Tinjauan pelaksanaan pemeriksaan saksi perkara pidana pada proses persidangan di pengadilan negeri Karanganyar
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Dewi Handayani Legowo NIM : E. 1104120
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi ) TINJAUAN PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SAKSI PERKARA PIDANA PADA PROSES PERSIDANGAN DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR
Disusun Oleh : DEWI HANDAYANI L. NIM : E.1104120
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP. 131 472 194
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi ) TINJAUAN PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SAKSI PERKARA PIDANA PADA PROSES PERSIDANGAN DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR
Disusun oleh : DEWI HANDAYANI L. NIM :E. 1104120
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari : Selasa Tanggal : 22 April 2008 TIM PENGUJI 1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. Ketua
: …………………………………….
2. Kristiyadi, S.H., M.H. Sekretaris
: …………………………………….
3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. Anggota
: …………………………………….
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum NIP. 131 570 154
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah S.W.T penguasa seluruh alam atas seluruh nikmat dan taufik-Nya. Shalawat atas penghulu para rosal, Muhammad SAW, sehingga penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
ini
dengan
judul
“TINJAUAN
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SAKSI PERKARA PIDANA PADA PROSES PERSIDANGAN DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR”. Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh derajat sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak permasalahan dan hambatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang penulis alami dalam menyusun penulisan hukum ini, namun akhirnya dapat terselesaikan juga berkat bantuan dan uluran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati dan ketulusan mendalam, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Moch. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Pranoto, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik Penulis selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang selalu memberi motivasi Penulis untuk segera lulus. 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian hukum Acara sekaligus Pembimbing Skripsi. Terimakasih atas bimbingannya selama penulisan skripsi hingga selesai. 4. Bapak Harjono, S.H., M.H. selaku Ketua Program Non Reguler yang telah memberi masukan kepada penulis. 5. Bapak Sunarjo, S.H., M.Hum. selaku Ketua Pengadilan Negeri Karanganyar dan bapak Tarwoko, S.H. selaku Panitera Muda Hukum yang telah memberikan ijin penulis untuk melakukan penelitian dan mengambil data di Kejaksaan Negeri Nganjuk.
6. Bapak Arlandi Triyogo, S.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Karanganyar atas bantuan dan informasinya kepada penulis selama melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Karanganyar. 7. Bapak dan ibu dosen pengajar di FH UNS serta seluruh karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas hukum Universitas Sebelas Maret. 8. Semua guru-guruku yang telah mengajariku berbagai macam ilmu. 9. Kedua orang tua ayahanda Sajadi dan ibunda Munziati, terimakasih yang tiada terhingga atas cinta dan kasih sayang yang telah kalian berikan dengan tulus serta tidak henti-hentinya mendoakan sampai berhasil. 10. Nenekku yang tidak henti-hentinya selalu mendoakan penulis supaya cepat lulus. 11. Kakakku Gambar Anom yang selalu membuatku ingin menjadi orang yang lebih baik dan selalu semangat dalam hidup. 12. Adikku Ma’sum Budi P. yang membuatku semangat untuk menulis dan terimakasih atas bantuannya. 13. Semua keluargaku yang telah membantuku dan memberikan semangat untuk maju. 14. Teman-temanku Rita, Dani, Tera, Fiah, Maya, Widya, Aulia, Tika, Mbak Ivul, Dina, Mbak Heter, Wulan, Diana, Anin, Dian, Agus, Ryan, Andre, Thomas, Hendra dan semua angkatan ’04 Non Reguler yang tidak bisa disebutkan satu persatu tetap semangat dan terus maju. 15. Teman-temanku SMP Ikah, GP, Andri, Alfa, Tami, Raga, Heri, Widi, Hanif, Rahmat, Yuni dan semuanya yang telah menyemangati dan memberikan masukan, kalian adalah terbaik. 16. Teman-teman smansa D’ Sri, Erika, Joko, Ika, Ari, Rika, Mita, Indra dan semuanya semoga persahabatan kita tidak akan pudar. 17. Semua pihak yang turut membantu serta memperlancar penyusunan Penulisan Hukum ini. Semoga yang telah diberikan akan mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah, SWT.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran ke arah perbaikan. Semoga Penulisan Hukum ini memberi sedikit banyak manfaat bagi kita semua, amin.
Surakarta, April 2008 Penulis
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto : v “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. Al-Insyrah: 6) v “ Sesungguhnya perkataan (ucapan) yang baik dan pengampunan (maaf) itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebutnyebutnya (ria)”. (QS. Al-Baqarah: 263)
Sepenuh cinta dalam hati, Penulisan Hukum ini kupersembahkan krepada: · ALLAH S.W.T. yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada penulis. · Nabi MUHAMAD S.A.W yang telah memberikan teladan bagi penulis. · Bapak dan Ibu tercinta, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya tanpa henti, semoga ALLah SWT memberikan balasan surga bagi kalian kelak · Kakakku tersayang, semoga selalu diberi hidayah oleh ALLAH SWT. · Adikku tercinta yang telah memberikan keceriaan dan masukan. · Semua keluargaku, tiada yang lebih membahagiakan diri ini bila mampu membahagiakan kalian dunia akhirat.
DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL............................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI........................................................... iii HALAMAN MOTTO.......................................................................................... iv ABSTRAK............................................................................................................. v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI......................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah.................................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 4 D. Manfaat Penelitian...................................................................................... 5 E. Metodologi Penelitian................................................................................ 5 F. Sistematika Penulisan Hukum................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 11 A. Kerangka Teori.......................................................................................... 11 1. Tinjauan Umum Pemeriksaan Perkara di Pengadilan ........................ 11 a. Acara pemeriksaan pidana............................................................ 11 b. Prosedur acara pemeriksaan biasa................................................ 15 2. Sistem Pembuktian dan Alat Bukti..................................................... 21 a. Sistem pembuktian........................................................................ 21 b. Alat bukti yang sah....................................................................... 24 3. Tinjauan Umum tentang Saksi............................................................ 28 a. Pengertian saksi............................................................................ 28 b. Aturan pemeriksaan saksi di pengadilan ...................................... 29 B. Kerangka Pemikiran................................................................................... 33 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................. 35 A. Pelaksanaan pemeriksaan saksi berdasar Pasal 160 KUHAP di Pengadilan Negeri Karanganyar............................................................. 35 B. Pertimbangan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan
pemeriksaan saksi...................................................................................... 49 BAB IV PENUTUP......................................................................................... 53 1. Simpulan............................................................................................... 53 2. Saran..................................................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian penegasan dari Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara hukum, maka negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga negara dalam melaksanakan tindakan apapun, harus dilandasi oleh hukum. Demikian juga masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan hukum, seperti apa yang diungkapkan oleh Cicero dalam Darwan Prinst sebagai “ Ubi cocietas ibi ius” yang berarti “Dimana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Hukum diperlukan oleh masyarakat untuk mengatur masyarakat itu sendiri (Darwan Prinst, 1998: 1). Tujuan dari dibuatnya suatu hukum adalah untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat di suatu negara dengan cara memaksa anggota masyarakat tersebut untuk mematuhi hukum tersebut. Jika hukum tidak dipatuhi, untuk mempertahankan hukum dan hak dalam negara hukum yaitu dengan jalan beracara, pejabat-pejabat hukum tertentu berhak menentukan hukum secara konkrit, yaitu hakim dan pengadilan (Yusti Probowati Rahayu, 2005: 17). Hukum acara pidana adalah keseluruhan hukum mengenai cara melaksanakan ketentuan hukum pidana. Ancaman hukum pidana itu ditujukan kepada pelanggaran terhadap nyawa orang, misalnya menggugurkan kandungan dan pembunuhan. Pelanggaran terhadap badan orang, misalnya perkelahian dan penganiayaan. Merampas kemerdekaan diri manusia, misalnya melarikan perempuan. Pelanggaran atas kehormatan orang, misalnya penghinaan dan pelanggaran atas hak orang lain, misalnya pencurian. Pelanggaran
terhadap
keamanan
negara,
misalnya
pemberontakan.
Pelangaaran terhadap negara-negara sahabat dan kepala negaranya (Yusti Probowati Rahayu, 2005: 18). Untuk melaksanakan hukum pidana, diperlukan cara-cara yang harus ditempuh agar ketertiban hukum dalam masyarakat dapat ditegakkan. Caracara itu disebut sebagai hukum acara pidana. Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Andi Hamzah, 2001: 8). Het Herziene Inlandsh Reglement (HIR) yang merupakan landasan peradilan pidana di Indonesia sebelum dikeluarkannya Undang-undang Republik Indonesia no. 8 tahun 1981, menganut sistem pembuktian negatif. Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
merupakan
pengembangan dari HIR yang kemudian disesuaikan dengan kondisi Indonesia. KUHAP terdiri atas 22 bab dan disertai penjelasan secara lengkap. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia no. 8 tahun 1981, sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri atas komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Keempat aparat tersebut memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dan saling menentukan. Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan Undang-undang no. 8 tahun 1981 dimulai dengan penyelidikan oleh penyelidik. Penyelidik kemudian
membuat
dan
menyampaikan
laporan
hasil
pelaksanaan
penyelidikan kepada penyidik. Setelah selesai pemeriksaan oleh penyidik, berkas pemeriksaan diserahkan kepada penuntut umum. Tahap berikutnya adalah proses pemeriksaan perkara pidana di muka sidang pengadilan. Sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ada tiga jenis acara pemeriksaan di sidang pengadilan, yaitu acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat (acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan). Pelaksanaan pemeriksaan perkara pidana di muka sidang pengadilan itu sangat ditentukan oleh para aparat penegak hukum, apakah benar-benar dapat melaksanakan tujuan, prisip-prinsip, dan asas-asas yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam Hukum Acara Pidana yang dicari adalah kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sebenarbenarnya. Salah satu cara untuk mencari kebenaran adalah dengan pemeriksaan pada sidang pengadilan. Pemeriksaan di pengadilan merupakan puncak proses pembuktian. Dalam KUHAP pemeriksaan di sidang pengadilan diatur pada Pasal 145 sampai Pasal 232. Khusus mengenai pemeriksaan saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 160 KUHAP bagian pemeriksaan acara biasa. Pemeriksaan saksi perkara pidana pada proses persidangan itu berdasarkan asas unnus tetis nulus tetis (satu saksi bukan saksi) serta testimonium de auditu (keterangan dari orang lain bukan merupakan alat bukti yang sah). Di Pengadilan Negeri Karanganyar juga menerapkan asas yang seperti itu juga. Jadi saksi yang dihadirkan di Pengadilan Negeri Karanganyar minimal adalah dua orang baru persidangan dapat dilakukan karena adanya asas satu saksi bukan saksi. Pelaksanaan pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar itu dilakukan sacara bersamaan. Hal ini dapat dilakukan karena adanya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Pemeriksaan saksi secara
bersamaan dapat dilakukan atas persetujuan dari jaksa penuntut umum, penasehat hukum, dan terdakwa sendiri. Karena berdasarkan asas tersebut, maka baik penuntut umum maupun hakim berkewajiban memeriksa perkara terdakwa dengan cepat, terutama terhadap terdakwa yang berada dalam tahanan. Pelaksanaan pemeriksaan saksi antara yang meringankan dengan yang memberatkan tidak langsung digabung, tetapi dipisah dan yang membedakannya
adalah
waktu
pelaksanaan
pemeriksaan.
