BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Penjajahan pada periode sebelum terjadinya era modernisme menjadi sebuah rekaman bagi bangsa-bangsa yang akan mulai membentuk identitasnya. Berbicara mengenai penjajahan, kehidupan umat manusia saat ini mengalami dinamika hidup pada tataran yang lebih manusiawi. Periode ini kata penjajahan di muka dunia sudah banyak yang memasuki masa senja. Akan tetapi, di sisi lain, masih banyak masyarakat yang sering berucap bahwa penjajahan ternyata masih ada di mana-mana. Penjajahan masih menghantui pemikiran dan rasa yang dimiliki umat manusia. Sebuah pertanyaan besar menghantui penulis untuk berani melakukan penelitian mengenai fenomena penjajahan. Apakah penjajahan memiliki kemampuan untuk reinkarnasi di kehidupan masa kini? Bangsa Timur (Asia) secara umum dan Indonesia secara khusus memiliki ribuan ingatan pahit mengenai penjajahan. Penjajahan dikaitkan dengan yang terjajah dan yang menjajah. Masih ada dalam ingatan bangsa Indonesia mengenai bangsa Belanda yang menjajah Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad. Indonesia dalam sejarahnya berhasil bebas dari praktik kolonial secara politik pada tanggal 17 Agustus 1945. Kekelaman bangsa Indonesia pada tahun itu belum berakhir. Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949. Dari masa ke masa, Belanda secara superior mengendalikan Indonesia. Belanda berhasil menjadikan Indonesia sebagai daerah koloni yang paling berhasil.
1
2
Koloni dapat diartikan sebagai daerah pendudukan, penaklukan, atau penguasaan, sedangkan kolonial berarti pihak yang meng-koloni. Proses penaklukan pihak kolonial terhadap daerah koloni disebut kolonisasi. Dari istilahistilah tersebut munculah kolonialisme. Paham tentang penguasaan suatu negara atas daerah atau negara lain dengan maksud memperluas negara tersebut adalah konsep dari kolonialisme. Kolonialisme dapat dipahami sebagai penaklukan atau penguasaan suatu bangsa atau daerah terhadap bangsa atau daerah lain untuk membentuk pemukiman baru. Menurut Ashcroft, dkk (2003: xxii) poskolonial berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Wacana poskolonial menganalisis hubungan antara Barat dan Timur sesudah bekas koloni memperoleh kemerdekaannya. Banyak masalah yang dapat ditemukan melalui teori poskolonial. Teori poskolonial memberikan pandangan-pandangan pada masa kolonial berkaitan dengan dinamika sosial yang terjadi pada masa itu. Fenomena dan dinamika sosial dalam masa poskolonial banyak terangkum dalam teks-teks kesusastraan. Kesusastraan poskolonial adalah kesusastraan dengan konteks waktu pada masa kolonial. Karya sastra poskolonial menggunakan tema kehidupan kolonial dengan perpsektif poskolonial. Membaca kesusastraan poskolonial dapat dipahami sebagai pembacaan pascakolonialisme. Pascakolonialisme secara longgar dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan jejak kolonialisme dalam konfrontasi ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan yang terjadi dalam lingkup “hubungan kekuasaan yang tak setara” (Foulcher, dkk. 2006: xi). Terlebih lagi, Foulcher menegaskan bahwa pascakolonialisme adalah strategi
3
membaca teks sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks sastra, serta posisi atau suara pengamat yang berkaitan dengan isu-isu tersebut (Foulcher, dkk. 2006: xi). Novel merupakan salah satu genre dalam karya sastra yang berhasil mengaplikasikan fenomena dan dinamika pada masa poskolonial. Novel, memiliki unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang dapat diapresiasi keduanya karena novel merupakan karya seni yang memberikan banyak manfaat. Melihat novel-novel buah karya orang Indonesia yang bertemakan poskolonial, kegelisahan dan rasa penasaran penulis terhadap pandangan sastrawan terhadap permasalahan kolonisasi semakin bertambah. Novel-novel poskolonial
berhasil
mengacaukan pemikiran penulis
