BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sleman mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi 4,49%. Penurunan ini disebabkan terjadinya erupsi merapi. Namun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sleman ini kembali meningkat pada tahun 2011 menjadi 5,19%. Peningkatan ini karena kinerja sektor ekonomi terutama yang terkena dampak erupsi merapi tahun 2010 seperti sektor pertanian dan perdagangan, hotel serta restoran mulai pulih kembali. Pertumbuhan ekonomi ini terus berlanjut hingga tahun 2012 dan 2013 menjadi masing-masing 5,20% dan 5,34%. Seperti halnya perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) di kotakota besar yang menunjukan terjadinya pertumbuhan, pedagang kaki lima di Kabupaten Sleman juga tidak luput dari kecenderungan pertumbuhan pedagang kaki lima. Pertumbuhan pedagang kaki lima di Kabupaten Sleman pada umumnya diakibatkan pada sempitnya lapangan pekerjaan formal yang tersedia.
Keadaan
ini
diperburuk
dengan
adanya
krisis
ekonomi
berkepanjangan telah menyebabkan banyaknya perusahaan yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap para karyawannya. Dengan semakin kecilnya peluang kerja di perusahaan-perusahaan tersebut membuat sektor informal seperti pedagang kaki lima semakin berkembang dengan
1
2
memanfaatkan ruang-ruang kota yang ada seperti trotoar, badan jalan dan beberapa ruang terbuka umum (public space). Pada pertumbuhan sektor informal seperti pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk elastisitas masyarakat dalam upaya untuk mendapatkan penghasilan dan menafkahi keluarga. Akan tetapi jika perkembangannya tidak direncanakan dan ditempatkan pada lokasi yang tepat akan menimbulkan permasalahan sosial seperti ketidakteraturan wajah kota, kemacetan lalu lintas, penumpukan sampah dan masalah-masalah lainnya. Adanya aspek larangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah kota/kabupaten sering tidak semua dipahami, seperti soal penggunaan trotoar. Jika hanya terdapat satu atau dua pedagang kaki lima yang berada ditrotoar, mungkin belum terasa ruwetnya pemandangan disekitar tempat tersebut. Namun jika pedagang kaki lima sudah menjamur dan memenuhi badan trotoar maka akan kelihatan sesak dan korbannya adalah para pejalan kaki. Mereka harus rela tidak melewati trotoar yang semestinya trotoar tersebut berfungsi untuk pejalan kaki. Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan. Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, maka mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari menejemen lalu lintas adalah berusaha untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap
3
aksesibilitas dengan pembangunan trotoar menurut Jane Jacobs (1961:35), sebuah jalan raya seharusnya memiliki jalan untuk kendaraan bermotor, jalur sepeda (bicycle lane) dan jalur pejalan kaki (sidewalk). Jalur pejalan kaki seringkali keberadaannya menjadi tidak efektif karena adanya aktivitasaktivitas lain seperti untuk berdagang/berjualan di jalur pejalan kaki tersebut. Secara tidak langsung Jane Jacobs (1961:36) menyatakan bahwa dengan struktur sosial yang jelas dan harmonis, suatu jalan yang ideal akan terbentuk dengan sendirinya, jika para aktor pengguna jalan memperhatikan keberadaan ketiga fungsi jalan tersebut. Di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004 tentang Pedagang Kaki Lima, Bab II tentang Lokasi Pedagang Kaki Lima, diatur sebagai berikut: BAB II LOKASI PEDAGANG KAKI LIMA Pasal 2 (1) PKL dapat melakukan kegiatan usahanya pada lokasi tertentu yang ditetapkan oleh Bupati. (2) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukkan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mempertimbangkan kepentingan umum, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi, keamanan, dam ketertiban. (3) Bupati dalam menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melibatkan paguyuban PKL dan atau masyarakat di sekitar lokasi PKL. Pasal 3 Kegiatan Usaha PKL yang dilakukan diluar lokasi yang telah ditetapkan akan dikenakan penertiban oleh Pemerintah Kabupaten.
4
Meskipun dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004 tersebut sudah dicantumkan adanya sanksi, namun pelanggaran terhadap ketentuan lokasi PKL Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004 sering tidak dihiraukan atau bahkan dilanggar oleh PKL di Kabupaten Sleman. Adapun sanksi yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004 sebagai berikut :
(1)
(2) (3)
(1)
(2) (3)
Pasal 12 PKL yang telah memperoleh izin lokasi PKL diberikan peringatan secara tertulis apabila: a. melakukan kegiatan usaha tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang telah diperolehnya; b. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan 11. Peringatan tertulis diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) minggu. Peringatan tertulis dikeluarkan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 13 Izin Lokasi PKL dicabut apabila: a. ada permintaan sendiri dari pemegang izin untuk menutup kegiatannya; b. izin diperoleh atas data yang tidak benar/dipalsukan oleh PKL yang bersangkutan; c. PKL yang bersangkutan tidak melakukan perbaikan setelah mendapatkan peringatan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal 12; d. terdapat keberatan dari pemilik atau kuasa hak atas bangunan/tanah yang berbatasan langsung dengan jalan atau fasilitas umum pada lokasi usaha PKL terhadap berlangsungnya kegiatan usaha PKL; dan e. terdapat keberatan dari masyarakat sekitar lokasi usaha PKL atas kegiatan usaha PKL. Pelaksanaan pencabutan izin lokasi PKL disertai dengan penutupan tempat usaha. Pencabutan izin lokasi PKL dan penutupan tempat usaha dikeluarkan oleh Bupati.
