1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara hukum Indonesia mempunyai sistem hukum yang berlaku demikian juga halnya dalam sistem peradilan. Dalam persidangan berlaku hukum acara tertentu dalam menyelesaikan proses perkara di Pengadilan. Didalam perkara pidana khususnya ada pengaturan proses menyelesaikan proses perkara pidana di pengadilan. Maka hukum acara pidana pengaturannya mengenai petunjuk dan uraiaan tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana terhadap pelaku. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang Pengadilan Negeri. Dasar titik tolak perbedaan tata cara pemeriksaan, ditinjau dari segi jenis tindak pidana yang diadili pada satu segi, dan dari segi mudah atau sulitnya pembuktian perkara pada pihak lain, Umumnya perkara tindak pidana yang diancam hukumannya 5 (lima) tahun keatas, dan masalah pembuktiannya
memerlukan
ketelitian,
biasanya
diperiksa
dengan
pemeriksaan acara biasa, sedangkan perkara yang ancaman hukumannya ringan serta pembuktian tindak pidananya dinilai mudah, diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat. Atas perbedaan pemeriksaan tersebut, kita
2
mengenal 3 jenis acara pemeriksaan perkara pada sidang Pengadilan Negeri yaitu:1 1. Acara Pemeriksaan Biasa, diatur dalam bagian ketiga Bab XVI; 2. Acara Pemeriksaan singkat, diatur dalam bagian kelima Bab XVI; 3. Acara Pemeriksaan Cepat, diatur dalam bagian Keenam Bab XVI yang terdiri dari dua jenis yaitu: a. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan; b. Acara Pemerisaan perkara pelanggaran Lalu Lintas Jalan. Dalam Acara Pemeriksaan Acara Cepat terhadap tindak pidana ringan, penyidik atas kuasa penuntut umum demi hukum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa berserta barang bukti, saksi, ahli, dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan (Pasal 205 KUHAP). Pembuktian dalam sistem acara pemeriksaan cepat pelimpahan yang demikian merupakan
penyimpangan dari ketentuan umum yang
mengharuskan penyidik melimpahkan hasil pemeriksaan penyidikan kepada penuntut umum, dan untuk seterusnya penuntut umum yang berwenang melimpahkan ke pengadilan dalam kedudukannya sebagai aparat penuntut. Dengan adanya Pasal 205 ayat (2) KUHAP, prosedur ketentuan umum ini dikesampingkan dalam perkara pemeriksaan tindak pidana ringan. Dengan kata lain penyidik mengambil alih wewenang penuntut umum, atau wewenang penuntut sebagai aparat penuntut umum dilimpahkan Undang – undang kepada penyidik. Dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan pengadilan mengadili perkara dengan “hakim tunggal” pada tingkat pertama dan terakhir.
1
Yahya Harahap M, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 109
3
Penjatuhan putusan pidana pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat meminta banding. Sesuai dengan ketentuan ini maka putusan hakim tunggal dalam perkara ringan yang berbentuk hukuman denda secara langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan oleh karena itu secara langsung dapat dieksekusi (Pasal 205 ayat (3) KUHAP). Penyidik mengirimkan tembusan berkas tersebut kepada kejaksaan negeri selaku eksekutor putusan termasuk putusan dalam acara pemeriksaan cepat. Perkara tindak pidana ringan yang diterima pengadilan harus segera disidangkan pada hari itu juga. Di dalam beberapa praktik banyak permasalahan mengenai ketika putusan tindak pidana ringan dijatuhi putusan perampasan hak terhadap terdakwa. Kemudian terdakwa mengajukan banding terhadap putusan perampasan kemerdekaan, siapa yang akan membuat kontra memori banding terhadap putusan perampasan kemerdekaan tersebut? Apakah penyidik yang melakukan penuntutan tersebut mempunyai kewenangan untuk membuat kontra memori banding terhadap putusan dengan adanya perampasan hak kemerdekaan tersebut, ataukah Penuntut Umum? Salah satu kasus yang diselesaikan melalui aturan hukum acara pidana adalah mengenai tindak pidana pelanggaran ringan tentang pengendalian dan pengawasan minuman keras. Oleh sebab itu penulis tertarik meneliti mengenai pembuktian tindak pidana pelanggaran ringan tentang pengendalian dan pengawasan minuman keras, dimana dalam proses penyelesaiannya harus melalui proses beracara dengan menggunakan aturan hukum acara pemeriksaan cepat, karena tindak pidana pelanggaran ringan yang diatur
4
didalam Peraturan Daerah (Perda) Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Keras tergolong tindak pidana ringan dalam pembuktiannya. Dalam tindak pidana pelanggaran ringan melanggar Peraturan Daerah (Perda) Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Keras, terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 4 ayat (1), (3) huruf a, b, Jo Pasal 8 ayat (2) Peraturan Daerah (Perda) Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Keras. Penulis dalam hal ini melakukan penelitian mengenai tentang pembuktian tindak pidana pelanggaran ringan studi putusan nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt. Dalam Putusan tersebut Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menyatakan bahwa terdakwa telah sah terbukti bersalah, sehingga terdakwa dijatuhi pidana Kurungan selama 5 (lima) Hari, Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan usaha mengedarkan, menjual, menimbun, membawa, menyediakan dan menyajikan minuman keras. Melihat proses yang terdapat dalam acara pemeriksaan cepat tersebut sangat dibutuhkan peranan Polisi Republik Indonesia (POLRI) “atas kuasa” penuntut umum dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan tersebut. Tertarik akan adanya fakta-fakta dan usaha yang diungkapkan diatas mendorong Penulis untuk meneliti dengan judul “PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA
PELANGGARAN
22/Pid.R/2010/PN.Pwt.)”
RINGAN
(Studi
Putusan
Nomor:
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pembuktian tindak pidana ringan menjual dan menyimpan serta mengedarkan minuman keras tanpa ijin dalam Putusan Nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt?; 2. Mengapa dalam pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor 22/Pid.R/2010/PN.Pwt menjatuhkan putusan perampasan kemerdekaan terhadap terdakwa?
C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang penulis rumuskan sebelumnya, maka penulisan ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Pembuktian Tindak Pidana Ringan di Pengadilan Negeri Purwokerto; 2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus perkara Tindak Pidana Ringan di Pengadilan Negeri Purwokerto.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan kepustakaan di bidang hukum acara pidana dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum terutama dari segi penerapan ilmu hukum acara pidana;
6
b. Dapat memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan serta memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya tentang
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
pembuktian
Sistem
pemeriksaan acara cepat terhadap tindak pidana ringan. 2. Kegunaan Praktis Untuk dapat memberikan pengetahuan bagi penulis sekaligus hasil dari penelitian ini dapat menjadi pedoman dan acuan bagi mereka yang akan melakukan penelitian serupa. Serta dapat memberi pengetahuan tentang bagaimana pembuktian dalam sistem pemeriksaan acara cepat terhadap Tindak Pidana Ringan.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Tujuan Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana dalam pengertian yang sempit dapat diartikan sebagai
peraturan hukum tentang penyelidikan, penuntutan, pemeriksaan
sidang sampai putusan pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Adapun hukum acara pidana dalam pengertian yang luas diartikan bahwa disamping memuat peraturan hukum tentang penyelidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan dan pelaksanaan putusan hakim juga termasuk peraturan mengenai susunan peradilan, wewenang pengadilan, serta peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar peraturan itu ada kaitannya dengan urusan perkara pidana.2 Secara garis besar hukum
pidana membedakan menjadi dua yaitu
hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Dimana proses peradilan pidana sangat erat hubungannya dengan penerapan hukum acara pidana dalam mepertahankan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil dinamakan dengan hukum pidana yang berisikan petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, petunjuk tentang pidana. Sedangkan hukum pidana formil dinamakan dengan hukum
2
Bambang Poernomo, 1998, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, cet.2, Amerta Buku, Yogyakarta, hal.14
8
acara pidana yang mengatur bagaimana Negara melalui alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
tidak
memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lainlain. Untuk memahami apa arti dan hakekat hukum acara pidana sebaiknya kita melihat beberapa pendapat para sarjana diantaranya sebagai berikut : 1. Menurut Van Bemmelen, melukiskan hukum acara pidana sebagai berikut: Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara. Karena adanya dugaan terjadinya pelanggaran Undang-undang pidana: a. Negara melalui alatnya menyidik kebenaran; b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.4 2. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana, memberikan definisi hukum acara pidana yaitu:5 Hukum pidana formil itu adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur soal-soal berikut: a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana;
3
Andi Hamzah, 1984, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sasaran Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.15 4 Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.17 5 R. Soesilo, 1979, Hukum Acara Pidana, Politeia, Bogor, Hal.2
9
b. Cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan; c. Setelah ternyata bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan cara bagaimana harus mencari dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu; d. Cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu; e. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta memeriksa barangbarang itu, untuk membuktikan kesalahan tersangka; f. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana dan; g. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana harus dilaksanakan dan sebagainya. atau dengan singkat dapat dikatakan, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.6 3. Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian hukum acara pidana sebagai berikut : Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan. Maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.7 Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jika ternyata ada hak dari badan pemerintahan yang bersangkutan untuk menuntut seorang guna mendapat hukum pidana, jika ternyata ada hak dari badan pemerintahan yang bersangkutan untuk menuntut seorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah cara bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana dan oleh siapa putusan pengadilan, yang menjatuhkan suatu hukum pidana, harus dijalankan. Hal ini semua harus diatur dan peraturan inilah yang dinamakan hukum acara pidana.8 4. Sudarto, memberikan definisi tentang hukum acara pidana ialah aturanaturan yang memberikan petunjuk apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat didalamnya, apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.9
6
Darwin Prints, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, Hal.1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1974, Hal. 13. 8 Ibid, Hal. 13-14 9 Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal 22. 7
10
5. Andi Hamzah mendefinisikan hukum acara pidana pada ruang lingkup yang sempit, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran, penyelidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi ) oleh jaksa.10 6. Tanusubroto menyimpulkan hukum acara pidana ialah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.11 Sementara J.C. Simorangkir seperti yang dikutip dalam bukunya Darwin Prinst memberikan pengertian hukum acara pidana sebagai berikut: Hukum acara pidana adalah hukum acara yang melaksanakan dan mempertahanka hukum pidana materiil, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum formil atau hukum acara adalah hukum yang mengatur tata cara pelaksanaan hukum materiil. Dan hukum acara pidana atau hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan/mempertahankan hukum pidana materiil.12 Dari berbagai pengertian diatas, yang dimaksud dengan hukum acara pidana dalam skripsi ini adalah bagaimana cara negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76) yang mencabut HIR (Staatblad 1951 Nomor 9) jo. Ketentuan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Tujuan Hukum Acara Pidana Menurut Andi Hamzah, tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara, tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai 10
Andi Hamzah, 2000, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.3 11 Tanusubroto, 1989, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung, Hal.12 12 Darwin Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djambatan, Jakarta, Hal.2
11
suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.13 Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.14 Kebenaran itu harus didapatkan dalam menjalankan hukum acara pidana. “mencari kebenaran materiil” merupakan tujuan hukum acara pidana. Tetapi usaha hakim menemukan kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa, hakim tidak dapat menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah
perbuatan
yang didakwakan.
Van
Bahemmel
mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu : 1. Mencari dan menemukan kebenaran; 2. Pemberian keputusan hakim; 3. Pelaksanaan keputusan.15 Dari beberapa fungsi tersebut, yang paling penting adalah mencari kebenaran materil. Oleh karena itu untuk menemukan kebenaran diperlukan alat bukti yang menjadi pertimbangan bagi hakim dalam mengambil keputusan (yang seharusnya adil dan tepat). Tujuan ilmu hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum 13
Sudarto,1984, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,
Hal. 4 14
Keputusan Menteri Kehakiman republic Indonesia Nomor : M. 01.PW.07.03 Tahun 1982, tentang Pedoman Pelaksanaan KItab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Hal.205 15 Andi Hanzah, Op.Cit., Hal. 8
12
mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pidana hukum dengan memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana peraturan hukum acara pidana itu susunan dan wewenang alat perlengkapan negara mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanaannya secara adil.16 Hukum acara pidana sebenarnya menentukan agar para hakim dapat berusaha menembus kearah yang disangka telah dilakukan oleh orang. Hukum acara pidana mengemban misi mencari mencari kebenaran hakiki tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya tidak dikenakan atas dirinya. Oleh karena itu, penegak hukum melalui polisi, jaksa, hakim, dalam menyidik menuntut dan mengadili perkara senantiasa yang sungguh-sungguh terjadi. Menurut Tanusubroto.17 Hukum acara pidana mempunyai tujuan mengemban misi mencari kebenaran sejati tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya tidak dikenakan dirinya. 3. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Asas-asas hukum acara pidana adalah dasar atau patokan hukum yang melandasi KUHAP dalam penerapan penegakan hukum. Asas ini akan menjadi pedoman bagi semua orang termasuk didalamnya aparat penegak hukum, serta orang-orang yang tengah berkepentingan dengan hukum acara pidana. Ada beberapa asas hukum acara pidana yang harus benar-benar dipahami dengan seksama. 16 17
Poernomo, Op.Cit., Hal.8 S. Tanusubroto, 1984, Op.Cit, Hal.22
13
Makna asas-asas hukum merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum. Pada sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etnis kelompok manusia dari sebagian yang berasal dari dasar pemikiran dibalik peraturan Undang - undang serta yurisprudensi. Rumusan pengertian asas-asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari peraturan hukum.18 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menetapkan sepuluh asas yang merupakan pedoman penyusunannya, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum butir (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Asas-asas tersebut antara lain : 1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan perlakuan. Dalam teori-teori hukum pidana abad ke-18, asas kesamaan dipandang sebagai suatu norma baru bagi peradilan pidana. Kesamaan adalah kesederhanaan dan kejelasan, dan kesederhanaan dan kejelasan itu akan menimbulkan ketertiban.19 M. Servan dan G.F. Letrosne yang dikutip dalam bukunya Roeslan Saleh membatasi kesamaan itu hanya sampai pada kesamaan formil, yaitu: Kesamaan terhadap Undang-undang. Servan dan Letrosne menganggap asas kesamaan sebagai suatu asas normatif bagi peradilan pidana. Mereka menyarankan agar acara pidana yang selama ini ada untuk golongan-golongan yang mendapat hak untuk didahulukan supaya dihapuskan. Asas kesamaan sebagai asas 18
Bambang Poernomo, 1992, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.46 Roeslan Saleh, 1981, Beberapa Asas-asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara baru, Jakarta, Hal. 36 19
14
rasional dari hukum pidana mengurangi perbedaan ada antara sesama manusia. Dengan ini mereka menjadi anggota yang sama dalam masyarakat hukum dan selanjutnya akan dikenai sanksi-sanksi hukum yang sama pula. Oleh Servan dan Letrosne tidak terpikir untuk menafsirkan asas kesamaan itu lebih luas lagi daripada kesamaan hukum dalam arti juga kesamaan sosial, kesamaan dalam kesempatan hidup. Menurut mereka juga bahwa asas kesamaan bukanlah pernyataan dari aspirasi tentang hukum pidana yang lebih adil. Asas kesamaan lebih merupakan suatu keinginan diadakannya sistem hukum pidana yang lebih sederhana.20 Asas kesamaan dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia diatur oleh Pasal 28 d ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di depan hukum. Dalam kosideran KUHAP huruf a juga disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, Berdasarkan hal tersebut diatas, sangatlah jelas bahwa KUHAP sebagai undang-undang hukum acara pidana yang asas hukumnya adalah kesamaan. Dengan asas kesamaan yang berlandaskan rule of law dan supremasi hukum, setiap orang baik tersangka ataupun terdakwa mempunyai kedudukan.21 -
20 21
Sama sederajat di depan hukum (equal before the law);
Ibid, hal. 37 Harahap, Op.Cit., Hal. 36
15
-
Mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum, (equal protection on the law); Mendapat perlakuan adil yang sama di bawah hukum, (equal justice under the law).