yang selama ini
menganggap bahwa sejarah kolonial hanya tinggal sejarah. Ternyata, masa kolonial memiliki efek domino yang berkepanjangan bagi bangsa Indonesia. Kesusastraan poskolonial memiliki dua karakter utama. Pertama, dalam bentuk paling mutakhirnya, karya sastra itu terlahir dari pengalaman kolonisasi. Kedua,
pernyataan-pernyataannya
mengungkapkan
ketegangan-ketegangan
berkaitan dengan hadirnya kekuatan imperial, dan sekaligus menekankan perbedaannya dengan asumsi-asumsi yang dibangun oleh pusat imperial (Ashcroft, dkk. 2003: xxiii). Berdasarkan uraian di atas, novel terlihat sebagai situs penting bagi rekaman sejarah kolonisasi masa lalu. Novel dapat menggambarkan dinamika kehidupan kolonial dahulu di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis akan menggunakan objek kajian berupa novel yang diasumsikan mampu menginterpretasikan kehidupan kolonisasi pada masa penjajahan Belanda. Novel
4
yang dipilih untuk menjadi objek kajian adalah novel berjudul Parijs van Java karya Remy Sylado. Novel Parijs van Java merupakan buah karya Remy Sylado yang naik cetak untuk pertama kali pada Februari tahun 2003. Sebagian besar novel Remy Sylado bertemakan kehidupan pada masa kolonial ataupun setelah masa kolonial. Novel Parijs van Java mengambil sudut waktu pada masa kolonial Belanda di Indonesia, Bandung khususnya. Penelitian terhadap novel ini dilakukan dengan maksud bahwa novel ini menggambarkan kehidupan kolonial zaman dahulu di Indonesia. Hiruk pikuk kehidupan di Bandung pada masa kolonisasi Belanda digambarkan oleh Remy Sylado melalui dua tokoh utamanya. Ternyata, pada masa penjajahan dahulu tidak selalu hal-hal yang berbau politik dan ekonomi yang unggul dalam masalah kehidupan. Masalah sosial dan budaya yang dimiliki bangsa Barat tidak bisa lepas begitu saja saat di negara koloninya. Hal tersebut seringkali menimbulkan polemik baru dalam dinamika penjajahan. Novel Parijs van Java memiliki gagasan mengenai sikap bangsa Barat terhadap bumiputera dan sikap bangsa Barat terhadap kaumnya sendiri. Hampir seluruh orang Barat yang berada di Indonesia memiliki sifat kolonialisme dan imperialisme. Dalam novel ini ditampilkan kebaruan ide mengenai orang Barat yang tidak memiliki sifat kolonialisme dan imperialisme, bahkan cenderung untuk mendukung perjuangan dan hak bumiputera untuk bebas dari penjajahan. Dalam perjalanannya, poskolonial mengalami berbagai macam persoalan. Ambivalensi, hibriditas, mimikri, dan stereotip merupakan rangkaian efek dari praktik kehidupan pada masa kolonial. Keempat hal tersebut penulis rangkum
5
dalam suatu konsep yang disebut dinamika sosial kehidupan di masa kolonial. Ragam dinamika sosial yang terjadi pada masa kolonial dapat mengasumsikan riwayat penjajahan yang dialami bangsa Indonesia. Dinamika sosial dapat dipahami sebagai gerak antar budaya yang menimbulkan perubahan dalam tatanan hidup masyarakat. Penguasaan terhadap negara atau bangsa lain membuat adanya kontak fisik dengan orang dari budaya berbeda. Dinamika sosial tersebut membuat penulis tertarik untuk bisa melihat lebih dalam apa yang terjadi pada masa penjajahan, disamping faktor politik dalam perjalanan kolonisasi. Berdasarkan konteks waktu kolonial dalam novel Parijs van Java maka penelitian ini akan menggunakan kajian poskolonial yang berkaitan dengan teori poskolonial. Istilah poskolonial sendiri telah digunakan sebagai suatu cara untuk menyusun kritik terhadap totalisasi historisisme Barat.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan maka rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga butir sebagai berikut. 1. Bagaimanakah posisi pengarang Parijs van Java dalam konteks poskolonial? 2. Bagaimanakah bentuk stereotip yang ditampilkan dalam novel Parijs van Java? 3. Bagaimanakah bentuk ambivalensi, hibriditas, dan mimikri yang ditampilkan dalam novel Parijs van Java?