5
Paragraf 2 Sanksi Bagi PKL Yang Tidak Memiliki Izin Pasal 14 (1) Setiap kegiatan usaha PKL yang tidak memiliki izin diberi peringatan secara tertulis. (2) Peringatan tertulis diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) minggu. (3) Peringatan tertulis dikeluarkan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 15 Lokasi PKL dibongkar apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan ketentuan yang berlaku setelah melalui proses peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 14. Meskipun dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004 terdapat larangan dan sanksi untuk berjualan di luar lokasi yang telah ditentukan, namun masih banyak pedagang kaki lima yang masih berjualan di lokasi-lokasi terlarang sebagaimana halnya Jalan Colombo yang merupakan lokasi yang terlarang untuk pedagang kaki lima. Begitu juga dengan keberadaan PKL di Kabupaten Sleman khususnya di kawasan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). PKL di kawasan UNY merupakan tenaga kerja yang sebenarnya tidak mempunyai keterampilan dan mempunyai modal kecil dan berusaha mempertahankan hidup di tengah ganasnya kehidupan kota. Dari sinilah PKL berkembang pesat sehingga memadati ruas-ruas jalan tempat utama lalu-lalangnya masyarakat perkotaan di kawasan UNY. Para pengguna jalan di kawasan ini sering mengalah, mereka terkadang berjalan bukan di trotoar melainkan di pinggir jalan raya, karena para pedagang kaki lima ini menjajakan barang dagangannya terlalu banyak
6
memakan badan jalan. Hal ini tentu sangat mengganggu kenyamanan para pengguna jalan yang hendak berlalu lalang di trotoar dan jalan tersebut, dan juga dapat membahayakan pejalan kaki apabila berjalan di jalan raya, yang dipenuhi oleh kendaraan yang sedang melaju kencang. Mengenai penentuan lokasi berdagang, PKL memilih tempat-tempat strategis yang dekat dengan para konsumen seperti kawasan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Universitas Negeri Yogyakarta merupakan Universitas yang berkembang menjadi kawasan terpadu dengan didukung adanya pelayanan pendidikan, olahraga, serta perdagangan. Terlebih Universitas Negeri Yogyakarta saat semakin melebarkan sayap dengan perluasan area dan pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. PKL pun menjamur di sekitar kawasan tersebut, padahal sebagai Universitas yang memberikan pelayanan pendidikan, kawasan tersebut menuntut kondisi yang steril atau bersih baik dari segi sosial ataupun fisik kawasan. Visual kemegahan Universitas Negeri Yogyakarta seakan ternodai dengan keberadaan PKL. Selain itu, keberadaannya yang berlokasi secara linier di sepanjang jalan di sekitar pintu masuk Universitas Negeri Yogyakarta menimbulkan berbagai masalah, di antaranya: kemacetan, kesan tidak teratur semrawut, dan penumpukan aktivitas. Perkembangan PKL yang paling pesat berlokasi di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti diketahui bahwa hingga saat ini pada jalan tersebut telah terdapat sekitar 60 PKL. Banyaknya jumlah PKL yang berdagang di kawasan UNY mendorong para PKL untuk mampu
7
bersaing dengan pedagang lainnya. Oleh karena itu, para PKL harus memperhatikan kemajuan bisnisnya. Bisnis skala kecil maupun besar harus menjaga kualitas produksi barang dan kepuasan konsumen akan barang dagangannya. Semakin lama persaingan bisnis semakin banyak, baik yang sama jenis usahanya maupun yang berbeda. Seorang pedagang harus mempunyai strategi bisnis untuk bisa tetap menjalankan bisnisnya. Meskipun dalam bisnis ini banyak persaingan serta hambatan yang beraneka ragam, namun bagaimana seorang pedagang beretika untuk menjalankan bisnisnya (Pengamatan langsung pada tanggal 5 November 2013). Fenemona keberadaan pedagang kaki lima tersebut tentunya merupakan suatu realita saat ini, bersamaaan dengan tumbuh dan berkembangnya geliat perekonomian dan juga perkembangan masyarakat di suatu kota/daerah. Hak-hak mereka untuk mendapatkan rejeki yang halal di tengah sulitnya mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan tentunya tidak bisa dikesampingkan. Kehadiran mereka bermanfaat bagi masyarakat luas terutama bagi yang sering memanfaatkan jasanya. Namun keberadaan pedagang kaki lima memunculkan permasalahan sosial dan lingkungan berkaitan dengan masalah kebersihan, keindahan dan ketertiban suatu kota. Ruang-ruang publik yang seharusnya merupakan hak bagi masyarakat umum untuk mendapatkan kenyamanan baik untuk berolah raga, jalan kaki maupun berkendara menjadi terganggu. Cross (dalam Ardianto, 2009:3) dan Ndhlovu (2011: 8) menyatakan bahwa kegiatan perdagangan informal seperti kaki lima sulit dihentikan
8
karena adanya perbedaan yang mencolok antara daya beli masyarakat dengan harga jual komoditas yang dihasilkan oleh kegiatan perdagangan formal. Geertz (dalam Adianto, 2009:3) menjelaskan bahwa aspek bahwa kegiatan perdagangan jenis ini berusaha menjalin hubungan jual-beli secara personal melalui harga komoditas yang fleksibel. McGee (dalam Ardianto, 2009:3) menambahkan,
selain
aspek
perbedaan
tersebut,
penyebab
utama
berkembangnya jenis perdagangan informal karena kebebasan pedagang untuk menentukan pendapatannya dan waktu bekerja. Perbedaan tidak dapat dihindari karena polarisasi dalam masyarakat terjadi atas dasar perbedaan tingkat ekonominya. Keberadaan perbedaan ini memang tidak dapat disatukan namun harus diwadahi agar dapat terjalin hubungan simbiosismutualisme, bukan simbiosis parasitisme. Masalah kegiatan ekonomi pedagang kaki lima juga muncul oleh adanya dualisme prinsip perdagangan. Bocke (dalam Ardianto, 2009:3) menyatakan bahwa prinsip kapitalisme modern yang bertujuan mencari keuntungan maksimal dan prinsip ekonomi tradisional seperti tidak terlalu memperhatikan tingkat keuntungan karena kegiatan perdagangan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial, digunakan secara bersamaan oleh masyarakat Indonesia. Dualisme inilah yang menyebabkan para pelaku kegiatan perdagangan terus mencari pasaran yang menguntungkan (bergerak dinamis) dengan membawa komoditas ke tangan konsumen terakhir. Pergerakan tersebut merupakan wujud prinsip kapitalisme modern dan pertukaran artifak dengan konsumen terakhir sebagai wujud penjalinan
9
hubungan sosial dengan sesamanya. Selain itu, Jacobs (dalam Ardianto, 2009:4) menyatakan bahwa teori invisible hands yang dicetuskan oleh Adam Smith juga berlaku bahkan terkadang mampu mengendalikan aspek pasar pada pedagang kaki lima. Problematika pedagang kaki lima ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari waktu ke waktu sehingga dalam satu bulan saja media massa tidak bisa bersih dari isu pedagang kaki lima. Persoalan pedagang kaki lima merupakan persoalan yang saling terkait dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan pedagang kaki lima yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah bisa memunculkan persoalan baru yang jauh lebih rumit. Kericuhan sering terjadi saat penertiban karena adanya warga yang menentang penggusuran. Peristiwa penertiban yang berakhir dengan munculnya perlawanan dan jatuh korban, semakin mengkukuhkan bahwa kaum pinggiran merupakan artefak kota yang ada saat ini. Persoalan pedagang kaki lima di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah daerah, baik kabupaten maupun kota bertanggungjawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, pemerintah daerah membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat (Swanson, 2007: 714). Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemerintah tetunya lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata pedagang kaki lima.
10
Karena itu, kebijakan yang tidak populer dan kontroversial ini menjadi kebijakan yang kontra produktif dan cenderung sepihak. Seperti misalnya ketika pada tahun 2007-2008, Pemerintah Kabupaten Sleman menetapkan relokasi secara sepihak terhadap PKL di sepanjang Jalan Colombo. Mereka hendak dipindahkan ke daerah Telogorejo dan Monjali. Akibatnya puluhan PKL Samirono Abadi menggelar unjuk rasa dengan memblokir jalan dan merusak taman. Dalam aksinya yang berlangsung pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2008 di Jalan di Colombo, Yogyakarta, mereka membakar ban bekas di tengah jalan. Aksi blokir jalan yang hanya berlangsung sekitar 15 menit itu mengakibatkan arus lalu lintas di kawasan tersebut mengalami kemacetan cukup panjang. Pada saat yang sama, para PKL tersebut juga menuntut dialog dengan Bupati Sleman. Namun sayang, tuntutan tersebut tidak dipenuhi oleh Bupati Sleman. Melihat kenyataan demikian, sebagaimana diberitakan pada harian Jawa Pos tanggal 19 Januari 2008 bahwa Pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Samirono tetap pada pendiriannya. Mereka tetap bertekad berjualan di kawasan yang berada di depan kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu. Bahkan, mereka menolak proses relokasi yang sebelumnya sudah disetujui. Para PKL tetap menjalankan aktivitasnya dengan menggelar lapak untuk jualan di depan Kampus UNY (Harian Jawa Pos, tanggal 19 Januari 2008). Hingga saat ini persoalan PKL di sepanjang Jalan Colombo masih menyisakan masalah, mereka masih tetap saja berjualan di sepanjang Jalan Colombo.
