BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Negara modern dimanapun di dunia menjunjung supremasi hukum. Masing-masing negara mempunyai sistem peradilan pidana yang khas karena memiliki latar belakang sejarah dan perkembangan masyarakat yang berbeda, tetapi dengan perkembangan dan kemajuan teknologi membuat batas-batas negara menjadi tanpa batas mengarah pada persamaan dan menghilangkan perbedaan. Sistem hukum suatu negara akan terbentuk dari pertumbuhan tata nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat dan organisasi alat perlengkapan negara penegak hukum negara itu sendiri. Pandangan sejarah, sosial ekonomi, filsafat, dan politik bangsa merupakan sumber yang menentukan terbentuknya pola sistem hukum. 1 Selanjutnya dikatakan
negara Republik
Indonesia adalah
negara
berdasarkan hukum Ketentuan ini tercantum dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)”. Hal tersebut sesuai dengan hakekat tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Oleh karena itu seluruh aspek kehidupan baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan diatur dan ditata oleh hukum, sehingga persoalan atau konflik yang timbul dalam masyarakat diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku (rule of law). 1
Bambang Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori – Azas Umum Hukum Acara Pidana Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu unsur utama dari suatu negara hukum adalah persamaan kedudukan di dalam hukum (equality before the law) dan supremasi hukum (supremacy of law). Dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, bahwa ; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. 2 Dengan adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan, setiap warga negara yang terbukti melanggar hukum yang berlaku akan mendapat sanksi sesuai perbuatan yang dilakukannya. Bisa dikatakan, hukum tidak memandang siapa itu pejabat, rakyat sipil atau militer, jika melanggar hukum akan mendapat sanksi sesuai perbuatan yang dilakukannya. Oleh sebab itu sudah sewajarnya jika setiap orang yang melakukan suatu perbuatan, baik perbuatan yang melanggar hukum atau bukan melanggar hukum akan memperoleh akibat dari perbuatannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Karni, bahwa kita semua yakin, hukum akan dijatuhkan jika kita melakukan kejahatan. 3 Hukum yang dijatuhkan disini adalah hukum pidana tentunya. Hukum pidana itu merupakan : “Bagian dari hukum yang mengadakan dasar atau aturan-aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut: menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam, menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
2
UUD 1945 pasal 27 ayat (1). Karni, 1950, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, Balai Buku Indonesia, JakartaSurabaya, hal. 9. 3
Universitas Sumatera Utara
melanggar larangan tersebut”. 4 Sedangkan perbuatan yang dikenai hukum pidana itu merupakan : “Perbuatan pidana yang pada pokoknya diatur dalam buku II KUHP dan aturan-aturan lain di luar KUHP yang dinyatakan di dalamnya sebagai kejahatan dengan mengingat adagium nullum delictum, noulla poena, sine previa lege poenali yaitu, dikenal azas legalitas dalam hukum pidana materiil yang berarti tidak seorangpun di pidana untuk perbuatan yang saat dilakukan tidak merupakan tindak pidana”. 5 Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah suatu perbuatan yang sudah nyata-nyata merupakan perbuatan pidana tidak dikenai sanksi pidana? Diungkapkan oleh Projodikoro: 6 “Praktek yang diturut penuntut umum di Indonesia sejak jaman Belanda adalah lain, yaitu menganut prinsip oportunitas yang menggantungkan hal akan dilakukan suatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan ditinjau satu persatu. Dalam praktek ada kalanya, sudah terang seseorang melakukan suatu kejahatan akan tetapi keadaan yang nyata adalah sedemikian rupa, sehingga kalau seseorang dituntut di muka hakim, kepentingan Negara akan sangat dirugikan”. Seirama dengan itu praktek penyampingan terhadap perkara pidana di Indonesia saat ini dijelaskan oleh RM Surachman dan Andi Hamzah sebagai: 7 “Wewenang tidak menuntut tersebut dibenarkan dalam hal penghentian penuntutan karena alasan teknis dan penghentian penuntutan karena alasan 4
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hal. 45. 5 Roeslan Saleh, ibid, hal. 17. 6 R. Wiryono Projodikoro, 1981, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hal. 21. 7 RM Surachman dan Andi Hamzah, 1995, Jaksa Diberbagai Negara Peranan Dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 36-39.
