BAB I PENDAHULUAN
A.
ALASAN PEMILIHAN JUDUL 1) ORISINALITAS Melalui studi pustaka, ditemukan ada beberapa penelitian yang
mengangkat tema hampir serupa, meskipun belum ditemukan adanya penelitian mengenai perempuan dan kriminalitas jalanan, di Yogyakarta. Beberapa penelitian tersebut antara lain : 1) Perempuan dan Kejahatan Pembunuhan dalam Konstalasi Relasi Gender oleh Shinta Dewi Rismawati pada tahun 2008. Penelitian ini membahas tentang karakteristik kejahatan pembunuhan yang dilakukan narapidana perempuan di LP Wanita Bulu Semarang dan faktorfaktor yang mendorong narapidana tersebut melakukan kejahatan pembunuhan dalam relasi gender. 2) Kesetaraan Gender Pengemudi Perempuan Transjakarta oleh Rifqi Adlian pada tahun 2014. Penelitian ini memfokuskan pada realitas bahwa perempuan sulit mendapatkan pekerjaan karena konstruksi gender tentang pembatasan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Maka, profesi sebagai pengemudi transjakarta merupakan salah satu bentuk “pekerjaan lintas gender”.
1
3) Citra Inferioritas Perempuan dalam Cerpen Jurusan’ya karya Higuchi Ichiyou: Analisis Sosiofeminis Ruthven oleh Ulil Maulida Noviana pada tahun 2013. Penelitian ini menggambarkan tentang kehidupan rumah tangga tokoh utama perempuan dan ketidakmampuannya menghadapi pendindasan yang dilakukan suaminya. Disini digambarkan tentang kekerasan karena adanya ketidakadilan gender, seperti subordinasi, stereotip dan kekerasan psikis dalam budaya patriarki Jepang. 4) Pengaruh Citra Keamanan Destinasi terhadap Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Yogyakarta tahun 2011 oleh Abadi Raksapati pada tahun 2011. Penelitian ini memberikan suatu gambaran dan penjelasan tentang bagaimana pengaruh tingkat keamanan di Yogyakarta berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan Nusantara.
Beberapa penelitian di atas tentu sangat berbeda dengan tema serta fokus penelitian ini yang mengangkat isu gender dalam dunia kriminalitas. Penelitian ini melihat sosok perempuan sebagai korban dalam dunia kriminalitas diantara laki-laki pada posisi sebagai pelaku kriminalitas. Jadi penelitian ini menjelaskan bagaimana perempuan sebagai obyek, pada posisi korban maupun calon korban dipandang oleh pelaku kriminalitas yang adalah laki-laki, yang kemudian merujuk pada realitas apakah hingga saat ini perempuan masih dipersepsikan sosok yang lemah dan inferior di bawah laki-laki yang dipandang lebih kuat dan superior
2
sesuai dikte konstruksi budaya tradisional, sehingga perempuan masih berpotensi menjadi sasaran utama tindak kriminalitas di jalanan.
2) AKTUALITAS Topik penelitian tentang penjambretan sedang aktual, hangat dan sangat menarik diperbincangkan belakangan ini. Kasus penjambretan sedang marak terjadi dan mendapatkan banyak perhatian mulai akhir 2014 hingga pertengahan 2015 ketika tulisan ini disusun. Akhir-akhir ini banyak sekali pemberitaan tentang “begal”, jenis tindak kriminalitas yang termasuk dalam street crime, seperti hal nya penjambretan dan motifnya mirip sekali dengan penjambretan. Hanya jika begal lebih mengincar motor korban, sedangkan jambret lebih mengincar tas, dompet, perhiasan, handphone/smartphone, dan sebagainya. Kasus street crime sangat menyedot perhatian publik bersamaan dengan banyaknya sorotan media massa, mulai dari media elektronik, media cetak dan media sosial terhadap fenomena pembegalan yang sedang marak di berbagai kota di Indonesia, tidak terkecuali di Yogyakarta. Kasus pembegalan yang sangat menghebohkan masyarakat akhir-akhir ini juga semakin meresahkan masyarakat. Keamanan masyarakat seakan terancam oleh tindak kriminalitas ini. Banyak masyarakat yang semakin takut untuk pergi sendirian, khususnya bagi perempuan di malam hari. Di Yogyakarta, pembegalan sempat sangat menghebohkan masyarakat pada akhir 2014. Saat itu, pembegalan atau yang disebut “klitih” oleh masyarakat Yogya ini terjadi sangat massive hingga keamanan di Yogyakarta secara serentak
3
ditingkatkan, seperti peningkatan penjagaan di titik-titik lokasi yang dinilai rawan saat malam hari, memberikan nomor pengaduan kepolisian yang bisa dihubungi dalam keadaan emergency hingga memberikan jasa mengantar pulang saat malam hari bagi mereka yang tidak berani pulang sendirian. Fenomena klitih yang biasanya dilakukan oleh remaja ini sangat meresahkan masyarakat Yogyakarta, cukup menelan banyak korban dengan kerugian materi maupun non-materi (Hanif, 2014). Disamping itu, isu gender, kaitannya dengan upaya perwujudan kesetaraan gender atau gender equality juga sedang diberikan perhatian yang cukup besar bersamaan dengan dicanangkannya hal tersebut sebagai salah satu tujuan dalam MDGs. Indonesia bersama dengan beberapa Negara lainnya yang termasuk dalam anggota
PBB
berkomitmen
untuk
mengintegrasikan
MDGs
(Millenium
Development Goals) sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan. “Promote Gender Equality and Empower Women” adalah salah satu tujuan MDG’s yang diharapkan dapat terpenuhi tahun 2015. Untuk itu, sudah selayaknya permasalahan kesetaraan gender menjadi hal yang mendapat perhatian sesuai dengan target MDGs tahun ini. Oleh karenanya, penelitian ini akan menghubungkan antara isu gender dengan dunia kriminalitas. Ini didasarkan pada anggapan bahwa perempuan selama ini sering dipandang sebagai sasaran empuk para pelaku penjambretan
4
yang mayoritas adalah laki-laki, karena konstruksi gender yang mendiskriminasi dan memberikan posisi yang “rendah” pada perempuan hingga saat ini.
