RESILIENSI PADA REMAJA SUKU JAWA YANG MENJADI PENYINTAS BENCANA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010 Mochammad Ardhya Irawan dan Julia Suleeman Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada remaja penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010 berikut nilai-nilai budaya Jawa yang berhubungan dengan kemampuan resiliensi masyarakat suku Jawa yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, khususnya di Desa Krinjing, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gambaran resiliensi remaja di Desa Krinjing ini diperoleh dengan menggunakan alat ukur resiliensi ConnorDavidson Resilience Scale (CD-RISC) 10 (Connor & Davidson, 2003; Campbell-Sills & Stein, 2007) dan wawancara mendalam dipakai untuk menggali karakteristik resiliensi yang dikemukakan oleh Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, selfreliance, dan existential aloneness dan penghayatan nilai-nilai budaya Jawa dari partisipan. Partisipan penelitian terdiri dari 15 orang remaja berusia 15-20 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja di Desa Krinjing telah menunjukkan resiliensi dalam tingkat yang sedang. Adapun budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi mereka adalah gotong royong, sopan santun, kebersamaan, dan berbakti pada orang tua. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk untuk mengatasi keterbatasan yang ditemui, disertakan. Kata kunci : resiliensi, bencana alam; budaya Jawa; remaja Abstract This research was carried out to understand the resilience among Javanese youth survivors of the eruption of Mount Merapi in 2010 together with the Javanese cultural values which are related to their resilience ability. They all live in Krinjing, Magelang district of Central Java province. Wagnild’s (2010) concept of resilience which is characterized by five different aspects (e.g., meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness) underlies the discussion of resilience with the participants. In addition to that, ConnorDavidson Resilience Scale (CD-RISC) 10 (Connor & Davidson, 2003; Campbell-Sills & Stein, 2007) and are also used. The participants were 15 adolescents aged 15-20 years. The results show that young survivors in Krinjing have shown resilience at the medium level. The Javanese cultural norms associated with the resilience ability of survivors are mutual cooperation, courtesy, togetherness, and dutiful to parents. A number of suggestions to follow-up the research results and to overcome the limitations that were encountered, are included. Key Words: resilience, natural disasters, Javanese culture, adolescenc
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
Wilayah Indonesia dikenal sebagai wilayah “ring of fire” atau cincin gunung api yang rawan akan terjadinya bencana-bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung api, gelombang tsunami, dan sebagainya (LAKHAR BAKORNAS PB, 2011). Mengenai acaman letusan atau erupsi gunung api, terdapat lebih dari seratus gunung api aktif di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar tujuh puluh diantaranya berada di Pulau Jawa dan diantara tujuh puluh gunung api tersebut, Gunung Merapi yang terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta) merupakan gunung api yang paling aktif (Schlehe, 1996). Pada tahun 2010 lalu, Gunung Merapi kembali mengalami erupsi yang mengakibatkan lebih dari 300 korban jiwa, kerusakan pada ribuan rumah penduduk, kerusakan pada lahan-lahan pertanian, kematian pada hewan-hewan ternak dan kerusakan berbagai fasilitas umum lainnya. Mereka yang ikut terkena dampak langsung dari erupsi Gunung Merapi ini namun tidak sampai tewas atau disebut para penyintas (survivors) harus menanggung hidup dengan kondisi kehilangan harta-benda, pekerjaan, bahkan anggota keluarga yang dicintainya. Pada sebagian penyintas tersebut, keadaan seperti ini dapat menyebabkan keseimbangan psikologis mereka terganggu. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan munculnya gejala-gejala seperti sering teringat-ingat pada peristiwa bencana yang dialami, sulit berkonsentrasi, cemas secara berlebihan, waspada secara berlebihan, merasa tidak aman, menutup diri, dan merasa hampa (Blong, 1984; Reza, 2007). Jika tidak ditangani dengan baik, maka gejala-gejala yang dialami sebagian penyintas ini akan membuat mereka rentan mengalami gangguan-gangguan psikologis pasca bencana seperti depresi, disorientasi, hingga Acute Stress Disorder (ASD) dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Oleh sebab itu para penyintas ini membutuhkan dukungan pemulihan kondisi psikologis untuk membantu mereka agar dapat bangkit kembali dan memulihkan kehidupannya serta agar terhindar dari trauma psikologis yang berat pasca bencana ini. Kondisi diri yang mampu bangkit dan mampu memulihkan kehidupannya ini juga merupakan cerminan dari ketangguhan individu dalam menghadapi tekanan-tekanan atau situasi yang kurang menguntungkan, mengancam, berbahaya, atau menimbulkan dampak traumatis yang ada dalam kehidupannya (The Australian Psychological Society, 2009). Konsep mengenai ketangguhan dalam menghadapi situasi bencana atau kemampuan untuk kembali bangkit setelah ditimpa kesulitan hidup dalam literatur psikologi dikenal sebagai resilience atau resiliensi (Zautra, Hall & Murray, 2010). Resiliensi merupakan sebuah konsep besar yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan adaptasi yang positif dari individu sehingga ia mampu menjaga atau mengembalikan kondisi mentalnya pada kondisi yang
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
sehat, meskipun berada dalam situasi-situasi yang menimbulkan stres, berbahaya, atau mengancam keselamatan dirinya (Herrman, Stewart, Diaz-Grandos, Berger, Jackson, Yuen, 2011; Masten & Obradovic, 2006; Tusaie & Dyer, 2004). Dengan adanya kemampuan resiliensi, individu dapat melindungi dirinya dari kemungkinan depresi, cemas, takut, serta berbagai dampak dari emosi negaitf yang muncul ketika individu dihadapkan pada situasi tekanan, mengancam, atau mengancam kehidupannya (Wagnild, 2010). Resiliensi pada individu dapat bersumber dari dalam maupun luar dirinya. Nilai-nilai dan keyakinan yang dimliki oleh individu dapat menjadi sumber resiliensi yang berasal dari dalam dirinya. Sementara dukungan dari keluarga, lingkungan pertemanan, keberadaan komunitas atau organisasi yang diikuti oleh individu dapat menjadi sumber dukungan terhadap resiliensi yang berasal dari luar diri individu (Fergus & Zimmerman, 2005). Selain itu, faktor budaya dari masyarakat dimana individu bertumbuh juga dinilai memiliki peran dalam resiliensi (Clauss-Ehlers, Yang, & Chen, 2006; Pargament & Cummings, 2010, Ungar, 2010). Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya berperan dalam membentuk pemaknaan terhadap kehidupan pada individu, dimana pemaknaan terhadap kehidupan juga merupakan komponen penting dari resiliensi (Wagnild & Young, 1993). Penelaahan terhadap nilai-nilai budaya yang berperan dalam resiliensi pada individu atau kelompok masyarakat tertentu akan bermanfaat bagi pengembangan intervensi-intervensi psikologis untuk meningkatkan ketangguhan individu atau kelompok masyarakat tersebut dalam menghadapi situasi tekanan, mengancam, atau membahayakan bagi mereka, termasuk situasi bencana. Hal ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan oleh Akbar (dalam ClaussEhles, Yang, & Chen, 2006) untuk meningkatkan resiliensi pada remaja wanita Afro-Amerika melalui nilai-nilai budaya asli masyarakat Afrika. Hasil dari studi yang dilakukan oleh Akbar ini menunjukkan peningkatan adaptasi positif (resiliensi) dari para remaja wanita tersebut dalam menghadapi stres dan situasi-situasi mengancam yang mereka temui dalam kehidupannya. Berdasarkan fenomena inilah penelitian terhadap gambaran resiliensi dari para penyintas erupsi Gunung Merapi dan identifikasi terhadap nilai-nilai budaya Jawa dalam kemampuan resiliensi mereka ini dilakukan. Penelitian ini merupakan bagian dari payung penelitian “Kajian Terhadap Dimensi Budaya dalam Kemampuan Resiliensi pada Masyarakat yang Mengalami Bencana” dan melalui penelitian ini secara khusus peneliti ingin mengetahui tingkat resiliensi pada remaja serta nilai-nilai budaya Jawa pada kelompok usia ini. Kelompok usia remaja merupakan kelompok usia yang rentan terhadap perkembangan tingkah laku dan gejala-gejala psikologis yang negatif akibat bencana (Lopez-Ibor, 2005; Reza, 2007; Tuico-
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
mepee & Romano, 2008). Jika remaja dapat menunjukkan kondisi psikologis yang sehat serta tetap tumbuh dan berkembang dalam situasi yang kurang menguntungkan, maka ia telah menunjukkan resiliensi dan memiliki peluang lebih besar untuk tetap bertahan dalam menghadapi tantangan-tantangan atau tekanan-tekanan yang muncul dalam kehidupannya di masa datang (Masten & Wright, 2010).
Rumusan permasalahan penelitian Bagaimana resiliensi remaja bersuku Jawa penyintas bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010, dan apa saja nilai-nilai budaya Jawa yang terkait dengan resiliensi mereka?
Resiliensi Resiliensi merupakan salah satu konsep yang menarik perhatian para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dimulai dari serangkaian penelitian terhadap anak-anak yang tetap menunjukkan perkembangan yang baik meskipun berada pada kondisi yang kurang menguntungkan secara sosial-ekonomi bagi mereka di era 1970-an (Mancini & Bonano, 2010), penelitianpenelitian mengenai resiliensi terus dilakukan dan tidak hanya terbatas pada anak-anak namun juga pada berbagai tingkatan usia perkembangan lainnya. Definisi mengenai resiliensi pun berkembang dalam berbagai sudut pandang. Ada pendapat yang menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan atau kekuatan emosional individu untukdapat beradaptasi dalam situasi yang sulit, seperti yang dikemukakan oleh Wagnild dan Young (1993) yaitu “resilience connotes emotional stamina and has been used to describe person who display courage and adaptability in the wake of life’s misfortunes”(hal. 166). Ada pula yang mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada di sekitarnya untuk menghadapi situasi sulit dalam kehidupan, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ungar (2010) bahwa “resilience is both the capacity of individual to navigate their way to health-sustaining resources, including opportunities to experience feelings of well-being, and a condition of the individual’s family, community, and culture to provide these health resources and experiences in culturally meaningful ways” (hal. 405). Meski terdapat perbedaan mengenai definisi dari resiliensi, dua hal utama yang penting dalam studi mengenai resiliensi, yaitu sebaik apa individu dapat pulih dan bangkit dari tantangan yang dihadapi serta bagaimana kapasitas individu dalam melanjutkan kehidupannya setelah ia menghadapi pengalaman traumatis tersebut (Bonano, 2004; Masten, 2001; Rutter, 1987; dalam Zautra, Hall & Murray, 2010). Menurut Wagnild dan Young (1993) orang-orang yang resilien menunjukkan tingkah laku yang adaptif baik secara sosial, moral, dan sehat se-
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
cara fisik yang antara lain dapat dinyatakan dalam lima karakteristik utama dari reseiliensi sebagai berikut : 1. Meaningful life atau meaningfulness, yaitu memiliki keyakinan dalam diri individu mengenai makna dari kehidupan atau bahwa kehidupan memiliki sesuatu yang berharga atau patut untuk diperjuangkan. 2. Perseverance merupakan wujud ketahanan seseorang dalam mengalami kesulitan atau kemalangan. 3. Self reliance, yaitu keyakinan seseorang terhadap dirinya beserta pemahaman yang jelas terhadap kelebihan dan kekurangan diri yang dimilikinya. 4. Equanimity, yaitu kemampuan untuk melihat suatu pengalaman dalam sudut pandang yang lebih luas, dimana individu kemudian dapat menerima dengan lapang dada peristiwa yang dialami. 5. Existential aloneness (coming home to yourself), yang merupakan keyakinan bahwa setiap orang memiliki kebebasan dan keunikan, baik diri maupun pengalaman hidupnya. Resiliensi yang terdapat pada individu terbentuk sebagai hasil interaksi dari berbagai faktor dari alam maupun luar diri individu dan prosesnya terus menerus berlangsung dalam kehidupan individu (Mandleco dan Perry, 2000). Untuk kelompok usia remaja, sama seperti pada kelompok dewasa, faktor-faktor dalam resiliensi individu dapat dikelompokkan dalam promotive factors dan risk factors (Fergus & Zimmerman, 2005). Promotive factors merujuk pada faktor-faktor yang dapat membantu remaja menghindari dampak negatif dari situasi negatif (risk) yang dihadapi seperti kompetensi, kemampuan mengatasi stres (coping), dan keyakinan diri atau self efficacy, dukungan orang tua, bimbingan dari orang dewasa, keberadaan komunitas atau organisasi-organisasi bagi remaja, dan sebagainya. Sementara itu, risk factors merujuk pada berbagai kondisi atau situasi yang cenderung menyebabkan semakin besarnya kemungkinan terjadi gangguan pada tahap perkembangan yang dihadapi pada usia remaja atau cenderung menyebabkan munculnya hasil yang negatif pada kesehatan maupun pada perkembangan tingkah laku. Faktor-faktor ini misalnya kemiskinan, berada dalam lingkungan pecandu narkotika atau alkohol, orang tua yang merupakan pecandu alkohol maupun narkotika, lingkungan dengan tingkat kriminalitas tinggi, prestasi akademik yang kurang baik, kurangnya bimbingan dari orang tua, dan sebagainya (Compas, 2004; Fergus & Zimmerman, 2005; Grizenko & Fisher dalam Zimmerman & Brenner, 2010; Leshner, 2002).