Adapun dari tujuan dari asas ini dalam hukum acara pidana Indonesia adalah untuk memberikan jaminan kepada hak-hak manusia yang mendapat perlindungan di dalam Negara yang berdasarkan Pancasila. Indonesia sebagai negara hukum dan bukan suatu negara kekuasaan tentunya menghendaki peradilan yang jujur dimana setiap individu berhak mendapat perlakuan hukum yang sama. 2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang dan hanya hal dan dengan cara yang diatur Undangundang. Asas ini dikenal dengan asas keseimbangan. Maksudnya adalah bahwa aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakkan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata. Aparat penegak hukum harus menempatkan diri dalam suatu acuan pelaksanaan penegakkan hukum yang berlandaskan keseimbangan yang serasi antar orientasi penegak dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak asasi manusia. Aparat penegak hukum harus menghindari tindakan-tindakan penegakkan hukum dan ketertiban yang dapat menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia dengan cara perlakuan yang tidak manusiawi. Aparat penegak hukum setiap saat harus sadar, mampu bertugas, dan
16
berkewajiban mempertahankan kepentingan masyarakat yang bersamaan dengan tegas dan kewajiban menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta perlindungan kepentingan individu.22 Kegiatan proses perkara pidana dalam hukum acara pidana selain melindungi kepentingan masyarakat, juga langsung tertuju kepada dua sasaran pokok yang lain usaha menjamin melancarkan jalannya (proses) penerapan hukum bagi setiap orang untuk menghindarkan tuntutan atau hukuman yang bertentangan dengan hak asasi manusia, ketiga kegiatan proses perkara pidana ini harus dapat berjalan seimbang.23 Pengaturan asas keseimbangan ini terdapat dalam Pasal 7 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang. Sedangkan pengaturannya dalam KUHAP terdapat dalam Pasal 18 mengenai penagkapan, Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) mengenai penahanan, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) mengenai penggeledahan, dan Pasal 38 mengenai penyitaan. 3. Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 22 23
Harahap, Op.Cit., hal. 57 Poernomo, Op.Cit., Hal. 57
17
Asas praduga tak bersalah ini disebut dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP. Jaminan hukum setiap orang dan hak asasi manusia harus dapat dipertahankan dengan baik, karena landasan presumption of innocence menjamin orang untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahan yang disangkakan kepadanya. Dengan adanya asas praduga tak bersalah ini telah menempatkan tersangka atau terdakwa berkedudukan sebagai subjek pemeriksaan, bukan harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai martabat dan harga diri.24 Proses perkara pidana untuk kepentingan tegaknya hukum dapat diselenggarakan berdasarkan baik asas praduga tak bersalah maupun asas praduga tak bersalah, karena semuanya mempunyai titik kesamaan menuju kepada tindakan preventif atau represif terhadap kejahatan, dan masingmasing asas tersebut dalam praktek mempunyai segi keburukan dan kebaikan tersendiri. Proses perkara pidana berdasarkan asas praduga tak bersalah mempunyai kebaikan untuk mendahulukan jaminan hak asasi manusia bagi tersangka yang tak bersalah memperoleh penilaian hukum dengan teliti dan bertahap. Akan tetapi sebaiknya sifat prosedural penyidikan, penuntutan, dan keputusan akhir dapat menjadi proses perkara yang terpisah-pisah dan lamban pada setiap tahap, sehingga keburukan secara terselubung
24
Poernomo, Op.Cit., Hal. 57
18
memungkinkan peluang bagi petugas untuk menyalahgunakan wewenang. Hal ini secara terselubung juga berakibat menindas hak asasi setiap orang yang berurusan dengan perkara pidana. Proses perkara pidana melalui asas praduga bersalah mempunyai kebaikan dengan adanya peraturan kewenangan alat Negara telah ditentukan seperangkat tugas-tugas untuk bekerja secara efisien, agar setiap tindakan praduga bersalah setiap tersangka dapat berhasil dibuktikan lebih awal dan tepat. Kegagalan atau kekeliruan dalam menjalankan tindakan untuk proses perkara berdasarkan praduga bersalah, menjadi resiko petugas yang bersangkutan akan dituntut hukum dengan tujuan akhir melindungi hak asasi setiap orang yang berurusan dengan perkara pidana. Namun demikian dalam proses perkara pidana yang menitikberatkan efisiensi kerja, memungkinkan keburukan dapat terjadi cara pemeriksaan bersifat tertutup dan meneruskan perkara dengan persidangan bersifat formalitas akan mengurangi sosial kontrol yang dapat mengurangi hak asasi tersangka.25 4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
25
Harahap, Op.Cit., hal. 40
19
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukum administrasi. Asas ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Setiap orag yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Sedangkan penerapan dalam KUHAP diatur dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 97. Adapun pengertian ganti kerugian menurut Pasal 1 butir 22 KUHAP adalah hak seorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Tuntutan permintaan ganti kerugian yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa atau ahli warisnya merupakan perwujudan perlindungan hak asasi. Apabila tersangka atau terdakwa mendapat perlakuan yang tidak sah atau tindakan tanpa alasan berdasar Undang-undang maka tersangka atau terdakwa atau ahli warisnya mempunyai hak untuk ganti kerugian dan rehabilitasi. Pandangan mengenai ganti kerugian semula di Belanda terdapat dua golongan. Yang pertama melihat ganti kerugian itu menurut bukti-bukti tersangka atau terdakwa tidak bersalah. Golongan yang kedua khawatir
20
bahwa ganti kerugian diminta juga jika alasan penahanan adalah sah, tetapi akhirnya terdakwa tidak dipidana. Jika terjadi hal seperti ini disebabkan ancaman pertanggungjawaban ganti kerugian dalam banyak kejadian akan mengakibatkan banyak keputusan yang memidana yang mestinya tidak demikian, seharusnya bebas, sekarang menjadi dipidana, tentu kalau perlu dengan denda saja. Golongan pertama disebutkan golongan mutlak (absolute), sedangkan golongan kedua tidak mutlak. Andi Hamzah setuju dengan golongan yang kedua. Beliau berpendapat bahwa janganlah karena dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum tersangka yang semula ditahan secara sah, otomatis menuntut ganti rugi kerugian karena kalau demikian, hakim akan takut membebaskan seseorang terdakwa karena ia akan bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian tersebut secara etika.26 Selain ganti kerugian tersangka atau terdakwa juga dapat menuntut adanya rehabilitasi, menurut Pasal 1 butir 23 KUHAP merumuskan pengertian rehabilitasi sebagai berikut: Rehabilitasi adalah hak seseorang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan pengertian Rehabilitasi adalah sebagai berikut : 26
Hamzah, Op.Cit, hal.197
21
“Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan
putusan
pengadilan
pada
kedudukan
semula
yang
menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain”. Tujuan adanya rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ternyata semua tindakan yang dikarenakan tanpa alasan yang sah menurut Undangundang. Misalnya seseorang yang telah menjalani proses penyidikan berupa penahanan atau penangkapan, tetapi kemudian penyidikan dihentikan karena tidak cukup bukti untuk mengadilinya ke sidang Pengadilan. Dalam kejadian seperti ini, orang tersebut berhak mengajukan permintaan rehabilitasi nama baik, kedudukan dan martabatnya seperti semula sebelum dilakukannya proses penyidikan terhadap orang tersebut.27 Pemulihan kembali nama baik, kedudukan dan martabat tersangka atau terdakwa dalam pergaulan masyarakat sangat penting untuk menghapuskan cacat yang dideritanya akibat penangkapan, penahanan atau penuntutan dan pemeriksaan pengadilan yang dilakukan kepada dirinya.
Dengan
adanya
rehabilitasi,
diharapkan
sebagai
upaya
membersihkan nama baik, kedudukan dan martabat tersangka atau terdakwa maupun keluarganya di masyarakat.
27
Harahap, Op.Cit., Buku II, Hal. 64
22
Pada proses rehabilitasi dibedakan antara perkara yang diajukan ke pengadilan dan yang tidak diajukan ke pengadilan. Untuk perkara yang diajukan ke pengadilan berlaku ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, sedangkan untuk perkara yang tidak diajukan ke pengadilan diputus oleh hakim praperadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. 5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang
Kekuasaan Kehakiman, Dalam penjelasan pasalnya telah dirumuskan sebagai berikut : Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam KUHAP antara lain tercantum dalam Pasal 24 ayat (2), 25 ayat (4), Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (4). Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai penahanan. Pasal 50 KUHAP mengatur mengenai hak tersangka dan terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan. Pasal 102 ayat (1) KUHAP mengatur tentang
23
penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Pasal 106 KUHAP mengatakan hal sama dengan Pasal 102 ayat (1) KUHAP tetapi bagi penyidik. Pasal 107 ayat (3) KUHAP mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum pada Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Pasal 110 KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik semua disertai kata “segera”. Begitu pula Pasal 138 KUHAP, Pasal 140 ayat (1) KUHAP mengatakan bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. 6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum yang semata-mata untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. Hak ini diberikan semata-mata untuk kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa. Maksudnya untuk menghiindari kemungkinan seorang terdakwa diperiksa dan diadili di sidang pengadilan atas dasar suatu perbuatan yang didakwakan kepada dirinya tetapi dia tidak mengerti untuk mengadakan pembelaan atas dirinya, karena ia tidak mempunyai pengetahuan tentang membela hak-hak pribadinya. Orang yang dapat
24
membantu untuk membela hak-hak pribadi tersangka atau terdakwa biasa disebut advokat, pengacara, atau penasehat hukum. Pada masa lalu baik zaman penjajahan Belanda, masyarakat tertentu sudah mengenal perkataan advokat. Demikian juga pada tahun lima puluhan, masyarakat mengenal advokat yang dalam sebutan sehari-harinya telah berkembang menjadi pengacara atau pembela, yakni membela yang bergerak di bidang pemberian jasa hukum sebagai profesi atau mata pencaharian. Pengacara atau pembela dalam kenyataan dan pengertian masyarakat, sampai pada saat ini adalah pemberian jasa bantuan hukum bagi orang yang memerlukannya dengan imbalan jasa sebagai prestasi.28 Aliran lembaga bantuan hukum yang berkembang di Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh perkembangan bantuan hukum pada Negara-negara yang sudah maju. Di dunia barat pada umumnya pengertian bantuan hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda, yaitu:29 a. Legal aid, yang berarti pemberian jasa dibidang hukum kepada seorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara : 1. Pemberian jasa bantuan hukum dengan cuma-cuma; 2. Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin. Dengan demikian motivasi utama dalam legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta hukum; b. Legal assistance, yang mengadung pengertian lebih luas dari legal aid karena pada legal assistance, disamping mengandung makna dan tujuan memberi jasa bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokat yang memberi bantuan hukum baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi, maupun pemberian bantuan kepada rakyat yang miskin secara cuma-cuma;
28 29
Harahap, Op.Cit.,Hal.331 Ibid, Hal. 333
25
c. Legal service, mengandung makna dan pengertian yang lebih luas daripada legal aid dan legal assistance. Karena pada konsep dan ide legal service terkandung makna dan tujuan memberi bantuan kepada anggota masyakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan- kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dan penghormatan kapada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh damai. Di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai bantuan hukum ini disebutkan Pasal 56 dan Pasal 57. Dalam penjelasan Pasal 56 merumuskan sebagai berikut : Yang dimaksudkan dengan “bantuan hukum” adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan (yang tidak mampu). Pengaturan mengenai bantuan hukum dalam KUHAP diawali dengan Pasal 1 butir 13 memberikan definisi yaitu: “Penasehat hukum, yaitu seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan Undang-undang untuk memberi bantuan hukum”. Kemudian mengenai bantuan hukum diatur dalam bab tersendiri yaitu bab ketujuh yang terdiri dari 5 Pasal. Pada Pasal 115 KUHAP juga mengatur tentang hak penasehat hukum mengikuti jalannya penyidikan. Prinsip-prinsip pelayanan bantuan hukum harus diperuntukkan bagi penegakkan hukum dan penemuan kebenaran material yang terungkap di
26
sidang pengadilan dalam perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pelayanan bantuan hukum baik di sidang Pengadilan maupun diluar Pengadilan menuntut semua unsur advokat, pengacara, penasehat hukum untuk bekerjasama dalam batas kewenangannya masing-masing. 7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan wajib diberitahukan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum. Asas ini sering disebut asas legalitas. Maksud dari asas legalitas ini yaitu bahwa pelaksanaan hukum acara pidana harus bersumber atau berdasarkan ketentuan hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta menempatkan kepentingan hukum dan Peraturan Perundangundangan diatas segalanya dengan tidak membedakan perlakuan kepada orang tertentu.30 Asas legalitas ini tidak saja dalam arti material yaitu menghendaki penerapan hukum melalui putusan-putusan Pengadilan dan lain-lain menurut isinya harus sesuai dengan peraturan hukum yang bersangkutan, tetapi juga harus memenuhi atau mengandung di dalamnya pengertian formal legality yaitu memperhatikan juga hierarki peraturan perundangundangan yang berlaku.31 Sebagai dasar diberlakukannya asas legalitas ini adalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Negara 30
Ibid, Hal, 36 Istomo Gatot, 1989, Tafsir dan Komentar Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, Karya Nusantara, Bandung, Hal.5 31
27
Indonesia adalah Negara Hukum. Asas legalitas ini juga dengan tegas disebutkan dalam konsideran KUHAP huruf a yang berbunyi bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak adan kecualinya. Berdasarkan hal tersebut pelaksanaan penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 harus bertitik tolak rule of law, Semua tindakan penangkapan hukum harus :32 -
Berdasarkan ketentuan hukum dan Undang-undang; Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk dibawah supremasi hukum yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Asas legalitas dalam hukum acara pidana diharapkan dapat
memainkan peranan yang lebih positif dari sekedar melindungi warga masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. 8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. Pada dasarnya Hukum Acara Pidana Indonesia tidak mengenai pemeriksaan
sidang
pengadilan
tanpa
hadirnya
terdakwa,
tetapi
pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa dapat dilakukan apabila diatur lain oleh Undang-undang. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 32
Harahap, Op.Cit., Hal. 36
28
Prinsip hadirnya terdakwa dalam perkara pidana di sidang pengadilan ini didasarkan atas hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta bendanya ataupun kehormatannya.33 Asas pemeriksaan perkara pidana harus dengan hadirnya terdakwa hanya berlaku dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat. Acara pemeriksaan cepat mengenal adanya pemeriksaan perkara pidana dengan tidak hadirnya terdakwa atau proses peradilan in absentia, terutama dalam perkara-perkara pelanggaran lalu lintas. Proses peradilan in absentia dalam perkara lalu lintas dilakukan demi kelancaran penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas.34 9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur oleh Undang-undang. Pemeriksaan sidang pengadilan dan putusan pengadilan pada prinsipnya terbuka untuk umum dan ancaman batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat ini, kecuali Undang-undang menyatakan lain. Hal ini sebagaimana diataur Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal ini dipertegas dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut : “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anakanak”. 33
Djoko Prakoso, 1985, Peradilan In Absentia di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
34
Ibid, Hal.6
Hal. 54
29
Asas hukum acara pidana ini memberi makna yang mengarahkan tindakan penegakan hukum di Indonesia harus didasar oleh persamaan dan keterbukaan serta penerapan sistem musyawarah dan mufakat dari majelis hakim dalam mengambil keputusan. Dengan dasar persamaan hak dan kedudukan terdakwa dengan penegak hukum ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat penegak hukum kepada terdakwa, tidak ada dan tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut pemeriksaan terhadap diri terdakwa.35 Meskipun syarat pemeriksaan sidang pengadilan dan putusan pengadilan terbuka untuk umum mudah dilaksanakan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi persoalan hukum dalam praktik pengadilan di Pengadilan. Sudikno menyatakan, sekalipun dalam praktik oleh hakim tidak menyatakan ucapan sidang terbuka untuk umum, tapi kalau dalam berita acara dicatat terbuka untuk umum maka putusan tetap sah.36 Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Sifat terbuka disidang pengadilan dimaksudkan agar khalayak ramai dapat mengikuti dan mengawasi jalannya pemeriksaan pengadilan, bukan dalam arti masuknya orang-orang dalam 35 36
Harahap, Op.Cit., Hal. 56 Poernomo, Op.Cit., Hal. 152
ruang pengadilan. Bisa saja
30
terjadi seorang yang ingin mendengarkan pemeriksaan ditolak untuk masuk ruangan yang luasnya terbatas, akan tetapi dipersilahkan mengikuti melalui alat pengeras suara yang dipasang di halaman gedung. Kejadian yang demikian tidak berarti bertentangan dengan asas terbuka untuk umum. Hal-hal yang mesti harus dicegah jangan sampai terbuka, membawa akibat untuk sertanya publik untuk bersikap mengadili sebelum putusan hakim. Peranan pers untuk membuat pemberitaan yang proporsional tentang kejadian yang sesungguhnya dapat mendukung maksud peradilan terbuka dan pengawasan dari masyarakat.37 10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Maksud dari asas ini adalah memberikan tugas tambahan hakim dalam pelaksanaan putusan atau eksekusi. Bahwa eksekusi atau pelaksanaan putusan pidana tetap dijalankan oleh jaksa, sedangkan hakim dalam hal pelaksanaan putusan pidana ini berkedudukan sebagai pengamat dan pengawas terhadap putusan yang telah dijatuhkan. Pengawasan dan pengamatan ini mempunyai dua tujuan, yaitu:38 -
Untuk memperoleh kepastian apakah putusan pengadilan dilaksanakan semestinya;
-
Untuk bahan penelitian bagi penjatuhan hukuman yang akan datang.