3) RELEVANSI DENGAN ILMU PSdK Sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial, Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan mempelajari berbagai aspek sosial dalam kehidupan masyarakat. Aspek – aspek tersebut penting untuk dikaji agar dapat mewujudkan kesejahteraan pada masyarakat. Dalam melakukan kajian tersebut, Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan membagi fokus studinya kedalam 3 pokok studi, yaitu : Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Community Empowerment atau Pemberdayaan Masyarakat, serta Social Policy atau Kebijakan Sosial. Penelitian ini mengupas tentang “Kriminalitas dan Perempuan dalam Dinamika Gender Equality di Yogyakarta”. Maka relevansi penelitian ini dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, yaitu terkait dengan Pemberdayaan Masyarakat atau Community Empowerment, khususnya pada pemberdayaan perempuan di ruang publik. Kerentanan yang terjadi karena tidak terjaminnya kemanan perempuan di ruang publik saat mereka menjalankan perannya perlu mendapatkan perhatian dan memerlukan suatu kajian yang mendalam agar memberikan kontribusi bagi pemberdayaan perempuan di ruang publik.
5
B.
LATAR BELAKANG Dalam kehidupan masyarakat, kondisi sejahtera merupakan kondisi yang
diinginkan dan diharapkan serta selalu diusahakan agar dapat dicapai. Menurut Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1974, kesejahteraan dirumuskan sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Sedangkan PBB memberi batasan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dibagi menjadi 5 hal pokok, sesuai dengan “Teori Kebutuhan” dari Abraham Maslow, yaitu : kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan (safety), kebutuhan dimiliki dan cinta (belonging dan love), kebutuhan harga diri (self esteem), kebutuhan aktualisasi diri. Oleh karenanya, kebutuhan akan keamanan termasuk dalam salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Dalam tingkat tertentu, keamanan menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia untuk dapat melanjutkan penghidupan secara bermartabat, di mana orang sulit melakukan aktivitas apa pun di dalam situasi yang tidak aman dan nyaman. Sehingga keamanan menjadi syarat penting bagi
6
orang untuk menemukan kesejahteraan (Damanik, Susi & Djuni, 2014:37). Untuk itu, setiap manusia, baik tua-muda, miskin-kaya, laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan hak atas keamanan dirinya. Namun, terkadang dalam hidup bermasyarakat kebutuhan akan keamanan ini terkendala untuk dipenuhi sehubungan dengan maraknya tindak kriminalitas yang marak terjadi. Tindak kriminalitas sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat, dapat mengancam keselamatan siapapun tanpa terkecuali serta dapat terjadi dimana saja. Di tempat yang dirasa paling aman pun, tidak bisa dipastikan bahwa kita benar-benar aman dari ancaman tindak kriminalitas. Di Indonesia, Yogyakarta selama ini dikenal sebagai kota yang sangat nyaman ditinggali karena tergolong kota yang aman. Faktanya, tindak kriminalitas yang sangat meresahkan dan mengancam masyarakat ini tetap tidak bisa dihindarkan. Yogyakarta memiliki angka kriminalitas yang cukup tinggi selama beberapa tahun terakhir. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah tindak kejahatan yang dilaporkan di Yogyakarta pada tabel 1.1. Dalam tabel 1.1 dapat dilihat bahwa tindak kejahatan yang terjadi di Yogyakarta tergolong relatif tinggi. Meskipun pada tahun 2011 sempat mengalami penurunan dari tahun 2010, dari 7.980 kasus menjadi 6.050 kasus, pada tahun 2012 jumlah ini meningkat kembali menjadi 6.713 kasus. Hal ini dapat menggambarkan bagaimana tindak kriminalitas tidak dapat diprediksi. Disamping itu, tingginya angka kriminalitas ini akan memberikan dampak negatif di masyarakat, yaitu rasa ketidaknyamanan sehingga membuat masyarakat kehilangan rasa aman, padahal seperti yang telah
7
disebutkan di atas, rasa aman merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat penting. Hal ini jelas merupakan suatu permasalahan nyata di kehidupan masyarakat yang sangat meresahkan dan patut diberikan perhatian lebih.
TABEL 1.1 Jumlah Tindak Kejahatan yang Dilaporkan (Crime Total) di D.I Yogyakarta tahun 2010-2012 NO
KAB/KOTA
2010
2011
2012
941
725
629
1.612
887
580
287
310
408
01
Kulonprogo
02
Bantul
03
Gunungkidul
04
Sleman
2.036
2.012
2.099
05
Yogyakarta
2.779
2.436
1.893
06
MAPOLDA DIY
-
-
1.194
7.980
6.050
6.713
D.I Yogyakarta Sumber : BPS Yogyakarta 2013
Salah satu bukti bahwa tindak kejahatan/kriminalitas sangat meresahkan masyarakat adalah adanya kerugian materiil yang ditimbulkan oleh adanya tindak kriminalitas pada tabel 1.2. Tabel 1.2 memperlihatkan bahwa kerugian yang ditimbulkan tindak kejahatan atau kriminalitas sangat besar di tiap tahunnya, hingga mencapai milyaran rupiah. Hal ini tentunya menunjukkan bagaimana tindak kriminalitas di Yogyakarta menimbulkan kerugian yang besar dalam masyarakat dan tentunya hal ini sangat meresahkan masyarakat.