6
Tiga
rumusan
masalah
ini
akan
menggiring
penelitian
untuk
mengungkapkan apa intensi pengarang menunjukkan bentuk-bentuk stereotip, ambivalensi, hibriditas, dan mimikri dalam konteks poskolonial.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan teoretis dan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini mencakup tiga hal. Pertama, mendeskripsikan posisi pengarang Parijs van Java dalam kondisi poskolonial. Kedua, mendeskripsikan bentuk-bentuk dari stereotip yang terjadi dalam kehidupan antara bangsa Belanda dengan bumiputera. Ketiga, mendeskripsikan ambivalensi, hibriditas, dan mimikri, yang terjadi dalam novel Parijs van Java. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan kepada pembaca mengenai situasi dinamika kehidupan masyarakat pada masa kolonial. Efek-efek kolonial terekam dalam karya sastra yang hingga saat ini masih berkembang. Perkembangan kolonisasi Belanda kala itu tidak terus menerus penderitaan yang dialami bumiputera, melainkan kebaruan-kebaruan lain mengenai perjuangan bangsa Belanda untuk melawan kaumnya sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menjadi sebuah wawasan baru mengenai gambaran tentang dinamika kehidupan masyarakat kolonial pada masa penjajahan Belanda di Indonesia dahulu.
1.4 Tinjauan Pustaka Sejauh yang diketahui oleh peneliti, pembicaraan dengan ulasan novel Parijs van Java secara khusus dengan kajian poskolonial belum pernah dilakukan
7
sebelumnya. Namun, penelitian dengan menggunakan novel Parijs van Java sebagai objek kajian penelitian pernah dilakukan oleh Edo Muftiandar dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Cerita Panji Kembang Kuning Wayang Beber Pacitan terhadap Novel Parijs van Java karya Remy Sylado (Kajian Sastra Bandingan)” yang terbit pada tahun 2006 (Universitas Negeri Surabaya. 2006). Edo Muftiandar mengkaji novel Parijs van Java dengan menggunakan teori intertekstual yang berprinsip pada hipogram oleh Michael Riffaterre, yaitu dengan menjelaskan hipogram sebagai kelompok kata suatu sajak yang memperlihatkan hubungan antar teks untuk menjadi modal sajak yang lahir setelahnya. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan dan pengaruh ekspansi, konversi, modifikasi, dan ekserp cerita Panji Kembang Kuning Wayang Beber terhadap novel Parijs van Java. Penelitian lain yang menggunakan novel Parijs van Java sebagai objek kajian penelitian juga dilakukan oleh Heny Yulyani melalui tesisnya yang berjudul Perempuan Bangsa Kolonial di Hindia Belanda dalam Novel Varijs van Java Darah, Keringat, Air mata karya Remy Sylado; Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis. Penelitian yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada pada tahun 2006 tersebut mengkaji novel Parijs van Java dengan menggunakan pendekatan kritik sastra feminis dan strukturalisme Mukarovsky, yaitu dengan melihat permasalahan perempuan sebagai objek seksual sebagai pemicu pergerakan kaum feminis dan permasalahan konteks sosial yang merupakan masalah penting dalam novel tersebut. Penelitian tersebut bertujuan untuk menunjukkan bahwa dibalik lemahnya fisik perempuan, ada ketabahan dan ketegaran jiwa dalam diri perempuan.