11
Realitasnya, penertiban yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sleman di atas justru menimbulkan resistensi pedagang kaki lima untuk bertahan Resistensi yang peneliti maksudkan disini merupakan langkah perlawanan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima dalam rangka mempertahankan
diri
mereka
dari
kebijakan
yang
dianggap
tidak
mengakomodir kepentingannya. Resistensi pedagang kaki lima pada umumnya menunjukan pada posisi sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, menentang atau upaya oposisi. Pada umumnya sikap pedagang kaki lima ini tidak berdasarkan atau merujuk pada paham yang jelas.
Pola
resistensi
ini
tentunya
dapat
mengakibatkan
lunturnya
keberlangsungan hubungan positif antara pemerintah kota dengan pedagang kaki lima. Diperlukan persamaan makna dan pengakomodiran mengenai pola resistensi pedagang kaki lima agar tidak berdagang di lokasi yang dilarang seperti di sepanjang Jalan Colombo. Sampai sekarang larangan untuk berjualan di sepanjang jalan Colombo, khususnya disekitar Universitas Negeri Yogyakarta masih diberlakukan. Hal itu dapat dibuktikan masih adanya plang larangan berjualan, yang dipasang di depan Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.1 berikut ini:
12
Gambar 1.1 Plang Dilarang Berjualan di Depan Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan (gambar diambil tanggal 5 November 2013) Akan tetapi para pedagang kaki lima masih tetap berjualan di sekitar Jalan Colombo tanpa menghiraukan plang tersebut, bahkan plang yang seharusnya ditaati malah dicoret-coret sehingga plang tersebut menjadi kotor dan tidak terawat, seperti terlihat pada gambar 1.2 berikut:
Gambar 1.2 Plang Dilarang Berjualan di Jalan Colombo yang DicoratCoret (gambar diambil tanggal 5 November 2013) Keberadaan pedagang kaki lima di Jalan Colombo makin ke timur, semakain padat hingga lampu merah yang terdapat di ujung Jalan Colombo.
13
Gambar 1.3 Kondisi Jalan Colombo pada Siang Hari (gambar diambil tanggal 5 November 2013) Gambar 1.3 menunjukan tidak hanya adanya resistensi pedagang kaki lima terhadap plang dilarang berjualan, akan tetapi terlihat bahwa pedagang kaki lima tersebut semakin memakan hampir sepertiga bahu jalan. Ini sangat membahayakan bagi konsumen yang ingin berbelanja. Selain itu dengan adanya pedagang kaki lima tersebut membuat sempit jalur kendaraan bermotor yang seharusnya dapat dimaksimalkan dengan semakin ramainya pengendara di Jalan Colombo. Hal ini menunjukkan perlawanan atau resistensi pedagang kaki lima di Jalan Colombo terhadap peraturan pemerintah semakin nyata. Prilaku
resistensi
tersebut
semakin
menguat
seiring
dengan
meningkatnya kesadaran pedagang kaki lima, derasnya arus informasi, serta sikap terbukanya pedagang kaki lima untuk mengekspresikan sikapnya secara lebih leluasa setelah terkungkung rezim otoritas (Manan, 2005: 3); Ford dan Ford, 2010: 30).
14
Oleh karena itu, fenomena resistensi ini cukup menarik ditinjau dari perspektif sosiologi karena terkait relasi antara aparat dan masyarakat yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan Colombo. Asumsi yang melandasi penelitian ini bahwa Era Reformasi telah mendorong pedagang kaki lima memanifestasikan ketidaksetujuannya dalam peraturan yang mengatasnamakan ketertiban yang menghalanginya untuk dapat berdagang bebas melalui berbagai bentuk resistensi. Dalam konteks ini, aparat dapat dipandang sebagai pemilik otoritas dan berhadapan dengan pedagang kaki lima yang harus tunduk kepada pemegang otoritas (Dahrendorf dalam Johnson, 2005: 185; Swanson, 2007: 711). Namun demikian pedagang kaki lima sebagai pihak yang tidak memiliki otoritas atau kekuasaan pun dapat melakukan resistensinya dalam berbagai bentuk sesuai dengan sumber daya dan kemampuan yang dimilikinya (Scott, 2003: 303). Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini yaitu pengaturan dan penertiban di Jalan Colombo dari pedagang kaki lima yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004, mendapat perlawanan dari pedagang kaki lima. Perlawanan pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Colombo terhadap Peraturan Daerah tersebut disebut sebagai resistensi pedagang kaki lima di sepanjang jalan colombo. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti dalam bentuk tesis dengan judul: “Resistensi Pedagang Kaki Lima yang Berdagang di Sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta”.
15
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini dikemukakan dalam bentuk research questions sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk dari resistensi pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta? 2. Aspek-aspek apa saja yang menyebabkan resistensi pedagang kaki lima untuk terus berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, menghubungkan dan memprediksi atas suatu kejadian. Setiap penelitian yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Jadi, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk dari resistensi pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis aspek-aspek yang menyebabkan resistensi pedagang kaki lima untuk terus berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta.
16
1.3.2
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terbagi dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Adapun penjelasan manfaat tersebut yaitu: 1. Manfaat Teoritis Studi ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang sosiologi, khususnya dalam pendekatan terhadap masalah resistensi pedagang kaki lima untuk terus berdagang di tempat yang dilarang untuk berdagang. 2. Manfaat Praktis Studi ini diharapkan pula dapat menjadi salah satu masukan sebagai arahan dalam penataan kawasan perdagangan secara menyeluruh, sehingga akan terwujud Jalan Colombo yang tertib, bersih dan indah serta semua stakeholder kota akan merasa nyaman melewati jalan tersebut.
1.4 Keaslian Penelitian Penelitian dengan subjek Pedagang Kaki Lima (PKL) memang telah beberapa kali dilakukan. Namun penelitian yang khusus mengkaji tentang makna di balik resistensi pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta belum pernah dilakukan perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, disamping subyek penelitian yaitu pedagang kaki lima di depanjang Jalan Colombo, juga terletak pada substansi dan waktu penelitian, yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Berangkat dari pemahaman demikian, penulis menganggap penelitian ini layak untuk dilanjutkan, dan keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan. Hanya
17
saja karena penelitian dengan subjek Pedagang Kaki Lima (PKL) sudah pernah dilakukan, tidak terlepas kemungkinan beberapa referensi dan literatur yang digunakan berasal dari sumber yang sama.