Universitas Sumatera Utara
kebijakan sebagaimana dinyatakan dalam KUHAP dan undang-undang. Pada
perkembangan
selanjutnya
dengan
alasan
guna
mencegah
penyalahgunaan, penghentian penuntutan karena alasan kebijakan hanya Jaksa Agung yang berwenang. Oleh karena itu, jaksa yang ingin menggunakan wewenang tersebut harus memohon agar Jaksa Agung mengesampingkan perkaranya”. Penggunaan kewenangan menyampingkan perkara pidana oleh jaksa tidak dapat dilepaskan dari kebebasan menjalankan tugasnya sehari-hari karena kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan salah satu unsur utama dari suatu negara hukum. Kebebasan yang dimaksudkan adalah kebebasan menjalankan kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan lain, karena hakekat yang dicari dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah demi keadilan atas nama Tuhan Yang Maha Esa bukan keadilan menurut kekuasaan yang lain. Menurut UUD 1945 pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. 8 Dalam sistem peradilan pidana, keterpaduan (integrated) dalam penegakan hukum dirasakan lebih efektif dan efisien dibanding penegakan hukum yang berjalan sendiri-sendiri (disintegrated), selanjutnya keterpaduan perlu diikuti oleh setiap penegak hukum untuk berusaha mengetahui dan mampu menangkap apa yang dirasakan adil oleh masyarakat. Setiap penegak hukum mempunyai budaya hukum masing-masing yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pada persepsi keadilan. Dengan sistem peradilan pidana yang integrated diharapkan persepsi
8
Op.Cit, pasal 24 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
keadilan mendekati rasa keadilan yang ideal atau setidak-tidaknya menciptakan rasa aman dan ketertiban umum tercapai. Sehubungan prosedur dan alat perlengkapan penegakan hukum di Indonesia dikenal adanya sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat komponen. Fungsi yang satu dengan yang lainnya saling terkait dengan satu tujuan dan kesamaan persepsi yang sama, yaitu usaha untuk menanggulangi kejahatan yang tak lain adalah melaksanakan hakekat tujuan sebuah negara yang berdasarkan hukum. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi penyidikan, penuntutan, peradilan dan fungsi pemasyarakatan. Fungsi penuntutan sebagaimana diatur oleh undang-undang diserahkan pada Kejaksaan. Menurut KUHAP dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, kejaksaan mempunyai kewenangan selain melakukan penuntutan pidana dan kewenangan lain menurut undangundang, di sisi lain terdapat juga wewenang untuk tidak melakukan penuntutan pidana berdasarkan azas oportunitas. Dikaitkan dengan hukum pidana yang menganut azas legalitas dengan adanya wewenang jaksa menyampingkan perkara berdasarkan azas oportunitas merupakan hal menarik karena antara azas oportunitas dengan azas legalitas mengandung arti yang saling bertolak belakang. Dalam hal penggunaan azas oportunitas saat ini tentu tidak terlepas dari kedudukan kejaksaan dari susunan dan hubungan ketatanegaraan, memberi kesan adanya ambiguitas maupun inkonsistensi karena berkaitan dengan ada tidaknya indenpensi lembaga kejaksaan khususnya menyangkut kemandirian jaksa sebagai penuntut umum menjalankan kewenangan kekuasaan kehakiman.