37 38
Hal. 193
Ibid., Hal. 153 Martiman Prodjohamidjojo, 1990, Komentar Atas KUHAP, Cet 3, Pradnya Paramita,
31
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya secara nyata putusan hakim, akan tetapi tidak perlu mengakibatkan hakim itu menjadi kepala dari lembaga permasyarakatan.39 Asas pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan ini dalam hukum acara pidana di Indonesia lebih ditekankan pada tugas pengamatannya sebagai bahan penelitian dan penjatuhan pidana, bukan terletak para tugas pengawasannya.40 Hakim dalam tugas khusus ini melakukan pendekatan secara langsung, agar dapat mengetahui sampai dimana hasil baik atau buruknya pada diri terpidana atas putusan hakim yang bersangkutan. Dengan adanya ketentuan tentang pengawasan hakim terhadap putusan pengadilan maka kesenjangan yang ada antara apa yang diputuskan hakim dan apa yang ada dalam kenyataan pelaksanaan putusan pengadilan di lembaga Pemasyarakatan jika terpidana berkerja disitu dapat dijembatani.41
B. Acara Pemeriksaan Perkara Pidana KUHAP membedakan acara pemeriksan perkara di sidang Pengadilan Negeri. Dasar titik tolak perbedaan tata cara pemeriksaan, ditinjau dari segi tindak pidana yang diadili pada satu segi, dan dari segi mudah atau sulitnya pembuktian perkara pada pihak lain. KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan. Pertama, pemeriksaan perkara biasa; kedua, pemeriksaan singkat; dan ketiga, pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat dibagi
39
Poernomo, Op.Cit, Hal. 162 Ibid. 41 Hamzah, Op.Cit, Hal. 310 40
32
atas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. 1. Acara Pemeriksaan Biasa Acara pemeriksaan biasa, sebenarnya berlaku juga bagi pemeriksaan singkat dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang secara tegas dinyatakan lain. Dimulai hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat (3) KUHAP). Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang di mengerti oleh terdakwa dan saksi (Pasal 153 ayat (2a) KUHAP). Kalau kedua ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka batal demi hukum (Pasal 153 ayat (4) KUHAP).
2. Acara Pemeriksaan Singkat Undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara-perkara yang mana yang termasuk pemeriksaan biasa. Hanya pada pemeriksaan singkat dan cepat saja diberikan batasan. Pada Pasal 203 ayat (1) KUHAP memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan pemeriksaan singkat sebagai berikut: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana”.
33
Perlu ditekankan disini kata-kata : menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya sederhana, yang menunjukkan bahwa penuntut umumlah yang menentukan perkara pemeriksaan singkat itu. Pemeriksaan singkat ini dahulu disebut pemeriksaan sumir. Seperti telah disebut diatas, ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku juga bagi pemeriksaan singkat, kecuali ditentukan lain. Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 203 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam acara pemeriksaan singkat berlaku ketentuan bagian kesatu, bagian kedua, dan bagian ketiga bab ini (XVI), sepanjang peraturan ini tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini. Bagian kesatu ini mengenai pemanggilan dan dakwaan, bagian kedua mengenai memutus sengketa mengenai wewenang mengadili. Dan bagian ketiga mengenai acara pemeriksaan biasa. Menurut Andi Hamzah ialah tidak dinyatakannya berlaku juga bagian keempat bab XVI mengenai pembuktian dan putusan. Alat pembuktian yang justru terletak di bagian itu tidak dinyatakan berlaku bagi pemeriksaan singkat.42 Terdapat pula hal-hal yang secara khusus menyimpang dari acara pemeriksaan biasa. Hal itu adalah sebagai berikut : 1. Penuntut
umum
tidak
membuat
surat
dakwaan,
hanya
memberikan dari catatannya kepada terdakwa mengenai tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu,
42
Andi Hamzah, Op.Cit.,Hal 241
34
tempat, dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan. Pemberitahuan itu dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan (Pasal 203 ayat(3a) KUHAP) 2. Putusan tidak dibuat khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang (Pasal 203 ayat (3d) KUHAP) 3. Hakim membuat surat yang memuat amar putusan tersebut (Pasal 203 ayat (3e) KUHAP). Semua ketentuan ini sama dengan acara pemeriksaan sumir menurut HIR. a. Syarat Pemeriksaan Singkat
Pasal 203 KUHAP menentukan, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 KUHAP dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Pasal 205 KUHAP mengatur acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. Jadi patokan yang digunakan adalah perkara yang ancaman hukumnya di atas 3 bulan penjara atau kurungan serta dendanya lebih dari tujuh ribu lima ratus rupiah, sedangkan patokan ancaman
35
hukuman maksimal tidak ditentukan KUHAP. Menurut M. Yahya Harahap, dari pengalaman dan kebiasaan yang selalu dipakai, pidana yang akan dijatuhkan berkisar paling tinggi 3 tahun (contoh kasus yang dapat diperiksa secara singkat adalah tindak pidana perkelahian satu lawan satu, dengan aturan menggunakan aturan hukum Pasal 182 KUHP. b. Tata cara pemeriksaan singkat : 1. Penuntut umum menghadapkan terdakwa, saksi, ahli, juru bahasa, dan barang bukti. Pasal 203 ayat (2) KUHAP menerangkan, dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa, dan barang bukti yang diperlukan; 2. Waktu,
tempat,
dan
keadaan
melakukan
tindak
pidana
diberitahukan lisan, dicatat dalam berita acara sebagai pengganti surat dakwaan. Pasal 203 ayat (3) KUHAP menyatakan, dalam acara ini berlaku ketentuan dalam bagian kesatu, bagian kedua, dan bagian ketiga bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini. (1) Penuntut umum dengan segera setelah
terdakwa
di
sidang
menjawab
segala
pertanyaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) KUHAP memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya, dengan menerangkan waktu, tempat, dan keadaan pada waktu tindak
36
pidana itu dilakukan; (2) pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan; 3. Dapat diadakan Pemeriksaan Tambahan paling lama empat belas hari dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa (Pasal 203 ayat 3(b) KUHAP); 4. Terdakwa dan atau penasehat hukum dapat minta tunda sidang paling lama tujuh hari. Guna kepentingan pemeriksaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasehat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari (Pasal 203 ayat 3(c) KUHAP); 5. Putusan tidak dibuat secara khusus, melainkan dalam berita acara sidang putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut; isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa (Pasal 203 ayat 3(d), (e) KUHAP). Jika dari pemeriksaan sidang sesuatu perkara yang diperiksa yang diperiksa dengan acara singkat ternyata sifatnya jelas dan ringan, yang
37
seharusnya diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut (Pasal 204 KUHAP).
3. Acara Pemeriksaan Cepat Ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian tertentu. Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 210 KUHAP yang menyatakan bahwa ketentuan dalam bagian kesatu, bagian kedua, dan bagian ketiga bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragraf ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa justru bagian keempat yang mengatur tentang alat bukti tidak dinyatakan berlaku. Pemeriksaan cepat dibagi dua menurut KUHAP, yang pertama acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan yang kedua acara pemeriksaan perkara pelanggaran lau lintas jalan. Yang pertama termasuk delik yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. Yang kedua termasuk perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan. Penjelasan Pasal 211 KUHAP memberi uraian tentang apa yang dimaksud dengan “perkara pelanggaran tertentu” sebagai berikut: a. mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan; b. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memeperlihatkan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah, atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-
38
c. d.
e.
f.
g.
h.
undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memerlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah kadaluwarsa; Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi; Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain; Membiarkan kendaraan bermotor yang ada dijalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan; Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan dan atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di permukaan jalan; Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan atau cara memuat dan membongkar barang; Pelanggaran terhadap izin trayek. Jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi dijalan yang ditentukan. Selanjutnya, yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat ditentukan
oleh Pasal 205 ayat (1) KUHAP sebagai berikut : “yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini”. Paragraf 2 ialah mengenai acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan yang dijelaskkan dalam Pasal 211 KUHAP sebagi berikut: “yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada paragraf ini adalah perkara
pelanggaran
undangan lalu lintas”.
C. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian
tertentu
terhadap
peraturan
perundang-
39
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting acara pidana.
Pengertian
pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masingmasing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.43 Bambang purnomo, dalam bukunya yang berjudul pokok-pokok tata cara peradilan pidana di Indonesia dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan tentang arti hukum pembuktian sebagai berikut: Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan atau hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam hukum yang berlaku, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Kegiatan pembuktian diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran mutlak sukar ditemukan. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejakan, kesan dan refleksi dari keadaan dan/atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan, berkaitan dengan masa lalu yang diduga menjadi tindak pidana. Definisi pembuktian juga dijelaskan oleh Martiman Prodjoharmijo, adalah sebagai berikut:
43
R. Subekti, 1991, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya paramita, hal. 1
40
“(membuktikan) mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Baik dalam proses acara pidana maupun perdata diperlukan adanya pembuktian, yang memegang peranan penting”.44 Bagi M Yahya Harahap yang dimaksud dengan pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi pengarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.45 Dalam arti yuridis, Pembuktian yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.46 Sementara itu Darwin Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terbukti dan terdakwa bersalah melakukan perbuatan itu, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.47 Dalam
kamus
bahasa
Indonesia
disebutkan
bahwa
pengertian
pembuktian secara umum adalah 1. Proses, cara, perbuatan membuktikan; 2. Usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang
44
Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat bukti (seri Pemerataan Keadilan 10), cetakan 1, Jakarta, Ghalia Indonesia, Hal. ii 45 M.Yahya Harahap, 2002, Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Bandung , Sinar Grafika, Hal. 252 46 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta, Liberty Hal. 35 47 Darwan Prinst, 2002, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, cet 3, Jakarta, Djambatan, Hal. 137
41
pengadilan.48 Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.49 Hukum acara pidana merupakan suatu sistem dan hukum pembuktian adalah bagian dari sistem tersebut. Sistem berasal dari istilah sistem yang berarti sesuatu yang terorganisir, suatu keseluruhan kompleks. Berdasarkan hal tersebut,
sistem hukum pembuktian dapat diartikan sebagai suatau
keseluruhan dari unsur-unsur hukum. Hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh-pengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan.50
2. Sistem Pembuktian Ada beberapa jenis-jenis sistem pembuktian menurut KUHAP Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHAP adalah: a) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time). Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada
48
http://kamusbahasaindonesia.org/pembuktian diunduh tanggal 7 Maret 2012 Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung, Mandar Maju, hal 10 50 Enong Maryani, 1997, Antropologi, Bandung, Grafindo Media Pratama, hal. 45 49
42
penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Perancis yang membuat
pertimbangan
berdasarkan
metode
ini,
dan
banyak
mengakibatkan putusan bebas yang aneh.51 b) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction In Raisone). Sistem
pembuktian
Conviction
In
Raisone
masih
juga
mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat
51
Andi Hamzah, Op.Cit.,Hal 241
43
bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable" yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan system pembuktian bebas.52 c) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettelijk Bewijstheorie). Sistem
ini
ditempatkan
berhadap-hadapan
dengan
system
pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wettelijk sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat
52
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata, Bandung, Citra Aditya, Hal 56
44
bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu system pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori sistem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka, dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja. d) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative wettelijk). Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
45
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu53 : a) Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: "Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten. b) Kewajiban seorang saksi Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli. c) Satu saksi bukan saksi (unus testis nulus testis). Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: 53
Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , elsam, Jakarta, Hal. 3
46
“Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu gat bukti yang sah”. d) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip "pembuktian terbalik" yang tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku diIndonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan
perbuatan
yang
didakwakan
kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. e) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri. Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa : “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diakui terdakwa sendiri. 3. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana Macam-macam alat bukti
dalam hukum acara pidana, sebagaimana
diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut: 1. Keterangan Saksi Alat bukti saksi mempunyai peranan penting dalam hal pembuktian dipersidangan. Pasal 1 angka 27 KUHAP meyebutkan bahwa: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
47
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Oleh karena itu seseorang yang dijadikan saksi dalam persidangan haruslah benar-benar yang ia mengetahui, mengalami, dan mendengar sendiri terjadinya peristiwa tindak pidana. Saksi adalah salah satu alat bukti yang memegang peranan penting dalam persidangan disamping alat bukti yang memegang peranan penting dalam persidangan disamping alat bukti yang lainnya, Sebelum memberikan keterangan, seorang saksi diwajibkan mengucapkan sumpah terlebih dahulu agar saksi tidak memberikan keterangan yang tidak sebenarnya atau keterangan palsu dengan tujuan untuk memberatkan ataupun meringankan terdakwa. Disamping itu ada pengecualian bahwa seorang saksi tidak wajib disumpah sebagaimana dijelaskan pada Pasal 151 KUHAP. 2. Keterangan ahli Dalam pembuktian dipersidangan keterangan ahli sangat diperlukan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Keterangan ahli sama halnya dengan keterangan saksi yang sangat mempunyai peran dalam membuktikan tindak pidana yang telah terjadi. Dengan segala keahlian dari seorang ahli dapat diberikan dipersidangan dan diperlukan juga dalam hal pembuktian Visum Et Repertum. Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, definisi keterangan ahli yaitu: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana guna kepentingan bersama.”
48
Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa seorang ahli dapat memberikan keterangan sebagai saksi yang tidak berdasarkan ia dengar, alami, dan lihat langsung peristiwa pidana tetapi melalui keahliannya dalam
pembuktian
dipersidangan.
