1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pada era global dewasa ini, suatu batas-batas negara dalam hubungan internasional sangat dinamis sehingga batas nasional dengan mudah dan cepat dapat ditembus. Dalam era globalisasi ini, masyarakat internasional telah didukung
dengan
kemajuan
teknologi,
khususnya
teknologi
informasi,
telekomunikasi, dan transportasi. Tidak hanya dampak positif yang ditimbulkan oleh era global ini namun dampak negatif juga timbul. Timbulnya kejahatankejahatan yang mencakup ruang internasional semakin meningkat baik secara kuntitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara bilateral maupun multilateral dalam mengatasi kejahatan-kejahatan tersebut. Dengan demikian juga diakui dapat mengajukan klaim atau tuntutan di hadapan badan pengadilan internasional dan sebaliknya dapat dibebani tanggung jawab secara langsung atas tindakan atau kejahatan-kejahatan (tertentu) yang dilakukannya yang melanggar ketentuan-ketentuan internasional.1 Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan yang menunjukan bahwa batas-batas teritorial antara satu negara dan negara lain di dunia, baik dalam satu kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Pada
1
I Wayan Parthiana, 1987, Beberapa masalah dalam hukum Internasional dan Hukum Nasional, Binacipta, bandung, h.167.
2
dewasa ini, hampir dapat dipastikan bahwa semua jenis atau bentuk kejahatan tidak dapat lagi dipandang sebagai yurisdiksi kriminal suatu negara, akan tetapi sering diklaim termasuk yurisdiksi kriminal lebih dari satu atau dua negara, sehingga dalam pekembangannya kemudian telah menimbulkan masalah konflik yurisdiksi yang sangat mengganggu hubungan internasional antar negara yang berkepentingan di dalam kasus tindak pidana tertentu yang bersifat lintas batas teritorial. Masyarakat internasional yang tergabung dalam wadah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui bahwa perkembangan tindakan pidana lintas batas territorial tersebut semakin mempertinggi tingkat kesulitan kerjasama antar negara dalam upaya pencegahan dan pemberantasanya terutama jika dalam tindak pidana tersebut melibatakan warga negara asing seperti peredaran narkotika.2 Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya penanggulangan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama yaitu berupa jaringan yang dilakukan oleh sindikat clandestine yang terorganisasi, sistematis, rapi dan sangat rahasia. Kejahatan semacam ini jelas menunjukan perbedaan dengan kejahatan atau tindak pidana khusus lainnya dalam pengertian nasional sedangkan dari sifat internasionalnya mulai semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya sudah meliputi individu, negara, benda, aspek publik dan privat yang nampak adalah sifatnya yang transnasional yang meliputi hampir semua
2
Romli Atmasamita, 2006, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, h. 5.
3
aspek baik nasional maupun internasional, baik privat maupun publik, politik atau bukan politik. Oleh karena itu akan lebih tepat untuk menyebutkan kejahatan semacam ini sebagai kejahatan transnasional.3 PBB
memberikan
karakteristik
kejahatan
apa
saja
yang
dapat
dikategorikan sebagai kejahatan transnasional, yaitu: 1.
Dilakukan dalam lebih dari satu negara.
2.
Dilakukan di suatu negara namun bagian penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian dilakukan di negara lain.
3.
Dilakukan dalam suatu negara namun melibatkan suatu kelompok kriminal terorganisasi yang terlibat dalam aktivitas kejahatan lebih dari satu negara, atau
4.
Dilakukan dalam satu negara namun memiliki efek penting dalam negara lainnya. Kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang modern dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.4 Kejahatan organisasi transnasional merupakan suatu ancaman terhadap negara dan masyarakat internasional. Salah satu bentuk permasalahan kejahatan
3
4
I Wayan Parthiana, op.cit. h.168.
Mahmud Syaltout, 2013, Kompendium Hukum tentang Kerjasama Internasional Di Bidang Penegakan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional ( Kementrian HAM RI), Jakarta, h.109.
