BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tesis ini berusaha memberi kontribusi pengetahuan tentang pengelolaan risiko dalam sebuah kerjasama kemitraan pemerintah dan swasta. Secara spesifik, tesis ini menganalisis sejauhmana pengelolaan risiko beserta model pengeloaan risiko dalam kerjasama kemitraan pemerintah dan swasta. Analisis tema ini akan lebih difokuskan pada upaya menemukan framework sebuah organsisasi kemitraan dalam mengelola risiko. Hasil analisis tema ini diharapkan dapat ditinjaklanjuti menjadi pendekatan-pendekatan instruksional yang dapat digunakan dalam sebuah kerjasama kemitraan, khususnya kerjasama kemitraan antara pemerintah dan swasta. Tema ini dianggap penting untuk dianalisis secara lebih mendalam karena pengelolaan risiko dalam sebuah kemitraan antara pemerintah dan swasta belum dilakukan secara optimal. Kenyataan ini, hingga sekarang, masih sering terjadi dan masih merupakan penyebab kegagalan kerjasama kemitraan itu sendiri. Oleh karena itu, pengelolaan risiko dalam kemitraan ini merupakan hal penting yang perlu dilakukan. Pentingnya pengelolaan risiko kemitraan antara pemerintah dan swasta menjadi lebih menarik diteliti, karena dua lembaga ini mempunyai budaya kerja yang berbeda. Bila ditinjau dari perspektif teoritis, kerjasama kemitraan, pada umumnya, dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip, antara lain:
Mengutamakan pencapaian
tujuan dan sasaran bersama; Saling percaya dan berkomitmen terhadap pencapaian tujuan kemitraan; Kemitraan harus menghasilkan manfaat yang dirasakan masing-masing pihak; dan Pembagian risiko yang dilakukan secara bersama sesuai dengan bentuk risiko dan spesialisasi masing-masing pihak yang bermitra. Tyler dan Matthews (1996). 1
Prinsip-prinsip kemitraan diatas, secara tidak langsung, menggambarkan bahwa kerjasama kemitraan merupakan konsep ideal masa kini, yang perlu digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah urgen, seperti masalah transportasi perkotaan ataupun inftrastrukturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tri Widodo (2004), yang melihat kemitraan sebagai potensi mendorong kemajuan program-program pemerintah, karena ada keterlibatan masyarakat dalam bentuk partisipasi, yang mana akan semakin menjamin pencapaian hasil yang lebih baik dan lebih cepat, serta lebih tinggi nilai manfaatnya. (efektif dan efisien) Namun di sisi lain, kemitraan ini, bila tidak dikelola dengan menggunakan pendekatan yang tepat, akan menjadi kontraproduktif yang justru dapat merusak hubungan pemerintah dan swasta. Situasi ini apabila berlangsung dalam rentang waktu lama maka dapat berpotensi terjadi risiko, berupa kerugian, yang akan ditanggung para pihak yang bekerjasama. Dengan demikian, proses pencapaian tujuan kemitraan pun akan ikut terpengaruh atau mengalami hambatan dalam mencapai tujuan kemitraan itu sendiri. Ini berarti bahwa kerjasama kemitraan dapat berpeluang mempercepat mencapai tujuan kerjasama kemitraan dan dapat memperbesar pencapaian manfaat oleh para pihak yang bermitra. Namun kerjasama kemitraan itupun bisa berpotensi mencapai kegagalan apabila masalah-masalah yang mengandung risiko kegagalan dalam kemitraan tersebut tidak dapat dikelola dengan baik dan tepat. Beberapa penelitian tentang kemitraan telah membuktikan hal serupa, bahwa masalah yang terjadi dalam kemitraan sebenarnya dilatarbelakangi pola kerja dari masing-masing pihak yang tidak memperhatikan pengelolaan risiko. Sebuah penelitian yang dilakukan Irvan Abd
Rachman (2008) tentang “Kemitraan Antara