8
Sementara itu, kajian poskolonial telah banyak digunakan untuk meneliti karya-karya sastra seperti penelitian yang dilakukan oleh Faruk dan Rachmi Yunita. Faruk membuat penelitian yang kemudian dibukukan pada tahun 2007 dengan judul Belenggu Pasca-kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Tulisan Faruk tersebut berhasil mengidentifikasi beberapa hal, antara lain pengalaman dan respons poskolonial yang khas pada masyarakat Indonesia, khususnya pada kesusastraan dengan genre novel; dan berbagai macam kondisi hegemoni dan resistensi dalam karya-karya sastra poskolonial Indonesia. Rachmi Yunita melalui skripsinya pada tahun 2013 meneliti novel De Winst karya Afifah Arfa dengan menggunakan kajian poskolonial. Penelitian yang berjudul Novel De Winst Karya Afifah Afra : Tinjauan Poskolonial tersebut berisi posisi pengarang dan kondisi-kondisi poskolonial, yaitu hibriditas, mimikri, ambivalensi, dan resistensi terhadap wacana kolonial dalam novel De Winst. Dalam penelitian tersebut, Rachmi Yunita berhasil mengidentifikasi hibriditas, mimikri, ambivalensi, dan resistensi dalam kehidupan tokoh yang terdapat dalam novel De Winst. Dari penelusuran literatur yang telah dilakukan oleh penulis, penulis belum menemukan kajian terhadap novel Parjis van Java dengan menggunakan teori poskolonial. Kajian atas novel Parijs van Java dapat menjadi pelengkap atas kajian-kajian poskolonial yang sudah ada. Pertama, novel ini membicarakan persoalan kolonialisme dan menampilkan kebaruan dalam hal citra sebagai bangsa Barat yang diperoleh dari sudut pandang masyarakat Barat. Melalui hal tersebut, banyak terlihat kontra batin dari masyarakat Barat yang menyebabkan timbulnya ambivalensi. Kedua, novel Parijs van Java ini terbilang menarik dengan
9
memanfaatkan fakta-fakta cerita yang memang merupakan contoh dari kehidupan kolonial di Hindia Belanda pada zaman kolonisasi. Pemanfaatan unsur sejarah dalam novel ini merupakan sarana yang dimanfaatkan Remy Sylado untuk menyampaikan suatu pesan yang akan digali melalui penelitian ini.
1.5 Landasan Teori Secara
garis besar,
studi
poskolonial
dipahami
sebagai
sebuah
pengetahuan tentang fenomena-fenomena pada masa kolonisasi hingga sesudah masa kolonisasi. Poskolonial sering dipahami sebagai dekolonisasi representasi yang artinya dekolonisasi teori Barat tentang bukan Barat, dan tantangan terhadap mitologi orang-orang berkulit putih. Istilah poskolonial dan pascakolonial dalam berbagai perbincangan sesungguhnya memiliki makna yang sama. Istilah poskolonial lebih tepat digunakan untuk menyebut kritik lintas budaya yang meliputi seluruh kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan kolonial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun waktu saat ini, sedangkan istilah pascakolonial lebih merujuk untuk digunakan dalam penyebutan masa sesudah praktik kolonial. Said mengungkapkan bahwa warisan sejarah dapat menjadi saksi bahwa empat perlima permukaan bumi dan dua pertiga penduduk bumi pernah mengalami kolonialisme (Said dalam Foulcher, 2008: 3). Akan tetapi, istilah kolonialisme bisa diartikan sebagai bentuk-bentuk penjajahan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain yang lebih inferior untuk membentuk suatu peradaban baru di daerah koloni.