Biasanya
pemeriksaan saksi secara bersamaan itu dilakukan dalam perkara pidana yang sudah cukup bukti tentang kesalahan terdakwa (Faisal Salam, 2001: 281). Hal ini jelas jika kualitas hidup yang diharapkan semakin lama semakin meningkat dan untuk penegak hukum tentunya kualitas kerjanya harus juga semakin meningkat. Tentunya tidak ingin jika proses persidangan tidak kunjung selesai dan berlarut-larut hanya karena pelaksanaan pemeriksaan saksi tidak juga selesai. Berdasarkan berusaha
pertimbangan-pertimbangan
menyusun
penelitian
hukum
tersebut,
dengan
maka
judul
penulis
“TINJAUAN
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SAKSI PERKARA PIDANA PADA PROSES
PERSIDANGAN
DI
PENGADILAN
NEGERI
KARANGANYAR”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, serta untuk mencapai sasaran penelitian secara tepat, maka penulis merumuskan beberapa pokok perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana
pelaksanan
pemeriksaan
saksi
di
Pengadilan
Negeri
Karanganyar? 2. Apa
pertimbangan
pemeriksaan saksi?
terjadinya
penyimpangan
dalam
pelaksanaan
C. Tujuan Penelitian Menyadari bahwa setiap penelitian harus mempunyai tujuan tertentu, demikian pula penelitian ini juga mempunyai tujuan obyektif dan subyektif sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui pelaksanaan pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar. b. Untuk menetahui pertimbangan terjadinya penyimpangan dalam pemeriksaan saksi. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan analitis penulis, khususnya dalam bidang Hukum Acara Pidana. b. Untuk mengetahui kesesuaian antara teori yang diperoleh dan kenyataan yang terjadi dalam praktek kehidupan. c. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan penyusunan penulisan hukum, untuk memenuhi persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan Strata 1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dipergunakan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya. b. Untuk mengembangkan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku perkuliahan dan membandingkan dengan kenyataan yang ada di lapangan.
c. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah wacana atau referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu hukum. 2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun di dalam lingkungan masyarakat nantinya. b. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan atau berkaitan langsung dengan penelitian ini.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dengan berpedoman pada judul dan perumusan masalah yang sudah diuraikan, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian
hukum
empiris
selalu
diarahkan
kepada
identifikasi
(pengenalan) terhadap hukum nyata berlaku, yang implisit berlaku (sepenuhnya) bukan eksplisit (jelas, tegas) diatur di dalam perundangan atau yang diuraikan dalam kepustakaan. Pendekatan empiris dimaksudkan sebagai usaha untuk mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan di dalam masyarakat. 2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soejono Soekanto, 1986: 10). 3. Pendekatan Penelitian Pendekata yang digunakan adalah pendekatan kualitatf. Pendekatan kulitatif merupakan tata cara penelitian oleh responden baik secara tertulis maupun lisan dan perilaku nyata dengan meneliti dan mempelajari obyek penelitian secara utuh.
4. Jenis Data Yang dimaksud data adalah fakta atau keterangan yang diperoleh dari obyek yang diteliti. Jenis data yang digunakan adalah : a) Data Primer Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan, yaitu di Pengadilan Negeri Karanganyar. b) Data Sekunder Merupakan keterangan yang dapat mendukung data primer, data ini diperoleh melalui studi kepustakaan, literature-literatur, dokumendokumen dan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. 5. Sumber Data Sumber data yang diambil dalam penelitian ini meliputi 2 bagian yaitu : a) Sumber Data Primer Merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari lapangan, dalam hal ini Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar. b) Sumber Data Sekunder Merupakan sumber data yang memberikan keterangan pendukung bagi sumber data primer, meliputi : 1) Bahan Hukum Primer yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No.8/1981 tentang Hukum Acara Pidana) 2) Bahan Hukum Sekunder yaitu buku-buku tentang hukum acara pidana, pemeriksaan saksi, alat bukti serta tentang peradilan pidana. 6. Teknik Pengumpulan Data Merupakan teknik untuk pengumpulan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a) Wawancara Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mendapatkan keterangan atau informasi secara langsung dari keterangan Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar di lokasi penelitian yang merupakan pihak yang terkait langsung dengan obyek penelitian. b) Studi Dokumen Merupakan alat pengumpul data tertulis. Studi dokumen dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, surat kabar, majalah, jurnal, dan dokumen resmi yang terkait dengan permasalahan yang sesuai dengan dasar penyusunan penulisan hukum ini. c) Observasi Teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan tehadap obyek penelitian. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara terlibat atau tidak terlibat. 7. Teknik Analisis Data Dalam pelaksanaan penelitian kualitatif terdapat tiga komponen analisis yaitu : a) Reduksi data Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyedehanaan dan abstraksi data dari fieldnote. Proses reduksi ini diawali sebelum pelaksanaan pengumpulan data dan berlangsung terus sampai laporan akhir penelitian selesai disusun. b) Sajian data Merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi, dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. c) Penarikan kesimpulan/ Verifikasi Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan
peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi. Peneliti yang ahli menangkap berbagai hal tersebut secara kuat, namun tetap terbuka dan bersifat skeptis. Konklusi-konklusi dibiarkan tetap di situ, yang pada waktu awalnya mungkun kurang jelas, kemudian semakin meningkat secara eksplisit, dan juga memiliki landasan yang semakin kuat. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan aktivitasnya dilakukan dengan cara interaksi, baik antar komponennya maupun dengan proses pengumpulan data dalam proses yang terbentuk siklus. Teknik analisis ini disebut model analisis interaktif, dengan alasan bahwa penelitian untuk penyusunan penulisan hukum ini bersifat deskriptif. Untuk lebih jelasnya model analisis interaktif dapat digambarkan sebagai berikut (HB. Sutopo, 2002: 91-95) :
Pengumpulan data
Reduksi data
Sajian data
Penarikan simpulan/verikasi
Gambar. 1 Model Analisis Interaksi (H. B. Sutopo, 2002: 96)
F. Sistematika Penulisan Hukum Agar penulisan hukum ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul penulisan hukum, maka dalam sub bab ini penulis akan membuat sistematika sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang Pemeriksaan Perkara di Pengadilan, Alat bukti dan Sistem Pembuktian serta tinjauan umum tentang Saksi.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ketiga ini berisi tentang pokok-pokok permasalahan yang ingin diungkapkan berdasarkan dari rumusan masalah yaitu tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Saksi berdasar Pasal 160 KUHAP di Pengadilan Negeri Karanganyar serta Pertimbangan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pemeriksaan saksi.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang didapat dan diambil dari penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Pemeriksaan Perkara di Pengadilan a. Acara Pemeriksaan Pidana Pengadilan Negeri adalah suatu badan peradilan di lingkungan peradilan umum, secara organisatoris administratif berkedudukan di bawah Mahkamah Agung. Perkara pidana yang disidangkan adalah perkara yang melanggar hukum pidana sehingga bagi si pelanggar dapat dijatuhi hukuman pidana (Moch. Faisal Salam, 2001: 271).
Pada prinsipnya susunan Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana, berupa suatu majelis atau team yang terdiri dari seorang ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota dan seorang panitera pengganti. Pengecualian terhadap pemeriksaan dan peradilan secara majelis ini ialah hanya mengenai peradilan perkaraperkara yang disebut perkara-perkara dengan acara cepat. Karena hanya dengan hakim tunggal (Mahkamah Agung RI, 1994: 163).
Dalam Bab XVI KUHAP membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri. Dasar perbedaan dari tata cara pemeriksaan, ditinjau dari segi jenis tindak pidana yang diadili ada pada satu segi, dan dari segi mudah atau sulitnya pembuktian perkara pada pihak lain. Atas perbedaan pemeriksaan tersebut, dikenal tiga jenis acara pemeriksaan perkara pada sidang pengadilan negeri, yaitu : 1) Acara Pemeriksaan Biasa 2) Acara Pemeriksaan Singkat
3) Acara Pemeriksaan cepat a) Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan b) Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Berikut ini akan diuaraikan satu per satu mengenai ketiga jenis acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri. 1) Acara Pemeriksaan Biasa. Ditinjau dari segi pengaturan dan kepentingan, acara pemeriksaan biasa yang paling luas pengaturannya yaitu dalam Pasal 152 s/d 202. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam acara pemeriksaan biasa inilah dilakukan pemeriksaan perkaraperkara tindak pidana kejahatan berat, sehingga fokus pengaturan acara pemeriksaaan terletak pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal-pasal acara pemeriksaan biasa. Umumnya yang diperiksa dengan acara biasa itu perkara tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun keatas, dan masalah pembuktiannya memerlukan ketelitian.
