BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia dalam hidupnya senantiasa berkomunikasi dengan manusia lain dalam masyarakat untuk menyampaikan pesan, ungkapan perasaan, dan emosi melalui media bahasa. Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi merupakan wujud kebudayaan dalam sistem sosial yang mendasari tindakan berpola manusia (Sibarani, 2004:60). Selanjutnya, Nababan (1993:49) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat yang terpelihara. Dari pengertian tersebut, diketahui bahwa kebudayaan tidak hanya menjadi bagian dari sistem komunikasi saja, tetapi juga berkaitan dengan norma dan aturan yang ada di masyarakat tersebut, kebiasaan perilaku manusia, hasil dari proses belajar atau pendidikan, dan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerja sama. Dalam kaitannya dengan berbahasa, keempat hal tersebut merupakan definisi dari kesantunan berbahasa. Bahasa berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang berarti di dalam tindak laku berbahasa manusia menggunakan bahasa disertai dengan norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya dikenal dengan nama etika berbahasa atau tata cara berbahasa (Inggris : linguistic etiquette (Geertz,1976 ; Chaer & Agustina, 2010:172).
1
2
Salah satu hal yang berkaitan dengan etika berbahasa atau tata cara berbahasa adalah “mengatur” bagaimana kualitas suara dan sikap fisik di dalam berbicara. Kualitas suara terkait dengan unsur suprasegmental dan sikap fisik berkaitan dengan kinesik. Etika berbahasa dan kesantunan berbahasa memiliki hubungan yang saling melengkapi, yaitu etika berbahasa lebih berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku di dalam bertutur dan kesantunan berbahasa berkenaan dengan substansi bahasanya (Chaer, 2010:6). Dalam proses komunikasi terjadi peristiwa tutur dan tindak tutur. Sebuah percakapan dapat disebut sebagai peristiwa tutur apabila memenuhi faktor-faktor penting
yang
memengaruhi
penggunaan
bahasa.
Hymes
(1964:26)
mengembangkan suatu kerangka etnografi komunikasi yang membahas berbagai macam faktor terkait dengan suatu tuturan dalam situasi berbahasa (percakapan). Faktor-faktor tersebut disingkat menjadi SPEAKING. S (setting and scene) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya percakapan. P (partisipants) mengacu pada pembicara dan pendengar dan dalam percakapan dapat berganti peran. E (ends) mengacu pada hasil yang diperoleh dari suatu komunikasi. A (act sequence) membahas mengenai bentuk dan isi dari apa yang dibicarakan. K (key) mengacu pada perilaku penyampaian pesan. I (instrumentalities) adalah pilihan bagaimana pesan itu disampaiakan. N (norms) mengacu pada perilaku khusus yang menyertai komunikasi. G (genre) mengacu pada jenis-jenis ujaran. Faktor–faktor yang diuraikan di atas terangkum dengan nama konteks situasi penggunaan suatu bahasa. Suatu bahasa memiliki kaidah atau pola tertentu karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen dengan latar belakang sosial dan
3
kebiasaan yang berbeda, maka akan menimbulkan variasi bahasa atau tutur (Chaer & Agustina, 2010:14). Bertitik tolak dari uraian di atas khusus penggunaannya, bahasa Korea (selanjutnya di singkat bK) memiliki kedudukan yang penting dalam kegiatan pariwisata di Bali. Penggunaan bK sebagai sarana komunikasi dapat ditemukan dalam aktivitas pariwisata, antara pramuwisata (selanjutnya disingkat P) dengan wisatawan Korea (selanjutnya disingkat WK). Pramuwisata (P) berbahasa Korea sebagai pelaku pariwisata yang memiliki kompetensi berbahasa Korea yang bertugas memberikan informasi, petunjuk, dan pelayanan wisata kepada wisatawan Korea (WK). Kegiatan seorang P dikenal dengan nama kegiatan pelayanan wisata (selanjutnya disingkat KPW). Kegiatan pelayanan wisata oleh P dimulai dari WK tiba di Bali (di bandara), mengantar check in hotel, KPW menuju ke objek-objek wisata di Bali, hingga mengantar WK tersebut check out hotel menuju ke bandara. Penguasaan bK oleh seorang P belumlah cukup karena KPW juga memerlukan pengetahuan khusus, strategi, dan teknik dalam melayani WK. Pelayanan P dalam memberikan informasi dan cara pelayanan wisata kepada WK akan berdampak pada kepuasan dan kenyamanan WK melakukan kegiatan berlibur di Bali. Berbicara merupakan salah satu keahlian utama bagi seorang P. Terkait dengan keahlian berbicara, penguasaan bK oleh P merupakan modal utama dalam berkomunikasi dengan WK dalam KPW. Saat berkomunikasi dengan WK, seorang P terkadang bertutur kurang memperhatikan kesantunan dan etika berbahasa Korea pada saat KPW. Hal ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh
4
perbedaan budaya yang dimiliki oleh P dengan budaya WK. Dengan demikian, dalam menyampaikan informasi dalam bentuk tuturan kepada WK dipengaruhi oleh budaya P sendiri. Masalah yang sering dihadapi oleh P dalam KPW adalah pemilihan penggunaan bK, terutama yang menyangkut tata cara berbahasa Korea sehingga menimbulkan ketidaksantunan dalam bertutur. Tuturan yang kurang santun dapat menimbulkan ancaman terhadap muka penutur, yaitu P itu sendiri. Itulah sebabnya seorang P perlu mengetahui dan memahami norma-norma budaya WK selain menguasai bK. Dengan memperhatikan tata cara berbahasa, konteks situasi, dan norma-norma budaya WK akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Brown dan Levinson (1978) menyatakan bahwa ketidaksantunan dalam bertutur akan menimbulkan ancaman terhadap muka sehingga penutur perlu menerapkan strategi untuk mengurangi keterancaman muka tersebut. Untuk mengurangi keterancaman terhadap muka tersebut, Brown dan Levinson (1978) mengemukakan strategi penyelamatan muka. Penggunaan strategi penyelamatan muka oleh seorang P sangat diperlukan dalam menjaga kelangsungan proses komunikasi yang santun dan mengurangi ketidaksantunan bertutur dengan WK. Sebagai contoh tuturan yang kurang santun P dengan WK dalam bentuk dialog pada konteks situasi tutur P menjelaskan aktivitas arung jeram di Puri Rafting, Kabupaten Badung.
5
: Sinlangim, ittaga han byaenŭn, sarami ne myong isseyo to han byaenŭn kemrutagi gaide han myongŭn towahagessemnida. Najunge tojak jangesŏ tojak handaeme, jom kemryutagi gaide jom sugopi he juseyo! Irindang O dalla ! „Tuan, nanti satu perahu karet, terdiri atas empat orang dan satu perahu terdapat satu guide arung jeram yang akan membantu. Setelah sampai di lokasi finish, tolong guide rafting yang memandu Anda mohon diberikan sedikit uang jasa pelayanan ! Satu orang peserta lima dolar saja !‟ WKp : Sugopi boham anniyo. „Uang jasa pelayanan itu tidak termasuk „ P : Ye, sugopinŭn bul bohamiyeyo. „Ya, uang jasa pelayanan tidak termasuk.‟ WKp : Ne „Ya‟ P
Dari data dialog di atas diketahui bahwa P telah melakukan ujaran yang kurang santun kepada WK. Hal ini ditunjukkan pada ujaran jom kemryutagi gaide jom sugopi he juseyo! Irindang O dalla ! „Tolong guide rafting yang memandu Anda mohon diberikan uang jasa pelayanan ! Satu orang peserta lima dolar saja !’ Pada dialog di atas, P telah menerapkan strategi untuk mengurangi ancaman muka penutur. Adapun strategi yang diterapkan P adalah strategi kesantunan negatif dengan menggunakan ujaran tidak langsung. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan frase sugopi „uang jasa pelayanan‟. Frase ini dianggap lebih santun dibandingkan dengan menggunakan kata don (uang) atau kata tip. Frase sugopi digunakan sebagai strategi kesantunan untuk mengurangi keterancaman muka negatif P. Berdasarkan prinsip kerja sama Grice (1975), P telah melakukan pelanggaran terhadap maksim kuantitas dalam bentuk kalimat deklaratif „satu orang peserta lima dolar saja !‟. Ujaran ini semestinya tidak perlu
6
karena dengan frase sugopi „uang jasa pelayanan‟ WK telah memahami untuk memberikan uang jasa kepada guide arung jeram. Namun, informasi mengenai jumlah pemberian uang pelayanan jasa merupakan hak pribadi WK. Dialog di atas juga menunjukkan pelanggaran prinsip kesantunan Leech (1983), yaitu pelanggaran maksim kebijaksanaan. Dengan adanya ujaran „Satu orang peserta lima dolar saja!’ P telah memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri dan meminimalkan kerugian diri sendiri. Penanda kesantunan P ditunjukkan dengan tuturan hormat tidak resmi yang ditandai dengan penanda imbuhan sufiks -yo pada kata kerja berimbuhan juseyo „mohon diberikan‟. Pada dialog di atas, tampak bahwa P menggunakan variasi tutur bentuk jargon, yaitu pada kosakata gaide „pemandu‟ dan frase sugopi „uang jasa pelayanan‟.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1)
Strategi kesantunan berbahasa Korea yang bagaimanakah yang diterapkan P dengan WK dalam KPW ?