Namun
apabila
seorang
ahli
memberikan keterangan dipersidangan merupakan keterangan yang ia dengar, alami dan lihat sendiri maka keterangan tersebut bukan termasuk keterangan ahli melainkan keterangan saksi. Alat bukti keterangan ahli dapat diberikan dalam dua bentuk dipersidangan antara lain: a. Bentuk laporan atau visum et repertum. Keterangan ahli tersebut memberikan keternagan dengan membuat tulisan berbentuk laporan visum et repertum yang berisi tentang pemeriksaan terhadap tubuh manusia. Keterangan seperti ini biasanya diberikan oleh seorang ahli kedokteran forensik tentang pemeriksaan terhadap tubuh manusia dari suatu akibat tindak pidana. Pasal 133 ayat (1) dan Pasal 20 KUHAP menyatakan bahwa: (1) Dalam hal untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan keterangan ahli pada ahli kedokteran forensik. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang didalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau bedah mayat. b. Bentuk keterangan yang diberikan secara lisan. Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli tersebut diberikan langsung secara lisan di muka persidangan dengan terlebih dahulu mengucapkan sumpah antara lain:
49
Pada dasarnya keterangan ahli yang berbentuk laporan dan secara lisan merupakan keterangan ahli yang harus disumpah sebelum diberikan dipersidangan sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 186 KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk leporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima sumpah jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hukum.” Sama halnya dengan keterangan saksi, pada prinsipnya kekuatan pembuktian keterangan ahli bersifat bebas dan KUHAP tidak menentukan bahwa alat bukti ini mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dalam hal ini, hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya sehingga masih membutuhkan alat bukti lain untuk mendapatkan kebenaran. 3. Surat Bahwa yang dimaksud dengan surat menurut Pasal 187 KUHAP dibuat atas sumpah jabat atau dikuatkan dengan sumpah adalah a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat di hadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang di dengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dengan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlianya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
50
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat bukti lain. 4. Petunjuk Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberikan pengertian Bahwa yang dimaksud petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang arena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk diperolah berdasarkan antara lain : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Petunjuk sebagai alat bukti yang lahir dari kandungan alat bukti yang lain antara lain : a. Selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti yang lain; b. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa; c. Dengan demikian upaya mempergunakan alat bukti petunjuk baru dilakukan pada tingkat keadaan dengan upaya pembuktian tindak pidana mungkin diperoleh lagi alat bukti yang lain.54 5. Keterangan Terdakwa Keterangan
terdakwa
merupakan
keterangan
yang
hanya
mengandung pengakuan kebenaran. Pengakuan terdakwa disini bukna hanya pengakuan yang diberikan dimuka persidangan tetapi juga pengakuan diluar persidangan. Pengakuan dimuka persidangan saja tidak cukup untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. 54
M. Yahya Harahap, Op.Cit., Hal. 317
51
Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP sebagai berikut : a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; b. Keterangan terdakwa hanya digunakan terhadap dirinya sendiri; c. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP diatas, Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri sehingga secara garis besar keterangan terdakwa adalah: a. Apa yang terdakwa “nyatakan” atau “jelaskan” di sidang pengadilan; b. Apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.55 Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain: a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan; b. Perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri. D. Pengaturan Tindak Pidana Minuman Keras
55
Ibid, Hal. 319
52
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai masalah penyalahgunaan alkohol atau tindak pidana minuman keras yang diatur dalam Pasal 300 ayat (1) angka (1), Pasal 492, Pasal 537, dan Pasal 538, dan Pasal 539 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Adapun rumusan Pasal tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pasal 300 ayat (1) angka 1 KUHP merumuskan sebagai berikut: (1) Diancam dengan penjara paling lama satu tahun atau denda sebanyakbanyaknya empat ribu lima ratus rupiah : 1. Barang siapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan nyata mabuk; 2. Barang siapa dengan sengaja membuat mabuk seseorang anak yang umurnya belum cukup enam belas tahun; 3. Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan sengaja memaksa akan minum-minuman yang memabukan. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat pada tubuh, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun; (4) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencariannya itu.
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan secara singkat bahwa agar supaya dihukum pasal ini, maka orang yang menjual atau memberi minumanminuman keras itu harus mengetahui bahwa orang yang membeli atau diberi minuman itu harus telah kelihatan nyata mabuk, kalau tidak dapat dikenakan pasal ini. Tanda-tanda orang yang telah mabuk adalah : 1. Dari mulutnya keluar napas yang berbau alkohol (minuman keras); 2. Langkah jalannya sempoyongan (tidak tegap); 3. Bicaranya tak karuan (kacau).56 56
R. Sugandhi,1980, KUHP Dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, Hal. 318
53
Simons57 berpendapat bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 300 KUHP merupakan salah satu tindak pidana yang sifatnya harus dipandang sebagai tindakan pidana yang membahayakan bagi nyawa dan kesehatan. Van Bammelen dan Van Hanttun58 berpendapat bahwa tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 300 KUHP lebih tepat digolongkan dalam pengertian delik-delik yang dapat menimbulkan bahaya, karena adanya bahaya yang ditimbulkan oleh minum minuman yang sifatnya memabukkan bagi orang-orang yang meminumnya. Perbuatan menjual hanya terjadi dalam hal perbuatan hukum jual beli. Perbuatan hukum jual beli adalah suatu perjanjian yang terjadi antara dua pihak, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan. Perbuatan hukum jual beli ini ada dua, perbuatan pertama: berupa perbuatan menjual yang dilakukan oleh sipemilik benda, kedua: adalah membeli yang dilakukan pihak pembeli. Pelaku kejahatan dalam ketentuan Pasal 300 ayat (1) angka (1) KUHP, pemuatnya adalah sipenjual, yang melakukan perbuatan menjual sehingga dibebani tanggung jawab pidana dalam kejahatan yang dilakukan.59 Objek benda yang dijual atau yang diberikan oleh sipembuat adalah minuman yang memabukkan. Minuman yang memabukkan adalah benda cair yang jika diminum dapat memabukkan orang. Minuman yang memabukkan
57
Simons, 1941, Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V Groningen, Batavia, Hal. 34. 58 Van Bemmelen dan Van Hanttum, 1954, Hand-en Leerboek Het Nederlandse Strafrecht II, D. Brouwer en Zoon, Arnehem, Martinus Nijhoff, Gravenhage, Hal. 442. 59 Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan , PT Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 138-139
54
ini harus dijual atau diserahkan pada orang yang kelihatan mabuk. Orang yang kelihatan mabuk itu mempunyai ciri-ciri antara lain: 1. Nafasnya berbau alkohol; 2. Muka dan matanya merah; 3. Kedip matanya jarang dan merawang; 4. Sikapnya diam atau malah banyak bicara tidak teratur.60 2. Pasal 492 KUHP, merumuskan sebagai berikut : (1) Barang siapa yang sedang mabuk, baik ditempat umum merintangi jalan atau mengganggu ketertiban, baik mengancam keamanan orang lain maupun sesuatu perbuatan yang harus dijalankan dengan hati-hati benar supaya tidak terjadi bahaya bagi jiwa atau kesehatan orang lain dihukum kurungan selama-lamanya enam hari atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus tujuh puluh lima rupiah; (2) Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lagi lewat satu tahun sejak ketetapan putusan hukuman yang dahulu bagi si tersalah karena pelanggaran serupa itu juga atau lantaran pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 546 KUHAP, maka ia dihukum selama-lamanya dua minggu. Dapat disimpulkan dari ketentuan pasal ini bahwa orang supaya dapat dikenakan sanksi pidana harus dibuktikan bahwa mabuk ditempat umum, merintangi jalan / lalu lintas dan mengganggu keamanan orang lain. Mabuk adalah suatu keadaan, dalam keadaan mana seseorang tidak dapat menguasai lagi panca inderanya atau anggota badannya, yang diakibatkan oleh minuman yang mengandung alkohol. Mengganggu ketertiban misalnya melempar-lemparkan batu kepada orang banyak, mengancam keselamatan orang lain. Jika keadaan mabuk orang
60
http://www.google.co.id/search?client=firefoxa&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial &channel=s&hl=id&source=hp&q=latar+belakang+penerapan+pidana+denda+terhadap+penjual+ minuman+beralkohol+tanpa+izin&meta=&btnG=Penelusuran+Google diakses tanggal 20 Maret 2012 pukul 19.00 wib
55
lain itu diam saja dirumahnya dan tidak menggangu apa-apa, maka tidak dikenakan pasal ini. 3. Pasal 536 KUHP, merumuskan sebagai berikut: (1) Barang siapa nyata mabuk ada dijalan umum, dihukum denda sebanyakbanyaknya dua ratus dua puluh lima rupiah; (2) Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum satu tahun, sejak ketetapan hukum yang dahulu bagi si tersalah lantaran pelanggaran serupa itu juga atau pelanggaran yang ditersangkakan dalam Pasal 492 KUHP, maka hukuman denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari; (3) Kalau pelanggaran itu diulangi lagi untuk kedua kalinya dalam satu tahun sesudah keputusan hukum yang pertama karena ulangan pelanggaran itu, maka dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya dua minggu; (4) Kalau pelanggaran itu diulangi ketiga kalinya atau selanjutnya di dalam satu tahun sesudah ketetapan putusan hukuman yang kemudian sekali lantaran ulangan pelanggaran untuk kedua kalinya atau selanjutnya, maka dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan. Supaya dikenakan pasal ini si pelaku harus terlihat mabuk dan berada di jalan umum, orang yang berada dalam keadaan mabuk itu tetap atau tetap diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana atas perbuatan yang telah ia lakukan. Keadaan mabuk merupakan keadaan yang sebenarnya dari seseorang yang berada dalam keadaan seperti itu, sehingga di dalam surat dakwaannya, jaksa cukup memakai kata-kata dalam keadaan mabuk bagi terdakwa, yang didakwa telah melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 536 KUHP. Keadaan yang nyata bahwa seseorang itu berada dalam keadaan mabuk hanya dapat dibuktikan dengan menunjukan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dengan menunjukan keadaan-keadaan pada waktu
56
ia berada di atas jalan raya. Jika keadaan mabuk berada di dalam rumah maka tidak dikenakan Pasal ini. 4. Pasal 537 KUHP merumuskan sebagai berikut: “Barang siapa diluar kantin tentara menjual atau memberikan minuman keras atau memberikan minuman keras atau arak kepada anggota Tentara Nasional Indonesia dibawah pangkat Letnan atau kepada istrinya, anaknya atau pelayannya, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah”.
Berdasarkan rumusan Pasal 537 KUHP maka dapat dikemukakan beberapa rumusan yaitu: 1. 2. 3. 4.
Perbuatan : menjual, memberikan; Obyek : minuman keras atau arak; Diluar kantin tentara; Kepada : anggota TNI berpangkat dibawah Letnan, istrinya, anaknya, pelayannya.61 Pengertian anggota TNI dalam Pasal 537 KUHP hanya mencakup
anggota TNI Angkatan Darat, Laut dan Udara dan tidak termasuk anggota kepolisian. Anggota TNI ini harus berpangkat dibawah letnan artinya Anggota TNI golongan Bintara dan Tamtama. Perbuatan menjual dan memberikan itu harus dilakukan diluar kantin tentara. Larangan ini tidak berlaku jika pembuat menjual dan atau memberikan minuman keras itu didalam kantin tentara. Larangan menjual atau memberikan minuman keras tidak hanya berlaku kepada anggota tentara tetapi juga kepada isti, anak, pelayan tentara.62 5. Pasal 538 KUHP merumuskan sebagai berikut: “Penjual atau wakilnya yang menjual minuman keras yang dalam menjalankan pekerjaan memberikan atau menjual minuman keras atau arak kepada seorang anak dibawah enam belas tahun, diancam dengan pidana 61
Adami chazawi, Op.Cit., hal. 150 R.Soesilo, 1995, KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1995, hal. 344 62
57
kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Berdasarkan Pasal 538 KUHP dapat dikemukakan beberapa rumusan: 1. 2. 3. 4. 5.
Pembuat : penjual atau wakilnya; Yang dalam menjalankan pekerjaan menjual minuman keras; Perbutan : memberi, menjual; Obyek : minuman keras atau tuak; Kepada anak yang belum berumur enam belas tahun. Pelanggaran terhadap Pasal 538 KUHP, yang harus dibuktikan adalah
kualitas pribadi orang membuat/melakukan. Kualitas pribadi pembuat ialah pertama: orang yang pekerjaannya menjual minuman beralkohol dan kedua: wakilnya. Ketentuan Pasal 538 KUHP yang dilarang adalah penjual atau wakilnya dalam menjalankan pekerjaannya itu menjual atau memberikan minuman keras kepada anak dibawah umur enam belas tahun. Seseorang yang pekerjaannya bukan menjual minuman keras, menjual minuman keras kepada anak yang umurnya belum enam belas tahun dan kemudian anak itu mabuk, penjual tersebut tidak terkena pasal ini tetapi terkena Pasal 300 KUHP, akan tetapi jika tidak sampai mabuk penjual itu tidak terkena Pasal 538 maupun Pasal 300 KUHP.63 Perbuatan menjual dengan memberikan terdapat persamaan. Persamaan antara perbuatan itu terletak pada perbuatan pengalihan kekuasaan atas minuman keras, yang semula berada dipenjual kemudian beralih kedalam kekuasaan sipembeli (dari perbuatan menjual) atau sipenerima (dari perbuatan memberi).
63
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Delik-delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Kesopanan, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hal. 371
58
Pengalihan kekuasaan atas minuman keras itu terkandung maksud yang sama, yakni untuk dimiliki sehingga dengan maksud demikian minuman keras itu dapat diminum atau digunakan sesuai peruntukkan oleh orang yang membeli dan orang yang menerima. Perbuatan menjual dengan memberi mempunya perbedaan, disisi pihak pembeli menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran harga minuman keras yang dibeli, sedangkan pada perbuatan memberi tidak diperlukan syarat dengan pembayaran sejumlah harga. Anak yang belum berumur enam belas tahun adalah berupa unsur objektif dalam Pasal 538 KUHP ini tidak ada hubungan unsur batin pembuat dengan unsur belum berumur enam belas tahun. Tujuan dari Pasal 538 KUHP adalah untuk melindungi kepentingan hukum anak-anak dari perbuatanperbuatan yang dapat merusak jiwa anak yang disebabkan pengaruh buruk dari minuman keras.64 6. Pasal 539 KUHP merumuskan sebagai berikut : “barang siapa pada kesempatan diadakan pesta keramaian untuk umum atau pertunjukan rakyat atau diselenggarakan arak-arakan untuk umum, menyediakan secara cuma-cuma minuman keras atau menjanjikan sebagai hadiah, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari denda paling tinggi tiga ratus puluh lima rupah.” Sesuai dengan rumusannya, yang dapat menjadi subjek dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 539 KUHP adalah orang atau orang-orang yang menyelenggarakan pesta rakyat atau pesta umum. Yang dimaksud dengan pesta umum ialah pesta yang dapat
64
Adami Chazawi, Op. cit., Hal. 152-153.
59
diikuti oleh setiap orang yang mengikuti pesta tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan keramaian umum ialah keramaian yang dapat diikuti oleh setiap orang yang mengundang rakyat banyak. Pesta atau keramaian seperti ini biasanya diselenggarakan oleh panitia. Berkenaan dengan kenyataan tersebut kiranya perlu diketahui, bahwa panitia itu tidak dapat menjadi subjek dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 539 KUHP, sehingga yang dapat dituntut karena melanggar larangan yang diatur Pasal 539 KUHP hanyalah anggota panitia sebagai orang-orang yang menyelenggarakan kegiatan tersebut.65 Adapun pengaturan Pasal-pasal yang dijelaskan diatas sebaiknya mungkin perlu di refisi kembali, karena sudah tidak cocok dengan perkembangan masyarakat ini.