Universitas Sumatera Utara
Peradilan yang bebas, murah dan cepat menjadi tujuan kebijakan yang diharapkan dalam sistem peradilan pidana khususnya menyangkut hukum acara pidana. Menumpuknya perkara di Mahkamah Agung, lamanya proses peradilan hingga putusan dan akhirnya membuat biaya perkara menjadi tidak murah, mengindikasikan adanya fungsi dalam sistem peradilan pidana kurang berjalan dengan baik. Dari asumsi tersebut dihubungkan fungsi penyampingan perkara dalam bidang penuntutan ingin diketahui efisiensi dan efektifitas penyampingan perkara pidana bagi terselenggaranya proses peradilan yang bebas, murah, dan cepat atau singkat. Dewasa ini penumpukan perkara masih terjadi di Mahkamah Agung. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, dan dalam hal ini kebijakan di bidang penuntutan sebagai bagian sistem peradilan pidana setidaknya subsistem penuntutan dapat memberi andil dikaitkan dengan adanya kewenangan penyampingan perkara pada penuntutan, yaitu dengan menyeleksi perkara yang akan diajukan ke pengadilan yang akhirnya meringankan beban perkara yang harus diselesaikan oleh badan peradilan. Menjadi suatu pertanyaan bahwa selama ini kewenangan berdasarkan azas oportunitas jarang sekali digunakan. Dapat dibenarkan pula penggunaan azas oportunitas itu sendiri dapat membawa efek yang negatif bagi perkembangan hukum dan masyarakat apabila penerapannya disalahgunakan, terutama dalam hal penggunaan bukan karena alasan teknis tetapi karena alasan kebijakan yang oleh undang-undang dibenarkan apabila demi kepentingan umum. Oleh karena itu jaksa dituntut untuk lebih arief dan bijaksana apabila hendak menyampingkan perkara pidana yang ditanganinya.
Universitas Sumatera Utara
Pembatasan dalam undang-undang yang memberikan kewenangan menyampingkan perkara pidana hanya pada Jaksa Agung dan demi kepentingan umum membuat peluang jaksa untuk menyampingkan perkara berdasarkan alasan kebijakan hampir bisa dikatakan tidak ada. Penjelasan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 terhadap arti kepentingan itu sendiri ternyata selain sempit juga perlu penjelasan lebih lanjut, yaitu diartikan sebagai kepentingan negara dan/atau masyarakat. 9 Di Inggris kepentingan umum diartikan secara luas, termasuk kepentingan anak di bawah umur dan orang yang sudah terlalu tua. 10 Dengan demikian perlu adanya pedoman bagi jaksa untuk dapat melakukan penyampingan perkara pidana sebagai jaminan dalam kerangka kebijakan penuntutan yang transparan dalam kemandirian terhadap penggunaan azas oportunitas yang meliputi juga pengawasan dan pertanggungjawaban penggunaan azas oportunitas, sumber daya penegak hukum, serta hubungan terkait dalam sistem. Mengamati hal yang terurai di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian ilmiah mengenai penyampingan perkara pidana (deponering) oleh Jaksa Agung yaitu mengenai penggunaan azas oportunitas yang ideal dan yang mampu memberikan gambaran tentang kebijakan penuntutan dalam penanganan perkara pidana secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab yang dilakukan tanpa meninggalkan rasa keadilan.
9
Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, penjelasan pasal 35 sub c RM Surachman dan Andi Hamzah, Op. Cit hal 34
10
Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan Permasalahan adalah merupakan persoalan atau sesuatu yang harus dicari pemecahannya. Permasalahan yang timbul dari sesuatu itu tidak akan habishabisnya apabila dikaji lebih mendalam, sistematis dan secara menyeluruh. Berdasarkan pengamatan dan penelahan keadaan literatur, maka untuk memahami lebih lanjut dan lebih mendalam tentang “Penyampingan Perkara Pidana (Deponering) berdasarkan Azas Oportunitas oleh Jaksa Agung RI“, maka perlu mengemukakan permasalahan yang akan menjadi pangkal tolak dalam pembahasan selanjutnya, yaitu : 1. Bagaimana azas oportunitas sebagai dasar kewenangan Jaksa Agung dapat menjadi alasan penghentian penuntutan? 2. Bagaimana penggunaan asas oportunitas dalam sistem peradilan pidana bagi perkembangan hukum pidana?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Guna memahami permasalahan yang berkaitan dengan penyampingan perkara oleh jaksa, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana asas oportunitas sebagai dasar kewenangan Jaksa Agung dapat menjadi alasan penghentian penuntutan.. 2. Untuk mengetahui sejauh mana penggunaan asas oportunitas dalam sistem peradilan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Selain tujuan tersebut di atas, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembangunan negara dan bangsa dengan memberikan kontribusi sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan kontribusi pemikiran atau wacana yang luas mengenai penyampingan perkara pidana (deponering) berdasarkan azas oportunitas oleh Jaksa Agung dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum. 2. Kegunaan Praktis Secara praktis skripsi ini dapat berguna untuk memperdalam kajian mengenai penyampingan perkara pidana (deponering) oleh Jaksa Agung dan memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkompeten, yaitu para pengambil kebijakan dan praktisi hukum, terutama dalam memformulasikan
dan
mengoprasionalkan
(menerapkan)
penyampingan perkara pidana oleh jaksa.
