iddiakses terakhir pada tanggal 1 Maret 2014.
3 masalah waris di Indonesia adalah hukum waris adat yang bersumber dari adat dan kebiasaan masyarakat adat tertentu di Indonesia yang merupakan negara plural dan memiliki beragam adat yang berbeda. Effendi Perangin dalam bukunya menggambarkan keberlakuan dari ketiga acuan hukum tersebut sebagai berikut: Ketentuan-ketentuan hukum waris dalam KUHPerdata hanya berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada KUHPerdata itu, mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, khususnya mengenai hukum waris ialah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa, sebagian besar rakyat Indonesia tunduk kepada hukum adat, di berbagai daerah ketentuan-ketentuan mengenai pewarisan yang diatur dalam hukum Islam telah meresap ke dalam hukum adat.2 Amanat yang terkadung dalam Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen kedua dan Pasal 1 angka 2 UU Adminduk, jika dilihat dari definisi penduduk maka seharusnya ketentuan hukum waris dalam KUHPerdata berlaku bagi setiap penduduk di Indonesia tanpa penggolongan. Hal ini menjadi alasan logis yang menjadi spirit dalam melakukan penelitian ini, karena secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dipedomani oleh semua penduduk di Indonesia tanpa penggolongan dalam menerapkan norma dan ketentuan pewarisan. Pewarisan merupakan salah satu pranata peralihan hak yang sering menjadi pemicu perselisihan dalam keluarga yang diatur dalam hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang hukum perdata memiliki kesamaan sifat dasar antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan, sifat inilah yang ditengarai menjadi penyebab bahwa ketentuan hukum waris tidak dapat diterapkan secara efektif untuk melindungi hak-hak tiap individu dalam 2
Effendi Perangin,2011, Hukum Waris, Cet. X, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 2.
4 suatu pewarisan. Selain karena sifatnya, adanya keragu-raguan dan kekeliruan dalam penerapan norma hukum waris juga dapat menciderai rasa keadilan dan tidak dapat melindungi hak-hak tiap individu dalam suatu pewarisan. Pasal 830 KUHPerdata, mengatur bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian, tidak ada pewarisan tanpa kematian. Tan Thong Kie menambahkan bahwa salah satu syarat pewarisan adalah meninggalnya pewaris, termasuk “ada dugaan hukum sudah meninggal”.3 Pendapat ini berupaya menjelaskan adanya kaitan antara ketentuan Pasal 830 KUHPerdata tentang syarat suatu pewarisan dengan Pasal 463 KUHPerdata tentang ketentuan ketidakhadiran (afwezigheid). Ketidakhadiran (afwezigheid) dalam KUHPerdata mengenal 3 masa, yaitu: I. Pengambilan tindakan sementara; II. Masa ada dugaan hukum mungkin telah meninggal; dan III. Masa pewarisan definitif.4 Masa pewarisan definitif memiliki beberapa akibat hukum, di antaranya adalah para ahli waris atau orang yang memperoleh hak berhak menuntut pembagian warisan atas harta kekayaan orang yang tak hadir itu.5 Pasal 484 KUHPerdata mengatur tentang masa ketiga dalam ketidakhadiran (afwezigheid), yaitu masa pewarisan definitif dengan ketentuan yang tertulis sebagai berikut: Apabila waktu selama tiga puluh tahun telah lewat, setelah hari pernyataan barangkali meninggal tercantum dalam putusan atau, apabila sebelum itu, waktu selama seratus tahun telah lewat, semenjak hari lahir si tak hadir, maka terbebaslah sekalian penanggung, sedangkan pembagian harta kekayaan yang ditinggalkan, sekadar ini telah berlangsung, tetap berlaku, atau, jika belum berlangsung, para barangkali ahli waris boleh mengadakan pembagian yang 3
Tan Thong Kie, 2011, Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris, Cet. II, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hal.228. 4 Ibid, hal. 44. 5 Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 57.
5 tetap, seperti pun hak-hak lainnya atas harta peninggalan, boleh dinikmati pula. Demikianlah hak istimewa akan pendaftaran berakhir, sehingga para barangkali ahli waris harus diwajibkan menerima atau menolak, menurut peraturan yang ada tentang itu.6 Secara ringkas Abdulkadir Muhammad dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perdata Indonesia” menjelaskan: Jika tidak ada kabar kepastian meninggal dunia orang yang tak hadir itu, maka keadaan definitif terjadi apabila lampau tenggang waktu 30 tahun sejak hari pernyataan barang kali meninggal dunia yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri; atau apabila tenggang waktu 30 tahun belum lampau tetapi sudah lewat 100 tahun sejak hari lahir orang yang tak hadir itu.7 Ketentuan dan pendapat di atas memperjelas bahwa peralihan harta yang dimiliki oleh pewaris yang disangka mati (afwezig) dan tidak ada kabar kepastian meninggalnya baru dapat dilakukan setelah masa pewarisan definitif, yaitu telah mencapai waktu 30 (tiga puluh) tahun sejak disangka mati atau jika yang disangka mati (afwezig) telah berusia 100 (seratus) tahun. Pasal 481 KUHPerdata, memberi pengecualian terhadap barang tidak bergerak milik orang yang dalam keadaan tak hadir (afwezig), bahwa boleh dialihkan atau dibebani haknya di luar masa pewarisan definitif dengan ketentuan yang tertulis sebagai berikut: Barang-barang tak bergerak kepunyaan si yang tak hadir yang jatuh dalam bagian atau pengurusan salah seorang barangkali ahli waris, tidak boleh setelah itu dipindahtangankan atau dibebani, sebelum lewat waktu seperti nanti ditentukan dalam Pasal 484 KUHPerdata, kecuali bilamana ada alasanalasan yang penting dan dengan izin Pengadilan Negeri.8
6
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2008. Kitab Undang-undang Hukum Perdata-Burgerlijk Wetboek, Cetakan ke-39, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 150. 7 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 56. 8 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit, hal. 149.
6 Ketentuan Pasal 481 KUHPerdata menjadi kabur/tidak jelas (vague van normen) karena tidak memberikan kepastian dan menimbulkan multitafsir terhadap kalimat “kecuali bilamana ada alasan-alasan yang penting dan dengan izin Pengadilan Negeri”. Barang-barang tidak bergerak dalam ketentuan tersebut tidak boleh dialihkan atau dibebani haknya sebelum lewat waktu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 484 KUHPerdata. Pengecualian terhadap alasan-alasan yang penting untuk dapat dialihkan atau dibebani tidak jelas ditentukan, dan kepentingan tersebut bisa saja direkayasa untuk kepentingan sebagian pihak yang ingin memperoleh keuntungan dan mengesampingkan hak seorang yang disangka mati (afwezig) atau hak-hak ahli waris lainnya. Kondisi norma yang kabur/tidak jelas (vague van normen) dapat menimbulkan pertentangan secara vertikal dan horisontal terhadap peraturan perundang-undangan, serta keraguan-raguan dan ketidakpastian dalam penerapannya. Pasal 68 ayat (1) UU Adminduk, mengatur bahwa akta pencatatan sipil terdiri dari: kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak dan pengesahan anak. Kaitannya dalam penelitian ini adalah dalam hal pencatatan kematian yang selanjutnya diatur dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 44 UU Adminduk. Pasal 44 UU Adminduk, mengatur tentang pencatatan kematian, dengan beberapa ketentuan yang disebutkan dalam beberapa ayat, sebagai berikut: (1) Setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun tetangga atau nama lainnya di domisili Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian.
7 (3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan keterangan kematian dari pihak yang berwenang. (4) Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. (5) Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya, Instansi Pelaksana melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian. Kematian adalah suatu keniscayaan bagi manusia dan semua makhluk yang hidup, meyakini hal ini adalah sebagai salah satu implementasi dari keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana Allah Bapa telah bersabda: “….tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian....” (Pengkhotbah 8:8). Peristiwa hukum yang disebut kematian ini akan menimbulkan berbagai akibat hukum, akibat hukum yang dimaksud antara lain adalah tentang pengaturan mengenai pembagian harta yang ditinggalkan (warisan). Akibat hukum ini didahului dengan pencatatan sipil dalam bentuk akta kematian dari seorang yang meninggal baik kematian yang alamiah maupun dalam peristiwa kematian yang disangka secara hukum terjadi kematian, akta kematian inilah yang nantinya akan dijadikan dasar untuk membuat surat keterangan waris yang digunakan untuk memisahkan dan membagi harta warisan. Pelaksanaan pencatatan kematian dan pembuatan surat keterangan waris tersebut sangat membutuhkan peran dan fungsi Pejabat Catatan Sipil dan Notaris. Udin Narsudin dalam disertasinya menjelaskan bahwa keterangan ahli waris merupakan salah satu dokumen yang menjadi referensi atau alat bukti dalam melakukan pembagian harta peninggalan untuk ahli waris, dengan keterangan ini akan dapat diketahui siapa saja yang berhak atas warisan atau harta peninggalan pewaris. Keterangan ahli waris di Indonesia sampai saat ini pengaturannya masih
8 pluralistic dan akibatnya sampai kini keterangan ahli waris masih belum seragam sehingga tidak mencerminkan unsur kepastian hukum yang diamanatkan konsep negara hukum. Selain itu di dalam praktek, pembuatan surat keterangan waris pun tidak jelas. Banyak ditemui pembuatan konsep surat keterangan waris yang tidak memenuhi syarat formal maupun syarat material sebagai akta untuk pembuktian hukum. Secara cermat jika ditilik, bisa jadi keterangan ahli waris yang dimiliki seseorang ternyata dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang, dengan demikian produk keterangan ahli waris seperti ini berpotensi masalah. Kasus yang akan dikaji dan dibahas dalam penelitian ini adalah kasus waris berkaitan dengan masalah pencatatan sipil sebagaimana uraian ilustrasi kasus sebagai berikut, pewaris karena suatu hal tidak diketahui keberadaannya kemudian disangka mati dan meninggalkan harta warisan. Potensi masalah pertama dalam kasus perdata ini adalah tentang peran Pejabat Pencatatan Sipil, Balai Harta Peninggalan, Pengadilan Negeri, dan Notaris terhadap afwezig terkait hak dan kewajibannya dalam pewarisan. Masalah berikutnya adalah tentang akibat hukum peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig sebelum masa pewarisan definitif berdasarkan ketentuan Pasal 481 dan Pasal 484 KUHPerdata. Masalah hukum mulai berkembang dari masalah keperdataan meluas menjadi bagian dari masalah dalam kajian hukum administrasi negara yaitu dalam hal pencatatan sipil tentang pembuktian suatu peristiwa kematian melalui akta kematian, hal ini berkaitan dengan UU Adminduk. Kajian masalah dalam
9 penelitian ini tidak hanya membahas masalah perdata waris semata, namun juga melalui perspektif hukum administrasi negara tentang pencatatan sipil. Penelitian ini di dalamnya terdapat berbagai kutipan dari penelitian terdahulu yang juga meneliti masalah hukum waris menurut KUHPerdata berkaitan dengan hukum administrasi negara semata-mata digunakan sebagai rujukan penelitian. Untuk mempertegas perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu tersebut maka dalam penelitian ini diuraikan masing-masing masalah dan hasil dari penelitian-penelitian tersebut yaitu: Pertama, dilakukan oleh Woedjoed Wiradi, pada tahun 2006, dalam tesis di Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul “Akibat Hukum Surat Keterangan Waris Ganda Terhadap Akta Otentik Yang Telah Dibuat”. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:(1) Bagaimanakah jenis dan produk hukum tentang penetapan ahli waris serta pembagiannya yang berlaku di Indonesia dan (2) Bagaimanakah akibat akta otentik yang telah dibuat, jika kemudian diketahui bahwa surat keterangan warisnya adalah ganda. Hasil penelitian adalah:(1) Bahwa berlakunya hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam bagi orang Islam berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, orang Islam yang akan melangsungkan perkawinan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan perkawinan menurut hukum Islam. Sementara itu orang Islam yang akan membagi warisan tidak harus tunduk pada ketentuan-ketentuan kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Hal ini di antaranya didasarkan pada Pasal 49 dan penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Pasal 49 ayat (1) menegaskan tentang
10 kewenangan absolut peradilan agama, penjelasan ditegaskan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut. Bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam, sehubungan dengan hal tersebut para pihak dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian kewarisan; (2) Bahwa menurut hukum positif (tata hukum) Indonesia, orang Islam tidak harus tunduk pada hukum kewarisan Islam. Apabila mereka hendak membagi warisan, orang Islam boleh menggunakan pranata hukum lain (misalnya kewarisan adat atau hukum kewarisan berdasarkan KUHPerdata) apabila hendak membagi warisan. Bahwa surat keterangan waris dalam praktek pembuatannya ada beberapa produk-produk hukum tentang penetapan ahli waris menurut hukum Islam dan hukum adat yang ada. Kedua, dilakukan oleh Putut Bayu Satriya, pada 2007, dalam tesis di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, dengan judul “Peranan Balai Harta Peninggalan Semarang Dalam Pengelolaan Harta Warisan Anak Yang Belum Dewasa”. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah peranan Balai Harta Peninggalan dalam mengelola harta warisan anak yang belum dewasa; (2) Masalah-masalah apa saja yang sering dihadapi dan bagaimana penyelesaiannya oleh Balai Harta Peninggalan dalam mengelola harta warisan anak yang belum dewasa. Hasil penelitian, Peranan Balai Harta Peninggalan dalam mengelola harta warisan anak yang belum dewasa meliputi: (1) Peranan Balai Harta Peninggalan sebagai wali
11 sementara, wali sementara berfungsi sebagai pengganti wali sebelum ditetapkan wali atas diri anak yang belum dewasa. Peranan Balai Harta Peninggalan sebagai wali sementara menjaga agar anak yang belum dewasa jangan sampai berada dalam keadaan ketiadaan wali, yang dapat mengakibatkan tidak terselenggaranya pengurusan yang berhubungan dengan kepentingan dan harta kekayaan anak yang belum dewasa tersebut. Tugas sebagai wali sementara ini sesuai dengan Pasal 359 ayat (7) KUHPerdata; (2) Peranan Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas, dalam peranan sebagai wali pengawas, Balai Harta Peninggalan bertindak untuk mengamati apakah wali telah melaksanakan kewajibannya dan bila perlu Balai Harta Peninggalan memberikan nasehat-nasehat kepada wali untuk melakukan kewajibannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 366, 370, 371, 372, 373, 374 KUHPerdata. Adapun hambatan yang dihadapi yaitu kurangnya kesadaran dari anggota keluarga anak yang belum dewasa tentang tugas dan kedudukan Balai Harta Peninggalan dalam pengelolaan harta warisan anak
yang
belum
dewasa.
Prosedur
perwalian
kadang-kadang
terlalu
membingungkan dan tak diketahui oleh wali, biaya sebesar 33/4% dalam mengurus prosedur ini sampai selesai, sering kali keluarga berfikir bahwa biaya tersebut digunakan sendiri oleh “aparat” Balai Harta Peninggalan. Ketiga, dilakukan oleh Fenny Hudaya Sulistyo, pada tahun 2010, dalam tesis di Program Magister Notariat Universitas Airlangga, dengan judul “Penggunaan Bentuk Partij Akta Dalam Pembuatan Surat KeteranganWaris Oleh Notaris”. Penelitian ini dalam pokok masalahnya meneliti dan membahas tentang peristiwa hukum yang disebut kematian, dimana peristiwa hukum ini akan
12 menimbulkan suatu akibat hukum. Akibat hukum yang dimaksud antara lain adalah pengaturan mengenai pembagian harta warisan dari orang yang meninggal dunia tersebut atau yang disebut pewaris. Untuk itu diperlukan surat keterangan waris, dimana substansinya memuat tentang keterangan tentang siapa yang menjadi ahli waris atau yang menjadi legataris dari seseorang yang meninggal dunia, berikut bagian masing-masing. Notaris berwenang membuat surat keterangan waris untuk masyarakat yang masuk dalam golongan Timur Asing, namun bentuk format surat keterangan waris ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Maka perlu adanya unifikasi hukum yang mengatur tentang bentuk format surat keterangan waris oleh Notaris ini. Dengan kewenangan yang ada pada Notaris dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, maka Notaris atas permintaan para pihak yaitu para ahli waris dapat membuatkan bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian hak waris dalam bentuk format partij akta. Dengan menggunakan bentuk format partij akta, maka akibat hukumnya adalah materi atau substansi dari akta tersebut menjadi tanggung jawab para pihak yang menyatakannya atau menerangkannya di hadapan Notaris. Notaris hanya bertanggungjawab untuk segi formalitasnya dan lahiriah mengenai bentuk akta. Keempat, dilakukan oleh Udin Narsudin, pada tahun 2012, dalam penelitian berupa disertasi di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung, dengan tema “Kewenangan Pembuatan Keterangan Ahli Waris di Indonesia". Penelitian ini dilakukan untuk membahas pokok-pokok masalah sebagai berikut: keterangan ahli waris sampai saat ini tidak diatur secara
13 memadai, baik dari sudut statusnya apakah sebagai akta otentik atau di bawah tangan, siapa atau lembaga apa yang berwenang membuat keterangan ahli waris, dan juga mengenai kekuatan mengikatnya. Masalah berikutnya adalah bahwa aturan yang mengatur soal perkawinan, warisan dan sejenisnya masih berdasarkan aturan masing-masing golongan penduduk yang berbeda-beda, akhirnya mengakibatkan adanya pengaturan yang berbeda terhadap masalah keterangan ahli waris ini. Hal tersebut di antaranya dalam Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan. Selain itu, juga dalam ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hasil dalam penelitian ini adalah bahwa hukum waris Indonesia terjadi pluralisme yang tidak mudah diunifikasikan dan diberlakukan secara penuh di seluruh Indonesia, namun walau dalam kondisi hukum yang plural, hal ini tidak menutup kemungkinan pembuatan keterangan ahli waris oleh Notaris saja. Kondisi hukum warisyang plural, tidak serta merta mengharuskan pembuatan keterangan ahli warisoleh institusi yang berbeda. Selain masalah pluralisme, problem keterangan ahli waris juga adalah bahwa keterangan ahli waris sampai saat ini tidak diatur secara memadai, baik dari sudut statusnya apakah sebagai akta otentik atau di bawah tangan, siapa atau lembaga apa yang berwenang membuat keterangan ahli waris, dan juga mengenai kekuatan mengikatnya.
14 Kelima, dilakukan oleh Ibrahim Ghozi Baisa, pada tahun 2013, dalam penelitian berupa tesis di Program Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang, dengan judul “Analisis Yuridis Penggolongan Penduduk Dalam Pembuatan Surat Keterangan Hak Waris Dari Perspektif Hak Asasi Manusia". Pokok masalah dalam penelitian ini adalah apa alasan dasar adanya penggolongan penduduk dalam pembuatan surat keterangan hak waris ditinjau dari perspektif hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan, dan konsekuensi yuridis dari surat keterangan hak waris yang dibuat oleh Notaris dengan adanya penggolongan
penduduk.
Berdasarkan
hasil
penelitian,
adanya
aturan
penggolongan penduduk ini karena aturan pembuatan surat bukti keterangan sebagai ahli waris dibuat pada saat di Indonesia masih terdapat penggolongan penduduk. Namun, setelah adanya aturan lain yang meniadakan penggolongan penduduk, aturan pembuatan surat bukti keterangan sebagai ahli waris tidak segera diganti untuk menyesuaikan. Padahal penggolongan penduduk seperti itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris dengan dasar hukum ada penggolongan penduduk yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain sehingga dasar hukum tersebut cacat, berimplikasi pada produk hukum yang dihasilkan tersebut juga cacat. Uraian singkat tentang rumusan masalah dan hasil penelitian dalam penelitian-penelitian di atas memperlihatkan perbedaan yang jelas dengan penelitian ini sehingga menjadikan penelitian ini asli. Penelitian ini dibatasi dalam pembahasan tentang peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak
15 milik afwezig sebelum masa pewarisan definitif berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata.
1.2 Rumusan Masalah Latar belakang di atas manjadi dasar dalam merumuskan masalah yang akan diteliti. Rumusan masalah dalam penelitian ini fokus dan terbatas pada permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peran Pejabat Pencatatan Sipil, Balai Harta Peninggalan, Pengadilan Negeri, dan Notaris/PPAT terhadap afwezig terkait hak dan kewajibannya dalam pewarisan? 2. Bagaimanakah akibat hukum peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig sebelum masa pewarisan definitif berdasarkan ketentuan Pasal 481 dan Pasal 484 KUHPerdata?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua tujuan, yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Lebih lanjut tentang kedua tujuan tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dan konsekuensi hukum peralihan harta warisan pewaris yang disangka mati berdasarkan
ketentuan
KUHPerdata
dan
kaitannya
dengan
persyaratan
16 penunjangnya berupa pencatatan kematian pewaris yang disangka mati sebagaimana diatur dalam UU Adminduk.
b. Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan, yaitu: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran Pejabat Pencatatan Sipil, Balai Harta Peninggalan, Pengadilan Negeri, dan Notaris/PPAT terhadap afwezig terkait hak dan kewajibannya dalam pewarisan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig sebelum masa pewarisan definitif berdasarkan ketentuan Pasal 481 dan Pasal 484 KUHPerdata.
1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Secara teoritis, sebagai sumbangan konsep/pemikiran dalam kepustakaan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam urusan waris. Urusan waris yang dimaksud adalah dalam hal proses dan konsekuensi hukum peralihan harta warisan pewaris yang disangka mati berdasarkan ketentuan KUHPerdata dan kaitannya dengan persyaratan penunjangnya berupa pencatatan kematian pewaris yang disangka mati sebagaimana diatur dalam UU Adminduk. b. Manfaat Praktis Secara praktis, sebagai informasi bagi masyarakat termasuk Pejabat Catatan Sipil dan Notaris sesuai peran dan fungsinya untuk menerapkan
17 pengetahuan yang tepat dalam praktek urusan catatan sipil dan waris. Peran dan fungsi yang dimaksud yaitu khususnya dalam hal proses dan konsekuensi hukum peralihan harta warisan pewaris yang disangka mati berdasarkan ketentuan KUHPerdata dan kaitannya dengan persyaratan penunjangnya berupa pencatatan kematian pewaris yang disangka mati sebagaimana diatur dalam UU Adminduk.
1.5 Landasan Teoritis dan Konseptual a. Landasan Teoritis Penelitian ini berlandaskan pada beberapa teori hukum yang akan digunakan dalam membahas dan memberikan gambaran mengenai pembahasan rumusan masalah. Teori tersebut terdiri dari Teori Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum, Teori Fungsi Hukum, dan Teori Sistem Hukum, serta Teori Interpretasi 1. Teori Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum Perlindungan menurut konsepnya, berarti mewajibkan pemerintah melalui berbagai instrumennya untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak individu masyarakat dengan menegakkan hukum yang berlaku, maka perlindungan itu dianggap ada. Soedikno Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenangwenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.9
9
E. Fernando M.Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Cet. I, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 99.
18 Konsep perlindungan tersebut di atas memberi gambaran terhadap unsurunsur yang relevan dengan penelitian ini dalam hal makna perlindungan itu sendiri. Perlindungan hukum dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah adanya jaminan hukum terhadap pelaksanaan waris yang merupakan hak individu dan terhindar dari diskriminasi serta adanya jaminan akan rasa aman dari gangguan pihak lain terhadap hak individu masyarakat berupa hak waris berdasarkan ketentuan KUHPerdata lebih khususnya perlindungan terhadap harta warisan pewaris yang disangka mati. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, mengatakan bahwa “hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel melainkan juga prediktif dan antisipasif”.10 Pendapat dari Sunaryati Hartono bahwa “hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial”.11 Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat prefentif dan represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang represif bertujuan menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.12
10
Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, 1993, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118. 11 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Nasional, Alumni, Bandung, hal. 55. 12 Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis atas Produk-Produk Masyarakt Lokal dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal. 18.