Untuk perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat atau yang ancaman pidananya di atas 9 (sembilan) tahun agar Ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan
yang
dipimpinnya,
bila
bukan
merupakan
wewenangnya maka, Ketua mengeluarkan surat penetapan yang menyatakan bahwa perkara tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Akan tetapi termasuk wewenang Pengadilan Negeri lain dan memerintahkan panitera menyerahkan surat pelimpahan perkara kepada Pengadilan Negeri lain (Mahkamah Agung RI, 1994: 168). 2) Acara Pemeriksaan Singkat Mengenai acara pemeriksaan singkat diatur dalam Bagian Kelima Bab XVI Pasal 203 dan Pasal 204. Acara pemeriksaan singkat (summiere procedure) pada prinsipnya sama dengan acara
pemeriksaan biasa, akan tetapi dalam pemeriksaan singkat ini pembuktian serta penerapan hukum mudah dan sifatnya sederhana, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 203 ayat (1) KUHAP. Perbedaan dengan acara pemeriksaan biasa adalah pada acara pemeriksaan singkat penuntut umum tidak membuat surat dakwaan, cukup memberitahukan alasannya secara lisan tentang tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh penuntut umum ke persidangan dapat dilakukan pada hari-hari persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
Sebelum
Ketua
Pengadilan
Negeri
mengeluarkan penetapan hari persidangan perkara dengan acara singkat, sebaiknya mengadakan kesepakatan dengan Kepala Kejaksaan setempat demi kelancaran persidangan. Penunjukan team-team Hakim dan hari-hari persidangan disesuaikan dengan keadaan di daerah masing-masing (Mahkamah Agung RI, 1994: 165). 3) Acara Pemeriksaan Cepat Acara pemeriksaan cepat diatur dalam Bagian Keenam Bab XVI terdiri dari 2 paragraf, yaitu paragraf 1 mengenai Pemeriksaan Tindak
Pidana
Ringan
dan
paragraf
2
mengenai
Acara
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan. Yang diartikan dan termasuk perkara-perkara dengan acara cepat adalah perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara atau denda Rp. 7.500,-- (Pasal 205 ayat (1) KUHAP) yang mencakup tindak pidana ringan, pelanggaran lalu lintas (Pasal 211 KUHAP beserta penjelasannya) juga kejahatan “penghinaan ringan” yang dimaksudkan dalam Pasal 315 KUHP.
Dan diadili oleh hakim Pengadilan Negeri dengan tanpa ada kewajiban penuntut umum untuk menghadirinya kecuali bilamana sebelumnya penuntut umum menyatakan keinginannya untuk hadir pada siding itu. Jadi pada pokoknya yang dimaksud perkara-perkara semacam tersebut di atas ialah antara lain perkaraperkara pelanggaran lalu lintas, pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penadahan ringan (Pasal 482 KUHP), dan sebagainya. a) Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan diatur dalam Pasal 205 s/d Pasal 210. Pada acara pemeriksaan tindak pidana ringan ini tidak dihadir oleh penuntut umum dan juga tidak dibuat surat dakwaan. Penyidik atas kuasa penuntut umum dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan dibuat, mengajukan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan juru bahasa di sidang pengadilan. Kedudukan penyidik disejajarkan dengan penuntut umum, namun bukan berarti penyidik melaksanakan putusan pengadilan, penuntut umum tetap melaksanakan putusan pengadilan sesuai Pasal 270 KUHAP. Persidangan dalam perkara tindak pidana ringan tidak berbentuk majelis, cukup dipimpin oleh seorang hakim/hakim tunggal (unus judex) dan pemeriksaan persidangannya telah ditetapkan pada hari-hari tertentu (rol dag). sedangkan putusan pengadilan adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak ada upaya hukum lain, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat diminta banding.
b) Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan. Pengaturannya pada Pasal 211 s/d Pasal 216 KUHAP. Sesuai Pasal 211 KUHAP, yang diperiksa adalah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan. Sebagaimana dalam Pasal 212 KUHAP untuk perkara pelanggaran
lalu
lintas
jalan
tidak
diperlukan
berita
pemeriksaan, karena itu catatan seperti dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya. Dalam pemeriksaan menurut acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas, terdakwa boleh mewakilkan di sidang sebagaimana diatur Pasal 213 KUHAP. Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa perampasan kemerdekaan, terdakawa dapat mengajukan perlawanan dalam waktu 7 hari setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Dengan adanya perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur. Jika putusan setelah diajukan perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud Pasal 214 ayat (4) KUHAP,
terhadap
putusan
tersebut
terdakwa
dapat
mengajukan banding (Faisal Salam, 2001: 310-318).
b. Prosedur Acara Pemeriksaan Biasa. Setelah penuntut umum mempelajari hasil penyidikan dan memahami kasus posisi perkara tindak pidana yang telah terjadi, mengumpulkan alat-alat bukti serta berpendapat hal itu dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP). Kemudian menerbitkan surat pelimpahan
perkara acara pemeriksaan biasa kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menetapkan
hari
persidangan,
pemanggilan
terdakwa,
pemanggilan saksi-saksi serta mengeluarkan penetapan untuk tetap menahan terdakwa (Leden Marpaung, 1992: 363). Sehingga prosedur acara pemeriksaan biasa itu adalah : 1) Pembacaan Surat Dakwaan a) Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali perkara kesusilaan atau terdakwa di bawah umur sidang tertutup untuk umum. b) Terdakwa hadir di persidangan. c) Hakim menanyakan identitas terdakwa dan kesiapan mengikuti persidangan. d) Hakim menanyakan apakah terdakwa didampingi Penasihat Hukum, apabila didampingi Hakim menanyakan surat kuasa dan surat izin beracara. e) Hakim mengingatkan terdakwa untuk memperhatikan apa yang terjadi selama persidangan. f) Hakim
mempersilahkan
Jaksa
Penuntut
Umum
untuk
membacakan surat dakwaannya. g) Hakim menanyakan apakah terdakwa mengerti isi dan maksud surat dakwaan jika tidak mengerti, maka Hakim menjelaskan secara sederhana. h) Hakim menanyakan kepada terdakwa/Penasihat Hukumnya apakah akan mengajukan eksepsi. i) Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda. 2) Eksepsi (jika ada) a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang.
c) Hakim menanyakan apakah terdakwa/Penasihat Hukumnya sudah siap dengan eksepsinya. Dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP, definisi eksepsi tidak dirumuskan secara jelas. Istilah yang digunakan adalah “keberatan”. Kepada terdakwa/penasihat hukumnya diberi hak untuk mengajukan keberatan. d) Hakim mempersilahkan terdakwa/penasihat hukumnya untuk membacakan eksepsinya. e) Hakim menanyakan kesiapan Jaksa Penuntut Umum untuk memberikan tanggapan atas eksepsi terdakwa. Apabila Jaksa Penuntut Umum akan menanggapi eksepsi, maka sidang ditunda untuk pembacaan tanggapan Jaksa Penuntut Umum. Apabila tidak akan menanggapi eksepsi, maka sidang ditunda untuk pembacaan Putusan Sela. f) Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda. 3) Tanggapan Jaksa Penuntut Umum. a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang. c) Hakim menanyakan apakah Jaksa Penuntut Umum sudah siap dengan tanggapannya. d) Hakim
mempersilahkan
Jaksa
Penuntut
Umum
untuk
membacakan tanggapannya. e) Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda. 4) Putusan Sela. a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang. c) Hakim Ketua Majelis membacakan Putusan Sela. Isi Putusan Sela : Majelis menerima eksepsi yang diajukan terdakwa. d) Hakim menanyakan apakah Jaksa Penuntut Umum sudah siap dengan pembuktian.
e) Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda. 5) Pembuktian (pemeriksaan saksi/saksi ahli). a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang. c) Hakim
memerintahkan
kepada
Jaksa
Penuntut
Umum/
Penasihat Hukum untuk menghadirkan saksi/saksi ahli ke ruang sidang, terdakwa menempati tempatnya di samping Penasihat Hukum. d) Hakim menanyakan kesehatan, identitas saksi/saksi ahli serta apakah saksi mempunyai hubungan sedarah atau semenda atau hubungan pekerjaan dengan terdakwa. e) Saksi/saksi ahli disumpah. f) Hakim
mengajukan
pertanyaan
kepada saksi/saksi
ahli
(diperjelas dengan dialog). g) Jaksa Penuntut Umum
mengajukan
pertanyaan
kepada
saksi/saksi ahli (diperjelas dengan dialog). h) Penasihat Hukum mengajukan pertanyaan kepada saksi/ saksi ahli (diperjelas dengan dialog). i) Hakim menanyakan kepada terdakwa apakah keterangan yang diberikan saksi benar/tidak. j) Jaksa Penuntut Umum memperlihatkan barang bukti di persidangan. k) Hakim menanyakan kepada terdakwa dan saksi-saksi mengenai barang bukti tersebut. Hakim meminta Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Terdakwa dan saksi untuk maju ke muka sidang dan memperlihatkan barang bukti tersebut. l) Pemeriksaan saksi selesai, terdakwa diperintahkan untuk duduk kembali di depan majelis. m) Hakim minta terdakwa dalam memberikan keterangan jangan berbelit-belit
agar
persidangan
berjalan
mengajukan pertanyaan kepada terdakwa.
lancar.