D. Keaslian Penulisan Sepanjang pengetahuan penulis, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat judul skripsi “Penyampingan Perkara Pidana (deponering) berdasarkan Azas Oportunitas oleh Jaksa Agung RI”. Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri. Skripsi ini juga didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak maupun elektronik, Berdasarkan alasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis kerjakan ini adalah asli.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian dan Dasar Hukum Deponering Penyampingan perkara pidana (deponering) dalam proses pidana adalah sebagai pengecualian dari azas legalitas. Menurut Prof.A.L.Melai, tidak diadakannya penuntutan oleh jaksa sebagai penuntut umum adalah merupakan Rechtvinding (penemuan hukum baru) yang harus dipertimbangkan masak-masak berhubung hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum. 11 Pasal 35 sub c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI maupun penjelasannya mengatakan penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan umum adalah sebagai berikut : yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Disamping apa yang telah disebutkan di atas, Osman Simanjuntak mengatakan bahwa ; penyampingan perkara ini adalah wewenang yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Agung RI untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Adapun dasar penyampingan perkara ini, karena hukum acara kita menganut azas oportunitas. Dimana suatu perkara (perbuatan pidana) bilamana dilimpahkan ke persidangan diperkirakan akan menimbulkan suatu
11
Djoko Prakoso, 1985, Eksistensi Jaksa Di tengah-tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, hal. 89-90.(a)
Universitas Sumatera Utara
goncangan di kalangan masyarakat atau dengan penyidangan perkara tersebut akan menimbulkan akibat negatif di kalangan masyarakat luas. 12 Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, maka dapatlah kita menarik suatu pemikiran bahwa pengertian penyampingan perkara pidana (deponering), termasuk dalam skripsi ini adalah tidak diadakannya penuntutan oleh Jaksa sebagai penuntut umum atau pelaksanaan azas oportunitas yang diberikan oleh undang-undang kepada jaksa sebagai penuntut umum untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Sedangkan kalau berbicara tentang dasar hukum deponering, maka sama halnya dengan dasar hukum pelaksanaan azas oportunitas yang dianut oleh hukum acara pidana di Indonesia. Oleh karena azas oportunitas itu pertama-tama timbul dalam praktek, maka untuk mengetahui dasar hukum yang dimaksud tidak boleh terlepas dari sejarah masuknya azas itu ke Indonesia hingga diberlakukannya sampai sekarang ini. Pada mulanya azas oportunitas itu timbul dalam praktek yang berlakunya didasarkan pada hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), yang kemudian dimasukkan ke dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 (Lembaran Negara RI Tahun 1961 No 254) tertanggal 30 Juni 1961. Namun undang-undang ini tidak berlaku lagi setelah keluarnya Undang-undang No 5 Tahun 1991 (Lembaran Negara RI Tahun 1991 No 59) tertanggal 22 Juli 1991, dimana hal tersebut diatur dalam pasal 32 sub c. Beberapa tahun kemudian, undang-undang ini diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-undang
12
Osman Simanjuntak, 1995, Tehnik Penuntutan Dan Upaya Hukum, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
Nomor 16 Tahun 2004 (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 67) tertanggal 26 Juli 2004, yang mana mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 35 sub c. Akan tetapi sebelum dicantumkannya azas oportunitas itu dalam pasal pasal 8 Undang-undang No 15 Tahun 1961, sebenarnya azas itu sudah ada diatur di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tanggal 9 Juli 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, 13 yang di dalam pasal 4 nya dikatakan bahwa : “Jaksa hanya diperbolehkan menyampingkan perkara korupsi, jika ada perintah dari Jaksa Agung”. 14 Dengan demikian sejak tanggal 9 Juli 1960, azas oportunitas tersebut sudah ada diatur dalam bentuk tertulis hanya saja terbatas khusus untuk perkara korupsi, tidak bersifat umum. Oleh sebab itu secara umum azas itu dijadikan dalam bentuk tertulis sejak keluarnya Undang-undang No 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI (yang sekarang UU No 16 Tahun 2004). Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa dasar hukum pelaksanaan penyampingan perkara (deponering) berdasarkan azas oportunitas di Indonesia adalah : a. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan) b. Pasal 4 PERPU No 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi c. Pasal 35 sub ( c) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.
