BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pemanfaatan listrik telah demikian luas. Mulai dari aktifitas rumah tangga hingga aktifitas perindustrian, semuanya membutuhkan listrik. Kebutuhan ini, dalam kenyataannya, tidak secara mutlak diikuti dengan kemampuan konsumen kelompok rumah tangga untuk membayar biaya listrik
secara penuh sehingga pemerintah
kemudian memberikan subsidi listrik. Dengan melonjaknya harga minyak dunia hingga diatas US$ 100 per barel, pemerintah harus mulai berhitung dengan cermat mengenai besaran subsidi yang harus ditanggung pemerintah karena 36 persen pembangkit listrik PT PLN menggunakan bahan bakar minyak. Dalam kaitannya dengan subsidi ini, pada tahun 2007, subsidi yang ditanggung pemerintah sudah mencapai 43,3 trilyun dan pada tahun 2008 subsidi ini meningkat menjadi 61 trilyun1. Masalah ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan menaikkan tarif listrik. Namun solusi ini bukanlah sebuah pilihan yang populis. Oleh karena itu, terkait dengan dengan adanya tren kenaikan harga minyak dunia, pemerintah sejak tahun 2005 melalui Inpres No.10 tahun 2005, mendorong upaya penghematan listrik sebagai solusi jangka pendek. PT PLN sebagai penyedia listrik nasional, telah merancang serangkaian program pendukung penghematan. Pertama, melalui sosialisasi hemat listrik 17-22, yang ditayangkan oleh media massa dan media lainnya. Dalam sosialisasi ini ditekankan mengenai pentingnya menghemat listrik pada saat masa puncak pemakaian listrik yaitu pada pukul 17.00 hingga pukul 22.00 oleh masyarakat pelanggan PLN. 1
Kedua,
Koran Tempo, 22Februari 2008, Edisi No.2402 Tahun VII, “Editorial : Mengatasi krisis listrik”, hal. A2
1
sebagaimana pernyataan Direktur Niaga
dan Pelayanan PT PLN, Sunggu Anwar
Aritonang (Koran Tempo, 23 Februari 2008), pelanggan listrik 450 volt ampere (VA) yang paling boros menggunakan listrik ada di wilayah Jakarta, Tanggerang, Kalimantan Timur, Bangka Belitung dan Riau. Untuk mendukung upaya penghematan, PLN mengusulkan skema tarif insentif dan dis-insentif. Namun dalam perkembangannya, berdasarkan siaran pers Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tanggal 25 Maret 2008, skema yang diusulkan oleh PLN ini tidak digunakan lagi. Sebagai gantinya, pelanggan yang memakai listrik sampai batas hemat tertentu (80 persen dari pemakaian rata-rata nasional, pada kelompok tarifnya) akan dikenakan tarif bersubsidi. Sedangkan pelanggan yang tidak bisa berhemat , kelebihannya akan dikenakan tarif non subsidi. Ketiga, menggelar inspeksi mendadak ke wilayah-wilayah yang diduga banyak terjadi pencurian listrik. Keempat, melakukan pembagian lampu hemat energi. Terlepas dari upaya penghematan listrik yang saat ini sedang dilakukan, krisis listrik yang terjadi di Indonesia muncul karena adanya beberapa alasan. Pertama, ketergantungan terhadap bahan bakar minyak
untuk membangkitkan listrik masih
relatif besar. Hari Suharyanto mencatat bahwa konsumsi bahan bakar pembangkit PLN pada tahun 2003, 42 persen berupa batubara, 23 persen berupa minyak solar, 23 persen berupa gas bumi dan 22 persen berupa minyak diesel dan minyak bakar2. Kedua, adanya masalah teknis berupa perbaikan pembangkit listrik dan tertundanya pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik akibat faktor harga maupun faktor cuaca buruk. Ketiga, sebagaimana yang dinyatakan oleh Dirut PLN, Eddie Widiono (Kompas, 31 Mei 2003), pertumbuhan kebutuhan listrik di wilayah Jawa-Madura-Bali yang besarnya
2
Hari Suharyanto, 2006, “Analisis Gambaran Kelistrikan Jawa dan Luar Jawa Tahun 2003” hal.16 dalam “Pengembangan Sistem Kelistrikan Dalam Pembangunan Nasional Jangka Panjang”, 2006, Jakarta : Pusat Pengkajian Dan Penerapan Teknologi Konversi Dan Konservasi Energi , BPPT.