8
TABEL 1.2 Kerugian Materiil Akibat Tindak Kejahatan di D.I Yogyakarta Tahun 2011-2012
2011 NO
2012 KERUGIAN
KABUPATEN/KOTA
KERUGIAN
DITEMUKAN
KERUGIAN KERUGIAN
KEMBALI 01
Kulonprogo
02
Bantul
03
Gunungkidul
04
DITEMUKAN KEMBALI
3.333.453.575
228.149.200
4.528.807.000
674.734.000
16.419.992.089
4.251.842.753
9.773.153.221
7.312.193.126
7.247.194
305.545
8.478.368.900
398.019.500
Sleman
38.503.233.425
11.262.455.596
05
Yogyakarta
10.744.131.106
357.668.080
6.280.400.000
288.517.000
06
MAPOLDA DIY
76.334.792.895
16.105.401.029
245.823.793.000
3.468.000.000
D.I Yogyakarta
145.342.850.284
32.205.822.203
274.884.522.121
12.141.463.626
Sumber : BPS Yogyakarta 2013
Tindak kriminalitas yang terjadi di Yogyakarta bisa berwujud penipuan, pencurian, perampokan, penjambretan, pelecehan hingga pembunuhan dan masih banyak lagi. Diantara berbagai bentuk tindak kriminalitas tersebut, pencurian dengan kekerasan dalam kasus penjambretan merupakan tindak kriminalitas yang masih sering dijumpai dan dapat sangat dekat dengan aktivitas masyarakat seharihari. Biasanya, penjambretan dilakukan di jalanan. Padahal, hampir sebagian besar aktivitas kehidupan kita dihabiskan di luar rumah atau di jalanan. Sekolah, kuliah, bekerja, mengikuti kegiatan-kegiatan, pergi ke tempat ibadah, dan masih banyak lagi, semuanya dilakukan diluar rumah dan selalu menempuh perjalanan untuk sampai ke tempat-tempat tujuan tersebut. Dalam perjalanan itulah
9
penjambretan sebagai salah satu bentuk tindak kriminalitas sangat berpotensi mengancam masyarakat. Dalam kasus penjambretan, para pelaku biasanya melakukan pencurian terhadap hak milik atau barang korbannya dengan menggunakan kekerasan di ruang publik, seperti di jalan raya. Dalam tindak penjambretan, para korbannya dalam kondisi sadar bahwa ia sedang menjadi korban penjambretan, sehingga tidak jarang para korban tersebut sempat melakukan perlawanan. Pada tabel 1.3 diperlihatkan bahwa jumlah pencurian dengan kekerasan di Yogyakarta relatif tinggi. Pencurian dalam hal ini mencakup kasus penjambretan atau perampasan yang dilakukan di jalanan. Fakta ini juga mengindikasikan tingkat keamanan masyarakat di Yogyakarta yang tergolong rendah.
TABEL 1.3 Banyaknya Kejahatan Jenis Kejahatan Terhadap Hak Milik/Barang dengan Menggunakan Kekerasan di Yogyakarta PENCURIAN
PENCURIAN DENGAN
PENCURIAN DENGAN
DENGAN
KEKERASAN MENGGUNAKAN
KEKERASAN MENGGUNAKAN
KEKERASAN
SENJATA API
SENJATA TAJAM
2011
10.097
415
695
2012
10.672
561
1.109
2013
10.683
1.109
880
TAHUN
Sumber : BPS 2014
Penjambretan atau perampasan yang dilakukan dengan kekerasan di jalanan/ruang publik dapat terjadi dimanapun dan kapanpun dalam kehidupan 10
masyarakat sehari-hari, serta dapat mengancam dan menimpa siapapun tanpa terkecuali : laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda, miskin maupun kaya. Namun disamping itu, tindak penjambretan biasanya memiliki sasaran empuk tersendiri. Selama ini yang terkesan dan terlihat di publik, sasaran empuknya adalah kaum perempuan. Dapat dikatakan bahwa kecenderungannya lebih banyak korbannya adalah perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Pada tabel 1.4 akan diperlihatkan bagaimana perempuan lebih banyak menjadi korban penjambretan dibanding laki-laki di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
TABEL 1.4 Jumlah Korban Penjambretan Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta
NO
TAHUN
1
JUMLAH KORBAN PENJAMBRETAN PEREMPUAN
LAKI-LAKI
2012
45
7
2
2013
17
6
3
2014
12
1
74
14
JUMLAH
Sumber : Disederhanakan dari data kriminalitas Polres Sleman 2015
Berdasarkan tabel 1.3 dapat dilihat dengan jelas bahwa jumlah korban penjambretan perempuan jauh lebih banyak daripada jumlah korban laki-laki. Secara keseluruhan selama 3 tahun terakhir, jumlah korban perempuan 74 orang, dan laki-laki 14 orang, di sini terlihat jumlah korban perempuan bahkan 5 kali 11
lebih banyak daripada korban laki-laki. Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum perempuan lebih banyak dijadikan sasaran utama penjambretan dibanding lakilaki. Dalam tindak penjambretan, biasanya para pelaku mengincar korbannya dengan melihat peluang yang ada. Para kaum perempuan yang pergi seorang diri di malam hari, memakai tas samping yang hanya ditenteng atau dikenakan di bahu, serta berjalan atau mengendarai kendaraan di jalan yang sepi biasanya merupakan sasaran empuk para pelaku penjambretan. Perempuan yang menggunakan tas samping dianggap lebih mudah direbut, sehingga hal ini seakan menjadi “undangan” para pelaku untuk melakukan aksinya. Saat ini pun para pelaku juga sudah semakin nekat dan berani dalam melancarkan aksinya. Mereka sudah berani melakukan aksinya pada siang hari di tempat yang ramai sekalipun. Modus kejahatan yang ada saat ini juga sudah semakin bervariasi, misalnya dari yang hanya ingin merebut tas dan dompet, mulai melebar dengan merampas perhiasan yang dikenakan korban hingga merampas kendaraan yang dipakai. Perempuan dipandang sebagai salah satu sasaran empuk kejahatan seperti ini karena dianggap lebih mudah ditaklukkan, sering lalai serta mudah lengah dengan barang bawaannya. Anggapan tersebut tidak dapat dilepaskan dari stigma yang melekat pada perempuan selama ini sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya, sehingga ketika menjadi sasaran tindak kriminalitas/penjambretan, perempuan dirasa lebih sulit atau tidak berani melawan. Para pelaku juga berpikiran jika perempuan akan takut jika diancam sedikit saja, sehingga lebih cenderung untuk pasrah dan akan memudahkan aksi pelaku. Akibatnya, pelaku
