1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.1 Salah satu sektor yang mempunyai peranan penting karena berkaitan dengan ekonomi secara keseluruhan adalah sektor industri. Menurut Mathius Tambing,2 sektor industri merupakan tulang punggung ekonomi nasional, karena dari sektor ini dapat dihasilkan pajak, retrubusi, dan devisa yang dibutuhkan bagi pemasukan APBN yang berguna bagi biaya pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Mathius Tambing juga berpandangan, bahwa: “Pembangunan sektor industri tidak terlepas dari ketenagakerjaan, karena sektor industri memerlukan tenaga kerja/buruh untuk menjalankan proses produksi barang dan jasa di suatu perusahaan. Dan tenaga kerja merupakan faktor pengerak utama kegiatan perusahaan.”3 Bidang ketenagakerjaan dengan sektor industri adalah ibarat dua sisi mata uang dalam sistem ekonomi.4 Karena memang dalam melaksanakan pembangunan nasional, peran serta pekerja/buruh semakin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan pekerja/buruh harus semakin ditingkatkan baik mengenai upah, 1 2 3 4
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, alinea ke-4 Marthius Tambing, 2013, Himpunan Pokok-Pokok Perjuangan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, hlm. 13. Ibid. Ibid., hlm. 13 - 14.
2
kesejahteraan, dan harkatnya sebagai manusia (to make more human).5 Oleh karena itu, pembangunan bidang ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu upaya yang bersifat menyeluruh disemua sektor dan daerah yang ditujukan dengan adanya perluasan lapangan kerja dan pemerataan kesempatan kerja, peningkatan mutu dan kemampuan, serta memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja. Lebih jauh melalui pembangunan bidang ketenagakerjaan adalah bagaimana meningkatkan kemakmuran rakyat, mengejar keadilan sosial, serta menghapuskan kemiskinan.6 Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945,
pembangunan bidang ketenagakerjaan diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spiritual.7 Oleh karena itu Pemerintah harus membuat kebijakan dan program-program yang mendukung pembangunan bidang ketenagakerjaan secara keseluruhan dan selanjutnya pembangunan ketenagakerjaan harus diatur agar terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.8 Pada
dasarnya,
landasan
konstitusional
pembangunan
dibidang
ketenagakerjaan begitu jelas dan gamblang diatur dalam batang tubuh dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu : 5 6 7
8
Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 37. Marthius Tambing, Op.cit., hlm.14. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279), Penjelasan Umum alinea pertama. Ibid., Penjelasan Umum alinea kedua.
3
Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Pasal 28D ayat (2) “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut ada dua hal penting dan mendasar yang merupakan hak setiap warga negara Indonesia yaitu hak memperoleh pekerjaan dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak. Sedangkan menurut Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa dalam hubungan kerja setiap orang berhak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak. Suatu pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi saja, tetapi juga harus mempunyai nilai kelayakan bagi manusia. Suatu pekerjaan baru memenuhi semua itu bila keselamatan dan kesehatan kerja serta kesejahteraan kehidupan buruh dalam pelaksanaannya terjamin. Dengan demikian, mengacu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut dapat dipahami bahwa para pendiri Republik Indonesia menginginkan tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan, imbalan dan perlakukan yang adil dan layak. Selain itu keberadaan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut juga dapat kita
4
maknai bahwa penormaan tersebut merupakan sebagai salah satu bentuk perlindungan negara bagi pekerja/buruh. Perlindungan terhadap pekerja/buruh pada hakekatnya bertujuan bertujuan untuk menjamin berlangsungnya hubungan kerja yang harmonis antara pekerja/buruh dengan pengusaha tanpa disertai adanya tekanan-tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.9 Terlepas dari tujuan pengusaha untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi, juga tujuan pengusaha agar dapat menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya, perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh juga harus tetap menjadi prioritas. Untuk ini pengusaha wajib melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku. Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja yang secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama.10 Akan tetapi bagi pekerja hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan.
9 10
Abdul Khakim, 2009, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 105. Abdul Khakim, 2009, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. Ke I Edisi III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 56.
