1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan,
pemerintah
menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur urusan pemerintahan, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Daerah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa: “Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD”, sedangkan Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa: “Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
2
Indonesia Tahun 1945”. Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu lembaga eksekutif (Pemerintah Daerah) dan lembaga legislatif (DPRD). Kemudian Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, ditegaskan bahwa: “DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota”. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa: “Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan mitra sejajar yang samasama melakukan tugas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah”. Ide permusyawaratan/perwakilan merupakan satu dari lima landasan falsafah fundamental dalam penyelenggaraan Negara Indonesia yang dicitacitakan para pendiri bangsa (founding fathers). Hal tersebut adalah sejalan dengan kondisi kebangsaan dengan belasan ribu kepulauan dan ratusan juta penduduk
yang
tersebar
di
berbagai
pulau
dan
kepulauan,
yang
keseluruhannya merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tentu mustahil semuanya harus diikutkan dalam penyelenggaraan Negara sebagaimana pernah dipraktekan di Yunani sebagai daerah kelahiran demokrasi dalam sebuah Negara kota yang disebut polis.
3
Jika ditelusuri sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, dapat dikatakan Moh. Yamin pertama kali menggagas ide mengenai pemerintahan daerah dalam siding BPUPKI 29 Mei 1945. Moh. Yamin, antara lain mengatakan: “Negeri, desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai pemerintahan daerah untuk menjalankan pemerintahan urusan dalam, pangreh praja” 1 Lebih lanjut Yamin dalam pidatonya tanggal 11 Agustus 1945 dihadapan sidang BPUPKI mengatakan: “Pemerintah dalam Republik Indonesia ini pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat seperti desa, yaitu susunan pemerintahan yang paling bawah, pemerintah ini saya namakan pemerintah bawahan.” “Antara pemerintahan atasan dan pemerintah bawahan itu adalah pemerintahan yang baik saya sebut pemerintahan tengahan. Perkara desadesa barangkali tidak perlu saya bicarakan disini, melainkan kita harapkan saja, supaya sifatnya diperbaharui atau disesuaikan dengan keperluan zaman baru.“Tetapi yang perlu ditegaskan disini, yaitu bahwa desa-desa, negeri-negeri, warga-warga dan lainnya tetaplah menjadi kaki pemerintahan Republik Indonesia. Dan di tengah-tengah pemerintahan atasan dan bawahan kita pusatkan pemerintah daerah.” 2 Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah (Perda). Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD
1 2
Ni’matul Huda, 2009, Otonomi Daerah (filosofi, sejarah perkembangan dan problematika). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 1 Ibid
4
adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah. Sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja pemda dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Berdasarkan hal tersebut antara kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus mendukung, bukan sebagai lawan atau pesaing.3 Hadirnya konsep otonomi daerah sebagai sebuah proses pemencaran kekuasaan dari pemerintah pusat kepada wilayah dan/atau daerah-daerah yang lebih kecil adalah konsekuensi logis dari pelaksanaan konsep Negara Hukum yang demokratis dalam sebuah Negara yang tidak mengenal adanya Negara bagian (federal state). Pemencaran kekuasaan tersebut pada prinsipnya adalah cara bagi sebuah Negara untuk meminimalisir penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh pusat, yang dapat berujung pada munculnya kekuasaan Negara absolut (absolut power), serta untuk memberi ruang partisipasi yang cukup kepada masyarakat daerah untuk membangun daerahnya sendiri berdasar prinsip demokrasi dan rule of law.
3
Yudhoyono, Bambang. 2001. Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hlm. 95
5
Secara yuridis konstitusional pembentukan pemerintahan daerah adalah sejalan dengan ketentuan norma pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang kemudian melahirkan berbagai macam produk undang-undang, antara lain: Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, dan terakhir Undang-Undang No. 9 Tahun 2015.4 Berdasarkan penjelasan tersebut maka Ni’matul Huda menyimpulkan bahwa esensi yang terkandung dalam ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebelum amandemen adalah: 1. Keberadaan daerah otonomi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang didasarkan pada asas desentralisasi. 2. Satuan pemerintahan tingkat daerah menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam penyelenggraannya dilakukan dengan “memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara”. 3. Pemerintah tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan dengan “memandang dan mengingat hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.5
4 5
Nomensen Sinamo. 2010, Hukum Tata Negara. Jakarta: Jala Permata Aksara, hlm. 138 Ibid hlm. 3
6
Namun konsep otonomi yang sempat dicita-citakan oleh para founding fathers sebagaimana diuraikan diatas sayangnya tidak begitu maksimal dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era orde lama dan orde baru. Gerakan Reformasi 1998 telah membawa angin perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dengan sejumlah tuntutan reformasi yang diantaranya adalah tuntutan otonomi seluas-luasnya dan pengembangan demokrasi. Itulah yang menjadi semangat pengaturan pemerintahan daerah sebagaimana dituangkan dalam pasal 18 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. 2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilu. 4. Gubernur,
bupati,
dan
walikota
masing-masing
sebagai
kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
7
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonorni seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. 6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang. Esensi dan Undang-Undang yang mengatur Pemerintah Daerah pada dasarnya adalah untuk membangun Pemerintah Daerah dalam mengisi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan, serta pelayanan masyarakat yang ada di daerah. Di sisi lain Undang-Undang Pemerintah Daerah di samping mengatur satuan daerah otonom juga mengatur satuan pemerintahan administratif. Untuk melaksanakan Pemerintahan secara efektif dan efisien, maka setiap daerah diberi hak otonomi.6 Dampak dari tuntutan Otonomi Daerah dan Desentralisasi pada awal-awal era reformasi bergulir mengakibatkan terjadinya pergeseran kegiatan pembangunan di daerah. Sehingga pengendalian kegiatan pembangunan sebagian
besar
dialihkan
ke
daerah.
Dengan
pengalihan
kegiatan
pembangunan tersebut maka kemampuan aparatur daerah dan mitranya (DPRD) dituntut untuk mengambil alih peran-peran pembangunan yang lebih besar. Namun problem yang muncul kemudian adalah sejauh mana kesiapan daerah untuk menerima beban yang semula ada ditangan pemerintah pusat
6
Bagir Manan, 2005, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta, PSH FH II, hlm.21
8
kemudian dialihkan kepada penyelenggara pemerintahan daerah. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pasal 1 angka 2 menyebutkan “Penyelenggara pemerintahaan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Berdasarkan
ketentuan
sebagaimana
disebutkan
dalam
peraturan
perundangan diatas dapat dikatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menempati posisi yang sangat penting kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Disamping
sebagai
badan
perwakilan
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, DPRD juga berkedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama dengan pemerintah daerah.7 Sebagai Legislatif Daerah, DPRD rnempunyai fungsi sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 149 menyebutkan bahwa: DPRD memiliki fungsi antara lain: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, maka DPRD dilengkapi dengan tugas, wewenang, kewajiban dan hak. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui partai politik yang mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai perwakilan rakyat. Sebagaimana yang dikatakan oleh
7
Pasal 149 undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah
9
Gilbert Abcarian yang dikutip oleh Masykuri Abdillah bahwa keberadaan wakil dibagi ke dalam 4 (empat) perspektif, yaitu: 1. Wakil bertindak sebagai wali (trustee), di sini ia bebas bertindak untuk mengambil
keputusan
menurut
pertimbangannya
sendiri
tanpa
berkonsultasi dengan yang diwakilinya; 2. Wakil bertindak sebagai utusan (delegate), di sini wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari wakilnya, si wakil selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya; 3. Wakil bertindak sebagai politico, di sini si wakil kadang bertindak sebagai wali dan adakalanya bertindak sebagai utusan yang tergantung isu; dan 4. Wakil bertindak sebagai partisan, di sini si wakil bertindak sesuai dengan keinginan si wakil. Setelah si wakil terpilih maka lepaslah hubungan dengan pemilih/rakyat dan mulailah hubungan dengan partai yang mencalonkannya dalam pemilu tersebut.8 Lembaga Perwakilan menurut Arbi Sanit adalah: “. . . perwakilan diartikan sebagai hubungan antar dua pihak yaitu wakil dan diwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang bekenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan yang diwakili”.
9
Dikemukakan oleh Bintan R. Saragih ada tiga
fungsi utama lembaga perwakilan, yaitu:
8
Masykuri Abdillah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, hlm. 73 9 Arbi Sanit, 2001, Perwakilan politik di Indonesia. Jakarta, Rajawali Press, hlm. 225
10
1. Fungsi perundang-undangan (legislating) Merupakan fungsi fundamental
utama lembaga perwakilan yang
fundamental, karena melalui fungsi inilah kehidupan bernegara akan diatur. Terlebih karena begitu pentingnya fungsi legislasi, oleh sebagian ahli menyebutnya sebagai urat nadi penyelenggraan bernegara dan penentu efektifitas demokrasi. 2.
Fungsi pengawasan (controling) Merupakan fungsi yang dimiliki oleh lembaga perwakilan dalam rangka untuk mengawasi pelaksanaan berbgaai macam kebijakan termasuk pelaksaan peraturan perundang-undangan oleh eksekutif. Hal itu dimaksudkan agar roda pemerintahan berjalan sebagaimana yang yang telah direncanakan. Dalam penyelenggraan fungsi ini, lembaga perwakilan diberikan hak-hak, sebagai berikut: a. Hak interpelasi b. Hak angket c. Hak bertanya d. Hak amandemen e. Hak mengajukan rancangan undang-undang 3. Sarana pendidikan politik Merupakan fungsi yang dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh
informasi
tentang
keadaan
penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya yang menyangkut kepentingan umum. Hal
11
tersebut umumnya dilaksanakan dalam bentuk sosilisasi dan kegiatankegiatan lain. 10 Fungsi, tugas, wewenang dan hak DPRD diharapkan DPRD mampu memainkan perannya secara optimal mengemban fungsi kontrol terhadap pelaksanaan peraturan daerah. Tujuannya adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang efisien, bersih, berwibawa dan terbebas dari berbagai praktek yang berindikasi korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ). Menurut Mardiasmo ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu pada tingkatan atau kegiatan yang dilakukan diluar pihak eksekutif yaitu masyarakat dan DPRD, untuk mengawasi kinerja pemerintahan.11 Disisi lain sesuai Amanah Kostitusi yang terdapat pada Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdapat pada Pasal 22E ayat (2) tentang rekruitmen anggota legislatif baik di tingkat pusat
maupun
di
tingkat
daerah
yaitu
melalui
Pemilihan
Umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hal tersebut diatas menjadi permasalahan adalah dimana proses menjadi anggota DPRD dan pemerintah daerah harus melalui proses politik, sebagaimana diketehui bahwa proses politik selalu berbicara tentang kepentingan atau lebih sering disebut dengan political transactional saling menguntungkan. Padahal secara ideal kepentingan politik dan kepentingan 10 11
Ibid Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, hlm. 219
12
partai politik sudah berkahir ketika sudah menjadi anggota DPRD atau pemerintah daerah, semuanya berbicara pada konteks kepentingan masyarakat. Hubungan antara DPRD dan pemerintah daerah merupakan hubungan yang diatur oleh undang-undang, begitupula dengan kewenangannya merupakan kewenangan yang diberikan langsung oleh undang-undang dengan pelaksanaannya berdasarkan pada prinsip otonomi daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa jabatan anggota DPRD adalah jabatan politik atau bisa juga disebut sebagai kekuasaan politik yang perlu selalu diawasi dan dikontrol oleh lembaga hukum atau lembaga lain karena teori absolute power corrupt absolutely bisa saja terjadi di kekuasaan manapun. Kedua lembaga ini diharapkan bisa kerjasama dalam rangka mewujudkan terpeliharanya tata tertib Pemda. Kerjasama menyangkut segala proses perumusan kebijakan yang ada pada umumnya dituangkan dalam bentuk Perda yang menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku harus ditetapkan oleh Kepala Daerah bersama DPRD. Dengan demikian, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, ada pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin di bidang eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. DPRD Kabupaten Boyolali periode 2014-2019 memang didominasi oleh partai pendukung pemerintah. Berikut gambaran komposisi keanggotaan fraksi DPRD Kabupaten Boyolali:
13
1.
PDI PERJUANGAN a. S. Paryanto. b. Eka Wardaya, S.pd. c. Dewi Puspandari, S.H. d. Joko Maryanto. e. Dwi Adi Agung Nugroho. f. Triwahyuningsih, SE. g. Nurhayati Widayanti, S.Si. h. Nugroho. i. Ir. H. Santoso Budi Raharjo. j. Wind Sadewo, S.H. k. Agung Supardi, S.pd. l. Djoko Prasetyo. m. Mujiono P. n. Agus Wiyono, S.pd. o. Gatot Widodo, S.H. p. Sri Susilo. q. Agus Ali Rosidi, S.H. r. Novia Iwan W. s. Dwi Purwanto. t. Agus Ari Aji. u. Tri Suryanto. v. Mulyanto, S.H. w. Turisti Hindriya. x. H. Mahmud Djumali. 2. Golongan Karya a. H. Fuadi, S.H. b. Drs. Edi Nirmolo. c. Drs. Purnomo. d. Diana Cristianingrum, SE. e. Ir. Y. Sriyadi, M.H. f. Esta Adi Atmoko. 3. Demokrat a. Drs. H. Sudjadi. 4. PAN a. Drs.H. Thontowi Jauhari,S.H. b. Hj. Andi Fatmawati, S.H. c. Musthofa Safawi, S.H. 5. PKB a. H. Muhajirin, SE, MM. b. H. Bambang Suwanto. 6. PKS a. Reshadi Jatmoko. b. Tugiman, S.pd. c. Slamet Widodo, ST. d. Ali Hufroni, S.Ag.
14
7. Gerindra a. Tutwuri Handayani. b. Drs. Suwardi. c. Maryoto, S.pd. d. Muh. Amin Wahyudi, SE. 12 Keberadaan anggota DPRD mayoritas pendukung pemerintah yang dalam hal ini pemerintah daerah (Bupati dan Wakil Bupati) yang berasal dari partai yang sama, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Kabupaten Boyolali membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam, karena komposisi mayoritas itulah menimbulkan kecurigaan potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau “kong-kalikong” oleh DPRD dengan pemerintah daerah. oleh karena itu penulis membuat suatu judul tentang Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DRPD dalam Mewujudkan Prinsip Checks and Balances studi kasus DPRD dan Pemerintah Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah.
B. Rumusan Masalah Dari yang sudah dijabarkan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap Pemerintah Kabupaten Boyolali? 2. Apakah pelaksanaan pengawasan yang efektif DPRD Kabupaten Boyolali dapat mewujudkan prinsip Checks and Balances?
12
Data Sekretariat DPRD Kabupaten Boyolali, 2014-2019
15
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif Setiap karya ilmiah pasti mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai, maka berdasar dari latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap pemerintah daerah di Kabupaten Boyolali. b. Menganalisis
efektifitas
DPRD
dalam
melaksanakan
fungsi
pengawasan dan hubunganya dengan perwujudan prinsip checks and balances. 2. Tujuan Subjektif Untuk melengkapi persyaratan akademik guna memenuhi salah satu syarat kelulusan jenjang Strata 2 (dua) (S-2) di Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian dengan judul Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPRD dalam Mewujudkan Prinsip Checks and Balances Studi Kasus DPRD dan Pemerintah Kabupaten Boyolali mempunyai banyak manfaat, pada poin ini penulis mengklasifikasikan menjadi 2 (dua) manfaat yaitu:
16
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi langsung, melahirkan ide baru terkait pola dan bentuk pengawasan DPRD dan Pemerintah Kabupaten Boyolali, dan memperkaya literatur Hukum Tata Negara, Hukum Pemerintahan Daerah, dan tentang Kepartaian khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selaku partai pemenang pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. 2. Manfaat Praktis Selain manfaat teoritis yang ada dalam penulisan ini, penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung kepada DPRD dan Pemerintah Kabupaten Boyolali terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah mengigat DPRD dan Pemerintah berasal dari partai yang sama yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
E. Keaslian Penelitian Penulis menyadari bahwa penelitian atau tulisan mengenai efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mewujudkan prinsip checks and balances bukan lah suatu hal yang baru. Beberapa penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan masalah ini dan berhasil penulis temukan adalah sebagai berikut:
17
Tesis Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah oleh Aang Sugiatna, 2011, Program Magister Hukum Universitas Indonesia. Penelitian ini terfokus pada pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah oleh Gubernur DKI Jakarta beserta seluruh perangkatnya dari segi Ilmu Administrasi Publik . Dalam penelitian ini dibahas mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan esksteren berupa pengawasan legisiatif oleh DPRD dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah di DKI Jakarta. Penelitian dilakukan dengan pendekatan normatif dan empirik dengan analisis secara kualitatif, dengan menggunakan metode explanatif evaluatif dan studi kasus. Sedangkan pengumplan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan dengan kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang Pemerintah Daerah, Pemilu, susunan kedudukan Lembaga Perwakilan Rakyat termasuk DPRD DKI Jakarta, disamping itu dilakukan penelitian lapangan dengan Instrumen pedoman wawancara dan kuesioner serta diskusi dengan narasumber, khususnya para anggota dan mantan anggota DPRD DKI Jakarta serta para pejabat terkait. Tesis Pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Sorong Selatan Studi kasus pengawasan DPRD dalam proses implementasi budgeting sektor infrastruktur Penulis Wafom Menase, 2009, Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian ini memfokuskan perhatian pada pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Kabupaten Sorong Selatan. Dalam penelitian ini akan dikaji latar
18
belakang orientasi politik yang membentuk sikap dan perilaku anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan pada umumnya dan khususnya pengawasan proses implementasi budgeting sektor infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini dikaji tentang sandiwara hubungan eksekutif – legislatif, latar belakang orientasi politik DPRD, kepentingan sosial politik dan ekonomi, serta faktor internal dan eksternal yang membentuk sikap dan perilaku anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan pada umumnya dan pengawasan implementasi APBD pada khususnya. Skripsi “Analisis Fungsi Pengawasan Legislatif terhadap Pemerintah DIY”, oleh Irwandi Sido, 2013, Program Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada skripsi ini dijabarkan suatu permasalahan mengenai apakah pola interakasi antara pemerintah DIY yang dijabat melalui mekanisme “penetapan” mengingat DIY sebagai daerah istimewa dengan legislatif atau DPRD dalam mewujudkan prinsip checks and balances. Yang pada inti penelitian saudara Irwandi Sido bahwa pengawasan legislatif dilakukan dalam kurun waktu yang bervariasi yaitu 3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun yang dilengkapi dengan Laporan Pertanggung Jawaban Pemerintah Daerah. Pengawasan juga dilakukan oleh lembaga eksternal yaitu Lembaga Ombudsman Daerah (LOD). Adapun yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pengawasan tersebut adalah pertama, budaya “sungkan” terhadap Gubernur yang sekaligus Raja Kraton, Sultan Hamengkubuwono IX, kedua profesionalisme anggota DPRD yang tidak
19
sama, dan ketiga adalah latar belakana anggota DPRD dari partai politik yang berbeda yang masih sarat dengan kepentingan kelompok dan jabatan. Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk mengkaji dari sudut pandang yang berbeda dengan pendekatan yang lebih kontesktual yaitu fenomena pemerintahan daerah dan hasil pemilihan umum anggota legislatif dan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Repubulik Indonesia yang dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), begitu pula dengan objek penelitian pada tesis ini yang objeknya adalah anggota legislatif dan pemerintah daerah Kabupaten Boyolali Jawa Tengah yang notabennya adalah basis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Maka kemudian penulis dapat menyatakan bahwa usulan penelitian yang berjudul “Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPRD dalam Mewujudkan Prinsip Checks and Balances (studi kasus DPRD dan pemerintah Kabupaten Boyolali)” belum pernah ada sebelumnya.