19 Perlindungan hukum yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengarah pada perlindungan hukum yang represif terutama ditujukan kepada para ahli waris yang tunduk atau menundukkan diri terhadap ketentuan KUHPerdata. Penelitian ini tidak juga mengesampingkan perlindungan hukum preventif dalam perjalanannya menuju demokratisasi yang mengedepankan adanya partisipasi masyarakat dalam pembuatan bentuk kebijakan hukum, yang bermuara pada jaminan kepastian hukum adanya perlindungan, ada jaminan akan rasa aman dari gangguan pihak lain. Perlindungan hukum sangat berkaitan dengan konsep kepastian hukum, ada dua pengertian tentang kepastian hukum menurut Gustav Radbruch, yaitu kepastian oleh karena hukum, dan kepastian dalam atau diri hukum, menjamin kepastian oleh karena hukum menjadi tugas dari hukum.13 Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian dalam hubungan-hubugan kemasyarakatan adalah hukum yang berguna. Kepastian dalam hukum tercapai apabila hukum itu terwujud dalam undang-undang, undang-undang tersebut tidak ada ketentuan yang saling
bertentangan,
undang-undang
tersebut
dibuat
berdasarkan
rechtswerkelijheid (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah hukum yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan. Selain itu disebutkan, bahwa kepastian mempunyai arti, bahwa dalam hal konkrit kedua pihak yang berselisih dapat menentukan kedudukan mereka. Dalam pengertian ini bermakna keamanan hukum, yakni mengandung perlindungan bagi kedua belah pihak yang berselisih terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang. 13
E. Utrecht, 1995, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cet. VI, P.T. Penerbitan dan Balai Buku Ichtia, Jakarta, hal. 26.
20 Sedangkan kepastian oleh karena hukum dimaksudkan, bahwa hukum menjamin kepastian pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain.14 Teori perlindungan hukum bersumber dari teori hukum alam (jus natural) sebagai istilah yang popular dari filsafat hukum, meskipun sebenarnya terhadap apa yang dimaksud dengan istilah hukum alam itu sendiri berbeda-beda pandangan dari satu ahli ke ahli lainnya.15 Hukum alam yang dicetuskan oleh Plato dan dikembangkan oleh pengikutnya-pengikutnya seperti Aritoteles dan Zeno (pendiri aliran Stoic), menyatakan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal, abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Inti ajaran ini adalah bahwa, alam harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan. Maka tolak ukur aliran hukum alam terhadap esensi hukum, terletak pada yang dipandang sesuai dengan kepentingan alam adalah kebaikan.16 Ajaran hukum alam pada dasarnya mengajarkan setiap manusia terlahir sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak hidup, hak untuk dilindungi dan hak yang lainnya. Menurut Locke manusia yang tertib dan menghargai kebebasan, hak hidup dan pemilikan harta sebagai hak bawaan manusia. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak melanggar hak-hak dasar manusia. Adanya kekuasaan adalah untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang
14
Ibid, hal. 25. Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 1. 16 Muhamad Erwin, 2013, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 141. 15
21 mungkin mengancam, baik datang dari dalam maupun dari luar. 17 Hukum yang dibuat dalam negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut. Immanuel Kant berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas, negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu tidak boleh dihalangi oleh negara.18 Upaya mendapatkan perlindungan hukum yang diinginkan adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun seringkali bersitegang. Fungsi primer hukum yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Prinsip hukum alam adalah dimaksudkan sebagai pedoman bagi sikap tindak manusia. Teori Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum dalam penelitian ini sebagai dasar untuk mengetahui dan menganalisis masalah kedua dalam rumusan masalah ini. Masalah tersebut adalah tentang akibat hukum peralihan harta tidak bergerak milik pewaris yang disangka mati oleh ahli waris dalam masa kurang dari 30 tahun sejak disangka mati, relevansi dengan ini teori ini adalah untuk
17
Bernard L Tanya, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y Hage, 2010, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 72-73. 18 Ibid, hal. 75.
22 memberikan perlindungan dan kepastian dalam pembagian harta warisan pewaris yang disangka mati sesuai dengan ketentuan dan norma yang berlaku.
2. Teori Fungsi Hukum Hukum pada dasarnya dapat melakukan dua fungsi, pertama sebagai sarana kontrol sosial, yang bertugas menjaga masyarakat agar tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya.19 Menurut fungsinya ini, hukum hanya mempertahankan saja apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima di dalam masyarakat atau hukum sebagai penjaga status quo. Kedua, hukum sebagai sarana “rekayasa sosial”, yang berfungsi untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Jadi hukum digunakan untuk menimbulkan suatu perubahan sosial yang nyata.20 Fungsi hukum sebagai law as a tool of social engineering (rekayasa sosial) seperti diungkapkan Roscoe Pound yang terkenal sebagai salah satu pendukung aliran Sociological Jurisprudence.21 Konsep tersebut mengandung makna bahwa, hukum dijadikan instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada tujuan yang diinginkan sebagaimana amanat dalam undang-undang, bahkan kalau perlu, menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif. Jadi dalam teorinya
ini,
hukum
dipergunakan
sebagai
alat
untuk
memperbaharui
(merekayasa) masyarakat. Untuk dapat memenuhi peranannya ini, Pound 19 20
Soekanto, 1973, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhatara, Jakarta, hal. 58. Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung,
hal. 117. 21
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Cet. II, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 129.
23 kemudian membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Public interest (kepentingan umum): (1) Kepentingan Negara sebagai badan hukum; (2) Kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat; 2. Social interest (kepentingan masyarakat): (1) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban; (2) Perlindungan lembaga-lembaga sosial; (3) Pencegahan kemerosotan akhlak; (4) Pencegahan pelanggaran hak; (5) Kesejahteraan sosial. 3. Private interest (kepentingan pribadi): (1) Kepentingan individu; (2) Kepentingan keluarga; (3) Kepentingan hak milik.22 Menurut Podgorecki yang kemudian direkonseptualisasikan oleh Satjipto Rahardjo, ada empat asas yang sistematis yang harus dilakukan dalam social engineering (rekayasa sosial), yaitu: 1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut; 2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting kalau social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektorsektor kehidupan majemuk, seperti tradisional, modern, dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih; 3. Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk dapat dilaksanakan; 4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.23 Kaitannya dalam penelitian ini, bahwa hukum dalam fungsinya sebagai sarana kontrol sosial, menjadi landasan dalam upaya mempertahankan norma dan ketentuan dalam KUHPerdata tentang waris agar menjadi sesuatu yang dapat diterima di dalam masyarakat sepanjang ketentuan tersebut masih mampu 22
Surya Prakash Sinha, 1993, Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, ST. Paul, Minn, West Publising CO, hal. 233. 23 Satjipto Rahardjo, 1986, op.cit, hal. 118.
24 memberikan rasa keadilan yang cukup bagi masyarakat. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan konsep yang lebih relevan di masa kini, maka berlandaskan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, hasil penelitian ini diharapkan mampu memperbaharui norma yang ada di masyarakat, khususnya tentang pencatatan sipil seorang yang disangka mati dan kaitannya dengan harta warisan yang ditinggalkan. 3. Teori Sistem Hukum Hukum dalam perspektif antropologi merupakan aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana social control (pengendalian sosial), atau sebagai alat untuk menjaga social order (keteraturan sosial) dalam masyarakat.24 Pospisil dalam kaitan ini menegaskan, bahwa hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai suatu institusi otonom yang terpisah dari segi-segi kebudayaan yang lain.25 Jadi untuk memahami tempat hukum dalam struktur masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan. Pernyataan ini relevan dengan apa yang diungkapkan Hoebel: “We must have a look at society and culture at large in order to find the palace of law within the total structure. We must have some idea of how society works before we can have a full
24
I Nyoman Nurjaya, 2006, “Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum,Cet. I, Kerjasama Progran Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unibraw, ARENA HUKUM Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan Penerbit Universitas Negeri Malang”, UM Press, Malang, hal. 32. 25 Ibid.
25 conception of what law is and how it works”.26 Ungkapan tersebut kurang lebih diartikan sebagai berikut: “Kita harus melihat di masyarakat dan budaya pada umumnya untuk menemukan tempat hukum dalam struktur secara keseluruhan. Kita harus memiliki beberapa ide tentang bagaimana penerapan dalam masyarakat sebelum kita menentukan konsepsi yang utuh tentang apa itu hukum dan cara kerjanya”. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan yang tak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial, ideologi, religi. Keterpautan hukum dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, dapat dicermati dari teori hukum sebagai the legal system (suatu sistem) yang di-introdusir Friedman,27 yaitu seperti berikut: 1. Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai tiga elemen, yaitu: (a) structure of legal system (struktur sistem hukum) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) substance of legal system (substansi sistem hukum) yang berupa norma-norma hukum, peraturanperaturan hukum, termasuk pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan (c) legal culture (budaya hukum masyarakat) seperti nilai26
E. Adamson Hoebel, 1954, The Law of Premitive Man, A Study in Comparartive Legal Dynamics, Cambridge, Massachusetts, Harvard University Press, hal. 5. 27 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation. New York. hal. 14-15, juga dapat dilihat dalam I Nyoman Nurjaya, 2006, hal. 34.
26 nilai, ide-ide, harapan-harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam memersepsikan hukum. 2. Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri, yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial kemasyarakatan dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau sangat tidak tergantung pada customs (kebiasaan-kebiasaan), culture (kultur), traditions (tradisi-tradisi), dan informalnorms (norma-norma informal) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan. Komponen struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum sebagai suatu sistem hukum dikaji dengan mencermati bagaimana sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan social field (sosial) tertentu. Budaya hukum menjadi bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam kehidupan masyarakat, budaya hukum menjadi penggerak dan memberi masukan-masukan kepada struktur dan substansi hukum dalam memperkuat sistem hukum. Kekuatan sosial secara terus menerus mempengaruhi kinerja sistem hukum, yang kadang kala dapat merusak, memperbaharui, memperkuat, atau memilih lebih menampilkan segi-segi tertentu, sehingga dengan mengkaji komponen substansi, struktur, dan budaya hukum berpengaruh terhadap kinerja
27 penegakan hukum, maka dapat dipahami suatu situasi bagaimana hukum bekerja sebagai suatu sistem.28 Kultur hukum menentukan kapan, mengapa, dan di mana orang-orang berpaling kepada hukum/pemerintah, atau berpaling dari hukum/pemerintah. Jadi kultur hukum mencakup nilai-nilai dan sikap dalam masyarakat yang menentukan struktur (lembaga hukum) mana yang digunakan dan kenapa, peraturan (substansi) yang mana yang berlaku dan yang mana tidak dan kenapa.29 Masyarakat Indonesia dan kompleksitas kebudayaannya masing-masing adalah plural (jamak), artinya sebagai suatu kondisi di mana dijumpai berbagai subkelompok masyarakat dengan jumlah kurang lebih ada 500 suku bangsa, yang tidak dapat dijadikan satu kelompok satu sama lain. Selain itu juga bersifat heterogen (aneka ragam) yang mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya, artinya masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta kebudayaannya sungguh-sungguh berbeda.30 Teori Sistem Hukum dalam penelitian ini akan diterapkan sebagai dasar untuk mengetahui dan menganalisis masalah pertama, yaitu tentang peran beberapa pejabat dan lembaga negara dalam menjalankan fungsinya terkait afwezigheid. Ditemukan relevansi teori ini dengan masalah tersebut karena berkaitan dengan suatu sistem norma yang berlainan namun memiliki hubungan
28
Ibid, hal. 33. Lawrence M. Friedman, “Legal Culture and Social Development”, Law and the Behavioral Sciences. Lawrence M. Friedman and Stewart Macaulay. (Eds). The Bobbs-Merrill Company, INC. A Subsidiary of Howard W. SAM & C0,. INC. Indiapolis-Kansas City. New York. hal. 1004. 30 Budiono Kusumohamidjojo, 2000, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, PT. Grasindo, Jakarta, hal. 45. 29
28 yang penting dalam suatu sistem hukum, yaitu membahas masalah hukum waris dengan perspektif hukum administrasi negara dalam kaitannya dengan persyaratan penunjang pewarisan berupa pencatatan kematian afwezig sebagaimana diatur dalam UU Adminduk. 4. Teori Interpretasi Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa, “interpretasi merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam undang-undang”.31 Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembuat undang-undang, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris, dan interpretasi modern.32 Philipus M. Hadjon dalam artikel hukum yang berjudul “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)” mengemukakan bahwa ada 6 (enam) metode interpretasi atau penafsiran, yaitu sebagai berikut: 1. interpretasi gramatikal: mengartikan suatu term hukum atau suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum; 2. interpretasi sistematis: dengan titik tolak dari sistem aturan mengartikan suatu ketentuan hukum; 3. wets en rechtshistorische interpretative: menelusuri maksud pembentuk undang-undang adalah suatu “wetshistorische interpretative”. Dalam usaha menemukan jawaban atau suatu isu hukum dengan menelusuri perkembangan hukum (aturan) disebut “rechtshistorische interpretative”; 4. interpretasi perbandingan hukum: mengusahakan penyelesaian suatu isu hukum dengan membandingkan berbagai stelsel hukum; 5. interpretasi antisipasi: menjawab suatu isu hukum dengan mendasarkan pada suatu aturan yang belum berlaku; dan 6. interpretasi teleologis: setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis.
31
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cet. Ke-7, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 106. 32 Ibid, hal. 107.
29 Relevansi dipergunakannya teori interpretasi atau penafsiran dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji kekaburan norma yang terdapat dalam Pasal 481 KUHPerdata tentang adanya kalimat “kecuali bilamana ada alasan-alasan yang penting dan dengan izin Pengadilan Negeri”. Teori interpretasi atau penafsiran ini dilakukan dengan berpedoman pada metode interpretasi atau metode penafsiran. Teori ini dipakai sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan kedua. b. Landasan Konseptual Penelitian ini dalam pembahasannya akan menggunakan beberapa konsep hukum dalam hal pewarisan dan pencatatan sipil. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam memahami konsep-konsep hukum dimaksud maka dijabarkan definisi operasional dari konsep-konsep hukum tersebut sebagai berikut: 1. Hukum Waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak atas harta seseorang yang meninggal dunia kepada seseorang atau beberapa orang lain.33 Pasal 830 KUHPerdata, mengatur bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian, tidak ada pewarisan tanpa kematian. 2. Afwezigheid (keadaan tidak hadir), seorang adalah tak hadir (afwezig) jika ia meninggalkan tempat tinggalnya tanpa membuat surat kuasa untuk mewakilinya dalam usaha serta kepentingannya atau dalam mengurus harta serta kepentingannya, atau jika kuasa yang diberikan tidak berlaku lagi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 463 KUHPerdata.34
33 34
Tan Thong Kie, op.cit. hal. 3. Tan Thong Kie, op.cit. hal. 44.
30 3. Pencatatan Sipil, Pasal 68 ayat (1) UU Adminduk, mengatur bahwa akta pencatatan sipil terdiri dari: kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, dan pengesahan anak. Kaitannya dalam penelitian ini adalah dalam hal pencatatan kematian yang selanjutnya diatur dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 44 UU Adminduk.
1.6 Metode Penelitian Sub-bab ini akan menjabarkan secara jelas relevansi penentuan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Unsur-unsur metode dan relevansinya sebagai berikut: 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian hukum normatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: beranjak dari adanya
kesenjangan
dalam
norma/asas
hukum
dengan
praktek,
tidak
menggunakan hipotesis, menggunakan landasan teoritis, dan menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.35 Penelitian hukum normatif meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum, dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum.36
35
Program Studi Magister Kenotariatan Unud, 2013, “Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana”, Udayana, Denpasar, hal. 54. 36 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 36.
31 Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dilatarbelakangi oleh adanya kekaburan norma (vague van normen) dalam Pasal 481 KUHPerdata. Kalimat “kecuali bilamana ada alasan-alasan yang penting dan dengan izin Pengadilan Negeri” dalam bunyi Pasal 481 KUHPerdata tidak memberikan kepastian dan menimbulkan multitafsir. Barang-barang tidak bergerak dalam ketentuan tersebut tidak boleh dialihkan atau dibebani haknya sebelum lewat waktu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 484 KUHPerdata. Pengecualian dengan alasan-alasan yang penting untuk dapat dialihkan atau dibebani tidak jelas ditentukan. Kondisi norma yang kabur/tidak jelas (vague van normen) dapat menimbulkan pertentangan secara vertikal dan horisontal terhadap peraturan perundang-undangan,
serta
keraguan-raguan
dan
ketidakpastian
dalam
penerapannya dan dapat menyebabkan tidak terlindunginya hak afwezig atau hakhak ahli waris lainnya. 1.6.2 Jenis Pendekatan Penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, pendekatan-pendekatan tersebut terdiri dari: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Pendekatan Kasus (The Case Approach), Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach), Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical&Conseptual Approach), Pendekatan Frasa (Word & Phrase Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).37
37
Program Studi Magister Kenotariatan Unud, loc.cit.
32 Untuk
kedalaman
pengkajian,
jenis
pendekatan
yang digunakan
berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini menggunakan beberapa jenis pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach).Pendekatan kasus dalam penelitian ini diterapkan untuk meneliti kasus hukum yang berkaitan dengan perdata waris pada penerapan norma tentang ketentuan pewarisan berdasarkan ketentuan KUHPerdata dan ketentuan pencatatan sipil berdasarkan ketentuan UU Adminduk. 2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Pendekatan ini juga relevan untuk diterapkan dalam penelitian ini sehubungan dengan pengkajian yang lebih dalam terhadap ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata dan UU Adminduk. 3. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical&Conseptual Approach). Pendekatan analisis konsep hukum dalam penelitian ini diterapkan untuk membahas permasalahan berdasarkan konsep hukum yang telah didefinisikan yaitu tentang: hukum waris, afwezigheid (keadaan tidak hadir) dan pencatatan sipil. 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. a. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari KUHPerdata dan UU Adminduk serta putusan kasus tentang sengketa perdata waris.
33 b. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari beberapa hasil penelitian dan jurnal hukum yang memiliki relevansi terhadap masalah peralihan harta warisan pewaris yang disangka mati dan kaitannya dengan administrasi pencatatan sipil. c. Bahan hukum tersier yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari kamus dan ensiklopedia untuk mengetahui arti dan makna dari beberapa istilah hukum baik istilah dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaahan kepustakaan. Telaahan kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system). Mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh baik dari bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier yang memiliki relevansi terhadap masalah peralihan harta pewaris yang disangka mati berdasarkan ketentuan KUHPerdata dan masalah pencatatan kematian berdasarkan ketentuan UU Adminduk. 1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini dikumpulkan. Setelah bahan hukum dikumpulkan kemudian dianalisis untuk ditarik kesimpulan menggunakan beberapa teknik analisis dalam penelitian hukum normatif, di antaranya: 1. Teknik Deskripsi, digunakan untuk mengurai secara objektif tentang kondisi dan posisi dari bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.
34 2. Teknik Interpretasi, dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis interpretasi, diantaranya interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis. Interpretasi gramatikal digunakan untuk mengartikan bagian kalimat dalam ketentuan KUHPerdata maupun UU Adminduk serta peraturan tentang peralihan dan pembebanan harta tidak bergerak menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Interpretasi sistematis, digunakan untuk menafsirkan ketentuan dalam KUHPerdata maupun UU Adminduk dan menghubungkannya dengan peraturan tentang peralihan dan pembebanan harta tidak bergerak. 3. Teknik Evaluasi, digunakan untuk menilai tepat atau tidaknya suatu penerapan dari ketentuan peralihan harta warisan pewaris yang disangka mati, berdasarkan ketentuan KUHPerdata dan ketentuan pencatatan kematian berdasarkan ketentuan UU Adminduk serta bahan hukum lainnya dalam penelitian ini. Teknik ini juga relevan untuk menilai rumusan norma yang tertera dalam bahan hukum primer dan sekunder dalam penelitian ini. 4. Teknik Sistematisasi, teknik ini untuk mencari kaitan rumusan konsep hukum antara bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.
35
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCATATAN SIPIL, WARIS DAN KEADAAN TIDAK HADIR (AFWEZIGED)
2.1 Peristiwa dan Pencatatan Sipil Beberapa istilah yang didefiniskan dalam Pasal 1 UU Adminduk berkaitan dengan peristiwa dan pencatatan sipil, di antaranya: 1. Peristiwa Kependudukan, adalah kejadian yang dialami penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. 2. Peristiwa Penting, adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. 3. Pencatatan Sipil, adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register pencatatan sipil pada instansi pelaksana. 4. Pejabat Pencatatan Sipil, adalah pejabat yang melakukan pencatatan peristiwa penting yang dialami seseorang pada instansi pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga catatan sipil itu dibentuk dengan tujuan untuk mencatat (mendaftar) selengkap dan sejelas-jelasnya sehingga memberikan kepastian yang 35
36 sebenar-benarnya mengenai semua kejadian seperti: kelahiran, pengakuan (terhadap kelahiran), perkawinan dan perceraian, kematian, dan izin kawin. Pencatatan ini sangat penting baik untuk diri seseorang maupun untuk orang lain oleh karena dengan pencatatan ini orang dapat dengan mudah memperoleh kepastian akan kejadian-kejadian tersebut di atas.38 Tujuan pencatatan ialah untuk memperoleh kepastian hukum tentang status perdata seseorang yang mengalami peristiwa hukum tersebut. Kepastian hukum sangat penting dalam setiap perbuatan hukum. Kepastian hukum itu menentukan apakah hak dan kewajiban hukum yang sah antara pihak-pihak yang berhubungan hukum tersebut. Kepastian hukum mengenai kelahiran menentukan status perdata mengenai dewasa atau belum dewasa seseorang. Kepastian hukum mengenai perkawinan menentukan status perdata mengenai boleh atau tidak melangsungkan perkawinan dengan pihak lain lagi. Kepastian hukum mengenai perceraian menentukan status perdata untuk bebas mencari pasangan lain. Kepastian hukum mengenai kematian menentukan status perdata sebagai ahli waris dan keterbukaan waris.39 Untuk melakukan pencatatan, maka dibentuk lembaga khusus yang disebut Catatan Sipil (Burgerlijke Stand). Catatan sipil artinya catatan mengenai peristiwa perdata yang dialami seseorang.40 Ketentuan-ketentuan tentang catatan sipil dalam KUHPerdata dimuat dalam 14 pasal yang berlaku hanya untuk warga
38
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, (Personen En Familie-Recht), Cetakan Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 6. 39 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 48. 40 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 49.
37 negara keturunan Eropa saja, 14 pasal itu terdiri dari 3 bagian, yakni: tentang daftar-daftar catatan sipil, tentang nama, dan tentang pembetulan akta-akta catatan sipil dan tentang penambahan diktumnya.41 Pasal 68 UU Adminduk, mengatur bahwa kutipan akta pencatatan sipil terdiri dari, yaitu: kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak dan pengesahan anak. Kutipan akta pencatatan sipil sebagaimana diatur dalam pasal
ini
memuat
tentang:jenis
peristiwa
penting,
NIK
dan
status
kewarganegaraan, nama orang yang mengalami peristiwa penting, tempat dan tanggal peristiwa, tempat dan tanggal dikeluarkannya akta, nama dan tanda tangan pejabat yang berwenang, dan pernyataan kesesuaian kutipan tersebut dengan data yang terdapat dalam register akta pencatatan sipil. Telah disebutkan bahwa pemerintah memiliki dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek rechtspersoon, public legal entity) dan sebagai pejabat (ambtsdrager) dari jabatan pemerintahan.42 Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara atau hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan hukum tersebut. Transaksi administratif tiap penduduk dalam urusan pencatatan hak perdatanya yang dilakukan dengan pejabat pencatatan sipil, yang kemudian diikuti dengan penerbitan akta dan kutipan akta pencatatan sipil oleh pejabat pencatatan sipil adalah suatu peristiwa yang termasuk dalam Hukum Administrasi Negara. 41
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kelima, Alumni, Bandung, hal. 5-6. 42 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 267.