1.5 Tinjauan Teoritis 1.5.1 Pedagang Kaki Lima 1.5.1.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima Fenomena meningkatnya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan urbanisasi terjadi karena masing-masing kota mempunyai daya tarik tersendiri bagi para migran. Urbanisasi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam proses pembangunan ekonomi. Keadaan itu cenderung memunculkan masalah tenaga kerja, baik pengangguran maupun setengah pengangguran di desa disertai dengan meluasnya kegiatan sektor informal di kota (Effendi, 1992: 41). Keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh para urban/pendatang menyebabkan mereka lebih memilih pada jenis kegiatan usaha yang tidak terlalu menuntut pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Pilihan mereka jatuh pada sektor informal yaitu pedagang kaki lima atau sebagai pedagang asongan. Menurut McGee dan Yeung (2007: 25), pedagang kaki lima atau PKL mempunyai pengertian yang sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang
merupakan ruang untuk kepentingan umum,
18
terutama di pinggir jalan dan trotoar. Oleh karena tidak tersedianya ruang informal kota bagi PKL, maka PKL menggunakan ruang publik, seperti badan jalan, trotoar, taman kota, di atas saluran drainase, kawasan tepi sungai untuk melakukan aktivitasnya. Penggunaan ruang publik tersebut biasanya terjadi di tempat-tempat strategis seperti di antara aktivitas formal kota (Swanson, 2007: 711). Dalam pandangan Rachbini (1991), para pedagang kaki lima (PKL) yang
menjajakan
barang
dagangannya
di
berbagai
sudut
kota
sesungguhnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong marjinal dan tidak berdaya. Dikatakan marjinal sebab mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan ditelikung oleh kemajuan kota itu sendiri. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka biasanya tidak terjangkau dan tidak terlindungi oleh hukum, posisi tawar (bargaining position) mereka lemah dan acapkali menjadi obyek penertiban dan penataan kota yang tak jarang bersikap represif (dalam Alisjahbana, 2006: 1-2). Istilah pedagang kaki lima berasal dari jaman pemerintahan Rafles Gubernur jenderal Kolonial belanda yautu dari kata five feet yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan penjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (Widjajanti, 2000: 26). Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sector informal yang tumbuh dalam perubahan struktur perkotaan baik dari segi ekonomi dan sosial. Oleh karenanya dalam pembahasan mengenai pedagang kaki lima
19
tidak akan terpisah dari pembahasan sector informal. Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu diterapkan dalam sebuah laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Menurut Ahmad (2002:73) sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, temapt tidak tetap berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan. Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti berpendapat bahwa pedagang kaki lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung
berpindah-pindah
dengan
kemampuan
modal
yang
kecil/terbatas, dalam melakukan usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal.
20
1.5.1.2 Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977: 82-83), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Adapun jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok utama , yaitu: 1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk didalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran. 2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauknya dan juga minuman. 3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. 4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut dan lain sebagainya.
1.5.1.3 Bentuk Sarana Perdagangan dari Pedagang Kaki Lima Bentuk sarana perdagangan yang dipergunakan oleh para PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977: 82-83) di kotakota di Asia Tenggara diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL
21
menurut Waworoentoe (1973, dalam Widjajanti, 2000: 39-40) adalah sebagai berikut: 1. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok. 2. Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat. 3. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman. 4. Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen, yang mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal di tempat
22
tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static). 5. Jongko/meja, sarana berdagang yang menggunakan meja jongko dan beratap, sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap. 6. Gelaran/alas, PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk
menjajakan
dagangannya.
Berdasarkan
sarana
tersebut,
pedagang ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semi static). Umumnya dapat dijumpai pada PKL yang berjualan barang kelontong dan makanan.
1.5.1.4 Aspek dan Karakteristik Pedagang Kaki Lima Menurut Firdausy (1995: 36), mendeskripsikan aspek, pedagang kaki lima sebagai berikut: 1. Aspek Ekonomi: PKL merupakan kegiatan ekonomi skala kecil dengan modal relatif minim. Aksesnya terbuka sehingga mudah dimasuki usaha baru, konsumen lokal dengan pendapatan menengah ke bawah, teknologi sederhana/tanpa teknologi, jaringan usaha terbatas, kegiatan usaha dikelola satu orang atau usaha keluarga dengan pola manajemen yang relative tradisional. Selain itu, jenis komoditi yang diperdagangkan cenderung komoditi yang tidak tahan lama, seperti makanan dan minuman. 2. Aspek Sosial-Budaya: sebagian besar pelaku berpendidikan rendah dan migran (pendatang) dengan jumlah anggota rumah tangga yang besar. Mereka juga bertempat tinggal di pemukiman kumuh.
23
3. Aspek Lingkungan: kurang memperhatikan kebersihan dan berlokasi di tempat yang padat lalu lintas. Karakteristik kehidupan PKL sangat rentan, mereka tidak bisa mengambil resiko untuk tidak berdagang dalam waktu lama karena penghasilan yang diperoleh sangat bergantung pada hasil dagangan harian. Artinya faktor kesehatan mereka dapat mengakibatkan mereka kehilangan penghasilan. Besarnya resiko tersebut mendorong PKL untuk cenderung hidup hemat dan harus memanfaatkan waktu luang untuk kegiatan produktif (Parthasarathy, 2009: 17). Mereka tidak boleh mengambil resiko dengan hidup royal dan santai. Khususnya PKL pendatang, penghasilan yang diperoleh harus dihemat agar bisa dipergunakan untuk membiayai sewa/kontrakan di kota, membiayai kebutuhan hidup keluarga di desa, membayar pinjaman/utang, dan juga untuk ditabung atau keperluan lainnya.
1.5.2 Teori Resistensi 1.5.2.1 Pengertian Resistensi Resistensi berarti perlawanan. Resistensi (perlawanan) sebenarnya merupakan tindakan dilakukan oleh masyarakat lemah yang berada pada struktur bawah terhadap pihak kuat yang berada pada struktur atas/penguasa. Hubungan di antara satu pihak yang lemah (masyarakat) dan pihak yang lain yang kuat (penguasa) menurut Bernard dan Spencer (2005: 489) sesungguhnya berada pada suatu hubungan kekuasaan yang
24
tidak seimbang. Resistensi juga merupakan gerakan atau perlawanan yang terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap sesuatu hal (Alisyahbana, 2005). Menurut Scott (dalam Alisjhbana, 2005:39-41) definisi resistensi adalah setiap semua tindakan para anggota kelas masyarakat yang rendah dengan maksud melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri terhadap kelas-kelas atasan ini. Konsep resistensi yang dipakai Scoot (dalam Alisjahbana, 2005:37-38) adalah resistensi sehari-hari (every day forms of resistance), yaitu perjuangan
yang
biasa-biasa
saja,
namun
terjadi
terus-menerus.
Kebanyakan resistensi dalam bentuk ini tidak sampai pada taraf pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Senjata yang biasa digunakan oleh kelompok orang-orang yang tidak berdaya antara lain mengambil makanan, menipu, berpura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, sabotase dan lainnya. Siahaan, (dalam Alisjahbana, 2005:90) berpendapat bahwa kaum miskin melakukan resistensi bukan karena keinginan untuk membuat kerusuhan, tetapi karena keterbatasan sarana alternatif yang mampu menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan. Mengingat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada struktur bahwa berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi agar tidak terlalu tertekan/tertindas. Bentuk-
25
bentuk resistensinya tersebut termanifestasi berdasarkan tujuan mereka melakukan aksi. Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa bentuk tipikal reisitensi yang sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan dan dalam kaitanyya dengan pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama resistensinya tertutup (simbolis/ideologis) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat terhadap penguasa. Menurut Scott (2003: 302) bentuk resistensi ini muncul karena masyarakat pedagang kaki lima tidak berprestasi mengubah sistem dominasi, tetapi hanya untuk menolak sistem yang berlaku yang bersifat eksploitatif dan tidak adil. Tujuan bentuk resistensi tertutup ini menurut Bloch dalam Scott (2003: 323) adalah untuk mengurangi eksploitasi atas diri mereka. Kedua, semi-terbuka seperti protes sosial dan demonstrasi mengajukan klaim kepada pihak yang berwenang. Scott (2003: 303) mengatakan, bentuk resistensi ini diwujudkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar yang dapat menimpa dirinya. Ketiga, resistensi terbuka (sungguhan) merupakan bentuk resistensi yang terorganisir, sistematis dan berprinsip. Menurut Scott (2003: 306), resistensi terbuka ini mempunyai dampakdampak yang revolusioner. Tujuannya adalah berusaha meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Manifestasi dari bentuk resistensi ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan. Dengan demikian, resistensi merupakan konsep yang sangat luas, walaupun demikian pada dasarnya ingin menjelaskan terjadinya
26
perlawanan yang dilakukan sub altern atau mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan sebagainya. Resistensi juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau perwujudan yang paling aktual dari hasrat untuk menolak
dominasi
pengetahuan
atau
kekuasaan
(Hujanikajenong,
2006:176).