Hakim
n) Jaksa Penuntut Umum
mengajukan
pertanyaan
kepada
terdakwa (diperjelas dengan dialog). o) Penasihat Hukum mengajukan pertanyaan kepada terdakwa (diperjelas dengan dialog). p) Setelah pemeriksaan saksi/saksi ahli, terdakwa serta baranng bukti, Hakim menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menyiapkan tuntutannya. q) Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda. 6) Pembacaan Tuntutan (Requisitoir). a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang. c) Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutannya. d) Hakim menanyakan kepada Penasihat Hukum apakah akan mengajukan pembelaan. e) Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda. 7) Pembacaan Pembelaan (pledooi). a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang. c) Penasihat Hukum membacakan pembelaannya. d) Hakim menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum apakah akan mengajukan replik. e) Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda. 8) Pembacaan Tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum atas Pleidoi Penasihat Hukum (Replik). a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang. c) Hakim mempersilahkan Jaksa Penuntut Umum membacakan repliknya. d) Hakim menanyakan kepada Penasihat Hukum apakah akan mengajukan duplik. e) Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda.
9) Pembacaan Tanggapan dari Penasihat Hukum atas Replik dari Jaksa Penuntut Umum (Duplik). a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang. c) Hakim
mempersilahkan
Penasihat
Hukum
membacakan
dupliknya. d) Sidang ditunda untuk pembacaan putusan. 10) Pembacaan Putusan a) Hakim ketua majelis membuka sidang seperti sebelumnya. b) Terdakwa hadir di ruang sidang. Jika tidak hadir, Hakim menanyakan alasannya, jika alasan memungkinkan Hakim ketua menunda sidang. c) Hakim menanyakan kesehatan terdakwa dan apakah siap untuk mengikuti persidangan pembacaan putusan. d) Pembacaan Putusan terdakwa diperintahkan berdiri. (1) Putusan dibacakan oleh majelis secara bergantian, untuk putusan akhir dibacakan Hakim Ketua. Dan saat amar putusan dibacakan terdakwa diperintahkan berdiri. (2) Putusan dibacakan dengan: “Demi Keadilan Berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (3) Putusan memuat identitas terdakwa. (4) Putusan memuat isi surat dakwaan. (5) Putusan memuat pertimbangan hukum. (6) Putusan pidana (vonis hakim), dalam keterangan dilengkapi dengan : Vonis ;…tahun. (7) Putusan memuat hari dan tanggal diadakannya rapat musyawarah majelis. (5) Hakim Ketua bertanya kepada terdakwa apakah sudah mengerti
isi
mempunyai
putusan. hak
Atas
menolak
putusan atau
tadi
terdakwa
menerima
putusan,
mempelajari atau menerima putusan, mempelajari putusan
sebelum menerima atau pikir-pikir, minta penagguhan pelaksanaan putusan untuk grasi. Hakim menanyakan akan menggunakan hak yang mana.Terdakwa diberi waktu untuk konsultasi dengan Penasihat Hukumnya. (6) Hakim bertanya tentang hasil konsultasi terdakwa. Jika terdakwa tidak menerima putusan sidang, maka dapat mengajukan upaya hukum yaitu banding. (7) Hakim bertanya kepada Jaksa Penuntut Umum tentang tanggapannya atas putusan pengadilan. (8) Sidang ditutup.
2. Sistem Pembuktian dan Alat Bukti a. Sistem Pembuktian Pembuktian
adalah
ketentuan-ketentuan
yang
berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (Yahya Harahap, 2002: 273). Teori sistem pembuktian antara lain: 1) Conviction-in Time Pembuktian yang menentukan salah tidaknya terdakwa hanya
berdasarkan
penilaian
“keyakinan”
Hakim.
Sistem
pembuktian ini sudah barang tentu mengandung kelemahan, yaitu hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup.
Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. 2) Conviction-Raisonee Pembuktian yang menentukan salah tidaknya terdakwa berdasarkan penilaian “keyakinan” Hakim yang didukung alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 3) Pembuktian menurut undang-undang secara positif Pembuktian yang menentukan salah tidaknya terdakwa hanya berdasarkan alat bukti yang ditentukan dalam undangundang. Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Jadi dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. 4) Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) Pembuktian yang menentukan salah tidaknya terdakwa berdasarkan alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang dan keyakinan Hakim. Sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sebelum KUHAP yaitu HIR menganut negatief wettelijk stelsel dengan minimal pembuktian, yaitu satu saksi bukan saksi. Sesudah KUHAP negatief wettelijk stelsel dalam Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dan Pasal 6 ayat (2) UU No.4/2004 “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Kecenderungan pembuktian dalam praktek penegakan hukum adalah dengan pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan alasan kelalaian hakim mencantumkan rumusan keyakinannya dalam suatu putusan tidak mengakibatkan batalnya putusan.
Jika
kesalahan
terdakwa
telah
benar-benar
terbukti
berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang akan membantu dan mendorong hati nurani hakim untuk meyakni kesalahan terdakwa. Dan keyakinan hakim hanya sebagai pelengkap dan unsur formil dalam model putusan. Prinsip minimum pembuktian adalah hakim hanya boleh yakin atas kesalahan terdakwa apabila dalam persidangan sudah diperoleh minimal dua alat bukti. Hanya dengan dua alat bukti sah menurut undang-undang hakim boleh menyatakan tindak pidana yang didakwakan sudah terbukti dan boleh menjatuhkan pidana kepada
terdakwa. Pengecualian asas minimum pembuktian dalam acara pemeriksaan cepat (tipiring dan perkara pelanggaran lalu lintas). Karena dalam acara pemeriksaan cepat keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti (M.Yahya Harahap, 2003: 277-285). b. Alat Bukti yang Sah Alat-alat
bukti
yang
sah,
adalah
alat-alat
yang
ada
hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas keberatan adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Darwan Prinst, 1998: 135). Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 (1) KUHAP, adalah: 1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli 3) Surat 4) Petunjuk 5) Keterangan terdakwa Penjelasan dari masing-masing alat bukti yang sah adalah sebagai berikut : 1) Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang saksi dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri, dengan meyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium De Auditu. Syarat keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah adalah:
a) Syarat formil : bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan di bawah sumpah. Keterangan saksi yang tidak di bawah sumpah hanya boleh dipergunakan sebagai penambah penyaksian yang sah. b) Syarat materiel : bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (Unus Testis Nulus Testis). Akan tetapi keterangan seorang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan (Darwan Prinst, 1998: 135). 2) Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28 KUHAP). Menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan tersebut diberikan setelah mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Hakim. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang untuk mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara (Pasal 7 (1) h KUHAP). Ahli yang dimaksud dalam Pasal ini, misalnya ahli kedokteran kehakiman, ahli balistik, ahli kimia, ahli farmasi, ahli toxin dan lain-lain. Keterangan dari ahli tersebut diberikan demi keadilan (Darwan Prinst, 1998: 141). Keterangan para ahli dapat diberikan dalam dua bentuk yaitu dalam bentuk tertulis dan lisan, dimana keterangan itu diberikan oleh ahli yang bersangkutan di depan sidang pengadilan (Faisal Salam, 2001: 298).
3) Surat Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, sebagai berikut : surat sebagaimana
tersebut dalam Pasal 184 (1) c
KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat Umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal yang atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d) Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Contoh alat bukti surat adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi, BAP Pengadilan, Berita Acara Penyitaan, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin Penyitaan dan lain-lain (Darwan Prinst, 1998: 143). Mengenai alat bukti surat Andi Hamzah mendefinisikan “surat” Asser-Anema sebagai berikut: “Surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran” (Andi Hamzah, 2002: 271).
4) Petunjuk Petunjuk sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 188 KUHAP, sebagai berikut: a) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. b) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diperoleh dari: (1) keterangan saksi; (2) surat; (3) keterangan terdakwa; c) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasrkan hati nuraninya. 5) Keterangan Terdakwa Pasal 189 KUHAP, mengatur tentang keterangan terdakwa sebagai berikut: a) Keterangan terdakwa, ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; b) keterangan terdakwa yang dinerikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan buktu di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan, bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai alat bukti yang lain (Darwan Prinst, 1998: 145). Keterangan terdakwa menurut Andi Hamzah adalah apa yang ia nyatakan di sidang tentang perbuatan apa yang dilakukannya disertai dengan keterangan dari keadaan tertentu. Maksudya agar keterangan terdakwa di depan sidang pengadilan harus disertai dengan cara bagaimana ia melakukan perbuatannya. Serta terdakwa harus menerangkan cara-cara ia melakukan perbuatan itu (Djoko Prakoso,1988: 105).
3. Tinjauan Umum Tentang Saksi a. Pengertian Saksi Saksi berdasarkan Pasal 160 ayat (4) itu terdiri atas dua macam yaitu saksi dan ahli. Saksi yaitu keterangan seorang saksi yang menjadi korban kejahatan atau orang yang melihat, mendengar dengan mata kepala sendiri dengan menguraikan secara rinci atas kejadian yang ia ketahui. Saksi tidak diperkenankan memberikan pendapat atau konklusi. Persangkaan ataupun perkiraan yang istimewa yang terjadi karena kata akal, bukan merupakan kesaksian.
Ahli adalah keterangan seseorang yang ahli dalam suatu bidang, misal ahli tanda tangan atau tulisan, ahli senjata api, dokter kehakiman, ahli farmasi. Maka keterangan para saksi baik saksi biasa maupun saksi ahli, merupakan alat bukti yang sah (Pasal 184 KUHAP) (Faisal Salam, 2001: 285).
Pasal 1 butir 26 KUHAP mengatur tentang saksi, saksi adalah orang yang dapat
memberikan
keterangan
guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Saksi dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang perlindungan saksi dan korban adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, dan/ atau ia alami sendiri.
Saksi dalam kamus hukum adalah orang yang menetahui dengan jelas mengenai sesuatu karena melihat sendiri atau karena pengetahuannya (saksi ahli). Dalam memberikan keterangan di pengadilan, seorang saksi harus disumpah menurut agamanya agar supaya apa yang diterangkannya itu mempunyai kekuatan sebagai alat bukti (J.C.T. Simorangkir, dkk, 2000: 151).