10
Tulisan poskolonial merupakan tulisan yang membahas berbagai persoalan pengaruh kekuasaan politik dan kebudayaan kolonial terhadap bangsa terjajah sampai ke masa kemerdekaan bangsa tersebut (Faruk, 2007: 5). Dalam ranah kesusastraan, karya-karya poskolonial merupakan tulisan yang memuat sisi historis dan efek pembentukan kebudayaan dari kolonialisme. Kritik poskolonial menjadi saksi kekuatan yang tidak merata dalam representasi budaya yang terlibat dalam konteks untuk otoritas politik dan sosial dalam tataran dunia modern. Perspektif poskolonial sering muncul dari kesaksian kolonial dari negara-negara dunia ketiga dalam wacana minoritas divisi geopolitik Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Kritik seputar masalah perbedaan budaya, otoritas sosial, dan diskriminasi politik diungkapkan saat terjadi peran ambivalensi dalam rasionalisasi modernitas (Bhabha, 1994: 245). Ambivalensi merupakan salah satu dinamika sosial yang terdapat dalam praktik kolonial. Ambivalensi merupakan hasil yang diperoleh dari para pelaku kolonialisme. Ambivalensi dan mimikri memiliki hubungan yang sangat erat. Proses diskursif yang berasal dari mimikri, tidak hanya mengenai sesuatu yang tidak
tersampaikan,
melainkan
juga
terciptanya
subjek
kolonial
yang
bertransformasi sesuai dengan keinginan sistem kolonial. Dua hal yang menandai hal tersebut adalah sesuatu yang tidak lengkap serta tidak nyata. Kedua hal ini merupakan bentuk timbulnya kekuatan-kekuatan dari kolonial yang berasal dari representasi beberapa strategi pembatasan atau undang-undang mengenai peraturan wewenang kolonial. Kesuksesan sistem kolonial bergantung dengan perkembangan pada objek yang telah mengalami kegagalan strategi (Bhabha, 1994:123).
11
Dalam perjalanannya, pertukaran silang budaya pada masa poskolonial juga sangat sering terjadi. Ungkapan hibriditas merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan dinamika pertukaran budaya tersebut. Semua ungkapan dan sistem budaya dibangun dalam sebuah ruang yang disebut “third space of enunciation”. Kebudayaan internasional tidak dibangun berdasarkan eksotisisme multikulturalisme atau keberagaman budaya, tetapi berdasarkan inskripsi dan artikulasi hibriditas kebudayaan (Bhabha, 1994: 37-38). Bhabha dalam kesempatan yang lain menyatakan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu bersifat ambigu, polisemik. Oleh karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial, identifikasi masyarakat terjajah terhadap Barat, tidak harus berarti kepatuhan masyarakat untuk meniru (to mimic), tetapi dapat pula menjadi suatu ejekan (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan dengan sepenuhnya pada model yang ditawarkan penjajah (Bhabha dalam Faruk, 2007: 6). Satu fitur penting dari wacana kolonial adalah ketergantungan pada konsep kepastian dalam pembangunan ideologi keberbedaan. Ketetapan sebagai tanda budaya, sejarah, perbedaan ras dalam wacana kolonialisme adalah representasi yang berkonotasi atas kekakuan dan perintah yang tidak berubah. Stereotip termasuk dalam salah satu konsep poskolonial. Stereotip dalam poskolonial adalah bentuk pengetahuan dan identifikasi antara pihak superior terhadap inferior (Bhabha, 1994: 95). Stereotip juga mencakup idealisasi selektif
12