4
yang terorganisasi adalah perdagangan gelap narkotika (illict drug trafficking). Di dalam memberantas kejahatan memberantas kejahatan transnasional dimana pelakunya adalah individu timbul gagasan untuk mendirikan suatu organisasi yang bersifat universal dengan tujuan agar memelihara keamanan dan perdamaian dunia. Pentingnya kerjasama untuk mencegah dan memberantas kejahatan transnasional yang terorganisasi dijadikan suatu bahan pertimbangan untuk meratifikasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). Tujuan dari konvensi yang tercantum dalam Pasal 1 UNTOC tersebut telah selaras dengan konsideran dari beberapa undangundang. Narkotika diperlukan oleh manusia yang digunakan untuk pengobatan, maka diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.
5
Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan sesuai dengan standar pengobatan terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Pro dan kontra terhadap penjatuhan pidana mati masih diperdebatkan di dunia ini, sehingga hukuman mati terhadap pelaku narkotika dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional narkotika masih menjadi suatu masalah. Pada pokoknya pidana mati dalam memorie van toelichting dibela dengan mengajukan apa yang dikatakan oleh menteri kehakiman modderman dalam parlemen bahwa negara berhak untuk menjalankan semua itu tanpa hak-hak mana negara tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya dan termasuk ini pertama menjamin ketertiban hukum5 Pada umumnya telah diakui bahwa hukuman mati adalah merupakan jenis hukuman yang paling berat jika dibandingkan dengan jenis-jenis hukuman lainnya yang dikenal di dalam pelbagai sistem hukum pidana negara-negara di dunia. Sebab hukuman mati merupakan pencabutan nyawa yang dengan sengaja dilakukan terhadap si terhukum untuk selama-lamanya. Hukuman mati telah dikenal dan (pernah) dianut di dalam pelbagai sistem hukum baik dalam sistem hukum masyarakat modern maupun sistem hukum masyarakat tradisional.
5
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu,1984, Pidana Mati Di Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, h.24.
6
Hak asasi manusia internasional mengakui hak negara untuk menerapkan hukuman mati sebagai hukuman utama untuk kejahatan yang berat, setelah sah keyakinan oleh pengadilan yang berwenang. Hari ini, bagaimanapun hukum internasional muncul tegas dalam kutukannya terhadap hukuman mati. Sebagai abad kedua puluh menarik untuk dekat, iklim politik adalah sedemikian rupa sehingga sebagian besar badan-badan internasional mengadopsi protokol dan konvensi penghapusan hukuman mati. Sampai sekarang, langkah tersebut belum didukung oleh semua negara. Sebagai contoh, hukuman mati masih merupakan bentuk sah dari hukuman di beberapa bagian negara-negara bersatu Amerika, Arab Saudi, dan Cina. Perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik itu sendiri adalah indikasi dari pandangan internasional terhadap hukuman mati, untuk berhati-hati dalam melaksanakan hukuman ini. Pasal 6 ayat (6) International Covenat on Civil and Political Rights menjelaskan bahwa Tidak ada dalam pasal ini diminta untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara pihak pada perjanjian ini. Komite hak asasi manusia mencatat dari laporan negara bahwa kemajuan sedang dibuat menuju penghapusan hukuman mati. Panitia juga berpendapat bahwa meskipun negara tidak diwajibkan untuk
menghapuskan
hukuman
mati
total,
mereka
wajib
membatasi
penggunaannya hanya kejahatan yang paling serius Penggunaan hukuman mati harus `aquite measure` biasa. Dengan pengamanan yang memadai diamati untuk pengampunan percobaan atau peringanan hukuman . Tentu, seperti mengeluh sebelum komisi Afrika telah telah dibuktikan, hak untuk hidup akan dilanggar
7