38 2.2 Hukum Waris 2.2.1 Pengertian dan Unsur Hukum Waris Semua makhluk hidup yang ada di dunia fana ini tidak ada yang kekal, begitu pula dengan manusia akan mengalami masa kelahiran, masa kehidupan dan masa kematian. Apabila manusia telah mengalami kematian, maka sejak saat itu akan terjadi suatu proses pewarisan. Pasal 830 KUHPerdata tidak menentukan secara jelas mengenai “manusia yang bagaimana” yang meninggal yang akan menimbulkan dampak adanya suatu proses pewarisan.43 Tan Thong Kie menambahkan bahwa salah satu syarat pewarisan adalah meninggalnya pewaris, termasuk “ada dugaan hukum sudah meninggal”.44 Pendapat ini berupaya menjelaskan adanya kaitan antara ketentuan Pasal 830 KUHPerdata tentang syarat suatu pewarisan dengan Pasal 463 KUHPerdata tentang ketentuan ketidakhadiran (afwezigheid). Berikut beberapa pendapat tentang pengertian dari hukum waris berdasarkan KUHPerdata: 1. Tan Thong Kie, “hukum waris (erfrecht) yaitu serangkaian ketentuan yang mengatur peralihan warisan seseorang yang meninggal dunia kepada seorang atau lebih”.45
43
I Gede Purwaka, 1999, Keterangan Hak Mewaris yang Dibuat Oleh Notaris Berdasarkan Ketentuan Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Program Spesialis Notariat dan Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 1. 44 Tan Thong Kie, loc.cit. 45 Tan Thong Kie, op.cit, hal. 224
39 2. A. Pitlo, “hukum waris ialah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena matinya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.”46 3. D.M. Knol, “hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal, kepada ahli warisnya atau lebih”.47 4. J. Satrio, “hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain”.48 5. Abdulkadir Muhammad, “hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk”.49 Pendapat-pendapat di atas mempertegas hakekat dari suatu pewarisan yang merupakan makna dasar dari Pasal 830 KUHPerdata yaitu telah jeas menentukan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Tidak ada pewarisan tanpa kematian atau adanya dugaan hukum sudah meninggal.
46
Eman Suparman, 1995, Intisari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 3. 47 Sudarsono, 1993, Hukum Waris dan Sistem Bilateral,Rineka Cipta, Jakarta, hal. 11. 48 Hilman Hadikusumah, 1996, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 5. 49 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 267.
40 Zainuddin Ali mendefiniskan bahwa pewarisan pada dasarnya adalah suatu proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya. Unsurunsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai berikut:50 1. Ada orang yang meninggal dunia; 2. Ada orang yang masih hidup, sebagai ahli waris yang memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia; 3. Ada sejumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Berdasarkan pada pengertian hukum waris, Abdulkadir Muhammad merumuskan unsur-unsur yang terdapat dalam hukum waris sebagai berikut:51 1) Subjek hukum waris yaitu pewaris, ahli waris, dan orang yang ditunjuk berdasarkan wasiat; 2) Peristiwa hukum waris yaitu meninggalnya pewaris; 3) Hubungan hukum waris yaitu hak dan kewajiban ahli waris; 4) Objek hukum waris yaitu harta warisan peninggalan almarhum. Pengelempokan yang berbeda terhadap unsur-unsur di atas memberikan penjelasan bahwa pewarisan itu merupakan bagian dari hukum waris. Hukum waris di posisi yang lebih luas daripada pewarisan dan pewarisan itu termasuk bagian daripada hukum waris. Peristiwa hukum dan hubungan hukum adalah dua unsur yang menjadikan hukum waris berada dalam posisi yang lebih luas daripada pewarisan.
50
Zainuddin Ali, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 81 51 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 267.
41 2.2.2 Sistem Kewarisan Hukum waris KUHPerdata dalam pengaturannya tidak dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan istri. Semua mereka berhak mewaris. Bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan. Bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak jika dari perkawinan itu dilahirkan anak. Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUHPerdata menganut sistem keturunan bilateral, di mana setiap orang itu menghubungkan dirinya ke dalam keturunan ayah maupun ibunya. Artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal. Apabila dihubungkan dengan sistem kewarisan, maka KUHPerdata menganut sistem kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya
pewaris), harta
warisan
(peninggalan) dapat
dibagi-bagi
pemilikannya antara para ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi, sistem kewarisan yang dianut oleh KUHPerdata adalah sistem kewarisan individual bilateral. Artinya setiap ahli waris berhak menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya, baik harta warisan dari ibunya maupun dari ayahnya.52
52
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 269.
42 Effendi Perangin menambahkan, bahwa sifat hukum waris perdata barat, yaitu menganut:53 1) Sistem pribadi, bahwa ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli waris; 2) Sistem bilateral, mewaris dari pihak ibu maupun bapak; 3) Sistem perderajatan, ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.
2.2.3 Tata Cara Pewarisan Effendi Perangin menjelaskan bahwa, terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan berdasarkan hukum waris KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:54 1) Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang), dalam Pasal 832 KUHPerdata, yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini dibagi dalam empat golongan yang masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua, ketiga dan golongan keempat. 2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat/testamen), dalam Pasal 899 KUHPerdata, dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testamen. Selanjutnya Pasal 838, 839, dan 840 KUHPerdata, menentukan bahwa seseorang tidak pantas menjadi ahli waris apabila: 1. Telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris; 2. Telah dijatuhi hukuman dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
53 54
Effendi Perangin, op.cit, hal. 4. Effendi Perangin, op.cit, hal. 4.
43 3. Telah menghalangi pewaris dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; 4. Telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat pewaris. Pasal 1023 KUHPerdata, memberikan 3 (tiga) macam pilihan sikap ahli waris terhadap harta warisan, tiap ahli waris memiliki hak untuk memilih salah satu sikap diantara ketiga macam sikap tersebut. Adapun ketiga macam sikap tersebut adalah: 1. Ahli waris dapat menerima secara murni, yaitu menerima harta warisan seluruhnya meliputi aktiva dan pasiva pewaris. 2. Ahli waris dapat menerima dengan hak istimewa, yaitu sikap bersyarat untuk menerima dan berhak merinci harta warisan, bahwa apabila ternyata aktiva lebih kecil dari pada pasiva maka ahli waris hanya terbebani melunasi pasiva sebatas aktiva yang ditinggalkan saja oleh pewaris. 3. Ahli waris dapat menolak warisan secara keseluruhan dan tidak akan terlibat dalam pengurusan dan pembagian harta warisan serta harus memberikan pernyataan tentang penolakan tersebut pada kepaniteraan pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka.
2.2.4 Golongan dan Bagian Ahli Waris Ketentuan dalam KUHPerdata menentukan ada 4 (emat) golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta warisan, golongan lebih kecil yang secara biologis dan hubugan darah lebih dekat dengan pewaris menghalangi golongan yang lebih besar, artinya apabila ada golongan I, maka golongan yang lain tidak
44 berhak, dan bila tidak ada golongan I maka yang berhak adalah golongan II maka golongan III dan IV tidak berhak, demikian seterusnya. Penggolongan ahli waris itu dapat disimpulkan sebagai berikut:55 1) Golongan I meliputi: a. Suami/istri yang hidup terlama; b. Anak; c. Keturunan anak. 2) Golongan II meliputi: a. Ayah dan ibu; b. Saudara; c. Keturunan. 3) Golongan III meliputi: a. Kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu; b. Orang tua kakek dan nenek itu, dan seterusnya ke atas. 4) Golongan IV meliputi: a. Paman dan bibi dari pihak bapak mapun ibu; b. Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal; c. Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal. Golongan Pertama, pasal-pasal yang mengatur golongan ini adalah Pasal 852, 852a ayat (1), dan 852a ayat (2) KUHPerdata. Pasal 852, hak mewaris dari anak-anak pewaris adalah sama tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Pasal 852a ayat 1, bagian suami/isteri yang hidup terlama sama bagiannya dengan anak-anak. Pasal 852a ayat 2, bagian isteri/suami perkawinan kedua, tidak boleh melebihi bagian anak-anak dari perkawinan pertama, maksimal 1
/4 (seperempat). Golongan Kedua, jumlah bagiannya diatur dalam Pasal 854, 855, 856, 857
KUHPerdata. Pasal 854, bagian warisan jika masih ada bapak dan ibu dan satu saudara maka bagian masing-masing 1/3 (sepertiga), dan seterusnya. Pasal 855,
55
Effendi Perangin, op.cit, hal. 35.
45 bagian warisan jika hanya terdapat bapak/ibu, maka bagian bapak/ibu yang hidup terlama adalah ½ (seperdua) jika mewaris bersama satu orang saudara, 1/3 (sepertiga) jika mewaris bersama-sama dua orang saudara, ¼ (seperempat) jika mewaris bersama 3 orang saudara atau lebih. Pasal 856, jika tidak ada bapak/ibu, maka saudara berhak mewarisi seluruh harta warisan. Pasal 857, mengenai pembagian saudara, adapun pembagian saudara terbagi dalam tiga macam saudara, yaitu saudara kandung, saudara sebapak, dan saudara seibu. Bagian saudara dari perkawinan yang sama maka bagiannya sama besar, sedangkan jika saudara-saudara berasal dari perkawinan yang berbeda, maka bagiannya harus dibagi dua (kloving) yaitu ½ (seperdua) bagian untuk saudara dalam garis sebapak, dan ½ (seperdua) untuk saudara garis seibu. Saudara sekandung memperoleh dua bagian, yaitu bagian dari garis sebapak dan bagian dari garis seibu. Golongan Ketiga, jumlah bagiannya diatur dalam Pasal 857, 853, 858 KUHPerdata. Seperti halnya pembagian saudara dalam Pasal 857 KUHPerdata, pembagian dalam ahli waris golongan ketiga juga harus dilakukan kloving terlebih dahulu, yaitu ½ (seperdua) bagian untuk ahli waris dalam garis sebapak, dan ½ (seperdua) bagian untuk ahli waris garis seibu, saudara sekandung memperoleh dua bagian. Golongan Keempat, bagian warisnya diatur dalam Pasal 850, 858, 861, KUHPerdata. Pada dasarnya pembagian dalam golongan ini sama dengan pembagian golongan ketiga, bahwa dalam pembagian warisan harus dikloving terlebih dahulu, yaitu 1/2 bagian untuk ahli waris dalam garis sebapak, dan ½
46 bagian untuk ahli waris dalam garis seibu, saudara sekandung memperoleh dua bagian.
2.3 Keadaan Tidak Hadir (Afwezigheid) Keadaan tidak hadir (Afwezigheid), seorang adalah tak hadir (afwezig) jika ia meninggalkan tempat tinggalnya tanpa membuat surat kuasa untuk mewakilinya dalam usaha serta kepentingannya atau dalam mengurus harta serta kepentingannya, atau jika kuasa yang diberikan tidak berlaku lagi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 463 KUHPerdata.56 Keadaan tidak berada di tempat tidak menghentikan wewenang berhaknya seorang. Jadi tidak menghentikan statusnya sebagai persoon. Akan tetapi keadaan demikian itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena itu pembuat undang-undang menganggap perlu mengatur hal tiada di tempat (afwezigheid).57 Pasal 463 KUHPerdata memberikan penjelasan bahwa ketidakhadiran seseorang harus memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut:58 1) Meninggalkan tempat kediamannya; 2) Tanpa memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya; 3) Tidak menunjuk atau memberikan kuasa kepada orang lain untuk mengurus kepentingannya; 4) Kuasa yang pernah diberikan telah gugur; 5) Jika timbul keadaan yang memaksa untuk menanggulangi pengurusan harta bendanya secara keseluruhan atau sebagian; 6) Untuk mengangkat seorang wakil, harus diadakan tindakan-tindakan hukum untuk mengisi kekosongan sebagai akibat ketidakhadiran tersebut;
56
Tan Thong Kie, op.cit. hal. 44. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, op.cit, hal. 200. 58 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, op.cit, hal. 242. 57
47 7) Mewakili dan mengurus kepentingan orang yang tidak hadir, tidak hanya meliputi kepentingan harta kekayaan saja, melainkan juga untuk kepentingan-kepentingan pribadinya. Ketidakhadiran (afwezigheid) dalam KUHPerdata mengenal 3 masa, yaitu: I. Pengambilan tindakan sementara; II. Masa ada dugaan hukum mungkin telah meninggal; dan III. Masa pewarisan definitif.59 1. Masa Pengambilan Tindakan Sementara Masa pengambilan tindakan sementara, hanya diambil jika ada alasan yang mendesak untuk mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya. Tindakan sementara tersebut dimintakan kepada pengadilan negeri oleh orang yang mempunyai kepentingan harta kekayaan (stoffelijk belang), umpamanya istrinya, para kreditor, dan sesama pemegang saham. Jaksa juga dapat memohon tindakan sementara itu.60 Tindakan sementara itu terdiri atas pengangkatan Balai Harta Peninggalan sebagai
pelaksana pengurusan (bewindvoerder) oleh
pengadilan. Balai Harta Peninggalan selanjutnya yang mengurus kepentingankepentingannya, hak-haknya, dan harta kekayaannya berdasarkan ketentuan Pasal 463 KUHPerdata.61 2. Masa Ada Dugaan Hukum Mungkin Telah Meninggal Seseorang
dapat
diputuskan
“kemungkinan
sudah
meninggal
(vermoedelijk overlijden)” jika:62 1) Ia tidak hadir selama 5 tahun tanpa meninggalkan surat kuasa (Pasal 467 KUHPerdata;
59
Tan Thong Kie, op.cit. hal. 44. Tan Thong Kie, op.cit. hal. 44. 61 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, op.cit, hal. 201. 62 Tan Thong Kie, op.cit. hal. 45. 60
48 2) Ia tidak hadir selama 10 tahun; surat kuasa ada, tetapi masa berlakunya sudah habis (Pasal 470 KUHPerdata); 3) Ia tidak hadir selama 1 tahun, apabila orangnya termasuk awak atau penumpang kapal laut atau pesawat udara (Stbl. 1922-455); dan 4) Ia tidak hadir selama 1 tahun, apabila orangnya hilang pada suatu peristiwa fatal yang menimpa sebuah kapal laut atau pesawat udara (Stbl. 1922-455). Untuk mengeluarkan ketetapan pernyataan barangkali meninggal dunia, Hakim Pengadilan Negeri memberi izin kepada pihak yang berkepentingan untuk memanggil orang yang tak hadir itu melalui surat kabar yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri, sebanyak tiga kali berturut-turut. Setelah dilakukan pemanggilan terhadap orang yang tak hadir itu sesuai dengan prosedur, tetapi ternyata tidak muncul, Pengadilan Negeri kemudian dapat mengeluarkan ketetapan pernyataan barangkali meninggal dunia, dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum itu terutama peralihan hak-hak kepada para ahli warisnya yang sifatnya sementara dan dengan batasan-batasan tertentu.63 3. Masa Pewarisan Definitif Masa pewarisan definitif memiliki beberapa akibat hukum, di antaranya adalah para ahli waris atau orang yang memperoleh hak berhak menuntut pembagian warisan atas harta kekayaan orang yang tak hadir itu. 64 Pasal 484 KUHPerdata mengatur tentang masa ketiga dalam ketidakhadiran (afwezigheid), yaitu masa pewarisan definitif dengan ketentuan yang tertulis sebagai berikut: Apabila waktu selama tiga puluh tahun telah lewat, setelah hari pernyataan barangkali meninggal tercantum dalam putusan atau, apabila sebelum itu, waktu selama seratus tahun telah lewat, semenjak hari lahir si tak hadir, maka terbebaslah sekalian penanggung, sedangkan pembagian harta kekayaan yang ditinggalkan, sekadar ini telah berlangsung, tetap berlaku, atau, jika belum 63 64
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 56. Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 57.
49 berlangsung, para barangkali ahli waris boleh mengadakan pembagian yang tetap, seperti pun hak-hak lainnya atas harta peninggalan, boleh dinikmati pula. Demikianlah hak istimewa akan pendaftaran berakhir, sehingga para barangkali ahli waris harus diwajibkan menerima atau menolak, menurut peraturan yang ada tentang itu.65 Masa pewarisan definitif mulai setelah lewat 30 tahun sejak tanggal tersebut dalam keputusan hakim tentang “mungkin sudah meninggal” atau setelah lewat 100 tahun sejak lahirnya si tak hadir, yang mana lebih cepat sesuai ketentuan Pasal 484 KUHPerdata. Permulaan masa pewarisan definitif mengakibatkan:66 1) Semua jaminan dibebaskan; 2) Para ahli waris dapat mempertahankan pembagian harta warisan sebagaimana telah dilakukan atau membuat pemisahan dan pembagian definitif; dan 3) Hak menerima warisan secara terbatas berhenti dan para ahli waris dapat diwajibkan menerima warisan atau menolaknya (Pasal 484 KUHPerdata).
65
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2008. Kitab Undang-undang Hukum Perdata-Burgerlijk Wetboek, Cetakan ke-39, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 150. 66 Tan Thong Kie, op.cit. hal. 46-47.
50
BAB III PERALIHAN DAN PEMBEBANAN HAK ATAS HARTA TIDAK BERGERAK MILIK AFWEZIG
Berdasarkan Pasal 504 KUHPerdata, benda dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 sampai dengan Pasal 508 KUHPerdata. Sedangkan untuk benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 sampai dengan Pasal 518 KUHPerdata.67 Kaitannya dalam penelitian ini adalah dalam hal benda tidak bergerak, karena pengecualian terhadap Pasal 484 KUHPerdata tentang masa pewarisan definitif ditentukan hanya untuk barang/benda/harta tidak bergerak. Pengecualian itu diatur dalam
Pasal
481
KUHPerdata
yang
hanya
diberlakukan
terhadap
barang/benda/harta tidak bergerak dengan “alasan-alasan penting” yang belum jelas dan menjadi pokok masalah dalam penelitian ini dan akan dibahas dalam bab berikutnya. Subekti menjelaskan, bahwa suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (onroerend) pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang. Lebih lanjut, Subekti mengelompokkan dan memberikan contoh sebagai berikut:68
67
Letezia Tobing, Mengenai Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak, http://www.hukumonline.com/klinik diakses terakhir pada tanggal 28 Mei 2014. 68 Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 6162. 50
51 1. Benda tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. 2. Tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. 3. Tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak. Benda bergerak menurut Subekti dibedakan dan digolongkan sebagai berikut:69 1. Bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. 2. Bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, lijfrenten, surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara, dan sebagainya. Frieda Husni Hasbullah dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan”, memberi penjelasan dan mengelompokkan bahwa untuk kebendaan tidak bergerak dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan:70 1. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPerdata) misalnya tanah dan segala sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau pohon-pohon dan tanaman-tanaman yang akarnya menancap dalam tanah atau buah-buahan di pohon yang belum dipetik, demikian juga barangbarang tambang. 2. Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya (Pasal 507 KUHPerdata) misalnya pabrik dan barang-barang yang dihasilkannya, penggilingan-penggilingan, dan sebagainya. Juga 69
Letezia Tobing, loc.cit. Frieda Husni Hasbullah, 2005, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan, Ind Hill-Company, Jakarta, hal. 43-44. 70
52 perumahan beserta benda-benda yang dilekatkan pada papan atau dinding seperti cermin, lukisan, perhiasan, dan lain-lain; kemudian yang berkaitan dengan kepemilikan tanah seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam kolam, dan sebagainya; serta bahan bangunan yang berasal dari reruntuhan gedung yang akan dipakai lagi untuk membangun gedung tersebut, dan lain-lain. 3. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya, hak pakai hasil, dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian tanah, hak numpang karang, hak usaha, dan lain-lain (Pasal 508 KUHPerdata). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 314Kitab UndangUndang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD), kapal-kapal berukuran berat kotor 20 m3 ke atas dapat dibukukan dalam suatu register kapal sehingga termasuk kategori benda-benda tidak bergerak. Lebih lanjut, Frieda Husni Hasbullah menerangkan bahwa untuk kebendaan bergerak dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan:71 1. Benda bergerak karena sifatnya, yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal 509 KUHPerdata).Termasuk juga sebagai benda bergerak ialah kapal-kapal, perahu-perahu, gilingan-gilingan dan tempattempat pemandian yang dipasang di perahu dan sebagainya (Pasal 510 KUHPerdata). 2. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPerdata) misalnya: a. Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak; b. Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan; c. Penagihan-penagihan atau piutang-piutang; d. Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain-lain. Manfaat pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak akan terlihat dalam hal cara penyerahan bendatersebut, cara meletakkan jaminan di atas benda tersebut, dan beberapa hal lainnya.72 Kaitannya terhadap manfaat tersebut dalam penelitian ini adalah dalam hal peralihan dan pembebanan hak atas barang/benda/harta.
71 72
Ibid, hal. 44-45. Letezia Tobing, loc.cit.
53 Menurut Frieda Husni Hasbullah, pentingnya pembedaan antara harta bergerak dan harta tidak bergerak berkaitan dengan 4 (empat) hal yaitu: penguasaan, penyerahan, daluwarsa, dan pembebanan. Keempat hal yang dimaksud adalah sebagai berikut:73 1. Kedudukan berkuasa (bezit), bezit atas benda bergerak berlaku sebagai titel yang sempurna (Pasal 1977 KUHPerdata). Tidak demikian halnya bagi mereka yang menguasai benda tidak bergerak, karena seseorang yang menguasai benda tidak bergerak belum tentu adalah pemilik benda tersebut. 2. Penyerahan (levering), menurut Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering). Dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering). Sedangkan menurut Pasal 616 KUHPerdata, penyerahan benda tidak bergerak dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata antara lain membukukannya dalam register. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), maka pendaftaran hak atas tanah dan peralihan haknya menurut ketentuan Pasal 19 UUPA dan peraturan pelaksananya. 3. Pembebanan (bezwaring), pembebanan terhadap benda bergerak berdasarkan Pasal1150 KUHPerdata harus dilakukan dengan gadai, sedangkan pembebanan terhadap benda tidak bergerak menurut Pasal 1162 KUHPerdata harus dilakukan dengan hipotik.Sejak berlakunya UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT), maka atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah hanya dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan. Sedangkan untuk bendabenda bergerak juga dapat dijaminkan dengan lembaga fidusia menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UUJF). 4. Daluwarsa (verjaring), terhadap benda bergerak, tidak dikenal daluwarsa sebab menurut Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata, bezit atas benda bergerak adalah sama dengan eigendom; karena itu sejak seseorang menguasai suatu benda bergerak, pada saat itu atau detik itu juga ia dianggap sebagai pemiliknya.Terhadap benda tidak bergerak dikenal daluwarsa karena menurut Pasal 610 KUHPerdata, hak milik atas sesuatu kebendaan diperoleh karena daluwarsa.
73
Frieda HusniHasbullah, op.cit, hal. 45-48.
54 Penggolongan/pengelompokkan dan penentuan contoh dari masingmasing benda menjadi penting, dalam penelitan ini akan dibahas tentang barang/benda/harta (selanjutnya disebut harta) tidak bergerak sehubungan dengan obyek disebutkan dalam Pasal 481 KUHPerdata. Pemanfaatan dari penggolongan atas jenis harta juga sangat penting. Pemanfaatan penggolongan yang mencakup 4 (empat) hal seperti dijelaskan di atas, dalam penelitian ini akan dibahas terbatas dalam hal penyerahan/peralihan (selanjutnya disebut peralihan) dan pembebanan hak untuk digunakan dalam membahas hal lainnya terkait dengan masalah dalam penelitian ini. Bab ini selanjutnya akan membahas tentang: peralihan dan pembebanan harta tidak bergerak, akta kematian dansurat keterangan waris terkait afwezigheid sebagai penunjang dalamperalihan dan pembebanan hak milik, juga peralihan dan pembebanan hak milik terkait afwezigheid.