Pemerintah dan Swasta dalam Reklamasi Pantai di Kota Ternate” merupakan salah satu bukti tentang kurangnya pengelolaan risiko kemitraan. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa kerjasama kemitraan awalnya direncanakan dengan matang, ternyata dalam 2
pelaksanaanya terancam mengalami risiko kegagalan karena terjadi konflik kepentingan diantara pemerintah dan swasta karena persoalan status lahan. Dalam penelitian tersebut, masing-masing pihak, baik pemerintah maupun swasta mengklim sebagai pemilik lahan. Kemitraan ini akhirnya berakhir dengan terjadinya konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat. Penelitian lainnya dilakukan Jefri Makatita (2010), yang meneliti tentang “Penerapan Model Kemitraan Pemerintah dan Swasta di Bidang Transportasi Publik. Hasil penelitian ditemukan bahwa pengelolaan transportasi yang sarat dengan kepentingan masing-masing pihak yang bermitra sehingga menyebabkan target kemtraan tidak dapat dicepai secara optimal. Masalahnya, bahwa proses pengelolaan kemitraan masih dipengaruhi oleh faktor ego masing-masing pihak. Kasus kemitraan lainnya terjadi antara pemerintah dan swasta pada masa-masa awal penerapan model kemitraan dalam kerjasama. Pada masa itu kerjasama kemitraan pemerintah dan swasta lebih menggunakan pendekatan sejarah, politik dan administrasi, yang mana pendekatan tersebut diyakini dapat mempermudah dalam proses kerjasama. Namun kenyataannya justeru terjadi kompetisi antara pemerintah dan swasta. Situasi ini tentu berakibat buruk terhadap kemitraan itu sendiri, yakni terjadinya situasi kacau dan kritis, yang berpeluang risiko terjadi kegagalan kemitraan karena terjadi hubungan yang tidak dinamis sehingga terjadi konflik antar pihak. (Druker, 1982). Dalam konteks Indonesia, secara umum, menunjukan bahwa kasus-kasus kemitraan yang berakhir dengan kegagalan masih sering terjadi hingga kini. Sumber risiko dari masing-masing kasuspun berbeda, namun secara umum, sumber risiko lebih banyak pada risiko operasional, yakni: Adanya perubahan kesepakatan kerjasama, Pelanggaran perjanjian, dan Kelalaian operator, serta Pengelolaan keuangan yang tidak transparan. Berikut ini beberapa kasus kemitraan yang terjadi antara pemerintah dan swasta kerena 3
mengabaikan pengelolaan risiko kemitraan. Kasus kemitraan dalam tabel dibawah ini merupakan masalah-masalah umum yang sering terjadi dalam kerjasama kemitraan pemerintah dan swasta di Indonesia. Tabel 1.1 Inventarisasi Kasus-kasus Kemitraan Pemerintah dan Swasta Tanggal Berita 30/05/2012
Isi Berita
Media
BOGOR, Proyek pembangunan Pusat Pembinaan dan Republika.co.id Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional Hambalang di Bogor, Jawa Barat kembali menimbulkan polemik. Pemerintah (Monpora Andi Mallarangeng tersangkut kasus korupsi penggunaan dana proyek Rp 578 miliar. Sedangkan konstruksi gedung ablas pada 14 dan 15 Desember 2011. Pemerintah yang bekerjasama dengan PT Adhi Karya Tbk dan PT Wijaya Karya Tbk pun saling menyalahkan. Kerugian mencapai 40 persen dari total Rp 1,175 triliun, karena tidak ada keterbukaan penggunaan anggaran maupun pra-survei. Walaupun demikian, Menpora menyatakan: sebelumnya sudah dilakukan observasi, studi geologi, survey dan analisa analogi hidrologi. 06/06/2014 JAKARTA, Kasus pembangunan monorel yang dicanangkan Kompasiana.com pemerintah (Gubernur Sutiyoso) bekerjasama dengan PT Jakarta Monorail pada tahun 2003 yang bersepakat membangun dua jalur monorel, yakni Green Line (Jalur Hijau) dan Blue Line (Jalur Biru). Monorel Jalur Hijau akan melayani rute Semanggi-Casablanca-Kuningan-Semanggi (15 stasiun), sedangkan Jalur Biru akan melayani rute Kampung Melayu-Casablanca-Tanah Abang-Roxy (13 stasiun) sampai saat ini belum move on. Pergantian Gubernur Jokowi, kemudian Ahok merasa pemerintah dirugikan karena pengerjaan pembangunan yang dinilai lamban; sedangkan PT Monorail merasa dipolitisasi, yakni banyaknya peraturan yang menghambat pengerjaan monorel. 19/01/2015 JAKARTA, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Kompas.com menunggu keputusan pemerintah Indonesia terkait lanjut atau tidaknya proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berlokasi di tiga desa, yaitu Ponowareng, Ujungnegoro, Karanggeneng, di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dalam kerjasama itu, pemerintah menggandeng swasta, yakni PT Bhimasena Power Indonesia yang merupakan konsorsium beranggotakan Adaro dengan dua perusahaan asal Jepang yakni J Power dan Itochu. Kerjasama ini terancam karena pemerintah berencana membatalkan tiga proyek dari investor Jepang ini. Alasannya, dianggap memberi dampak buruk bagi lingkungan, kerena memakai batu bara yang akan menyisahkan limbah yang sangat buruk bagi lingkungan sekitar Batang. Sumber: Diolah dari berbagai media online
4
Kasus-kasus kemitraan yang mengandung risiko diatas menunjukan bahwa dalam setiap kerjasama kemitraan yang dilakukan selama ini, yakni kemitraan antara pemerintah dan swasta, masih ditemukan, bahwa para pihak yang bermitra masih kurang memperhatikan pengelolaan risiko. Pengelolaan risiko yang dimaksudkan adalah proses mengidentifikasi risiko, merencanakan program pengendalian risiko, dan mengambil keputusan atau tindakan strategi untuk mengendalikan risiko. Hal ini merupakan proses penting, yang semestinya diperhatikan, karena semua kegiatan yang telah direncanakan dengan sebaik apapun, tetap mengandung ketidakpastian. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat Darmawi (2005), yang menyatakan bahwa risiko (kemitraan) sebagai akibat (atau penyimpangan realisasi rencana) yang mungkin terjadi secara tidak terduga. Walaupun demikian, ketidakpastian yang merupakan sumber munculnya risiko dapat dikelola dengan menggunakan manajemen risiko. Manajemen risiko disini diartikan sebagai upaya memperkecil atau mengantisipasi ketidakpastian dengan menyediakan beberapa tindakan alternatif. Bila ditinjau dalam konteks kemitraan Trans Jogja, dapat diketahui bahwa kerjasama yang dibangun antara pemerintah DIY (Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika) dengan PT Jogja Tugu Trans (PT JTT), dalam mengelola Bus Trans Jogja pun mempunyai masalah, yang mana tidak jauh berbeda dengan masalah kemitraan di Indonesia pada umumnya. Kerjasama kemitraan yang telah dimulai sejak 8 Pebruari 2008 ini, pada proses selanjutnya, akhirnya, menuai banyak masalah. Para pihak, secara internal, mengklaim bukan pihak yang merupakan sumber masalah. Masing-masing pihak, baik pemerintah maupun PT JTT mengklaim sebagai pihak yang benar. Disini muncul situasi saling menyalahkan sehingga secara tidak langsung mengganggu hubungan kemitraan, yang dinamis, yang telah dibangun sebelumnya, yakni pada awal kerjasama kemitraan.
5
Dalam konteks kemitraan pengelolaan Bus Trans Jogja ini, ada beberapa masalah yang sering terjadi dan berpotensi timbulnya risiko dalam kerjasama kemitraan, yakni: Pertama, Adanya perubahan kesepakatan perjanjian. Perubahan kesepakatan perjanjian kerjasama, yang merupakan landasan kerjasama kemitraan antara pemerintah DIY dan PT JTT itu selalu diperbarui setiap tahun. Perubahan perjanjian yang dilakukan secara rutin setiap tahun ini karena disesuaikan dengan perubahan Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY setiap tahun anggaran.
Dari sisi pengelolaan anggaran, terjadi
ketidakpastian di pihak operator, yakni PT JTT dalam menggunakan anggaran tersebut. Ketidakpastian ini terlihat jelas dalam merencanakan belanja anggaran, yang besarannya tidak tentu atau tidak bisa diketahui setiap tahun, sebelum pengesahan APBD pada tahun tersebut. Perencanaan anggaran maupun pembelanjaannya yang tidak tentu ini, pada saat tertentu menjadi masalah kerena tidak terkontrol dengan baik. Hal ini menjadi indikasi pemborosan anggaran, yang mana mengandung risiko terjadinya penggunaan anggaran yang berlebihan namun tidak tepat sasaran. Kedua, Pelanggaran kontrak kerjasama. Dalam kontrak kerjasama antara pemerintah dan PT JTT menyepakati bahwa pengelolaan Bus Trans Jogja dilakukan dengan sistem pembelian layanan (Buy The Service). Dalam sistem tersebut dijelaskan bahwa pemerintah membeli layanan Bus Trans Jogja untuk memenuhi kebutuhan transportasi umum masyarakat Yogyakarta pada PT JTT, yang merupakan pihak yang menyediakan layanan. Namun kenyataanya di lapangan menunjukan bahwa layanan yang diberikan belum sepenuhnya memperhatikan kepuasan masyarakat. Disini, pihak pemerintah merasa dirugikan karena besaran anggaran untuk membeli layanan tidak sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan. Hal ini terlihat pada banyaknya armada Bus Trans Jogja yang tidak layak operasi namun tetap beroperasi. Selain itu, kerusakan bus yang
6
tidak segera diperbaiki tersebut pada akhirnya menggangu kenyamanan para pengguna bus. Disisi lain, pihak karyawan PT JTT merasa bahwa ada politisasi dari pemerintah, yang mana lebih menuntut penyediaan layanan Bus Trans Jogja yang berkualitas, namun pada tataran kersejahteraan karyawan tidak diperhatikan, sehingga berpengaruh pada kualitas kinerja para karyawan di lapangan, khususnya para pengemudi dan pramugara atau pramugari. Ketiga, Perubahan harga suku cadang kendaraan dan bahan bakar. Potensi risiko yang juga berhubungan dengan operasional kendaraan, yakni perubahan harga peralatan kendaraan maupun kenaikan harga bahan bakar. Memang perubahan yang terjadi pada dua hal ini tidak terlalu dirasakan menyebabkan risiko kerugian usaha jasa transportasi maupun kualitas layanan transportasi, namun dua hal ini juga berpotensi terjadi ketidakpastian. Seperti tahun 2014, terjadi dua kali perubahan tarif Bus Trans Jogja, karena terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia yang berpengeruh juga pada kenaikan bahan bakar dalam negeri. Perubahan tersebut menyebabkan perubahan tarif Bus Trans Jogja terjadi hanya dalam rentang waktu yang sangat pendek, yang mana awalnya tarif Bus Rp 3000/Single Trip, namun karena kanaikan bahan bakar, secara tiba-tiba dinaikan menjadi Rp 4000/Single Trip, tetapi beberapa minggu kemudian diturunkan menjadi Rp 3600/Single Trip, yang berlaku hingga sekarang ini. Keempat, Tekanan politik; secara kelembagaan, pemerintah DIY dan PT Jogja Tugu Trans merupakan dua lembaga yang mempunyai perbedaan, baik dalam visi dan misi maupun orientasi kerja. Pihak pemerintah sebagai organisasi yang menganut sistim birokrasi, tentu cara kerjanya lebih menggunakan mekanisme peraturan baku atau standar untuk melakukan pekerjaan. Mekanisme ini pada kenyataannya terkesan membuat cara kerja organisasi pemerintah terkesan kaku dan kurang inovatif. Berbeda dengan 7
pemerintah, organisasi swasta (PT JTT) lebih mengutamakan inovasi untuk memperoleh penghasilan usaha sebesar-besarnya. Berbedaan tersebut pada akhirnya mengakibatkan pengingkaran kesepakatan karena terjadi kompetisi atau persaingan untuk memperoleh keuntungan secara internal. Situasi ini merupakan risiko yang sering terjadi dalam semua pekerjaan atau program yang dilakukan dengan sistem kemitraan, termasuk kerjasma kemitraan dalam mengelola transportasi Bus Trans Jogja. Dari hasil observasi memberi informasi bahwa pemerintah, karena dalam kemitraan lebih menginginkan ketersediaan layanan transportasi yang berkualitas, maka secara tidak langsung mendapat dukungan dari masyarakat. Maka dengan dukungan tersebut sewaktuwaktu berpotensi menumbulkan risiko karena menggunakan otoritasnya untuk merubah peraturan, yang mana dapat dilakukan tanpa berkompromi dengan pihak lain, karena berpikir bahwa didukung masyarakat. Masalah-masalah diatas merupakan masalah umum yang terjadi, yang mana pada saat tertentu sering menggangu keberlangsungan kemitraan dan sering menjadi sumber risiko konflik karena menimbulkan hubungan yang tidak dinamis. Dari konflik-konflik kepentingan yang sering terjadi tersebut, walaupun lebih banyak pada masalah umum (operasional), namun masalah kemitraan Bus Trans Jogja sesungguhnya tidak hanya sebatas pada persoalan operasional, yakni pembengkakan biaya operasional dan kualitas ouput kemitraan yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Dari hasil observasi menunjukan bahwa permasalah kemitraan Bus Trans Jogja yang berpotensi terjadi risiko, yakni menyangkut masalah pelanggaran atau pengingkaran kesepakatan, perubahan peraturan kesepakatan yang dilakukan secara sepihak, serta perubahan anggaran pengelolaan Bus Trans Jogja yang selalu berubah setiap tahun. Selain itu, masalah yang selalu sering terjadi dan yang sangat berisiko terhadap kemitraan, yakni kelalaian operator Bus Trans Jogja dilapangan. Kelalaian ini terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya: Perawatan kendaraan 8
yang tidak dilakukan secara rutin, Kekurangan anggaran perbaikan kendaraan karena terjadi perubahan harga suku cadang kendaraan, yang mengakibatkan menurunnya pendapatan usaha Trans Jogja. Selain masalah operasional, keuangan dan kelembagaan diatas, ada masalah internal dari PT JTT yang mana menjadi sumber risiko pencapaian tujuan Kemitraan itu sendiri, yaitu: Pertama, Tuntutan kenaikan upah karyawan, yang kadang berakhir dengan konflik antara karyawan dengan manjemen PT JTT, dan juga konflik internal antar karyawan dengan motif senioritas diantara karyawan, seperti terlihat pada hubungan kerja antar para pengemudi. Disini, para pengemudi yang baru direkrut merasa bahwa pengemudi lama atau pengemudi yang direkrut dari koperasi angkutan dalam kota yang tergabung dalam korporasi PT JTT lebih mendominasi pekerjaan, serta menganggap diri lebih memiliki pekerjaan (pengemudi Trans Jogja) daripada pengemudi yang baru direkrut. Kedua, Secara kelembagaan, PT Tugu Trans merupakan gabungan dari Perum DAMRI dan empat koperasi angkutan jalan (KOPATA, ASPADA, PUSKOPAR, dan koperasi pemuda) yang tentu mempunyai peluang konflik internal sehingga bisa memengaruhi proses kemitraan dengan pemerintah. Sedangkan dari aspek pelayanan publik, ketika kemitraan dilakukan maka institusi pemerintah akan menyerahkan sebagian dari otoritasnya kepada swasta, sehingga bisa berpeluang terjadi saling melempar tanggung jawab apabila terjadi kesalahan dalam proses kemitraan. Uraian-uraian diatas menggambarkan bahwa kemitraan, yang merupakan konsep ideal karena terdapat penggabungan sumber daya dari dua pihak, yakni pemerintah maupun swasta, pada kenyataanya tidak lepas dari potensi hambatan atau risiko. Gambaran uraian diatas juga menunjukan bahwa diantara masing-masing pihak, baik pemerintah maupun PT JTT mempunyai potensi risiko masing-masing, yang semestinya dikelola secara bersama dengan cara pembagian risiko sesuai dengan kompetensi dalam mengelola 9
risiko, agar pencapaian tujuan kemitraan lebih tepat sasaran, karena dengan cara demikian dapat mengurangi kerugian dari masing-masing pihak. Selain itu, dengan adanya penguatan peran masing-masing pihak untuk memperkuat hubungan kemitraan, akan dapat merubah pemahaman dari kebanyakan orang, yang menganggap program kemitraan hanya masih sebatas kebutuhan jangka pendek. Hal ini senada dengan pendapat Dwiyanto (2010) bahwa kemitraan pemerintah dan swasta masih membutuhkan kajian yang serius dan lebih luas. ”Kemitraan pemerintah dan swasta, walaupun secara konseptual memiliki potensi manfaat yang sangat besar, tetapi bukti empiris tentang keberhasilan dari kemitraan pemerintah dan swasta masih sangat terbatas dan hanya bersifat kasuistik. Jarak antara potensi manfaat kemitraan dan realitas perubahan, sebagai akibat dari kemitraan, seringkali masih sangat jauh” (Dwiyanto, 2010:259) Pendapat yang sama dikemukakan Purwanto dan Sulistyastuti yang melihat pengelolaan risiko kemitraan dari sisi implementasi program, yang menyatakan bahwa kegagalan implementasi akan berakibat risiko kerugian secara finansial yang harus ditanggung masyarakat. ”Kebijakan dan program pembangunan pemerintah jelas menyerap dana publik (yang diperoleh dari pajak dan retribusi) yang jumlahnya tiap tahun mencapai ribuan triliun rupiah” Purwanto dan Sulistyastuti (2012). Selain risiko finansial, berbagai kasus kerjasama kemitraan, yang dilakukan pemerintah dengan swasta juga berpotensi terjadi risiko, antara lain : risiko kelembagaan, risiko teknis-operasional, maupun risiko lingkungan. Fenomena ini, pada kenyataannya masih sering terjadi karena pengelolaan risiko yang belum optimal dilakukan oleh organisasi kemitraan yang dibentuk melalui kesepakatan antara pemerintah dan swasta. Disisi lain, Trans Jogja yang merupakan transportasi dalam kota Yogyakarta, hingga kini, masih menjadi transprotasi publik favorit bagi masyarakat Yogyakarta. Itu berarti ketersediaan Bus Trans Jogja mempunyai manfaat yang besar bagi masyarakat,
10
karena ketersediaan transportasi Bus Trans Jogja masih dianggap aman, nyaman, dan terjangkau bila dibandingkan dengan angkutan dalam kota lainnya, seperti bus reguler, taxi, becak, dan andhong. Antusiasme masyarakat yang masih tinggi terhadap ketersediaan Bus Trans Jogja ini semertinya menjadi motivasi bagi pengelola angkutan dalam kota ini, baik pemerintah maupun PT JTT untuk memperbaiki tata kelolanya, termasuk sisi manajerial dan operasional, seperti mengevaluasi kekurangan-kekurangan yang berpotensi risiko kerugian secara manajerial maupun operasional. Berpijak pada pemikiran dalam uraian-uraian diatas maka dirasa perlu untuk meneliti lebih mendalam mengenai dinamika pengelolaan risiko kemitraan antara pemerintah dan PT JTT. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh pengelolaan risiko yang masih kurang diperhatikan dalam sebuah kerjasama kemitraan antara pemerintah dan swasta, baik menyangkut identifikasi risiko maupun keputusan strategi mengendalikan risiko. Kekurang-perhatian dan ketidakpedulian dalam mengelola risiko dalam sebuah kemitraan akhirnya berimplikasi pada kerugian secara finansial, kelembagaan, teknis-operasional, maupun lingkungan. Penelitian ini akan fokus pada pengelolaan risiko kemitraan saat proses kemitraan berlangsung. Pentingnya kajian ini, mengingat sebuah kerjasama kemitraan tidak terlepas dari risiko. 1.2. Rumusan Masalah Pemerintah dan swasta merupakan dua institusi yang berbeda, baik secara kelembagaan, orientasi kerja, maupun cara kerja. Akan tetapi, dalam pelaksanaan pembangunan sekarang ini, peranan pemerintah dan swasta tidak dapat dipisahkan melainkan saling membutuhkan. Dalam konteks good governance, keterlibatan pemerintah dan swasta dalam sebuah hubungan kerjasama akan menghasilkan sebuah tatanan pemerintah yang lebih baik. Namun, pada saat tertentu kerjasama pemerintah dan swasta dapat mengalami kegagalan bahkan menimbulkan konflik, yang dapat terjadi apabila 11