13
Nasroen Yasabari, 1979, Mengerling Hukum Positif Kita, Alumni Bandung, hal. 31. Perpu No 24 tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, pasal 4. 14
Universitas Sumatera Utara
2. Tujuan Deponering Perubahan masyarakat serta pertumbuhan nilai-nilai sebagai manifestasi budaya memberikan suatu gambaran bahwa hukum pada saat ini sudah tidak mampu lagi memikul beban sosial yang sedemikian banyak dan mejemuk. Konstatasi ini membawa konsekwensi bahwa hukum harus lebih tampil dalam menghadapi tugas-tugasnya untuk turut melapangkan pengadaan relung-relung pembaharuan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat secara mengakar dan mendasar terutama pada aspek-aspek yang sudah kehilangan atau setidaktidaknya melunturkan nilai-nilai kemaslahatannya, keadilannya, ataupun dari sisasisa kemutlakan masa lalu yang tidak memiliki dimensi pancasila. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya di atas, bahwa penyampingan perkara (deponering)
adalah tidak diadakannya penuntutan oleh Jaksa sebagai
penuntut umum atau pelaksanaan azas oportunitas yang diberikan oleh undangundang kepada jaksa sebagai penuntut umum untuk menyampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Makna harfiah tentang oportunitas adalah ketepatan, kepantasan, menguntungkan saat yang tepat, layak/kesempatan dan manfaat yang baik. Jelas sekali bahwa azas ini tiada lain adalah bermaksud dan bertujuan untuk memberi kemanfaatan, kelayakan, dan kesempatan baik, guna kepentingan masyarakat, sebagaimana yang dimaksud dengan kosa-kata oportunitas itu sendiri. 15 Azas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai suatu kewenangan Jaksa Agung untuk meniadakan penuntutan atau tidak menuntut ke muka pengadilan terhadap seseorang, walaupun cukup bukti untuk dituntut atas
15
Djoko Prakoso (a), .Op.Cit., hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
dasar pertimbangan kepentingan umum. Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong suatu mata rantai dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi kemaslahatan masyarakat. Azas oportunitas sebagai pranata hukum yang cenderung merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing serta turut memberikan bentuk dalam kehidupan masyarakat. Apabila pada saat sekarang ini pranata hukum yang tumbuh diakui sudah tidak mampu lagi memelihara dan memanifestasikan wujud hakiki hukum, yakni keadilan, kebenaran dan ketertiban, maka secara sadar pula pranata tersebut dengan sendirinya perlu ditinjau. 16 Jadi secara umum dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari penyampingan perkara (deponering) pada prinsipnya adalah untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar.