65
F.Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., Hal. 371
60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode yang dipakai dalam peneliti adalah metode pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positif yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom terlepas dari kehidupan masyarakat.66 Metode pendekatan masalah menggunakan Pendekatan Kasus (Case Approach). Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. kepada dictum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.67 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian preskriptif. Spesifikasi penelitian preskriptif oleh Peter Mahmud Marzuki68 dalam bukunya Penelitian Hukum dijelaskan, sebagai berikut : “Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, yaitu ilmu yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum”. 66
Ronny Hanintijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, Hal. 13-14. 67 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan pertama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,Hal. 119. 68 Ibid, Hal. 22
61
C. Sumber Data Jenis sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 1. Sumber Data Sekunder Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur yang berhubungan dengan objek penelitian. Menurut Soerjono dan Sri Mamudji, data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.69 Data Sekunder Meliputi : 1) Bahan Hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam
penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Putusan Pengadilan Pidana Nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt. dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini. 2) Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para sarjana, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti. 69
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Hal. 13
62
3) Bahan hukum tersier, yaitu: kamus. 2. Data Primer Data Primer adalah data pendukung data sekunder yaitu keteranganketerangan dari hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Penyidik pada Kepolisian Sektor Purwokerto Selatan, dan Jaksa Kejaksaan Negeri Purwokerto. D. Lokasi Penelitian Kepolisian Resor Banyumas dan Pengadilan Negeri Purwokerto E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, artikel-artikel dan dokumen-dokumen yang berkaitan denga pokok-pokok permasalahan untuk selanjutnya dipelajari sebagai pedoman untuk penyusunan data. 2. Data Primer Diperoleh dengan mengadakan penelitian lapangan langsung pada obyek yang dijadikan masalah, dengan cara mengadakan wawancara dengan dengan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dan Penyidik pada Kepolisian Resor Banyumas, F. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam
penelitian ini akan disajikan dalam
bentuk uraian yang disususn secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti
63
keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. G. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data Normatif Kualitatif. Normatif Kualitatif adalah penjabaran dan pembahasan terhadap hasil penelitian didasarkan pada norma-norma atau kaidah-kaidah hukum serta doktrin-doktrin yang relevan denga pokok-pokok permasalahan.70
70
Hal. 32
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia,
64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian tentang Pembuktian Tindak Pidana Pelanggaran Ringan yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, bahan yang diperoleh berdasarkan buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto terhadap perkara Nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt, maka diperoleh data-data sebagai berikut : 1. Identitas Terdakwa Nama
: “YSN”
Tempat Lahir
: Solo
Umur
: 54 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat/Tempat tinggal
: Jalan Hos Notosuwiryo RT.02/14 Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas
Agama
: Khatolik
Pekerjaan
: Dagang
2. Duduk Perkara Bahwa pada hari Jum’at tanggal 27 Agustus 2010 jam 21:30 WIB, ketika melaksakan tugas dinas malam, menerima telepon dari masyarakat yang intinya menginformasikan bahwa di Jalan Hos Notosuwiryo Rt.02/14 kelurahan Teluk ada orang yang berjualan Minuman Keras, setelah di cek
65
ternyata benar dan telah menangkap / mendapatkan tersangka, yang bernama ”YSN” yang melakukan tindak pidana kejahatan / pelanggaran Menjual dan Menyimpan serta mengedarkan Minuman Keras Tanpa Ijin dan atas pertanyaan pemeriksa, tersangka mengakui kesalahannya. 3. Pembuktian Pembuktian di Persidangan di Pengadilan Negeri Purwokerto terhadap perkara Nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt memeriksa beberapa alat bukti yaitu: a. Keterangan Saksi Keterangan saksi intinya menerangkan sebagai berikut : 1. Mahmudi : Umur 46 Tahun, Agama : Islam, Pekerjaan : Polri, Alamat: Polsek
Purwokerto
Selatan.
dipersidangan
dibawah
sumpah
menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : 1)
Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terdakwa YSN;
2)
Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terhadap terdakwa pada Hari Kamis, tanggal 27 Agustus 2010, jam 21.30 WIB, di Rumahnya terdakwa jalan Hos Notosuwiryo RT. 02/14, kelurahan Teluk kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas;
3)
Bahwa saksi menangkap terdakwa karena terdakwa melakukan tindak pidana “Menjual dan Menyimpan serta Mengedarkan Minuman keras tanpa ijin dan menjual daging anjing;
4)
Bahwa saksi atas dasar telepon dari masyarakat yang intinya menginformasukan bahwa jalan Hos Notosuwiryo RT 02/14
66
Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas ada orang yang berjualan minuman keras; 5)
Bahwa saksi setelah mengetahui laporan masyarakat langsung mengecek di tempat kejadian dan ternyata benar ada keributan sekitar 30 (Tiga Puluh) warga sudah berkumpul di rumah terdakwa;
6)
Bahwa saksi mengetahui adanya kejadian keributan di rumah terdakwa karena di rumah terdakwa dibuat mabuk-mabukan dan pesta
makan
daging
anjing sehingga
menggangu
warga
sekitarnya; 7)
Bahwa saksi pada saat mengecek kejadian saksi sendiri karena saksi dibel warga sedang dinas di luar di Pancurawis, kemudian saksi menghubungi teman saksi untuk melapor ke tempat kejadian;
8)
Bahwa saksi mengetahui yang datang di tempat kejadian tersebut bernama Bripka Rodiman, Bripka Made, dan Bripka Marno dan komandannya bernama Aiptu Triyono;
9)
Bahwa saksi melalui operasi “Candi” yang merupakan operasi Minuman Keras (Miras), Psk, Gepeng, Anjal dan Premanis;
10) Bahwa saksi melakukan penangkapan terdakwa menemukan barang-barang 1,5 (satu setengah) botol Ciu; 11) Bahwa saksi menemukan barang bukti berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu di dapur terdakwa;
67
12) Bahwa saksi mengetahui terdakwa dalam menjual minuman keras tidak ada ijinnya; 13) Bahwa saksi mengetahui bahwa terdakwa pernah juga melakukan perbuatan ini sebelumnya.
2. Rodiman : Umur : 48 Tahun, Agama : Islam, Pekerjaan : Polri, alamat: Polsek
Purwokerto
Selatan,
dipersidangan
dibawah
sumpah
menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa saksi pernah melakukan penangkapan terhadap terdakwa ”YSN” 2) Bahwa saksi melakukan penangkapan terdakwa pada hari Kamis, Tanggal 27 Agustus 2010 jam 21:30 WIB, di rumahnya Jalan Hos Notosuwiryo RT. 02/14, kelurahan Teluk kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas; 3) Bahwa
saksi
melakukan
penangkapan
perkara
terdakwa
melakukan tindak pidana Menjual dan Menyimpan serta Mengedarkan Minuman keras tanpa ijin; 4) Bahwa saksi mengetahui yang datang di tempat kejadian tersebut bernama Bripka Rodiman, Bripka Made, dan Bripka Marno dan komandannya bernama Aiptu Triyono; 5) Bahwa saksi melalui operasi “Candi” yang merupakan operasi Minuman Keras (Miras), Psk, Gepeng, Anjal dan Premanis;
68
6) Bahwa saksi mengetahui kalau terdakwa menjual Minuman Keras dari telepon Bripka Mahmudi dan menurut Bripka Mahmudi ada informasi dari masyarakat untuk selanjutnya ditindaklanjuti; 7) Bahwa saksi menemukan barang bukti berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu di dapur terdakwa; 8) Bahwa saksi mengetahui terdakwa dalam menjual minuman keras tidak ada ijinnya; 9) Bahwa saksi mengetahui bahwa terdakwa pernah juga melakukan perbuatan ini sebelumnya. b. Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa ”YSN yang pada intinya menerangkan sebagai berikut : 1) Bahwa terdakwa ditangkap pada hari Kamis, Tanggal 27 Agustus 2010 jam 21:30 WIB, di rumahnya jalan Hos Jalan Hos Notosuwiryo RT. 02/14, kelurahan Teluk kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas; 2) Bahwa terdakwa ditangkap oleh petugas karena Menjual Minuman Keras jenis Ciu; 3) Bahwa terdakwa ditangkap oleh Pak Mahmudi, Pak Rodiman, Pak RT Wasis, warga dan anak-anak warga sekitar; 4) Bahwa terdakwa pada saat ditangkap petugas menemukan barangbarang jenis minuman keras berupa 1,5 (satu setengah) botol ciu;
69
5) Bahwa terdakwa mengetahui petugas menemukan barang bukti tersebut di dapur terdakwa; 6) Bahwa terdakwa mengetahui barang tersebut dilarang; 7) Bahwa terdakwa mendapatkan Ciu dari Solo dengan cara membeli harga Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) sekitar 1 (satu) minggu sebelum kejadian; 8) Bahwa terdakwa pada saat ditangkap sedang ada tamu dari ajibarang sebanyak 3 (tiga) orang yang sudah mabuk pada saat datang dengan membawa daging anjing yang sudah masak dibeli dari Terminal Purwokerto; 9) Bahwa terdakwa mengetahui tamu tersebut sedang mabuk di rumah terdakwa karena sebenarnya tamu terdakwa tujuannya mau karaoke di Chery’s (tempat karaoke) tetapi sambil menunggu teman yang lain datang dan daging anjing dimakan dirumah terdakwa karena alasan jika di makan di Chery’s tidak boleh; 10) Bahwa terdakwa mengetahui tidak memperoleh ijin menjual minuman keras; 11) Bahwa terdakwa sudah pernah ditangkap 2 (dua) kali ini; 12) Bahwa terdakwa juga pernah dihukum hukumannya 1 (satu) bulan kurungan dengan masa percobaan 2 (dua) bulan; 13) Bahwa terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. c. Barang Bukti -
1,5 (satu setengah botol) ciu
70
4. Putusan Pengadilan a. Dasar Pertimbangan Hakim Menimbang, Bahwa terdakwa telah dituduh melakukan perbuatan pidana “Menjual dan Menyimpan serta mengedarkan Minuman keras tanpa ijin”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras; Menimbang bahwa dipersidangan telah diajukan barang bukti berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu; Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Saksi Mahmudi dan Saksi Rodiman, benar bahwa Saks-saksi telah melakukan penangkapan terhadap Terdakwa pada hari Kamis, Tanggal 27 Agustus 2010, jam 21:30 WIB, di rumahnya jalan Hos Notosuwiryo RT.02/14 Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas; Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Saksi-saksi benar bahwa Saksi-saksi melakukan penangkapan atas dasar telepon dari masyarakat yang intinya menginformasikan bahwa di jalan Hos Notosuwiryo RT.02/14 Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas ada orang yang berjualan miras untuk selanjutnya ditindak lanjuti; Menimbang bahwa benar Saksi-saksi pada waktu melakukan penangkapan terhadap terdakwa ini, Saksi-saksi menemukan barang-barang berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu yang kadar alkoholnya lebih dari 10%;
71
Menimbang
bahwa
berdasarkan
keterangan
Saksi-saksi
dan
dikuatkan dengan keterangan terdakwa dipersidangan bahwa terdakwa dalam berjualan minuman keras ini tidak ada ijin dari Pejabat yang berwenang dan menurut keterangan Saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa sendiri dipersidangan bahwa Terdakwa sebelumnya pernah juga ditangkap karena melakukan perbuatan kejahatan/pelanggaran yang sama sebanyak 1 (satu) kali; Menimbang, bahwa Terdakwa sebelumnya juga pernah ditangkap dan perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri Purwokerto karena melakukan perbuatan kejahatan/pelanggaran sebagaimana diatur dan diancam Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001, tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras dengan hukuman Percobaan; Menimbang, bahwa oleh karena hukuman Percobaan tersebut, Terdakwa tidak juga jera dan masih tetap mengulangi perbuatannya lagi maka Hakim akan memberikan putusannya yang lebih memberatkan bagi Terdakwa yaitu dengan pidana kurungan; Menimbang bahwa sebelum Hakim menjatuhkan putusan maka perlu memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan atas diri Terdakwa; Hal-hal yang memberatkan :
72
-
Terdakwa sudah pernah dihukum karena telah melakukan perbuatan tersebut dalam perkara yang sama;
-
Perbuatan terdakwa meresahkan Masyarakat disekitar lokasi kejadian perkara.
Hal-hal yang meringankan : -
Terdakwa mengaku terus perbuatannya sehingga dapat memperlancar jalannya persidangan;
-
Terdakwa seorang perempuan yang mempunyai suami dan anak-anak yang perlu diperhatikan.
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas No. 13 Tahun 2001, tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras; 2. Undang-undang Nomor 8 Thun 1981 tentang KUHAP; 3. Pasal-pasal dari Undang-undang yang bersangkutan.
b. Amar Putusan Berdasarkan pertimbangan - pertimbangan hakim tersebut sebagaimana yang diatas dalam perkara Putusan Nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt, maka hakim memutuskan: 1) Menyatakan Terdakwa “YSN” telah tebukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MENJUAL DAN MENYIMPAN SERTA MENGEDARKAN MINUMAN KERAS”;
73
2) Menghukum terdakwa “YSN” oleh karena itu dengan Pidana Kurungan selama 5 (Lima) hari; 3) Menetapkan barang bukti berupa: -
1,5 (satu setengah) botol Ciu;
Dirampas untuk dimusnahkan; 4) Membebankan pula kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
5. Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras Dasar hukum pembuktian terhadap Pembuktian Tindak Pidana Ringan Pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Keras. Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut diatur hal-hal sebagai berikut : A. Penggolongan Minuman Keras Penggolongan minuman keras berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Keras diatur pada Pasal 2 yang menegaskan sebagai berikut: 1) Minuman keras digolongkan dalam: a) Minuman beralkohol golongan A, yaitu minuman dengan kadar etanol (C2H5OH) 1% s.d 5%; b) Minuman beralkohol golongan B yaitu: minuman dengan kadar etanol (C2H5OH) diatas 5% s.d. 20%; c) Minuman beralkohol golongan C yaitu: minuman dengan kadar etanol (C2H5OH) diatas 20% s.d. 55%; 2) Minuman keras yang tidak mengandung alkohol.
74
B. Pengendalian dan Pengawasan Pasal 3 mengatur tentang larangan memproduksi, mengoplos atau membuat minuman keras kecuali seseorang atau badan hukum yang telah memiliki ijin sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku, didalam perumusan Pasal 3 sebagai berikut : 1) Dilarang memproduksi, mengoplos atau membuat minuman keras: 2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi seseorang atau badan hukum yang meemiliki ijin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 4 lebih lanjut mengatur tentang larangan mengedarkan, menjual, menimbun, membawa, menyediakan dan menyajikan minuman keras sebagai berikut: 1) Dilarang, mengedarkan, menjual, menimbun, membawa, menyediakan dan menyajikan minuman keras; 2) Larangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dikecualikan bagi : a. Usaha perdagangan minuman keras yang berlkohol yang mengandung rempah-rempah, jamu dan sejenisnya yang khusus untuk tujuan kesehatan dan atau pengobatan; b. Bagian hotel berbintang 3, 4, dan 5, restoran dengan tanda talam lencana dan talam selaka, bar, klab malam, dan diskotik, sepanjang dijual secara langsung dan diminum di tempat serta harus mendapatkan ijin Bupati. 3) Khusus bagi usaha perdagangan minuman keras sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Minuman keras yang mengendung alkohol setinggi-tingginya 10%; b. Bagi usaha perdagangan wajib memiliki Ijin Usaha Perdagangan (IUP) dan ijin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (IUPMB); c. Bagi usaha untuk penyembuhan suatu penyakit, harus dilengkapi surat Rekomendasi dari DKKS Kabupaten Banyumas.