hubungan kerjasama yang berpotensi risiko tidak dikelola dengan baik dan benar. Berbagai risiko yang muncul dalam kerjasama kemitraan membutuhkan pengelolaan yang baik dalam hal penggunaan strategi pengelolaan yang tepat sasaran, karena dengan cara demikian, mencapaian hasil akan lebih tinggi, yang mana berupa manfaat yang akan dirasakan oleh masing-masing pihak, baik pemerintah maupun PT JTT. Selain pencapaian manfaat yang lebih besar, pengelolaan risiko dalam kemitraan juga akan mengurangi kerugian-kerugian yang terjadi. Dengan demikian secara, tidak langsung, risiko kegagalan kemitraan akan terhidarkan. Selain itu, dengan pengelolaan risiko yang baik dan tepat, akan dapat meningkatkan terwujudnya hubungan kemitraan yang lebih dinamis antara pemerintah (DIY) dan swasta (PT JTT) dimasa mendatang. Berdasarkan uraian-uraian pemikiran serta permasalahan diatas, maka penelitian ini hendak mengetahui Bagaimana model pengelolaan risiko kemitraan antara pemerintah dan swasta? Rumusan masalah penelitian ini, secara rinci dijabarkan dalam pertanyaan operasional penelitian dibawah ini. 1. Bagaimana proses pengelolaan risiko kemitraan antara pemerintah DIY dan swasta (PT Jogja Tugu Trans)? 2. Apa implikasi dari pengelolaan risiko kemitraan antara pemerintah DIY dan swasta (PT Jogja Tugu Trans)? 1.3. Tujuan Penelitian Berangkat dari permasalahan penelitian yang telah dirumuskan diatas, maka penelitian ini diarahkan untuk mencari penjelasan mengenai pola pengelolaan risiko yang terjadi dalam sebuah hubungan kerjamasa kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam menyediakan moda transportasi publik, Trans Jogja. Secara lebih rinci, tujuan penelitan dapat dilihat dalam rumusan dibawah ini.
12
1. Menjelaskan
mekanisme
proses
pengelolaan
risiko
kemitraan
antara
pemerintah DIY dan swasta (PT Jogja Tugu Trans) beserta dinamikanya 2. Menjelaskan implikasi dari pengelolaan risiko kemitraan antara pemerintah DIY dan swasta (PT Jogja Tugu Trans) 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua kalangan, baik kalangan akademisi, pemerintah, swasta, maupun masyarakat tentang pengelolaan risiko dalam sebuah kerjasama kemitraan antara pemerintah dan swasta. Dari sisi teoritis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur dan pemahaman tentang manajemen dan kebijakan publik dalam konteks pengelolaan risiko kemitraan. Selain itu, dengan penelitian ini juga diharapkan menambah pengetahuan tentang pelayanan publik sektor transportasi publik melalui pengelolaan risiko kemitraan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat praksis, yaitu sebagai informasi kepada semua pihak khususnya pemerintah Yogyakarta, pihak swasta (PT JTT), serta masyarakat pengguna jasa transportasi publik Trans Jogja tentang pentingnya membangun kerjasama kemitraan yang lebih intensif dan interaktif dalam mengelola risiko kemitraan. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi para pihak yang bermitra serta masyarakat dalam menyusun strategi untuk meningkatkan pengelolaan kerjasama kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam menyediakan transportasi publik, Trans Jogja yang lebih berkualitas.
13