ketika seseorang dijalankan sesuai dengan keyakinan disampaikan dalam keadaan yang melanggar hak untuk urusan pengadilan.6 Masyarakat Indonesia khususnya para yuris terbelah dalam menyikapi pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, sebagian mendukung pelakasanaan hukuman mati dan sebagian lagi menentangnya. Pada umumnya masyarakat yang menolak pemberlakuan hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusi (HAM) seperti yang selalu disuarakan oleh Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan) dalam menentang pemberlakuan hukuman mati. Untuk menilai secara objektif tentang pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, ada baiknya untuk mencermati pertanyaan yang dilontarkan oleh Sahetapy tentang pelaksanaan hukuman mati Indonesia, beliau mengatakan, dapatkah secara ilmiah dijalin suatu hubungan timbal balik antara pidana mati dan pancasila dan apakah kesadaran hukum dari bangsa Indonesia masih dapat mengizinkan dan atau mempertahankan pidana mati. Roeslan Saleh, berpendapat tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia karena beberapa alasan, pertama, putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi kalau ada kekeliruan, kedua, mendasarkan landasan falsafah Negara pancasila, maka pidana mati itu bertentangan dengan prikemanusiaan. Sebagaimana Roeslan Saleh, Sahetapy, juga
6
Rhona K. M. Smith,2010, Textbook on International Human Rights, Oxford University Pres, New York, h. 215
8
mempunyai pendapat yang sama, beliau menyatakan, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila.7 Sejalan dengan pendapatnya Roeslan Saleh tersebut, Arief Sidharta, juga menolak pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, beliau mendasarkan pendapatnya terhadap Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, beliau menegaskan “hak untuk hidup” masuk ke dalam kelompok hak nonderogable, berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior.8 Pada masa sekitar abad ke 18 dan 19 timbul kesadaran akan hak-hak asasi manusia yang salah satu di antaranya adalah hak untuk hidup. Perjuangan untuk melindungi dan menghormati hak-hak asasi manusia, terus semakin berkembang dan mencapai puncaknya pada abad ke 20 ini. Deklarasi-deklarasi dan konvensi internasional serta seruan-seruan tentang hak-hak asasi manusia mulai bermunculan, baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan organ-organ lainnya maupun oleh negara-negara secara kolektif dan individual, bahkan ada juga oleh organisasi-oranisasi internasional yang anggotaanggotanya terdiri dari individu-individu seperti International commission of
7
Hukum Pedia, 2015, Pro dan Kontra Hukuman Mati Di Indonesia, Serial Online April, URL : http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia, diakses pada tanggal 5 Agustus 2015. 8
Ibid.
9
jurist and Amnesty International. Demikian perundang-undangan nasional negaranegara hak-hak asasi manusia ini sudah mulai mendapat tempat yang layak.9 Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk menulis Skripsi dengan judul “HUKUMAN MATI TERKAIT KEJAHATAN NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL”. Pengambilan judul dalam skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis kajian ini diharapkan mampu pengembangankan ilmu hukum.
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukuman mati terhadap kejahatan di bidang narkotika dalam perspektif hukum internasional ? 2. Bagaimanakah pengaturan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika dalam perspektif sistem hukum Indonesia ?
1.3 Ruang lingkup masalah Ruang lingkup penelitian merupakan bingkaian penelitian,
yang
menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi
9
Ibid.
10
areal penelitian. Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Sehingga kiranya mendapat hasil yang memuaskan sesuai maksud dan tujuan penelitian. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan di bahas adalah sebagai berikut : 1. Akan diuraikan tentang aspek-aspek yang melatar belakangi pemikiran mengenai pengaturan hukuman mati terhadap kejahatan transnasional narkotika dalam konvensi internasional yaitu United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000, Single Convention on Narcotic Drugs 1961, United Nations Conventions Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Pasychotropic Substances 1988. 2. Penelitian ini hanya dibatasi pada tinjauan hukuman mati (death Penalty) dalam konvensi internasional yaitu, Universal Declaration of Human Rights 1948, International Convenant on Civil and Political Rights 1966.
1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan skripsi ini adalah : a. Tujuan Umum Untuk menganalisis hukuman mati terkait kejahatan narkotika dalam perspektif hukum internasional dan hukum nasional.