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP, yaitu: 1) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersam-sama sebagai terdakwa; 2) saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; 3) suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa (Andi Hamzah, 2002: 256).
b. Aturan Pemeriksaan Saksi di Pengadilan
Sidang dikatakan lancar apabila dalam sidang pertama, kegiatan yang terjadi di pengadilan negeri adalah pembacaan surat dakwaan, eksepsi terdakwa/penasihat hukum, tanggapan/pendapat penuntut umum atas eksepsi. Pada hari sidang kedua, penuntut umum memanggil para saksi yang menurut perkiraannya dapat didengar di sidang pada hari itu. Saksi yang tidak memenuhi panggilan, tanpa alasan meskipun telah dipanggil dengan sah diatur dalam Pasal 159 ayat (2) “Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan Hakim Ketua Sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan”. Saksi yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi (Pasal 160 ayat (1) huruf b). Setelah saksi dihadapkan ke persidangan, hakim ketua sidang memeriksa identitas saksi tersebut dan hubungan kekeluargaan saksi dengan terdakwa apakah pernah hubungan suami/istri dengan terdakwa dan apakah pernah ada hubungan kerja dengan terdakwa. Hal ini penting agar dapat menentukan kualitas keterangan yang diberikan saksi tersebut (Pasal 160 ayat (2) KUHAP). Sebelum saksi memberi keterangan wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agama yang dianutnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Dalam hal saksi/saksi ahli menolak untuk bersumpah tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan sedang ia dapat disandera paling lama 14 hari berdasarkan penetapan hakim (Pasal 161 ayat (1) KUHAP). Meskipun telah disandera, saksi/ahli tersebut menolak juga untuk bersumpah, maka keterangan
yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP). Seseorang berdasarkan keagamaan/kepercayaan harus bersumpah di tempat tertentu/di luar sidang maka hakim memberikan perintah untuk itu dan menunjuk panitera untuk menghadirinya yang selanjutnya membuat berita acaranya (Pasal 223 KUHAP).
Keterangan yang diberikan seorang saksi secara benar dan tidak lain dari yang sebenarnya adalah apa yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri serta dialami sendiri terhadap kasus/perkara itu. Jika saksi memberi keterangan yang berbeda dengan yang tercantum pada
Berita
Acara
Pemeriksaan,
maka
hakim
ketua
sidang
mengingatkan saksi tersebut dan menanyakan alasan mengenai perbedaan itu (Pasal 163 KUHAP).
Terhadap saksi, hakim ketua sidang dan hakim anggota menanyainya. Kemudian hakim ketua sidang menanyakan pendapat terdakwa tentang keterangan saksi tersebut (Pasal 164 ayat (1) KUHAP). Penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk menanyakan saksi (Pasal 164 ayat (2) KUHAP). Pertanyaan yang diajukan penuntut umum maupun penasihat hukum, dapat ditolak oleh hakim ketua sidang dengan memberi alasan : tidak relevan, sangat bersifat pribadi dan pertanyaan menjerat (Pasal 166 KUHAP). Hakim ketua sidang oleh sesuatu alasan, dapat mendengar keterangan saksi tanpa hadirnya terdakwa. Untuk itu, terdakwa diperintahkan agar di keluarkan dari ruang sidang, tetapi keterangan saksi tersebut diberitahukan kepada terdakwa, pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan (Pasal 174 KUHAP).
Jika seorang saksi memberikan keterangan yang menurut pendapat hakim ketua sidang disangka palsu, maka ia memperingati dengan sungguh-sungguh dengan mengemukakan ancaman hukuman apabila saksi tersebut tetap memberikan keterangan palsu (Pasal 174 ayat (1) KUHAP). Walaupun telah diperingati namun saksi tersebut masih memberi keterangan palsu, maka hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa/ penasihat hukum, dapat memberikan perintah agar saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut dengan dakwaan sumpah palsu. Panitera segera membuat BAP sidang yang memuat keterangan saksi yang disangka palsu tersebut dengan menyebut alasan-alasannya dan ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera. Berita Acara tersebut segera diserahkan kepada penuntut umum (Leden Marpaung, 1992: 387-392).
B. Kerangka Pemikiran
Persidangan Perkara Pidana
Agenda Pembuktian Pelaksanaan Pemeriksaan Saksi Pasal 160 KUHAP Saksi-saksi Penyimpangan Pemeriksaan Saksi Putusan
Gambar. 2 Kerangka Pemikiran Dari skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Setelah berkas perkara pidana dimasukkan ke Pengadilan Negeri maka, Pengadilan Negeri melakukan proses persidangan perkara pidana tersebut. Persidangan perkara pidana tersebut dilakukan secara bertahap, sampai akhirnya masuk pada agenda pembuktian. Dalam agenda pembuktian ini yang pertama kali dilakukan pemeriksaan adalah saksi-saksi. Pemeriksaan saksi pada proses persidangan tidak dapat selesai dalam satu waktu karena saksi yang dihadirkan dalam persidangan itu biasanya lebih dari satu. Pelaksanaan pemeriksaan saksi itu sendiri pengaturannya pada Pasal 160 KUHAP. Dan dengan adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan saksi secara bersamaan sehinnga hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 160 KUHAP. Itu semua dapat dilakukan atas
persetujuan dari jaksa penuntut umum, penasehat hukum, dan terdakwa sendiri. Karena berdasarkan asas tersebut, maka baik penuntut umum maupun hakim berkewajiban memeriksa perkara terdakwa dengan cepat, terutama terhadap terdakwa yang berada dalam tahanan. Setelah pemeriksaan saksi selesai, maka putusan bagi terdakwa dapat diketahui pada sidang berikutnya.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Pemeriksaan Saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis bertempat di Pengadilan Negeri Karanganyar dilakukan melalui wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri Karanganyar. Penelitian yang dilakukan penulis adalah mengenai pelaksanaan pemeriksaan
saksi
di
Pengadilan
Negeri
Karanganyar.
Pelaksanaan
pemeriksaan saksi di pengadilan negeri Karanganyar adalah sebenarnya sama dengan yang ada di KUHAP. Karena proses persidangan itu berpedoman pada KUHAP. Tetapi ada beberapa hal yang membedakan antara yang ada dalam teori dengan yang ada dalam praktek. Perbedaan tersebut bertujuan untuk mempercepat persidangan tetapi tidak menyimpang dari tujuan diadakan persidangan yaitu untuk mencapai keadilan. Tata cara pelaksanaan pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar, yaitu: a. Pemanggilan saksi Sebelum ketua sidang memanggil para saksi yang akan diperiksa, lebih dahulu meneliti apakah semua saksi yang dipanggil oleh penuntut umum telah hadir memenuhi panggilan. Penelitian kehadiran saksi dapat, ditanyakan kepada penuntut umum, sebab yang memanggil adalah penuntut umum serta kehadiran mereka pun dilaporkan kepada penuntut umum. Pemeriksaan saksi yang telah hadir bertujuan mendengar keterangan saksi tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar dan dialaminya sehubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa.
Setelah itu baru saksi dipanggil ke dalam ruang sidang. Di Pengadilan Negeri Karanganyar saksi dipanggil ke dalam ruang siding secara bersamaan oleh hakim ketua sidang. Pemanggilan saksi ke depan sidang secara bersamaan itu untuk didengar keterangannya
mengenai perkara yang disidangkan. Hal ini yang membedakan dengan yang ada dalam KUHAP Pasal 160 ayat (1) huruf a bahwa “saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum. Mengenai pemanggilan saksi secara bersamaan itu juga berdasarkan persetujuan dari penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum. Bukan keputusan sepihak dari hakim ketua sidang itu sendiri.
b. Pemeriksaan identitas saksi Sebelum sidang mendengarkan keterangan saksi, lebih dahulu menanyakan identitas dan mencocokan dengan berita acara yang dibuat penyidik. Pemeriksaan identitas saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar dengan yang diatur dalam KUHAP adalah sama, yaitu meliputi: - Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan. - Di samping pemeriksaan identitas, ketua sidang menanyakan dan memeriksa saksi: 1) Apakah saksi kenal kepada terdakwa sebelum melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya; 2) Apakah mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan terdakwa. Atau apakah antara saksi dengan terdakwa terjalin hubungan suami istri sekalipun telah bercerai; 3) Apakah antara saksi dengan terdakwa ada dan pernah terikat hubungan kerja.
Maksud pemeriksaan identitas serta hubungan saksi dengan terdakwa, untuk memberi penjelasan kepada persidangan tentang kedudukan saksi dalam perkara yang sedang diperiksa. Dengan mengetahui kedudukan saksi dengan perkara yang diperiksa,
merupakan titik tolak bagi ketua sidang menentukan sikap perlu tidaknya saksi didengar keterangannya maupun untuk menentukan kualitas keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan.
c. Saksi wajb disumpah Sebelum keterangannya didengar dalam persidangan, saksi wajib lebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji. Kewajiban tentang ini, diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Kewajiban mengucapkan sumpah atau janji, bukan hanya dibebankan kepada saksi saja, tetapi juga kepada ahli sebagaimana yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 160 ayat (4) KUHAP.