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
Budaya Jawa Karakter utama dari pandangan hidup orang Jawa adalah bahwa dunia tidaklah terbagi-bagi dalam bagian-bagian yang terpisah, namun merupakan suatu kesatuan yang koheren antara alam, kehidupan sosial, dan kehidupan religius (Magnis-Suseno, 1997). Kemudian, menurut Geertz (dalam Magnis-Suseno, 1997) terdapat dua prinsip utama dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, yaitu prinsip untuk menghindari konflik terbuka di setiap kondisi atau prinsip rukun serta prinsip bahwa semua hubungan sosial dibentuk secara heararkis atau prinsip hormat. Prinsip rukun terwujud melalui nilai-nilai kebersamaan yang erat dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya melalui gotong royong atau kerja sama antar sesama warga desa. Prinsip rukun juga termanifestasi dalam kehidupan pribadi orang Jawa, antara lain dalam nilai-nilai rila dan iklas yang merupakan bentuk penyerahan diri individu secara moral terhadap hal-hal yang terjadi dalam kehidupannya. Sementara prinsip hormat dalam kehidupan masyarakat suku Jawa diaplikasikan antara lain dalam penggunaan bahasa yang berbeda-beda untuk berinteraksi dengan orang dari berbagai tingkatan usia atau kedudukan. Orang tua dan keluarga memegang peran penting dalam pewarisan nilai-nilai bduaya ini terhadap anak dan generasi-generasi berikutnya. Ketika seorang individu bertumbuh dewasa ia akan semakin menyadari bahwa penerimaan terhadap dirinya, keselamatannya, dan eksistensinya bergantung pada keterikatannya pada kelompok (Magnis-Suseno, 1997). Resiliensi merupakan konsep yang penting bagi individu untuk mengurangi kemungkinan depresi, cemas, takut, dan berbagai emosi negatif maupun gangguan psikologis akibat tekanan yang dihadapi dalam kehidupan, termasuk situasi bencana (Wagnild, 2010). Pada konteks remaja, pribadi yang resilien antara lain ditunjukkan oleh kemampuan yang tinggi dalam bidang pendidikan atau pekerjaan, memiliki hubungan yang baik dengan orang tua dan anggota keluarga yang lainnya, mengembangkan pula hubungan yang baik dengan pihakpihak di luar keluarga seperti tetangga, guru, dan lain-lain. Steinberg (dalam Compas, 2004) menyatakan bahwa resiliensi pada individu berusia remaja belumlah dapat dikatakan stabil karena ketika berada dalam usia remaja, perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial individu masih dapat berkembang sehingga dapat pula mempengaruhi perkembangan kemampuan resiliensi yang ditunjukkan oleh remaja tersebut. Selain itu, interaksi antara berbagai faktor yang dapat membentuk kemampuan resiliensi pada individu pun masih dapat terus berlangsung selama rentang usia ini. Faktor yang awalnya dapat mendukung kemampuan resiliensi pada suatu kondisi tertentu yang dihadapi oleh remaja dapat berubah menjadi faktor yang justru menghambat resiliensinya
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
Bagaimana individu dapat dianggap sebagai individu yang resilien juga tergantung dari konteks budaya dimana individu tersebut berasal atau mengakui identitasnya. Jika individu berusia remaja yang resilien salah satunya ditunjukkan oleh kemampuanya membina hubungan yang baik atau bersosialisasi dengan orang-orang lain yang ada di sekitarnya, dalam konteks budaya Jawa hal ini akan ditunjukkan oleh bagaimana remaja atau individu tersebut tetap dapat diterima di masyrakatnya dengan menunjukkan bahwa ia mampu menginternalisasi nilai-nilai budaya Jawa tersebut. Peristiwa erupsi Gunung Merapi yang terjadi akan menuntut individu dan masyarakat Jawa untuk menunjukkan sikap nrimo, sabar dan tawakal sebagai tanda dari proses penerimaan atau coping terhadap situasi yang mencekam, menimbulkan tekanan dan mengancam jiwa dari erupsi yang terjadi. Oleh sebab itu individu yang resilien dalam budaya Jawa dapat ditunjukkan dengan sikap nrimo yang ia perlihatkan saat menghadapi situasi mengancam atau berbahaya tersebut. Dari sikap nrimo inilah terbentuk rasa kebersamaan dan semangat kegotongroyongan antara warga yang menjadi faktor penting dalam pemulihan dan kebangkitan individu dan masyarakat pasca terjadinya bencana (Maarif, Pramono, Kinseng, & Suniarti, 2012).