11
b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui tinjuan hukuman mati dalam hukum internasional beserta pengaturannya dalam upaya mencegah dan memberantas kejahatan transnasional narkotika. 2. Untuk mengetahui tinjuan hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia beserta pengaturannya.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) sering dengan berkembangnya masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang ada dimsyarakat. Serta juga diharapakan dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian di bidang okum internasional. Sehingga, melalui penelitian ini dapat dilihat perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang okum internasional, khususnya mengenai penjatuhan hukuman mati dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional narkotika di Indonesia 1.5.2
Manfaat Praktis Manfaat praktis dalam penelitian ini bukan hanya ditujukan pada penulis
sendiri tetapi juga bermanfaat bagi institusi penegak hukum dalam menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku kejahatan transnasional narkotika yang diputuskan oleh hakim, serta bermanfaat bagi masyarakat khususnya mahasiswa fakultas hukum untuk mendalami hukum internasional terkait dengan penjatuhan hukuman
12
mati dalam upaya pencegahan dan pemebrantasan kejahatan transnasional narkotika di Indonesia. Bagi penulis sendiri penelitian ini bermanfaat untuk membantu penulis mengetahui, memahami serta mengkaji lebih dalam mengenai tinjauan hukum internasional khususnya terhadap penjatuhan hukuman mati dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional narkotika di Indonesia. Serta bagi masyarakat penelitian ini diharapkan memberikan manfaat serta masukan pengetahuan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional narkotika di Indonesia .
1.6 Landasan Teoritis a. Teori Penegakan Hukum Untuk menganalisis mengenai penegakan hukum narcotics crime yang melewati lintas batas Negara Indonesia dalam anatomi kejahatan transnasional maka digunakan teori penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial
menjadi
kenyataan.
Penegakan
hukum
merupakan
usaha
untuk
mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.10 Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
10
Dellyana Shant, 1988, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 32.
13
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan namun juga sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.11 Soerjono Soekanto mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri, dalam tulisan ini akan dibatasi pada undangundang saja; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 12 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas
11
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7. 12
Ibid, h. 8.
14
hukum.13 Efektivitas perundang-undangan tergantung pada beberapa faktor, antara lain: 1. Pengetahuan tentang substansi atau isi perundang-undangan; 2. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut; 3. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya; dan 4. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. 14 Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan ini meliputi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan.15 Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan , kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau 13
Ibid, h. 9.
14
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 378-379. 15
Soerjono Soekanto, loc.cit.
15
kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab. Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:16 1. Ditinjau dari sudut subyeknya Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Sedangkan dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparat penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan bagaimana seharusnya. 2. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis. c. Teori Pemidanaan
16
Dellyana Shant, op.cit. h. 34.
16
Pemberian sanksi pidana terhadap para pelaku kejahatan narkotika sangat berkaitan dengan teori pemidanaan. Pemidanaan pada dasarnya merupakan suatu penderitaan atau nestapa yang sengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam Hukum Pidana beberapa teori penjatuhan pidana / strafrenrenchts theorien yang pada umumnya dibagi dalam 3 golongan teori yaitu; 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Menurut Dr. Andi Hamzah tujuan pembalasan (vergelding) disebut juga sebagai tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang – kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini.17 Dalam teori Absolut pemidanaan merupakan akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu bentuk pembalasan kepada orang yang telah
melakukan
kejahatan
karena
kejahatannya
yang
telah
menimbulkan penderitaan bagi orang lain, maka penderitaan tersebut juga harus dibalaskan dengan penderitaan yang berupa pidana. Teori absolut tidak memandang pelaku kehajatan, akibat – akibat yang mungkin dapat ditimbulkankan ataupun kerugian yang mungkin dialami oleh masyarakat. Pokok dari teori ini terletak pada kesalahan pelaku.
17.
h.53.
Tolib Setiady, 2010, Pokok – Pokok Hukum Penitensier Indonesia,Alfabeta, Bandung,
17
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan Menurut teori relative atau teori tujuan menyatakan pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat. Mengenai tujuan pidana terdapat beberapa pendapat yaitu; a. Tujuan pidana untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena akibat dari telah terjadi kejahatan. b. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas pencegahan umum (general preventive) dan pencegahan khusus
(special preventive.18Pencegahan umum
didasarkan pada pemikiran bahwa pidana itu dimaksudkan untuk mencegah
setiap
orang
yang
akan
melakukan
kejahatan.
Pencegahan khusus didasarkan pada pemikiran pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatan. 3. Teori Gabungan Teori gabungan merupakan penggabungan dari teori absolut dan teori relatif. Teori ini pertama kali diajukan oleh Pellegrino Rossie, ia menganggap pembalasan sebagai suatu asas dari pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.Jadi, dasar
18
Ibid, h. 56.
18
pembenaran pidana dari teori gabungan meliputi dasar pembenaran pidana dari teori absolut dan teori relatif. c. Teori Hak Asasi Manusia Sanksi pidana yang berupa hukuman mati yang ditujukan kepada pelaku kejahatan narkotika harus disesuaikan dengan teori-teori Hukum Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM). Menurut Jerome J. Shestack, istilah `HAM` tidak ditemukan dalam agama-agama tradisional. Namum demikian, ilmu tentang ketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi daripada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini mengandaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM. Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan persoalan HAM, antara lain yaitu : 19 1) Teori hak-hak kodrati (natural rights theory) Menurut teori kodrati, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat dan di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia. Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistm hukum, karena HAM bersifat universal 2) Teori positivisme (positivist theory)
19
Andrey Sujatmoko, 2015, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Rajawali Pers, Jakarta, h. 7.
19
Menurut teori positivisme, suatu hak mestilah berasal dari sumber yang jelas, seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara. Penganut teori ini berpendapat, bahwa mereka secara luas dikenal dan dipercaya bahwa hak harus berasal dari suatu tempat. Kemudian hak seharusnya diciptakan dan diberikan oleh konstitusi, hukum atau kontrak.20 3) Teori relativisme budaya (cultural relativist theory) Menurut teori relativisme budaya, manusia selalu merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda menjadi manusia. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang mejadikan manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).21
1.7 Metode Penelitian Dalam rangka memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisis data yang bersifat ilmiah, tentu dibutuhkan suatu metode penelitian dengan tujuan agar suatu karya ilmiah memiliki susunan yang sistematis, terarah dan konsisten. Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.7.1
20
Ibid, h. 9.
21
Ibid, h. 10.
Jenis Penelitian
20
Adapun jenis penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian hukum normative (legal research). Menganalisis pengaturan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika dalam perspektif hukum internasional dan hukum nasional. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.22 Penelitian hukum normatif, terdiri dari : 1. penelitian inventarisasi hukum positif 2. penelitian asas-asas hukum 3. penelitian hukum klinis 4. penelitian hukum yang mengkaji sistematika peratran perundangundangan 5. penelitian
yang
ingin
menelaah
sinkronisasi
suatu
peraturan
perundang-undangan 6. penelitian perbandingan hukum 7. penelitian sejarah hukum. 23 1.7.2
Jenis Pendekatan
Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach) dan Pendekatan Perbandingan Hukum (Comparative Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti
22
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.13. 23
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada,Jakarta, h.29-30
21
adalah berbagai aturan hukum yangmenjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.24 1.7.3
Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa studi kepustakaan (library research) yaitu dengan menelaah buku-buku dan karya ilmiah di bidang hukum guna menemukan teori-teori manapun pendapat sarjana yang relevan dengan permasalahan tersebut diatas.25 Sumber data tersebut terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Sumber bahan hukum primer terdiri atas asas-asas, kaidah hukum yang dalam perwujudannya berupa peraturan perundang-undangan, kovensikonvensi internasional dan hukum tidak tertulis yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika yang bersifat mengikat. Adapun sumbersumber bahan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Single Convention on Narcotic Drug 1961 2. United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Drugs 1988 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime
24
Ibrahim dan Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 302. 25
Bambang Sanggono, 1996, Metodelogi Penelitian Hukum. PT. Rajawali GrafindoPersada, Jakarta, h. 36
22
4. Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 6. International Convenant on Civil and political Rights 1966 7. Universal Declaration of Human Rights 1948 b. Bahan Hukum Sekunder sumber bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai nahan hukum primer seperti buku-buku tentang tindak pidana narkotika dan peraturannya, buku-buku tentang hukuman mati, jurnal-jurnal, majalah dan surat kabar serta media internet. c. Bahan Hukum Tersier Sumber bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Hukum Black Law Dictionary. 1.7.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan dari penulisan skripsi ini, kerena jenis penelitian yang digunakan adalah normatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (Library Research), baik untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier 1.7.5
Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan adalah setelah bahan-bahan hukum terkumpul kemudian diidentifikasikan, dikumpulkan untuk dijadikan sumber
23
utama didalam membahas pokok permasalahan. Bahan hukum yang telah terkumpul tersebut diolah dan dianalisis dengan tahap-tahap: a. Deskripsi, yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya. b. Analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan. Teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode sistematis, metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.
24