3.1 Peralihan Harta Tidak Bergerak Seperti telah dijelaskan bahwa harta tidak bergerak bisa terdiri dari obyek sebagai berikut: tanah, rumah, pohon, barang-barang tambang, mesin-mesin dalam suatu pabrik, hak pakai hasil, hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian tanah, hak numpang karang, hak usaha, juga kapal berukuran berat kotor 20 m3 ke atas. Materi bahasan dalam penelitian ini terbatas dalam harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang dimiliki oleh afwezig. Pasal 20 ayat (1) UUPA memberi definisi bahwa, hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat ketentuan Pasal 6 yaitu, bahwa semua hak atas tanah
55 mempunyai fungsi sosial. Hak milik sangat penting bagi manusia untuk dapat melaksanakan hidupnya di dunia. Semakin tinggi nilai hak milik atas suatu benda, semakin tinggi pula penghargaan yang diberikan terhadap benda tersebut. Tanah adalah salah satu hak milik yang sangat berharga bagi umat manusia. 74 Definisidefinisi lain tentang hak milik menurut beberapa ahli hukum antara lain: Curzon mendefiniskan hak milik dengan property yakni: The following are example of many definitions of “property”: “The highest right men have to anything”; “a right over detirminate thing either a tract of land or a chattel”: “an exclusive right to control an economic good”; “an aggregate of rights guaranteed and protected by the government”; “everything which is the subject of ownership”; “a social institution whereby people regulate the acquisition and use of the resources of our environment according to a system of rules”; “a concept that refers to the rights, obligations, privilages and restrictions that govern the relations of men with respect to things of value.75 Terjemahan: Berikut beberapa definisi tentang "properti": "Hak tertinggi yang dimiliki manusia"; "Hak atas sebidang tanah atau harta": "hak eksklusif untuk mengontrol barang ekonomi"; "Agregat hak yang dijamin dan dilindungi oleh pemerintah"; "Segala sesuatu yang merupakan subjek kepemilikan"; "Institusi sosial dimana orang mengatur perolehan dan penggunaan sumber daya lingkungan sesuai dengan sistem dan aturan"; "Sebuah konsep yang mengacu pada hak, kewajiban, hak istimewa dan pembatasan yang mengatur hubungan manusia sehubungan dengan hal-hal yang bernilai. Pendapat Jane Radin yang dikutip oleh A.R. Buck mengenai “Property Theory” sebagai berikut: Property can mean either object property, what Radin calls “fungible” property, or it can mean attribute property, what she calls “personal” or “constitutive” property. Fungible property is that type of property which we treat as a commodity, is expressed in terms of market rhetoric. Constitutive
74
Adrian Sutedi, 2013, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 7. 75 L.B. Curzon, 1999, Land Law, Seventh Edition, Person Education Limited, Great Britain, hal. 8-9.
56 property is the type of property we associate with our personhood and is not, or should not be expressed in terms of market rhetoric.76 Terjemahan: Properti bisa berarti objek properti, seperti apa yang diutarakan oleh Radin "sepadan" properti, atau bisa berarti atribut properti, apa yang dia sebut "pribadi" atau "konstitutif" properti. Properti sepadan adalah bahwa jenis properti yang diperlakukan sebagai komoditas, dinyatakan dalam retorika pasar. Properti konstitutif adalah jenis properti yang dikaitkan dengan kepribadian, atau tidak harus dinyatakan dalam retorika pasar. David J. Hayton, memberikan pengertian “Real Property” mengenai tanah, yakni sebagai berikut: The natural division of physical property is into land (or immovables “as it sometimes called”) and other objects known as chattels or “movables”. This simple distinction is inadequate. In the first place, chattels may become attached to land so as to lose their character of chattles and become part of the land itself. Secondly, a sophisticated legal system of property, but also for the ownership of a wide variety.77 Terjemahan: Pembagian alam properti fisik menjadi lahan (atau harta yang tidak dapat digerakkan "karena kadang-kadang disebut") dan benda-benda lainnya yang dikenal sebagai harta benda atau "benda-benda bergerak". Perbedaan sederhana ini tidak memadai. Pertama, harta benda dapat menjadi melekat pada tanah sehingga kehilangan karakter barang bergerak dan menjadi bagian dari tanah itu sendiri. Kedua, sistem hukum yang canggih properti, tetapi juga untuk berbagai kepemilikan. Pasal 20 ayat (2) UUPA menyebutkan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUPA tersebut menjelaskan bahwa terdapat 2 (dua) bentuk peralihan hak milik, bentuk-bentuk peralihan hak milik atas tanah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:78
76
A.R. Buck, 2001, Land and Freedom: Law, Property Rights and British Diasphora, Asgate Publishing Company, Great Britain, hal. 42-43. 77 David J. Hayton, 1982, Megarry’s Manual of The Law of Real Property, Sixth Edition, Steven and Son Ltd, London, hal. 17. 78 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93-94.
57 1. Beralih, artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum meninggalnya pemilik tanah, maka hak miliknya secara hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli waris memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Prosedur pendaftaran peralihan hak karena beralihnya hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997) juncto Pasal 111 dan Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PMNA 3/1997). 2. Dialihkan/pemindahan hak, artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum, yaitu: jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan, dan lelang. Perpindahan hak milik atas tanah karena dialihkan/pemindahan hak harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali lelang dibuktikan dengan berita acara lelang atau risalah lelang yang dibuat oleh pejabat dari kantor lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah ini harus didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemilik tanah lama kepada pemilik tanah yang baru.Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 PP 24/1997 juncto Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 PMNA 3/1997. Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena lelang diatur dalam Pasal 41 PP 24/1997 juncto Pasal 107 sampai Pasal 110 PMNA 3/1997. Secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut, peralihan hak yang beralih adalah dikarenakan oleh waris dan peralihan hak yang dialihkan dikarenakan oleh adanya: jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan, dan lelang. Berikut berbagai pengaturan tentang peralihan hak sebagaimana telah diatur dalam PP 24/1997 dan PMNA 3/1997.
58 1. Peralihan hak karena pewarisan Peralihan hak karena pewarisan yang merupakan bentuk dari peralihan hak yang beralih, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 42 PP 24/1997 dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan HakMilik atas Satuan Rumah Susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris. (2) Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b. (3) Jika penerima warisan terdiri dari satu orang, pendaftaran peralihan hak tersebut dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun itu dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut. (5) Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut. Selanjutnya ketentuan tentang peralihan hak karena pewarisan yang merupakan bentuk dari peralihan hak yang beralih, juga diatur dalam Pasal 111 PMNA 3/1997 dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun diajukan oleh ahli waris atau kuasanya dengan melampirkan :
59
(2)
(3)
(4)
(5)
a. sertipikat hak atas tanah atau sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atas nama pewaris, atau, apabila mengenai tanah yang belum terdaftar, bukti pemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997; b. surat kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam sertipikat yang bersangkutan dari Kepala Desa/Lurah tempat tinggal pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau instansi lain yang berwenang; c. surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa : 1) wasiat dari pewaris, atau 2) putusan Pengadilan, atau 3) penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau 4) - bagi warganegara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh KepalaDesa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia; - bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris, - bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan. d. surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan ahli waris yang bersangkutan; e. bukti identitas ahli waris; Apabila pada waktu permohonan pendaftaran peralihan sudah ada putusan pengadilan atau penetapan hakim/Ketua Pengadilan atau akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka putusan/penetapan atau akta tersebut juga dilampirkan pada permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi atau dengan akta notaris. Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan belum ada pembagian warisan, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris sebagai pemilikan bersama, dan pembagian hak selanjutnya dapat dilakukan sesuai ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan pada waktu pendaftaran peralihan haknya disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tertentu jatuh kepada 1 (satu) orang penerima warisan, maka pencatatan peralihan haknya dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan akta pembagian waris tersebut.
60 (6) Pencatatan pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud Pasal ini dalam daftar-daftar pendaftaran tanah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105. Ketentuan tentang peralihan hak karena pewarisan yang disertai dengan hibah wasiat diatur dalam Pasal 112 PMNA 3/1997 dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Dalam hal pewarisan disertai dengan hibah wasiat, maka: a. jika hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dihibahkan sudah tertentu, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan atas permohonan penerima hibah dengan melampirkan: 1) sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atas nama pewaris, atau apabila hak atas tanah yang dihibahkan belum terdaftar, bukti pemilikan tanah atas nama pemberi hibah sebagaimana dimaksud Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997; 2) surat kematian pemberi hibah wasiat dari Kepala Desa/Lurah tempat tinggal pemberi hibah wasiat tersebut waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau intansi lain yang berwenang; 3) a) Putusan Pengadilan atau Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan mengenai pembagian harta waris yang memuat penunjukan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan sebagai telah dihibah wasiatkan kepada pemohon, atau b) Akta PPAT mengenai hibah yang dilakukan oleh Pelaksana Wasiat atas nama pemberi hibah wasiat sebagai pelaksanaan dari wasiat yang dikuasakan pelaksanaannya kepada Pelaksana Wasiat tersebut, atau c) Akta pembagian waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) yang memuat penunjukan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan sebagai telah dihibah wasiatkan kepada pemohon, 4) surat kuasa tertulis dari penerima hibah apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hibah; 5) bukti identitas penerima hibah; 6) bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang; 7) bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang.
61 b. jika hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dihibahkan belum tertentu, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris dan penerima hibah wasiat sebagai harta bersama. (2) Pencatatan pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dalam daftar-daftar pendaftaran tanah dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105.
2. Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, dan pemasukan dalam modal perusahaan Peralihan hak karena karena jual beli, tukar menukar, hibah, dan pemasukan dalam modal perusahaan yang merupakan bentuk dari peralihan hak yang dialihkan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 PP 24/1997 juncto Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 PMNA 3/1997 dengan ketentuan sebagai berikut: Pasal 37PP 24/1997: (1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang yang bersangkutan. Pasal 38PP 24/1997: (1) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh para pihak yang melakukan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu. (2) Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri. Pasal 39PP 24/1997: (1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika:
62 a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: 1) surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan KepalaDesa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan 2) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d. salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f. obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. (2) Penolakan untuk membuat akta tersebut diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasannya. Pasal 40 PP 24/1997 (1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. (2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan. Selanjutnya ketentuan tentang peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, dan pemasukan dalam modal perusahaan yang merupakan bentuk dari peralihan hak yang dialihkan, juga diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal
63 106 PMNA 3/1997. Pasal 103 PMNA 3/1997 mengatur tentang pendaftaran dan peralihan hak dengan ketentuan sebagai berikut: (1) PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan. (2) Dalam hal pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah bersertipikat atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya; b. surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak; c. akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yangbersangkutan; d. bukti identitas pihak yang mengalihkan hak; e. bukti identitas penerima hak; f. sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dialihkan; g. izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2); h. bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang; i. bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang. (3) Dalam hal pemindahan hak atas tanah yang belum terdaftar, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. surat permohonan pendaftaran hak atas tanah yang dialihkan yang ditandatangani oleh pihak yang mengalihkan hak; b. surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya; c. surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak; d. akta PPAT tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan; e. bukti identitas pihak yang mengalihkan hak; f. bukti identitas penerima hak; g. surat-surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76; h. izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2);
64
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
i. bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang; j. bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang. Kantor Pertanahan wajib memberikan tanda penerimaan atas penyerahan permohonan pendaftaran beserta akta PPAT dan berkasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) yang diterimakan kepada PPATyang bersangkutan. PPAT yang bersangkutan memberitahukan kepada penerima hak mengenai telah diserahkannya permohonan pendaftaran peralihan hak beserta akta PPAT dan berkasnya tersebut kepada Kantor Pertanahan dengan menyerahkan tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pengurusan penyelesaian permohonan pendaftaran peralihan hak selanjutnya dilakukan oleh penerima hakatau oleh PPAT atau pihak lain atas nama penerima hak. Pendaftaran peralihan hak karena pemindahan hak yang dibuktikan dengan akta PPAT harus juga dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan sesuai ketentuan yang berlaku walaupun penyampaian akta PPAT melewati batas waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada PPAT yang bersangkutan diberitahukan tentang pelanggaran ketentuan batas waktu penyerahan akta tersebut.
3. Peralihan hak karena lelang Peralihan hak atas tanah karena lelang merupakan bentuk dari peralihan hak yang dialihkan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 41 PP 24/1997 dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang. (2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum suatu bidang tanah atau satuan rumah susun dilelang baik dalam rangka lelang eksekusi maupun lelang non eksekusi, Kepala Kantor Lelang wajib meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada Kantor Pertanahan mengenai bidang tanah atau satuan rumah susun yang akan dilelang. (3) Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari Kepala Kantor Lelang. (4) Kepala Kantor Lelang menolak melaksanakan lelang, apabila :
65 a. mengenai tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun: 1) kepadanya tidak diserahkan sertipikat asli hak yang bersangkutan, kecuali dalam hal lelang eksekusi yang dapat tetap dilaksanakan walaupun sertipikat asli hak tersebut tidak diperoleh oleh Pejabat Lelang dari pemegang haknya; atau 2) sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan : 1) surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), atau surat keterangan KepalaDesa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan 2) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. ada perintah Pengadilan Negeri untuk tidak melaksanakan lelang berhubung dengan sengketa mengenai tanah yang bersangkutan. (5) Untuk pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan: a. kutipan risalah lelang yang bersangkutan; b. 1) sertipikat hak milik atas satuan rumah susun atau hak atas tanah yang dilelang jika bidang tanah yang bersangkutan sudah terdaftar; atau 2) dalam hal sertipikat tersebut tidak diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi, surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertipikat tersebut; atau 3) jika bidang tanah yang bersangkutan belum terdaftar, surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b Pasal ini; c. bukti identitas pembeli lelang; d. bukti pelunasan harga pembelian. Peralihan hak atas tanah karena lelang selain diatur dalam Pasal 41 PP 24/1997 juga diatur dalam Pasal 107 sampai Pasal 110 PMNA 3/1997. Beberapa ketentuan tentang pengaturan tersebut antara lain sebagai berikut: Pasal 107 PMNA 3/1997: (1) Atas permintaan Kepala Kantor Lelang, Kepala Kantor Pertanahan memberikan keterangan mengenai tanah yang akan dilelang dengan menerbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.
66 (2) Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis mengenai tanah tersebut yang tercatat dalam daftar umum di Kantor Pertanahan. (3) Dalam hal data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan belum tercatat di Kantor Pertanahan di dalam Surat Keterangan Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa tanah tersebut belum terdaftar. (4) Untuk penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan tanah, kecuali untuk tanah yang belum terdaftar. (5) Keputusan mengenai dilanjutkannya pelelangan setelah mengetahui data pendaftaran tanah mengenai bidang tanah yang bersangkutan diambil oleh Kepala Kantor Lelang. Pasal 110 PMNA 3/1997: (1) Atas permintaan Bank Pemerintah peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dimenangkan oleh bank tersebut melalui lelang dalam rangka pelunasan kreditnya sesuai Pasal 6huruf k Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dapat didaftar langsung atas nama pembeli akhir yangditunjuk oleh bank tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut: a. di dalam risalah lelang dicantumkan bahwa di dalam pembelian lelang itu bank bertindak untuk pembeli yang belum disebut namanya; b. nama pembeli serta identitasnya kemudian dinyatakan di dalam surat pernyataan oleh atau atas nama Direksi bank yang bersangkutan. (2) Permohonan pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh pembeli yang ditunjuk bank selambat-lambatnya 1 tahun terhitung dari tanggal pelaksanaan lelang yangbersangkutan. (3) Apabila ketentuan pada ayat (2) dilanggar maka pendaftaran peralihan hak kepada pembeli yang ditunjuk oleh bank hanya dapat dilakukan berdasarkan akta jual beli antara bank dan pembeli tersebut sesudah dilakukan pendaftaran peralihan hak atas nama bank yang bersangkutan berdasarkan Risalah Lelang.
3.2 Pembebanan Harta Tidak Bergerak Selain peralihan hak, pembebanan hak juga menjadi suatu hal yang dapat dilakukan terhadap harta tidak bergerak milik afwezig berdasarkan ketentuan Pasal 481 KUHPerdata yang merupakan pengecualian terhadap ketentuan Pasal 484 KUHPerdata tentang masa pewarisan definitif atas harta milik seorang
67 afwezig. Frieda Husni Hasbullah dalam bukunya meringkas pemahaman tentang pembebanan hak dengan penjelasan sebagai berikut: Pembebanan (bezwaring) terhadap benda bergerak berdasarkan Pasal 1150 KUHPerdata harus dilakukan dengan gadai, sedangkan pembebanan terhadap benda tidak bergerak menurutPasal 1162 KUHPerdata harus dilakukan dengan hipotik. Sejak berlakunya UUHT, maka atas tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah hanya dapat dibebankan dengan hak tanggungan. Sedangkan untuk benda-benda bergerak juga dapat dijaminkan dengan lembaga fidusia menurut UUJF.79 Pasal 1150 KUHPerdata, mengatur bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur sebagai jaminan atas utangnya. Pasal 1162 KUHPerdata, mengatur bahwa hipotik adalah suatu hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan. Kedua ketentuan tersebut telah terganti dengan ketentuan-ketentuan baru yang mengatur tentang pembebanan hak yaitu UUHT yang diundangkan sejak tahun 1996 dan UUJF yang diundangkan sejak tahun 1999. Pokok bahasan dari cara pembebanan yang dikaji dalam penelitian ini adalah dalam hal pembebanan hak tanggungan yang diatur dan dilaksanakan berdasarkan UUHT dengan berbagai ketentuan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 UUHT mendefinisikan bahwa Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan (HT), adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
79
Frieda HusniHasbullah, op.cit, hal. 47.
68 yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Penjelasan Umum UUHT angka 3 menyebutkan HT sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference) atau mendahulu kepada pemegangnya. Apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang HT berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur- kreditur yang lain". Hak mendahulu dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang HT didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek hak tanggungan.80 b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite). Pasal 7 UUHT mengatur bahwa HT tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.Hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.81 c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum UUHT angka 3 huruf c. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, Pasal 6 UUHT, mengatur jika debitor cidera janji maka pemegang HT pertama mempunyai hak untuk menjual obyek HT atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Sedangkan Pasal 14 UUHT menegaskan bahwa sertipikat HT mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.82 Tentang apa saja yang menjadi obyek dari HT dan beberapa ketentuannya diatur dengan jelas dalam Pasal 4 UUHT, sebagai berikut: (1) Hak atas tanah yang dapat dibebani HT adalah: a. Hak Milik; 80
J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditia Bakti,Bandung, hal. 97. 81 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda,Liberty,Yogyakarta, hal. 25. 82 Ibid, hal. 52-53.
69
(2)
(3) (4)
(5)
b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani HT. Pembebanan HT pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. HT dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) yang bersangkutan. Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan HT atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik. Pasal 6 UUHT mengatur bahwa, apabila debitor cidera janji, pemegang
HT pertama mempunyai hak untuk menjual obyek HT atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Selanjutnya Penjelasan Umum angka 7 UUHT mengatur tentang proses pembebanan HT yang dilaksanakan melalui dua tahap, yaitu: a. tahap pemberian HT, dengan dibuatnya APHT oleh PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya HT yang dibebankan. Pasal 8 UUHT mengatur bahwa pemberi HT adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek HT yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek HT adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan.
70 Pasal 9 UUHT menentukan bahwa pemegang HT adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Kedua ketentuan di atas memberi gambaran secara sederhana bahwa subyek dalam HT terdiri dari pemberi dan pemegang HT. Pasal 10 UUHT mengatur tentang tata cara pemberian HT, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Pemberian HT didahului dengan janji untuk memberikan HT sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. (2) Pemberian HT dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Apabila obyek HT berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian HT dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Kemudian dalam pasal berikutnya, yaitu dalam Pasal 11 UUHT, pengaturan tentang prosedur formal suatu APHT diatur sebagai berikut: (1) Di dalam APHT wajib dicantumkan: a. nama dan identitas pemegang dan pemberi HT; b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yangberdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih; c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 danPasal 10 ayat (1); d. nilai tanggungan; e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. Pasal 12 UUHT, tegas menentukan bahwa janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HT untuk memiliki obyek HT apabila debitor cidera janji, adalah batal demi hukum. Pasal 18 ayat (1) UUHT, mengatur bahwa hapusnya HT karena hal-hal sebagai berikut:
71 a. Hapusnya utang yang dijamin dengan HT; b. Dilepaskannya HT oleh pemegang HT; c. Pembersihan HT berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani HT. Setelah HT hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUHT, Kantor Pertanahan mencoret catatan HT tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertipikatnya, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUHT sebagai berikut: (1) Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertipikatnya. (2) Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. (3) Apabila sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada KantorPertanahan, hal tersebut dicatat pada buku-tanah Hak Tanggungan. (4) Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan. (5) Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar. (6) Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan. (7) Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan. (8) Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
72 yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7). (9) Apabila pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan dicatat pada buku-tanah dan sertipikat Hak Tanggungan serta pada buku-tanah dan sertipikat hak atas tanah yang telah bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya. Keberlakuan UUHT sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUHT, adalah berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Pasal 29 UUHT menegaskan bahwa dengan berlakunya UUHT, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai pembebanan HT pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
3.3 Akta Kematian terkait Afwezigheid Pasal 68 ayat (1) UU Adminduk, mengatur bahwa kutipan akta pencatatan sipil terdiri dari: kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak dan pengesahan anak. Kaitannya dalam penelitian ini adalah dalam hal pencatatan kematian yang selanjutnya diatur dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 44 UU Adminduk.
73 Pasal 44 UU Adminduk, mengatur tentang pencatatan kematian di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan beberapa ketentuan yang disebutkan dalam beberapa ayat, sebagai berikut: (1) Setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun tetangga atau nama lainnya di domisili Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian. (3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan keterangan kematian dari pihak yang berwenang. (4) Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. (5) Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya, Instansi Pelaksana melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian. Pasal 45 UU Adminduk, mengatur tentang pencatatan kematian di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan beberapa ketentuan yang telah diatur sebagai berikut: (1) Kematian Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili keluarganya kepada Perwakilan Republik Indonesia dan wajib dicatatkan kepada instansi yang berwenangdi negara setempat paling lambat 7 (tujuh) hari setelah kematian. (2) Apabila Perwakilan Republik Indonesia mengetahui peristiwa kematian seseorang Warga Negara Indonesia di negara setempat yang tidak dilaporkan dan dicatatkan paling lambat 7 (tujuh) hail sejak diterimanya informasi tersebut, pencatatan kematiannya dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia. (3) Dalam hal seseorang Warga Negara Indonesia dinyatakan hilang, pernyataan kematian karna hilang dan pencatatannya dilakukan oleh Instansi Pelaksana di negara setempat. (4) Dalam hal terjadi kematian seseorang Warga Negara Indonesia yang tidak jelas identitasnya, pernyataan dan pencatatan dilakukan oleh Instansi Pelaksana di negara setempat. (5) Keterangan pernyataan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dicatatkan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
74 (6) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar Instansi Pelaksana di Indonesia mencatat peristiwa tersebut dan menjadi bukti di pengadilan sebagai dasar penetapan pengadilan mengenai kematian seseorang. Kemudian dalam pasal berikutnya yaitu dalam Pasal 46 UU Adminduk, dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 45 diatur dalam Peraturan Presiden. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 UU Adminduk telah telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut Perpres 25/2008), adapun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perpres 25/2008 tentang pencatatan kematian adalah sebagai berikut: Pencatatan Kematian di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diatur dalam Pasal 81 Perpres 25/2008, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Pencatatan kematian dilakukan pada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis Dinas (selanjutnya disebut UPTD) Perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan, (selanjutnya disebut Instansi Pelaksana) di tempat terjadinya kematian. (2) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa: a. Surat Pengantar dari RT dan RW untuk mendapatkan Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah; dan/atau b. Keterangan kematian dari dokter/paramedis. (3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tatacara: a. Pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pelaporan Kematian dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Petugas registrasi di kantor desa/kelurahan untuk diteruskan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana; b. Kepala Desa/Lurah menerbitkan Surat Keterangan Kematian dan disampaikan kepada yang bersangkutan untuk digunakan seperlunya; c. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian;
75 d. Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud padahuruf c memberitahukan data hasil pencatatan kematian kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana tempat domisili yang bersangkutan; e. Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana tempat domisili sebagaimana dimaksud pada huruf d mencatat dan merekam dalam database kependudukan. Pasal 82 (1) Pencatatan kematian bagi Orang Asing dilakukan pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana di tempat terjadinya kematian. (2) Pencatatan kematian bagi Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa: a. Keterangan kematian dari dokter/paramedis; b. fotokopi KK dan KTP, bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap; c. fotokopi Surat Keterangan Tempat Tinggal, bagi Orang Asing yang memiliki IzinTinggal Terbatas; atau d. fotokopi Paspor, bagi Orang Asing yang memiliki Izin Kunjungan. (3) Pencatatan kematian bagi Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tata cara: a. Pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pelaporan Kematian dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana; b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian; c. Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada huruf b memberitahukan data hasil pencatatan kematian kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana tempat domisili yang bersangkutan; d. Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada huruf c mencatat dan merekam dalam database kependudukan tempat domisili. Pasal 83 (1) Pencatatan pelaporan kematian seseorang yang hilang atau mati yang tidak ditemukan jenazahnya dan/atau tidak jelas identitasnya dicatat pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana di tempat tinggal pelapor. (2) Pencatatan pelaporan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa: a. KK; b. Surat Keterangan Catatan Kepolisian; dan c. Salinan penetapan pengadilan mengenai kematian yang hilang atau tidak diketahui jenazahnya.