75
Lokasi usaha perdagangan minuman keras ditentukan di tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 yang merumuskan sebagai berikut: 1) Usaha perdagangan minuman keras berlkohol sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf a harus ditempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati setelah mendapatkan persetujuan DPRD; 2) Tempat tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) dilarang berdekatan dengan tempat peribadatan, rumah sakit dan pemukiman. Minuman keras dilarang dikonsumsi di tempat umum, dan diperbolehkan untuk upacara keagamaan dengan ijin Bupati, sebagaimana diatur pada Pasal 6 sebagai berikut: 1) Dilarang meminum minuman keras dan atau mabuk ditempat umum; 2) Diperbolehkan menyediakan, menyajikan dan menggunakan minuman keras untuk kepentingan upacara keagamaan dengan ijin Bupati. Pengawasan terhadap peredaran minuman keras berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 13 Tahun 2001 ini dapat dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Bupati. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal 7 sebagai berikut: “Pelaksanaan da pengawasan terhadap Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Bupati”. C. Ketentuan Pidana
76
Ketentuan-ketentuan pidana atas tindak pidana minuman keras diatur pada Pasal 8 yang menegaskan sebagai berikut : 1) Barang siapa terbukti bersalah melanggar Pasal 3 ayat (1), diancam pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggitingginya Rp. 5.000.000.- (lima juta rupiah); 2) Barang siapa terbukti bersalah melanggar Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1), diancam dipidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.- (lima juta rupiah). Pasal 9 lebih lanjut menegaskan sebagai berikut: “Bagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) dikenakan pidana tambahan yaitu usahanya dapat ditutup dan atau barang buktinya disita untuk dimusnahkan”. B. Pembahasan Berdasarkan
hasil
penelitian
terhadap
perkara
tindak
pidana
pelanggaran ringan “Menjual dan Menyimpan serta mengedarkan Minuman keras tanpa ijin”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 4 ayat (1), (3) a, jo Pasal 8 ayat (2) Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001, tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Putusan Nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt dan dengan melakukan studi pustaka serta wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang berhubungan dengan obyek penelitian, wawancara terhadap Jaksa pada Kejaksaan Negeri Purwokerto dan Penyidik Polisi pada Kepolisian Resor Banyumas.
77
1. Pembuktian tindak pidana ringan menjual dan menyimpan serta mengedarkan minuman keras tanpa ijin dalam Putusan Nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt. Pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam hukum acara pidana, sebab apabila terjadinya kesalahan dalam proses pembuktian maka putusan akan jatuh dari kebenaran dan keadilan dalam menegakkan hukum. Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.71 Bambang poernomo, dalam bukunya yang berjudul pokok-pokok tata cara peradilan pidana di Indonesia dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan tentang arti hukum pembuktian sebagai berikut: Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan atau hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam hukum yang berlaku, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Kegiatan pembuktian diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran mutlak sukar ditemukan. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejakan, kesan dan refleksi dari keadaan dan/atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan, berkaitan dengan masa lalu yang diduga menjadi tindak pidana.
71
R. Subekti. Op.Cit. Hal. 1
78
Definisi pembuktian juga dijelaskan oleh Martiman Prodjoharmijo, adalah sebagai berikut: “(membuktikan) mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Baik dalam proses acara pidana maupun perdata diperlukan adanya pembuktian, yang memegang peranan penting”.72 Menurut M Yahya Harahap yang dimaksud dengan pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi pengarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.73 Dalam arti yuridis, Pembuktian yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.74 Sementara itu Darwin Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terbukti dan terdakwa bersalah melakukan perbuatan itu, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.75 Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian pembuktian secara umum adalah 1. Proses, cara, perbuatan membuktikan; 2. Usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang 72
Martiman Prodjohamidjojo. Op.Cit. Hal. ii M.Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 252 74 Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. Hal. 35 75 Darwan Prinst. Op.Cit. Hal. 137 73
79
pengadilan.76 Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.77 Hukum acara pidana merupakan suatu sistem dan hukum pembuktian adalah bagian dari sistem tersebut. Sistem berasal dari istilah sistem yang berarti sesuatu yang terorganisir, suatu keseluruhan kompleks. Berdasarkan hal tersebut,
sistem hukum pembuktian dapat diartikan sebagai suatau
keseluruhan dari unsur-unsur hukum. Hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh-pengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan.78 Dalam hukum acara pidana, dikenal dengan beberapa sistem pembuktian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa, Adapun macammacam sistem pembuktian yang dikenal dalam hukum acara pidana, antara lain yaitu sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian negatif merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang 76
http://kamusbahasaindonesia.org/pembuktian diunduh tanggal 7 Maret 2012 Hari Sasangka dan Lily Rosita. Op.Cit. Hal. 10 78 Enong Maryani.Op.Cit. Hal. 45 77
80
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang. Di indonesia sendiri menganut sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP yang isinya: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”. Pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui pikiran yang logis terhadap fakta-fakta masa yang tidak terang menjadi terang yang berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan. Ketentuan tersebut menjadikan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana keapada seseorang, apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan dengan itu hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana tersebut apakah benar-benar terjadi dan terdakwa benar-benar terbukti melakukan apa yang didakwakan ataupun dakwaan tersebut tidak benar terjadi (Pasal 183 KUHAP). Pembuktian tersebut harus didasarkan kepada KUHAP yaitu alat bukti yang sah terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Setiap pembuktian baik polisi,
81
jaksa, dan hakim harus memperhatikan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat dan tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata karena akan menjadikan pembuktian yang dilakukan menjadi tidak objektif seperti apa yang tercermin dalam KUHAP . Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu : a. b. c. d. e.
Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa
Dari alat bukti diatas, didalam pembuktian hakim dapat memperoleh kebenaran materil dari kejadian yang terjadi dan pembuktian dengan alat bukti tersebut, disamping pembuktian yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, hakim haruslah mempunyai keyakinan didalam mempertimbangkan menyusun Putusan terhadap terdakwa. Dalam Pasal 183 KUHAP merumuskan sebagai berikut : "hakim tidak boleh
menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu:79 a) Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
79
Supriyadi Widodo Eddyono. Op.Cit. Hal. 3
82
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut : Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten. b) Kewajiban seorang saksi Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang merumuskan: Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli. c) Satu saksi bukan saksi (unus testis nulus testis). Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: "Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu gat bukti yang sah". d) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku
83
diIndonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. e) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri. Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa : "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diakui terdakwa sendiri.
Melalui hasil penelitian terhadap putusan perkara Nomor 22/Pid.R/PN.Pwt di dalam pembuktian yang menggunakan sistem acara pemeriksaan cepat dapat diketahui bahwa Tentang prosedur acara pemeriksaan cepat di Pengadilan Purwokerto intinya menerangkan sebagai berikut : a. Pengadilan Menentukan Hari Sidang Tindak Pidana Ringan Pengadilan Negeri menentukan hari-hari tertentu yang khusus untuk melayani pemeriksaan dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Menurut Pasal 206 KUHAP hari-hari tertentu untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yaitu satu hari dalam satu minggu. Hari-hari tersebut diberitahukan kepada penyidik supaya penyidik mengetahui dan dapat mempersiapkan pelimpahan berkas perkara. Setelah persiapan berkas perkara semua telah lengkap penyidik langsung melimpahkan berkas
84
perkara ke Pengadilan Negeri. Di dalam pemeriksaan Pengadilan Negeri Purwokerto
melalui
Penetapan
ketua
pengadilan
Nomor:22
/Pid.R/2010/PN.Pwt. menetapkan pemeriksaan cepat untuk disidangkan pada hari Selasa, tanggal 31 Agustus 2010. b. Pelimpahan Perkara Dilakukan Penyidik Atas Kuasa Penuntut Umum Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan, langsung dilimpahkan penyidik ke Pengadilan tanpa melalui penuntut umum. Pelimpahan langsung yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan yang mengharuskan penyidik melimpahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, dan untuk seterusnya penuntut umum yang berwenang melimpahkannya ke pengadilan dalam kedudukannya sebagai aparat penuntut. Akan tetapi, dengan adanya ketentuan khusus yang diatur dalam Pasal 205 ayat (2) KUHAP, prosedur ketentuan umum itu dikesampingkan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ringan. Dengan demikian, dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ringan: a. Penyidik mengambil alih wewenang penuntut umum, atau wewenang penuntut umum sebagai aparat penuntut dilimpahkan Undang-undang kepada penyidik; b. Dengan melimpahkan wewenang tersebut kepada penyidik “atas kuasa” penuntut umum: 1) Melimpahkan berkas perkara langsung ke Pengadilan tanpa melalui aparat penuntut umum;
85
2) Berwenang langsung menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan juru bahasa yang diperlukan ke sidang pengadilan; 3) Pelimpahan atas kuasa penuntut umum kepada penyidik dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan adalah “demi hukum”. Berdasarkan penegasan penjelasan Pasal 205 ayat (2) KUHAP yang dimaksud “atas kuasa” dari penuntut umum kepada penyidik adalah “demi hukum”. Hal ini menyebabkan penyidik dalam hal ini bertindak atau “kuasa undang-undang”, dan tidak memerlukan surat kuasa khusus lagi dari penuntut umum; 4) Tidak mengurangi hak penuntut umum untuk menhadiri pemeriksaan sidang. Walaupun undang-undang telah menyerahkan wewenang pelimpahan berkas dan menghadapkan orang-orang yang diperlukan ke sidang pengadilan oleh penyidik atas kuasa penuntut umum, tidak menghilangkan hak penuntut umum untuk menghadiri pemeriksaan di sidang pengadilan. Hanya saja sesuai dengan penjelasan Pasal 205 ayat (2) alinea kedua KUHAP, kehadiran penuntut umum di sidang pengadilan tidak mengurangi nilai “atas kuasa” tersebut. Undangundang
tidak
melarang
penuntut
umum
menghadiri
proses
pemeriksaan. Namun kehadirannya itu tidak berarti apa-apa. Tidak ubahnya hanya sebagai pengunjung biasa tanpa wewenang apapun untuk mencampuri jalannya persidangan.
Melalui hasil penelitian terhadap perkara ini yang dilakukan di Pengadilan
Negeri
Purwokerto
terhadap
perkara
Nomor:
86
22/Pid.R/2010/PN.Pwt, diketahui adanya pengiriman berkas pada tanggal 31 Agustus 2010 dari Kepolisian Resor Banyumas Sektor Purwokero Selatan dengan Nomor B/197/VIII/2010/Polsek Pwt Sltn perihal pengiriman berkas tindak pidana ringan dengan dengan terdakwa “YSN” kepada Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto yang bertempat di Purwokerto dan dalam surat tersebut tembusan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Purwokerto agar mengetahui adanya pengiriman berkas tindak pidana ringan. Dari surat pengiriman tersebut berisi tentang dalam perkara tindak pidana ringan menjual miras (minuman keras) tanpa ijin dan kandungan alkoholmya melebihi 10%, sebagaimana melanggar Pasal 4 ayat (1), (3), a, b junto Pasal 8 ayat (2) Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 tahun 2001 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras. Melalui pengiriman berkas tindak pidana ringan tersebut telah jelas kita mendapat kesimpulan bahwa dalam proses pemeriksaan tindak pidana ringan yang dilakukan oleh penyidik “atas kuasa” penuntut umum berwenang langsung menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa yang diperlukan ke sidang pengadilan sehingga penyidik dalam hal ini bertindak atas “kuasa undang-undang” dan tidak memerlukan surat kuasa khusus lagi dari penuntut umum. Tetapi tidak mengurangi hak penuntut umum juga untuk menghadiri pemeriksaan sidang, walaupun undang-undang telah menyerahkan wewenang pelimpahan berkas dan menghadapkan orang-orang yang diperlukan ke sidang pengadilan oleh penyidik “atas kuasa” penuntut
87
umum, tidak menghilangkan hak penuntut umum untuk menghadiri pemeriksaan di sidang pengadilan. c. Dalam Waktu Tiga Hari, Penyidik Menghadapkan Segala Sesuatu Yang Diperlukan Ke Sidang. Penyidik atas kuasa penuntut umum berwenang untuk langsung menghadapkan terdakwa, barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa ke sidang pengadilan. Waktu untuk menghadirkan orang-orang dan barang bukti tersebut telah ditetapkan oleh Pasal 205 ayat (2) KUHAP yaitu tiga hari terhitung sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat. Jadi dalam waktu 3 hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, penyidik penyidik menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan juru bahasa yang diperlukan ke sidang pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menegaskan apakah waktu tiga hari itu merupakan batas minimum, atau batas maksimum ataukan memang harus dalam waktu tiga hari tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari tiga hari. Meskipun Undang-Undang tidak menegaskan maksud dari “dalam waktu tiga hari” merupakan batas minimum tetapi didasarkan atas konsistensi penegakan ketentuan ini yang diatur dalam Pasal 152 ayat (2) KUHAP yaitu menegaskan panggilan kepada terdakwa dan saksi harus diterima dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 3 hari sebelum sidang dimulai maka tenggang waktu dalam Pasal 205 ayat (2) KUHAP adalah batas waktu minimum. Sehingga penyidik tidak dibenarkan
88
menghadapkan terdakwa dan saksi dalam pemeriksaan dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan kurang dari 3 hari sebelum sidang dimulai. Menghadapkan terdakwa dalam waktu 1 (satu) atau 2 (dua) hari sebelum sidang dimulai.Bertentangan dengan jiwa yang terkandung dalam Pasal 205 ayat (2) jo Pasal 164 ayat (2) jo. Penjelasan Pasal 152 ayat (2) KUHAP. Lebih dari 3 (tiga) hari boleh, tetapi kurang dari 3 (tiga) hari harus dianggap tidak sah. Misalnya 10 (sepuluh) hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, dapat dibenarkan, karena dalam hal seperti ini lebih 3 (tiga) hari. Yang tidak sah jika kurang dari 3 (tiga) hari. Didalam praktiknya di Pengadilan Negeri Purwokerto sebelum sidang pemeriksaan acara cepat terhadap perkara pelanggaran tindak pidana ringan, Penyidik melakukan koordinasi kepada Pengadilan Negeri Purwokerto terlebih dahulu dalam waktu 3 (tiga) hari mengenai persiapan sejak sebelum dan sesudah berita acara pemeriksaan selesai dibuat, penyidik menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan juru bahasa yang diperlukan ke sidang pengadilan. d. Perkara Yang Diterima Segera Disidangkan Pada Hari Itu Juga Semua perkara tindak pidana ringan yang diterima pengadilan pada hari itu, harus segera disidangkan pada hari itu juga. Demikian ditegaskan oleh Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP. Namun dalam Pasal tersebut tidak memuat sanksi dan tidak pula mengatur tata cara penyelesaian tindak pidana ringan yang tidak disidangkan atau yang kebetulan tidak dapat disidangkan pada hari itu juga.
89
Melalui hasil penelitian terhadap perkara ini yang dilakukan di Pengadilan
Negeri
22/Pid.R/2010/PN.Pwt,
Purwokerto diketahui
terhadap
setelah
perkara
persiapan
berkas
Nomor: perkara
pelanggaran tindak pidana ringan semua telah selesai dan kemudian adanya pengiriman berkas pada tanggal 31 Agustus 2010 dari Kepolisian Resor Banyumas Sektor Purwokero Selatan dengan Nomor B/ 197/VIII/2010/Polsek Pwt Sltn perihal pengiriman berkas Tindak pidana ringan dengan dengan terdakwa “YSN” kepada Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto yang bertempat di Purwokerto dan dalam surat tersebut tembusan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Purwokerto agar mengetahui adanya pengiriman berkas tindak pidana ringan. Pengadilan Negeri Purwokerto Setelah membaca berkas perkara tindak pidana ringan dari penyidik/Kepala Kepolisian Sektor Purwokerto Selatan Nomor : B/ 197/VIII/2010/Polsek Pwt Sltn pada tanggal 31 Agustus 2010 dan menimbang bahwa perkara tersebut termasuk wewenang Pengadilan Negeri Klas 1B Purwokerto dengan acara pemeriksaan cepat untuk disidangkan pada hari : Selasa, tanggal 31 Agustus 2010 yang ditetapkan dan ditandatangani oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto Klas 1B yang bernama Permadi Widhyatno, S.H.,M.Hum. e. Cara Pemberitahuan Sidang Kepada Terdakwa Dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a KUHAP, panggilan terdakwa untuk menghadap sidang pada hari yang ditentukan dilakukan dengan: 1) Pemberitahuan tertulis;
90
2) Pemberitahuan itu memuat tentang hari, tanggal, jam dan tempat sidang; 3) Catatan pemberitahuan bersama berkas dikirimkan ke pengadilan. Menurut
penjelasan
Pasal
207
ayat
(1)
huruf
a
KUHAP,
pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajibannya untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, tanggal, jam dan tempat yang ditentukan. Dalam hal pemberitahuan sidang terhadap terdakwa, melalui pemberitahuan pemanggilan penyidik kepada terdakwa atas nama “YSN” dan surat penetapan dari Wakil Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto agar terdakwa dapat memenuhi kewajiban untuk datang ke sidang Pengadilan pada hari, tanggal, jam, dan tempat yang ditentukan.
f. Pengajuan Perkara Tanpa Surat Dakwaan Pengajuan dan pemeriksaan perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan adalah tanpa surat dakwaan. Surat dakwaan sudah dianggap tercakup dalam catatan buku register. Maka sesuai dengan pasal 207 ayat (2) huruf b KUHAP, buku register perkara dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan memuat: -
Nama lengkap
: “YSN”
-
Tempat lahir
: Solo
-
Umur (tanggal lahir)
: 54 Tahun
-
Jenis kelamin
: Perempuan
-
Kebangsaan
: Indonesia
91
-
Tempat tinggal
: Jalan Hos Notosuwiryo RT.02/14 Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas
-
Agama
: Katholik
-
Pekerjaan terdakwa
: Dagang
-
Tindak pidana yang didakwakan : Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat (2) Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas No. 13 Tahun 2001, tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras.
