BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tiap orang memiliki beragam cara dalam menyampaikan pesan atau menuangkan perasaannya. Pesan dan perasaan yang hendak disampaikan tersebut merupakan kata-kata yang ingin seseorang suarakan. Akan tetapi, keadaan sekitar terkadang tidak dapat mendukung ketika ia hendak menyuarakan pesan atau perasaannya. Beberapa orang mengalami hal tersebut dan berusaha keras untuk berbicara, akan tetapi terhalang oleh suara. Oleh karena itu, bentuk tulisan menjadi alternatif dalam mengungkapkan perasaan dan pesan, mencurahkannya dengan diksi yang indah dalam suatu karya sastra bernama puisi. Puisi merupakan perantara untuk suatu ungkapan seseorang mengenai pemahaman, perasaan, dan pemikiran tertentu (Shumaker, 1965: 10) dalam bentuk tertulis yang mampu membantu pengarangnya menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk yang berbeda dengan lisan, namun sama dalamnya dengan perasaan yang terpendam. Selain itu, puisi dapat mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat dikatakan dengan sama atau setara jika diungkapkan dengan bentuk dan cara yang lain (Shumaker, 1965: 4). Oleh karena itu, puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra tertulis yang istimewa karena terdiri atas kumpulan kata-kata yang dipilih dan dirangkai sedemikian rupa dengan perhatian dan ketelitian yang lebih jika dibandingkan dengan jenis tulisan yang lain (Landy, 1979: xiii). Bagaimana katakata tersebut tersusun, baik membentuk rima atau tidak, memiliki fungsi yang
1
2
penting dalam hubungan antara puisi, pengarang, dan pembacanya karena mengandung pesan dan pemikiran yang hendak dikemukakan serta mencerminkan gaya bahasa personal dari seorang pengarang (Volpe dan Magalaner, 1967: 3). Meskipun berupa karya sastra tertulis, puisi juga dapat dilisankan dan dilagukan seperti dalam pembacaan puisi dan musikalisasi puisi. Hal ini dikarenakan puisi adalah sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi di dalamnya, mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual pengarang dengan teknik pilihan tertentu untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca atau pendengarnya (Sayuti, 2002: 3-4). Salah satu aspek bunyi dalam puisi adalah rima. Rima, sebagai salah satu pertimbangan penting dalam pemilihan kata pada puisi, merupakan aspek yang menarik untuk diteliti karena keistimewaan pemilihan, penggunaan, serta peran pentingnya dalam sebuah puisi. Analisis rima puisi sebagai gaya bahasa seorang pengarang dapat dilakukan dengan pendekatan stilistika (stylistics) linguistik karena rima merupakan realisasi dari pilihan linguistik pada tataran fonologi dengan pertimbangan dari tataran lain seperti aspek suprasegmental, leksikal, gramatikal, semantis, dan sebagainya. Stilistika merupakan studi mengenai gaya bahasa yang mendeskripsikan aspek linguistik yang digunakan, dari aspek yang luas seperti tataran wacana hingga ke aspek yang paling kecil seperti fonologis untuk mencapai efek puitis dan estetis. Kemudian, salah satu pengarang yang menunjukkan ciri khas gaya bahasanya dalam penggunaan rima adalah Lewis Carroll. Gaya bahasanya sebagai seorang pengarang juga tercermin pada
3
penggalan puisi berjudul Jabberwocky yang terdapat dalam novel Through the Looking-Glass berikut ini. ‘Twas brillig, and the slithy toves Did gyre and gimble in the wabe; All mimsy were the borogoves, And the mome raths outgrabe.
(Carroll, 1993: 167)
Dalam penggalan puisi tersebut ditemukan penggunaan rima serta katakata khusus berupa neologisme seperti brillig, slithy, toves, gyre, gimble, wabe, mimsy, borogoves, mome, raths, dan outgrabe. Selain menambah efek estetis dan efek musikalitas yang memperindah puisi, penggunaan rima juga menjadi ciri khas dari gaya bahasa dan sarana pengarang dalam mengkomunikasikan ide serta gagasan dalam puisi kepada para pembaca, begitu pula Lewis Carroll dengan puisi-puisinya dalam novel Through the Looking-Glass. Through the Looking-Glass merupakan sekuel dari novel Alice’s Adventure in Wonderland yang ditulis oleh Charles Lutwidge Dodgson dengan nama pena Lewis Carroll dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1871 (Irwin, 2001: 13). Novel tersebut menceritakan petualangan Alice dalam dunia di balik cermin di mana ia menemukan berbagai hal ajaib dan bertemu dengan White dan Red Queen, Tweedledum dan Tweedledee, Humpty Dumpty, White Knight. Selain itu, novel tersebut juga memiliki keistimewaan karena memuat beberapa puisi di dalamnya seperti Child of the pure unclouded brow sebagai prolog dan epigraf dari novel, Jabberwocky, Tweedledee and Tweedledum, The Walrus and the Carpenter, Humpty Dumpty’s Recitation, The Lion and the Unicorn, Haddock’s Eyes, Hush-a-by lady, To the Looking-Glass world, dan The White Queen’s Riddle yang menjadi pendukung alur dan narasi cerita, serta A boat
4
beneath a sunny sky sebagai epilog dari novel tersebut yang juga merupakan puisi akrostik dari Alice Pleasance Lidell yang menginspirasi Lewis Carroll dalam menciptakan tokoh Alice dalam karyanya (Alice-in-Wonderland.net, 2015). Novel Through the Looking-Glass diawali dan diakhiri dengan puisi, di sepanjang alurnya pun terdapat beberapa puisi dengan rima serta pola penulisan yang istimewa dan berbeda sesuai dengan fungsi masing-masing dalam alur cerita. Meskipun demikian, puisi-puisi tersebut tetap memiliki keterkaitan dan membangun novel menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal tersebut menjadi pembeda dan kekhususan puisi-pusi yang terdapat dalam novel Through the Looking-Glass dari puisi-puisi lain, misalnya yang terdapat dalam buku kumpulan puisi. Kumpulan puisi tersebut dapat memiliki tema yang sama, namun puisi-puisi tersebut dapat berdiri sendiri dan tidak berkaitan satu sama lain. Selain itu, penggunaan neologisme untuk membentuk rima puisi dalam novel Through the Looking-Glass juga merupakan suatu penyimpangan atau deviasi linguistik yang membuat pemilihan kata-kata dalam puisi tersebut istimewa serta sangat menarik dan menantang untuk dianalisis. Oleh karena itu, penelitian untuk menganalisis rima puisi dalam novel Through the Looking-Glass patut dilaksanakan karena keistimewaan dan ciri khasnya yang tidak selalu ditemukan dalam puisi-puisi lain.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
5
1.