Kewajiban saksi untuk disumpah dalam persidangan di Pengadilan Negeri Karanganyar itu adalah sesuai dengan yang diatur dalam KUHAP. Bahwa, setelah saksi diperiksa identitasnya maka, saksi disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Di Pengadilan Negeri Karanganyar karena saksi dipanggil ke ruang sidang secara bersamaan maka, saksi disumpah juga secara bersamaan sesuai dengan agamanya masing-masing. Apabila agama dari para saksi tersebut berlainan maka, urutan penyumpahan saksi ditentukan oleh hakim ketua sidang dengan mendengar pendapat dari penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum. Saksi yang mengucapkan sumpah atau janji itu menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberi keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada sebenarnya. Tujuan dari saksi wajib bersumpah atau berjanji sebelum memberi keterangan adalah agar supaya saksi tersebut tidak akan berdusta atau memberi keterangan palsu. Saksi yang beragama dan percaya sepenuhnya akan kekuasaan Tuhan, niscaya akan merasa takut dikutuk-Nya jika ia berdusta. Lafal
dari sumpah dan janji untuk saksi maupun saksi ahli itu sama dengan yang ada dalam KUHAP. Pengucapan sumpah di Pengadilan Negeri Karanganyar itu bisa dilakukan di kepolisian atau di depan sidang. Jika sumpah diucapkan di kepolisian maka, saksi tersebut dapat dipastikan tidak akan hadir di persidangan. Walaupun saksi tersebut melakukan sumpah di kepolisian dan tidak di depan sidang kekuatan pembuktiannyapun sama dengan saksi yang disumpah di mauka persidangan.
d. Saksi wajib memberikan keterangan Sebagai konsekwensi bagi saksi yang telah bersumpah dan berjanji akan memberikan keterangan yang sebenarnya maka, ia berkewajiban untuk memberikan keterangan yang sebenarnya itu dengan sebaik-baiknya. Yaitu, hanya menyatakan apa yang dilihat, didengar atau dialami oleh saksi itu sendiri tanpa interprestasi dari pihak manapun. Dan dalam memberikan keterangan, saksi tidak diperbolehkan memberikan keterangan secara berbelit-belit karena hal ini akan memperlambat proses persidangan. Karena pemanggilan saksi dan penyumpahan saksi dilakukan secara bersamaan maka, pemeriksaan saksi juga dilakukan secara bersamaan tetapi bergantian. Misalkan saja jika hakim ketua sidang memeriksa salah satu saksi melalui dialog dirasa cukup dan oleh penuntut umum melalui dialog juga dirasa cukup serta pehasihat hukum (jika ada) melalui dialog juga dirasa cukup kemudian, setelah selesai mendengar keterangan dari saksi tersebut hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah keterangan yang diberikan oleh saksi itu benar atau tidak. Biasanya pemeriksaan saksi itu dilakukan lebih dahulu dari saksi yang yang memberatkan terdakwa atau saksi dari jaksa penuntut umum. Baru hari berikutnya pemeriksaan saksi yang meringankan bagi terdakwa yaitu saksi dari penasihat hukumnya.
Setelah pemeriksaan salah satu saksi tersebut selesai barulah kemudian berganti kepada saksi yang lain dengan cara pemeriksaan yang sama pada pemeriksaan saksi yang sebelumnya. Pada waktu dilakukan pemeriksaan saksi yang kedua, saksi pertama yang sudah selesai diperkenankan tetap tinggal di dalam ruang sidang. Hal ini dapat dilakukan jika mendapat persetujuan dari penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum (jika ada) dan tidak ada keberatan dari pihak manapun. Pada waktu pelaksanaan pemeriksaan saksi di depan sidang, terdakwa duduk di samping penasihat hukum (jika ada). Saat pemeriksaan saksi di persidangan juga diadakan pemeriksaan barang bukti
secara
bersamaan
kepada
saksi.
Sebelum
melakukan
pemeriksaan barang bukti hakim ketua sidang memanggil seluruh saksi yang di depan sidang dan terdakwa untuk maju ke dapan kemudian, hakim ketua sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Setelah itu baru dilakukan pemeriksaan barang bukti kepada saksi melalui dialog oleh hakim ketua sidang, jaksa penuntut umum, dan selanjutnya penasihat hukum terdakwa secara bergantian seperti di atas. Jika pemeriksaan saksi dianggap telah selesai hakim ketua sidang meminta saksi yang di depan sidang untuk keluar dan memerintahkan terdakwa untuk duduk kembali di depan sidang. Untuk selanjutnya diadakan pemeriksaan terhadap terdakwa itu sendiri pada sidang selanjutnya. Kemudian hakim menutup sidangnya.
Salah satu perkara pidana yang pemeriksaan saksinya dilakukan secara bersamaan di Pengadilan Negeri Karanganyar adalah perkara tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati dan karena kealpaannya menyebabkan orang luka-luka sedemikian rupa sehingga menjadi sakit untuk sementara waktu. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa tersebut, maka
dalam persidangan dihadirkan saksi untuk dimintai keterangan berkaitan dengan perkara pidana tersebut. Para saksi tersebut antara lain : a. Saksi SUMARNI, di bawah sumpah menerangkan: - Bahwa pada hari Senin, 14 November 2005 sekitar pukul 16.00 WIB saksi sedang berada di rumahnya mendengar suara benturan yang keras dari jalan di depan rumahnya; - Bahwa setelah keluar, saksi melihat telah terjadi tabrakan antara bus Dahlia dengan bus Sumber Kencono; - Bahwa bus Dahlia berjalan dari Solo menuju Sragen sedangkan, bus Sumber Kencono dari Sragen menuju Solo; - Bahwa dari tabrakan itu saksi melihat ada korban seorang pengemudi sepeda motor mati; - Bahwa selain korban meninggal, saksi juga melihat ada beberapa orang yang mengalami luka-luka; - Bahwa keadaan jalan pada waktu itu lalu lintas ramai dan cuaca cerah; - Bahwa akibat dari tabrakan itu kedua bus semuanya pecah kaca depannya. Bahwa atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan dan tidak keberatan. b. Saksi TUKIMIN, menerangkan: - Bahwa pada hari Senin, 14 November 2005 sekitar pukul 16.00 WIB saksi sedang berada di rumahnya mendengar suara benturan yang keras dari jalan di depan rumahnya; - Bahwa setelah keluar, saksi melihat telah terjadi tabrakan antara bus Dahlia dengan bus Sumber Kencono; - Bahwa bus Dahlia berjalan dari Solo menuju Sragen sedangkan, bus Sumber Kencono dari arah Sragen menuju Solo; - Bahwa dari tabrakan itu saksi melihat ada korban seorang pengemudi sepeda motor mati;
- Bahwa selain korban meninggal, saksi juga melihat ada beberapa orang yang mengalami luka-luka; - Bahwa keadaan jalan pada waktu itu lalu lintas ramai dan cuaca cerah; - Bahwa akibat dari tabrakan itu kedua bus semuanya pecah kaca depannya. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan dan tidak keberatan. c. Saksi SUJIONO, menerangkan: - Bahwa saksi adalah kondektur bus Dahlia; - Bahwa pada hari Senin, 14 November 2005, saksi sedang bekerja sebagai kondektur bus Dahlia AG-6322-PU yang dikemudikan oleh terdakwa, berjalan dari arah Sragen menuju Solo; - Bahwa sekitar pukul 15.30 WIB bus Dahlia AG-6322-PU melintasi desa Waru, Kebakramat, Karanganyar tiba-tiba di depan bus tersebut ada sepeda motor dari arah jalur lambat ke jalur cepat; - Bahwa karena sepeda motor tersebut, pengemudi bus Dahlia AG-6322PU (terdakwa) membanting stir arah kanan sehingga posisi bus berada di jalur kanan yang diperuntukan kendaraan dari arah Solo (berlawanan); - Bahwa saat itu pula dari arah berlawanan bus Sumber Kencono melaju dengan kencang sehingga tabrakan tidak bias dihindari; - Bahwa bus Dahlia waktu itu membawa 57 penumpang, padahal kapasitasnya hanya 54 tempat duduk; - Bahwa pada waktu itu ada seorang penumpang yang berdiri dekat saksi di pintu depan; - Bahwa akibat dari tabrakan itu mengakibatkan satu orang meninggal dunia; - Bahwa saksi tidak melihat korban lain namun, saksi mendengar ada korban lain yang meninggal yaitu pengendara sepeda motor Honda bukan bebek;
- Bahwa saksi tidak tahu apakah korban yang meninggal dunia itu penumpang bus Dahlia atau pengemudi sepeda motor; - Bahwa saksi membenarkan sket gambar tempat kejadian perkara maupun foto bus yang ada dalam perkara ini; Bahwa atas keterangan saksi tersebut, terdakwa membenarkan dan tidak keberatan. d. Saksi IMAM HAMBALI, dibacakan keterangan di bawah sumpah yang diterangkan di hadapan penyidik menerangkan: - Bahwa saksi adalah penumpang bus Dahlia yang bertabrakan dengan bus Sumber Kencono, di desa Waru, Kecamatan Kebakramat, Kabupaten Karanganyar; - Bahwa peristiwa itu terjadi hari Senin, 14 November 2005 sekitar pukul 15.30 WIB; - Bahwa saksi naik bus Dahlia dari Tulungagung dengan tujuan Solo, dengan maksud pulang ke Sumatera; - Bahwa saksi pada saat itu duduk di belakang pengemudi; - Bahwa tabrakan terjadi di jalur sebelah kanan, yaitu jalur untuk bus Sumber Kencono yang melaju dari arah berlwanan; - Bahwa bus Dahlia sampai ke jalur kanan, karena menghindari sepeda motor yang tiba-tiba masuk jalur dari jalur lambat; - Bahwa akibat tabrakan itu, (1) satu orang penumpang bus Dahlia meninggal dunia dan (4) empat orang penumpang termasuk saksi lukaluka dan dirawat di rumah sakit Dr. Oen Surakarta. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan dan tidak keberatan. e. Saksi MUSRIFAH, dibacakan keterangan di bawah sumpah yang diterangkan di hadapan penyidik menerangkan: - Bahwa saksi adalah penumpang bus Dahlia yang mengalami kecelakaan dengan bus Sumber Kencono dan sepeda motor, namun tidak tahu nomor polisinya;
- Bahwa peristiwa itu terjadi hari Senin, 14 November 2005 sekitar pukul 15.30 WIB; - Bahwa pada waktu itu bus Dahlia membawa penumpang penuh dengan tiga orang berdiri; - Bahwa saksi pada waktu itu duduk pada tempat duduk nomor 7 sebelah kanan; - Bahwa saksi tidak tahu yang menyebabkan bus Dahlia dan bus Sumber Kencono bertabrakan, namun saksi melihat sebelum bus itu bertabrakan ada sepeda motor di depan bus Sumber Kencono yang berjalan searah dengan bus Sumber Kencono; - Bahwa akibat tabrakan tersebut saksi tidak melihat apakah ada korban yang meninggal, yang saksi lihat ada kurang lebih 14 (empat belas) orang mengalami luka-luka, utamanya patah tulang. Bahwa atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan dan tidak keberatan, kecuali terdakwa tidak melihat sepeda motor di depan bus Sumber Kencono yang berjalan searah dengan bus itu. Bahwa di persidangan juga telah dibacakan Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh: a. dr G. Maryadi atas nama DJURJONO, yang pada kesimpulannya menerangkan bila korban meniggal karena pecah tulang tengkorak yang disebabkan benturan benda keras; b. dr. Untung Alifianto, Sp.BS. atas nama Indra Pujayanto, dengan hasil pemeriksaan penderita dalam keadaan koma, pendarahan otak frontal kiri; c. dr. Tangkas Sibarani, Sp.HO. atas nama Sugeng Widodo, dengan kesimpulan patah tulang lengan atas kanan bagian bawah; d. dr. Ong Hap Sing, Sp.E, atas nama Imam Hambali, dengan kesimpulan gegar otak dan luka di pelipis kanan; e. dr. Furi Hardijanti, atas nama Musrifah, dengan kesimpulan patah tulang lengan atas kanan;
f. dr. Samuel, atas nama Sujiono, dengan kesimpulan Cidera kepala ringan, luka sobek kaki kanan. Bahwa atas visum tersebut terdakwa tidak keberatan.