Metode Penelitian Sampel: Sampel diambil secara insidental dan berusia 15 – 20 tahun. Mereka tinggal di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Desa Krinjing ini terletak kurang lebih 6 kilometer dari puncak Gunung Merapi dan termasuk daerah kawasan rawan bencana letusan gunung api yang juga mengalami kerusakan saat terjadinya erupsi tahun 2010 lalu. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 30 September 2012 hingga 3 Oktober 2012. Jumlah sampel adalah 15 orang, terdiri dari
Instrumen penelitian: Resiliensi diukur melalui alat ukur CD-RISC 10 (Connor-Davidson Resilience Scale 10) yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, dan dipakai oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 10 item, dengan 5 alternatif pilihan jawaban (1 “tidak pernah sama sekali” hingga 5 “hampir selalu”) pada setiap itemnya. CD-RISC ini merupakan hasil penyesuaian yang dilakukan oleh Campbell-Sills dan Stein (2007) terhadap CD-RISC yang dikembangkan oleh Connor dan Davidson (2003). Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC; Connor & Davidson, 2003) sendiri telah diakui sebagai alat ukur resiliensi yang memiliki validitas yang baik dalam mengukur konstruk resiliensi (Campbell-Sills & Stein, 2007). Alat ukur ini kembali diuji validitas dan reliabilitasnya
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
untuk keperluan penelitian ini dengan melihat internal consistency coefficients melalui metode koefisien alpha pada seluruh sampel penelitian payung, yaitu 65 orang, dengan variasi usia dari 15 sampai 62 tahun. Contoh item seperti di bawah ini. Tabel 1. Contoh item dalam skala resiliensi Kisi-kisi Pernyataan Dalam Skala Sikap 1
Saya mamapu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
1 Tidak pernah sama sekali
2 Hampir tidak pernah
3 Sesekali
4 Sering
5 Hampir selalu
_______________________________________________________________ Hasil uji reliabilitas terhadap alat ukur ini menunjukkan nilai koefisien alpha sebesar 0.862. Sedangkan nilai indeks korelasi item dengan nilai total menunjukkan bahwa 10 item ini memiliki nilai rit yang lebih besar dari 0.2. Dengan demikian item-item dalam skala sikap yang digunakan ini telah memiliki reliabilitas dan validitas item yang baik. Selain itu, untuk menggali pemaknaan subjektif dari individu mengenai pengalamannya dalam situasi bencana erupsi Gunung Merapi, resiliensi yang dimiliki, serta mengenai nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupannya, digunakanlah metode kualitatif melalui wawancara secara mendalam. Pertanyaan yang digali adalah seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Panduan wawancara Panduan Wawancara Komponen / Topik
Pertanyaan Mengungsi/tidak, dan apa alasannya?
Pengalaman ketika bencana terjadi
Persiapan sapa saja yang dilakukan? Apa yang dirasakan ketika peristiwa bencana terjadi?
Dampak secara fisik Dampak peristiwa yang dialami oleh penyitas
Resiliensi
Dampak psikologis
Apa saja kerugian harta benda? Apakah kehilangan mata pencaharian/pekerjaan, ijazah, sekolah? Bagaimana kondisi keluarga/saudara akibat bencana yang terjadi? Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa ada keluarga yang menjadi korban? Bagaimana perasaanmu setelah menyadari dampak dari bencana yang terjadi? Adakah pengalaman2 seperti mimpi buruk atau ketakutan bahwa bencana akan kembali datang? Apa makna hidup/filosofi hidup yang kamu miliki?
Meaningfulness Apakah memiliki orang/hal/tujuan yg dianggap berharga?
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
Perseverance
Equanimity
Apakah kamu punya pengalaman menghadapi tantangan/masa sulit dalam hidup? Apakah saat itu kamu terus atau berhenti dalam menghadapi tantangan hidup? Apa pendapatmu tentang masa-masa sulit dalam kehidupan? Apa “hikmah” yang kamu temukan saat dalam kesulitan? Seberapa besar keyakinanmu terhadap diri sendiri?
self-reliance
Apakah kamu mengetahui kelebihan dirimu? Apakah kamu mengetahui elemahan dirimu? Bagaimana penerimaanmu terhadap diri sendiri?
existential aloneness
Nilai-nilai budaya setempat dan yang berkaitan dengan sikap terhadap bencana
Penghayatan Nilai-nilai Agama
Beranikah kamu bertindak di luar kebiasaan kelompok? Apakah ada perasaan nyaman dengan kondisi diri? Apakah nilai-nilai/prinsip hidup yang diyakini, diamalkan dan diajarkan di daerah ini? Apa akibat / dampak dari melaksanakan & tidak melaksanakan nilai-nilai tersebut? Bagaumana persepsi mengenai bencana erupsi Gn.Merapi? Apa saja nilai-nilai/prinsip hidup apa yang berkaitan dengan sikap terhadap bencana? Apa saja contoh perilaku warga yang dinilai menunjukkan ketangguhan dalam situasi bencana? Bagaimana cara pengajaran nilai-nilai tersebut dari orang tua ke anak? Bagaimana penerapan nilai-nilai (budaya) tersebut saat ini? Apakah kamu mengikuti organisasi keagamaan? Apa saja nilai-nilai yang diajarkan dalam kegiatan keagamaan? Apakah pengaruh aktivitas agama dalam menghadapi situasi bencana?
Dari 15 orang partisipan tersebut, dipilihlah 4 orang untuk diwawancarai secara mendalam. Keempat orang tersebut dipilih karena memiliki waktu untuk diwawancara, sedangkan yang lainnya tidak. Dua dari empat remaja ini sudah bekerja dan dua lainnya masih bersekolah. Perbedaan antara yang masih bersekolah dengan yang sudah bekerja ini terkait dengan faktor sosial ekonomi dan pendidikan yang menurut beberapa sumber ikut berperan dalam resiliensi pada remaja.
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok usia remaja di Desa Krinjing memiliki kemampuan reseiliensi yang berada dalam tingkat sedang. Ini dapat dilihat pada tabel
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
berikut yang menayangkan bukan hanya untuk partisipan remaja melainkan juga untuk seluruh partisipan payung lainnya.
Tabel 3. Resiliensi seluruh partisipan (n = 65 orang) Kategorisasi Resiliensi Seluruh Partisipan Payung Kategori Resiliensi
Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
< 29
8
12.3 %
Sedang
29 - 44
44
67.7 %
Tinggi
> 44
13
20 %
Tabel 4. Resiliensi partisipan remaja (n = 15 orang) Kategorisasi Resiliensi Partisipan Remaja Kategori Resiliensi
Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
< 29
1
6.7 %
Sedang
29 - 44
11
73.3 %
Tinggi
> 44
3
20 %
Dari hasil wawancara, ternyata keempat partisipan telah menunjukkan adanya karakteristik resiilensi pada diri mereka, meski tidak semua dapat menunjukkan kelima karakter resiliensi dari Wagnild & Young (1993) tersebut. Karakter resiliensi yang muncul pada setiap partisipan dalam wawancara adalah meaningfulness, dimana semua partisipan menunjukkan bahwa mereka memiliki pemaknaan terhadap kehidupan yang diwujudkan melalui motto, cita-cita, tujuan hidup, serta adanya orang-orang yang mereka anggap berarti dalam kehidupannya. Untuk karakter reseliensi yang lain yakni perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness, muncul secara bervariasi pada masing-masing partisipan. Untuk nilai-nilai budaya Jawa yang dipraktekkan oleh warga masyarakat yang terdapat di Desa Krinjing ini ditemukan gotong royong, sopan santun, kebersamaan, sikap tidak bermalas-malasan, dan berbakti pada orang tua. Nilai gotong royong dianggap sebagai nilai yang paling penting dalam menghadapi situasi bencana di area Gunung Merapi oleh partisipan remaja Desa Krinjing ini, dimana melalui gotong royong ini warga dapat membentuk sistem peringatan terhadap bahaya erupsi Gunung Merapi dan membangun kembali kehidupan masyarakat pasca erupsi yang terjadi. Selain itu, melalui aktivitas organisasi keagamaan untuk remaja, para remaja Desa Krinjing diajarkan untuk tetap tegar, waspada dan menerima bahwa peristiwa bencana yang terjadi merupakan kehendak atau peringatan dari Tuhan. Secara lebih
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
detil, pemaknaan nilai-nilai budaya Jawa pada partisipan yang diwawancara adalah seperti tertera di tabel berikut. Tabel 5. Norma/nilai budaya Jawa pada partisipan Norma/nilai budaya Jawa pada partisipan Partisipan T Niilai-nilai/prinsip hidup yang diyakini, diamalkan dan diajarkan di daerah setempat
Sopan santun Berbakti pada orang tua
S Gotong royong Sopan santun Rukun Tidak meminum minuman keras Erupsi merupakan peristiwa biasa, namun orang sering mengaitkan dengan mistis Peringatan agar manusia lebih menghargai alam
AA
E
Sikap tidak malas Sopan santun Gotong royong
Gotong royong Kebersamaan Sopan santun
Merapi = Mbah Petruk, sosok yang bisa jahat bisa baik, Peringatan agar manusia bersyukur atas pemberian Tuhan
Erupsi merapi = pesan dari Tuhan untuk menjaga lingkungan dan menjaga tradisi
Gotong royong
Gotong royong
Persepsi mengenai bencana erupsi Gn.Merapi
Peringatan dari Tuhan karena manusia telah merusak alam
Nilai-nilai berkaitan dengan sikap terhadap bencana
-
Gotong royong
Contoh perilaku warga yang dinilai menunjukkan ketangguhan dalam situasi bencana
Berilmu; Memiliki kemampuan memperkirakan kapan erupsi akan terjadi
Memiliiki wewenang untuk mengatur dan menginstruksikan warga = Pak Lurah
Gotong royong
Berani tetap berada di desa saat terjadi situasi bahaya; nekad
Cara pengajaran nilai-nilai tersebut dari orang tua ke anak
Nasihat Sindiran
Nasihat Pelibatan secara langsung
Pemberian contoh Pelibatan secara langsung
-
Penerapan nilainilai (budaya) tersebut saat ini
Sulit, kadang ada nilai agama dan nilai budaya yang bertentangan
Sulit, karena menurut S zaman ini orang tidak bisa 100% baik,
Diterapkan baik oleh yang tua, maupun yang muda
Ada yang menerapkan, ada yang tidak..
Diskusi dan Saran Jika nilai dari resiliensi kelompok usia remaja dibandingkan dengan hasil penelitian pada kelompok usia lain yaitu dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa akhir, dalam penelitian payung yang dilakukan di Desa Krinjing ini, didapati bahwa rata-rata nilai kemampuan resiliensi pada partisipan remaja tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai resiliensi kelompok usia yang lain. Temuan ini menunjukkan bahwa tingkat resiliensi pada masyarakat Desa Krinjing secara umum berada pada tingkat yang sedang. Menurut Wagnild (2010) ketika individu berada dalam tingkat resilensi yang sedang maka individu sudah dapat menunjukkan
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
kemampuannya untuk beradaptasi secara positif pada situasi stres yang dihadapi, meski dalam beberapa sisi individu tersebut masih memiliki kerentanan dan ia tetap perlu meningkatkan kembali kemampuan resiliensinya. Kelompok usia remaja di Desa Krinjing ini menunjukkan resiliensinya dengan tetap melanjutkan pendidikan (sekolah), pekerjaan, dan membina hubungan yang baik dengan sesama remaja, orang tua, maupun masyarakat lain di sekitar mereka. Meski demikian, Steinberg (dalam Compas, 2004) menyatakan bahwa resiliensi pada individu berusia remaja belumlah dapat dikatakan stabil karena ketika berada dalam usia remaja, perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial individu masih dapat berkembang sehingga dapat pula mempengaruhi perkembangan kemampuan resiliensi yang ditunjukkan oleh remaja tersebut. Selain itu, interaksi antara berbagai faktor yang dapat