Apa saja jenis rima puisi yang terdapat dalam novel Through the LookingGlass karya Lewis Carroll?
2.
Bagaimana pengarang membentuk rima puisi dari deviasi linguistik dalam novel Through the Looking-Glass karya Lewis Carroll?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan, adapun penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mendeskripsikan jenis rima puisi yang digunakan oleh pengarang serta fungsi dan tujuan penggunaannya dalam novel Through the Looking-Glass karya Lewis Carroll.
2.
Mendeskripsikan bagaimana Lewis Carroll membentuk rima puisi dari deviasi linguistik sebagai perwujudan gaya bahasa pengarang dalam novel Through the Looking-Glass.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu linguistik dengan memberikan kontribusi untuk pengembangan teori dalam kajian stilistika linguistik. Secara umum, penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan, pemahaman, dan wawasan terhadap bahasa dalam suatu teks mengenai bagaimana bahasa dapat dikreasikan dan didayakan sedemikian rupa baik berupa penyimpangan,
6
pengulangan, penekanan, dan penciptaan ungkapan baru (Nurgiyantoro, 2014: 76). Secara khusus, pemahaman yang diharapkan dari penelitian ini adalah pengetahuan dan pemahaman atas penggunaan rima dalam puisi sebagai media penyampaian ide dan gagasan serta merefleksikan pemikiran seorang pengarang dalam karyanya. Selain manfaat teoretis, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat praktis untuk membantu pembaca dalam memahami dan memaknai puisi secara lebih komprehensif. Pemahaman puisi adalah hal yang bermanfaat karena dalam praktiknya, puisi merupakan bentuk yang khusus dari sebuah wacana dan mempelajari untuk membacanya dengan pemahaman adalah sebuah proses untuk menemukan dimensi lain dari kenyataan (Shumaker, 1965: 4). Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi atau acuan dalam kajian stilistika linguistik mengenai analisis rima puisi atau analisis pilihan linguistik pada tataran lain, serta deviasi linguistik dalam karya sastra.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan analisis puisi telah banyak dilakukan baik dalam lingkup kajian sastra maupun linguistik, khususnya pendekatan stilistika dan bahkan linguistik komputasional. Dengan luasnya aspek linguistik yang dapat dianalisis, dari tataran terkecil hingga terluas yaitu fonologi, morfologi, leksikal, sintaksis hingga wacana, maka penelitian yang melibatkan analisis puisi dalam kajian stilistika menjadi sangat beragam dan terus berkembang hingga saat ini. Dari penelitian-penelitian yang berfokus pada
7
analisis puisi dalam kajian stilistika tersebut, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian ini. Penelitian pertama yang menjadi acuan adalah analisis puisi yang dilakukan oleh F. X. Suwardo pada tahun 2012 dalam penelitian deskriptif kualitatif berjudul Rima dan Enjambemen Puisi dalam Kumpulan Puisi DukaMu Abadi Karya Sapardi Djoko Damono. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai aspek dari rima dan enjambemen serta pengaruhnya terhadap keindahan puisi. Enjambemen adalah baris puisi yang melengkapi kesatuan gramatikal dan maknanya dengan diteruskan ke baris selanjutnya tanpa jeda dan ditandai dengan ketidakhadiran tanda baca (punctuation) di antara baris-baris tersebut (Simpson, 1967: 396). Hasil analisis dari penelitian ini yaitu dalam kumpulan puisi DukaMu Abadi, Sapardi Djoko Damono menggunakan rima tidak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terjadi pada sebagian suku akhir. Selanjutnya, berdasarkan letak rima dalam baris, pengarang menggunakan baik rima awal maupun rima akhir. Kemudian, jika ditinjau dari letak rima dalam bait, ditemukan beberapa jenis rima seperti rima silang, rima terus, rima berpasangan, dan rima patah. Kemudian, dalam 12 puisi ditemukan penggunaan enjambemen oleh pengarang. Penggunaan berbagai macam rima serta enjambemen dalam puisi tersebut memiliki fungsi untuk menciptakan efek musikalitas, mencapai keindahan puisi, serta memperkuat makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Obermeier, Menninghaus, von Koppenfels, Raettig, Schmidt-Kassow, Otterbein dan Kotz (2013) juga melakukan analisis rima puisi namun dengan fokus yang berbeda yaitu dalam penelitian berjudul Aesthetic and Emotional
8
Effects of Meter and Rhyme in Poetry. Selain menganalisis efek yang dihasilkan dari penggunaan rima, penelitian tersebut juga bertujuan untuk menjelaskan efek estetis dan emosional dari metrum yang digunakan pengarang dalam puisi. Hipotesis yang diajukan adalah metrum dan rima memiliki dampak kepada aesthetic liking, emotional involvement, dan affective valence attributions. Untuk menguji hipotesis tersebut, peneliti melakukan eksperimen dengan mengevaluasi pengaruh metrum dan rima puisi serta hubungannya dengan leksikalitas dalam persepsi estetis dan emosional. Prosedur eksperimen tersebut melibatkan para peserta untuk mendengarkan beberapa stanza puisi yang secara sistematis metrum dan rimanya telah dimodifikasi, kemudian melakukan penilaian. Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa baik metrum dan rima menuju kepada apresiasi estetis yang lebih tinggi, intensitas lebih tinggi dalam memproses, serta emosi yang lebih diterima dan dirasakan secara lebih positif yang juga difasilitasi oleh leksikalitas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metrum dan rima secara signifikan berkontribusi kepada persepsi estetis dan emosional dari suatu puisi serta menegaskan asumsi mengenai efek kedua aspek tersebut dalam puisi yang diajukan oleh cognitive poetics. Penelitian selanjutnya yang juga menggunakan pendekatan stilistika dalam analisis puisi adalah Stylistic Analysis of the Poem ‘The Onset’ by Robert Frost yang dilakukan oleh Khan, Raffique, dan Saddique (2014). Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana fitur stilistika dalam puisi The Onset karya Robert Frost yang meliputi diksi, imagery, dan unsur bunyi menjelaskan tema dari puisi tersebut, yaitu konflik antara kebaikan dan keburukan, pesimisme dan
9
optimisme, serta kehidupan dan kematian. Hasil dari analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dalam puisi The Onset, Robert Frost menggunakan simile, metafora, hiperbola, serta berbagai simbol seperti night ‘malam’ untuk mengungkapkan kesedihan, dark woods ‘hutan yang gelap’ yang menggambarkan keburukan dan misteri kehidupan, kehidupan dan kematian yang dilambangkan dengan spring ‘musim semi’ dan winter ‘musim dingin’, kemudian visual, auditory, dan kinesthetic imagery yang merepresentasikan pengalaman indera. Sementara itu, aspek bunyi yang digunakan pengarang dalam menggambarkan tema puisinya yaitu rima berupa aliterasi, konsonansi, dan asonansi dengan pola persajakan AABBCCDDEEF dan AABBCCDDEEFF. Tidak hanya dengan pendekatan stilistika, penelitian mengenai analisis puisi juga telah berkembang dan dapat dianalisis dari sudut pandang linguistik komputasional seperti Yip (1999) yang menganalisis aliterasi dan rima dalam penelitiannya yang berjudul Reduplication as Alliteration and Rhyme, Kaplan dan Blei (2007) dalam A Computational Approach to Style in American Poetry, kemudian Genzel, Uszkoreit, dan Och (2010) dalam “Poetic” Statistical Machine Translation: Rhyme and Meter yang menggunakan sistem bernama Poetic untuk menganalisis aspek stilistika dalam puisi termasuk metrum dan rima. Kemudian, penelitian berjudul A Computational Analysis of Style, Affect, and Imagery in Contemporary Poetry oleh Kao dan Jurafsky (2012) juga menggunakan sebuah program yaitu PoetryAnalyzer yang dikembangkan Kaplan pada tahun 2006 untuk menganalisis