Ketentuan ini memberi kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat penuntut umum seperti yang ada dalam acara pemeriksaan biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut pada Pasal 207 ayat (2) huruf a. KUHAP.
g. Pemeriksaan Dengan Hakim Tunggal Hal ini ditegaskan dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP. Pemeriksaan perkara dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, pengadilan mengadilinya dengan “hakim tunggal”. Pengadilan Negeri Purwokerto Setelah membaca berkas perkara tindak pidana ringan dari penyidik/Kepala Kepolisian Sektor Purwokerto Selatan Nomor : B/ 197/VIII/2010/Polsek Pwt Sltn pada tanggal 31 Agustus 2010 dan menimbang bahwa perkara tersebut termasuk wewenang Pengadilan Negeri Klas 1B Purwokerto ditetapkan dan ditandatangani oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto Klas 1B yang bernama Permadi Widhyatno,
92
S.H., M.Hum. Dengan menetapkan sebagai Hakim Tunggal bernama Sudira,S.H. untuk memeriksa dan mengadili perkara Terdakwa “YSN” Register Nomor 22 / Pid.R / 2010 / PN.Pwt. dengan acara pemeriksaan cepat untuk disidangkan pada hari : Selasa, tanggal 31 Agustus 2010.
h. Saksi Tidak Mengucapkan Sumpah Sesuai dengan ketentuan Pasal 208 KUHAP, saksi yang memberikan keterangan dalam sidang pengadilan tanpa mengucapkan sumpah atau janji. Dengan adanya pasal ini, dapat dikatakan bahwa alat bukti keterangan terdakwa memegang peranan penting sebagai alat bukti yang sempurna dan menentukan. Jika terdakwa mengaku tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, sudah cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Namun jika terdakwa tidak mengakui (mangkir) maka diperlukan pembuktian dengan alat bukti lain berupa saksi, surat atau petunjuk. Bertitik tolak pada pemikiran ini, sebaiknya hakim yang memeriksa perkara dalam acara tindak pidana ringan mengikuti saja kalimat terakhir Pasal 208 KUHAP yang mengatakan saksi sebelum memberi keterangan mengucapkan sumpah atau janji “jika itu dianggap perlu oleh
hakim”.
Anggap saja pengucapan sumpah atau janji itu “Perlu” demi untuk menjamin kejujuran dan moralitas saksi yang dilandasi dengan sumpah atau janji. Melalui hasil penelitian terhadap putusan perkara ini dapat diketahui bahwa hakim memberitahukan di depan persidangan bahwa walaupun ini perkara pidana ringan, Saksi-saksi diminta untuk terlebih dahulu disumpah dengan maksud untuk
memperkuat
keterangan Saksi-saksi
tersebut.
93
Selanjutnya Hakim menghadirkan keterangan saksi di persidangan yaitu 2 orang keterangan saksi yang tidak mengucapkan sumpah / janji yaitu antara lain : Mahmudi sebagai Saksi ke – 1: Umur 46 Tahun, Agama : Islam, Pekerjaan : Polri, Alamat : Polsek Purwokerto Selatan. Rodiman sebagai saksi ke – 2 : Umur : 48 Tahun, Agama : Islam, Pekerjaan : Polri, alamat : Polsek Purwokerto Selatan. i. Berita Acara Sidang tidak dimuat Sesuai dengan ketentauan Pasal 209 ayat (2) KUHAP dalam pemeriksaan perkara acara tindak pidana ringan, panitera tidak diwajibkan membuat berita acara sidang. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan tanpa membuat berita acara sidang. Pasal 209 ayat (2) KUHAP merumuskan sebagai berikut : “Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.” Ketentuan ini tidak begitu berbeda dengan pembuatan berita acara sidang yang diatur dalam Pasal 202 KUHAP. Jika diperhatikan bunyi Pasal 202 ayat (2) KUHAP hampir sama maksudnya dengan Pasal 209 ayat (2) KUHAP, sebab pada Pasal 202 ayat (2) KUHAP pun pembuatan berita acara atau pencatatan keterangan terdakwa atau saksi pada prinsipnya hanya diperlukan sepanjang hal yang benar-benar berbeda dan tidak bersesuaian dengan berita acara yang dibuat oleh penyidik.
94
Didalam pemeriksaan terhadap acara pemeriksaan cepat pada penelitian terhadap putusan perkara ini dapat diketahui adanya pembuatan berita acara sidang dalam peradilan tingkat pertama yang diselenggarakan di ruang sidang Pengadilan Negeri Purwokerto tersebut pada hari Selasa, tanggal 31 Agustus 2010 pada pukul 09:00 WIB : dalam pemeriksaan Terdakwa, “YSN” dalam susunan persidangan Sudira, S.H., sebagai Hakim tunggal, dan Jumilah, S.H. sebagai Penitera Pengganti. Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh Hakim selanjutnya diperintahkan kepada Penyidik selaku kuasa Penuntut Umum untuk menghadapkan terdakwa supaya masuk ke ruang sidang. Setelah terdakwa masuk dan menghadaip dimuka persidangan, Hakim kemudian menanyakan identitas dari terdakwa atas pertanyaan hakim kepada Terdakwa, terdakwa mengaku bernama: “YSN”. Tempat lahir : Solo, Umur 55 Tahun, Jenis Kelamin : Perempuan, Kebangsaan : Indonesia, Alamat/tempat tinggal : Jalan Hos Notosuwiryo RT. 02/04 kelurahan teluk kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, Agama : Katholik, Pekerjaan : Dagang, Terdakwa tidak ditahan. Selanjutnya
Hakim
bertanya
kepada
terdakwa
apakah
pada
persidangan hari ini dalam keadaan sehat lalu terdakwa menerangkan bahwa dalam persidangan ini ia dalam keadaan sehat serta siap mengikuti jalannya persidangan. Hakim kembali bertanya kepada terdakwa apakah dalam pemeriksaan perkara ini akan dihadapi sendiri atau akan didampingi oleh Penasihat Hukum,
95
atas pertanyaan Hakim lalu terdakwa menyatakan bahwa perkaranya akan dihadapi sendiri. Kemudian Penyidik sebagai kuasa Penuntut Umum membacakan surat catatan
Penyidik/Berita
Acara
Tindak
Pidana
Ringan,
No.Pol
:
TPR/37/VIII/2010/SAMAPTA, tertanggal 30 Agustus 2010 yang dibuat oleh Penyidik pada Polsek Purwokerto Selatan yaitu tentang uraian Tindak Pidana Ringan bahwa pada hari Kamis, Tanggal 27 Agustus 2010, jam 21:30 WIB ketika melaksanakan tugas dinas malam, menerima telepon dari masyarakat yang intinya menginformasikan bahwa di jalan Hos Notosuwiryo RT 02/14 kelurana Teluk, kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas ada orang yang berjualan miras, setelah di cek ternyata benar dan telah menangkap/mendapatkan Sdr. “YSN” (terdakwa), bertempat di jalan Hos Notosuwiryo RT 02/14 Kelurahan Teluk, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas yang telah melakukan kejahatan/pelanggaran Pasal 4 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras, Pasal 4 ayat (1) yaitu menjual dan menyimpan serta mengedarkan Minuman keras tanpa ijin. Dalam persidangan diajukan barang bukti berupa: -
1,5 (satu setengah) botol ciu; Selanjutnya hakim bertanya kepada Penyidik apakah saksi-saksi yang
akan diperisa sudah hadir dan siap untuk diperisa, atas pertanyaan Hakim lalu Penyidik Mahmudi sebagai Saksi ke - 1 dan Rodiman sebagai saksi ke – 2 yang masing-masing terlebih dahulu disumpah dengan maksud untuk
96
memperkuat keterangan Saksi-saksi tersebut pada intinya menerangkan sebagai berikut : 1. Mahmudi : Umur 46 Tahun, Agama : Islam, Pekerjaan : Polri, Alamat: Polsek Purwokerto Selatan. dipersidangan dibawah sumpah menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terdakwa “YSN” 2) Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terhadap terdakwa pada Hari Kamis, tanggal 27 Agustus 2010, jam 21.30 Wib, di Rumahnya Jalan Hos Notosuwiryo RT. 02/14, kelurahan Teluk kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas; 3) Bahwa saksi menangkap terdakwa karena terdakwa melakukan tindak pidana “Menjual dan Menyimpan serta Mengedarkan Minuman keras tanpa ijin dan menjual daging anjing; 4) Bahwa saksi atas dasar telepon dari masyarakat yang intinya menginformasukan bahwa jalan Hos Notosuwiryo RT 02/14 Kelurahan
Teluk
Kecamatan
Purwokerto
Selatan,
Kabupaten
Banyumas ada orang yang berjualan minuman keras; 5) Bahwa saksi setelah mengetahui laporan masyarakat langsung mengecek di tempat kejadian dan ternyata benar ada keributan sekitar 30 (Tiga Puluh) warga sudah berkumpul di rumah terdakwa; 6) Bahwa saksi mengetahui adanya kejadian keributan di rumah terdakwa karena di rumah terdakwa dibuat mabuk-mabukan dan pesta makan daging anjing sehingga menggangu warga sekitarnya;
97
7) Bahwa saksi pada saat mengecek kejadian saksi sendiri karena saksi dibel warga sedang dinas di luar di Pancurawis, kemudian saksi menghubungi teman saksi untuk melapor ke tempat kejadian; 8) Bahwa saksi mengetahui yang datang di tempat kejadian tersebut bernama Bripka Rodiman, Bripka Made, dan Bripka Marno dan komandannya bernama Aiptu Triyono; 9) Bahwa saksi melalui operasi “Candi” yang merupakan operasi Minuman Keras (Miras), Psk, Gepeng, Anjal dan Premanis; 10) Bahwa
saksi
melakukan
penangkapan
penangkapan
terdakwa
menemukan barang-barang 1,5 (satu setengah) botol Ciu; 11) Bahwa saksi menemukan barang bukti berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu di dapur terdakwa; 12) Bahwa saksi mengetahui terdakwa dalam menjual minuman keras tidak ada ijinnya; 13) Bahwa saksi mengetahui bahwa terdakwa pernah juga melakukan perbuatan ini sebelumnya. 2. Rodiman : Umur : 48 Tahun, Agama : Islam, Pekerjaan : Polri, alamat: Polsek Purwokerto Selatan. dipersidangan dibawah sumpah menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa saksi pernah melakukan penangkapan terhadap terdakwa ”YSN”; 2) Bahwa saksi melakukan penangkapan terdakwa pada hari Kamis, Tanggal 27 Agustus 2010 jam 21:30 WIB, di rumahnya Jalan Hos
98
Notosuwiryo RT. 02/14, Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas; 3) Bahwa saksi melakukan penangkapan perkara terdakwa melakukan tindak pidana Menjual dan Menyimpan serta Mengedarkan Minuman keras tanpa ijin; 4) Bahwa saksi mengetahui yang datang di tempat kejadian tersebut bernama Bripka Rodiman, Bripka Made, dan Bripka Marno dan komandannya bernama Aiptu Triyono; 5) Bahwa saksi melalui operasi “Candi” yang merupakan operasi Minuman Keras (Miras), Psk, Gepeng, Anjal dan Premanis; 6) Bahwa saksi mengetahui kalau terdakwa menjual Minuman Keras dari telepo Bripka Mahmudi dan menurut Bripka Mahmudi ada informasi dari masyarakat untuk selanjutnya ditindaklanjuti; 7) Bahwa saksi menemukan barang bukti berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu di dapur terdakwa; 8) Bahwa saksi mengetahui terdakwa dalam menjual minuman keras tidak ada ijinnya; 9) Bahwa saksi mengetahui bahwa terdakwa pernah juga melakukan perbuatan ini sebelumnya. Selanjutnya hakim bertanya kepaada Terdakwa tentang bagaimana keterangan kedua saksi, lalu Terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan atas keterangan kedua Saksi tersebut.
99
Setelah saksi-saksi selesai diperiksa selanjutnya Hakim mengajikan pertanyaan kepada Terdakwa dan pertanyaan Hakim, terdakwa “YSN” yang pada intinya memberikan jawaban sebagai berikut : 1) Bahwa terdakwa ditangkap pada hari Kamis, Tanggal 27 Agustus 2010 jam 21:30 WIB, di rumahnya jalan Hos Jalan Hos Notosuwiryo RT. 02/14, Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas; 2) Bahwa terdakwa ditangkap oleh petugas karena Menjual Minuman Keras jenis Ciu; 3) Bahwa terdakwa ditangkap oleh Pak Mahmudi, Pak Rodiman, Pak RT Wasis, warga dan anak-anak warga sekitar; 4) Bahwa terdakwa pada saat ditangkap petugas menemukan barangbarang jenis minuman keras berupa 1,5 (satu setengah) botol ciu; 5) Bahwa terdakwa mengetahui petugas menemukan barang bukti tersebut di dapur terdakwa; 6) Bahwa terdakwa mengetahui barang tersebut dilarang; 7) Bahwa terdakwa mendapatkan Ciu dari Solo dengan cara membeli harga Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) sekitar 1 (satu) minggu sebelum kejadian; 8) Bahwa terdakwa pada saat ditangkap sedang ada tamu dari ajibarang sebanyak 3 (tiga) orang yang sudah mabuk pada saat datang dengan membawa daging anjing yang sudah masak dibeli dari Terminal Purwokerto;
100
9) Bahwa terdakwa mengetahui tamu tersebut sedang mabuk di rumah terdakwa karena sebenarnya tamu terdakwa tujuannya mau karaoke di Chery’s (tempat karaoke) tetapi sambil menunggu teman yang lain datang dan daging anjing dimakan dirumah terdakwa karena alasan jika di makan di Chery’s tidak boleh; 10) Bahwa terdakwa mengetahui tidak memperolh ijin menjual minuman keras; 11) Bahwa terdakwa sudah pernah ditangkap 2 (dua) kali ini; 12) Bahwa terdakwa juga pernah dihukum hukumannya 1 (satu) bulan kurungan dengan masa percobaan 2 (dua) bulan; 13) Bahwa terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Setelah
melakukan
pemeriksaan
terhadap
terdakwa,
Hakim
menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap perkara ini telah selesai dan selanjutnya akan menjatuhkan putusan dan sebelum hakim menjatuhkan putusannya hakim menanyakan apakah dari terdakwa ada hal-hal yang perlu disampaikan kemudian lalu terdakwa menyatakan cukup; Hakim menyatakan bahwa oleh karena terdakwa sudah tidak mengajukan sesuatunya lagi maka hakim selanjutnya akan menjatuhkan putusannya. j. Putusan Dalam Acara Tindak Pidana Ringan Putusan dalam pemeriksaan perkara acara tindak pidana ringan tidak dibuat secara khusus dan tersendiri seperti putusan perkara dengan acara
101
biasa. Putusan tersebut juga tidak dicatat dan disatukan dalam berita acara sidang seperti yang berlaku dalam perkara pemeriksaan dengan acara singkat. Mengenai sifat putusan dalam acara pemeriksaan ringan, disebutkan dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP yang merumuskan antara lain: “Pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir” yang berarti Putusan Pengadilan Negeri dalam memutus perkara dengan acara tindak pidana ringan sekaligus bertindak sebagai peradilan instansi pertama dan terakhir. Atas dasar sifat Putusan tersebut, tidak dapat diajukan permintaan banding. Jika terdakwa keberatan atas putusan, upaya hukum yang dapat ditempuh hanya bisa mengajukan permintaan kasasi. Terdakwa mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, sebagai instansi yang berwenang memeriksa perkara putusan pidana yang dijatuhkan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain Mahkamah Agung. Terhadap putusan perampasan kemerdekaan terdakwa dapat diajukan upaya hukum banding, hal ini diatur didalam ketentuan Pasal 205 ayat (3) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut : Dalam hal dijatuhkan “pidana perampasan kemerdekaan”, terdakwa dapat meminta banding. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Putusan perkara dalam pemeriksaan acara tindak pidana ringan seperti putusan hanya berupa denda tidak dapat diajukan banding. Akan tetapi jika putusan yang diajukan berupa pidana perampasan kemerdekaan misalnya putusan penjara atau kurungan, terdakwa dapat meminta banding.