Bahwa dalam persidangan itu juga didengar keterangan dari terdakwa. Keterangan dari terdakwa tersebut bersesuaian dengan keterangan saksi yang sudah diperiksa. Jadi pada persidangan dalam perkara ini saksi sudah mengakui kesalahannya. Untuk tidak harus semua saksi dihadirkan dalam persidangan. Hal ini bertujuan agar persidangan cepat selesai dan cepat mendapatkan putusan bagi terdakwa.
Dari perkara tindak pidana tersebut di atas yaitu, karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati dan menyebabkan luka-luka sedemikian rupa sehingga menjadi sakit untuk sementara waktu, itu terlihat jelas bahwa, begitu besar peranan saksi dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Karena pemeriksaan saksi itu merupakan puncak dari pembuktian di persidangan. Dan salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/ atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu perkara pidana dalan upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Maka dalam proses persidangan, saksi dan korban menempati posisi yang penting dalam terungkapnya perkara pidana.
Seperti diketahui bahwa keberhasilan suatu proses persidangan pidana itu sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau diketemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak perkara yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses persidangan pidana. Jika dalam suatu perkara itu tidak ada saksinya meskipun penegak hukum sudah berusaha untuk menemukan saksi yang berkaitan dengan perkara
tersebut maka tidak ada jalan lain yaitu dengan cara menghadirkan polisinya sebagai saksinya. Hal itu dapat terjadi jika polisi tersebut mengetahui perkara tersebut dari awal dan juga ikut dalam penangkapannya. Tetapi jika hakim kurang yakin dengan kesaksian polisi tersebut dan alat buktinya kurang, maka hakim dapat meminta kepada jaksa penuntut umum untuk memperbaikinya.
Pelaksanaan pemeriksaan saksi yang dilakukan di Pengadilan Negeri Karanganyar itu dilakukan secara bersamaan dan di bawah sumpah. Dan dalam perkara tindak pidana ini ada saksi yang mengucapkan sumpah di depan persidangan dan ada yang mengucapkan sumpah di depan penyidik. Saksi yang mengucapkan sumpah di depan penyidik ini dipastikan tidak akan hadir di persidangan alasan dalam perkara tindak pidana ini karena saksi tersebut masih berada di rumah sakit.
Walaupun saksi tersebut mengucapkan sumpah di depan penyidik namun, kekuatan pembuktiannya sama dengan saksi yang mengucapkan sumpah di persidangan. Sehingga dalam perkara ini meskipun ada saksi yang tidak hadir di persidangan, maka kesaksian yang sudah dibuat di depan penyidik tetap dibacakan dipersidangan. Karena saksi tersebut saat di depan penyidik disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangannya. Dan keterangan saksi tersebut dianggap alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Tetapi jika, keterangan saksi yang tidak disumpah, meskipun keterangan saksi tersebut bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi lain yang disumpah, tidak merupakan alat bukti yang sah tetapi dapat berfungsi sebagai tambahan alat bukti yang sah sesuai dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP.
Misalkan dalam perkara pidana dengan terdakwa Subani ini, jaksa penuntut umum menhadirkan 5 orang saksi dan yang hadir di muka sidang itu ada 3 orang dan yang dua tidak hadir karena masih di Rumah Sakit. Pelaksanaan pemeriksaan saksi tetap dilaksanakan meskipun ada saksi yang
tidak hadir karena ada keterangan dari kedua saksi tersebut yang dicatat dalam berita acara penyidikan dan di bawah sumpah. Dalam pelaksanaan pemeriksaan
saksinya
hakim
meminta jaksa penuntut
uumu
untuk
menghadirkan saksi di muka sidang. Kemudian ketiga saksi tersebut masuk ke dalam ruang sidang secara bersamaan. Dan ditanyai identitas masing-masing saksi. Setelah itu baru ketiga saksi tersebut disumpah secara bersamaan juga.
Karena ketiga saksi di sumpah secara bersamaan maka, pemeriksaan saksi juga dilakukan secara bersamaan. Dan hal ini yang membedakan dengan yang ada dalam KUHAP yang menerangkan bahwa saksi harus diperiksa seorang demi seorang khususnya dalam Pasal 160 ayat (1) huruf a yang menerangkan bahwa “saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum”. Akan tetapi pemeriksaan saksi secara bersamaan itu dapat dibenarkan sepanjang hal itu diperlukan. Dan sepanjang hal tersebut mendapat persetujuan dari jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum (jika ada). Tetapi apabila salah satu pihak bisa saja jaksa penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum berkeberatan, maka pemeriksaan saksi di muka persidangan itu dengan cara saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang sesuai dalam Pasal 160 ayat (1) huruf a.
Dalam perkara pidana ini terdakwa mengakui semua keterangan yang diberikan oleh saksi, maka hal ini sangat memudahkan hakim untuk mengambil putusan terhadap terdakwa tersebut. Dan selain itu juga keterangan saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum saling bersesuaian antara saksi yang satu dengan saksi yang lainnya.
Mengenai urutan siapa yang
duluan memberikan keterangan dalam pelaksanaan pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar itu biasanya berdasarkan urutan yang ada dalam berita acara penyidikan dari jaksa penunutut umum. Atau urutannya itu
berdasarkan pertimbangan hakim ketua sidang asalkan semua pihak menyetujuinnya.
Akan tetapi, selama penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Karanganyar pelaksanaan pemeriksaan saksi secara bersamaan agar lebih efektif dan efisiensi waktu. Dan mengenai pelaksanaan pemeriksaan saksi secara bersamaan di Pengadilan Negeri Karanganyar itu juga selalu mendapat persetujuan dari jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukumnya. Jadi pelaksanaan pemeriksaan saksinyapun menjadi lancar.
Pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar antara yang memberatkan dan meringankan biasanya dilakukan pada hari yang berbeda. Biasanya saksi yang memberatkan terdakwa terlebih dahulu yang diperiksa di persidangan yaitu saksi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Baru pada sidang berikutnya dilakukan pemeriksaan saksi yang meringankan terhadap terdakwa, biasanya saksi ini diajukan oleh penasihat hukum terdakwa. Akan tetapi dalam perkara di atas saksi yang diajukan dalam persidangan hanya yang memberatkan terdakwa yaitu yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Karena dalam perkara ini terdakwa tidak didampingi oleh penasihat hukum. Walaupun saksi hanya diajukan dari jaksa penuntut umum tetapi pemeriksaan saksinyapun tetap dilakukan bersamaan meskipun, hanya tiga saksi saja yang hadir di persidangan. Karena yang dua masih terbaring di ruamah sakit. Bagi jaksa penuntut umum tiga saksi saja yang hadir di persidangan sudah cukup membuktikan kalau terdakwa yang bersalah. Karena dalam persidangan terdakwa sudah mengakui kelalaiannya tersebut sesuai dengan apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
Mengenai pemeriksaan saksi yang dihadirkan hanya beberapa orang saja itu ada aturannya yaitu, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 47 K/Kr/1956 tanggal 25 April
1957, bahwa Pengadilan Negeri tidak usah
mendengar semua keterangan saksi apabila pengadilan negeri berpendapat,
bahwa dalam pemeriksaan persidangan telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menhukum terdakwa. Senada dengan hal itu, dalam dalam putusannya Nomor: 81/K/Kr/1957 t anggal 25 April 1957, Mahkamah Agung menyatakan, bahwa karena terdakwa di sidang pengadilan negeri mengaku atas segala yang dituduhkan kepadanya, hakim cukup mendengar seorang saksi saja.
Kedua putusan Mahkamah Agung tersebut, menurut penulis sampai saat ini masih relevan, karena bersesuaian dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa untuk menyatakan sesuatu itu telah terbukti diperlukan minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim akan terbuktinya tindak pidana itu dan kesalahan terdakwa dalam tindak pidana tersebut.