membentuk kemampuan resiliensi pada individu pun masih dapat terus berlangsung selama rentang usia ini. Faktor yang awalnya dapat mendukung kemampuan resiliensi pada suatu kondisi tertentu yang dihadapi oleh remaja dapat berubah menjadi faktor yang justru menghambat resiliensinya. Oleh karena itu, perkembangan tingkat resiliensi pada remaja masih dapat dipantau dan dilihat perkembangannya melalui studi longitudinal (Compas, Hinden, & Gerhardt, Garber et.al, dan Moffit & Caspi, masingmasing dalam Compas, 2004). Meski umumnya remaja di Desa Krinjing ini menunjukkan resiliensi pada tingkat sedang, terdapat juga remaja yang menunjukkan resiliensi yang rendah dan tinggi. Terdapatnya perbedaan tingkat resiliensi pada partisipan meskipun mereka tinggal di daerah yang sama, sama-sama mengalami peristiwa erupsi tahun 2010 lalu, serta memiliki latar belakang budaya yang sama yaitu budaya Jawa, menunjukkan terdapat faktor-faktor lain yang ikut berperan terhadap kemampuan resiliensi selain kondisi sosial budaya yang mereka hadapi. Peneliti mengamati bahwa sebagian besar masyarakat Desa Krinjing termasuk kategori masyarakat sosial ekonomi menengah ke bawah. Hal ini menurut peneliti dipengaruhi oleh mata pencaharian warga yang masih terbatas pada petani, buruh tani, peternak atau sebagai penambang pasir. Adanya pengaruh dari faktor kondisi ekonomi yang rendah ini menurut peneliti mengindikasikan perlunya penyertaan aspek pengembangan ekonomi dalam upaya peningkatan resiliensi maupun mitigasi dan peningkatan kesiapsiagaan bencana bagi warga di sekitar lereng Gunung Merapi. Aspek pengembangan ekonomi ini penting karena kondisi kehilangan sumber-sumber daya yang berkaitan dengan perekonomian individu sebagai akibat dari peristiwa bencana yang terjadi juga merupakan penyebab terganggunya keseimbangan kondisi psikologis individu pasca terjadinya bencana (Reza, 2007). Kebutuhan mengenai upaya peningkatan perekonomian ini diperkuat pula oleh kecenderungan yang didapati dari
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
para partisipan yang menolak ide atau usulan mengenai relokasi dari tempat tinggal mereka sekarang ini yang menurut peneliti bisa saja disebabkan karena kondisi ekonomi masyarakat yang masih sangat menggantungkan diri pada kondisi alam di sekitar Gunung Merapi yang subur ini. Mereka khawatir kondisinya akan berbeda jika berada di daerah relokasi. Mengenai terdapatnya sebagian besar remaja yang menunjukkan resiliensi pada tingkat sedang dan tinggi pada beberapa lainnya, menurut peneliti menunjukkan bahwa faktorfaktor protektif dari resiliensi yang ada di antara masyrakat Jawa di Desa Krinjing ini masih dapat diperoleh oleh para remaja tersebut. Faktor-faktor protektif tersebut antara lain dukungan orang tua, dukungan melalui organisasi kepemudaan, serta kemampuan dalam menghadapi situasi stres akibat bencana yang bersumber dari nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai agama yang dianut oleh para remaja tersebut. Hal-hal yang diperkirakan menjadi faktor protektif ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat membuktikan perannya pada resiliensi dari para remaja di Desa Krinjing maupun di daerah lain sekitar Gunung Merapi. Selain itu, perbedaan tingkat resiliensi juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kondisi psikologis yang dialami partisipan sebagai akibat dari perbedaan dampak yang dirasakan dari bencana yang dialami. Merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Fullerton & Ursano (2005) serta Sharma (dalam Handayani, 2010); tingkatan dampak yang dialami oleh individu dari peristiwa bencana yang dialami dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu seberapa parah kerugian yang dirasakan individu, cedera (fisik) yang dialami, kondisi keluarga, kondisi sosial-vokasional, serta pengalaman mengalami bencana sebelumnya. Dalam wawancara yang dilakukan, terungkap bahwa masing-masing paritisipan mengalami dampak kerusakan yang berbeda-beda dari erupsi yang terjadi tahun 2010 tersebut. Perbedaan ini juga dapat mempengaruhi perbedaan tingkat resiliensi yang dialami para remaja di Desa Krinjing ini. Meski demikian, sebenarnya Desa Krinjing bukanlah desa yang mengalami dampak terparah dari erupsi tahun 2010 tersebut. Desa Krinjing pun sebenarnya sudah memiliki sistem kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan bencana erupsi Gunung Merapi ini. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai resiliensi pada masyarakat suku Jawa yang menjadi penyintas dari bencana erupsi Gunung Merapi perlu dilakukan pula penelitian di daerah-daerah lain di sekitar Gunung Merapi, termasuk pada desa yang dinilai sebagai desa yang mengalami dampak terparah dari bencana ini. Melalui penelaahan terhadap resiliensi dan nilai-nilai budaya Jawa yang berperan dalam resiliensi pada remaja di Desa Krinjing ini, didapati bahwa setiap partisipan menunjukkan karakter meaningfulness yang terkait dengan relasi terhadap keluarga, khususya orang tua. Hal ini menurut peneliti dapat dilihat sebagai pengaruh dari besarnya peran orang tua dan ke-
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
luarga dalam pembentukan diri serta sebagai agen sosialisasi nilai-nilai kehidupan di masyarakat dalam budaya Jawa kepada individu sejak masa kanak-kanaknya, sehingga keluarga pun menjadi sumber ketentraman pada anak (Magnis-Suseno, 1997). Bila dikaitkan dengan perkembangan psikososial pada remaja, hubungan remaja dengan orang tua sebenarnya berada dalam kondisi yang rentan konflik apabila anak tidak mendapat otonomi yang seimbang dari orang tuanya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Collins & Laursen, 2004). Hal ini mungkin berbeda dengan kecenderungan yang terdapat pada masyarakat dalam budaya kolektif seperti budaya Jawa dimana orang tua umumnya justru sangat menginginkan anaknya dapat berkembang menjadi individu yang memenuhi harapan mereka (Kagitcibasi, dalam Sarwono, 2006). Dalam penelitian ini justru terlihat bahwa upaya memenuhi harapan atau oleh para partisipan disebut sebagai “membahagiakan orang tua” menjadi hal yang dimaknai sebagai tujuan hidup yang ikut membentuk kemampuan resiliensi dari para partisipan remaja. Bagi peneliti hal ini mengindikasikan adanya kekhasan pola hubungan antara remaja dengan orang tua pada budaya Jawa namun untuk memastikannya diperlukan penelitian lebih lanjut. Aspek lain dari resiliensi yang cukup menarik perhatian peneliti adalah pada karakter self reliance dari karakteristik resiliensi individu menurut Wagnild dan Young (1993) dan Wagnild (2010). Karakteristik self-reliance menekankan pada keyakinan terhadap diri dari individu berbekal pemahaman individu terhadap kelebihan maupun kekurangan diri yang dimilikinya. Meski semua partisipan dalam wawancara dapat menyebutkan sekurang-kurangnya satu kelebihan maupun kekurangan diri yang dimiliki, mereka terkesan mengalami kesulitan atau ragu-ragu dalam mengungkapkannya. Menurut peneliti, hal ini dapat disebabkan oleh karakter orang Jawa yang tidak terlalu membuka diri terhadap hal-hal mengenai kondisi pribadinya, selain karena dalam budaya Jawa yang mengedepankan kerukunan satu sama lain dimana terlalu menonjolkan kelebihan diri yang dimiliki dapat dinilai sebagai tingkah laku yang kurang sopan (Endraswara, 2012; Magnis-Suseno, 1997). Oleh karena itu, menurut peneliti diperlukan panduan wawancara yang dapat menggali aspek ini dengan lebih baik pada individu dengan latar belakang budaya Jawa seperti ini. Selanjutnya mengenai nilai-nilai budaya Jawa yang berhubungan dengan resiliensi, didapati bahwa nilai gotong-royong memiliki peran penting dalam proses kesiapsiagaan dan rekonstruksi pasca terjadinya erupsi. Nilai gotong-royong ini diwujudkan dengan pembentukan sistem ronda atau jaga malam diantara warga untuk berjaga-jaga sekiranya erupsi terjadi di malam hari, serta dengan pengadaan kerjasama dalam membersihkan sisa-sisa material erupsi dan membangun kembali rumah-rumah yang rusak akibat erupsi. Dalam pelaksanaan gotong royong ini, warga desa juga ikut melibatkan anak-anaknya sebagai upaya pewarisan
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
nilai kepada generasi yang lebih muda. Penerapan nilai gotong-royong dalam proses pemulihan ini sesuai dengan temuan dari studi yang juga dilakukan oleh Maarif, Pramono, Kinseng, dan Suniarti (2012) terhadap masyarakat korban erupsi Gunung Merapi. Mereka pun melihat bahwa penerapan nilai-nilai gotong royong ini pula lah yang membantu mempercepat pemulihan warga D.I. Yogyakarta pasca peristiwa gempa bumi besar yang melanda pada tahun 2006 lalu. Nilai gotong-royong sendiri merupakan bagian dari prinsip dasar mengenai kerukunan yang terdapat dalam interaksi sosial yang berkembang di masyarakat suku Jawa (MagnisSuseno, 1997). Selain aspek budaya, aspek agama juga dinilai membantu partisipan dalam beradaptasi pada lingkungan yang sering mengalami bencana alam ini. Dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama Katolik (seperti yang dianut oleh keempat partisipan) melalui kegiatan-kegiatan peribadatannya, partisipan diajak untuk meyakini bahwa bencana yang terjadi merupakan kehendak atau peringatan dari Tuhan dan manusia senantiasa diingatkan untuk terus memperbaiki tingkah lakunya. Pandangan ini sebenarnya tidak hanya terdapat pada nilai-nilai agama Katolik seperti yang diyakini oleh partisipan, namun sebenarnya juga terdapat pada nilai-nilai budaya Jawa itu sendiri, yaitu dengan pemaknaan bahwa erupsi Gunung Merapi merupakan pertanda bahwa telah terjadi ketidakseimbangan antara manusia dengan alam dan oleh karena itu manusia harus memperbaiki tingkah lakunya (Schlehe, 1996), termasuk tingkahlaku terhadap orang tua (melalui berbakti pada orang tua), sesama warga (dengan menjaga kerukunan dan kebersamaan antar warga), maupun terhadap alam itu sendiri dengan cara menjaga dan melestarikannya. Budaya Jawa pada dasarnya menerima adanya eksistensi dari Tuhan, karena dalam budaya Jawa, kehidupan sosial masyarakat tidaklah terpisah dari kehidupan religius mereka (Magnis-Suseno, 1997). Berdasarkan temuan dalam nilai-nilai budaya serta kehidupan religius yang terdapat pada masyarakat suku Jawa ini, maka intervensi pengembangan resiliensi bagi masyarakat suku Jawa yang tinggal di daerah rawan bencana erupsi Gunung Merapi ini perlu menyertakan nilai-nilai gotong royong, penghormatan terhadap orang tua, kerukunan dan kebersamaan, serta nilai-nilai religiusitas dalam pelaksanaanya. Peningkatan resiliensi sendiri dalam upaya peningkatan kesiapsiagaan bencana termasuk dalam upaya penanggulangan bencana pada tahapan pengurangan risiko bencana (Ramly, 2010).
DAFTAR PUSTAKA BAPPENAS & BNPB (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Ten-
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
gah Tahun 2011-2013, diunduh dari http://www.bnpb.go.id/website/file/pubnew/109.pdf. Blong, R. J. (1984). Volcanic Hazard: A Sourcebook on the Effects of Eruptions (Social Effect of Volcanic Eruption). North Ryde: Academic Press Australia. Campbell-Sills, L. & Stein, M. B. (2007). Psychometric Analysis and Refinement of The Connor-Davidson Resilience Scale(CD-RISC) : Validation of a 10-item Measure of Resilience. Journal of Traumatic Stress, 20 (6), 1019-1028. Doi: 10.002/jts.20271 Clauss-Ehlers, C. S., Yang, Y. T., & Chen, W. J. (2006). Resilience from Childhood Stressors : The Role of Cultural Resilience, Ethnic Identity, and Gender Indentity. Journal of Infant, Child, and Adolescent Psychotherapy, 5 (1), 124-138. Doi:Collins, W. A. & Laursen, B. (2004). Parent-Adolescent Relationship and Influences, dalam Lerner, R. M. & Steinberg, L. (2004) Handbook of Adolescent Psychology (2nd ed.). New Jersey : John Wiley & Sons. Compas, B. E. (2004). Processes of Risk and Resilience During Adolescence : Linking Context and Individuals, dalam Lerner, R. M. & Steinberg, L. (2004) Handbook of Adolescent Psychology (2nd ed.). New Jersey : John Wiley & Sons. Connor, K. M. & Davidson J. R. T. (2003). Development of A New Resilience Scale : The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC).Depression and Anxiety 18 : 76-82. Endraswara, S. (2012). Falsafah Hidup Jawa : Menggali Mutiara Kebajikan dari Intisari Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala. Fergus, S. & Zimmerman, M. A. (2005). Adolescent Resilience: A Framework for Understanding Healthy Development in the Face of Risk. Annu. Rev. Public Health 2005. 26: 399-419. Fullerton, C. S. & Ursano, R. J. (2005). Psychological and Psychopathological Consequences of disasters, dalam Lopez-Ibor, J.J.; Christodouluo, G.; Maj M.; Sartorious N.; Okasha A. (ed.) (2005) Disasters and Mental Health. West Sussex : John Wiley & Sons. Handayani, C. (2010). Dampak Bencana Terhadap Manusia dan Kehidupan, dalam Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI (2010) Modul Psychosocial Practicioner Course. Tidak Diterbitkan. Herrman, H., Stewart, D. E., Diaz-Granados, N., & Berger, E. L. (2011). What is Resilience?. Canadian Journal of Psychiatry; May 2011; 56, 5; Academic Research Library pg. 258. Leshner, A. I. (2002). Introduction, dalam Glantz, M. D. & Johnson, J. L. (ed.) (2002). Resilience and Development : Positive Life Adaptations. New York : Kluwer Academic Publishers Lopez-Ibor, J. J. (2005) What is a Disaster?, dalam Lopez-Ibor, J.J.; Christodouluo, G.; Maj M.; Sartorious N.; Okasha A. (ed.) (2005) Disasters and Mental Health. West Sussex : John Wiley & Sons. Maarif, S., Pramono, R., Kinseng, R. A., Suniarti, E. (2012). Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan Tentang Ancaman Bencana Alam (Studi Kasus Ancaman Bencana Gunung Merapi).Jurnal Penanggulangan Bencana, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, BNPB. Magnis-Suseno, F. (1997). Javanese Ethics and World View: The Javanese Idea of the Good Life. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Mancini, A. D. & Bonano, G. A. (2010). Resilience to Potential Trauma : Toward a Lifespan Approach. dalam Reich, John W.; Zautra, Alex J.; Hall, John S. (ed.) (2010). Handbook of Adult Resilience. New York: Guilford Press Mandleco, B. L. & Perry J. C. (2000). An Organizational Framework for Conceptualizing Resilience in Children.Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing; Jul-Sep 2000; 13, 3; Academic Research Library.
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013
Masten, A. S. & Obradovic, J. (2006). Competence and Resilience in Development. Acad. Sci. 1094: 13-27 Masten, A. S., & Wright, O. (2010). Resilience Over the Lifespan : Developmental Perspectives on Resistance, Recovery, and Transformation. dalam : Reich, John W.; Zautra, Alex J.; Hall, John S. (ed.) (2010). Handbook of Adult Resilience. New York: Guilford Press. Nurrachman, N. (ed.) (2007). Pemulihan Trauma : Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibar Bencana Alam. Depok : LPSP3. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th). New York: Mc Graw Hill. Pargament, K. I. & Cummings, J. (2010). Anchored by Faith : Religion as Resilience Factors, dalam Reich, John W.; Zautra, Alex J.; Hall, John S. (ed.) (2010). Handbook of Adult Resilience. New York: Guilford Press. Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (2007) Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta : Direktorat Mitigasi, Lakhar BAKORNAS PB. Ramly, A. A. (2010). Bencana, Penganggulangan Bencana, dan Bantuan Kemanusiaan, dalam Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI (2010) Modul Psychosocial Practicioner Course. Tidak Diterbitkan. Reich, J. W., Zautra, A. J., & Hall, J. S. (ed.) (2010). The Handbook of Adult Resilience. New York : The Guilford Press Reza, M. Z. (2007). Bencana Alam dan Dampak Psikologisnya Pada Kehidupan Manusia, dalam Nurrachman, N. (ed.) (2007). Pemulihan Trauma : Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibar Bencana Alam. Depok : LPSP3 Sarwono, S. W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Schlehe, J. (1996). Reinterpretation of Mystical Traditions; Explanation of a Volcanic eruption in Java. Anthropos, Bd. 91, H. 4./6. (1996). Pp 3911-409. The Australian Psychological Society (2009) Psychological Preparation for Natural Disasters.www.psychology.org.au Tuicomepee, A. & Romano, J. L. (2008). Thai Adolescent Survivors 1 Year After the 2004 Tsunami: A Mixed Methods Study. Journal of Counseling Psychology, 2008, Vol. 55, No.3, 3008-320 Tusaie, K. & Dyer, J. (2004). Resilience : A Historical Review of The Construct. Holistic Nursing Practice 2004: 18 (1) : 3-8 Tusaie, K.; Puskar, K; & Sereika, S. M. (2007). A Predictive and Moderating Model of Psychosocial Resilience in Adolescents. Journal of Nursing Scholarship : First Quarter 2007; 39, 1; Academic Research Library Ungar, M. (2010). Cultural Dimensions of Resilience among Adults. dalam : Reich, John W.; Zautra, Alex J.; Hall, John S. (ed.) (2010). Handbook of Adult Resilience. New York: Guilford Press. Ungar, M. et.al (2007). Unique Pathways to Resilience Across Cultures. Adolescence, 00018449, June 1, 2007 Vol.42, Issue 166 Wagnild, G. M. & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric Evaluation of the Resilience Scale.Journal of Nursing Measurement, Vol. 1, No. 2, 1993 Wagnild, G. M. (2010) Discovering Your Resilience Core. Diakses dari https://www.resiliencescale.com/papers/pdfs/Discovering_Your_Resilience_Core.pdf Zautra, A. J.; Hall, J. S.; & Murray, K. E. (2010). Resilience : A New Definition of Health for People and Communities. dalam Reich, John W.; Zautra, Alex J.; Hall, John S. (ed.) (2010). Handbook of Adult Resilience. New York: Guilford Press
Resiliensi pada ..., Mochammad Ardhya Irawan, FPSI UI, 2013