76 (3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tata cara: a. Pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pelaporan Kematian dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana; b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian; c. Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat dan merekam dalam database kependudukan. (4) Dalam hal pelaporan kematian seseorang yang ditemukan jenazahnya tetapi tidak diketahui identitasnya dicatat oleh Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana di tempat diketemukan jenazahnya. (5) Pencatatan pelaporan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan oleh Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana berdasarkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian. (6) Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana menerbitkan Surat Keterangan Kematian. Pencatatan Kematian di Luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diatur dalam Pasal 84 Perpres 25/2008, dengan ketentuan sebagai berikut: Pasal 84 (1) Kematian Warga Negara Indonesia di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat. (2) Kematian Warga Negara Indonesia yang telah dicatatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat berupa: a. Surat Keterangan Kematian dari negara setempat; b. fotokopi Paspor Republik Indonesia; dan/atau c. identitas lainnya. (3) Pelaporan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan tata cara: a. Pelapor mengisi Formulir Pelaporan Kematian dengan menyerahkan persyaratankepada Pejabat Konsuler; b. Pejabat Konsuler mencatat pelaporan kematian Warga Negara Indonesia dalam Daftar Kematian Warga Negara Indonesia dan memberikan surat bukti pencatatan kematian atau Surat Keterangan Kematian dari negara setempat; c. Pejabat Konsuler mengirimkan data kematian Warga Negara Indonesia kepada Instansi Pelaksana di tempat domisili yang bersangkutan melalui departemen yang bidang tugasnya meliputi urusan pemerintahan dalam negeri;
77 d. Instansi Pelaksana yang menerima data kematian mencatat dan merekam dalam database kependudukan. Pasal 85 (1) Dalam hal negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan kematian bagi Warga Negara Indonesia, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia. (2) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa : a. Surat Keterangan tentang terjadinya kematian dari rumah sakit di Negara setempat; b. Paspor Republik Indonesia; atau c. Identitas lainnya. (3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tatacara: a. Pelapor mengisi Formulir Pencatatan Kematian dengan menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pejabat Konsuler; b. Pejabat Konsuler mencatat dalam Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian; c. Pejabat Konsuler mengirimkan data kematian Warga Negara Indonesia kepada Instansi Pelaksana di wilayah tempat domisili yang bersangkutan melalui departemen yang bidang tugasnya meliputi urusan pemerintahan dalam negeri; d. Instansi Pelaksana di wilayah tempat domisili sebagaimana dimaksud pada huruf c mencatat dan merekam dalam database kependudukan. Pasal 86 (1) Pencatatan pelaporan kematian seseorang yang hilang atau mati yang tidak ditemukan jenazahnya dan/atau tidak jelas identitasnya dicatat di Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat atau yang terdekat. (2) Pencatatan pelaporan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menyerahkan surat keterangan kepolisian atau instansi lain yang berwenang sesuai peraturan negara setempat. (3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tata cara: a. Pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pelaporan Kematian dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Pejabat Konsuler; b. Pejabat Konsuler mencatat dalam Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian; c. Pejabat Konsuler mengirimkan data kematian kepada Instansi Pelaksana melalui Departemen Dalam Negeri.
78 Sebagai bukti telah dicatat/didaftarkan, pejabat kantor catatan sipil menerbitkan kutipan akta. Berikut beberapa pendapat tentang sifat dari kutipan akta catatan sipil, antara lain: 1. Abdulkadir Muhammad, “Kutipan akta catatan sipil bersifat otentik karena dikeluarkan oleh pejabat resmi (akta ambtlijk).83 2. Soetojo Prawirohamidjojo, “Apabila kutipan akta catatan sipil tidak dituduh palsu, maka menurut ketentuan yang berlaku merupakan bukti yang sempurna (volledig bewijs).84 Dari sifatnya yang dapat memberikan kepastian hukum, maka pencatatan kematian yang diikuti dengan penerbitan kutipan akta kematian sangatlah penting dalam menopang berbagai perbuatan hukum lainnya, seperti: pembagian hak waris, penetapan status janda/duda pasangan yang ditinggalkan, pengurusan asuransi, pensiun, dan perbankan. Terkait afwezigheid, pencatatan kematian seorang afwezig secara administratif ditentukan dalam Pasal 44 dan Pasal 45 UU Adminduk dan dilaksanakan berdasarkan Pasal 83 dan Pasal 86 Perpres 25/2008.
83
Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 50. 84 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kelima, Alumni, Bandung, hal. 6.
79
3.4 Keterangan Waris terkait Afwezigheid Guna memberi kepastian hukum maka kapasitas sebagai ahli waris harus dapat dibuktikan, surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa Akta Keterangan Hak Mewaris atau Surat Penetapan Ahli Waris atau surat Keterangan Ahli Waris.85 Untuk membuktikan bahwa seseorang merupakan ahli waris dari pewaris dalam proses pendaftaran peralihan hak atas tanah, maka berdasarkan Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 PMNA 3/1997 disebutkan bahwa surat tanda bukti hak sebagai ahli waris tersebut dapat berbentuk dalam bentuk sebagai berikut: 1. Wasiat dari pewaris, atau 2. Putusan Pengadilan, atau 3. Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau 4. Surat keterangan waris: a. Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia; b. Bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris; c. Bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
85
Gunardi, dkk, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Kenotariatan, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.164.
80 Walau penggolongan penduduk telah dihapuskan, tapi dalam penerapan hukum waris sampai saat ini masih beragam karena secara khusus belum disusun peraturan perundangan-undangan tentang hukum waris dan ketentuan yang ada masih dianggap sesuai dan masih dibutuhkan. Irma Devita dalam artikelnya mengamati dan memberikan penjelasan atas perbedaan terhadap surat keterangan waris tersebut sebagai berikut:86 Dalam Pasal111 ayat (1) huruf c butir 4 PMNA 3/1997 disebutkan bahwa salah satu syarat pendaftaran balik nama waris adalah: a. Surat keterangan waris, bagi warga negara Indonesia penduduk asli, surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia; b. Akta keterangan hak mewaris dari Notaris: bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Dari penjelasan tersebut tampak adanya perbedaan pada hal: a. Golongan penduduk dari pihak yang meninggal dunia (pewaris). Untuk golongan penduduk Pribumi, cukup dibuat di bawah tangan, dan disaksikan serta dibenarkan oleh Lurah setempat serta dikuatkan oleh Camat. Sedangkan, golongan penduduk Tionghoa, yang berwenang membuat adalah Notaris. b. Pihak yang berwenang untuk membuat keterangan waris.Seperti penjelasan di atas, jika pewaris adalah WNI - pribumi, keterangan warisnya cukup dibuat dalam bentuk surat pernyataan dari para ahli waris, yang disahkan oleh Lurah dan dikuatkan oleh Camat setempat. Dalam hal ini, tidak perlu dilakukan pengecekan wasiat terlebih dahulu.Sedangkan untuk WNI yang keturunan Tionghoa, keterangan warisnya dibuat di hadapan Notaris, dimana sebelumnya dilakukan pengecekan wasiat terlebih dahulu. c. Bentuk surat/aktanya. Untuk keterangan waris WNI – Pribumi, karena keterangan waris cukup dibuat di bawah tangan saja, maka aktanya merupakan surat di bawah tangan. Untuk keterangan waris WNI – Tionghoa: merupakan akta otentik yang dibuat oleh/di hadapan Pejabat umum yang berwenang sesuai pasal 1868 KUHPerdata.
86
Irma Devita, Perbedaan Surat Keterangan Waris dengan Akta Keterangan Hak Mewaris, http://www.hukumonline.com/klinik diakses terakhir pada tanggal 28 Mei 2014.
81 Keterangan waris dan kaitannya dalam penelitian ini yaitu dalam hal pengaturan pewarisan yang menyangkut afwezigheid. Khusus dalam hal peralihan warisan afwezig, maka berdasarkan beberapa ketentuan dan pendapat di atas pelaksanaan pembuatan keterangan waris bagi ahli waris dari seorang afwezig, melibatkan peran dan fungsi Lurah/Kepala Desa ditambah Camat atau Notaris ditambah Hakim Pengadilan Negeri.
3.5 Peralihan dan Pembebanan Hak Milik terkait Afwezigheid Suatu kepastian hukum
yang absolut sangat dibutuhkan dalam
menerangkan status seorang afwezig, terutama ketika seorang afwezig meninggalkan harta benda yang cukup bernilai. M. Slamet dalam pernyataannya yang dikutip oleh Tan Thong Kie menyebutkan, “.... suatu kepastian absolut hanya dapat ditetapkan dalam suatu keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum ....”.87 Pendapat ini telah sejalan dengan beberapa ketentuan yang mengatur tentang afwezigheid, seperti dalam ketentuan Pasal 481 KUHPerdata, yaitu dalam memberlakukan pengecualian untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 484 KUHPerdata tentang peralihan dan pembebanan harta tidak bergerak sebelum masa pewarisan definitif. Dalam ketentuan Pasal 481 KUHPerdata tersebut pengecualian terhadap hal yang telah disebutkan di atas bisa dilakukan asal berdasarkan pada putusan Pengadilan Negeri. Satu sisi sejalan secara subyek yang pantas untuk memberikan keterangan, yaitu Hakim di Pengadilan Negeri, namun tidak dalam hal obyek yang dijadikan alasan pertimbangan dalam
87
Tan Thong Kie, 2011, Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris, Cet. II, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hal.571.
82 menetukan putusan boleh tidaknya harta afwezig dialihkan sebelum masa pewarisan definitif. Obyek yang dimaksud adalah dalam klausula tentang alasannya yaitu, “... kecuali bilamana ada alasan-alasan yang penting ...”. Ketentuan Pasal 481 KUHPerdata menjadi kabur/tidak jelas (vague van normen) karena tidak memberikan kepastian dan menimbulkan multitafsir terhadap kalimat “kecuali bilamana ada alasan-alasan yang penting dan dengan izin Pengadilan Negeri”. Barang-barang tidak bergerak dalam ketentuan tersebut tidak boleh dialihkan atau dibebani haknya sebelum lewat waktu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 484 KUHPerdata. Pengecualian terhadap alasan-alasan yang penting untuk dapat dialihkan atau dibebani tidak jelas ditentukan, dan kepentingan tersebut bisa saja direkayasa untuk kepentingan sebagian pihak yang ingin memperoleh keuntungan dan mengesampingkan hak seorang yang disangka mati (afwezig) atau hak-hak ahli waris lainnya. Kondisi norma yang kabur/tidak jelas (vague van normen) dapat menimbulkan pertentangan secara vertikal dan horisontal terhadap peraturan perundang-undangan, serta keraguan-raguan dan ketidakpastian dalam penerapannya. Berikut beberapa putusan dalam perkara di berbagai tingkat peradilan yang terkait dengan peralihan harta seorang afwezig. Hak seorang afwezig dan ahli waris lainnya terganggu dan tidak terlindungi akibat putusan hukum yang kurang memberikan kepastian dan keadilan akibat dari penerapan yang kurang tepat tentang afwezigheid, antara lain:
83 1. Putusan Mahkamah Agung Republik IndonesiaNO. 751 PK/Pdt/2011, tanggal 31 Juli 2012 Mahkamah Agung Republik Indonesia di perkara perdata dalam peninjauan kembali telah memutuskan dalam perkara sebagai berikut: JOE TJOEN SOEI, bertempat tinggal di Jakarta Utara, dalam hal ini memberi kuasa kepada ROVINUS LUBIS, S.H., M.H., Advokat, berkantor di Jakarta Timur selaku Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/ Penggugat/Pembanding, melawan : 1) PT DUTA ANGGADA REALTY TBK, berkedudukan di Jakarta Selatan; 2) PEMERINTAH Rl cq. MENTERI DALAM NEGERI Rl cq. GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA, berkedudukan di Jakarta Pusat; 3) PEMERINTAH Rl cq. KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL cq. KEPALA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI DKI JAKARTA cq. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA JAKARTA BARAT, berkedudukan di Jakarta Barat, selaku para Termohon Peninjauan Kembali dahulu para TermohonKasasi/para Tergugat/para Terbanding. Pemohon
Peninjauan
Kasasi/Penggugat/Pembanding
telah
Kembali
dahulu
mengajukan
permohonan
Pemohon peninjauan
kembali terhadap putusan Mahkamah Agung No. 1678/K/Pdt/2008 tanggal 31 Desember 2008 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan para Termohon Peninjauan Kembali dahulu para Termohon Kasasi/para Tergugat/para Terbandingdengan posita perkara sebagai berikut: .... bahwa Penggugat adalah pemegang hak atas sebidang tanah bekas Eigendom Verponding No. 8405 seluas 7.230 M2 (tujuh ribu dua ratus tiga puluh meter persegi) tertulis atas nama Khouw Oen Kiam, Cs, yang diuraikan pada Surat Ukur No. 72 tanggal19 Juni 1993 dan surat Eigendom tanggal 25 Februari 1884 atas nama Khouw Oen Kiam, Cs (bukti P-2); .... bahwa Tergugat II pernah mengajukan permohonan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang isinya menuntut Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1) Menyatakan pemilik bangunan/bekas pemegang hak tanah Persil Jalan Gajah MadaNo. 211 Jakarta Barat, tidak diketahui alamatnya dan sebagai tidak hadir (afwezig);
84 2) Menunjuk Balai Harta Peninggalan Jakarta sebagai pengurus dari harta benda tidak bergerak (bangunan) di Persil Jalan Gajah Mada No. 211 Jakarta Barat dari pihak pemilik yang tidak hadir tersebut; 3) Memberi izin kepada Pemerintah DKI Jakarta untuk membeli bangunan di atas Persil Jalan Gajah Mada No. 211 Jakarta Barat melalui Balai Harta Peninggalan Jakarta. Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut: .... bahwa Pemohon Peninjauan Kembali sangat keberatan terhadap pertimbangan hukum dan putusan para Hakim baik dalam tingkat kasasi maupun dalam tingkat banding dan dalam tingkat pertama yang dimohonkan peninjauanan kembali dalam perkara ini karena: "terdapat suatu kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dari para Hakim tersebut, yang bersifat fatal dengan menghilangkan Hak Pemohon Peninjauan Kembali atas Tanah dan bangunan obyek sengketa, hal mana merupakan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)" .... . Terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat : Bahwa alasan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, dalam putusan judex juris maupun judex factie tidak terdapat kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1251 atas nama Termohon Peninjauan Kembali/Tergugat I diterbitkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yaitu pasal 1 ayat 3 Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1962 dan Peraturan Menteri Agraria No.5 Tahun 1960 Jo. Pasal 36 Undang - Undang No.5Tahun 1960, dengan demikian Sertifikat Hak Guna Bangunan sah dan obyek sengketa adalah sah milik Termohon Peninjauan Kembali/Tergugat I. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Joe Tjoen Soei tersebut adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak. Seorang afwezig yang kembali sebelum masa pewarisan definitif, dan telah kehilangan haknya atas tanah, karena berbenturan dengan ketentuan tentang peralihan hak atas bangunan/tanah bekas Eigendom Verponding. Perolehan hak atas tanah yang dilakukan dengan proses hukum yang kurang tepat dapat menciderai rasa keadilan dan kepastian hukum. Penerbitan Penetapan keadaan
85 tidak hadir (afwezigheid) terhadap pemilik/pemegang sah hak atas bangunan/tanah bekas Eigendom Verponding oleh pihak Pengadilan Negeri belum sepenuhnya mengakomodir ketentuan-ketentuan lain yang ada tentang afwezigheid dan menguntungkan pihak-pihak tertentu.
2. Putusan Mahkamah Agung Republik IndonesiaNo. 2849 K/Pdt/2008, tanggal 13 Juli 2010 Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara perdata di tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara : NY. ZAIBUNNISA, Surabaya, memberi kuasa kepada M.N. EFFENDI, SH. dan M. NAZAR, SH., Advokat/Konsultan Hukum berkantor di Surabaya, selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I/Pembanding, melawan: 1.Ny. Rr. Hj. SOELISTYANINGSIH,2. DEBBY FIROEZA INDIANY,3. DEVI ABEETA BEVI, Ketiganya bertempat tinggal di Malang;4. DINO MIAN PAHLEVI, bertempat tinggal di Surabaya;5. DEBRA LUKITASARI,6. DIBA DHAMAYANTI YASMIN,7. DESFANDIARY BACHTIAR, ketiganya bertempat tinggal di Malang;8. DELYZAH INDIRA MUMTAZ, bertempat tinggal diSurabaya, selaku Para Termohon Kasasi dahulu para Penggugat/paraTerbanding; dan KEPALA BALAI HARTA PENINGGALAN SURABAYA, berkantor di Sidoarjo, selaku Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II/turut Terbanding. Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang para Termohon Kasasi dahulu sebagai para Penggugat telah menggugat sekarang Pemohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat I/dan Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II di muka persidangan Pengadilan Negeri Surabaya pada pokoknya atas dalil-dalil: I. Perbuatan Tergugat I menempati dengan tanpa alas hak atas sebidang tanah dan bangunan di Jl. Nias No. 38 Surabaya dengan permohonan penetapan keadaan tidak hadir terhadap Sdr. Kus Hardiman cs, merupakan tindakan melanggar hukum.
86 II. Perbuatan Tergugat II mewakili orang yang keadaan tidak hadir yaitu Sdr. Kus Hardiman cs dan melakukan perjanjian sewa-menyewa serta menerima uang sewanya, merupakan tindakan melanggar hukum. .... bahwa perbuatan Tergugat II mewakili kepentingan orang yang tidak hadir dari Kus Hardiman Cs, melakukan perjanjian sewa menyewa dengan Tergugat I dan menerima uang sewanya, sebagaimana disebutkan dalam posita angka 7 dan 8 gugatan ini, adalah merupakan tindakan melanggar hukum (onrechmatige overheid daad). Padahal, sepatutnya dan selayaknya, sebelum melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum tersebut Tergugat II harus melakukan pengecekkan dan penelitian kepada instansi terkait....” Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : .... bahwa adapun keberatan permohonan kasasi tersebut, tidak dapat dibenarkan karena judex factie tidak salah dalam pertimbangan hukumnya sudah tepat dan benar; .... bahwa keberatan selanjutnya juga tidak dapat dibenarkan karena hal tersebut adalah merupakan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud Pasal 30 Undang-Undang No14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009. Terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat: “.... berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : NY. ZAIBUNNISA tersebut harus ditolak”. Terjadi penyalahgunaan keadaan afwezigheid, seorang dinyatakan afwezig, kenyataan ini disalahgunakan oleh ahli waris dalam mengalihkan harta yang
87 bukan menjadi hak milik seorang yang diputuskan afwezig, dan merugikan berbagai pihak serta melibatkan lembaga pemerintah di bidang pertanahan yaitu Kantor Pertanahan. Hal ini bisa terjadi karena telah mengabaikan ketentuan Pasal 484 KUHPerdata, dimana ahli waris dapat mengalihkan atau membebankan hak seorang afwezig jika telah lewat masa pewarisan definitif. 3. Putusan Mahkamah Agung K/Pdt/2006tanggal 8 Agustus 2006
Republik
Indonesia
No.
483
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara perdata di tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara: 1) NY. KARTINI SUTARKO, bertempat tinggal di Jl. Pahlawan No.52 Kota Madiun, dalam hal ini memberi kuasa kepada anaknya : MARGONO, bertempat tinggal di Jl. Pahlawan No.52Kota Madiun; 2) MARGONO, Pegawai RRI Madiun, bertempat tinggal di Jl. Pahlawan No.52 Kota Madiun. Keduanya selaku Para Pemohon Kasasi/Tergugat I dan II/Pembanding, melawan: SLAMET SANTOSO, bertempat tinggal di Jl. Pahlawan No.54 Kota Madiun, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding; dan Kepala Radio Republik Indonesia Regional II Madiun, berkedudukan di Jl. Mayjend Panjaitan No.10 Kota Madiun selaku Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat / Turut Terbanding; Mahkamah Agung tersebut. Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang Para Pemohon Kasasi sebagai Para Tergugat dan Turut Termohon Kasasi sebagai Turut Tergugat di muka persidangan Pengadilan Negeri Kota Madiun pada pokoknya atas dalil-dalil: .... bahwa dalam jual beli tanah dan bangunan di Jalan Pahlawan No.52 Kota Madiun, sesuai dengan Pasal 8 huruf b Akta Jual Beli No.06, tanggal 7 Agustus 1998 di Notaris / PPAT SOETOMO NITIAMIDJOJO, SH, Turut tergugat selaku penjual berjanji untuk menyerahkan tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Pahlawan No.52 Kota Madiun, dalam keadaan kosong paling lambat 3 (tiga) bulan sejak terjadinya proses jual beli yaitu tanggal 7 Agustus 1998, dan apabila tidak dapat mengosongkan maka konsekuensi dari Turut Tergugat adalah wajib membayar denda sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap harinya sejak tanggal 7 November 1998.