1.5.2.2 Bentuk Resistensi Bentuk resistensi sangat beragam dan dapat dilihat adalah suatu bentuk ketidakpatuhan, penolakan terhadap kondisi yang mereka tidak sukai. Bentuk resistensi secara diam-diam atau terselubung dari eksploitasi adalah
lebih
umum
dari
pada
melawan
secara
terang-terangan
(Alisjahbana, 2005: 22-23). Resistensi rakyat menurut Scott (dalam Alisjahbana, 2005:39-41) dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi. resistensi secara sembunyi-sembunyi mapu mencapai hasil yang lebih besar dibandingkan resistensi yang dilakuakn secara terang-terangan. Berbagai upaya yang dilakukan faktor internal untuk tetap bertahan dan mencari penghidupan yang layak. Resistensi yang mereka lakukan bermacam-macam, yaitu resistensi secara terbuka atau terang-terangan dan
27
resistensi secara terselubung atau secara diam-diam dan tersembunyi. Bentuk resistensi secara diam-diam atau terselubung dari eksploitasi adalah
lebih
umum
daripada
melawan
secara
terang-terangan
(Alisjahbana:2005). Menurut James Scott, resistensi terbuka merupakan bentuk resistensi yang terorganisir, sistematis, dan berprinsip, yang bertujuan berusaha meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Manisfestasi dari bentuk resistensi ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan seperti pemberontaan dan pembangkangan (Suradi, 2008 : 54-55). Cara-cara yang diterapkan oleh para pedagang kaki lima antara lain dengan melakukan perlawanan secara terang-terangan atau resistensi secara terbuka. Resistensi secara terbuka dilakukan dengan melawan secara langsung kepada petugas yang mau menangkap mereka. Adapun bentukbentuk resistensi terbuka meliputi: Satu, menghadapi langsung atau melawan petugas. Dua, tetap berjualan di lingkungan yang di larang. Tiga, menolak relokasi. Resistensi terbuka lebih bersifat adanya kontak langsung (adu fisik) dengan para petugas tetapi kalau dalam taraf resistensi terselubung hal tersebut justru malah dihindari. James Scott, mengemukakan resistensi yang bersifat terselubung merupakan kegiatan kecil-kecilan. Insidentil dan, gejala kejahatan sekundernya adalah: Satu, tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual. Dua, bersifat untung-untungan dan pamrih. Tiga, tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner. Empat, dalam maksud
28
dan logikanya mengandung anti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada (Sudarso, 2003 : 26). Pada tahap ini para PKL malah cenderung untuk menghindari petugas. Ada berbagai cara yang mereka lakukan untuk melakukan perlawanan kepada petugas, misalnya dengan hal-hal sebagai berikut. Satu: mengomel, menggerutu, dan membicarakan Petugas. Dua, membawa lari barang dagangan bahkan meninggalkan pembeli yang sedang makan. Tiga, menyembunyikan barang dagangan. Empat, purapura sebagai pengunjung biasa saat petugas datang. Lima, sembunyisembunyi atau kucing-kucingan dengan petugas. Enam, memberi uang sogok kepada petugas. Tujuh, menebus barang dagangan yang telah disita. Sektor informal mempunyai strategi resistensi sebagaimana strategi digunakan untuk meminimalisir tekanan-tekanan yang ada. Menurut Alisjahbana, terdapat 5 strategi yang digunakan oleh para pelaku kegiatan sektor informal, diantaranya: Satu, Financial ware. Financial ware merupakan kemampuan yang dimiliki para pedagang kaki lima dalam sektor keuangan yang digunakan untuk menyogok petugas, lurah dan camat agar tidak bersikap represif dan mau membocorkan setiap akan terjadi obrakan. Dua, Consciousness ware. Yaitu kesadaran dari para pedagang kaki lima untuk melakukan resistensi. Tiga, Organization ware. Suatu strategi dengan menggunakan sarana organisasi yang kuat. Empat, Social ware. Yakni menggalang kekompakan sosial antara sektor informal yang satu dengan yang lain. Lima, Hardware. menggunakan strategi
29
dengan cara mengambil kesempatan dari situasi (main kucing-kucingan) (Sri Rahayu, 2003 : 75).
1.5.2.3 Alasan Melakukan Resistensi Dalam menghadapi berbagai tekanan yang dilakukan pemerintah yang dirasa sangat membatasi ruang gerak faktor internal khususnya para PKL mempunyai beberapa teknik atau strategi yang sengaja mereka kembangkan untuk menghadapi dominasi tersebut. Hal itu mereka wujudkan dalam bentuk resistensi. Keberanian sektor ini untuk melakukan resistensi adalah sebuah proses akumulasi dari berbagai fenomena yang melatarbelakangi, antara lain: Pertama, adanya model penataan pedagang kaki lima yang selalu menggunakan pendekatan represif, bukan persuasif. Kedua, adanya sikap ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keberadaan pedagang kaki lima sehingga selalu dimarjinalkan. Ketiga, terbungkamnya suara pedagang kaki lima. Budaya top down dalam setiap pembuatan kebijakan yang mengatur pedagang kaki lima juga menyebabkan terjadinya resistensi pedagang kaki lima terhadap Pemerintah Kota. Keempat, adanya stigma negatif yang selama ini sengaja ditempelkan oleh Pemerintah Kota terhadap keberadaan pedagang kaki lima. Kelima, berhembusnya era reformasi. Era reformasi merupakan variable penting yang bisa memicu terjadinya resistensi pedagang kaki lima, karena era itu mampu
30
memberikan suasana atau ruang bagi terwujudnya resistensi pedagang kaki lima dalam bentuk yang riil (Alisyahbana, 2005: 167-169). Siahaan (1996:33) (dalam Alisjahbana, 2005:90) berpendapat bahwa kaum miskin melakukan resistensi bukan karena keinginan untuk membuat kerusuhan, tetapi karena keterbatasan sarana alternatif yang mampu menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan. Karena hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada struktur bahwa berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi agar tidak terlalu tertekan/tertindas. Bentukbentuk rsistensinya tersebut termanifestasi berdasarkan tujuan mereka melakukan aksi. Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa bentuk tipikal reisitensi yang sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan dan dalam kaitanyya dengan pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama resistensinya tertutup (simbolis/ideologis) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat terhadap penguasa.