5
Di tengah semakin tingginya angka angkatan kerja yang setiap tahun jumlahnya terus meningkat, namun jumlah peningkatan lapangan pekerjaan yang tidak mengalami peningkatan yang sebanding dengan pertambahan angkatan kerja membuat pekerja/buruh semakin terjepit untuk menerima setiap perlakuan dari pengusaha. Di pasar kerja, posisi buruh menjadi lemah, karena dihadapkan dengan jutaan manusia menganggur di sekelilingnya.11 Menurut Andito Suwignyo,12 bahwa sejak seorang buruh menandatangani selembar kontrak kerja, saat itulah kemerdekaannya dirampas, sehingga tidak mempunyai hak dan martabat yang sama dihadapan majikan. Berdasarkan realitas itulah pekerja/buruh selalu dekat dengan keadaan yang tidak adil, dan diskriminatif. Myra M. Hanartani, et al.,13 mengatakan, bahwa : “Karena kedudukan pekerja/buruh sangat tidak seimbang dibanding dengan pengusaha/pemberi kerja, maka Pemerintah membuat peraturanperaturan, melakukan pembinaan dan pengawasan serta penegakan hukum yang bertujuan melindungi pekerja/buruh sebagai pihak yang lemah untuk menempatkan kedudukannya pada tempat yang layak bagi kemanusiaan.” Perlindungan tenaga kerja pada dasarnya merupakan konsensus bersama yang sudah dituangkan dalam sebuah udang-udang, yakni Undang-Udang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan diundangkannya Undang-Udang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan bentuk usaha Pemerintah agar pembangunan ketenagakerjaan dapat diatur dengan tegas sehingga nasib dan kesejahteraan para tenaga kerja dapat berjalan sesuai apa yang 11 12 13
Fauzan A. Mahdami, et al., Krisis Finansial Global: Petaka Bagi Buruh Yang Tak kunjung Usai, Jurnal Kajian Perburuhan SEDANE, Vol. 6, No. 2, 2008, hlm.54. Andito Suwignyo, 2008, Buruh Bergerak: Membangun Kesadaran Kelas, Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, hlm. 44. Myra M. Hanartani, et al.,2009, Pengantar Hukum Perburuhan, Direktorat Jenderal Pembinaan hubungan industrial dan Jaminan sosial Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Jakarta, hlm. 6.
6
dicita-citakan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-Udang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sangat berarti dalam mengatur hak dan kewajiban, baik para tenaga kerja maupun para pemberi kerja dalam melaksanakan suatu mekanisme proses produksi. Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-Udang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejaterahan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha Indonesia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya pada waktu sekarang ini, tujuan dibentuknya peraturan hukum di bidang ketenagakerjaan yang bertujuan untuk memberikan rasa keadilan dan perlindungan terhadap buruh/perkeja serta untuk memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 belum berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Penyebab terjadinya penyimpangan tujuan dibentuknya peraturan hukum dibidang
ketenagakerjaan
terdapat
berbagai
faktor,
antara
lain
adalah
pekerja/buruh oleh pemberi kerja dianggap hanya berperan sekedar sebagai tukang atau operator mesin.14 Pemberi kerja kerapkali tidak memandang pekerja/buruh sebagai mitra sejajar dalam proses produksi sekaligus sebagai subjek produksi yang patut dilindungi, melainkan hanya sekedar sebagai objek yang bisa di eksploitasi. Posisi tawar pekerja/buruh yang jauh lebih lemah dibandingkan dengan 14
Mathius Tambing, Op.cit., hlm. 25.
7
pemberi kerja, menyebabkan tidak terlindunginya hak-hak pekerja/buruh, sehingga dalam keadaan terpaksa mereka memenuhi persyaratan-persyaratan yang diminta oleh pemberi kerja, meskipun hal tersebut sangat merugikan dirinya. Buruh/pekerja bekerja sekuat tenaga dengan sebaik-baiknya hanya untuk mempertahankan
status
“masih
memiliki
pekerjaan,”
bukan
untuk
mengembangkan kariernya mendapatkan upah yang lebih baik demi kehidupan yang lebih baik.15 Faktor lainnya adalah industrialisasi dan perkembangan perekonomian yang demikian cepat yang memicu iklim persaingan usaha yang meningkat tajam.16 Sehingga perusahaan dituntut untuk memberikan pelayanan yang serba lebih baik, akan tetapi dengan biaya yang lebih murah sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Menurut Robert Cooter yang dikutip Iftida Yasar,17 memang sudah menjadi sifat pengusaha untuk terus melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha. Akibatnya banyak perusahaan yang mengubah struktur manajemen perusahaan mereka agar menjadi lebih efektif dan efisien, serta biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam melakukan kegiatan produksinya lebih kecil. Dimana dalam mengatualisasikan semuanya itu, banyak pengusaha yang berhitung rasional untuk mempekerjakan buruh tanpa harus mengangkatnya sebagai karyawan tetap18 atau dengan kata lain mempekerjakan pekerja/buruh dengan sistem perjanjian kerja untuk waktu tertentu (selanjutnya disebut: PKWT). 15 16 17 18
Iftida Yasar, 2012, Outsourcing Tidak Akan Bisa Dihapus, PT Pelita Fikir Indonesia, Jakarta, hlm. 49. Andito Suwignyo, op.cit., hlm. 49. Iftida Yasar, Op.cit., hlm. 32. Andito Suwignyo, Loc.cit..