88
Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/ Para Tergugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah : .... bahwa demikian pula gugatan Penggugat/Terbanding/Termohon Kasasi adalah kurang pihak serta kabur (Obscuure libels), yang seharusnya melibatkan para pihak yang merupakan mata rantai hukum didalam perolehan haknya yang antara lain Notaris/PPAT Soetomo Nitiamidjojo, SH kantor BPN Kota Madiun, kantor Balai Harta Peninggalan Surabaya sebagai para pihak yang berperkara dalam perkara ini; .... bahwa menurut hemat PEMOHON KASASI perolehan hak atas tanah yang dilakukan oleh Penggugat/Terbanding/Termohon Kasasi adalah cacat hukum, tidak sah menurut hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum karena perolehannya dilakukan secara ilegal yakni berawal dari diterbitkannya Penetapan oleh pihak Pengadilan Negeri Kota Madiun pada tanggal 23 Desember 1992 Nomor : 78/Pdt.G/1992/PN.Kd.Mn. atas permohonan Turut Tergugat (Kepala Radio Republik Indonesia Regional II Kota Madiun) tertanggal 30 November 1991 dengan cara menggelapkan pemilik/pemegang sah hak atas bangunan/tanah bekas Eigendom Verponding No.III sisa seluas kurang lebih 2.160 M² dalam keadaan tidak hadir (AFWEZIGHEID), padahal patut diketahui bahwa Pemilik/Pemegang sah hak atas tanah tersebut hingga kini masih ada dan tidak bubar sebagaimana didalilkan oleh Turut Tergugat (RRI Regional II Kota Madiun) yakni PT. KANTOR TATA USAHA VERLUIS yang berkedudukan di Jl. Mulyasari Utara Nomor 3 Surabaya; .... bahwa karena dasar awal perolehan atas bangunan/tanah oleh pihak Penggugat/terbanding/termohon Kasasi tidak benar/ilegal, cacat hukum dan tidak sah menurut hukum, maka semua perbuatan hukum yang dilakukan melalui instansi-instansi terkait lainnya sehingga terbit sertifikat Hak Milik No. 916 dan surat ukur No. 13/Pangongangan/2000 tanggal 15 Desember2000 atas nama Penggugat/Terbanding/Termohon Kasasi harus dinyatakan tidak sah menurut hukum dan batal demi hukum; Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : ....bahwa alasan-alasan Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena judex factie (Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri) tidak salah dalam menerapkan hukum, lagipula alasan tersebut merupakan Penilaian Hasil Pembuktian (PHP) yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi. Berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang
89 diajukan oleh Para Pemohon Kasasi : NY. KARTINI SUTARKO dan MARGONO tersebut harus ditolak. Perolehan hak atas tanah yang dilakukan dengan proses hukum yang kurang tepat dapat menciderai rasa keadilan dan kepastian hukum. Penerbitan Penetapan keadaan tidak hadir (afwezigheid) terhadap pemilik/pemegang sah hak atas bangunan/tanah bekas eigendom verponding oleh pihak Pengadilan Negeri belum sepenuhnya mengakomodir ketentuan-ketentuan lain yang ada tentang afwezigheid dan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Ketiga putusan dalam perkara di atas memberi gambaran tentang alasan penting apa saja yang dimaksud dalam Pasal 481 KUHPerdata. Alasan penting tersebut
adalah
terkait
dengan
ketentuan
tentang
peralihan
hak
atas
tanah/bangunan bekas hak milik mutlak atas tanah sebelum UUPA (eigendom verponding) berdasarkan Ketentuan Konversi Pasal I UUPA.
90
BAB IV AKIBAT HUKUM PERALIHAN DAN PEMBEBANAN HAK ATAS HARTA TIDAK BERGERAK MILIK AFWEZIG SEBELUM MASA PEWARISAN DEFINITIF
4.1 Pengaturan Hak dan Kewajiban terkait Afwezigheid Berlakunya hukum perdata, berlaku dalam artinya adalah diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum perdata artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan. Adapun dasar berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang-undang, perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak, dan keputusan Hakim. Realisasi keberlakuan itu adalah pelaksanaan kewajiban hukum, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh hukum. Kewajiban selalu diimbangi dengan hak.88 Hak adalah salah satu dari sekian banyak substansi dari hukum atau materi dari hukum atau komponen dari hukum. Perbuatan melanggar salah satu materi hukum yang berkaitan dengan hak sebagai materi hukum adalah sama dengan perbuatan melanggar hukum.89 Secara praktis, maka upaya untuk tidak melanggar hak subyek lain adalah menjadi kewajiban tiap subyek hukum, karena sudah jelas bahwa upaya melanggar hak subyek lain adalah pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subyek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak88
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 17. Willy D.S. Voll, 2013, Dasar-dasar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45. 89
90
91 hak subyek hukum lain. Subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapat perlindungan hukum.90 Tujuan-tujuan hukum itu akan tercapai jika masing-masing subyek hukum mendapatkan hak-haknya secara wajar dan menjalankan kewajiban-kewajibanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.91 Kaitan dalam penelitian ini adalah tentang hak seorang afwezig dan hak orang-orang yang ditinggalkannya. Untuk memperoleh hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh ahli waris dari apa yang ditinggalkan oleh seorang afwezig juga terikat oleh beberapa kewajiban yang telah diatur dalam KUHPerdata, di antaranya yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini adalah ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 484 KUHPerdata. Pasal 484 KUHPerdata mengatur tentang masa ketiga dalam ketidakhadiran (afwezigheid), secara ringkas oleh Abdulkadir Muhammad dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perdata Indonesia” dijelaskan sebagai berikut: Jika tidak ada kabar kepastian meninggal dunia orang yang tak hadir itu, maka keadaan definitif terjadi apabila lampau tenggang waktu 30 tahun sejak hari pernyataan barang kali meninggal dunia yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri; atau apabila tenggang waktu 30 tahun belum lampau tetapi sudah lewat 100 tahun sejak hari lahir orang yang tak hadir itu.92 Peralihan harta yang dimiliki oleh pewaris yang disangka mati (afwezig) dan tidak ada kabar kepastian meninggalnya baru dapat dilakukan setelah masa pewarisan definitif, yaitu telah mencapai waktu 30 (tiga puluh) tahun sejak disangka mati atau jika yang disangka mati (afwezig) telah berusia 100 (seratus) tahun. Tetapi, dalam Pasal 481 KUHPerdata, memberi pengecualian terhadap
90
Ridwan HR, op.cit, hal. 266. Ridwan HR, op.cit, hal. 266. 92 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 56. 91
92 barang tidak bergerak milik orang yang dalam keadaan tak hadir (afwezig), bahwa boleh dialihkan atau dibebani haknya di luar masa pewarisan definitif. Ketentuan Pasal 481 KUHPerdata menjadi kabur/tidak jelas (vague van normen) karena tidak memberikan kepastian dan menimbulkan multitafsir terhadap kalimat “kecuali bilamana ada alasan-alasan yang penting dan dengan izin Pengadilan Negeri”. Pengecualian terhadap alasan-alasan yang penting untuk dapat dialihkan atau dibebani tidak jelas ditentukan, dan kepentingan tersebut bisa saja direkayasa untuk kepentingan sebagian pihak yang ingin memperoleh keuntungan dan mengesampingkan hak seorang yang disangka mati (afwezig) atau hak-hak ahli waris lainnya. Kondisi norma yang kabur/tidak jelas (vague van normen) dapat menimbulkan pertentangan secara vertikal dan horisontal terhadap peraturan perundang-undangan,
serta
keraguan-raguan
dan
ketidakpastian
dalam
penerapannya. Kekaburan norma tersebut sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya bahwa terdapat beberapa putusan dalam perkara di berbagai tingkat peradilan yang terkait dengan peralihan harta seorang afwezig, yang tidak jarang menyebabkan hak seorang afwezig dan ahli waris lainnya terganggu dan tidak terlindungi. Hak dan kewajiban terkait afwezigheid yang terkandung dalam Pasal 484 KUHPerdata dan Pasal 481 KUHPerdata secara logis dan yuridis dapat disebutkan antara lain sebagai berikut:
93 1. Ahli waris berhak secara penuh atas harta peninggalan afwezig setelah lewat dari 30 (tiga puluh) tahun sejak afwezig disangka mati, atau setelah 100 (seratus) tahun umur afwezig; 2. Ahli waris wajib menunggu berakhirnya masa pewarisan definitif jika ingin mengalihkan atau membeni hak atas harta afwezig; 3. Ahli
waris
yang
memiliki
“alasan
penting”
berhak
dan
dapat
mengesampingkan masa pewarisan definitif untuk mengalihkan atau membebankan hak atas harta afwezig setelah mendapat izin dari Pengadilan Negeri; 4. Afwezig berhak untuk dilindungi harta dan hak lainnya, maka secara logis seorang afwezig tidak memiliki kewajiban apapun terkait afwezigheid dirinya. Hak dan kewajiban di atas terbatas dari apa yang terkandung dalam ketentuan Pasal 484 KUHPerdata dan Pasal 481 KUHPerdata bagi ahli waris dan afwezig. Hak dan kewajiban lainnya yang melibatkan peran dan fungsi pejabat publik atau lembaga pemerintah akan dibahas dalam sub-bab berikutnya. Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara atau hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan hukum tersebut. Telah disebutkan bahwa pemerintah memiliki dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek rechtspersoon, public legal entity) dan sebagai pejabat (ambtsdrager) dari jabatan pemerintahan.93 Penelitian ini berdasarkan hal-hal logis yang melatarbelakanginya tidak lepas dari peran dan
93
Ridwan HR, op.cit, hal. 267.
94 fungsi pejabat publik dan berbagai lembaga pemerintahan yang terkait dengan pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu dalam hal pengaturan tentang afwezigheid. Pengaturan tentang hak dan kewajiban terkait afwezigheid melibatkan peran dan fungsi pejabat publik atau lembaga pemerintah, antara lain: Pejabat Pencatatan Sipil, Balai Harta Peninggalan, Pengadilan Negeri dan juga Notaris/PPAT.
4.1.1 Peran Pejabat Pencatatan Sipil terkait Afwezigheid Lembaga catatan sipil itu dibentuk dengan tujuan untuk mencatat (mendaftar) selengkap dan sejelas-jelasnya sehingga memberikan kepastian yang sebenar-benarnya mengenai semua kejadian seperti: kelahiran, pengakuan (terhadap kelahiran), perkawinan dan perceraian, kematian, dan izin kawin. Pencatatan ini sangat penting baik untuk diri seseorang maupun untuk orang lain oleh karena dengan pencatatan ini orang dapat dengan mudah memperoleh kepastian akan kejadian-kejadian tersebut di atas.94 Kepastian akan mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di dalam masyarakat. Kepastian hukum sangat penting dalam setiap perbuatan hukum. Kepastian hukum mengenai kematian menentukan status perdata seseorang terkait dengan warisan dan ahli waris yang ditinggalkannya. Pencatatan sipil terkait afwezigheid secara administratif melibatkan peran dan fungsi pejabat publik di berbagai tingkatan berdasarkan pada beberapa ketentuan hukum administrasi kependudukan yang telah diatur, antara lain sebagai berikut:
94
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, loc.cit.
95 1. Pasal 68 ayat (1) UU Adminduk, mengatur bahwa kutipan akta pencatatan sipil terdiri dari: kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak dan pengesahan anak. 2. Pasal 44 ayat (4) UU Adminduk, mengatur bahwa dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. 3. Pasal 45 ayat (3)UU Adminduk, tentang pencatatan kematian di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengatur bahwa dalam hal seseorang Warga Negara Indonesia dinyatakan hilang, pernyataan kematian karna hilang dan pencatatannya dilakukan oleh Instansi Pelaksana dinegara setempat. 4. Pasal 83 ayat (1) Perpres 25/2008, tentang pencatatan pelaporan kematian seseorang yang hilang atau mati yang tidak ditemukan jenazahnya dan/atau tidak jelas identitasnya dicatat pada Instansi Pelaksana atauUPTD Instansi Pelaksana di tempat tinggal pelapor. 5. Pasal 83 ayat (2) Perpres 25/2008, tentang pencatatan pelaporan kematian seseorang yang hilang atau mati yang tidak ditemukan jenazahnya dan/atau tidak jelas identitasnya memenuhi syarat berupa: KK; Surat Keterangan Catatan Kepolisian; dan Salinan penetapan pengadilan mengenai kematian yang hilang atau tidak diketahui jenazahnya. 6. Pasal 86 ayat (1) Perpres 25/2008, mengatur bahwa pencatatan pelaporan kematian seseorang yang hilang atau mati yang tidak ditemukan jenazahnya dan/atau tidak jelas identitasnya di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik
96 Indonesia dicatat di Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat atau yang terdekat. 7. Pasal 86 ayat (2) Perpres 25/2008, mengatur bahwa pencatatan pelaporan kematian seseorang yang hilang atau mati yang tidak ditemukan jenazahnya dan/atau tidak jelas identitasnya di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menyerahkan surat keterangan kepolisian atau instansi lain yang berwenang sesuai peraturan negara setempat. 8. Pasal 86 ayat (3) Perpres 25/2008, mengatur bahwa pencatatan kematian seseorang yang hilang atau mati yang tidak ditemukan jenazahnya dan/atau tidak jelas identitasnya di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilakukan dengan tata cara: a. Pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pelaporan Kematian dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Pejabat Konsuler; b. Pejabat Konsuler mencatat dalam Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian; c. Pejabat Konsuler mengirimkan data kematian kepada Instansi Pelaksana melalui Departemen Dalam Negeri. Pejabat Catatan Sipil bertanggungjawab atas pembuatan dan penyimpanan semua daftar adminduk dengan baik menurut peraturan perundang-undangan. Terhadap semua kejahatan yang mungkin dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil akan diancam pidana, antara lain melalui ketentuan Pasal 416, 417 dan 436
97 KUHP. Sedangkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran Pejabat Pencatatan Sipil dan para perantara diatur dalam Pasal 557, 558 dan 559 KUHP.95
4.1.2 Peran Balai Harta Peninggalan terkait Afwezigheid Pada hakekatnya tugas Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP) sangat mulia yaitu “mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang (badan hukum) yang karena hukum atau putusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.Secara lengkap tugas BHP yaitu melakukan pengawasan dalam hal:96 Perwalian, Pengampuan, mengurus harta peninggalan yang tak ada kuasanya, mengurus harta kekayaan orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak hadir, membuka dan mendaftarkan wasiat terakhir pewaris, pembuatan Surat Keterangan Hak Waris dan Kurator dalam Kepailitan, dan tugas baru yang merupakan amanah dari Bank Indonesia yaitu menerima dan mengelola hasil transfer dana secara tunai yang tidak diklaim oleh pihak yang mentransfer maupun pihak yang ditransfer setelah dilakukan pemanggilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, sehingga secara sosiologi bahwa BHP merupakan lembaga yang diharapkan dapat memberikan pelayanan hukum di bidang harta peninggalan bagi yang membutuhkan. Peristiwa hukum yang terkait dengan tugas dan fungsi BHP dapat terjadi tidak hanya pada Warga Negara Indonesia keturunan Eropa atau Timur Asing, tetapi dapat terjadi bagi seluruh Warga Negara Indonesia, dan peristiwa-peristiwa hukum demikian akan tetap ada sepanjang aturan hukum masih berlaku. Dalam KUHPerdata misalnya pengaturan mengenai peristiwa hukum tidak mengenal 95
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, op.cit, 7. Sjafruddin, “Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan”, www.djpp.depkumham.go.id, diakses terakhir pada tanggal 28 Mei 2014. 96
98 klasifikasi penggolongan warga negara, hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 463 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa ”Jika terjadi, seseorang meninggalkan tempat tinggalnya, dengan tidak memberikan kuasa kepada seorang wakil guna mewakili
dirinya....”.
Dari
ketentuan Pasal
463 KUHPerdata
tersebut,
mengandung arti tidak adanya penggolongan warga negara, dan hal ini dapat berlaku untuk setiap atau seluruh warga negara Indonesia.97 BHP mempunyai tugas mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang atau badan hukum karena hukum dan putusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentinganya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tugas tersebut dimaksudkan dapat memberikan perlindungan atau terayominya hak asasi manusia, khususnya yang karena hukum dan penetapan pengadilan dianggap tidak cakap bertindak di bidang hak milik (personal right) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Landasan hukum pelaksanaan tugas BHP bersumber pada KUHPerdata dan beberapa peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana dan beberapa peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Pemerintah Peraturan Menteri Kehakiman RI dan Keputusan Menteri Kehakiman serta Staatblad dan Ordonatie. BHP menyelenggarakan fungsi antara lain:98 1. Menyelesaikan masalah perwalian, pengampuan, ketidakhadiran dan harta peninggalan yang tidak ada kuasanya yang bersumber pada KUHPerdata; 2. Menyelesaikan masalah pembukuan, pendaftaran surat wasiat; 97 98
Ibid, hal. 2. Ibid, hal. 5-6.
99 3. Menyelesaikan masalah kepailitan; 4. Menyelesaikan permasalahan mengenai surat keterangan ahli waris; 5. Menyelesaikan pengelolaan uang pihak ketiga; 6. Menyelesaikan permasalahan transfer dana (belum dilaksanakan) Fungsi Balai Harta Peninggalan tersebut di atas diatur dalam suatu Rancangan Undang-Undang tentang Balai Harta Peninggalan. Mengenai beberapa fungsi Balai Harta Peninggalan dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan seperti: a. Fungsi Pengampu atas anak-anak yang masih dalam kandungan (Ps. 348 KUHPerdata); b. Pengampu Pengurus atas diri pribadi dan harta anak-anak yang masih belum dewasa selama bagi mereka belum diangkat seorang wali (Ps. 359 KUHPerdata); c. Sebagai wali pengawas (Ps. 366 KUHPerdata jo Ps 47 Instruksi Untuk BHP di Indonesia); d. Pengampu Anak Dalam Kandungan (Ps. 348 KUHPerdata jo. Ps 45 Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia); e. Selaku Wali sementara (Ps. 359 ayat terakhir KUHPerdata jo Ps. 55 Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia); f. Mewakili kepentingan si belum dewasa apabila ini bertentangan dengan kepentingan si wali, dengan tidak mengurangi kewajiban2 yang teristimewa dibebankan kepada Balai Harta Peninggalan (Ps.370KUHPdt); g. Mewakili kepentingan anak-anak belum dewasa dalam hal adanya pertentangan dengan kepentingan wali mereka (Ps. 370 ayat terakhir KUHPerdata jo Ps 25 a Reglement voor Het Collegie vab Boedelmeesteren); h. Melakukan pekerjaan Dewan Perwalian (Besluit van den Gouverneur Generaal tanggal 25 Juli 1927 No. 8 stb. 1927-382); i. Selaku mengurus harta anak-anak belum dewasa dalam hal pengurusan itu dicabut dari wali mereka (Ps. 388 KUHerdata); j. Pengampu pengawas dalam hal adanya orang-orang yang dinyatakan berada di bawah pengampuan (Ps. 449 KUHPerdata); k. Mengurus harta kekayaan dan kepentingan orang yang dinyatakan tidak hadir (afwezig) (Ps. 463 KUHPerdata jo Ps. 61 Instruksi Untuk BHP di Indonesia); l. Mengurus atas harta peninggalan yang tidak ada kuasanya (Ps. 1126,1127, 1128 dan seterusnya KUHPerdata); m. Mendaftar dan membuka surat-surat Wasiat Ps. 41 dan Ps 42 OV dan Ps937, 942 KUHPerdata); n. Membuat Surat Keterangan Hak Mewaris bagi golongan Timur Asing selain Cina (Ps. 14 ayat 1 Instructie voor de gouvernements Landmeters in Indonesia Stb. 1916 No. 517 (Instruksi Bagi Para Pejabat Pendaftaran Tanah di Indonesia Dan Yang Bertindak Sedemikian, Surat Menteri Dalam Negeri cq. Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah Direktorat Jnderal Agraria Departemen Dalam Negeri tanggal 20 Desember 1969Nomor:Dpt/12/63/12/69) jo Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN
100 No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; o. Melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit selaku Kurator (Ps.70 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jo Ps. 70 Instruksi Untuk BHP di Indonesia; p. Melakukan pengelolaan dan pengembangan Uang Pihak Ketiga BHP berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman; q. Melakukan penerimaan dan pengelolaan hasil Transfer Dana secara tunai berdasarkan Pasal 37 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (belum dilaksanakan). Terkait afwezigheid, peran BHP dalam Pasal 463KUHPerdata, telah ditentukan apa yang menjadi kewajiban BHP. Apabila seseorang afwezig, maka atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan, atau atas tuntutan Kejaksaan, Pengadilan Negeri di tempat tinggal afwezig harus memerintahkan BHP untuk mengurus barang-barang dan kepentingan-kepentingan afwezig seluruhnya atau sebagian, membela hak-haknya, dan bertindak sebagai wakilnya. Pasal 464 KUHPerdata, mengatur bahwa BHP berkewajiban, jika perlu setelah penyegelan, untuk membuat daftar, lengkap harta kekayaan yang pengelolaan harta kekayaan anak-anak yang masih di bawah umur, sejauh peraturan-peraturan itu dapat diterapkan pada pengelolaannya, kecuali bila pengadilan negeri menentukan lain mengenai hal-hal tersebut. Kemudian, dalam Pasal 465 KUHPerdata, ditentukan bahwa BHP berkewajiban untuk memberikan perhitungan dan pertanggungjawaban secara singkat dan memperlihatkan efekefek dan surat-surat yang berhubungan dengan pengelolaan itu kepada jawatan Kejaksaan pada Pengadilan Negeri yang telah mengangkatnya. Perhitungan ini dapat dibuat di atas kertas yang tidak bermaterai dan disampaikan tanpa tatacara peradilan. Terhadap perhitungan dan pertanggungjawaban ini jawatan Kejaksaan boleh mengajukan usul-usul kepada Pengadilan Negeri, sejauh hal itu
101 dianggapnya perlu untuk kepentingan orang yang dalam keadaan tidak hadir itu atau pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap perhitungan itu. Afwezigheid ditetapkan oleh Pengadilan Negeri setempat diajukan oleh pemohon (yang menguasai obyek/penghuni) dimana penghuni telah mendapatkan izin perumahan untuk menempati rumah dari instansi setempat, dan memperoleh Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Badan Pertanahan Kota setempat. Dalam diktum Penetapannya, Pengadilan Negeri selain menetapkan obyek berupa bangunan/tanah sebagai (afwezigheid) juga penetapan penunjukkan BHP sebagai intansi untuk mewakili dan mengurus harta berupa tanah/bangunan afwezig. Atas dasar Penetapan Pengadilan maka BHP memiliki kewenangan untuk mengelola lebih lanjut harta seorang afwezig. Setelah menerima salinan Penetapan dari Pengadilan maka BHP sudah dapat bertindak mewakili dan mengurus harta orang yang dinyatakan tidak hadir di antaranya sebagaimana telah disebutkan di atas dalam Pasal463, 464, dan 465 KUHPerdata. Beberapa tahapan yang dilaksanakan oleh BHP setelah penetapan afwezigheid dari Pengadilan Negeri diterima BHP, yaitu:99 1.
Melaksanakan Inventarisasi Boedel Afwezigheid Berdasarkan dan sesuai dengan Penetapan Pengadilan Negeri setempat, yang diktumnya dengan tegas menyatakan subjek tertentu berada dalam afwezigheid dan memerintahkan BHP untuk mengurus harta kekayaan serta kepentingan subjek dimaksud. BHP pada asasnya berwenang menguasai harta kekayaan dari subjek tak hadir, serta berkewajiban mengelolanya lebih lanjut, wajib dengan segera menyusun, memelihara 99
Syuhada, 2009, “Analisis Hukum Terhadap Kewenangan BalaiHarta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya (Studi di Balai Harta Peninggalan Medan)”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 111-117.
102
2.
3.
4.
serta menyimpan register afwezigheid dengan cermat dan selanjutnya melakukan pencatatan dan pendaftaran terhadap harta kekayaan afwezigheid tersebut (Pasal465KUHPerdata). Iklan (Pengumuman) Afwezigheid Setelah melaksanakan pendaftaran terhadap harta afwezigheid. BHP berkewajiban dalam pelaksanaan pengurusannya mengiklankan Penetapan Pengadilan tentang Afwezigheid pada Lembaran BeritaNegara sebagaimana ketentuan Pasal 1036 KUHPerdata. Izin Pelaksanaan Jual Boedel Afwezigheid dari Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum. BHP setelah memperoleh izin dari Pengadilan Negeri untuk menjual harta kekayaan afwezigheid yang berada dalam pengurusannya dan kemudian harta kekayaan tersebut telah dilaksanakan penilaian harganya oleh tim penaksir, BHP sudah dapat melaksanakan penjualan atas harta kekayaan afwezigheid yang berada dalam pengurusannya. Tetapi dengan keluarnya Instruksi Direktorat Jenderal Hukum dan PerundangUndangan No. JHS.10/1/6 tanggal 26 Pebruari 1975, BHP harus terlebih dahulu memperoleh izin tertulis dari Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan (sekarang Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum). Izin Penjualan Harta Kekayaan Afwezigheid dari Pengadilan Negeri Dalam prakteknya BHP selaku lembaga yang berwenang melaksanakan pengurusan terhadap boedel afwezigheid pada umumnya berakhir dengan melakukan penjualan terhadap boedel (harta kekayaan) milik afwezig. Masalah yang selalu timbul bagi BHP dalam melaksanakan pengurusan harta afwezigheid adalah tidak tersedianya dana atau biaya untuk merawat dan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap harta kekayaan afwezigheid yang biasanya berupa tanah dan bangunan rumah yang sudah tua (bouwvallig) yang perlu dirawat dan diperbaiki, sehingga untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini, serta untuk menghindarkan kemungkinan kerugian yang lebih besar dan pembiayaan pengurusan yang terus menerus ialah dengan segera menjual harta kekayaan afwezigheid tersebut. Dalam melaksanakan tugas pengurusan harta afwezig selain sebagaimana
telah disebutkan di beberapa pasal KHUPerdata tersebut di atas, BHP juga melakukan tindakan-tindakan antara lain:100 1. Membuat Berita Acara Pencatatan Harta; 2. Memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri setempat tentang adanya Penetapan Afwezig dari Pengadilan Negeri dan Penunjukan BHP sebagai
100
Sjafruddin, op.cit, hal. 14.