12
penjambretan –yang umumnya adalah laki-laki- lebih leluasa menjalankan aksinya dengan anggapan bahwa peluang keberhasilannya akan lebih besar ketika obyek atau korbannya adalah perempuan. Hal tersebut kemudian dihadapkan dengan konstruksi tentang perempuan itu sendiri yang selama ini berkembang melalui budaya dan semakin diinstitusionalisasi dalam pola-pola hidup masyarakat sehari-hari. Menjadi pembahasan yang klasik bahwa perempuan selama ini sangat lekat dengan konstruksi yang “inferior” dibawah konstruksi tentang laki-laki yang dipandang lebih “superior”. Perempuan selalu dikonstruksikan sebagai pihak yang lemah, lembut, emosional, keibuan dan identik dengan sektor domestik. Di pihak lain, laki-laki dikonstruksikan kuat, jantan, rasional, perkasa, identik dengan sektor publik, dan sebagainya. Maka, sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan, kriminalitas tidak dapat dipisahkan dari konstruksi inferior yang melekat pada perempuan ini. La Pona, dkk (dikutip oleh Sugihastuti dan Itsna, 2007) menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dipicu oleh relasi gender yang timpang, yang diwarnai oleh ketidakadilan dalam hubungan antarjenis kelamin, yang berkaitan erat dengan kekuasaan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa permasalahan ketimpangan gender menjadi salah satu penyebab yang dominan pada beberapa kasus kekerasan dan kriminalitas pada perempuan. Dalam konteks budaya “ke-timur-an” Indonesia, perempuan lebih banyak dilarang keluar malam karena dianggap tidak etis menurut nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Wanita dibatasi norma-norma sehingga tidak bisa berbuat sebebas laki-laki. Ada pendapat yang menyatakan bahwa wanita sebaiknya tidak
13
bepergian sendiri di malam hari. Bila itu dilakukan akan menimbulkan penilaian yang negatif dari masyarakat (Abdullah, 2006:245). Meskipun saat ini sudah terbilang bebas untuk perempuan keluar dan pulang malam, pandangan seperti itu masih tumbuh subur di dalam masyarakat. Hal itu juga berkembang dalam kaitannya dengan tindak kriminalitas, dimana dalam hal ini terkandung makna bahwa mereka memiliki peluang besar “terancam” menjadi obyek kriminalitas yang semakin marak “di luar” sana. Pemikiran-pemikiran tradisional yang penuh stigma diatas kemudian semakin berkembang dari masa ke masa seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Saat ini sudah banyak sekali dekonstruksi-dekonstruksi serta upaya-upaya untuk menangkis atau bahkan menentang konstruksi tersebut, yang salah satunya adalah dengan begitu maraknya pergerakan kaum feminis di berbagai Negara. Feminisme sendiri menurut Wattimena (dikutip oleh Azis, 2007) merupakan sebuah pandangan yang mengharuskan adanya pelurusan terhadap masyarakat yang melulu menguntungkan laki-laki (patriarkis) ke arah struktur masyarakat yang equal dan egaliter. Upaya-upaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan gender equality atau kesetaraan gender, dimana laki-laki dan perempuan dapat dipandang setara, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk diantara keduanya dalam segi apapun. Sudah banyak pula contoh nyata dari hasil upaya kesetaraan gender yang ditampilkan di publik. Perempuan kini sudah mulai masuk ke sektor publik berdampingan dengan laki-laki. Di Indonesia ini saja, sudah banyak sekali tokoh perempuan yang sukses dengan karirnya, menjadi inspirasi banyak orang dan jelas
14
tidak bisa dipandang sebelah mata. Di hampir semua sektor kehidupan, kaum perempuan banyak yang membuktikan eksistensinya. Bahkan, Negara Indonesia pernah dipimpin oleh seorang perempuan, Ibu Megawati Soekarno Putri. Sudah tidak mengherankan lagi jika banyak kaum perempuan yang mampu menjadi pemimpin yang hebat dan sukses serta menjadi kaum yang tidak terbelakang lagi. Jadi, dapat dikatakan bahwa saat ini kita sudah sampai pada tahap dimana konstruksi gender yang tradisional dahulu mulai dibongkar dan didekonstruksi, yang pada akhirnya berujung pada upaya perwujudan gender equality/kesetaraan gender di berbagai belahan dunia. Namun, ditengah banyaknya upaya perwujudan gender equality di berbagai Negara termasuk Indonesia, sorotan bagi isu gender tidak berhenti sampai disitu. Pertanyaan-pertanyaan lain yang kemudian muncul adalah : Apakah perempuan sudah merasakan adanya keberadaan/eksistensi gender equality ? Atau apakah semua perempuan sudah memiliki kesadaran dan pola pikir yang sama tentang citra diri mereka sebagai seorang perempuan, yang memiliki posisi setara dengan laki-laki ? Menginjak lebih jauh dari itu, kini hal yang dipertanyakan juga mulai mengalami perkembangan. Apakah kaum diluar perempuan sudah benar-benar mampu menghapus mind-set mereka tentang konstruksi inferior pada perempuan, atau mereka masih memandang kaum perempuan lengkap dengan konstruksi inferior tersebut ? Sudahkah kaum laki-laki bertindak selaras dengan konsep gender equality yang mensetarakannya dengan kaum perempuan ? Ataukah mereka masih saja memandang perempuan sebagai
15