terhadap liyan. Liyan yang dimaksud di sini adalah bentuk-bentuk objektif terhadap ras atau bangsa lain. Hegemoni gagasan Barat terhadap Timur sebagai liyan dari Eropa, merupakan praktik yang sengaja diciptakan untuk mendukung superioritas Eropa (Barat) (Said, 2001: 8-10). Awal mula Barat melakukan ekspansi ke dunia Timur bertujuan untuk melakukan peziarahan. Dengan alasan tersebut, mereka mengunjungi, memotret, bahkan mengeksploitasi dunia Timur. Kemudian dari peziarahan berlanjut kepada penulisan pengalaman selama berada di Timur. Pengalaman pribadi tersebut menjadi sebuah jurnal ilmiah yang digunakan sebagai bahan kajian ketimuran bagi kepentingan Barat. Selama Barat berada di Timur, mereka tetap menutup diri dari pengaruh ketimuran. Oleh karena itu, tulisan Barat terhadap Timur sama sekali tidak terpengaruh terhadap studi ketimuran. Barat menjadikan Timur sebagai panggung imajinatif, yang pada akhirnya dapat dieksploitasi sesuai dengan kepentingan mereka sendiri (Said, 2010: 257). Pandangan yang dibentuk Barat terhadap Timur inilah yang disebut dengan stereotip. Pada saat pasukan dan pejabat kolonial Inggris mulai berdatangan ke Malaka, mereka memandang masyarakat Melayu dengan pandangan yang merendahkan. Inggris memandang bangsa Melayu tidak memperoleh tingkat perkembangan intelektual yang tinggi, memiliki karakter primitif dan tidak beradab (Alatas, 1998:53). Fokus penulis terhadap penelitian ini adalah permasalahan ambivalensi, hibriditas, mimikri, dan stereotip yang semuanya itu terangkum dalam dinamika sosial masa kolonial. Dinamika sosial ini lebih mengutamakan keleluasaan Barat
13
yang menjadikan bangsa Timur sebagai objek inferior dalam novel Parijs van Java. Stigma-stigma Belanda terhadap Indonesia (Hindia Belanda) pada masa kolonial tersebut dianggap masih melekat hingga saat ini. Bangsa Timur dirasa masih memiliki spesifikasi yang menggambarkan identitas liyan bagi Barat.
1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian novel Parijs van Java karya Remy Sylado menggunakan metode penelitian kualitatif. Metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Tylor dalam Moleong, 2009: 4). Cara kerja sistematis yang digunakan dalam penelitian tentang studi poskolonial ini terbagi dalam tiga tahap. Pertama, tahap persiapan penelitian. Pada tahap ini, penulis menentukan topik, memilih objek, merelasikan teori-teori dengan objek kajian, dan melakukan studi pustaka. Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis, penelitian objek kajian novel Parijs van Java dengan menggunakan teori poskolonial belum pernah
dilakukan sebelumnya.
Penggunaan teori poskolonial dirasa tepat untuk digunakan karena novel ini bisa diasumsikan sebagai novel yang menggambarkan kehidupan kolonial pada masa penjajahan Belanda. Kedua, analisis data. Analisis data ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif analisis, yaitu metode yang dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul analisis (Ratna, 2012: 53). Analisis data
14
dilaksanakan dengan cara pemberian pemahaman dan penjelasan. Langkahlangkah tersebut berisi pemilahan data yang berhubungan dengan rumusan masalah dalam penelitian. Penulis mengidentifikasi dan mengklasifikasi data yang sesuai dengan kerangka teori poskolonial. Tahap ketiga merupakan tahap akhir, yaitu penyusunan hasil analisis. Penyusunan ini dilaksanakan secara sistematis dan deskriptif.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian Hasil penelitian ini akan disusun dengan sistematika laporan penelitian sebagai berikut. Bab pertama mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua mencakup identifikasi posisi pengarang dalam kondisi poskolonial dalam novel Parjis van Java. Bab ketiga mencakup analisis tentang ragam stereotip yang terdapat pada novel Parijs van Java. Bab keempat mencakup analisis sekaligus mendeskripsikan dinamika sosial pada masa kolonial, yaitu ambivalensi, hibriditas, dan mimikri yang terdapat dalam novel Parjis van Java. Bab kelima atau bab terakhir berisi kesimpulan hasil analisis.