8
Dengan menerapkan sistem PKWT tersebut, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk suatu pekerjaan menjadi lebih kecil atau dapat ditekan, karena perusahaan tidak harus memiliki tenaga kerja/pekerja dengan sistem perjanjian kerja waktu tidak tertentu (selanjutnya disebut: PKWTT) atau yang lazim disebut karyawan tetap dalam jumlah yang banyak. Penggunaan pekerja/buruh dengan sistem
PKWT
merupakan
keinginan
pengusaha
untuk
memaksimalkan
fleksibelitas (mudah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja kapan saja) atau sebagai upaya pencarian alternatif yang murah karena tingginya tuntutan pasar.19 Sebagaimana diketahui apabila perusahaan memiliki pekerja PKWTT yang banyak, maka beban upah juga akan semakin besar dan juga perusahaan harus memberikan berbagai tunjangan untuk kesejahteraan para pekerja, seperti tunjangan pemeliharaan kesehatan dan kecelakaan kerja dengan kualitas baik secara berjenjang, tunjangan perumahan, tunjangan keluarga, tunjangan kematian, tunjangan pensiun, tunjangan pesangon, tunjangan penghargaan masa kerja, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam konteks pekerja/buruh dengan sistem PKWT, umumnya mereka tidak menikmati keistimewaan kerja sebagimana dimiliki oleh pekerja tetap/PKWTT.20 Sebenarnya tidak ada larangan bagi setiap pemberi kerja untuk menerapkan PKWT bagi pekerja/buruhnya, karena semua itu sudah diatur secara jelas dan tegas oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
19 20
Fons Vannieuwenhuyse (penterjemah: Indah saptorini), 2008, Panduan ICEM Tentang Pekerja Kontrak & Outsourcing, Switzerland, hlm. 7. Heri Nugroho dan Indrasari Tjandraningsih, Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara, Jurnal Kajian Perburuhan SEDANE, Vol. 4, No. 1, 2007, hlm.18.
9
2003 Tentang Ketenagakerjaan dikenal dua bentuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu.21 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubunga kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.22 PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.23 Secara umum orang menyebut karyawan yang bekerja berdasarkan PKWT sebagai karyawan kontrak, sedangkan orang yang bekerja berdasarkan PKWTT sebagai karyawan tetap.24 Namun demikian, yang menimbulkan permasalahan di lapangan yakni banyaknya terjadi pelanggaran, degradasi hak, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap pekerja/buruh dalam sistem PKWT. Hampir kesemua bentuk penyimpangan tersebut terjadi karena PKWT yang dilaksanakan tidak sesuai atau bahkan tidak mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang sudah barang tentu pada akhirnya pekerja/buruh yang dirugikan atas penyimpangan tersebut. Alhasil, Praktik-praktik yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang ini merupakan salah satu dari tuntutan buruh pada saat melakukan demonstrasi besar-besaran.25
21 22
23 24 25
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan , Op.cit., Pasal 56 ayat (1). Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/ tentang Ketentuan Pelaksana Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pasal 1 angka 1. Ibid., Pasal 1 angka 2. Iftida Yasar, 2013, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, Pohon Cahaya, Yogyakarta, hlm. 26. Tim Kontan, 2006, Ada Apa Dengan Buruh, Majalah Kontan Vol. II/EDISI XXIII, 07-20 Mei 2006, Jakarta, hlm. 9.