103
3. 4. 5.
6. 7. 8.
instansi yang mengurus dan mewakili kepentingan orang yang dinyatakan afwezigheid; Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI); Mengumumkan dalam Berita Negara dan sedikitnya 2 (dua) Surat Kabar tentang Penetapan Afwezigheid; Meminta surat keterangan dari Pengadilan Negeri setempat mengenai apakah terhadap Penetapan Afwezig tersebut ada pihak-pihak ketiga yang keberatan/menggugat; Meminta Surat Bukti Izin Penghunian dari penghuni yang dikeluarkan oleh Instansi setempat; Membuat perjanjian sewa-menyewa antara Balai Harta Peninggalan dengan penghuni; Menerima pembayaran sewa-menyewa dari penghuni yang dibukukan dalam Kas Bendaharawan.
4.1.3 Peran Pengadilan Negeri terkait Afwezigheid Pengadilan Negeri merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan mengadili perkara perdata gugatan (contentiosa) dan perkara perdata permohonan (voluntair). Menyangkut kewenangan pemeriksaan perkara contentiosa, terdapat beberapa jenis sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya ke pengadilan negeri, antara lain:101 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum; Gugatan Wanprestasi; Gugatan Pengesahan Hak Milik; Gugatan Waris; Gugatan Pembatalan Perjanjian; Gugatan Penyangkalan Anak; Dan lain-lain. Perkara gugatan berdasarkan sifatnya selalu akan mengandung sengketa
(contentiosa) atau konflik yang melibatkan yang sekurang-kurangnya melibatkan
101
D. Y. Witanto, 2013, Hukum Acara Perdata tentang Ketidakhadiran Para Pihak dalam Proses Berperkara (Gugur dan Verstek), Mandar Maju, Bandung, hal. 4.
104 dua pihak, yang terdiri dari seseorang/sekelompok orang baik atas nama diri pribadi atau atas nama suatu perkumpulan/korporasi/badan hukum yang satu sama lain saling memperjuangkan kepentingan-kepentingan hukumnya masing-masing di hadapan sidang pengadilan. Sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (populasi sosial) yang membentuk oposisi/pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasiorganisasi terhadap satu objek permasalahan. Sedangkan sengketa sebagaimana disebutkan di atas adalah sengketa hukum yang pengertiannya adalah sengketasengketa yang menimbulkan akibat hukum, baik karena adanya pelanggaran, baik karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum positif atau karena adanya benturan dengan hak dan kewajiban seseorang yang diatur oleh ketentuan hukum positif. Ciri khas dari sengketa hukum adalah pemenuhannya (penyelesaiannya)
dapat
dituntut
di
hadapan
institusi
hukum
negara
(peradilan/institus penegak hukum lainnya).102 Berdasarkan batasan teori tentang sengketa, menyangkut sengketa pada ruang lingkup hukum khusus hukum perdata, maka dapat diuraikan beberapa unsur (elemen) penting sebagai berikut:103 1. 2. 3. 4.
Adanya dua pihak atau lebih; Adanya hubungan atau kepentingan yang sama terhadap objek tertentu; Adanya pertentangan dan perbedaan persepsi; Adanya akibat hukum.
102
D. Y. Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasai dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Mandar Maju, Bandung, hal. 4. 103 Ibid, hal. 2-3.
105 Suatu perkara yang mengandung sengketa (contentiosa) pada umumnya memiliki sifat dan ciri-ciri sebagai berikut:104 1. Diajukan dalam bentuk “gugatan”; 2. Produk keputusan yang dijatuhkan hakim terhadap terhadap perkara sengketa berbentuk “putusan”; 3. Dari segi komposisi para pihak, perkara sengketa selalu mengandung sekurang-kurangnya dua pihak atau lebih yang saling mempertahankan hak-hak dan kepentingan hukumnya masing-masing; 4. Masalah yang diajukan itu selalu bersentuhan/melibatkan kepentingan pihak lain atau menyangkut sesuatu hal yang sedang dipertentangkan status hukumnya oleh dua atau beberapa pihak di sidang pengadilan; 5. Dalam perkara yang mengandung sengketa (contentiosa) pihak penggugat dapat mengajukan petitum dalam bentuk perintah/penghukuman (condemnatoir) yang mana petitum seperti itu tidak dapat dimohonkan dalam perkara permohonan (voluntair); 6. Dalam perkara sengketa akan terjadi proses pembuktian secara timbal balik berdasarkan beban pembuktian yang ditetapkan oleh hakim secara berimbang; 7. Pelaksanaan putusan dalam perkara gugatan pada umumnya memerlukan lembaga eksekusi agar putusan tersebut dapat dinikmati oleh pihak yang dinyatakan menang; 8. Dalam perkara yang mengandung sengketa salah satu pihak yang dinyatakan kalah akan dibebani untuk membayar biaya perkara, hal ini berbeda dengan perkara pemohonan dimana beban perkara akan ditanggung oleh pihak pemohon. Selain berwenang mengadili perkara gugatan (contentiosa), pengadilan negeri juga memiliki kewenangan untuk menetapkan perkara-perkara permohonan (voluntair) yang diajukan oleh masyarakat untuk mendapatkan pengukuhan atas tindakan-tindakan hukum yang bersifat sepihak. Dalam perkara permohonan hanya ada satu pihak saja di sidang pengadilan yaitu pemohon yang karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu untuk mendapatkan izin atau pengakuan status hukum dari pengadilan, maka ia menjadi pihak dalam perkara voluntair di sidang pengadilan.
104
D. Y. Witanto, 2013, op.cit, hal. 5.
106 Perkara permohonan (voluntair) memiliki ciri khas yang membedakan dari perkara gugatan yang mengandung sengketa (contentiosa), M. Yahya Harahap menyebutkan ciri-ciri tersebut, antara lain sebagai berikut:105 1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak (for the benefit of one party only); benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang sesuatu permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum. Misalnya permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan hukum tertentu; dengan demikian pada prinsipnya apa yang dipermasalahkan pemohon, tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. 2. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or differences with anoter party); berdasarkan ukuran itu tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang penyelesaian snegketa hak atau kepemilikan maupun penyerahan serta pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga. 3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan tetapi bersifat Ex Parte; benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat Ex Parte; permohonan untuk kepentingan sepihak (on behalf of one party) atau terlibat dalam permasalahan hukum (involving only one party to a legal matter) yang diajukan dalam kasus itu hanya satu pihak. Dalam perkara voluntair pengadilan negeri berwenang menetapkan bentuk-bentuk permohonan yang diajukan oleh masyarakat, antara lain sebagai berikut:106 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa; Permohonan pengangkatan pengampuan bagi orang dewasa yang tidak cakap bertindak secara hukum atau tidak dapat mengurus hartanya lagi; Permohonan pewarganegaraan (naturalisasi); Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai usia 16 tahun; Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun; Permohonan pembatalan perkawinan; Permohonan pengangkatan anak; 105
M. Yahya Harahap, 2006, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 29. 106 D. Y. Witanto, 2013, op.cit, hal. 8.
107 8. 9.
Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil; Permohonan untuk mendapatkan izin penerbitan akta kelahiran yang terlambat mendaftarkan kelahiran anak yang lebih dari satu tahun; 10. Permohonan untuk menunjuk seseorang atau beberapa orang wasit oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit dalam penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase; 11. Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan tidak hadir atau dinyatakan meninggal; 12. Permohonan agar ditetapkan sebagai wali/kuasa untuk menjual harta warisan. Dalam hukum acara perdata dikenal juga istilah ketidakhadiran, ketidakhadiran dalam acara perdata berbeda dengan ketidakhadiran dalam hal pewarisan (afwezigheid). Ketidakhadiran dalam acara perdata dikenal dengan istilah Verstek. Tafsiran praktis tentang ketidakhadiran dalam hukum acara perdata dapat memberikan beberapa pengertian sebagai berikut:107 1. Para pihak (penggugat/tergugat) sejak awal sampai dengan dijatuhkan putusan sama sekali tidak pernah hadir, sehingga hakim menjatuhkan putusan di luar hadir (gugur-verstek); 2. Pada sidang-sidang sebelumnya para pihak pernah hadir, namun pada saat dijatuhkan putusan tidak hadir sehingga keadaan itu juga disebut dengan putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran para pihak, namun proses pemeriksaan dilakukan secara contradictoir. Kaitannya dalam penelitian ini, dan berdasarkan pada penjelasan-penjelasn di atas dapat disimpulkan bahwa terkait afwezigheid dapat menimbulkan dua jenis perkara, yaitu perkara permohonan (voluntair) dan perkara gugatan (contentiosa). Permohonan putusan afwezigheid adalah dalam kategori perkara voluntair, dan ketika urusan afwezigheid tersebut telah menimbulkan perselisihan dan pertentangan beberapa pihak terkait harta yang ditinggalkan maka perkara tersebut termasuk dalam perkara gugatan yang mengandung sengketa (contentiosa).
107
D. Y. Witanto, 2013, op.cit, hal. 33.
108 Terkait afwezigheid, Pasal 481 KUHPerdata telah memperjelas peran dan fungsi pengadilan negeri. Peran dan fungsi yang dimaksud adalah dalam hal pemberian izin kepada ahli waris untuk mengalihkan dan membebani harta afwezig sebelum masa pewarisan definitif. Peran dan fungsi ini sangat penting bagi pengadilan negeri, namun ketentuan dalam Pasal 481 KUHPerdata ini belum cukup memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Alasan-alasan penting seperti apa saja yang bisa dijadikan alasan untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 484 KUHPerdata berbeda-beda di berberapa peradilan. Hal ini memungkin terjadi, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa, “Seperti halnya dengan segala hukum, hukum acara perdata sebagian tertulis, artinya termuat dalam beberapa undang-undang negara. Sebagian lagi tidak tertulis, artinya menurut adat kebiasaan yang dianut oleh para Hakim dalam melakukan pemeriksaan perdata”.108 Dengan demikian dalam hukum acara perdata, apabila ada suatu perkara yang diajukan ke muka sidang (pengadilan), Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukumnya tidak jelas atau kurang jelas.109 Peran dan fungsi pengadilan negeri terkait afwezigheid, ditemukan di beberapa pasal di dalam KUHPerdata, antara lain sebagai berikut: Pasal 463 KUHPerdata menentukan bahwa penetapan seorang afwezig harus berdasarkan putusan pengadilan negeri. Pasal 464 KUHPerdata juga mengatur bahwa, BHP berkewajiban, jika perlu setelah penyegelan, untuk membuat daftar lengkap harta 108
Wirjono Prodjodikoro, 1984, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hal. 151. 109 M. Nur Rasaid, 2013, Hukum Acara Perdata, Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 5.
109 kekayaan yang pengelolaannya dipercayakan kepadanya. Untuk selanjutnya balai harta peninggalan harus mengindahkan peraturan-peraturan mengenai pengelolaan harta kekayaan anak-anak yang masih di bawah umur, sejauh peraturan-peraturan itu dapat diterapkan pada pengelolaannya, kecuali bila pengadilan negeri menentukan lain mengenai hal-hal tertentu. Pasal 465 KUHPerdata, menentukan bahwa
BHP
berkewajiban
untuk
memberikan
perhitungan
dan
pertanggungjawaban kepada jawatan kejaksaan pengadilan negeri yang telah mengangkatnya. Terhadap perhitungan dan pertanggungjawaban ini jawatan kejaksaan boleh mengajukan usul-usul kepada pengadilan negeri, sejauh hal itu dianggapnya perlu untuk kepentingan orang yang dalam keadaan tidak hadir itu. Pengesahan perhitungan dan pertanggungjawaban ini tidak mengurangi hak orang yang tidak hadir itu atau pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap perhitungan itu.
4.1.4 Peran Notaris/PPAT terkait Afwezigheid Pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) mendefinisikan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya. Undang-undang ini yang dimaksud adalah UUJN yang di dalamnya telah mengatur kewenangan yang dimaksud dan diuraikan dalam Pasal 15 UUJN sebagai berikut:
110 (1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. Pasal 15 ayat (3) UUJN, mengatur bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJN, Notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Kaitannya dalam penelitian ini adalah terkait afwezigheid, maka secara logis dan yuridis peran Notaris terkait afwezigheid tidak lepas dalam hal pewarisan dan perjanjian peralihan harta. Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 PMNA 3/1997 disebutkan bahwa surat tanda bukti hak sebagai ahli waris tersebut dapat berbentuk dalam bentuk sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Wasiat dari pewaris, atau Putusan Pengadilan, atau Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau Surat keterangan waris: a. Bagi warganegara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;
111 b. Bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris; c. Bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan. Ketentuan ini memperjelas bahwa Notaris dalam suatu pewarisan memiliki peran dalam hal pewarisan, diantaranya dalam hal pembuatan wasiat dan surat keterangan hak mewaris. Sejalan dengan definisi Notaris yang dituangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan definisi sebagai berikut, Notaris adalah “orang yang mendapat kuasa dari pemerintah untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta dan sebagainya”.110 Pasal 54 ayat (1) UUJN, mengatur dengan tegas bahwa Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta atau kutipan akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 16 ayat (1) huruf h dan i, mengatur bahwa Notaris harus membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan dan mengirimkan daftar akta tersebut ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Terkait afwezigheid, ketentuan-ketentuan di atas sangat penting untuk memberi jaminan perlindungan terhadap kepentingan ahliwaris, yang setiap saat dapat dilakukan penelusuran atau pelacakan akan kebenaran dari suatu akta wasiat yang telah dibuat dihadapan Notaris. Notaris memiliki hubungan kepercayaan 110
Pusat Bahasa Kemendikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/notaris, diakses terakhir pada tanggal 28 Mei 2014.
112 yang harus dijaga dan disampaikan kepada ahli waris atas sehubungan dengan hak-haknya atas apa yang ditinggalkan oleh pewaris. Hal tersebut telah jelas diatur dan menambahkan definisi akan makna dari suatu jabatan yang diemban oleh Notaris, sebagai jabatan kepercayaan. Mengingat besarnya tanggung jawab yang disandang oleh seorang Notaris, maka jabatan Notaris dijalankan oleh mereka yang selain memiliki kemampuan ilmu hukum yang memadai harus pula dijabat oleh mereka yang beretika dan berakhlak tinggi.111 Telah disimpulkan dalam bab sebelumnya bahwa peralihan hak milik atas tanah yang beralih adalah dikarenakan oleh waris dan peralihan hak yang dialihkan dikarenakan oleh adanya: jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan, dan lelang. Pengaturan tentang peralihan hak atas tanah tidak lepas dari peran dan fungsi seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disebut PP 37/1998) mendefiniskan bahwa PPAT adalah “Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”. Pasal 2PP 37/1998, mengatur tentang tugas pokok seorang PPAT, tugastugas tersebut sebagai berikut: (1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 111
Herlien Budiono, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, PT Citra Aditya bakti, Bandung, hal. 173.
113 (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : a.jual beli; b.tukar menukar; c.hibah; d.pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e.pembagian hak bersama; f.pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g.pemberian Hak Tanggungan; h.pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam menjalankan tugas pokoknya, PPAT memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP 37/1998, sebagai berikut: (1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. (2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. Kewenangan berikutnya diatur dalam Pasal 4 PP 37/1998 dengan ketentuan sebagai berikut: (1) PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya; (2) Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta. Notaris dan PPAT dalam peran dan fungsinya terkait pelaksanaan peralihan dan pembebanan harta tidak bergerak milik afwezig tidak jarang ikut tergugat dalam berbagai perkara perdata sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya. Bahasan dalam bab ini tidak lepas dari keterkaitan semua pihak dalam pengurusan harta seorang afwezig. Sub-bab sebelumnya menjelaskan dan
114 memberi pemahaman yang nyata bahwa terkait afwezigheid, Notaris dan PPAT bukanlah satu-satunya pejabat publik yang bertanggungjawab dalam melindungi hak-hak seorang afwezig dan ahli warisnya. Notaris dan PPAT dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pejabat umum dalam menangani peralihan dan pembebanan harta seorang afwezig seharusnya memiliki pemahaman yang cukup tentang berbagai pengaturan terkait afwezigheid. Pasal 484 KUHPerdata jelas memberi penjelasan tentang batasan waktu masa pewarisan definitif, namun ketentuan pengecualian yang diatur dalam Pasal 481 KUHPerdata memicu timbulnya berbagai penafsiran yang berbeda untuk memutuskan hal-hal apa saja yang dapat mengesampingkan ketentuan masa pewarisan definitif. Terkait afwezigheid, secara khusus belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Notaris maupun PPAT.
4.2 Akibat Hukum Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Harta Tidak Bergerak Milik Afwezig sebelum Masa Pewarisan Definitif berdasarkan ketentuan Pasal 481 dan Pasal 484 KUHPerdata Peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig yang dilakukan sebelum masa pewarisan definitif melahirkan berbagai akibat hukum. Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.112
112
295.
R. Soeroso, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
115 Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.113 Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Perbuatan hukum itu merupakan perbuatan yang akibat diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun yang dilakukan dua pihak (bersegi dua). Apabila akibat hukumnya (rechtsgevolg) timbul karena satu pihak saja, misalnya membuat surat wasiat, maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum satu pihak. Kemudian apabila akibat hukumnya timbul karena perbuatan dua pihak, seperti jual beli, tukar menukar maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum dua pihak.114 Akibat hukum yang dilahirkan dari peristiwa hukum berupa peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig yang dilakukan sebelum masa pewarisan definitif berdampak pada hal-hal sebagai berikut, di antaranya berakibat terhadap: harta yang dialihkan, ahli waris selaku penjual, pembeli harta afwezig, dan Notaris/PPAT. Akibat hukum yang akan dibahas dalam hal ini adalah berdasarkan pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata.
113
Pipin Syarifin, 1999, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia, Bandung,
114
Ibid, hal. 72
hal. 71.
116 4.2.1 Akibat Hukum bagi Harta Warisan yang Dialihkan Akibat hukum terhadap harta milik afwezig, dalam KUHPerdata telah ditentukan berbagai pengaturan, antara lain sebagai berikut: Pasal 481 KUHPerdata, mengatur bahwa harta tidak bergerak milik afwezig dapat dialihkan atau dibebani sebelum masa pewarisan definitif jika berdasarkan alasan-alasan yang penting dan telah mendapat izin dari Pengadilan Negeri setempat. Namun karena tidak atur secara jelas alasan penting apa saja yang bisa dizinkan oleh Pengadilan
Negeri
untuk
mengesampingkan
masa
pewarisan
definitif
menimbulkan berbagai sengketa perdata. Pasal 1168 KUHPerdata juga mengatur bahwa pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig tidak dapat diadakan selain oleh orang yang mempunyai wewenang yaitu ahli waris. Pasal 482 KUHPerdata, menentukan apabila orang yang dalam keadaan tidak hadir itu pulang kembali setelah ada keterangan kematian dugaan, atau diperoleh tanda-tanda bahwa dia masih dalam keadaan hidup, maka mereka yang telah menikmati hasil-hasil dan pendapatan-pendapatan dari barang-barangnya, wajib untuk mengembalikan hasil-hasil dan pendapatan-pendapatan itu sebagai berikut: setengahnya bila dia pulang kembali, atau bila tanda-tanda bahwa dia masih hidup diperoleh dalam waktu lima belas tahun setelah hari kematian dugaan yang dinyatakan dalam putusan hakim; atau seperempatnya, bila tanda-tanda itu diperoleh kemudian, tetapi sebelum lampau waktu tiga puluh tahun setelah pernyataan itu. Akan tetapi semua itu dengan ketentuan, bahwa pengadilan negeri yang telah memberi keputusan tentang kematian dugaan itu, mengingat sedikitnya barang-barang yang ditinggalkan, boleh memerintahkan yang berlainan tentang
117 pengembalian hasil-hasil dan pendapatan itu, atau dapat juga memberi pembebasan sama sekali. Pasal 486 KUHPerdata, menetukan apabila orang yang dalam keadaan tak hadir itu pulang kembali, atau menunjukkan bahwa dia masih hidup, setelah lampau tiga puluh tahun sejak hari kematian dugaan seperti yang dinyatakan dalam keputusan hakim, maka dia hanya berhak untuk menuntut kembali barangbarangnya dalam keadaan seperti adanya pada waktu itu, beserta harga barangbarang yang telah dipindahtangankan, atau barang-barang yang telah dibeli dengan hasil pemindahtanganan barang-barang kepunyaannya, namun semuanya tanpa suatu hasil atau pendapatan. Pasal 492 KUHPerdata diatur apabila seorang afwezig itu pulang kembali, atau haknya dituntut atas namanya, pengembalian penghasilan dan pendapatannya boleh dituntut, terhitung dari hari ketika hak itu jatuh pada orang yang tak hadir itu, atas dasar dan menurut ketentuan-ketentuan Pasal 482 KUHPerdata. Uraian akibat hukum secara normatif yang dapat terjadi atas suatu peristiwa terkait afwezigheid di atas, pada prinsipnya berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak seorang yang disangka mati. Pada kenyataan di dalam suatu peralihan harta seorang afwezig sering mengabaikan hak-hak tersebut dan berpotensi menimbulkan suatu sengketa perdata. Sengketa perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara para pihak yang bersengketa di dalamnya mengandung sengketa yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak.115
115
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 7.
118 Tuntutan dalam sengketa perdata atas peristiwa yang terkait dengan afwezigheid tidak jarang melibatkan lembaga pemerintah, dalam hal ini adalah BHP. Pada prinsipnya, bahwa kebatalan adalah terkait persoalan tidak terpenuhinya empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: sepakat mereka mengikat dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal. Pasal 1320 KUHPerdata telah jelas mengatur bahwa dalam perjanjian yang sah perlu dipenuhi empat syarat, yaitu: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang. Empat syarat tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan membuat suatu perikatan, tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan. Syarat objekif meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum.116 Ketentuan dalam Pasal 1321 KUHPerdata telah jelas mengatur bahwa tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Pasal 1449 KUHPerdata juga mempertegas bahwa suatu perikatan yang dibuat dengan paksaan,
kekhilafan
atau
penipuan,
menerbitkan
suatu
tuntutan
untuk
membatalkannya. Kebatalan berdasarkan sifatnya dibedakan dalam dalam dua kategori, yaitu kebatalan mutlak dan kebatalan relatif. Prof. R. Wirjono Prodjodikoro 116
hal. 17.
R. Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Intermasa, Jakarta,
119 berpendapat bahwa suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid) apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak dan dianggap tidak pernah ada sejak semula dan terhadap siapapun juga, sedangkan pembatalan relatif (relatief nietigheid) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orangorang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.117 Prinsip hukum tentang kebatalan di atas mengantarkan pada pemahaman untuk menentukan suatu akibat hukum yang dapat dilahirkan dari peristiwa peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig yang dilakukan sebelum masa pewarisan definitif. Akibat hukum yang dilahirkan apabila terjadi peristiwa peralihan dan pembebanan hak atas harta afwezig diluar masa pewarisan definitif dan tanpa alasan yang penting serta tidak adanya izin dari pengadilan negeri adalah batal demi hukum.
4.2.2 Akibat Hukum bagi Ahli Waris selaku Penjual Peristiwa peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig yang dilakukan sebelum masa pewarisan definitif tidak jarang menjadi sengketa. Apabila terjadi pembatalan terhadap peralihan dan pembebanan hak yang telah dilakukan oleh ahli waris atau siapapun sebagai penjual atau pemberi hak pembebanan terhadap harta afwezig, maka pihak tersebutlah yang bertanggungjawab untuk mengembalikan obyek kepada yang berhak dan menanggung kerugian pembeli sesuai dengan penanggungan yang berlaku.
117
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Cetakan ke-2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 142
120 Pasal 1492 KUHPerdata, mengatur bahwa meskipun pada waktu penjualan dilakukan tanpa janji tentang penanggungan, namun penjual adalah demi hukum diwajibkan
menanggung
pembeli
terhadap
suatu
penghukuman
untuk
menyerahkan seluruh atau sebagian benda yang dijual kepada seorang pihak ketiga. Atau terhadap beban-beban yang menurut keterangan seorang pihak ketiga memilikinya tersebut dan tidak diberitahukan sewaktu pembelian dilakukan. Pasal 1494 KUHPerdata juga menentukan bahwa, meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu apapun, ia tetap bertanggungjawab atas akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal.
4.2.3 Akibat Hukum bagi Pembeli Pelanggaran hukum terjadi ketika subyek hukum tertentu melanggar hakhak subyek hukum lain. Subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapat perlindungan hukum. Apabila terjadi pembatalan terhadap peralihan dan pembebanan hak yang telah dilakukan oleh ahli waris atau siapapun sebagai penjual atau pemberi hak pembebanan terhadap harta afwezig, maka pembeli yang beritikad baik dirugikan. Dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud dengan itikad baik atau good faith adalah:118 “A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purposes, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage”. Subekti 118
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, United States of America, hal. 713.
121 merumuskan
itikad
baik
dengan
pengertian
sebagai
berikut:119
“Itikad baik di waktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran, orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang di kemudian hari akan menimbulkan kesulitan-kesulitan”. Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perundinganperundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.120 Perlindungan hukum pada pihak yang beritikad baik, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata, bahwa pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga. Pembeli
119
Samuel M.P. Hutabarat, 2010, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 45. 120 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 5.
122 yang dirugikan dalam peralihan atau pembebanan hak atas harta milik afwezig, berhak menuntut ganti rugi.
4.2.4 Akibat Hukum bagi Notaris/PPAT Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian, dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik, dalam hal ini publik yang bermakna hukum. Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai badan atau pejabat tata usaha negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.121 Abdulkadir Muhammad menjabarkan tentang arti tanggung jawab bagi seorang Notaris. Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus bertanggungjawab, artinya:122 1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak berkepentingan karena jabatannya. 2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak para pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. 3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.
121
Habib Adjie (1), 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hal. 31. 122 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 16.
123 Notaris tidak bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung jawab bentuk formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang. Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materil dibedakan menjadi empat hal, yaitu:123 1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuatnya, konstruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab perdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuat oleh notaris adalah konstruksi perbuatan melawan hukum. 2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya,mengenai ketentuan pidana tidak diatur di dalam UUJN namun tanggung jawab notaris secara pidana dikenakan apabila notaris melakukan perbuatan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaristerhadap UUJN, sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak hormat. 3. Tanggung jawab notaris berdasarkan Paraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya, Tanggung jawab notaris disebutkan dalam Pasal 65 UUJN yang menyatakan bahwa notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris. 4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.Hubungan kode etik notaris dan UUJN memberikan arti terhadap profesi notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik notaris menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugasnya, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap negara. Terkait pelaksanaan jabatannya, Notaris memiliki hak ingkar yang didasarkan pada alasan kepentingan masyarakat, agar apabila seseorang yang berada dalam keadaan kesulitan, dapat menghubungi seseorang kepercayaan
123
Ibid.
124 untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 16 UUJN yang menyatakan bahwa kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak lepas dari hal-hal yang dapat menjatuhkan kehormatan dan wibawanya sebagai seorang Notaris, bahkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang Notaris dalam kehidupan sehariharinya bisa juga menjatuhkan martabatnya. Seorang Notaris harus mampu menjaga nama baik dan martabatnya, hal-hal yang dapat menjatuhkan wibawa sebagai Notaris akan berakibat terhadap tugasnya sehari-hari. Undang-undang juga telah mengatur terhadap hal demikian dapat dilakukan pengusutan dan pemeriksaan untuk dimintakan pertanggungjawaban oleh pihak yang berwenang dalam mengawasi segala tingkah lakunya sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (5) UUJN. Sama halnya dengan PPAT, dalam menjalankan tugas dan jabatannya juga telah diatur tentang mekanisme pertanggungjawaban atas pelanggaran yang diperbuat oleh seorang PPAT dan berdampak pada pemberhentian baik secara hormat ataupun tidak hormat, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 PP 37/1998, sebagai berikut: (1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. permintaan sendiri; b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk;
125 c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI; (2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena : a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi kesempatan untukmengajukan pembelaan diri kepada Menteri. (4) PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi PPATuntuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh. Mengingat besarnya tanggung jawab yang disandang oleh seorang Notaris, maka jabatan Notaris dijalankan oleh mereka yang selain memiliki kemampuan ilmu hukum yang memadai harus pula dijabat oleh mereka yang beretika dan berakhlak tinggi.124 Para pihak yang membuat suatu perikatan pasti menginginkan segala sesuatu yang telah mereka buat dapat dilaksanan akan sepenuhnya, namun karena ketidakwenangan salah satu pihak membuat persoalan sehingga ada pihakpihak yang merasa dirugikan dan memiliki kewenangan untuk tindakan tersebut. Sebagai konsekuensi logisnya, maka para pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memiliki kewenangan bermaksud untuk membatalkan perjanjian tersebut. Notaris dan PPAT dihadapkan pada kenyataan tidak hanya sekedar mencatat dan melegalisasikan serta membuat akta bagi kepentingan para pihak yang menghendakinya, melainkan juga untuk memberikan nasehat hukum kepada para pihak sehubungan dengan perbuatan hukum yang akan dicatat, legalisir dan dibuat aktanya di hadapan Notaris. Namun Notaris juga di kedepankan pada 124
Herlien Budiono, loc.cit.
126 persoalan untuk menciptakan hukum dalam menyelesaikan masalah yang mungkin terbit atau telah ada di antara para pihak sehingga diperoleh penyelesaian yang memuaskan bagi para pihak. Akta-akta Notaris dan PPAT yang menimbulkan masalah hukum dan mencuat menjadi kasus-kasus baik perdata maupun pidana di muka pengadilan, disebabkan pada hal-hal yang bersifat sumir. Satu kata atau satu klausula dalam suatu akta otentik dapat menimbulkan kasus pidana atau perdata, dan masalah ini timbul karena kurang hati-hati dan tidak teliti. Akibat hukum dari putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap notaris yaitu tanggung jawab seseorang atas apa yang dibuatnya tentunya merupakan kewajiban masing-masing individu tersebut. Tidak jarang Notaris dan PPAT diikutsertakan dalam beberapa gugatan perkara waris juga dalam perkara yang lebih khusus menyangkut harta afwezig. Transaksi jual beli harus memperhatikan status hukum dan kapasitas dari masingmasing pihak, terutama pihak penjual, jika objek tersebut merupakan boedel waris maka harus dengan persetujuan ahli waris lainnya, dan jika objek tersebut adalah ternyata objek wasiat maka harus pula dibuktikan dengan akta.125 Karenanya dalam menjalankan peran dan fungsinya seorang Notaris dituntut harus memiliki kemampuan yang cukup terkait akta yang dibuatnya. Akta Notaris dan PPAT sering kali diingkari oleh berbagai pihak yang merasa dirugikan. Pengingkaran atas hal-hal tersebut dilakukan dengan cara mengikutsertakan Notaris (secara perdata) dalam gugatan ke pengadilan negeri. 125
Habib Adjie (3), 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 11.
127 Para pihak yang mengingkari kebenaran akta Notaris wajib membuktikan hal-hal yang ingin diingkarinya, dan Notaris wajib mempertahankan aspek-aspek tersebut. Habib Adjie menegaskan kaidah hukum Notaris tentang akta yang dibuatnya, yaitu: Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum".126 Notaris dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum berupa akta otentik dalam bidang hukum perdata, mempunyai tanggungjawab untuk melayani masyarakat secara maksimal, karena masyarakat dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pasal 84 UUJN mengatur tentang sanksi seorang Notaris terkait jabatannya. Bahwa terhadap tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris pada beberapa ketentuan yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi,dan bunga kepada Notaris. Pasal 66 UUJN mengatur tentang keterlibatan Notaris dalam proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: 126
Habib Adjie (2), 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 22
128 a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-suratyang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. (3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. (4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan. Peraturan tentang Jabatan PPAT juga mengatur tentang dampak hukum dari keterlibatan PPAT dalam masalah hukum, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 PP 37/1998 sebagai berikut: (1) PPAT dapat diberhentikan untuk sementara dari jabatannya sebagai PPAT karena sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat. (2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) berlaku sampai ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tuntutan tehadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga sebagai akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya:127 1. Hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan bentuk sebagai perbuatan melawan hukum. 2. Ketidakcermatan, ketidaktelitian, dan ketidaktepatan dalam: a. Teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN; b. Penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya. 3. Dan sebelum Notaris dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya, 127
Ibid, hal. 20.
129 ganti rugi dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa: a. Adanya diderita kerugian; b. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris terdapat hubungan kausal; c. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan. Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta yang memenuhi kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim. Akibat hukum yang timbul atas pembuatan akta oleh Notaris dapat digambarkan sebagai berikut:128 Tabel 4.1 Akibat hukum yang timbul atas pembuatan akta oleh Notaris. Keterangan Alasan
Mulai berlaku/terjadinya pembatalan
128
Akta Notaris yang dapat dibatalkan Melanggar unsur subjektif, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri (de toesemmimg van degenen die zich verbinden) 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan) Akta tetap mengikat selama belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akta menjadi tidak mengikat sejak ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Habib Adjie (1), op.cit, hal.55.
Akta Notaris Batal Demi Hukum Melanggar unsur objektif, yaitu: 1. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) 2. Suatu sebab yang tidak terlarang (eene geoorloofde oorzaak)
Sejak saat akta tersebut ditandatangani dan tindakan hukum yang tersebut dalam akta dianggap tidak pernah terjadi, dan tanpa perlu ada putusan pengadilan
130 Penjatuhan hukuman pidana terhadap Notaris tidak serta merta akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Suatu hal yang tidak tepat secara hukum jika ada putusan pengadilan pidana dengan amar putusan membatalkan akta notaris dengan alasan Notaris terbukti melakukan suatu tindak pidana pemalsuan, dengan demikian yang harus dilakukan oleh mereka yang akan atau berkeinginan untuk menempatkan Notaris sebagai terpidana, atas akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan, maka tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan. Perbandingan sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana dalam kaitannya dengan kinerja Notaris oleh Habib Adjie digambarkan sebagai berikut:129 Tabel 4.2 Perbandingan sanksi terhadap Notaris.
Sasaran Sifat
Prosedur
Sanksi Administratif Perbuatan -Reparatoir/Korektif -Regresif -Condemnatoir/Punitif (sebagai kumulasi sanksi jika diatur dalam aturan hukum yang bersangkutan) Langsung
Sanksi Perdata Perbuatan -Reparatoir/Korektif (Pemulihan/Perbaikan) -Regresif (Pengembalian kepada keadaan semula)
Sanksi Pidana Pelaku Condemnatoir/Pu nitif (Penghukuman /Pidana)
Gugatan Perdata (Pengadilan)
Pengadilan
Perbandingan sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana dalam kaitannya dengan kinerja Notaris oleh Habib Adjie dijelaskan sebagai berikut:130 1. Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, dan sanksi pidana dengan sasaran yaitu pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. 2. Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau korektif, 129 130
Habib Adjie (1), op.cit, hal.123. Habib Adjie (1), op.cit, hal.124.
131 artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain. Regresif berarti segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan ketika semula sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan hukum tertentu, di samping dijatuhi sanksi administratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang bersifat condemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum. 3. Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut, dan sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang amar putusannya menghukum Notaris untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada penggugat. Prosedur sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu. Penjatuhan sanksi administratif dan sanksi perdata ditujukan sebagai koreksi atau reparatif dan regresif atas perbuatan Notaris. Peristiwa peralihan atau pembebanan hak atas harta milik afwezig, bagi Notaris/PPAT dapat disertakan dalam gugatan perdata maupun pidana. Terhadap akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT dapat dibatalkan atau juga batal demi hukum. Dalam peralihan dan pembebanan harta tidak bergerak milik seorang afwezig dituntut kecermatan dan pemahaman seorang Notaris/PPAT terhadap berbagai ketentuan yang mengatur tentang afwezigheid dan hukum waris pada umumnya serta ketentuan lainnya, baik tentang peralihan maupun tentang pembebanan hak.
132
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Peran Pejabat Pencatatan Sipil, Balai Harta Peninggalan, Pengadilan Negeri, dan Notaris/PPAT terhadap afwezig terkait hak dan kewajibannya dalam pewarisan dapat disimpulkan sebagai berikut: Pejabat Pencatatan Sipil dalam hal ini membuat akta kematian sebagai dasar terjadinya peralihan dan pembebanan hak atas harta seorang afwezig sesuai putusan Hakim Pengadilan Negeri, Balai Harta Peninggalan mengurus dan menyelesaikan atas harta seorang afwezig sesuai dengan putusan Hakim Pengadilan Negeri dan peraturan-peraturan yang berlaku, Pengadilan Negeri memberikan keputusan berdasarkan ketentuan Pasal 463, 481 dan 484 KUHPerdata, dan Peran Notaris/PPAT terkait afwezigheid belum diatur secara khusus dalam UUJN maupun dalam Peraturan Jabatan PPAT. 2. Akibat hukum peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig sebelum masa pewarisan definitif berdasarkan ketentuan Pasal 481 dan Pasal 484 KUHPerdata berdampak pada harta yang dialihkan, ahli waris selaku penjual, pembeli harta afwezig, dan Notaris/PPAT. Peralihan dan pembebanan hak atas harta benda tidak bergerak milik afwezig batal demi hukum dikarenakan tidak terpenuhinya syarat objektif yaitu melanggar ketentuan Pasal 132
133 484 KUHPerdata. Penerapan Pasal 481 KUHPerdata tidak melindungi hak afwezig dan ahli waris lainnya seperti diamanatkan dalam Pasal 484 KUHPerdata, karena pihak-pihak yang mencari keuntungan dengan alasan kepentingan yang dikecualikan tidak jelas diatur.
5.2 Saran Penelitian ini sebagaimana diharapkan untuk memberikan informasi hukum dan rekomendasi dalam menentukan norma hukum yang tepat dalam mengatur peralihan dan pembebanan harta milik afwezig. Berdasarkan kesimpulan tentang kekaburan norma (vague van normen) yang terjadi sebagai akibat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 481 KUHPerdata tentang “adanya alasanalasan penting dan dengan izin dari Pengadilan Negeri” maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Pembuat peraturan perundang-undangan, disarankan untuk memperjelas aturan-aturan yang ada tentang peralihan dan pembebanan hak atas harta tidak bergerak milik afwezig untuk dimasukkan dalam peraturan perundangundangan yang telah ada baik tentang peralihan hak maupun tentang pembebanan hak atas harta tidak bergerak dengan memperjelas penentuan masa afwezigheid serta menentukan dengan jelas alasan penting apa saja yang dapat mengesampingkan masa pewarisan defenitif yang telah diatur dalam Pasal 481 KUHPerdata agar tidak terjadi kekaburan norma (vague van normen). Hakim Pengadilan Negeri, diharapkan agar lebih memperhatikan dan mempertimbangkan apa saja yang menjadi alasan penting yang menjadi
134 pengecualian untuk mengesampingkan masa pewarisan definitif yang telah diatur dalam Pasal 484 KUHPerdata. 2. Pejabat
Pencatatan
memperhatikan
Sipil
putusan
dan
Balai
pengadilan
Harta dalam
Peninggalan, mencatat
dan
agar
tetap
mengurus
afwezigheid. Notaris/PPAT, dalam pembuatan akta terkait peralihan dan pembebanan hak atas harta milik afwezig agar memperhatikan ketentuan Pasal 484 KUHPerdata tentang afwezigheid dan hukum waris berdasarkan KUHPerdata serta ketentuan tentang peralihan maupun tentang pembebanan hak.
135
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku: 1.
Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung.
2.
_______, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.
3.
_______, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
4.
Ali, Zainuddin, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15. 16. 17. 18. 19. 20.
21. 22.
Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Buck, A.R., 2001, Land and Freedom: Law, Property Rights and British Diasphora, Asgate Publishing Company, Great Britain. Budiono, Herlien, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, PT Citra Aditya bakti, Bandung. Curzon, L.B., 1999, Land Law, Seventh Edition, Person Education Limited, Great Britain. Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Cet. II, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Erwin, Muhamad, 2013, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Fajar, Mukti ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Friedman, Lawrence M., Legal Culture and Social Development, Law and the Behavioral Sciences, The Bobbs-Merrill Company, INC. A Subsidiary of Howard W. SAM & C0,. INC. Indiapolis-Kansas City. New York. _______, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation. New York.
23. 135
136 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.
47. 48. 49. 50. 51. 52. 53.
Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Gunardi, dkk, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Kenotariatan, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Hadikusumah, Hilman, 1996, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bhakti, Bandung. Harahap, M Yahya, 2006, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Nasional, Alumni, Bandung. Hasbullah, Frieda Husni, 2005, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan, Ind Hill-Company, Jakarta. Hayton, David J., 1982, Megarry’s Manual of The Law of Real Property, Sixth Edition, Steven and Son Ltd, London. Hoebel, E Adamson, 1954, The Law of Premitive Man, A Study in Comparartive Legal Dynamics, Massachusetts, Harvard University Press, Cambridge. Hutabarat, Samuel M.P., 2010, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Kie, Tan Thong, 2011, Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris, Cet. II, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Kusumohamidjojo, Budiono, 2000, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, PT. Grasindo, Jakarta. Manullang, E. Fernando M., 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Cet. I, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Cet. Ke-7, Prenada Media Group, Jakarta. Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
137 54. 55. 56. 57. 58.
59. 60. 61. 62.
63. 64. 65. 66. 67. 68.
69. 70.
71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80.
Muhammad, Abdulkadir, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Muljadi, Kartini. Widjaja, Gunawan, 2003, Seri Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Cetakan ke-2, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nurjaya, I Nyoman, 2006, “Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Cet. I, Kerjasama Progran Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unibraw, ARENA HUKUM Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan Penerbit Universitas Negeri Malang”, UM Press, Malang. Perangin, Effendi, 2011, Hukum Waris, Cet. X, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena Pohan, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, (Personen En Familie-Recht), Cetakan Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya. Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kelima, Alumni, Bandung. Prodjodikoro, Wirjono, 1984, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung. Program Studi Magister Kenotariatan Unud, 2013, “Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana”, Udayana, Denpasar. Purwaka, I Gede, 1999, “Keterangan Hak Mewaris yang Dibuat Oleh Notaris Berdasarkan Ketentuan Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)”, Program Spesialis Notariat dan Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung. Rasaid, M. Nur, 2013, Hukum Acara Perdata, Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta. Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, 1993, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung. Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta. Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
138 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99.
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta. Satrio, J., 1996, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditia Bakti, Bandung. Sinha, Surya Prakash, 1993, Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, West Publising CO, ST. Paul, Minn. Soekanto, 1973, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhatara, Jakarta. Soeroso, R., 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Subekti, R. Tjitrosudibio R., 2008. Kitab Undang-undang Hukum PerdataBurgerlijk Wetboek, Cetakan ke-39, Pradnya Paramita, Jakarta. _______, 1998, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Intermasa, Jakarta. _______, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta. Sudarsono, 1993, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Rineka Cipta, Jakarta. Suparman, Eman, 1995, Intisari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
100. 101. Sutedi, Adrian, 2013, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta. 102. 103. Syarifin, Pipin, 1999, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia, Bandung. 104. 105. Tanya, Bernard L. Simanjuntak, Yoan N. Hage, Markus Y, 2010, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta. 106. 107. Utrecht, E., 1995, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cet. VI, P.T. Penerbitan dan Balai Buku Ichtia, Jakarta. 108. 109. Voll, Willy D.S., 2013, Dasar-dasar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta. 110. 111. Witanto, D.Y., 2011, Hukum Acara Mediasai dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Mandar Maju, Bandung. 112. 113. _______, 2013, Hukum Acara Perdata tentang Ketidakhadiran Para Pihak dalam Proses Berperkara (Gugur dan Verstek), Mandar Maju, Bandung. 114.
139 Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Peradilan: 1.
3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LN Tahun 1960 Nomor 104, TLN Nomor 2043. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, LN Tahun 1996 Nomor 42, TLN Nomor 3632. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013, tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,LN Nomor 232 Tahun 2013, TLN Nomor 5475.
10. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, LN Tahun 2014 Nomor 3, TLN Nomor 5491. 11. 12. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah, LN Tahun 1997 Nomor 59, TLN Nomor 3696. 13. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, LN Tahun 1998 Nomor 52, TLN Nomor 3746. 14. 15. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008, tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 16. 17. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 18. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 483 K/Pdt/2006, tanggal 8 Agustus 2006 19. 20. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2849 K/Pdt/2008, tanggal 13 Juli 2010 21. 22. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 751 PK/Pdt/2011, tanggal 31 Juli 2012
140 Hasil Penelitian (Tesis dan Disertasi): Alfons, Maria, 2010, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis atas ProdukProduk Masyarakt Lokal dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang. Baisa, Ibrahim Ghozi, 2013, “Analisis Yuridis Penggolongan Penduduk Dalam Pembuatan Surat Keterangan Hak Waris Dari Perspektif Hak Asasi anusia", Tesis, Program Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya, Malang. Narsudin, Udin, 2012, “Kewenangan Pembuatan Keterangan Ahli Waris di Indonesia", Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. 115.
Satriya, Putut Bayu , 2007, “Peranan Balai Harta Peninggalan Semarang Dalam Pengelolaan Harta Warisan Anak Yang Belum Dewasa”, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik, Soegijapranata.
116. Sulistyo, Fenny Hudaya, 2010, “Penggunaan Bentuk Partij Akta Dalam Pembuatan Surat KeteranganWaris Oleh Notaris”, Tesis, Program Magister Notariat Universitas Airlangga, Surabaya. Syuhada, 2009, “Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya (Studi di Balai Harta Peninggalan Medan)”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 117. Wiradi, Woedjoed, 2006, “Akibat Hukum Surat Keterangan Waris Ganda Terhadap Akta Otentik Yang Telah Dibuat”, Tesis, Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang. Ensiklopedia dan Internet: 1. 2. 3.
4. 5.
6.
Garner, Bryan A., 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, United States of America Irma Devita, Perbedaan Surat Keterangan Waris dengan Akta Keterangan Hak Mewaris, http://www.hukumonline.com/klinik diakses terakhir pada tanggal 28 Mei 2014. Letezia Tobing, Mengenai Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak, http://www.hukumonline.com/klinik diakses terakhir pada tanggal 28 Mei 2014.
141 7. 8. 9.
10. 11.
Mas Anienda Tien, Hukum Perdata Dalam Sistim Hukum Nasional, http://elearning.upnjatim.ac.id, diakses terakhir pada tanggal 1 Maret 2014. Pusat Bahasa Kemendikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/notaris, diakses terakhir pada tanggal 28 Mei 2014. Sjafruddin, “Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan”, www.djpp.depkumham.go.id, diakses terakhir pada tanggal 28 Mei 2014.