1.6 Kerangka Konseptual Penelitian Dengan adanya modernisasi di pedesaan yang belum terealisasikan secara sempurna atau belum membantu perkembangan di pedesaan, di satu sisi telah merugikan masyarakat pedesaan dan menimbulkan dampak negatif, seperti masih banyak penduduk miskin, para petani dan buruh tani kehilangan lahan garapannya atau pekerjaan, sehingga penduduk pedesaan
31
mencari alternatif pekerjaan ke tempat lain seperti perkotaan. Perkembangan kota-kota besar di Daerah IstimewaYogyakarta termasuk Sleman, saat ini masih minim dari segala hal yang dapat menunjang perkembangan kota seperti luas wilayah, dana, sumber daya manusia (SDM) yang ahli, sehingga banyak kota-kota tidak bisa menanggulangi masalah urbanisasi. Untuk memenuhi kebutuhan setiap individu atau masyarakat berusaha memenuhinya baik dengan cara bekerja di sektor formal maupun menciptakan lapangan pekerjaan, namun saat ini banyak kota-kota besar dan sektor modern dalam menyerap tenaga kerja sangat minim, sehingga mendorong mereka melakukan kegiatan perekonomian di sektor informal yaitu menjadi pedagang kaki lima sebagai alternatif. Permasalahannya ketika pedagang kaki lima yang berada di sepanjang Jalan Colombo beraktivitas dihadapkan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2004. Perda ini merupakan kebijakan Pemerintah Kabupaten Sleman yang secara tidak langsung dipakai untuk mengatur keberadaan para pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Colombo sehingga melahirkan bentuk-bentuk resistensi yang terwujud dalam berbagai upaya, taktik dan usaha para pedagang kaki lima di sepanjang jalan colombo untuk bisa bertahan hidup dan menghadapi peraturan yang dirasa kurang menguntungkan bagi mereka. Resistensi ini lebih banyak disebabkan karena aspek ketidakpuasan terhadap Perda, aspek ekonomi dan aspek budaya. Kerangka konseptual penelitian dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
32
Resistensi PKL
Bentuk Resistensi PKL 1. Resistensi Terbuka
Aspek-Aspek Resistensi PKL 1.
Aspek Ketidakpuasan terhadap Perda
2.
Aspek Ekonomi Kehidupan)
3.
Aspek Budaya (gotong royong, bekerjasama dalam bentuk solidaritas antar sesama pedagang kaki lima)
2. Resistensi Terselubung (Tuntutan
Resistensi Pedagang Kaki Lima yang Berdagang di Sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta
Gambar 1.4 Kerangka Konseptual Penelitian
1.7 Literature Review terhadap Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian dengan subjek Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak dilakukan. Namun demikian penelitian tentang PKL tersebut lebih banyak membahas tentang kebijakan dan strategi penanganan akan penataan PKL. Dalam penelusuran kepustakaan baik secara konvensional pada perpustakaan-perpustakaan yang berada di Kota Yogyakarta maupun penelusuran kepustakaan secara online, peneliti hanya menemukan 2 (dua) penelitian mengenai resistensi pedagang kaki lima, yaitu:
33
Alisjahbana (2004) dalam penelitiannya tentang Resistensi Pedagang Kaki Lima di Perkotaan, Studi Kasus PKL Kota Surabaya menyimpulkan (1) perlawanan bisa terjadi karena ada faktor yang mempengarihi, baik faktor penyebab ataupun pemicu; yang bersifat akumulatif, seperti penumpukan kekecewaan, dan yang kedualebih bersifat insedental, tetapi sangat penting keberadaanya dalam memicu terjadinyaperlawanan; (2) perlawanan bisa bersifat latent atau terang-terangan. Perlawanan latent beresiko kecil, tetapi bila dikordinasi oleh seseorang pemimpin, akan berdampak yang angat besar dan tidak kalah bila dibandingkan dengan perlawanan terang-terangan. Perlawanan terang-terangan beresiko besar dan memungkinkan ditempuh bila perlawanan latent gagal membuahkan hasil; dan (3) obyek yang diperebutkan belum bersifat material, namun bisa bersifat immetrial seperti ruang ekonomi, sosial, dan politik; dan (4) subyek yang merasa tertekan akan melakukan perlawanan dan berusaha memakai senjata dari yang paling sederhana hingga yang paling ampuh. Senjata sederhana yang beresiko rendah selesai dipakai bila mampu menundukan lawan. Senjata ampuh bisa dikeluarkan, dengan resiko yang lebih besar bila senjata sederahan tidak berhasil mengalahkan musuh. Leli Kusuma (2008) dalam penelitiannya tentang Resistensi Pedagang Acung Kintamani terhadap Penertiban oleh Satpol PP Pemda Bangli mengungkapkan telah terjadi resistensi PKL terhadap upaya penertiban tersebut. Dalam penelitian ini diungkapkan juga tentang dominasi yang dilakukan Pemerintah terhadap keberadaan pedagang kaki lima. Dominasi ini
34
diantaranya berupa kemunculan Perda No. 3 Tahun 2003 yang berisikan tentang larangan untuk berjualan di kawasan wisata Kintamani. Keberadaan Satpol PP/Trantib sebagai salah satu produk pemerintah yang bertujuan menjaga ketertiban umum. Dominasi yang dilakukan pemerintah terhadap para pedagang kaki lima, ternyata tidak menyurutkan niat para pedagang kaki lima untuk tetap berjualan di kawasan wisata Kintamani. Para PKL tetap menjalankan aksinya tentunya disertai banyaknya strategi dalam menghadapi dominasi pemerintah terhadap keberadaan mereka. Upaya perlawanan dilakukan untuk dapat bertahan hidup di tengah perekonomian di wilayahnya. Kedua penelitian tersebut di atas sangat berguna sebagai pembanding antara perlawanan yang dilakukan para pedagang kaki lima dalam penelitian tersebut dengan perlawanan pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Colombo. Hal ini sangat membantu dalam mengamati bagaimana sikap para pedagang kaki lima dalam melakukan resistensi untuk dapat bertahan di tengan perekonomian kota.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Pendekatan Penelitian Penelitian resistensi pedagang kaki lima untuk berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini tidak hanya ingin mengetahui fenomena yang terjadi pada pedagang kaki lima tersebut, lebih dari itu, peneliti ingin mengungkapkan apa saja yang ada di balik fenomena tersebut. Peneliti ingin mengetahui apa yang dirasakan dan bagaimana persepsi pedagang kaki lima yang berdagang di luar
35
pasar, sehingga mempengaruhi resistensinya untuk berdagang di sepanjang Jalan Colombo. Menurut Sugiyono (2008: 18), penelitian yang dilakukan untuk mengungkap sesuatu yang ada di balik fenomena di antaranya adalah motif seseorang melakukan sesuatu dan perilaku individu yang di dalamnya terkandung pengamatan perasaan dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap benar, akan lebih tepat dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Lebih jauh Sugiyono (2008: 19) menegaskan bahwa metode kualitatif lebih tepat dilakukan untuk meneliti bidang-bidang ilmu sosial dan perilaku, demikian juga hubungan sosial kemanusiaan. Realitas dalam penelitian kualitatif, tidak semata-mata yang nampak atau teramati. Akan tetapi, realitas adalah sampai di balik yang nampak tersebut. Realitas dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, hasil konstruksi pemikiran, dan utuh (holistic) karena setiap aspek dari objek itu mempunyai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Realitas yang sebenamya adalah yang tersembunyi di alam kesadaran manusia. Demikian juga yang dilakukan peneliti yang melakukan pengamatan realitas keseharian pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Colombo.
1.8.2 Jenis Penelitian Dengan fenomena yang ada dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriftif hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian degan metode ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi
36
(Cooper dan Schlinder, 2008: 164-165). Penelitian yang dilakukan peneliti dengan metode ini bertujuan untuk (1) mengumpulkan informasi aktual secara rinci tentang PKL di sepanjang Jalan Colombo; (2) mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi PKL di sepanjang jalan Colombo; (3) membuat perbandingan atau evaluasi permasalahan PKL pada umumnya; dan
(4)
menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang (Denzin dan Lincoln. 2005: 443444). Dengan demikian, penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan dahulu, namun diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian, dan kemudian ditarik suatu kesimpulan berupa pemahaman umum tentang kenyataan-kenyataan mengenai resistensi pedagang kaki lima untuk berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta.