2)
Bentuk-bentuk satuan verbal apakah yang digunakan oleh P dengan WK untuk mewujudkan kesantunan berbahasa Korea ?
3)
Apa sajakah fungsi dan makna kesantunan berbahasa Korea P dengan WK ?
4)
Faktor-faktor
apa
sajakah
yang
memengaruhi
ketidaksantunan berbahasa Korea antara P dan WK ?
kesantunan
dan
7
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus.
Kedua tujuan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menerapkan kajian sosiopragmatik, yaitu dengan mengaplikasikan teori sosiolinguistik dan teori pragmatik dalam menganalisis kesantunan berbahasa dari kasus interaksi P dengan WK dalam KPW di daerah pariwisata di Bali.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara
khusus,
penelitian
ini
bertujuan
untuk
menemukan,
mendeskripsikan, dan menganalisis kesantunan berbahasa P dengan WK yang meliputi hal-hal berikut. 1)
Strategi kesantunan berbahasa Korea yang diterapkan oleh P dengan WK dalam KPW terutama berkaitan dengan strategi penyelamatan muka P dalam berinteraksi komunikasi dengan WK dalam KPW.
2)
Bentuk-bentuk satuan verbal kesantunan berbahasa yang digunakan P yang meliputi kata, frase, klausa, dan kalimat.
3)
Fungsi dan makna kesantunan berbahasa P dengan WK dalam KPW yang terdiri atas fungsi asertif, direktif, ekspresif, deklaratif, dan komisif dalam kegiatan bertutur P dengan WK. Dari segi makna kesantunan terdiri atas makna lokusional, ilokusional, dan perlokusional.
8
4)
Faktor-faktor yang memengaruhi kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa P dengan WK dalam KPW, yaitu unsur suprasegmental dan kinesik.
1.4
Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
baik, secara teoretis maupun praktis. Kedua manfaat itu dapat diuraikan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini memberikan peluang untuk mengaplikasikan teori sosiolinguistik dan teori pragmatik sebagai tuntunan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian kesantunan berbahasa interaksi P dengan WK. Aplikasi teori sosiolinguistik dalam penelitian ini menggunakan teori variasi tutur (bahasa) dan etika berbahasa yang bermanfaat untuk penentuan bentuk satuan verbal dari penggunaan ragam bK yang digunakan P dan penentuan faktor-faktor kesantunan dan ketidaksantunan P dalam bertutur dengan WK. Teori pragmatik yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas teori pengancaman muka oleh Brown dan Levinson (1978), teori tindak tutur oleh Austin dan Searle, teori kerja sama Grice (1975), dan teori prinsip kesantunan oleh Leech (1983). Aplikasi teori pengancaman muka bermanfaat dalam penentuan strategi kesantunan berbahasa oleh P. Teori tindak tutur digunakan untuk menentukan fungsi dan makna kesantuan berbahasa P. Teori kerja sama Grice (1975) bermanfaat untuk
9
menjelaskan penerapan dan pelanggaran maksim-maksim kerja sama dalam komunikasi yang dilakukan P dengan WK. Teori prinsip kesantunan Leech (1983) bermanfaat untuk mengetahui penerapan dan pelanggaran maksim-maksim kesantunan P saat berdialog dengan WK.
1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui ujaran yang bagaimana yang dikatakan santun dan tidak serta strategi apa yang dapat dilakukan untuk menghindari ketidaksantunan dalam berkomunikasi dengan WK. Penelitian ini juga dapat memberikan pengetahuan bahwa berkomunikasi dengan menggunakan bK hendaknya mengikuti kaidah atau tata cara berbahasa serta memperhatikan konteks situasi terjadinya percakapan tersebut. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan acuan bagi P yang ada di Bali agar dapat memberikan pelayanan yang baik dari segi tata cara berbahasa yang santun kepada WK.