102
Didalam pemeriksaan terhadap acara pemeriksaan cepat pada penelitian terhadap putusan perkara ini dapat diketahui hakim Putusan Nomor 22/Pid.R/2010/PN.Pwt pada hari Selasa tanggal 31 Agustus 2010 memutus atas nama terdakwa “YSN” berupa pidana kurungan selama 5 (lima) hari. Adapun bunyi putusannya sebagai berikut : a. Dasar Pertimbangan Hakim Menimbang, Bahwa terdakwa telah dituduh melakukan perbuatan pidana “Menjual dan Menyimpan serta mengedarkan Minuman keras tanpa ijin”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras; Menimbang bahwa dipersidangan telah diajukan barang bukti berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu; Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Saksi Mahmudi dan Saksi Rodiman, benar bahwa Saks-saksi telah melakukan penangkapan terhadap Terdakwa pada hari Kamis, Tanggal 27 Agustus 2010, jam 21:30 WIB, di rumahnya jalan Hos Notosuwiryo RT.02/14 Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas; Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Saksi-saksi benar bahwa Saksi-saksi melakukan penangkapan atas dasar telepon dari masyarakat yang intinya menginformasikan bahwa di jalan Hos Notosuwiryo RT.02/14 Kelurahan Teluk Kecamatan Purwokerto Selatan,
103
Kabupaten Banyumas ada orang yang berjualan miras untuk selanjutnya ditindak lanjuti; Menimbang bahwa benar Saksi-saksi pada waktu melakukan penangkapan terhadap terdakwa ini, Saksi-saksi menemukan barangbarang berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu yang kadar alkoholnya lebih dari 10%; Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Saksi-saksi dan dikuatkan dengan keterangan terdakwa dipersidangan bahwa terdakwa dalam berjualan minuman keras ini tidak ada ijin dari Pejabat yang berwenang dan menurut keterangan Saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa sendiri dipersidangan bahwa Terdakwa sebelumnya pernah juga ditangkap karena melakukan perbuatan kejahatan/pelanggaran yang sama sebanyak 1 (satu) kali; Menimbang, bahwa Terdakwa sebelumnya juga pernah ditangkap dan perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri Purwokerto karena melakukan perbuatan kejahatan/pelanggaran sebagaimana diatur dan diancam Pasal 4 ayat (1), (3) a, jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001, tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras dengan hukuman Percobaan; Menimbang, bahwa oleh karena hukuman Percobaan tersebut, Terdakwa tidak juga jera dan masih tetap mengulangi perbuatannya lagi
104
maka Hakim akan memberikan putusannya yang lebih memberatkan bagi Terdakwa yaitu dengan pidana kurungan; Menimbang bahwa sebelum Hakim menjatuhkan putusan maka perlu memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan atas diri Terdakwa; Hal-hal yang memberatkan : -
Terdakwa sudah pernah dihukum karena telah melakukan perbuatan tersebut dalam perkara yang sama;
-
Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat disekitar lokasi kejadian perkara.
Hal-hal yang meringankan : -
Terdakwa
mengaku
terus
perbuatannya
sehingga
dapat
memperlancar jalannya persidangan; -
Terdakwa seorang perempuan yang mempunyai suami dan anakanak yang perlu diperhatikan.
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas No. 13 Tahun 2001, tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras; 2. Undang-undang Nomor 8 Thun 1981 tentang KUHAP; 3. Pasal-pasal dari Undang-undang yang bersangkutan.
105
b. Amar Putusan Berdasarkan sebagaimana
yang
pertimbangan diatas
-
dalam
pertimbangan perkara
hakim
Putusan
tersebut
Nomor
:
22/Pid.R/2010/PN.Pwt, maka hakim memutuskan sebagai berikut: 1) Menyatakan Terdakwa “YSN” telah tebukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MENJUAL DAN MENYIMPAN SERTA MENGEDARKAN MINUMAN KERAS”; 2) Menghukum terdakwa “YSN” oleh karena itu dengan Pidana Kurungan selama 5 (Lima) hari; 3) Menetapkan barang bukti berupa: -
1,5 (satu setengah) botol Ciu; Dirampas untuk dimusnahkan;
4) Membebankan pula kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah). Setelah dijatuhi putusan tersebut berupa putusan kurungan 5 (lima) hari, Terdakwa menyatakan mengajukan upaya hukum banding melalaui akta permintaan Banding dari terdakwa Nomor : 14/Akta.Pid/2010/PN.Pwt. tertanggal 6 September 2010 karena putusan tersebut berupa pidana perampasan kemerdekaan berupa hukuman kurungan.
2. Alasan-alasan mengapa pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor
22/Pid.R/2010/PN.Pwt
kemerdekaan terhadap terdakwa.
menjatuhkan
putusan
perampasan
106
Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus). Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari : 1) Pidana pokok berupa : - Pidana mati; - Pidana penjara; - Pidana kurungan; - Pidana denda; - Pidana tutupan. 2) Pidana tambahan berupa : - Pencabutan beberapa hak tertentu; - Perampasan barang-barang tertentu; - Pengumuman putusan hakim. Berdasarkan rumusan Pasal 10 KUHP diatas, maka terlihat bahwa dalam sistem hukum pidana pidana di Indonesia sekarang ini dikenal tiga jenis pidana perampasan kemerdekaan. Ketiga jenis pidana perampasan kemerdekaan tersebut masing-masing adalah : a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana tutupan Definisi Perampasan kemerdekaan tidak diatur secara tegas oleh KUHAP, untuk itu Perampasan kemerdekaan menurut arti kata80 dibagi dua kata yaitu kata Perampasan dan Kemerdekaan, maka Pengertian dari Perampasan yaitu: 1. Proses, cara, perbuatan merampas, perebutan; 2. Penyamunan; 3. Penyitaan. 80
Artikata.com yang diunduh pada tanggal 25 Mei 2012 pukul 19:00 WIB
107
Sedangkan pengertian Kemerdekaan yaitu : keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dsb), kebebasan adalah hak segala bangsa. Dengan pidana perampasan kemerdekaan dimaksud adalah pidana yang merampas dan/atau membatasi kemerdekaan seorang narapidana. Termasuk dalam jenis pidana perampasan kemerdekaan antara lain pidana penjara, pidana tutupan dan pidana kurungan. Apabila ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai dengan penerapan pidana perampasan kemerdekaan tersebut, Herman G. Moeller berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang saling bertentangan dari segi filosofis, diantaranya: 1. Bahwa tujuan dari penjara, pertama adalah menjamin pengamanan narapidana, dan kedua adalah memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi; 2. Bahwa hakekat dari fungsi penjara tersebut di atas seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat.81 Sehubungan dengan hal di atas, Berners dan Teeters menyatakan : “penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab di tempat ini penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan personil yang paling baikpun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini”.82 Maksud pidana perampasan kemerdekaan adalah dengan pidana perampasan kemerdekaan itu dapat dilakukan pembinnaan. Sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang lebih baik
81
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Hal. 78. Alumni Bandung 82 Ibid, Hal. 79-80
108
dan
sebelumnya.
Namun,
dalam
kenyataannya
makin
lama
pidana
penjara/kurungan dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi narapidana secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah pelaku/terpidana keluar dari penjara/kurungan. Beberapa dampak negatif pidana perampasan terhadap kemerdekaan narapidana antara lain : a. Seseorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Permasyarakatan (loss of Personalitiy); b. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya (loss of security); c. Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung mudah marah sehingga dapat menghambat proses pembinaan (loos of liberty); d. Dengan menjalani pidana di dalam lembaga permasyarakatan, maka kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapa pun juga dibatasi (loos of communication); e. Selama di dalam lembaga permasyarakatan, narapidana dapat merasakan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (loss of good and service); f. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, narapidana merasakan terampasnya naluri sex, kasih sayang dan kerinduan pada keluarga (loos of heterosexual); g. Selama dalam lembaga penasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesame narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya (loos of prestige); h. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam lembaga pemasyarakatan , narapidana dapat menjadi kehilangan atau percaya diri (loos of belief); i. Narapidana selama menjalani pidananya di dalam lembaga permasyarakatan, karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasan dan imajinasinya (loos of creatifity).83 Senada dengan hal di atas, Ramsey Clark dalam tulisannya yang berjudul “Prison; Factories of Crime”147 mengungkapkan bahwa rumah penjara merupakan perguruan tingginya kejahatan atau pabrik kejahatan. Diungkapkan
83
C.I. Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, Hal. 60
109
bahwa rumah penjara merupakan perguruan tingginya kejahatan atau pabrik kejahatan.84 Kritik terhadap pidana penjara yang dianggap merugikan individu dan masyarakat dikemukakan pula oleh Muladi yang mengatakan : “masalah pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana,maupun terhadap masyarakat”.85 Dalam praktek penerapan hukum pidana terhadap perbuatan yang bersifat melawan hukum selama ini, salah satu sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulanginya ialah dengan pengenaan pidana perampasan kemerdekaan (penjara, kurungan). Akan tetapi dalam perkembangannya, banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana perampasan kemerdekaan (penjara, kurungan) ini sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan. Melalui hasil penelitian terhadap perkara ini dapat diketahui bahwa terdakwa “YSN” diduga telah melakukan perbuatan pidana “Menjual dan Menyimpan serta mengedarkan Minuman keras tanpa ijin”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras.
84
Barda Nawawi Arief, 1993, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Op. Cit., Hal. 43-45, Semarang, Ananta 85 Ibid, Hal 56-57
110
Melalui pembuktian di persidangan, berdasarkan alat bukti Saksi-saksi, pada waktu melakukan penangkapan terhadap terdakwa ini, Saksi-saksi menemukan barang-barang berupa 1,5 (satu setengah) botol Ciu yang kadar alkoholnya lebih dari 10% dan dikuatkan dengan keterangan terdakwa dipersidangan bahwa terdakwa dalam berjualan minuman keras ini tidak ada ijin dari Pejabat yang berwenang dan menurut keterangan Saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa sendiri dipersidangan bahwa Terdakwa sebelumnya pernah juga ditangkap karena melakukan perbuatan kejahatan/pelanggaran yang sama sebanyak 1 (satu) kali. Terdakwa sebelumnya juga pernah ditangkap dan perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri Purwokerto karena melakukan perbuatan kejahatan/pelanggaran sebagaimana diatur dan diancam Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001, tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras, Sehingga hakim memberi putusan hukuman Percobaan. Menimbang, bahwa oleh karena hukuman Percobaan tersebut, Terdakwa tidak juga jera dan masih tetap mengulangi perbuatannya lagi maka Hakim akan memberikan putusannya yang lebih memberatkan bagi Terdakwa yaitu dengan pidana kurungan selama 5 (lima) hari. Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto
penjara/kurungan
86
Sudira
disamping
S.H.86
Hakim
dalam
mempertimbangkan
menerapkan
tujuan
dan
pidana pedoman
Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto Sudira, S.H., pada tanggal 8 Juni 2012 di Pengadilan Negeri Purwokerto
111
pemidanaan,
juga
memperhatikan
keadaan-keadaan
yang kiranya
dapat
menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan (pidana kurungan), seperti misalnya: a. Faktor usia si pembuat tindak pidana, b. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali, c. Kerugian terhadap korban, d. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya. Mengenai penjelasan diatas terdakwa dijatuhi putusan oleh hakim menerapkan pidana perampasan kemerdekaan (kurungan) karena terdakwa sebelumnya
pernah
juga
ditangkap
karena
melakukan
perbuatan
kejahatan/pelanggaran yang sama sebanyak 1 (satu) kali. Dan juga terdakwa juga pernah diperiksa dan disidangkan dalam perkara yang sama sehingga hakim menjatuhi
hukuman Percobaan. Terdakwa tidak juga jera dan masih tetap
mengulangi perbuatannya lagi maka dalam pertimbangan Hakim akan memberikan putusannya yang lebih memberatkan bagi Terdakwa yaitu dengan pidana kurungan selama 5 (lima) hari.
112
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 22/Pid.R/2010/PN.Pwt maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pembuktian
di
persidangan
terhadap
Putusan
Perkara
Nomor:
22/Pid.R/2010/PN.Pwt, yaitu berdasarkan pemeriksaan alat-alat bukti seperti keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang ada, serta adanya persesuaian yang menguatkan antara alat bukti yang satu dengan yang lain sehingga terpenuhinya pembuktian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP. Maka hakim memperoleh keyakinan dan majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa telah tebukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MENJUAL
DAN
MENYIMPAN
SERTA
MENGEDARKAN
MINUMAN KERAS”, sehingga terdakwa memenuhi unsur-unsur yang melanggar Pasal 4 ayat (1), (3) a, jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten
Banyumas
Nomor
13
Tahun
2001
tentang
Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras. Oleh karena itu Hakim memutus terdakwa dengan pidana Kurungan selama 5 (Lima) Hari. 2. Hakim
didalam
22/Pid.R/2010/PN.Pwt
menjatuhkan sebagai
Putusan
Pidana
Perkara
Perampasan
Nomor:
Kemerdekaan
(Kurungan) karena dipersidangan Terdakwa sebelumnya pernah juga
113
ditangkap karena melakukan perbuatan kejahatan/pelanggaran menjual dan menyimpan serta mengedarkan minuman keras yang sama sebanyak 1 (satu)
kali
karena
melakukan
perbuatan
kejahatan/pelanggaran
sebagaimana diatur dan diancam Pasal 4 ayat (1), (3) a, Jo Pasal 8 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001, tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras, Sehingga hakim memberi putusan hukuman Percobaan. Oleh karena hukuman Percobaan tersebut, Terdakwa tidak juga jera dan masih tetap mengulangi perbuatannya lagi maka Hakim akan memberikan putusannya yang lebih memberatkan bagi Terdakwa yaitu dengan pidana kurungan selama 5 (lima) hari.
B. Saran Dalam menjatuhkan pidana, peranan hakim sangat penting. Setelah mengetahui tujuan pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan keadaankeadaan yang ada disekitar pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan. perngaruh pidana yang dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang, serta Peranan Hakim dalam pembuktian dan penjatuhan pidana harus sesuai dengan konsep teoriteori ilmu hukum, pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana.
114
Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridisnya tetapi terdapat juga pertimbangan sosiologisnya, oleh karena itu sangat dimungkinkan adanya pembaharuan hukum pidana yang meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana sebagai salah satu upaya pembangunan hukum Nasional.