1.8.3 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta. Mengingat pada lokasi ini terdapat permasalahan resistensi pedagang kaki lima terhadap perda Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004. Meskipun sudah sering di tertibkan namun pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Colombo masih nekad berjualan. Waktu yang digunakan untuk penelitian dan
37
penulisan laporan kurang lebih 2 bulan dimulai bulan November 2013 sampai dengan bulan Desember 2013.
1.8.4 Informan atau Narasumber Penelitian Dalam penelitian kualitatif, istilah sampel tidak lazim digunakan. Setiap subjek adalah informan yang akan dilihat sebagai kasus dalam suatu kejadian (event) tertentu, sehingga pendekatan kualitatif menyebutnya sebagai narasumber atau informan. Sesuai karakter pendekatan kualitatif yang lebih investigatif, maka pemilihan narasumber lebih ditekankan pada kualitas narasumber dan bukan pada banyaknya atau kuantitasnya. Secara umum prosedur pemilihan informan dalam pendekatan kualitatif ini adalah sebagai berikut. 1. Tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kekhususan kasus (spesifik) sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. 2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi bisa berubah pada saat penelitian berlangsung, sesuai pemahaman dan kebutuhan yang berkembang selama proses penelitian. 3. Tidak diarahkan pada keterwakilan atau representasi, melainkan pada kecocokan pada konteks siapa dengan jenis informasi apa yang diperlukan. Dengan demikian, dalam penelitian kualitatif ini, secara umum digunakan pemilihan narasumber secara sengaja (purposive), yaitu disesuaikan dengan tujuan penelitian. Informan atau yang diambil lebih bersifat selektif, yaitu peneliti mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan, karakteristik empiris yang dihadapi, dan lain sebagainya.
38
Narasumber
tidak
digunakan
dalam
usaha
untuk
melakukan
generalisasi statistik atau sekadar mewakili populasinya, tetapi lebih mengarah pada generalisasi dari hasil penelitian ini pada akhirnya. Sumber data yang digunakan tidak untuk mewakili populasinya, tetapi lebih cenderung untuk mewakili informasinya (Sutopo, 2003: 37). Kriteria narasumber yang dapat dipilih dan dianggap mewakili informasi dalam penelitian ini adalah pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta, sebagian konsumen yang berbelanja di di lokasi tersebut dan Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai pemegang otoritas yang bertanggung jawab terhadap keberadaan pedagang kaki lima. Informan atau narasumber yang diambil dalam penelitian ini antara lain: 1. Satuan Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman; Sutrisno; 2. Ketua Paguyuban PKL Abadi Samirono, Yogyakarta; Sarwoko 3. Pedagang Kaki Lima yang berjualan di Jalan Colombo (data informan lihat lampiran III)
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data Salah satu kaidah dasar penelitian kualitatif adalah senantiasa menggunakan sumber-sumber data primer maupun sumber-sumber data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terhadap informan atau narasumber penelitian yang lebih dipilih secara purposive (sengja). Data sumber dikumpulkan dari data yang ada pada Paguyuban PKL Samirono
39
Abadi dan dari Pemerintah Kabupaten Sleman seperti misalnya perda Nomor 11 tahun 2004. Selain itu juga dikatakan dalam penelitian kualitatif peneliti sekaligus berfungsi sebagai instrumen utama (key instrument) yang terjun ke lapangan serta berusaha untuk mengumpulkan data melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Ketiga teknik ini digunakan secara bertahap, terintegritas atau dapat dilaksanakan pada saat wawancara dan observasi yang dilakukan secara bersamaan. Secara lebih terperinci teknik pengumpulan data ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Observasi Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
(Sugiyono, 2008: 166). Metode ini dilakukan dengan cara
mengamati secara langsung tentang kondisi yang terjadi selama di lapangan, baik yang berupa keadaan fisik maupun perilaku yang terjadi selama berlangsungnya penelitian. Pengamatan dilakukan terhadap aktivitas/ kegiatan pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Colombo. 2. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu
40
(Moleong, 2008: 135). Wawancara juga merupakan alat pengumpulan data atau informasi, dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula oleh responden. (Maman, 2003: 73). Wawancara dilakukan terhadap 28 orang informan yang dipilih secara purposive (sengaja). Wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview). Dalam teknik ini biasanya digali apa yang tersembunyi dari seseorang, kelompok atau masyarakat baik di masa kini, masa lampau dan masa yang akan datang. Ada dua bentuk wawancara yang digunakan yaitu: a. Wawancara berencana (standardized interview) Wawancara berencana adalah wawancara yang dilakukan dengan didasarkan pada suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya yaitu interview guide yang digunakan sebagai alat bantu. b. Wawancara tak berencana (unstandardized interview) Wawancara tak berencana adalah wawancara yang dilakukan dengan tak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dengan suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dan tata urut tetap yang harus dipatuhi oleh peneliti secara ketat, atau dengan kata lain, proses wawancara dibiarkan mangalir asalkan memenuhi tujuan penelitian. Proses wawancara dilakukan dengan mempersiapkan terlebih dahulu pedoman wawancara dengan pertanyaan terbuka. Pedoman hanya digunakan sebagai arah wawancara yang terfokus pada masalah.
41
Pertanyaan tidak dilakukan secara ketat, artinya dapat berkembang sesuai dengan jawaban informan penelitian. 3. Menyebarkan Angket Untuk mendapatkan data karakteristik PKL di lakukan dengan menyebarkan angket (angket lihat lampiran II) Data yang berupa data PKL, perda dan literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan
penelitian, peneliti kumpulan melalui teknik
dokumentasi atau studi kepustakaan (liberarty research).
1.8.6 Keabsahan Data Keabsahan data (trustworthiness) dari sebuah penelitian sangat penting artinya karena keaslian data merupakan salah satu langkah awal kebenaran dari analisis
data dimana harus bersifat sejalan seiring dengan proses
penelitian itu berlangsung. Keabsahan data kualitatif harus dilakukan sejak awal pengambilan data yaitu sejak melakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk memperoleh keabsahan data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan menjaga kredibilitas. Owens (2005: 267) menjelaskan bahwa peneliti harus menjamin dirinya sendiri dan orang lain bahwa mereka memahami apa yang sebenarnya terjadi dan tidak tercampuri atau terganggu bias dari berbagai sumber error dan peneliti harus berusaha agar temuan dalam penelitian itu diterima sebagai interprestasi kenyataan yang kredibel. Nasution (2006: 114) menyatakan untuk memperoleh kredibilitas dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya
42
adalah dengan menggumakan metode triangulasi. Dalam penelitian ini digunakan cara triangulasi sumber data yang mengumpulkan data sejenis dari berbagai sumber data yang berbeda. Dengan demikian kebenaran data yang satu akan dikonfirmasikan dengan data yang diperoleh dari sumber data yang lain, sehingga data-data yang terkumpul dalam penelitian ini akan terjamin validitasnya. Penelitian ini menggunakan cara triangulasi sumber data, artinya peneliti mengumpulkan data sejenis dari berbagai sumber data yang berbedabeda. Kebenaran data yang didapatkan dari salah satu informan akan dikonfirmasikan dengan data yang diperoleh dari informan yang lain. Dengan demikian setiap informan akan berlaku sebagai informan kontrol satu dengan yang lainnya. Selain itu, dalam penelitian kualitatif ini, peneliti sekaligus berfungsi sebagai instrumen utama (key instrument) yang terjun ke lapangan, serta berusaha untuk membandingkan kebenaran data yang didapat sehingga datadata yang terkumpul dalam penelitian ini akan terjamin validitasnya. Menurut Moleong (2008: 55), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber data. Triangulasi sumber data adalah membandingkan atau mengecek derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
43
berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. 2. Membandingkan keadaan dan perspektif dari seseorang dengan berbagai pendapat orang lain. 3. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan (Moleong, 2008: 55). Demikianlah, dengan cara tersebut diharapkan akan diperoleh data-data yang terbukti keabsahannya sehingga hasil penelitian dapat diterapkan untuk menentukan kebijakan-kebijakan perbankan di masa mendatang. Keabsahan data akan menjadi titik tolak hasil penelitian yang akurat dan terpercaya. Penentuan-penentuan kebijakan yang didasarkan data-data valid akan lebih cepat diimplementasikan demi perbaikan dan kemajuan yang ingin dicapai.