kaum yang posisinya berada “dibawah” mereka dengan segala praktek tradisional yang terlanjur diinternalisasi dalam pola pikir mereka di kehidupan sehari-hari ? Hal tersebut seakan dijawab oleh pernyataan yang termuat dalam Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia yang menyebutkan bahwa tak ada satu kawasan pun di negara-negara berkembang berlaku kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Lanjutnya, kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal akses terhadap dan kendali atas sumber daya, dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan dan dalam hak bersuara politik. Kenyataannya memang masih banyak sekali perempuan diluar sana yang terpenjara
oleh
konstruksi-konstruksi
inferior
dan
diskriminatif
yang
dilanggengkan melalui budaya patriarkhi dalam masyarakat. Lebih tragisnya lagi, banyak perempuan justru mengamini dan ikut melanggengkan budaya patriarkhi dan pemikiran-pemikiran yang terkandung didalamnya, padahal hal ini dapat “membunuh” eksistensi mereka sendiri sebagai seorang manusia secara perlahan. Meskipun saat ini sudah sangat banyak perempuan yang bekerja dengan image yang dapat membuktikan bahwa konstruksi tradisional tentangnya tidak tepat, contohnya sebagai pekerja bangunan, sopir, kernet angkutan umum hingga atlet nasional maupun internasional, polisi sampai tentara, kenyataannya perempuan masih dipandang sebagai pihak yang lemah. Sesungguhnya, perbedaan yang mutlak pada perempuan dan laki-laki hanyalah terletak pada segi fisik saja. Dalam segi psikologis pun, saat ini tidak bisa di klaim secara mutlak bagaimana psikologis perempuan dan laki-laki. Sebenarnya, dengan menggunakan logika sosial, maka memang secara sosial
16
perempuan dan laki-laki tidak memiliki perbedaan, tetapi karena konstruksi budaya mempertontonkan perbedaan itu, mau tak mau perempuan memang menjadi kelas sosial yang dinomorduakan dalam konstruksi tersebut (Azis, 2007:60). Sehingga, saat ini hanya tinggal bagaimana perempuan dan laki-laki mendekonstruksi mind-set mereka masing-masing yang sudah terlanjur tersusupi budaya patriarkhi. Oleh karenanya, upaya perwujudan gender equality sudah selayaknya di evaluasi kembali apakah sudah benar-benar mampu menembus semua sektor kehidupan dan seluruh lapisan masyarakat dalam konteks kriminalitas. Pendeknya, dalam konteks kriminalitas, dulu perempuan masih dianggap sebagai sosok yang lemah sehingga masih sering dipandang sebagai sasaran empuk tindak kriminalitas karena konstruksi-konstruksi gender tradisional. Sekarang dengan begitu banyaknya upaya emansipasi, dekonstruksi tentang konstruksi gender tradisional, kualitas pendidikan yang semakin baik, dan lain sebagainya yang ingin mengupayakan kesetaraan perempuan dan laki-laki, bagaimana posisi ataupun “relasi” yang terjadi antara korban perempuan dan pelaku penjambretan laki-laki? Oleh karenanya, penelitian ini akan mengungkap bagaimana kaum lakilaki sebagai pelaku tindak kriminalitas-penjambretan memandang calon korban maupun yang sudah menjadi korban mereka yang adalah perempuan, ditengah dinamika gender equality yang semakin marak. Pada akhirnya, penelitian ini akan merujuk pada realitas bagaimana posisi perempuan dan laki-laki saat ini.
17
Dari beberapa banyak jenis tindakan kriminalitas, penelitian ini akan lebih memfokuskan pada penjambretan atau perampasan dengan kekerasan yang dilakukan diluar rumah atau di jalanan (ruang publik). Hal tersebut diambil karena berhubungan dengan pantangan klasik yang selalu melekat pada perempuan, tentang bagaimana perempuan dipandang tidak baik keluar rumah sendirian hingga larut malam. Pertama, budaya yang terlanjur berkembang mengklaim bahwa seorang perempuan tidak etis jika keluar atau pulang hingga malam hari karena image yang timbul akan negatif. Kedua, ancaman kriminalitas di malam hari lebih potensial sehingga perempuan yang keluar malam hari lebih banyak dikhawatirkan menjadi sasaran kriminalitas, karena direpresentasikan sebagai kaum yang lemah dan tidak berdaya. Dengan demikian, akan terlihat bagaimana kondisi isu gender di dalam kehidupan masyarakat di Yogyakarta, khususnya dalam sisi kriminalitas.
C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas, maka memunculkan pertanyaan : 1) Bagaimana
para
pelaku
kriminalitas-penjambretan
laki-laki
dalam
memandang korban ataupun calon korban mereka yang adalah perempuan di Yogyakarta ? 2) Apakah perempuan dipersepsikan sebagai sosok yang lemah dan inferior sehingga menjadi sasaran utama kriminalitas, ditengah maraknya upaya mewujudkan “gender equality” di Yogyakarta ?
18
D. TUJUAN PENELITIAN 1.
Tujuan Substansial Tujuan Substansial dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
para pelaku kriminalitas-penjambretan laki-laki dalam memandang korban ataupun calon korban mereka yang adalah perempuan, serta apakah perempuan dipersepsikan sebagai sosok yang lemah dan inferior, sehingga masih menjadi sasaran utama kriminalitas, ditengah maraknya upaya mewujudkan “gender equality” di Yogyakarta.
2.
Tujuan Operasional a.
Memberikan tambahan referensi bagi civitas akademika, baik oleh peneliti umum maupun yang berasal dari Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
b. Dapat memberikan tambahan informasi maupun pemikiran yang dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya, terkait isu gender dan pada lingkup
pemberdayaan
perempuan,
khususnya
dalam
konteks
kriminalitas. c. Memberikan masukan kebijakan dalam kaitannya dengan isu gender dan pemberdayaan perempuan. d. Memberikangambaran yang mendasarterkait posisi perempuan saat ini dalam konteks kriminalitas.
19
E. KERANGKA TEORI/TINJAUAN PUSTAKA 1. Kontruksi Inferior Perempuan Perempuan di dunia timur masih hidup dalam perangkap feodalisme warisan masa lalu yang hingga hari ini belum bisa ditembus (Azis, 2007:52). Banyak hasil dari konstruksi budaya tradisional, seperti: pemikiran, kepercayaan maupun tindakan yang masih diinternalisasi dalam pola-pola hidup masyarakat dan terus diwariskan hingga saat ini. Menurut Abdullah (2006:5), konstruksi merupakan susunan suatu realitas obyektif yang telah diterima dan menjadi kesepakatan umum, meskipun di dalam proses konstruksi itu tersirat dinamika sosial. Laki-laki dan perempuan dianggap menjadi dua obyek yang sangat berbeda dari segala sisi. Sejak lama pola-pola sosialisasi memang dilakukan secara berbeda antara perempuan dengan laki-laki, baik itu dalam keluarga maupun di lingkungan sosialnya. Perbedaan perlakuan terhadap kaum wanita sudah ditanam sejak usia dini dan dilakukan tanpa sadar oleh orang tua (Azis, 2007:102). Laki-laki identik dengan warna pakaian gelap, memakai celana, tidak sewajarnya memakai accesories serta dididik harus kuat, tegas, tidak boleh menangis, selalu dilayani, lebih bebas karena tidak terlalu dibatasi oleh peraturanperaturan, menjadi pemimpin dan sebagainya. Sedangkan sebaliknya, wanita identik dengan warna pakaian cerah, memakai rok, dididik untuk menjadi pribadi yang lemah lembut, anggun, selalu melayani sehingga harus bisa memasak dan
20
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah, dituntut untuk selalu bangun lebih awal, dibatasi serta dikungkung oleh peraturan-peraturan, menjadi pihak yang dipimpin dan sebagainya. Anak perempuan disosialisasi menjadi sosok yang lemah lembut, pasif dan dependen (Morris dikutip oleh Sihite, 2007). Dengan kata lain, perempuan berperilaku feminin, patuh, tidak agresif dan apa yang pantas menurut konstruksi budaya tradisional. Model perempuan yang diinginkan harus sesuai dengan social expectation, yakni nice girl, good women, dan kontrol sosial pun dilakukan lebih ketat terhadap perempuan ketimbang laki-laki (Sihite, 2007:6). Ini juga menunjukkan adanya social expectation yang berbeda terhadap anak perempuan dengan laki-laki (Morris, dikutip oleh Sihite, 2007:230). Implikasinya, seperti yang dikemukakan Ridjal (1993), bahwa kebudayaan timur seakan mengajarkan untuk menempatkan perempuan sebagai manusia sekunder. Dikotomi nature dan culture telah digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis kelamin, yang satu lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang mewakili sifat “alam” (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Dalam hal ini sifat-sifat atau “kodrat” alamiah perempuan harus dibatasi oleh berbagai peraturan dan larangan yang lekat dengan nilai budaya agar perempuan menjadi lebih “berbudaya” (Abdullah, 2006:3-4). Perlakuan serta pandangan yang berbeda dan diskriminatif antara laki-laki dengan perempuan, sedikit demi sedikit memupuk kesadaran laki-laki bahwa merekalah pihak yang harus selalu dimenangkan dalam setiap kompetisi. Mereka juga secara tidak langsung semakin memperoleh penegasan ataupun pengesahan
21
bahwa merekalah makhluk “nomor satu”. Di lain pihak, wanita selalu disadarkan bahwa mereka lah merupakan subordinat pria. Hampir dalam segala hal wanita ditempatkan sebagai “subordinat”, sedangkan pria “superior” (Abdullah, 2006:244). Hal semacam itu selalu ditegaskan kembali melalui berbagai bentuk ide dan kegiatan (Abdullah, 2006:246). Anggapan yang mengatakan bahwa perempuan lebih buruk dari laki-laki adalah anggapan pesimistis, anggapan yang dibangun di atas budaya patriarkal, budaya yang menempatkan perempuan sebagai kelas kedua dalam komunitas sosial. Menurut Bhasin (1996:3), patriarki merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, serta sistem kontrol terhadap perempuan, tempat perempuan dikuasai. Akibat dari penempatan yang demikian, perempuan dianggap sebagai manusia kelas kedua, manusia yang tidak bebas mengartikulasikan kehendak bebas yang mengobjektivikasi di dalam dirinya yang menyebabkan mereka selalu bergantung kepada laki-laki, bergantung kepada budaya patriarkal yang sangat feodal dalam masyarakat (Azis, 2007:54-55). Berbagai ketimpangan gender dan ideologi patriarkhi sebagai wujud konstruksi sosial begitu mengakar di masyarakat (Sihite, 2007:234). Posisi wanita Indonesia sampai saat ini masih menjadi kelompok “subordinat dan inferior” dimana dalam berbagai hal sering “dikalahkan” oleh pria. Mereka harus mendengar berbagai larangan dan juga lebih banyak menerima aturan dibandingkan dengan pria. Berbagai “rambu ketimuran” dibuat dan didengungdengungkan untuk wanita. Perilaku mereka tidak pernah lepas dari pengawasan orang-orang di lingkungannya. Sejak kecil wanita telah menerima penjelasan
22
ataupun aturan tentang mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan (Abdullah, 2006:244-245). Kepercayaan, praktek-praktek, dan norma-norma kultural menetapkan wanita sebagai kurang cerdas, kurang rasional dan bahkan kurang manusiawi dibanding laki-laki. Usaha “membudayakan” perempuan telah menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Abdullah, 2006:3-4). Wanita lebih mungkin dipandang sebagai milik laki-laki (suami atau ayah) dibanding sebagai individu dengan hak-hak mereka sendiri (Moore dan Jane, 1996:194). Perempuan dikungkung dalam dunia dominasi lakilaki dan secara tradisional diturunkan ke dalam perannya sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh anak, jauh dari kompetisi pasar (Barnes dan Negley, 1959:62). Dalam hal ini, berbagai larangan dalam kehidupan sehari-hari pun selalu dilekatkan dengan perempuan, seperti harus berpakaian sopan, tidak etis jika pergi atau pulang larut malam, tugasnya hanya mengurus rumah tangga sehingga pendidikannya tidak perlu terlalu tinggi, dianggap tidak menghargai suami jika ikut bekerja, selalu dipimpin oleh laki-laki, dan masih banyak lagi. Lebih lanjut, dalam masyarakat terdapat ideologi gender yang membedabedakan pria dan wanita bukan hanya berdasar jenis kelamin, tapi juga berdasarkan peranan masing-masing jenis kelamin. Contohnya banyak anggapan yang menyatakan bahwa perempuan identik bekerja di sektor domestik, bahkan ada pandangan bahwa pemimpin itu lebih baik jika adalah seorang laki-laki, sehingga banyak pekerjaan yang menempatkan wanita di posisi atau jabatan yang berada di bawah laki-laki.
23
Ketika perempuan sudah mulai berhasil masuk ke sektor publik, permasalahan tidak berhenti sampai disitu. Permasalahan budaya masih menjadi masalah dan terus mempersulit perempuan. Pertama, perempuan memiliki beban/peran ganda, dimana satu sisi mereka memiliki kewajiban mengurus rumah tangga, di sisi lain ia juga dituntut harus profesional dan totalitas dalam pekerjaannya. Kedua, perempuan bahkan memiliki posisi yang sulit dalam memilih pekerjaan, terutama pekerjaan yang harus dilakukan pada malam hari. Ada rambu yang diperuntukkan bagi wanita agar tidak bepergian di malam hari. Bepergian di malam hari hanya akan mengundang petaka baginya, misalnya dirampok dan diperkosa. Laki-laki di satu pihak merupakan pelindung untuk bepergian di malam hari, di pihak lain juga bertindak sebagai pengancam ketentraman wanita (Abdullah, 2006:240). Situasi masyarakat yang tampaknya memojokkan wanita mengakibatkan wanita kurang bebas dan seringkali mengalami hambatan dalam berkreasi dan menunjukkan eksistensi diri. Maka, peran ganda wanita menjadi peran yang dilematis, bukan hanya karena wanita mendapatkan beban tambahan selain beban peran reproduktif, tetapi karena tidak terjaminnya keamanan pada saat wanita menjalankan perannya, terutama sejalan dengan keterlibatan wanita di luar rumah (Abdullah, 2006:238). Feminist perspective of rape menggarisbawahi relasi dan partisipasi yang tidak seimbang di ranah sosial, ekonomi dan politik telah membawa bentukbentuk kekerasan yang khas menimpa perempuan seperti kekerasan seksual dan perkosaan yang mengindikasikan tidak seimbangnya distribusi kekuasaan antara
24
perempuan dengan laki-laki dipandang dari segi ekonomi dan sosial. Berbagai dimensi kekerasan, baik fisik, sosial maupun kekerasan dalam bentuk gagasan, yang dialami oleh perempuan, semakin menegaskan dominasi-dominasi dan ketimpangan-ketimpangan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini juga bukti hegemoni laki-laki terhadap perempuan, mereka direndahkan dan dijadikan kelompok sasaran sebagai objek kekerasan. Di samping itu, sering terjadi viktimisasi ganda terhadap perempuan, baik di sektor publik maupun domestik. Ketika di sektor publik, mereka mengalami perkosaan atau kekerasan seksual bersamaan dengan tindak perampokan dan kejahatan terhadap harta benda. Kekerasan pun menimpa perempuan tanpa pandang bulu anak-anak, remaja dan dewasa (Sihite, 2007:232). Kekerasan dan kejahatan yang menimpa perempuan, khususnya ketika perempuan mulai masuk ke ranah publik merupakan dampak negatif dari adanya konstruksi-konstruksi budaya yang membawa nilai-nilai “diskriminatif” untuk perempuan. Karena perempuan dipandang sebagai pihak yang lemah, inferior dan makhluk kelas kedua, laki-laki yang sudah mengalami “penegasan” akan posisinya sebagai makhluk nomor satu, superior dan selalu dimenangkan merasa lebih leluasa saat “memperlakukan” perempuan. Laki-laki (dalam posisi sebagai pelaku kriminalitas) merasa sebagai pihak yang lebih kuat dan akan selalu menang jika berhadapan dengan perempuan (dalam posisi sebagai korban). Sehingga, ia akan lebih cenderung mengincar perempuan karena pandangan peluang keberhasilannya lebih besar. Perempuan yang dipersepsikan sebagai
25
pihak yang lemah dirasa akan lebih mudah “ditaklukkan” dan “dikalahkan” oleh laki-laki sebagai makhluk yang dipandang kuat dan superior.
2. Pelaku Tindak Kriminalitas Masalah kejahatan atau kriminalitas merupakan masalah abadi dalam kehidupan manusia, karena ia berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban umat manusia. Bahkan kehidupan umat manusia abad ke-20 ini masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai suatu fenomena yang tidak berkesudahan (Atmasasmita, 2005:63). Dipandang dari sudut formil (menurut hukum), kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana. Ditinjau lebih dalam pada intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (Bonger, 1945:7-8). Sedangkan menurut Soesilo (1976:11) kejahatan adalah tingkah laku atau perbuatan yang jahat yang tiap tiap orang dapat merasakannya bahwa itu jahat. Kalau dalam pengertian yuridis yang masuk kejahatan itu terbatas hanya pada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat (anti sosial) yang telah dirumuskan dan ditentukan dalam perundang-undangan pidana saja, maka kalau dalam pengertian sosiologis, kejahatan juga meliputi segala tingkah laku manusia, walaupun tidak atau belum ditentukan dalam undang-undang, toh pada hakekatnya oleh warga masyarakat dirasakan dan ditafsirkan sebagai tingkah laku atau perbuatan yang secara ekonomis, maupun psikologis, menyerang atau merugikan masyarakat dan
26
melukai perasaan susila dalam kehidupan bersama (Soesilo,1976:13). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan moral kemanusiaan serta norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat, yang dampaknya merugikan masyarakat. Tindak kejahatan dalam suatu masyarakat tidak akan terjadi tanpa sebab yang melatarbelakanginya. Maka, Hurwitz (1986:146) memberikan penggolongan pelaku tindak kriminalitas berdasarkan sebab-musabab kejahatan : 1) Pelanggar-pelanggar yang kriminalitasnya terutama ditentukan faktorfaktor endogen (dari dalam) 2) Pelanggar-pelanggar yang kriminalitasnya
sedikit banyak seimbang
dengan faktor-faktor endogen dan eksogen (dari dalam dan luar) 3) Pelanggar-pelanggar yang kriminalitasnya ditentukan oleh faktor-faktor eksogen (dari luar)
Latar belakang pelaku kriminalitas/kejahatan turut memberikan kontribusi terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya. Soesilo (1976:14-16) melakukan pembagian bentuk-bentuk kejahatan, dimana dapat dilakukan melalui 2 jalan, ialah dengan melihat perbuatannya atau pelakunya. Melihat dari sisi pelakunya, ia meminjam pembagian yang dilakukan C. Lombroso sebagai berikut : a. Penjahat sejak lahir. Ini adalah orang-orang yang mempunyai kelainan-kelainan bentuk badan yang terlihat dari bagian-bagian badan yang abnormal, cacat-cacat dan kekurangan-kekurangan badaniah sejak lahir.
27
b. Penjahat karena sakit jiwa. Misalnya : gila, setengah gila, sinting, gemblung, idiot, imbecil, melancholi, paralise, epilepsi, histeri, demensia, palagra dan lain-lain termasuk pula pemabuk alkohol. c. Penjahat terdorong oleh nafsu birahi. d. Penjahat karena kesempatan. Seperti mereka yang berbuat kejahatan karena terpaksa oleh keadaan, mereka yang berbuat pelanggaran-pelanggaran kecil yang tidak berarti. e. Penjahat dari kebiasaan. Terdiri dari orang-orang yang mempunyai kebiasaan buruk, menyimpang dari kelakuan dan tabiat warga-warga lain yang normal dan patuh pada undang-undang, sehingga akhirnya sering berbuat kejahatan.
Selain itu, Aschaffenburg (dikutip oleh Soesilo, 1976:14-17)
mengadakan
penggolongan kejahatan seperti di bawah ini : 1. Penjahat kebetulan. Yaitu mereka yang berbuat kejahatan tanpa disengaja, akan tetapi karena kelalaian atau kecerobohannya. 2. Penjahat karena dorongan keadaan. Ialah mereka yang berbuat suatu kejahatan karena terkena pengaruh langsung dari sesuatu dorongan yang timbul seketika itu juga. 3. Penjahat kesempatan. Yaitu mereka yang berbuat jahat dengan mempergunakan kesempatan yang kebetulan mereka jumpai. 28
4. Penjahat yang melakukan kejahatan dengan ditimbang-timbang atau persiapan-persiapan terlebih dahulu. 5. Penjahat ulangan atau residivis. Yaitu mereka yang sebelumnya telah melakukan berulang kali sesuatu kejahatan, tanpa membedakan apakah kejahatan itu sejenis atau bukan. 6. Penjahat kebiasaan. Terdiri dari orang-orang yang secara teratur berbuat kejahatan, teristimewa karena sifatnya yang pasif, pikiran tumpul dan sifat masa bodoh. 7. Penjahat yang memang pekerjaannya. Ialah mereka yang berbuat kejahatan yang sikap hidupnya memang tertuju pada perbuatan jahat dengan aktif.
Selanjutnya, Hurwitz (1986:147) memberikan penggolongan mengenai penjahat karena kecenderungan : 1) Kepribadian aktif Penjahat yang kuat, kasar-kejam dan melakukannya sebagai pencarian. 2) Kepribadian pasif Tidak mencari kejahatan, tapi sedia melakukannya tanpa ada perasaan segan bila ia mendapatkan kesempatan untuk itu.
Penjambretan sebagai salah satu bentuk kriminalitas/kejahatan yang biasanya disertai dengan kekerasan termasuk ke dalam kejahatan kekerasan individual, dimana menurut Clinard dan Quinney (dikutip oleh Atmasasmita, 2005:67) ada penggolongan crime of violence yang merujuk pada kejahatan
29
tertentu, seperti : pembunuhan (murder), perkosaan (rape), penganiayaan berat (aggravated assault), perampokan bersenjata (armed robbery) dan penculikan (kidnapping). Dalam bentuk-bentuk kejahatan kekerasan tersebut, satu-satunya karakteristik dari model kejahatan dengan kekerasan ini adalah adanya agresivitas atau apa yang dinamakan dengan assaultive conduct. Gibbons (dikutip oleh Atmasasmita, 2005:67) membedakan dua macam assaultive conduct, yaitu : 1.
Situational or sub-cultural in character
2.
Individualistic or psychogenic in character
Telah terbukti bahwa kemiskinan adalah basis terbesar kriminalitas, tapi di sisi lain ternyata seks dapat dikatakan sebagai akar kejahatan. Laki-laki mencuri untuk perempuan, perempuan membunuh untuk membebaskan diri dari pasangan yang tidak diinginkan, baik pria maupun wanita saling membunuh karena kecemburuan seksual. Masih berbahaya untuk menggeneralisir, namun hampir sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh perempuan melibatkan laki-laki, secara langsung atau tidak langsung (Barnes dan Negley, 1959:62). Dalam tindak kejahatan/kriminalitas, pelakunya biasanya didominasi kaum laki-laki. Ada beberapa alasan mengapa perempuan kurang terlihat sebagai kriminil daripada laki-laki menurut Barnes dan Negley, pada umumnya tentang kekhawatiran adanya penolakan sosial yang lebih dibanding laki-laki, sehingga mereka cenderung berpegang teguh pada adat istiadat yang berlaku dibanding laki-laki. Namun, dalam suatu analisis lintas budaya, Nettler 1994 (dikutip oleh Moore dan Jane, 1996:209) menyimpulkan bahwa dalam semua budaya yang
30
dikenal, laki-laki muda membuat sumbangan lebih tinggi terhadap angka kejahatan daripada orang-orang yang lebih tua dan wanita. (Hurwitz, 1986:100) juga memberikan pengelompokan tentang penyebab angka rata-rata kejahatan wanita lebih rendah daripada pria sebagai berkut : a) Biologik. Karena wanita secara fisik kurang kuat dan karena ada kelainan-kelainan psikis yang khas, sehingga kriminalitasnya berkurang. b) Sosiologik 1) Lebih terlindung oleh lingkungan karena tempat bekerja dirumah dengan tanggung jawab hanya mengenai rumah tangga. 2) Cenderung tidak “akrab” dengan minuman keras.
Hal ini juga menimbulkan suatu penjelasan tersendiri. Dalam kriminalitas, digambarkan bahwa pihak yang kuat menindas yang lemah. Dikarenakan konstruksi budaya memberikan pemisahan vertikal antara posisi sosial laki-laki dan perempuan, maka kemudian berimplikasi pada pelaku kriminalitas -suatu “profesi” yang memerlukan power dan kekuasaan- yang mayoritas adalah lakilaki. Maka jelas terlihat bagaimana konstruksi gender tradisional tumbuh subur dalam masyarakat, bahkan dalam dunia kriminalitas.
31