puisi-puisi
kontemporer.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
membandingkan fitur stilistika dan konten yang digunakan oleh pengarang yaitu
10
diksi, aspek bunyi, bahasa emotif, dan imagery. Program tersebut dapat dengan baik menganalisis diksi, aspek bunyi seperti rima sempurna, rima paruh, aliterasi, asonansi, konsonansi, serta imagery. Hasil yang didapatkan dalam analisis tersebut adalah indikator terpenting dalam puisi dengan kualitas baik yaitu frekuensi referensi kepada benda-benda konkret dan pengaruh imagism. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kekonkretan merupakan salah satu fitur puisi yang paling menarik bagi modern aesthetic. Selain penelitian Kao dan Jurafsky, analisis puisi dengan pendekatan linguistik komputasional juga dilakukan oleh Rodolfo Delmonte (2014) dalam A Computational Approach to Poetic Structure, Rhythm and Rhyme menggunakan program bernama SPARSAR. SPARSAR adalah sebuah sistem yang secara otomatis dapat menganalisis puisi dalam Bahasa Inggris dan Italia untuk membandingkan satu puisi dengan puisi lain baik oleh pengarang yang sama atau berbeda, yaitu dari terjemahan fonetis, pembagian suku kata, struktur metrum, dan pola persajakan. Setelah menganalisis 50 puisi secara acak, hasil analisis kemudian diverifikasi oleh ahli puisi bahasa Inggris dan tingkat kesalahan SPARSAR secara keseluruhan mencapai 5%. Dalam penelitian dengan pendekatan linguistik komputasional yang melibatkan analisis puisi menggunakan suatu sistem atau program, hasil yang didapatkan hanya berupa deskripsi mengenai jenis fitur stilistika yang ditemukan serta didominasi oleh data kuantitatif seperti frekuensi dan persentase. Sementara itu, analisis fungsi dari fitur-fitur tersebut belum dijelaskan dalam penelitian-penelitian yang telah disebutkan sebelumnya.
11
Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah dijelaskan, walaupun kesemuanya merupakan analisis puisi baik dalam kajian stilistika maupun kajian linguistik komputasional, belum terdapat penelitian yang secara spesifik membahas jenis rima puisi dan fungsi penggunaannya, serta bagaimana rima puisi tersebut dibentuk dari deviasi linguistik. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan kajian stilistika untuk menganalisis dan menjelaskan penggunaan jenis-jenis rima dan fungsinya, serta bagaimana pengarang membentuk rima dari deviasi linguistik secara deskriptif kualitatif agar penjelasan dari hasil analisis data lebih mendalam serta menunjukkan perbedaan dan kebaruan dari studi yang telah dilakukan. Meskipun memiliki fokus analisis yang berbeda, penelitianpenelitian dalam tinjauan pustaka ini akan dijadikan acuan peneliti dalam melakukan analisis rima dalam puisi, terutama dalam mendeskripsikan jenis-jenis rima, menjelaskan fungsi penggunaan serta pembentukan rima puisi dari deviasi linguistik dalam novel Through the Looking-Glass karya Lewis Carroll.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Puisi dalam Analisis Stilistika Puisi merupakan karya yang dituangkan dalam kumpulan kata-kata terpilih dan terangkai sedemikian rupa dengan penuh perhatian dan ketelitian lebih dibandingkan dengan jenis tulisan yang lain (Landy, 1979: xiii-xvi). Puisi terdiri atas stanza atau bait yang tersusun dari baris-baris dan membentuk suatu pola khusus. Stanza, berasal dari bahasa Italia yang berarti stasiun atau tempat pemberhentian, adalah satuan struktural dasar dalam suatu komposisi puisi atau
12
syair, yaitu rangkaian dari baris-baris yang diatur dalam susunan tertentu dari metrum dan pola persajakan yang diulang sepanjang puisi (Preminger, 1967: 521). Jika dibandingkan dengan prosa, puisi memiliki ciri khas yaitu pola yang terbentuk dari kumpulan kata-kata pada sebuah halaman berupa (1) spasi lebih di atas dan bawah tiap-tiap stanza, (2) batas tepi yang tidak biasa di sebelah kanan halaman, serta (3) jika panjang sebuah baris dari prosa ditentukan oleh lebar halaman, maka seberapa banyak tulisan yang dapat termuat dalam sebuah baris puisi ditentukan oleh pengarangnya (Landy, 1966: 3-4). Selain itu, keistimewaan yang menjadi ciri khas puisi juga terdapat pada aspek terpentingnya, yaitu penghematan kata-kata atau keringkasan secara keseluruhan (overall brevity), wawasan (insight), dan penekanan (emphasis) (Landy, 1966: 17). Dengan keringkasan namun dapat menyampaikan keseluruhan gagasan pemikiran, tiap kata yang terdapat dalam puisi dipilih oleh pengarangnya karena suatu alasan tertentu (Reaske, 1966 : 7). Menurut Landy (1979: xiii), dalam sebuah puisi yang baik, bahasa dan pilihan katanya tidak dipilih dengan tujuan membuat bingung para pembaca, akan tetapi karena kekuatan mereka dalam menyampaikan makna dan perasaan dari puisi dengan sejelas dan sekuat mungkin kepada para pembaca. Sarana untuk menyampaikan pesan dalam puisi tidak hanya melalui pemilihan kata berdasarkan makna semantisnya, namun juga berdasarkan pertimbangan dalam tataran fonologis yaitu rima. Oleh karena itu, rima merupakan salah satu pertimbangan penting dalam pemilihan kata pada puisi. Rima puisi sebagai gaya bahasa seorang pengarang dapat dianalisis dengan salah satu cabang linguistik yaitu stilistika (stylistics). Stilistika
13
merupakan salah satu bidang dalam linguistik yang berfokus pada deskripsi dan interpretasi dari bentuk dan pola linguistik tertentu dalam suatu teks (Semino, 2011: 541). Kridalaksana (dalam Susanto, 2015: 784) memberikan arti stilistika sebagai ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra atau ilmu yang interdisipliner antara sastra dan linguistik. Childs dan Fowler (2006: 229) menambahkan bahwa stilistika merupakan studi yang menggunakan konsep dan teknik linguistik modern. Sementara itu, menurut Becker (1978: 1-2), stilistika merupakan pemerian atau deskripsi pilihan aspek linguistik khusus dari seorang pengarang, mulai dari pilihan linguistik yang paling luas tentang alur, yaitu kesatuan keseluruhan (overall coherence) sampai pada pilihan yang paling sempit yang meliputi pembentukan kalimat dan alinea. Selain itu, pendapat lain mengenai definisi stilistika yaitu ilmu yang mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik, meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra yang membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana nonsastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer, serta mengkaji cara sastrawan memanipulasi dan memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa baik dengan mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional, memanfaatkan potensi dan kemampuan bahasa secara inovatif (memanfaatkan kemungkinan yang tersedia, memanipulasi kaidah yang umum berlaku tetapi masih dalam batas-batas konvensi), serta menyimpang dari konvensi yang berlaku untuk mencapai efek atau tujuan yang dikehendaki (Sudjiman, 1993: 3, 19-20).