10
Apabila dicermati secara seksama, maka dapat ditemukan bahwa praktek penyimpangan PKWT terjadi karena setidaknya ada 6 (enam) alasan, yakni: Pertama, adanya perbedaan penafsiran antara pekerja/buruh dan pemberi kerja dalam memandang peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait PKWT. Kedua, ketidaktahuan pemberi kerja atas peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait PKWT. Ketiga, ketidaktahuan pekerja/buruh atas peraturan perundang-undangan
yang
berlaku
terkait
PKWT.
Keempat,
adanya
ketidakpatuhan atau etikat buruk dari pemberi kerja dalam menerapkan sistem PKWT. Kelima, adanya celah hukum atas peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait PKWT. Keenam, adanya kekosongan hukum atas peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait PKWT. Selain hal tersebut, yang tidak kalah penting yang mendasari banyaknya terjadi penyimpangan praktek PKWT adalah tidak optimalnya peran dan fungsi pengawasan Kementrian Tenagakerja dan Transmigrasi dan Dinas Tenagakerja diseluruh Indonesia dalam melakukan perlindungan terhadap pekerja/buruh dan penegakkan hukum
atas penyimpangan yang terjadi. Padahal pengawas
ketenagakerjaan merupakan salah satu pihak yang bertanggungjawab dalam menegakkan hukum ketenagakerjaan. Hal ini terlihat dari tugas ideal pengawas ketenagakerjaan
yang
melaksanakan
pengawasan
dalam
memperhatikan
keselarasan hubungan antara peraturan dan pelaksanaan di lapangan.26 Dilain sisi, memang kaum pekerja/buruh berharap Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi di
26
Luthvi Febryka Nola, 2012, Penegakan Hukum di Indonesia, Pusat Kajian Pengelohan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 65.
11
wilayah terkait dapat melindungi mereka dari perlakuan sewenang-wenang pengusaha.27 Menghadapi realita tersebut, peran Pemerintah diperlukan untuk melakukan campur tangan dengan tujuan mewujudkan perburuhan yang adil melalui peraturan perundang-undangan. Pemerintah harus menindak tegas kepada setiap perusahaan yang melanggar aturan dibidang ketenagakerjaan.28 Namun demikian , hal yang juga sangat penting utuk ditelah dan cermati secara seksama adalah apakah terjadinya ketidakadilan, degradasi hak, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap pekerja/buruh dalam sistem PKWT hanya semata-mata penyimpangan atas ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan semata? Atau apakah pada dasarnya norma dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan benar-benar sudah memberikan perlindungan hukum kepada pekerja/buruh dalam sistem PKWT? Atau melindungi kepentingan pengusaha? Menurut Todung Mulya lubis,29 sudah menjadi pemahaman klasik bahwa hukum adalah produk politik. Demikian juga Moh. Mahfud Md,30 juga menyatakan bahwa hukum sebagai produk politik. Konfigurasi politik yang demokratis melahirkan hukum yang progresif, sedangkan konfigurasi poltik yang otoriter melahirkan hukum yang ortodoks.31 Selain itu, dalam mencari gambaran
27
Andito Suwignyo, Op.cit., hlm. 60. Dinar Wahyuni, Posisi Pekerja Outsourcing Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, ASPIRASI - Jurnal Masalah-Masalah Sosial, Vol. 2, No. 2, Desember 2011, hlm. 226. 29 Todung Mulya lubis, Menuju Hukum Responsif: Indonesia di Persimpangan Jalan, Jurnal Konstitusi Pusat studi hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Vol. I, No.1, November, 2010. Hlm. 31. 30 Moh.Mahfud Md, 2012, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.4. 31 Ibid., hlm 8. 28
12
jawaban atas pertanyaan apakah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang saat ini berlaku, khususnya mengenai PKWT melindungi kepentingan pekerja/buruh?
Apakah hukum Indonesia sudah menjadi hukum
yang berkarakter responsif/otonom? Todung Mulya lubis mengatakan:32 “rasanya sulit dipungkiri bahwa produk hukum kita cenderung memenuhi kriteria-kriteria hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks daripada yang berkarakter responsif/otonom. Betapa banyak Undang-Undang kita dalam 12 tahun terakhir yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan, meski pemegang kekeuasaan dominan disini tidak lagi mesti melulu pihak eksekutif. Betapa banyak UndangUndang kita dalam 12 tahun terakhir ini yang minus partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Betapa banyak partisipasi dan penyerapan aspirasi dalam pembuatan sebuah Undang-Undang yang hanya formalitas saja. Betapa banyak Undang-Undang kita dalam 12 tahun terakhir ini yang sangat bersifat open interpretation dengan bahasa yang mengambang.” Penulis percaya bahwa, hasil dari penelitian ini akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan publik untuk meninjau kembali atau bahkan mereformasi sistem PKWT yang ada, karena kepincangan-kepincangan yang ada menimbulkan dampak yang cukup luas bagi masyarakat khususnya masyarakat pekerja/buruh dan dunia usaha serta upaya penegakan hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Berdasarkan masalah – masalah yang diuraiakan diatas, maka penulis tertarik
untuk
melakukan
penelitian
yang
berjudul:
Tinjauan
Yuridis
Perlindungan Hukum Bagi Pekerja/Buruh Dalam Sistem Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
32
Todung Mulya lubis, Op.cit., hlm. 36.
13
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang penulis rumuskan dalam tesis ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah dinamika penormaan sistem perjanjian kerja untuk waktu tertentu dalam
pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan? 2.
Apakah pengaturan perjanjian kerja untuk waktu tertentu di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan secara tekstual sudah memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Objektif penelitian yang penulis lakukan secara umum adalah untuk menganalisis secara yuridis perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dalam sistem PKWT berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Tujuan
secara
khusus
adalah
untuk
menjawab
permasalahan yang telah penulis uraikan diatas, yaitu : a. Untuk mengetahui dinamika penormaan sistem perjannjan kerja untuk waktu tertentu dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. b. Untuk
menganalisis
secara
tekstual
perlindungan
hukum
bagi
pekerja/buruh dalam sistem perjannjan kerja untuk waktu tertentu berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
14
2.
Tujuan Subjektif adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Penelitian yang penulis lakukan pada tesis ini, diharapkan dapat
menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. 2.
Manfaat Praktis Penelitian yang penulis lakukan pada tesis ini, diharapkan tidak hanya
bersifat teoritis, tapi juga manfaat praktis dalam bentuk untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai tinjauan yuridis perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dalam sistem PKWT berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan.
Dengan
demikian
diharapkan
pekerja/buruh dalam sistem PKWT dan pemberi kerja mengetahui hakikat dan aturan sitem PKWT yang pada gilirannya pekerja/buruh serta pemberi kerja dapat saling mengetahui dan menunaikan hak dan kewajibanya masing – masing. Selain itu juga tesis ini diharapkan diharapkan melalui data-data yang dikumpulkan baik berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku maupun pendapat-pendapat ahli hukum dapat memberikan masukan yang berarti untuk menjawab permasalahan yang ada. Nantinya dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan publik untuk pembentukan Undang-Undang ataupun perubahan Undang-Undang dalam rangka
15
pembentukan hukum nasional di bidang hukum ketenagakerjaan.
E. Keaslian Penelitian Pada dasarnya pembahasan mengenai Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan juga mengenai PKWT sudah sering dibahas oleh para ahli hukum, baik dalam buku-buku maupun dalam skripsi, tesis, disertasi ataupun seminar-seminar. Namun demikian, pembahasan mengenai Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan juga mengenai PKWT tersebut hanya pembahasan yang bersifat umum ataupun hanya seputar implementasi norma-norma diakaitkan dengan realitas lapangan. Sebagai contoh tesisnya Bagus Prasetyo, yang berjudul Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan di PT. Hasanah Graha Afiah (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011) ataupun tesisnya R. Soedarmoko, yang berjudul Perlindungan Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Sejak Berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
(Tesis Magister Kenoktariatan Universitas Diponogaro,
Semarang, 2008). Tesis yang penulis bahas merupakan kajian spesifik dari perspektif hukum (teks Undang-Undang) tentang perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dalam sistem PKWT berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan hal tersebut, sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil
16
penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Gajah Mada, ternyata belum ada yang secara spesifik melakukan penelitan atau membuat karya ilmiah tentang tinjauan yuridis perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dalam sistem perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Oleh karena itu, sangatlah tepat apabila penulis melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan sebagai refrensi yang dikutip dengan tetap mencantukan sumber kutipan untuk penyempurnaan tulisan ini. Dengan demikian, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.