1.8.7 Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses menyusun dan menggabungkan data ke dalam pola, tema, kategori, sedangkan penafsiran adalah memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori, dan mencari hubungan antara beberapa konsep. Penafsiran menggambarkan perspektif peneliti bukan kebenaran. Analisis dan penafsiran data dalam penelitian kualitatif pada dasarnya bukan merupakan hal yang berjalan bersama, keduanya dilakukan sejak awal penelitian (Nasution, 2006: 43). Analisis data dilakukan agar data
44
yang telah diperoleh akan lebih bermakna. Analisis data merupakan proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan
diinterprestasikan. Data yang didapat dilapangan yang merupakan hasil dari wawancara, pengamatan dan dokumentasi memerlukan analisis dan interprestasi
data
untuk memenuhi tuntutan tujuan penelitian dan informasi lainnya. Untuk memperoleh data yang akurat, maka peneliti membuat catatan lapangan yang selanjutnya disederhanakan atau disempurnakan kemudian diberi kode data dan masalah. Pengkodean data dilakukan berdasarkan hasil kritik yang dilakukan, data yang sesuai dipisahkan dengan kode tertentu dari data yang tidak sesuai dengan masalah penelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan cara berulang-ulang dan berkesinambungan antara pengumpulan dan analisis data, baik selama pengumpulan data di lapangan maupun sesudah data terkumpul (Bogdan dan Biklen, 2002: 62). Pada tahap pertama yang harus dilakukan setelah memperoleh data adalah melakukan: (1) checking (2) organizing, dan (3) coding. Tahap berikutnya data yang telah diperoleh diuji secara triangulasi metode, peneliti, dan sumber data. Setelah dilakukan uji triangulasi selanjutnya dibuatlah analisis secara kulitatif menggunakan model yang sesuai dengan tema penelitian. Selanjutnya, Bogdan dan Biklen (2002: 68) menjelaskan analisis data adalah proses mencari secara sistematis dan mengatur catatan wawancara, catatan lapangan, dan rider lain yang dihimpun untuk mengiring pengertian. Analisis tersebut melibatkan kerja dengan data, mengaturnya, memisahkan ke
45
dalam unit-unit yang dapat dikelola, memadukannya, mencari-cari pola memenuhi hal-hal penting dan apa yang diketahui dan memutuskan apa yang akan disampaikan kepada orang lain. Menurut Taylor dan Powell (2003: 71) proses analisisa data dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan: (1) understanding the data, (2) focus the analysis, (3) categorizing information as coding the data or indexing the data, (4) identify patterns and conections within and between categories, (5) interpretation - bringing it all together.
Tahap pertama peneliti harus
mengetahui datanya secara tepat mengenai kelayakannya, informasinya dan maknanya. Tahap kedua mengetahui fokus penelitian yang dilakukannya pada suatu kasus tertentu, pada individu, pada kelompok atau pada suatu organisasi dengan melalui pernyataan dalam periode waktu tertentu atau kejadian tertentu. Tahap ketiga melakukan organisasi pada data dengan melakukan koding atau memberi indek berdasarkan tema, bentuk, ataupun kategori yang diinginkan.
Tahap ke-empat melihat keragaman data yang diperoleh dan
mengkaitkan berbagai kategori yang diperoleh baik secara sempit ataupun secara luas, serta mencermati tingkat penting tidaknya data. Tahap kelima melakukan interprestasi data dengan memilah, memilih dan menentukan kebermaknaan, sintesa serta signifikansinya. Berdasarkan data yang diperoleh pertama kali dianlisis dengan menggunakan analisis model interaktif (Interactive Model Analysis) dari Miles dan Huberman (1984: 23). Teknik analisis ini dipergunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu (1) Bagaimana resistensi pedagang kaki lima yang
46
berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta?; (2) Bagaimana bentuk dari resistensi pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta?; (3) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan resistensi pedagang kaki lima untuk terus berdagang di sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta? Dalam teknik analisis model interaktif ini setelah pengumpulan data maka kegiatan analisis dilakukan dengan mengikuti pola interaksi antara reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi, yang digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan Data Reduksi Data
Sajian Data
Trianggulasi
Gambar 1.5 Analisis Model Interaktif (Miles dan Huberman, 1984:23) Tahap-tahap tersebut merupakan kegiatan yang harus diperhatikan dalam analisis data kualitatif. Kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan/verifikasi dalam analisis model interaktif merupakan siklus interaktif dalam pengertian analisis kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Miles dan Huberman (1984: 24) menyebutkan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus (cyclical process) pada setiap tahapan penelitian, sampai tuntas dan
47
jenuh. Aktifitas yang dilakukan dalam analisis ini adalah pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), paparan data (data display), dan konklusi atau verivikasi (conclusion/verification). Pengumpulan data (data colection), pada kegiatan ini peneliti mengumpulkan semua catatan, foto-foto kegiatan, rekaman wawancara, dokumen-dokumen tertulis, dari hasil observasi maupun wawancara, kemudian dipilah sesuai permasalahan dan disusun menurut urutan waktu kegiatan pengambilan data. Reduksi data (data reduction), pada kegiatan ini peneliti melakukan reduksi data dari sejumlah data yang masih umum dan komplek untuk dipilih mana yang pokok/relevan, difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema atau polanya yang layak untuk dipaparkan (Nasution, 2006: 45). Reduksi data dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan seleksi yang cermat, dengan ringkasan, uraian kalimat, dengan memperhatikan tingkat kepentingan data dan derajad moderatnya data. Paparan data (data display), aktivitas yang dilakukan adalah merangkai atau menyusun, mengorganisasi data menjadi informasi baru yang dapat diambil gambaran keseluruhannya, sebagai bahan konklusi ataupun tindakan selanjutnya. Paparan data yang baik dan sering digunakan adalah dalam bentuk teks narasi, berbagai macam matrik, gambar-gambar grafik, networks dan charts; Konklusi/verifikasi data (conclusion/verification) adalah aktivitas yang pokok dalam analisis data, yaitu dengan proses induktif yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip validitas di antaranya, kemampuan untuk dikonfirmasi, masuk akal, dapat diukur, dan keteguhan.
48
Data-data tersebut lebih berarti dalam bentuk kalimat dari pada bentuk angka-angka, dan data tersebut dapat dikumpulkan dengan wawancara, pengamatan, dokumentasi dan yang lainnya, yang semuanya dapat diolah, diedit,
dan
ditranskripkan
menjadi
kesimpulan
akhir.
Dengan
mempertimbangkan berbagai faktor terutama yang terkait dengan masalah teknis dan persyaratan lainnya, maka tehnik analisa data yang akan digunakan pada penelitian ini memakai pendekatan yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1984: 25).