14
Berdasarkan beberapa definisi stilistika yang telah dipaparkan oleh para ahli, kajian stilistika yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi mengenai gaya bahasa yang mendeskripsikan pilihan aspek linguistik pengarang, dari aspek yang luas seperti tataran wacana hingga ke aspek yang paling kecil seperti fonologis, baik yang mengikuti kaidah bahasa secara konvensional atau menyimpang dari konvensi yang berlaku untuk mencapai efek atau tujuan yang dikehendaki oleh pengarang, seperti ketika seorang pengarang membentuk rima puisi dari rangkaian kata yang telah dipilihnya dengan sedemikian rupa.
1.6.2 Rima dalam Puisi Puisi, seperti halnya drama, adalah seni yang berhubungan dengan indera pendengaran (auditoris); oleh karena itu, puisi harus didengarkan paling tidak dengan telinga di pikiran para pembacanya (Cavanaugh, 1974: 39). Dengan demikian, sebagai seni yang auditoris, puisi memiliki berbagai sarana puitik sebagai penunjang seorang pengarang dalam menuangkan kreativitasnya menulis puisi seperti irama, metrum, ritme, rima, refrain, aliterasi, asonansi, konsonansi, dan sebagainya yang dapat digunakan untuk mencapai efektifitas yang maksimum (Cavanaugh, 1974: 37). Rima merupakan salah satu sarana puitik yang menjadi elemen penting dalam puisi. Tidak hanya sebagai unsur bunyi dan musik, rima juga merupakan suara dalam sebuah puisi (McRae, 1998: 13). Selain ritme sebagai faktor yang konstan digunakan dalam puisi, rima juga merupakan sarana untuk membentuk dan menyatukan puisi, yaitu menyatukan baris-baris menjadi satuan yang lebih
15
luas dalam komposisi berupa stanza atau kumpulan baris yang terpisahkan oleh jeda (Brooks dan Warren, 1996: 114-116, Chatman, 1968: 92). Bahkan, menurut Brooks dan Warren (1996: 116), rima dianggap sebagai penyatu yang paling kuat (emphatic) dalam puisi-puisi Bahasa Inggris. Menurut Sayuti (2002: 104-105), secara ringkas, rima atau persajakan adalah perulangan bunyi yang sama dalam puisi, dan secara luas, rima merupakan kesamaan dan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam dua kata atau lebih, baik yang berposisi di akhir kata, maupun yang berupa pengulangan bunyi-bunyi yang sama yang disusun pada jarak atau rentangan tertentu dalam baris secara teratur. Dalam membentuk rima, seorang pengarang tidak harus selalu menaati aturan dalam suatu bahasa karena ia memiliki lisensi puitis untuk bebas menggunakan tiap satuan kebahasaan sesuai dengan kreativitasnya. Lisensi puitis (poetic license atau licentia poetica) merupakan kebebasan yang dimiliki oleh pengarang untuk menyimpang dari kaidah dan menggunakan bahasa dengan cara yang tidak konvensional untuk mencapai efek tertentu (Simpson, 1967: 387). Contohnya yaitu ketika seorang pengarang menggunakan deviasi linguistik atau penyimpangan dari kelaziman penggunaan aspek linguistik dalam berbagai tataran seperti deviasi pada tataran fonologis, leksikal, gramatikal, semantis, grafologis, dialek, register, dan juga periode historis (Leech, 1969: 42-52). Deviasi tersebut merupakan realisasi gaya bahasa seorang pengarang dalam memanfaatkan dan memaksimalkan potensi tiap satuan linguistik secara inovatif dengan variasi penggunaan bahasa dari penyimpangan konvensi bahasa yang berlaku yang bukan
16
merupakan suatu kesalahan namun memang disengaja untuk mencapai fungsi puitis dan estetis dalam karyanya (Culler, 2002: 67, Sudjiman, 1993: 19-20). Selanjutnya, rima puisi dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis, yaitu berdasarkan segi bunyi terdapat aliterasi, asonansi, konsonansi, eufoni, kakofoni, rima rupa, rima paruh, dan rima sempurna. Aliterasi, asonansi, dan konsonansi juga termasuk jenis rima karena melibatkan bentuk yang berupa kemiripan bunyi (Brooks dan Warren, 1996: 156). Kemudian, berdasarkan posisi kata yang berima dalam baris, rima dapat digolongkan menjadi rima dalam dan rima akhir. Rima akhir selanjutnya dapat dibedakan menjadi rima maskulin dan rima feminin berdasarkan tekanan pada suku kata akhir.
1.6.2.1 Aliterasi Aliterasi secara spesifik disebut juga dengan initial rhyme atau head rhyme karena melibatkan pengulangan bunyi awal (initial sounds) yang sama pada dua kata atau lebih dan berada saling berdekatan satu sama lain (Rozakis, 1995: 25, Preminger, 1967: 489, Reaske, 1966: 20). Bunyi yang diulang tersebut berupa konsonan dan berada pada posisi yang ditekankan dan berdekatan, sehingga pembaca dapat menangkap penggunaan dan penegasan pada kata-kata yang dirangkai dengan aliterasi tersebut (Zillman, 1967: 58). Selain itu, penggunaan aliterasi dalam puisi dapat memberikan efek kesatuan (unity) pada baris (Brooks dan Warren, 1996: 115). Contoh penggunaan aliterasi dapat dilihat dari pengulangan konsonan awal [d] pada beberapa kata dalam puisi The Raven karya Edgar Allan Poe sebagai berikut.
17
Deep into that darkness peering, long I stood there wondering, fearing, Doubting, dreaming dreams no mortal ever dared to dream before; (Poe, 1975: 943)
1.6.2.2 Asonansi Cavanaugh (1974: 263) mendefinisikan asonansi sebagai pengulangan atau kemiripan di antara bunyi-bunyi vokal. Selanjutnya, Preminger (1967: 490) berpendapat bahwa asonansi disebut juga dengan vocalic rhyme karena menunjukkan identitas vokal dalam kata-kata yang bernada. Contoh asonansi dapat ditemukan dalam puisi E. E. Cummings berjudul if a cheerfulest Elephantangelchild should sit pada baris ‘on a proud round cloud in white high night’ (Cummings, 1991: 631), yaitu pengulangan bunyi [aʊ] pada kata proud, round, dan cloud, serta bunyi [aɪ] pada kata white, high, dan night. Selain itu, asonansi juga digunakan oleh William Wordsworth dalam pengulangan bunyi vokal [ə] dalam puisinya yang berjudul Daffodils yaitu pada baris ‘A host of golden daffodils [ə həʊst ɒv ˈgəʊl.dən ˈdæf.ə.dɪlz]’. Kemudian, asonansi dengan pengulangan bunyi [eɪ] dapat ditemukan dalam puisi Dylan Thomas berjudul Do Not Go Gentle into That Good Night yaitu pada kata-kata age [eɪdʒ], rave [reɪv], day [deɪ], rage [reɪdʒ], against [əˈgeɪnt st], grave [greɪv], blaze [bleɪz], dan gay [geɪ] seperti dalam penggalan puisi berikut ini. Do not go gentle into that good night, Old age should burn and rave at close of day; Rage, rage against the dying of the light. … Grave men, near death, who see with blinding sight, Blind eyes could blaze like meteors and be gay, Rage, rage against the dying of the light. (Thomas, 1952: 116)
18
1.6.2.3 Konsonansi Konsonansi terjadi ketika dua suku kata berakhir dengan konsonan yang sama akan tetapi memiliki bunyi vokal yang berbeda, seperti pada kata hatch [hætʃ] dan etch [etʃ] (Cavanaugh, 1974: 264). Selain itu, Perrine (1969: 179) memberikan definisi konsonansi sebagai pengulangan bunyi konsonan akhir. Penggunaan konsonansi juga terkadang melibatkan baik bunyi konsonan awal dan akhir dalam satu suku kata atau kata, seperti pada hit, hat, hot, height, heat, hoot, dan hate. Contoh konsonansi lainnya dapat dilihat dari puisi Alfred Lord Tennyson dengan judul The Lotos-Eaters yang melibatkan pengulangan konsonan akhir [d] dalam beberapa baris puisi seperti berikut ini. “Courage!” he said, and pointed toward the land, … All round the coast the languid air did swoon, Breathing like one that hath a weary dream. Full-faced above the valley stood the moon; (Tennyson, 1954: 141)
1.6.2.4 Eufoni Eufoni merupakan penggunaan bunyi yang merdu dan kombinasi kata-kata yang harmonis (Rozakis, 1995: 26). Eufoni dihasilkan ketika seorang pengarang memilih bunyi-bunyi yang harmonis dan membuat efek melodis yang menenangkan sebagai representasi dari gaya bahasa yang baik (Reaske, 1966: 33) dan untuk memudahkan artikulasi (Preminger, 1967: 496). Menurut Preminger (1967: 496), bunyi vokal, karena tidak memerlukan penghentian nafas, dianggap lebih enak didengar daripada bunyi konsonan. Bunyi-bunyi yang sering digunakan dalam menciptakan eufoni adalah bunyi vokal panjang, konsonan liquid seperti
19
[l], [m], [n], [r], semi vokal [w] dan [y], konsonan [v] dan [f] lembut, serta kombinasi th dan wh (Perrine, 1969: 219). Dalam puisi Success is counted sweetest karya Emily Dickinson juga terdapat eufoni dari rangkaian konsonan lembut dan harmonis seperti [s], [v], dan juga [f] untuk menghasilkan bunyi yang enak didengar sebagai berikut. Success is counted sweetest By those who ne’er succeed. … Who took the Flag today Can tell the definition So clear, of Victory As he, defeated – dying – On whose forbidden ear
(Dickinson, 1961: 7)
1.6.2.5 Kakofoni Kakofoni merupakan disonansi atau bunyi yang parau dan sumbang untuk menciptakan efek yang tidak harmonis (Rozakis, 1995: 26, Simpson, 1967: 357). Kakofoni dihasilkan dari kombinasi bunyi konsonan letup atau plosive seperti [b], [d], [g], [k], [p], dan [t] yang memiliki efek parau dan tajam (Perrine, 1969: 219). Selanjutnya, contoh penggunaan kakofoni juga dapat ditemukan dalam puisi karya Samuel Taylor Coleridge yang berjudul The Rime to the Ancient Mariner pada baris 162 dan 163. With throats unslaked, with black lips baked, … Agape they heard me call:
(Coleridge, 1999: 253)
Kakofoni yang dibuat oleh Coleridge melibatkan bunyi parau dan sumbang yang dihasilkan dari kombinasi bunyi konsonan letup [b], [k], [d], dan [g] pada kata unslaked, black, baked, dan agape untuk menggambarkan
20
kesengsaraan yang dialami oleh para pelaut yang hendak dijelaskan pengarang dalam puisi tersebut.
1.6.2.6 Rima Rupa Rima rupa atau eye-rhyme terjadi ketika terdapat kata-kata yang memiliki tulisan yang sama atau terlihat mirip namun sebenarnya memiliki bunyi yang berbeda, seperti kata move [muːv] dan love [lʌv] (Rozakis, 1995: 26). Contoh penggunaan rima rupa dapat terlihat dari sonata yang ditulis oleh William Shakespeare, yaitu kata brood [bruːd] dan blood [blʌd] pada Sonnet 19, dan kata prove [pruːv] dan love [lʌv] pada Sonnet 32. Devouring time, blunt thou the lion’s paws, And make the earth devour her own sweet brood; Pluck the keen teeth from the fierce tiger’s jaws, And burn the long-lived phoenix in her blood. But since he died, and poets better prove, Theirs for their style I’ll read, his for his love. (Shakespeare, 1952: 1598-1601)
(Sonnet 19)
(Sonnet 32)
1.6.2.7 Rima Paruh Rima paruh atau half-rhyme adalah rima yang hanya bunyi konsonan akhirnya saja yang identik, namun bunyi vokal yang bertekanan serta bunyi konsonan awal (jika ada) berbeda, misalnya kata soul [səʊl] dan oil [ɔɪl], firth [fɜːθ] dan forth [fɔːθ], juga trolley [ˈtrɒl.i] dan bully [ˈbʊl.i] (Rozakis, 1995: 27). Selain half-rhyme, rima paruh juga sering disebut dengan istilah slant, inexact (Altenbernd dan Lewis, 1969: 18), approximate, near, oblique, off (Rozakis, 1995: 26, Kennedy dan Gioia, 1994: 143, Simpson, 1967: 393), imperfect, partial
21
rhyme (Abrams, 1999: 24), dan juga para-rhyme (Eagleton, 2007: 132). Contoh penggunaan rima paruh dapat ditemukan dalam puisi Lines Written in Dejection karya W. B. Yeats yang melibatkan kata on [ɒn] dan moon [muːn] seperti berikut. When have I last looked on The round green eyes and the long wavering bodies Of the dark leopards of the moon? All the wild witches, those most noble ladies,
(Yeats, 1992: 195)
Selain W. B. Yeats, Emily Dickinson juga menggunakan rima paruh pada kata queen [kwiːn] dan afternoon [ˌɑːf.təˈnuːn] yang sama-sama memiliki konsonan akhir [n] namun sebenarnya tidak berima secara penuh atau sempurna dalam puisi berjudul Not any higher stands the grave berikut ini. This latest Leisure equal lulls The Beggar and his Queen Propitiate this Democrat A Summer’s Afternoon–
(Dickinson, 1961: 265)
1.6.2.8 Rima Sempurna Suatu rima dapat dikatakan sebagai rima sempurna ketika korespondensi dari bunyi yang berima tersebut tepat atau persis sama (Abrams, 1999: 24). Disebut juga dengan complete, exact, full, perfect, true rhyme atau rime suffisante, rima sempurna terjadi ketika bunyi vokal bertekanan yang mengikuti bunyi konsonan yang berbeda adalah identik (Simpson, 1967: 393, Reaske, 1966: 18). Contoh rima sempurna dapat dilihat dari puisi The Tyger karya William Blake yaitu pada kata bright [braɪt] dan night [naɪt] seperti dalam penggalan puisi berikut ini. Tyger, Tyger, burning bright In the forests of the night,
(Blake, 1991: 31)
22
Selain itu, dalam puisi King David karya Stephen Vincent Benét juga dapat ditemukan rima sempurna dari pasangan kata king [kɪŋ] dan ring [rɪŋ] yang memiliki persamaan bunyi akhir [ɪŋ] dan hanya berbeda pada konsonan di awal kata saja, seperti dalam penggalan puisi berikut ini. Uriah frowned at the words of the king. His brisk, hard voice had a leaden ring.
(Benét, 1964: 15)
1.6.2.9 Rima Dalam Rima dalam atau internal rhyme merupakan rima yang terdapat dalam satu baris yang sama, seperti ungkapan Oscar Wilde dalam ‘each narrow cell within which we dwell’ yang merupakan contoh dari rima dalam karena bunyi cell dan dwell merupakan rima yang dijumpai dalam baris yang sama (Rozakis, 1995: 27). Kemudian, dalam puisi berjudul The Raven yang ditulis oleh Edgar Allan Poe, juga dapat ditemukan penggunaan rima dalam yaitu kata dreary [ˈdrɪə.ri] dengan weary [ˈwɪə.ri], serta kata napping [næp.ɪŋ] dengan tapping [tæp.ɪŋ]yang terdapat dalam baris puisi yang sama sebagai berikut. Once upon a midnight dreary, while I pondered, weak and weary, Over many a quaint and curious volume of forgotten lore― While I nodded, nearly napping, suddenly there came a tapping, (Poe, 1975: 943) Selain itu, dalam puisi berjudul The Rime of Ancient Mariner karya Samuel Taylor Coleridge juga dapat ditemukan beberapa rima dalam yaitu pada kata cheered [tʃɪərd] dengan cleared [klɪərd], day [deɪ] dengan play [pleɪ], serta cloud [klaʊd] dengan shroud [ʃraʊd] seperti berikut ini. The ship was cheered, the harbour cleared, And every day, for food or play, In mist or cloud, on mast or shroud, (Coleridge, 1999: 245- 247)
23
1.6.2.10 Rima Akhir Menurut Perrine (1969: 180), suatu baris dalam puisi dikatakan memiliki rima akhir jika kata yang berima berada pada akhir baris. Rima akhir atau yang disebut juga dengan end rhyme atau terminal rhyme bisa jadi merupakan jenis rima yang paling sering digunakan dan merupakan pengulangan bunyi yang paling sering ditemukan secara sadar dalam puisi Bahasa Inggris (Perrine, 1969: 180, Simpson, 1967: 393). Contoh rima akhir dapat ditemukan dalam puisi William Wordsworth yang berjudul The World Is Too Much with Us. Kata-kata yang berima berada di akhir baris puisi tersebut, yaitu pasangan kata berima lea [liː] dengan sea [siː] serta kata forlorn [fəˈlɔːn] dengan horn [hɔːn]. So might I, standing on this pleasant lea, Have glimpses that would make me less forlorn: Have sight of Proteus rising from the sea, Or hear old Triton blow his wreathed horn. (Wordsworth, 1994: 311)
1.6.2.11 Rima Maskulin Rima maskulin merupakan rima akhir yang dihasilkan dari kata monosilabe, contohnya see dan tree, atau rima yang berakhir dengan suku kata dengan tekanan, seperti arose [əˈrəʊz] dan suppose [səˈpəʊz] (Landy, 1979: 218). Efek yang dihasilkan dari penggunaan rima maskulin yaitu lebih kuat dan ujaran menjadi lebih positif daripada di situasi lain yang tidak menggunakan rima maskulin (Altenbernd dan Lewis, 1969: 18). Penggunaan rima maskulin pada rima akhir dapat ditemukan pada rima akhir puisi His Country karya Thomas Hardy yang menggunakan kata-kata dengan suku kata tunggal yaitu spot, shine,
24
cot, lot, dan mine untuk memberi efek yang lebih kuat, tegas, serta lebih positif, sebagai berikut. I journeyed from my native spot Across the south sea shine, And found that people in hall and cot Laboured and suffered each his lot Even as I did mine.
(Hardy, 1958: 137)
1.6.2.12 Rima Feminin Rima yang berakhir dengan suku kata tanpa tekanan dan mempunyai lebih dari satu suku kata disebut dengan rima feminin yang juga lebih halus/lembut daripada rima maskulin (Landy, 1979: 218). Oleh karena itu, irama yang dihasilkan dari baris dengan rima akhir berupa rima feminin lebih anggun, tidak terputus, dan tanpa akhir yang tegas seperti yang dihasilkan oleh rima maskulin (Altenbernd dan Lewis, 1970: 31). Rima feminin juga digunakan oleh D. H. Lawrence sebagai rima akhir dalam puisinya yang berjudul The Wild Common, seperti pada penggunaan kata leaping [ˈliː.pɪŋ] dan sweeping [ˈswiː.pɪŋ] yang memberi efek kepada rima akhir dalam puisi tersebut menjadi tidak terputus dan berkelanjutan (continuous). The quick sparks on the gorse-bushes are leaping Little jets of sunlight texture imitating flame; Above them, exultant, the peewits are sweeping: They have triumphed again o’er the ages, their screamings proclaim. (Lawrence, 1959: 25)
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk menekankan pada pemerian fenomena penggunaan bahasa
25
dalam konteks dengan menafsirkan data penelitian berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga hasilnya merupakan deskripsi bahasa apa adanya (Sudaryanto, 1986: 62). Selain itu, penelitian ini bersifat kualitatif karena menurut Vanderstoep dan Johnston (2009: 7-8), penelitian kualitatif memberikan pemahaman yang lebih kaya dan mendalam dari objek penelitian karena menghasilkan narasi atau penjelasan tekstual dari fenomena yang diteliti. Dengan demikian, pendekatan ini memberikan pemahaman yang
lebih
mendalam dan meyeluruh dalam
mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena penggunaan bahasa khususnya penggunaan rima puisi dan bagaimana pengarang membentuk rima tersebut dalam novel Through the Looking-Glass sebagai fokus penelitian. Kemudian, metode penelitian yang digunakan terdiri dari tiga bagian yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data Tahap awal dalam penelitian ini adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik catat yaitu teknik pengumpulan data dengan mencatat hasil penyimakan pada kartu data dari sumber data penelitian (Kesuma, 2007: 45). Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Alice’s Adventures in Wonderland & Through the Looking-Glass edisi Wordsworth Editions Limited yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1993. Novel tersebut memuat baik Alice’s Adventures in Wonderland dan Through the Looking-Glass dalam satu buku, akan tetapi data yang digunakan dalam penelitian ini hanya puisi-puisi yang terdapat dalam
26
Through the Looking-Glass, yaitu Child of the pure unclouded brow, Jabberwocky, Tweedledee and Tweedledum, The Walrus and the Carpenter, Humpty Dumpty’s Recitation, The Lion and the Unicorn, Haddock’s Eyes, Husha-by lady, To the Looking-Glass world, The White Queen’s Riddle, serta A boat beneath a sunny sky. Dalam pengumpulan data, peneliti membedakan puisi dari narasi novel dengan merujuk pada definisi puisi yang berupa kumpulan kata-kata dalam baris yang terhimpun dalam suatu bait atau stanza, serta mencermati tata cara penulisannya dalam halaman novel. Dalam novel Through the Looking-Glass, puisi ditulis dengan format centered dan lebih menjorok daripada paragraf narasi cerita. Selain itu, narasi dan dialog antar tokoh dalam novel juga menjadi pemerkuat dalam penentuan kumpulan kata-kata dalam bait tersebut sebagai puisi. Setelah dicatat dalam kartu data, data puisi ditranskripsikan menggunakan transkripsi fonetis yaitu transkripsi yang memanfaatkan lambang-lambang fonetis (Kesuma, 2007: 45), penulisan pengubahan menurut bunyi, ditandai dengan […] untuk membedakannya dari huruf-huruf abjad biasa (Marsono, 1999: 113). Proses transkripsi fonetis dilakukan berdasarkan pelafalan Bahasa Inggris Britania (British English) dalam kamus Cambridge Advanced Learner’s Dictionary elektronik edisi ke-3 karena Lewis Carroll merupakan seorang pengarang dari negara Inggris dan juga bahasa yang digunakan dalam novel Through the Looking-Glass adalah Bahasa Inggris Britania. Contoh transkripsi fonetis data puisi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. And the mome raths outgrabe. [ænd ðə məʊm ræθs ˈaʊt.greɪb]
27
Dalam data yang diambil dari penggalan puisi Jabberwocky tersebut terdapat kata baru yang sengaja dibentuk oleh Lewis Carroll yaitu mome, raths, dan outgrabe yang belum tercantum dalam kamus sehingga tidak ditemukan transkripsi fonetisnya dalam Cambridge Advanced Learner’s Dictionary. Oleh karena itu, peneliti mentranskripsikan kata-kata tersebut sesuai dengan suku katanya dan berdasarkan pola pengucapan kata-kata dalam kamus yang memiliki kemiripan dalam bentuk ortografis. Contoh proses transkripsi yang dilakukan yaitu kata mome ditranskripsikan berdasarkan pelafalan kata-kata dalam kamus yang secara ortografis mempunyai bentuk yang mirip, misalnya dome [dəʊm], home [məʊm], tome [təʊm], mode [məʊd], mole [məʊl], dan mope [məʊp], sehingga didapatkan hasil akhir yaitu transkripsi fonetis dari kata mome adalah [məʊm]. Puisi Jabberwocky merupakan puisi dalam novel Through the LookingGlass yang sarat akan neologisme atau kata-kata bentukan baru yang belum tercantum dalam kamus. Kemungkinan bunyi dan pelafalan neologisme tersebut didasarkan pada kaidah pelafalan bunyi dalam Bahasa Inggris. Neologisme, meskipun merupakan suatu deviasi linguistik, tetap merujuk pada kerangka pikir penutur serta konvensi Bahasa Inggris yang berlaku, sehingga tidak dapat digunakan dengan sangat bebas tanpa kaidah. Oleh karena itu, dalam proses transkripsi peneliti juga mendengarkan pembacaan puisi Jabberwocky oleh Christopher Lee pada situs YouTube. Christopher Lee adalah seorang aktor dan penulis berkebangsaan Inggris yang juga menjadi pengisi suara tokoh Jabberwocky dalam film Alice in Wonderland pada tahun 2010 yang disutradarai
28
oleh Tim Burton (The Biography.com, 2015). Dengan demikian, pelafalan katakata yang diucapkan oleh Christopher Lee dapat dipertimbangkan dalam proses transkripsi karena ia merupakan penutur asli Bahasa Inggris yang memahami pola pengucapan kata-kata dalam bahasa Inggris Britania, serta tidak awam dengan karya sastra.
1.7.2 Metode Analisis Data Tahap analisis data merupakan upaya peneliti menangani langsung masalah yang terkandung pada data dengan adanya tindakan mengamati yang segera diikuti dengan membedah atau mengurai dan memburaikan masalah yang bersangkutan dengan cara-cara khas tertentu (Sudaryanto, 1993: 6). Dari data penelitian yang berupa transkripsi fonetis dari tiap puisi dalam novel Through the Looking-Glass karya Lewis Carroll, puisi-puisi tersebut dianalisis untuk menentukan jenis rima yang digunakan, kemudian hasilnya adalah klasifikasi jenis-jenis rima dalam tiap puisi. Rima yang terdapat dalam puisi sekurang-kurangnya terdapat 12 jenis, yaitu aliterasi, asonansi, konsonansi, eufoni, kakofoni, rima rupa, rima paruh, rima sempurna, rima dalam, rima akhir, rima maskulin, dan rima feminin (Rozakis, 1995: 25-28). Analisis rima paruh, rima sempurna, rima dalam, dan rima akhir melibatkan suku kata sebagai satuan yang mengatur bunyi pelafalan (Brown dan Miller,
2013:
429)
terakhir
dari
kata-kata
yang
berima.
Kemudian,
pengidentifikasian rima maskulin dan rima feminin melibatkan analisis dalam tataran unsur suprasegmental, yaitu tekanan atau keras lemahnya pengucapan
29
suatu bentuk lingual (Wijana, 2016: 17). Jika rima tersebut merupakan suku kata dengan tekanan, maka rima tersebut adalah rima maskulin, dan suku kata yang tidak bertekanan diklasifikasikan sebagai rima feminin (Landy, 1979: 218). Setelah analisis mengenai jenis-jenis rima puisi, analisis selanjutnya dilakukan untuk mengidentifikasi penyimpangan atau deviasi linguistik yang digunakan pengarang dalam pembentukan rima puisi dalam novel Through the Looking-Glass yang melibatkan analisis penyimpangan dalam berbagai tataran linguistik yaitu fonologis, leksikal, gramatikal, semantis, grafologis, dialek, register, dan periode historis (Leech, 1969: 42-52). Setelah menganalisis semua data, peneliti mempresentasikan hasil analisis dalam
bentuk delineasi dan elaborasi untuk setiap tujuan penelitian,
mendeskripsikan jenis rima puisi dan fungsi penggunaannya, serta bagaimana pengarang membentuk rima puisi dengan deviasi linguistik dalam novel Through the Looking-Glass karya Lewis Carroll.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan metode informal yaitu perumusan dengan kata-kata biasa termasuk dengan terminologi yang bersifat teknis sifatnya (Mahsun, 2013: 123, Sudaryanto, 1993: 145). Penyajian data secara informal dilakukan dengan penjabaran kata-kata biasa dan deskripsi tanpa adanya perumusan berbentuk tanda atau simbol berupa penjelasan mengenai hal-hal yang ditemukan selama analisis data terkait dengan objek kajian penelitian. Kelebihan dari cara penyajian ini adalah data dapat dijelaskan secara
30
lebih terperinci dan menyeluruh karena penjelasan tentang kaidah akan terkesan rinci dan terurai sehingga aneka rumusan yang tersaji relatif panjang (Sudaryanto, 1993: 155). Kemudian, contoh penyajian data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
22
A melancholy maiden! [ə ˈmel.əŋ.kɒl.i ˈmeɪ.dən]
(A/22)
Angka 1 di awal data menunjukkan penomoran data yang dijelaskan dalam bab pembahasan. Kemudian, angka di sebelah kanan nomor data merupakan baris puisi. Data puisi yang disajikan juga disertai transkripsi fonetisnya dengan fokus pembahasan yang hendak dipaparkan dicetak tebal (bold) untuk memudahkan pembaca dalam mencermati data yang sedang dielaborasikan. Selain itu, kode pada bagian paling kanan data digunakan untuk memudahkan pembaca merujuk data yang sedang dibahas pada kartu data dalam lampiran penelitian. Kode yang digunakan dalam penyajian data menunjuk pada judul apa dan baris puisi keberapa data tersebut ditemukan, yaitu dengan format (kode judul puisi/baris puisi). Adapun kode judul puisi yang digunakan dalam penyajian data adalah sebagai berikut. A B C D E F G H I J K
Child of the pure unclouded brow Jabberwocky Tweedledee and Tweedledum The Walrus and the Carpenter Humpty Dumpty’s Recitation The Lion and the Unicorn Haddock’s Eyes Hush-a-by lady To the Looking-Glass world The White Queen’s Riddle, dan A boat beneath a sunny sky.
31
Dengan demikian, kode (A/22) yang terdapat dalam contoh penyajian data sebelumnya menunjukkan bahwa data tersebut terdapat dalam puisi berjudul Child of the pure unclouded brow pada baris 22.
1.8 Sistematika Penyajian Hasil penelitian ini disajikan dalam empat bab yang terdiri dari bab I pendahuluan, bab II mendeskripsikan jenis-jenis rima puisi dan fungsinya, bab III memaparkan deviasi linguistik dalam berbagai tataran sebagai gaya bahasa Lewis Carroll untuk membentuk rima puisi dalam novel Through the Looking-Glass, dan bab IV merupakan penutup. Keempat bab tersebut dijelaskan seperti berikut ini. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, fokus penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian laporan penelitian. Bab II membahas jenis-jenis rima puisi yang ditemukan dalam novel Through the Looking-Glass yang meliputi aliterasi, asonansi, konsonansi, eufoni, kakofoni, rima rupa, rima paruh, rima sempurna, rima dalam, rima akhir, rima maskulin, dan rima feminin beserta fungsi dari masing-masing rima tersebut. Bab III mendeskripsikan gaya bahasa Lewis Carroll dalam novel Through the Looking-Glass dengan membentuk rima puisi dari pemanfaatan berbagai deviasi linguistik yaitu dalam tataran fonologis, leksikal, gramatikal, semantis, dialek, dan juga periode historis. Kemudian, bab IV berisi kesimpulan dari hasil penelitian berdasarkan rumusan masalah.