2
12 persen per tahun, hanya dapat terpenuhi dengan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 12.000 MegaWatt (MW). Keempat, belum optimalnya pemanfaatan energi alternatif dalam pembangkitan listrik di Indonesia. Dari alasan-alasan diatas, pembangunan fasilitas pembangkit listrik berbahan bakar alternatif adalah kebutuhan yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Tabel 1. Potensi Energi Nasional ENERGI NON
KAPASITAS SUMBER DAYA
SETARA
PEMANFAATAN
FOSIL
TERPASANG
Tenaga Air
845,0 juta BOE
75,67 GW
6.851,00 GWh
4,2 GW
Panas Bumi
219,0 juta BOE
27,14 GW
2.593,50 GWh
0,852 GW
0,46 GW
0,084 GW
49,81 GW
0,302 GW
Tenaga Surya
4,80 kWh/m2/hari
0,008 GW
Tenaga Angin
9,29 GW
0,0005 GW
Mini/mikrohidro
0,46 GW
Biomassa
Uranium (Nuklir)
24.112Ton *
33,0 GW*
Keterangan : * hanya di daerah Kalan, Kalimantan Barat Sumber : Buku Putih : Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2005-2025, hal.3 Sesuai dengan Perpres Nomor 5 tahun 2006 yang berisi tentang kebijakan energi nasional, pemanfaatan energi nuklir adalah bagian dari skenario bauran energi (energy mix). Dalam skenario ini, energi listrik yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga 3
Nuklir (PLTN) akan memberi kontribusi sekitar 5 persen ( ~4000 MWe) pada tahun 2025, yang diawali dengan operasionalisasi PLTN pertama pada tahun 2016. Kontribusi listrik dari PLTN ini, diprioritaskan bagi jaringan listrik Jawa-Madura-Bali karena akan membantu upaya pemenuhan beban dasar yang selama ini diperoleh dari PLTU yang ada di Jawa. PLTN sebagai salah satu alternatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia, memiliki posisi yang menarik. Pertama, keinginan untuk membangun PLTN sudah diawali sejak tahun 1972, yaitu melalui pembentukan Komite Persiapan Pembangunan PLTN. Kedua, munculnya pro dan kontra terkait rencana pembangunan PLTN. Ketiga, Undang-Undang Nomor 15 tahun 1985 yang mengatur tentang ketenagalistrikan dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang ketenaganukliran, memiliki semangat jaman yang berbeda dengan produk-produk hukum yang dibuat pada masa reformasi terutama dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Keempat, sesuai dengan Perpres Nomor 5 tahun 2006, penetapan rencana kontribusi PLTN dalam kelistrikan nasional terlalu kecil, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai keseriusan pemerintah dalam membangun dan mengembangkan pemanfaatan nuklir dalam ketenagalistrikan nasional. Kelima, besarnya nilai proyek dalam pembangunan PLTN yang ditaksir mencapai Rp 75 trilyun lebih, belum terjamin akan bebas dari praktek korupsi. B.Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis ingin menjawab pertanyaan: Apa tingkat partisipasi masyarakat dalam rencana pembangunan PLTN Muria?
4
C.Argumen Utama Rencana pembangunan PLTN Muria bukan semata berkutat dengan persoalan teknis mengenai teknologi reaktor nuklir yang akan diterapkan maupun manfatnya bagi pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Hal ini juga terkait dengan faktor resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat. Isu klasik seperti penggusuran masyarakat dari wilayah yang ditetapkan sebagai calon tapak proyek sangat rentan untuk berkembang menjadi konflik yang bersifat terbuka antara masyarakat dan pemerintah. Sekalipun pemerintah berhasil memaksakan pembangunan PLTN Muria, resiko terjadi bencana kebocoran reaktor nuklir di masa depan juga turut menjadi sumber kekhawatiran masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa mengabaikan masyarakat dalam rencana pembangunan PLTN Muria. Partisipasi masyarakat dalam rencana pembangunan PLTN Muria dapat muncul dalam beragam tingkatan dan bentuk yaitu: 1. Bersifat non partisipatif atau pelengkap. Pada tahapan ini banyak ditandai dengan upaya pengerahan massa, terjadinya distorsi informasi dan formalisasi mekanisme partisipasi. Berbagai kegiatan yang dilakukan pada intinya bertujuan mengubah pola pikir masyarakat. 2. Mulai munculnya tanda partisipasi yang dapat dicermati melalui kegiatan sosialisasi informasi, konsultasi dan upaya penentraman.
Masyarakat pada
tingkatan ini sudah dapat memberikan masukan bagi pemerintah dan bersifat tidak mengikat.
5
3. Masyarakat berperan sebagai mitra dan pada derajat tertinggi memiliki kewenangan untuk memutuskan hal-hal yang terkait dengan rencana pembangunan PLTN. Tahapan ini sangat mungkin dicapai ketika masyarakat telah menguasai berbagai isu yang terkait dengan PLTN. Bentuk dari partisipasi masyarakat tertinggi muncul berupa referendum yang bersifat mengikat. Tingkat partisipasi masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan memberikan tiga manfaat yaitu: Membuka kesempatan komunikasi yang lebih baik antara pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak lainnya yang terkait sehingga dapat meminimalkan kesalahpahaman dan peluang terjadinya konflik, Mendukung terbentuknya legitimasi yang kuat terhadap pembangunan PLTN Muria karena masing-masing pihak telah melalui proses sosialisasi, konsultasi, dan telah melaksanakan prosedur penetapan keputusan yang telah disepakati bersama, Mendorong pengelolaan konflik yang lebih bersifat konstruktif. D.Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh informasi dan fakta tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTN Muria di Jepara. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
Memahami pandangan masyarakat mengenai pembangunan PLTN Muria
Mengetahui sejauh mana partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTN Muria 6
Mengetahui manfaat partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTN Muria
Mengetahui faktor pendorong dan penghambat partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTN Muria
Memahami lebih lanjut bentuk partisipasi yang memungkinkan terjadinya resolusi konflik
E.Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini berupaya untuk menemukan fakta dan informasi yang pada gilirannya akan semakin memperkaya teori-teori yang terkait dengan rumusan masalah penelitian ini. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan sekaligus sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan setiap orang yang peduli dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTN di Indonesia. F.Metode Penelitian Penelitian ini memakai metode kualitatif. Sugiono (2008) mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah dimana peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), dan hasil dari penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Metode penelitian kualitatif ini dipilih karena melalui metode ini, data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam dan bermakna sehingga akan diperoleh pemahaman yang utuh mengenai partisipasi masyarakat terkait dengan rencana pembangunan PLTN Muria di Jepara.
7
Penelitian ini memanfaatkan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama, baik dari individu maupun kelompok. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa teknik pengumpulan data yaitu : 1.Observasi Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari perilaku dan memahami makna dari perilaku yang diamati. Beberapa hal yang diamati antara lain: Gambaran umum masyarakat desa Balong Dinamika sosial yang terkait dengan isu penggusuran masyarakat desa Balong Pandangan masyarakat terhadap kemungkinan bencana radiasi akibat kebocoran reaktor nuklir Hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, terutama aparat desa Tingkat partisipasi masyarakat Balong terkait rencana pembangunan PLTN Muria. 2.Wawancara Untuk teknik pengumpulan data melalui wawancara, informan yang dipilih sebagai sumber data diantaranya yaitu warga desa Balong, petinggi dan perangkat desa Balong, pengurus Persatuan Masyarakat Balong (PMB), anggota Koalisi Rakyat dan Mahasiswa Tolak Nuklir (KRATON), pengurus Marem (Masyarakat Rekso Bumi), anggota DPRD Jepara. 8
3.Diskusi Kelompok terfokus Dalam diskusi ini, ada 2 kelompok yang secara terpisah diajak berdiskusi. Diskusi pertama diikuti oleh masyarakat dengan didampingi 1 orang pengurus KRATON pada 4 April 2008. Diskusi kelompok kedua diadakan pada 6 April 2008 dengan para aparat di tingkat desa. Sedangkan untuk data sekunder, dalam penelitian ini diperoleh dengan studi pustaka (library research). Studi pustaka ini dilakukan dengan cara mempelajari buku, jurnal, majalah, dan tulisan-tulisan yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. Untuk mempersempit jangkauan penelitian, penulis memakai acuan tahun 2007 hingga 2011. Tahun 2007 dipilih sebagai titik awal karena pada tahun ini mulai kembali muncul demonstrasi menolak PLTN, fatwa haram terhadap PLTN dan kembali menghangatnya perdebatan mengenai perlu tidaknya pemerintah membangun PLTN baik dalam tataran lokal maupun nasional. Sedangkan tahun 2011 dipakai sebagai titik akhir karena berdasarkan "Buku Putih : Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Energi Baru dan Terbarukan Tahun 2005-2025" telah direncanakan bahwa kontruksi PLTN 1 & 2 akan dilaksanakan. G.Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam 5 (lima) bab yaitu : Bab 1 Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, Argumen utama, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 Tinjauan Literatur dan Landasan Teori. Bab ini berisi tinjuan literatur dan landasan teori yang mendasari penelitian. 9
Bab 3 Rencana Pembangunan PLTN Muria. Bab ini berisi tentang gambaran umum terkait dengan sejarah rencana pembangunan PLTN, profil calon tapak PLTN Muria, dan dasar hukum terkait rencana pembangunan PLTN Muria. Bab 4 Tangga Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Rencana Pembangunan PLTN Muria. Bab ini membahas tentang tangga tingkat partisipasi masyarakat, hambatan menuju tingkat partisipasi yang lebih tinggi dan lesson learn dari rencana pembangunan PLTN Muria. Bab 5 Penutup. Bab ini berisi kesimpulan.
10