3. Perbedaan Deponering dengan Penghentian Penuntutan Pasal 35 sub c Undang-undang No 16 Tahun 2004 menyatakan : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”, selanjutnya marilah kita lihat juga pasal 14 (h) KUHAP : “Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk menutup perkara demi kepentingan hukum” dan pasal 140 ayat (2) KUHAP : “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
16
Ibid, hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”. Dari kedua peraturan tersebut diatas, kita dapat menarik pengertian tentang deponering atau penyampingan perkara, yaitu : a. Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum (pasal 140 ayat 2 (a) KUHAP) b. Perkara ditutup demi hukum (pasal 14 (h) jo pasal 140 ayat 2 (a) KUHAP) c. Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung (Undang-undang No 16 Tahun 2004) Apabila hal ini kita kaitkan dengan hukum pidana materiil, maka penyampingan perkara terdiri dari dua golongan yaitu : a. Penyampingan perkara berdasarkan azas oportunitas b. Penyampingan
perkara
atas
dasar
penilaian
hukum
pidana
(strafrechtelijk) Namun kedua hal ini mempunyai perbedaan, oleh karena itu haruslah dibedakan dengan jelas antara tindakan hukum penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Malah pada penjelasan pasal 77 KUHAP telah ditegaskan; “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Terlepas dari kenyataan bahwa KUHAP masih memberi lubang oportunitas dalam penegakan hukum, mari kita bicarakan dimana letaknya perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Untuk
Universitas Sumatera Utara
itu mari kita lihat perbedaan terpenting dari kedua tindakan hukum tersebut, antara lain : Pada Penyampingan perkara (deponering), perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum atas alasan “demi untuk kepentingan umum”. 17 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi untuk kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana, perkaranya dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan kepentingan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya azas oportunitas ini bersifat diskriminatif dan menggagahi makna equality before the law atau persamaan kedudukan di depan hukum. Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan. Sedang pada penghentian penuntutan, alasan bukan didasarkan kepada kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri, yakni : 18 a. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim atas alasan kesalahan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan pembebasan yang
17
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, hal. 470. 18 Ibid hal. 471.
Universitas Sumatera Utara
demikianlah
maka
lebih
bijaksana
penuntut
umum
menghentikan
penuntutan. b. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana, baik yang berupa kejahatan atau pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan ke muka persidangan, pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstag van rechtvervolging). c. Atas dasar perkara ditutup demi hukum. Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum adalah suatu perkara pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaaan, dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum, bisa didasarkan pada: •
Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)
•
Atas alasan ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
•
Terhadap perkara yang hendak ditutup oleh penuntut umum, ternyata telah kadaluarsa sebagaimana yang diatur dalam pasal 78-80 KUHP. Selain daripada hal yang disebutkan di atas, pada penghentian penuntutan,
perkara yang bersangkutan pada umumnya masih dapat lagi diajukan kembali
Universitas Sumatera Utara
penuntutan, jika ternyata diketemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Umpamanya diketemukan bukti baru sehingga dengan bukti tersebut sudah dapat diharapkan untuk menjerat terdakwa. Lain halnya pada penyampingan perkara, apabila telah sekali dilakukan penyampingan perkara, maka tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara tersebut ke muka sidang pengadilan. 19 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dua : 20 a. Penelitian hukum normatif. b. Penelitian hukum sosiologis empiris. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Data dan sumber data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud diperoleh dari : a. Bahan hukum primer. Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah : 21 •
Norma atau kaedah dasar. 19
Ibid, hal. 472. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif :Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hal. 15. 21 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 71. 20
Universitas Sumatera Utara
•
Peraturan dasar.
•
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyampingan perkara pidana yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, KUHP, KUHAP.
b. Bahan hukum sekunder. Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang berkaitan dengan penyampingan perkara pidana, artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, dan sebagainya, baik diambil dari media cetak dan media elektronik. c. Bahan hukum tersier. Yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Metode pengumpulan data Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
4. Analisis data
Universitas Sumatera Utara
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan. Sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan. 22
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya dalam beberapa bab berikut ini ; BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II ASAS OPORTUNITAS SEBAGAI DASAR KEWENANGAN JAKSA AGUNG YANG DAPAT MENJADI ALASAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN Dalam bab ini akan dibahas maksud dan tujuan azas oportunitas,sejarah singkat azas oportunitas di Belanda dan Indonesia, tinjauan umum
22
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
lembaga-lembaga peniadaan penuntutan, susunan, tugas dan wewenang kejaksaan, serta alasan penghentian penuntutan.. BAB
III
PENGGUNAAN PERADILAN
ASAS
PIDANA
OPORTUNITAS BAGI
DALAM
SISTEM
PERKEMBANGAN
HUKUM
PIDANA DI INDONESIA Dalam bab ini akan dibahas mengenai pertanggungjawaban dan pengawasan penyampingan perkara, kendala-kendala yang dihadapi dalam penyampingan perkara oleh jaksa serta upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka penyampingan perkara di Indonesia. BAB IV PENUTUP Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan yang ditarik oleh penulis berdasarkan hasil rangkuman dari keseluruhan isi dengan disertai saran-saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara