BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merumuskan tujuan bangsa Indonesia yaitu terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut menciptakan ketertiban dunia. Mencapai masyarakat yang adil dan makmur tidak begitu saja dapat dicapai, ada banyak hambatan yang dapat mengganggu lancarnya pembangunan. Salah satu hambatan tersebut adalah adanya gangguan terhadap masyarakat berupa tindak pidana korupsi, untuk itu diperlukan penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat, baik sebagai usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan tindak pidana korupsi. Mengenai tindak pidana korupsi sebagai hambatan dalam proses pembangunan Evi Hartanti berpendapat sebagai berikut : Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
Universitas Sumatera Utara
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. 1 Korupsi pada hakikatnya bukan sekedar masalah kriminal, melainkan juga masalah sosial. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Sehubungan hal tersebut, Efi Laila Kholis mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori “membahayakan”. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama. 2 Dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi telah menyentuh berbagai bidang kehidupan masyarakat, Evi Hartanti berpendapat sebagai berikut : Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai pihak daripada memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa dan sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung sulit untuk ditanggulangi. 3
1
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hal. 1. Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010) hal 1. 3 Evi hartanti, Op. Cit, hal 1-2. 2
Universitas Sumatera Utara
Menurut B. Sudarso sebagaimana yang dikutip oleh Djoko Prakoso : Menghadapi masalah korupsi yang sudah meluas dan berurat berakar, yang oleh sementara kalangan dikatakan sudah merupakan “way of life”, orang setengah putus asa dan acuh tak acuh. Malahan ada pendapat yang menyebutkan bahwa sebaiknya kita tidak berbicara lagi mengenai korupsi tetapi pembangunan saja. Pada saat-saat tertentu memang seakan-akan timbul harapan bahwa penyakit itu akan sungguh-sungguh dapat diatasi, tetapi saat-saat penuh harapan demikian biasanya tidak berlangsung lama yang segera disusul oleh keraguan, keprihatinan, kekecewaan dan sinisme. 4 Menurut Baharuddin Lopa : Tampaknya masalah korupsi ini selalu ada. Ia akan ada dalam masyarakat primitif (tradisional), ia akan ada disuatu masyarakat yang sedang membangun dan bahkan ia akan ada dalam masyarakat yang sudah maju sekalipun. Rupa-rupanya perbuatan korupsi ini sejak semula lahir bersama kelahirannya di dunia ini dan agaknya umurnya pun akan seumur dengan dunia, apabila kita tidak memulai dari sekarang bersungguh-sungguh mencegah/memberantasnya. 5 Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dikatakan telah sistematik atau telah direncanakan baik dalam hal pelaksanaan maupun pemikiran mengenai tindak pidana korupsi tersebut. 6 Hal ini dapat dilihat dalam tingkat pemerintahan pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah melalui aparat hukumnya.
4
Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1990) hal 70. 5 Baharuddin Lopa, Korupsi; Sebab-Sebabnya dan Penanggulangannya (Jakarta: Prisma, 1996) hal 24. 6 Efi Laila Kholis, Op. Cit, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi, Evi Hartanti berpendapat sebagai berikut : Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. 7 Tindak pidana korupsi sering dipandang sebagai gejala dan penyakit sosial, mengingat dampak korupsi ini sangat merugikan masyarakat dan negara. Sehubungan hal tersebut, Juniadi Soewartojo berpendapat bahwa: Sebagai gejala sosial, korupsi merupakan masalah yang sangat kompleks yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia seperti politik, ekonomi dan budaya. Sebagai penyakit sosial, permasalahannya sejajar pula dengan penyakit sosial lainnya seperti perjudian, prostitusi, narkotika dan kriminalitas. 8 Terungkapnya kasus korupsi sebagian besar diperoleh dari informasi masyarakat, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi dasar bagi hakim dalam memutus suatu perkara. 9 Peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi diatur Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU PTPK Tahun 1999) jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut UU PTPK Tahun 2001).
7
Evi Hartanti, Op. Cit, hal 4. Juniadi Soewartojo, Korupsi; Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998) hal 3. 9 http//www. detik.com, M. Munab Islah Ahyani, Pimpinan DPRD Jabar Harus Bisa Jelaskan Kasus Dana 1,5 M, diakses pada tanggal 22 Januari 2011. 8
Universitas Sumatera Utara
Pasal 42 UU PTPK Tahun 1999 Jo. UU PTPK Tahun 2001 menentukan : (1)
Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi;
(2)
Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 10 Di satu sisi, negara mengharapkan partisipasi masyarakat dalam upaya
pemberantasan korupsi seperti yang tercantum pada Pasal 41 dan Pasal 42 UU PTPK Tahun 1999 jo UU PTPK Tahun 2001. Oleh karena itu pemerintah menghargai mereka yang berperan serta dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Surastini Fitriasih : Akan tetapi, di sisi lain tidak tersedia kecukupan instrument hukum yang mengatur tentang perlindungan saksi dalam suatu tindak pidana korupsi khususnya dan tindak pidana kejahatan lain pada umumnya. Saksi tanpa adanya instrument hukum perlindungan saksi dimungkinkan bisa terkena serangan balik berupa tuntutan pencemaran nama baik (defamation) oleh si pelaku tindak pidana itu sendiri. 11 Dalam suatu tindak pidana korupsi yang sedang diproses oleh pihak penegak hukum, pada prinsipnya keberadaan saksi sangat menentukan sekali. 12 Tidak bisa dipungkiri juga bahwa berhasil atau tidaknya pemberantasan tindak pidana korupsi salah satunya ditentukan pula oleh keberadaan aturan mengenai saksi dan 10
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU PTPK Tahun 1999) jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 11 Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju Peradilan (Pidana) yang Jujur dan Adil, www. pemantauperadilan. com, Diakses pada tanggal 22 Januari 201. 12 http;//www. Blog-hukum.com (Dominggus Silaban), diakses pada tanggal 22 Januari 2011.
Universitas Sumatera Utara
perlindungan saksi. Saksi dan perlindungan saksi adalah dua instrument yang sangat penting. Tanpa kehadiran saksi sangat sulit memulai proses hukum dalam tindak pidana korupsi, baik mulai dari penyelidikan, penyidikan serta penuntutan hingga penjatuhan hukuman (vonis). 13 Menurut Pasal 1 butir ke 26 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Merupakan salah satu indikasi juga di dalam dunia peradilan kita, bahwa salah satu hal yang menyebabkan perkara tindak pidana korupsi tidak banyak disidangkan adalah tidak terdapatnya aturan hukum mengenai jaminan terhadap perlindungan saksi baik di dalam UU PTPK 1999 jo UU PTPK 2001 maupun dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Perlindungan terhadap saksi tindak pidana korupsi harus memperoleh jaminan dan kepastian hukum sebagai berikut : Sebuah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran HAM, adalah satu bagian integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu. Setelah melewati proses negosisasi bertahun-tahun, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut 13
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
UU Perlindungan Saksi dan Korban) disahkan juga pada tanggal 11 Agustus 2006. UU Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan akan menolong negara ini keluar dari skandal korupsi yang berkepanjangan dan menyediakan penggantian yang diperlukan bagi para korban dapat kita lihat kenyataannya di masa mendatang. UU Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri, menunjukkan beberapa permasalahahan serius lebih dari sekedar niat baik di balik undang-undang tersebut. 14 Di negara lain, ketidakhadiran sebuah undang-undang perlindungan saksi yang efektif telah menyebabkan hilangnya kualitas penyidikan dan jalannya persidangan. Sehubungan dengan perlindungan saksi di negara lain, Ratna Januarita mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Di pengadilan-pengadilan negara-negara Asia, pemberian keterangan saksi lebih dititikberatkan, dan perlindungan saksi dan korban adalah hal krusial ketika berhadapan dengan korupsi dan penyiksaan oleh polisi dan pelanggaran HAM lainnya. Orang-orang yang ditawarkan perlindungan oleh kepolisian biasanya khawatir karena mereka tidak akan tahu apakah polisi yang baik atau yang buruk yang akan melindungi mereka. 15 Selain diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor dan korban tersebar di berbagai peraturan perundangundangan. Di bidang tindak pidana korupsi perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur pada Pasal 41 ayat (2) e UU PTPK 1999 dan Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) serta Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi (selanjutnya disebut PP No. 57
14 15
Ibid. Pikiran Rakyat, Opini oleh Ratna Januarita, tanggal 06 Januari 2010.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2003). Peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) No. 17 Tahun 2005 yang berlaku sejak 30 Desember 2005. Menurut Ratna Januarita, perlindungan terhadap saksi harus diberikan atas 2 (dua) hal, yaitu : Perlindungan terhadap saksi harus diberikan atas dua hal, perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman. Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi untuk tidak dapat digugat atau dituntut baik secara perdata maupun pidana. Tentu dengan catatan, sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan itikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri.Perlindungan hukum lain adalah berupa larangan bagi siapapun untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya. 16 Semua saksi, pelapor dan korban memerlukan perlindungan hukum ini. Perlindungan khusus kepada saksi, pelapor dan korban diberikan oleh negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta bendanya termasuk
keluarganya. 17
Karena
itu,
perlindungannya
pun
harus
meliputi
perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik, mental, serta terhadap harta benda. Belum tersedianya ketentuan hukum mengenai perlindungan saksi di dalam kasus-kasus korupsi sangat terkait erat dengan kebijakan politik (political will) dari
16 17
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
penyelenggara negara baik di kalangan eksekutif maupun legislatif serta yudikatif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. 18 Tanpa saksi dalam pengungkapan suatu tindak pidana umumnya dan tindak pidana korupsi khususnya dapat mengakibatkan tidak terungkapnya kasus korupsi tersebut dengan sempurna dan dapat membuat kasus tersebut tidak terselesaikan dengan tuntas, dan sewajarnyalah bila saksi mendapatkan perlindungan di depan hukum karena perannya dalam mengungkap suatu tindak pidana kejahatan. 19 Dalam Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undangundang yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 159 (2) KUHAP tersebut, apabila seseorang yang tidak bersedia menjadi saksi akan mendapatkan ancaman pidana dari negara, dimana menurut semestinya tiap orang yang menjadi saksi hendaknya secara sukarela mau memenuhi kewajiban hukumnya tersebut. Sehubungan dengan perlindungan saksi, menurut ketentuan Pasal 15 huruf a UU KPK yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002, sebenarnya mewajibkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan perlindungan terhadap saksi yang menyampaikan laporannya atau memberikan keterangan dalam kasus-kasus korupsi. Akan tetapi ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak merinci secara tegas dan jelas dengan mekanisme yang bagaimana perlindungan saksi yang dimaksudkan, karena perundang-undangan yang 18 19
Ibid. http//www. Hukum Online. Com, Diakses pada tanggal 22 Januari 2011.
Universitas Sumatera Utara
ada tidak menyebutkan jaminan hukum bagi saksi dalam mengungkapkan suatu kasus tindak pidana korupsi. 20 Diharapkan pemerintah berkewajiban untuk dapat segera menindak lanjutinya dengan membuat suatu aturan hukum yang tegas dan jelas agar keberadaan saksi dalam hal mengungkap suatu kejahatan mendapat perlindungan hukum dari negara. Begitu pula hendaknya perlindungan terhadap saksi yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan dalam terjadinya tindak pidana korupsi baik sejak tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut Darwan Prinst : Keamanan seseorang yang tampil ke depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak semua orang yang dapat saja melapor sebuah kejahatan atau menyediakan bukti, diberikan perlindungan. Dalam kasus terjadinya pelanggaran HAM, hal pokok termasuk keperluan untuk menjaga aktifis LSM dan kelompok masyarakat sipil lainnya. 21 Sejumlah kasus sempat menyeruak menyangkut keberadaan saksi tindak pidana korupsi di Indonesia. Di antaranya kasus Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang membongkar kasus suap dan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada juga kasus Endin Wahyudin, yang melaporkan dugaan tindak pidana oleh beberapa orang hakim. Kasus yang mendapat sorotan adalah kasus Vincentius Amin Sutanto, mantan Group Financial Controller Asian Agri, yang melaporkan dugaan manipulasi pajak di tempat kerjanya. 22 Kasus Vincent merupakan kasus paling menarik, karena 20
Ibid. Darwan Prinst, Op. Cit, hal 77. 22 Yunus Husein, Sang Pelapor dan Perlindungan Saksi, www. Media informasi.com, diakses pada tanggal 22 Januari 2011. 21
Universitas Sumatera Utara
melibatkan orang dalam dari pihak yang diduga melakukan suatu kejahatan. Berbeda dengan kasus lain, Vincent terlebih dahulu dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus pembobolan uang Rp 28 miliar milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd. di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group. Kasus yang melibatkan Susno dan Gayus telah menarik perhatian banyak orang dalam melihat peran dan fungsi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut LPSK). Sempat terjadi tarik menarik malah antara Polri dan LPSK saat LPSK telah memutuskan untuk melindungi mantan Kabareskrim Polri ini dengan menempatkan Susno ke dalam Safe House yang dimiliki oleh LPSK. 23 Beberapa kasus ini memiliki satu kesamaan: berbuah "serangan balik" dari pihak yang dilaporkan. 24 Dalam kasus Endin, misalnya, serangan balik datang dari hakim yang mengadukannya. Ia dituding telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim kemudian bebas dari hukuman, sementara sang pelapor dihukum oleh pengadilan. Perlindungan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dipahami dalam bahasa yang kabur, seperti misalnya “memberikan rasa aman“ (Pasal 1 angka 6), hal
Serangan terhadap Vincent tak hanya dalam satu kasus. Aparat penyidik Polda Metro Jaya sempat akan menjerat Vincent dengan perkara tindak pidana pemalsuan paspor yang dilakukannya sekitar Oktober 2006 di Singkawang, Kalimantan Barat. Perkaranya kini sudah dilimpahkan ke Kepolisian Resor Singkawang. Kasus Vincent menjadi menarik karena berkaitan dengan masalah perlindungan saksi. 23 Ibid. 24 Ibid. Polri telah menolak menyerahkan Susno ke LPSK dan akhirnya telah terjadi kesepakatan antara Polri dan LPSK mengenai status Perlindungan Susno Duadji. Kesepakatan ini setidaknya telah membuat para kuasa hukum Susno Duadji menganggap bahwa LPSK tidak mampu melindungi Pemohon perlindungan. Bahkan dalam Rapat Dengar Pendapat antara LPSK dengan DPR kemarin, DPR juga telah mendesak agar LPSK menjamin perlindungan Susno.
Universitas Sumatera Utara
itu, bagaimanapun, termasuk ”segala jenis ancaman yang berhubungan dengan kesaksian”. (Pasal 5 angka 1a). 25 Ketentuan spesifik termasuk hak saksi atau korban untuk memperoleh identitas baru, relokasi, nasihat hukum, dan bantuan biaya hidup sementara, (Pasal 5 angka 1) tetapi tidak secara mutlak memerlukan relokasi ke luar negeri atau mendapatkan pekerjaan baru bagi saksi atau korban sebagaimana lazim terjadi di yurisdiksi negara lain. Tidak satupun ketidakjelasan yang berada dalam daftar bentuk-bentuk perlindungan diperjelas dengan penjelasan prosedural atau petunjuk pelaksanaan. Kenyataannya, implementasi perlindungan itu sendiri menjadi sebuah kunci penting bagi LPSK bahkan tidak tersentuh dalam undang-undang tersebut dan dengan demikian membuka segala macam interpretasi atasnya dan pelaksanaan yang sewenang-wenang. Lebih jauh lagi, tata letak dalam ruang persidangan Indonesia yang menempatkan korban, secara simbolis, terjebak dalam posisi antara penuntut umum dan terdakwa, sambil menghadap ke arah Majelis Hakim, sedikit banyak mempengaruhi “rasa aman”nya, dan dapat, sebagaimana dalam kasus-kasus di negara lainnya, memberikan dampak yang layak dipertimbangkan bagi kesediaan saksi untuk memberikan keterangan di persidangan. Kenyataannya, dengan atau tanpa Undang-Undang Perlindungan Saksi, kebanyakan saksi tidak bersedia memberikan keterangan di persidangan. Citra bersaksi di ruang persidangan cukup “menakutkan” bagi para saksi. Mereka akan berpikir dua kali apabila mereka ingin bersaksi. 26
25 26
Ibid. http//www. Hukum Online, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 butir 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban menentukan : Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang-undang. 27 Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim, penuntut umum terdakwa atau penasihat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang telah ditentukan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam proses pembuktian, yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian diluar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. 28 Pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa alat bukti yang sah adalah: a. b. c. d. e.
keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, M. Yahya Harahap berpendapat agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai
27
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 261. 28 Ibid, hal. 285.
Universitas Sumatera Utara
serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. 29 Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Harus mengucapkan sumpah atau janji; Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Pada prinsipnya sumpah atau janji itu wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan. Akan tetapi, Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. 2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti; Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. 30 Keterangan saksi yang mempunyai nilai bukti ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan; Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan. 31 Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan bukan merupakan alat bukti.
29
Ibid. Ibid. 31 Ibid. 30
Universitas Sumatera Utara
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup; Supaya keterangan seorang saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangya dengan dua alat bukti. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau “unus testis nullus testis”. Artinya jika alat bukti yang dikemukakan oleh penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain, “kesaksian tunggal” ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 32 5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri; Sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara kuantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan saksi-saksi tersebut secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam hal ini, tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadan tertentu. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan
32
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut PP No. 71 Tahun 2000) menentukan: (1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.] (2) Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Pasal 3 PP Nomor 71 Tahun 2000 menentukan: (1)
(2)
Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai: a. data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain; dan b. keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan. Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum.
Peraturan perundang-undangan tentang keberadaan saksi pelapor yang meliputi perlindungan atas keberadaan pelapor tersebut, antara lain : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP; 2. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; 3. Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang; 4. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 34
34
Harkristuti Harkrisno, Op.Ci.t
Universitas Sumatera Utara
Untuk membahas kata “Pelapor“ maka kita harus lebih dahulu menyesuaikan padanan kata “Pelapor“ dengan kata “Laporan” yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP, menyatakan : Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. 35 Dari pengertian laporan sebagaimana diutarakan di atas bermakna adanya suatu “pemberitahuan” oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang sesuatu kejadian peristiwa pidana. Dalam hal ini orang yang berhak untuk menyampaikan laporan adalah : a. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban peristiwa pidana kepada penyelidik atau penyidik; b. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman atau keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik; c. Pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugasnya yang mengetahui terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik; 36 Selain daripada pengertian “ pelapor” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP ternyata masih dikenal lagi ketentuan hukum yang mengatur tentang keberadaan "pelapor", yang antara lain terdapat pada : 1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
Dari beberapa ketentuan hukum di atas ternyata hanya Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, yang sangat memperhatikan perlunya pemberian perlindungan baik terhadap pelapor maupun saksi. Dan pemberian jaminan perlindungan tersebut mestinya sudah harus diberikan pada saat adanya pelaporan, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. 35 http//www. Hukum Online. Com; Sri Mulyati Chalil, “ Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi di hubungkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Diakses pada tanggal 22 Januari 2011. 36 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang; 3. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 37 Menurut Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003, terdapat 2 (dua) kualifikasi tentang yang dimaksudkan dengan “pelapor”, yaitu : 1. Setiap orang yang karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU; atau 2. Setiap orang yang secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU. Sedangkan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri. Tidak ada ketentuan yang dibuat untuk memberikan perlindungan bagi para saksi dari aparat bersenjata untuk menjamin keamanan secara fisik, maupun tidak ada indikasi apapun menunjukkan kepada siapa yang berwenang untuk mengambil langkah seperti itu. Hanya pada Pasal 36 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan mandat kepada LPSK untuk “bekerjasama dengan instansi berwenang lainnya yang terkait”. Namun, instansi seperti itu hanya diwajibkan melaksanakan keputusan LPSK, sesuai dengan kewenangannya. Dari uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi sangat lemah. Oleh
37
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
karena itu penulis merasa perlu untuk meneliti secara cermat mengenai kebijakan pemerintah tersebut serta dampak-dampak positif dan kendala-kendala yang ada. Oleh karena itu, pembahasan lebih lanjut akan diuraikan dalam tulisan tesis ini dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana asas perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban? 2. Bagaimana pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban? 3. Apakah hambatan dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui asas perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui kebijakan pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban. 3. Untuk mengetahui hambatan yuridis dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
D. Manfaat Penelitian Ada 2 (dua) manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.Uraian tentang kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi terutama mahasiswa Magister Humaniora untuk menambah wacana di bidang ilmu hukum khususnya tentang bentuk perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban. 2. Secara Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum agar dapat lebih memahami tentang perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi Dan Korban.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tidak ada judul penelitian/ tesis yang sama ataupun memiliki kemiripan judul serta permasalahan yang sama dengan judul dan permasalahan di dalam penelitian ini. Tetapi ada penelitian tesis yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum, yaitu: 1. Ifransko Pasaribu, tahun 2007, melakukan penelitian tentang “Kebijakan Hukum Penal (Penal Policy) Dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Beban Pembuktian dan Sanksi Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001)”. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah : 2. Claudya Eterina br. Purba, tahun 2011, melakukan penelitian tentang “Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah : bagaimana asas perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana hak asasi manusia, bagaimana pengaturan perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana hak asasi manusia, bagaimana urgensi perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana hak asasi manusia.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, penelitian yang diangkat penulis sampai saat ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 38 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum acara pidana yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoriti, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis ini. 39 Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas dari teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya sehingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. 40 Sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Jelasnya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya.
38
J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE UI, 1996) hal 203 M. Solly Lubis, Op. Cit., hal 80. 40 W. Friedman, Teori dan Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo), tt, hal. 2 39
Universitas Sumatera Utara
Menurut Harjono, 41 Para pengkaji hukum belum secara komprehensif mengembangkan teori “perlindungan hukum” dari perspektif keilmuan hukum. Banyak tulisan-tulisan yang dimaksudkan sebagai karya ilmiah ilmu hukum baik dalam tingkatan skripsi, tesis, maupun disertasi yang mempunyai tema pokok bahasan tentang “perlindungan hukum”. Namun tidak secara spesifik mendasarkan pada konsep-konsep dasar keilmuan hukum secara cukup dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum. Bahkan dalam banyak bahan pustaka, makna dan batasan-batasan mengenai “perlindungan hukum” sulit ditemukan, hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu secara umum apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak diperlukan lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud “Perlindungan Hukum”. Konsekwensi dari tidak adanya konsep tersebut akhirnya menimbulkan keragaman dalam pemberian Indonesia sebagai negara hukum, tidak terlepas dari falsafah negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 terutama pada alinea pertama yang mengandung nilai-nilai Pancasila. Keduanya merupakan dasar bagi penegakan hukum. Oleh karena itu, sudah seharusnya juga perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi didasarkan pada nilai-nilai kedua alinea tersebut. Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah “legal protection”, dalam bahasa Belanda “rechtsbecherming”. Kedua istilah tersebut juga mengandung konsep atau pengertian hukum yang berbeda untuk memberi makna
41
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, (Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2008), hal. 373
Universitas Sumatera Utara
sesungguhnya dari “perlindungan hukum”. Di tengah langkanya makna perlindungan hukum itu, kemudian Harjono berusaha membangun sebuah konsep perlindungan hukum dari perspektif keilmuan hukum, menurutnya: “ theory legal protection” atau teori perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum”. 42 Pada hakekatnya proses penyelenggaraan peradilan pidana yaitu melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. 43 Komponen sistem peradilan pidana yaitu polisi, jaksa, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan ikut bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. 44 Berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum, equality before the law, yang merupakan suatu syarat negara hukum, tidak berlebihan kiranya bila pada saksi diberikan sejumlah hak yang akan memberikan perlindungan padanya. 45 Keberadaan saksi pelapor sangat diperlukan dalam menindaklanjuti adanya suatu perbuatan tindak pidana korupsi, dan peran serta saksi pelapor sebaiknya dimulai dari kesadaran diri
42
Ibid., 357 Sri Mulyati Chalil, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor dalam Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Wacana Paramita, 2007) hal 8. 44 Abdoel Djamali dan Soebekti, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: Raja Grafindo Persada, 1999) hal 21. 45 M. Munab Islah Ahyani, Pimpinan DPRD Jabar Harus Bisa Jelaskan Kasus Dana 15M, www.detik.com , diakses pada 21 Januari 2011. 43
Universitas Sumatera Utara
pribadi, keluarga, lingkungan dan seluruh lapisan masyarakat untuk dapat mematuhi aspek hukum dan sekaligus menjauhi perbuatan tindak pidana. Proses hukum yang adil merupakan cita-cita dari pelaksanaan hukum acara. Akan tetapi hal ini hanya dikaitkan dengan tersangka/terdakwa. Seperti dikemukakan oleh Tobias dan Petersen bahwa unsur-unsur minimal dari due process itu adalah: “hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial court” 46 Kepedulian yang demikian besar kepada tersangka/terdakwa menimbulkan persepsi the pendulum has swung too far, 47 karena seolah-olah telah mengabaikan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi. Kebijakan peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan pelaku tindak pidana. Padahal peradilan pidana sebagai institusi yang berwenang menjatuhkan sanksi pidana pada orang yang melanggar hukum pidana seringkali menjadi tolok ukur penilaian terhadap watak penguasa dan atau masyarakatnya. 48 Menurut Amara Raksasataya, kebijakan (policy) adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu kebijakan (policy) harus memuat 3 (tiga) elemen penting yaitu :
46
Marc Weber Tobias dan R. David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure, A Survey of Constitutional Rights, Charles Thomas Publisher, Chapter 3, seperti dikutip oleh Mardjono Reksodiputro dalam Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP Sebagai Bagian dari Hak-Hak Warga Negara (Civil Rights), “ Hak Asasi Menusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 27. 47 Harkristuti Harkrisno, “Perlindungan Korban dan Saksi dalam Proses Pidana dan Urgensi Perlindungan bagi Mereka”, makalah disampaikan pada Seminar tentang Perlindungan Saksi yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan di Bekasi, 29 Oktober 2002. 48 Mudzakkir, Akses Publik Ke Sistem Peradilan Pidana, Makalah disampaikan pada Lokakarya tentang Akses Ke Peradilan yang diselenggarakan pleh Sentra HAM FHUI bekerjasama dengan Komisi Hukum Nasional RI di Jakarta,. 31 Juli 2002
Universitas Sumatera Utara
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai; 2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;dan 3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. 49 Sementara, taktik dan strategi itu sendiri menurut Andi Hamzah adalah suatu metode, rencana untuk mencapai tujuan tertentu. 50 Sehubungan dengan itu diperlukan taktik atau strategi tertentu untuk dapat memberantas tindak pidana korupsi tersebut, setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangannya. Soedarto mendefenisikan kebijakan kriminal (politik kriminal) sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan. 51 Kebijakan kriminal dapat diaplikasikan dalam 2 (dua) jalur yaitu jalur penal dan nonpenal. 52 Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), berpusat pada dua masalah sentral, yaitu : 53 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Kebijakan nonpenal dimaksud sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana. Dapat dikategorikan dalam
49
Amara Raksasataya, dalam M. Islam Irfany, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara Jakarta: Bina Aksara, 2002, hal 17-18. 50 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal 550. 51 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, hal 114. 52 Ibid. 53 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hal 158.
Universitas Sumatera Utara
pendekatan nonpenal adalah pendidikan atau kerohanian dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. 54 Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus juga dipandang sebagai bagian dari kebijakan pidana. 55 Tujuan penegakan hukum harus dapat memberikan jaminan terlaksananya pemerataan keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Mengenai tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat, Niniek Supami berpendapat sebagai berikut : 56 Keadilan dan hukum akan selalu terkait di dalam pergaulan hidup masyarakat. Keadilan dan hukum tidak dapat dipisahkan dari interaksi kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, tidaklah mungkin ada suatu masyarakat tanpa keadilan dan hukum. Keadilan dan hukum merupakan dasar dari kehidupan manusia sehingga tugas mengadili yang dibebankan pada lembaga pengadilan merupakan suatu tugas yang memerlukan kecermatan dan kematangan baik dalam menyusun pertimbangan hukumnya maupun dalam menetapkan putusannya. Menurut Evi Hartanti : 57 Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang-orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum. Melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. 54 55
Ibid. Adama Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung, Alumni. 2006),
hal 4. 56
Niniek Supami, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan ( Jakarta, Sinar Grafika, 2001), hal. 12. 57 Evi Hartanti, Op. Cit, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Korupsi itu merupakan kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime), maka upaya pemberantasannyapun seyogyanya bersifat luar biasa (Extra Ordinary Measures). 58. Hal ini bertujuan agar hukum mampu berperan dalam menciptakan kontrol aktifitas negara, karena kejahatan merupakan yang sistematik/ struktural/ terorganisir yang berkaitan dengan kekuasaan. 59 Made Darma Weda berpendapat sebagai berikut : 60 Upaya penegakan hukum, walaupun tujuannya sangat mulia namun sangat intens dengan keadaan-keadaan yang kontradiktif. Dimana keadaan-keadaan tersebut dapat membawa dampak ke arah dehumanisasi hukum yang sangat kontra produktif dengan upaya pembangunan manusia seutuhnya yang sedang digalakkan pemerintah saat ini. Pemahaman terhadap ketentuan hukum merupakan syarat mutlak bagi para penegak hukum. Menurut Barda Nawawi Arif : 61 Penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, yaitu : 1. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; 2.Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. Dalam kebijakan peradilan pidana untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, saksi menempati posisi kunci. Menurut Surastini Fitriasih : 62 Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak awal proses pidana. Harus diakui bahwa 58
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung, PT. Alumni, 2007), hal 7. 59 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung, CV. Mandar Maju, 2001), hal. 131. 60 Made Darma Weda, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, (Jakarta, Guna Widya, 1999), hal 23. 61 Barda Nawawi Arif , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996) , hal 4. 62 Surastini Fitriasih, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat Kejaksaan sampai pada akhirnya di Pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Saksi jelas merupakan salah satu pihak yang berkepentingan dalam sistem peradilan pidana. Menurut Surastini Fitriasih : 63 Dalam negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law, para saksi pun mempunyai hak untuk mendapat perlindungan sebagaimana halnya tersangka/terdakwa. Kontribusi saksi dalam proses peradilan pidana, selayaknya mendapatkan jaminan agar kesaksian mereka dapat diberikan dengan baik sehingga diharapkan peradilan pidana dapat dijalankan dengan layak untuk mewujudkan keadilan yang bersifat prosedural maupun substantif. Pada umumnya saksi dalam kasus tindak pidana korupsi biasanya takut untuk memberikan kesaksiannya karena belum ada terdapat instrument hukum yaitu berupa perlindungan saksi yang memadai dalam perundang-undangan kita. Menurut Dominggus Silaban : 64 Secara signifikan kita semua maklum bahwa para pelaku tindak pidana korupsi, terutama dalam kasus-kasus korupsi besar (big corruption) biasanya dilakukan oleh beberapa orang atau oleh orang-orang yang berpengaruh baik karena kekuasaannya (powers) maupun kemampuan finansialnya di dalam masyarakat. Posisi saksi yang demikian penting ini nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum. 65 Dilihat dari KUHP, kedudukan saksi berada dalam posisi yang lemah. Dalam rangka mewujudkan peradilan pidana yang jujur
63
Ibid. http;//www. Blog-hukum.com (Dominggus Silaban), loc. Cit. 65 Ibid. 64
Universitas Sumatera Utara
dan adil, seharusnya perlindungan saksi tidak berbeda dengan tersangka/terdakwa, karena : 66 1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah; 2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu; 3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan; 4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya; 5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka/terdakwa. Perlindungan bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan oleh saksi dalam posisinya dalam proses peradilan pidana. Perlindungan bagi saksi merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusi saksi dalam proses peradilan pidana. 67 Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat,
atau
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
dalam
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Terlebih lagi dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain peran serta saksi Pelapor (berupa peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah merupakan upaya pencegahan/preventif disamping tindakan penindakan/represif, yang meliputi reformasi birokrasi, menata ulang dan mengkaji serta memperbaiki manajemen pengelolaan keuangan negara maupun melakukan optimalisasi lembaga-lembaga pengawasan disetiap lembaga-lembaga pemerintah. 68
66
Harkristuti Harkrisno, Op. Cit. Ibid. 68 http//www. Hukum Online, Loc. Cit. 67
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. 69 Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, di samping pembuktian dengan alat bukti yang lainnya, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 2. Landasan Konsepsional Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. 70 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 71 1. Korupsi diartikan sebagai suatu tingkah laku dan/atau tindakan seseorang yang tidak mengikuti atau melanggar norma-norma yang berlaku serta mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong menolong dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan mementingkan diri pribadi/ keluarga/ kelompok/ golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan pengendalian diri sehingga kepentingan lahir dan bathin atau jasmani dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi dan tidak selaras dengan mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakkan nafsu duniawi yang berlebihan sehingga merugikan keuangan atau kekayaan negara dan/ atau kepentingan masyarakat atau negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. 72
69
Ibid, hal 287 Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal 10 71 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi (Medan : PPs USU, 2002), hal 35 72 Juniadi Soewartojo, Op. Cit, hal 11 70
Universitas Sumatera Utara
2. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). 3. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP). 4. Pelapor adalah : orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau Komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi (Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 pada bagian Penjelasannya Pasal 3 ayat (1)). 5. Perlindungan khusus didefinisikan sebagai suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya. 73 6. LPSK dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah suatu lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hakhak lain kepada saksi dan/atau Korban.
73
Harkristuti Harkrisno, Op. cit
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian merupakan suatu usaha pencarian dan tidak sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu objek. Penelitian berasal dari Bahasa Inggris yaitu research. Re berarti kembali dan to search yang berarti mencari. Sehingga kata research berarti “mencari kembali” dan yang dicari adalah “pengetahuan” atau tepatnya “pengetahuan yang benar” dan pengetahuan yang benar nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. 74 Sedangkan penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistimatika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. 75 Bertolak dari rumusan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa permasalahan yang dikemukakan. 2. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penggunaan pendekatan yuridis normatif yang dimaksud adalah melakukan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan teori-teori yang berlaku. 76 74
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal 28. 75 Soerjono Soekanto, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : UI-Press, 1986), hal 43. 76 Ibid, hal 45
Universitas Sumatera Utara
3. Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Oleh karena itu bahan dasar yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan dasar hukum normatif yaitu dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan menjadi tiga golongan, yakni bahan hukum primer, sekunder dan tertier. 77 a. Bahan Hukum Primer Yang dimaksud dengan bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar/kaidah dasar, peraturan dasar perundang-undangan. 78 Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. b.
Bahan Hukum Sekunder Yang dimaksud dengan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini. 79
77 77 86
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjaun Singkat, (Jakarta : PT Rajawali, 1995), hal 33 78 Ibid 79 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c.
Bahan Hukum Tertier Yang dimaksud dengan bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 80
4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Sebagai penunjang hal tersebut maka dilakukan pengumpulan data sekunder yaitu dengan menelaah berbagai buku hukum atau karya ilmiah, dokumen-dokumen, majalah-majalah dan lain sebaginya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. 5. Analisis Data Setelah data dikumpulkan, tahap berikutnya adalah menganalisis data. Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian yang bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap suatu masalah yang diteliti. Sebelum menganalisis data, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui keakuratannya. Selanjutnya diadakan pengelompokkan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif, yaitu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya. 81
80 81
Ibid, hal. 13 Lexi J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001),
hal 3.
Universitas Sumatera Utara