Kedua putusan tersebut juga dapat menjadi pertimbangan mengapa pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar dilakukan secara bersamaan. Dalam persidangan ini jelas terdakwa sudah mengakui kesalahannya jadi keterangan dari seorang saksi saja sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dan pemeriksaan saksi yang dilakukan secara bersamaan itu boleh saja asalkan dalam hal alat-alat bukti yang lain cukup mendukung. Karena dalam persidangan perkara tindak pidana ini terdakwa sudah mengakui kesalahannya, maka pemeriksaan saksi yang dilakukan secara bersamaan ini dapat dilakukan. Pemeriksaan saksi dapat dilakukan secara bersamaan jika saksi yang dihadirkan ke depan persidangan itu dalam memberikan keterangan saling bersesuaian antara saksi yang satu dengan saksi yang lainnya.
Walaupun pemeriksaan di Pengadilan Negeri Karanganyar itu dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan tetapi, dalam berita acara pemeriksaan proses pemeriksaan saksi dicatat bahwa saksi telah dipanggil dan diperiksa di persidangan seorang demi seorang. Dan urutannyapun juga sesuai dengan apa
yang diatur dalam KUHAP. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran. Dan agar persidangan itu dapat lancer sesuai dengan prosedur yang ada.
Gaya dan tata caranya pemeriksaan saksi dapat berbeda-beda dari pengadilan satu dengan pengadilan yang lain. Demikian pula dari hakim yang satu dengan hakim yang lain. Gayanya pun tergantung kepada apakah terdakwa itu didampingi oleh penasihat hukum.
B. Pertimbangan
Terjadinya
Penyimpangan
dalam
Pelaksanaan
Pemeriksaan Saksi Dalam persidangan perkara pidana dilakukan pemeriksaan saksi secara bersamaan sebenarnya adalah tidak boleh. Karena hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 160 KUHAP. Tetapi dalam Pasal 172 ayat (1) KUHAP terdapat kata yang membolehkan saksi dapat didengar keteranganya baik seorang demi seorang maupun bersama-sama. Dari hasil wawancara dengan Bapak Arlandi Triyogo, S.,H. selaku hakim di Pengadilan Negeri Karanganyar, ada beberapa pertimbangan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pemeriksaan saksi, secara umum dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Keterangan dari para saksi yang dihadirkan di persidangan itu adalah sama. Keterangan dari para saksi yang dihadirkan di persidangan oleh jaksa penuntut umum dalam berita acara penyidikan pada intinya adalah sama. Begitu juga saksi yang dihadirkan oleh penasihat hukum, keterangannya dalam berita acara penyidikan adalah sama. Karena alasan itulah hakim melukukan pemeriksaan saksi secara bersamaan dengan meminta pendapat dari jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum terlebih dahulu. Jadi, karena antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain saling bersesuaian maka, hal tersebut dapat
dilakukan pemeriksaan secara bersamaan. Atau karena saksi yang dihadirkan itu lebih dari 5 maka tidak mungkin saksi tersebut diperiksa satu per satu karena akan memakan waktu lama pada hal keterangan yang diberikan adalah sama. Misalnya saja dalam persidangan perkara tindak pidana tertentu itu oleh jaksa penuntut umum mengajukan 10 orang saksi, dan hal tersebut jika saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang maka, baik hakim, jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum akan kesusahan dalam melakukan pemeriksaan pada hal inti dari keterangan para saksi tersebut adalah sama. Hal ini tidak menunjukan adanya efisiensi dan efektifitasan waktu pada hal dalam satu hari hakim itu menyidangkan lebih dari satu perkara pidana.
2. Jumlah informasi yang menjadikan dasar putusan terakhir sudah dapat diperoleh
dalam
bentuk
tertulis
(berkas
perkara)
ketika
sidang
berlangsung. Informasi yang dimaksud adalah yang terhimpun dalam berkas perkara (case dosier). Informasi tersebut sudah diketahui baik oleh hakim maupun jaksa penuntut umum sebelum persidangan dimulai. Selain itu, sebuah salinan mengenai seluruh berkas perkara dipersiapkan bagi terdakwa dan penasihat hukum. Hakim, jaksa penuntut umum dan terdakwa maupun penasihat hukum sepakat untuk melakukan pemeriksaan saksi secara bersamaan karena biasanya jarang sekali diketemukan buktibukti baru selama persidangan berlangsung. Apabila ada bukti baru yang penting terungkap selama persidangan berlangsung maka, pada umumnya hakim mengembalikan perkara tersebut kepada hakim instruksi. Yang dimaksud hakim instruksi adalah hakim dari pengadilan wilayah yang ditunjuk oleh pengadilan tinggi untuk masa jabatan dua tahun.
3. Adanya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Peradilan cepat itu menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan dari hakim. Jadi kaitannya dengan pelaksanaan pemeriksaan
saksi secara bersamaan adalah jika saksinya banyak dan akan dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk pemeriksaan saksi saja. Hal ini ditakutkan masa penahanan bagi terdakwa akan habis, bisa-bisa terdakwa tersebut dapat bebas karena masa penahanannya sudah berakhir. Dan peradilan cepat ini dapat juga dirumuskan baik penuntut umum maupun hakim berkewajiban memeriksa perkara terdakwa dengan cepat, terutama terhadap terdakwa yang berada dalam tahanan. Yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara tindak pidana di persidangan dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Efisien dan efektif di sini dapat dikaitkan dengan waktu yang digunakan dalam proses pemeriksaan saksi. Sehingga agar pemeriksaan saksi itu dapat efisien dan efektif maka, di Pengadilan Negeri Karanganyar dapat dilakukan pemeriksaan saksi secara bersamaan. Mengenai biaya perkara di persidangan itu semua dibiayai oleh Negara. Sehingga untuk menekan biaya agar biaya ringan pada persidangan dapat dilakukan dengan cara proses persidangan tidak berlarut-larut atau dengan kata lain peradilan cepat. Proses persidangan dapat dilakukan dengan cepat apabila pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan cepat pula. Yaitu dengan cara pemeriksaan saksi dilakukan secara bersamaan. Hal tersebut dapat menekan biaya persidangan agar menjadi biaya ringan.
4. Menganut sistem pembuktian negatif. Menurut sistem ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. Bahwa terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, apabila alat-alat bukti itu ditambah keyakinan hakim sendiri. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP. Misalkan
saja dalam suatu persidangan perkara tindak pidana ada 10 saksi yang diperiksa secara bersamaan sementara di KUHAP itu diatur harus ada 2 alat bukti yang merupakan syarat pembuktian. Dan dalam persidangan tersebut terdakwa sudah mengaku dan juga ada salah satu alat bukti yang mendukung maka, hal tersebut sudah menjadi 2 alat bukti yang sah.
5. Efisiensi dan efektifitas waktu. Pemeriksaan saksi dilakukan secara bersamaan agar lebih efisien dan efektif waktu. Karena dalam satu hari itu hakim tidak hanya menyidangkan satu perkara tindak pidana itu saja melainkan bisa lebih dari satu. Begitu juga dengan jaksa penuntut umum dan penasihat hukum tidak hanya menangani perkara tindak pidana itu saja. Untuk itu hakim, jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum sepakat kalau dilakukan pemeriksaan saksi secara bersamaan agar cepat selesai.
Walaupun
dalam
proses
persidangan
di
Pengadilan
Negeri
Karanganyar pemeriksaan saksinya dilakukan secara bersamaan, tetapi oleh panitera dicatat dalam berita acara pemeriksaan bahwa pemeriksaan saksi dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada dalam KUHAP. Dalam melakukan pemeriksaan secara bersamaan itu harus ada persetujuan dari jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum jadi tidak berdasarkan pertimbangan hakim saja. Hal ini dilakukan agar proses persidangan menjadi lancar. Pelaksanaan pemeriksaan saksi di PN Karanganyar yang dilakukan secara bersamaan itu biasanya untuk perkara tindak pidana yang jika, keterangan dalam berita acara penyidikan sama dan saling bersesuaian.
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa pelaksanaan pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar itu pada dasarnya adalah sama dengan yang diatur dalam Pasal 160 KUHAP. Pelaksanaan pemeriksaan saksi di muka persidangan baik di Pengadilan Negeri Karanganyar maupun yang diatur dalam Pasal 160 KUHAP itu dimulai dari pemanggilan saksi ke muka sidang, pemeriksaan identitas saksi, pengambilan sumpah dan janji dan yang terakhir adalah keterangan dari saksi. Akan tetapi dalam pelaksanaan pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Karanganyar itu ada beberapa yang membedakan dengan yang ada di KUHAP. Misalkan saja dalam persidangan saksi dipanggil dan diperiksa secara bersamaan. Pada hal itu sebenarnya tidak boleh karena dalam Pasal 160 KUHAP itu diatur bahwa saksi dipanggil seorang demi seorang. Tetapi hal itu dapat dilakukan sepanjang diperlukan. Karena saksi dipanggil secara bersamaan maka, pemeriksaan identitas para saksi juga dilakukan secara bersamaan. Begitu juga sewaktu saksi diambil sumpah dan janji di muka persidangan juga dilakukan secara bersamaan. Dengan ketentuan jika agama dari para saksi itu sama. Jika agama dari para saksi itu berbeda maka, urutan pengambilan sumpah diseranhkan kepada hakim ketua sidang. Setelah saksi diambil sumpah dan janji kemudian, saksi memberikan keterangan. Pada waktu memberikan keterangan dilakukan secara bersamaan hal ini terlihat di persidangan di PN Karanganyar. Jika ada salah satu saksi yang sedang memberikan keterangan maka, saksi yang lainnya tetap di muka sidang. Kalau dalam KUHAP saksi diperiksa seorang demi seorang jika, ada saksi yang memberikan keterangan maka saksi yang lain dipersilahkan ke luar dari ruang sidang. Pemeriksaan saksi secara bersamaan di Pengadilan Negeri
Karanganyar dapat dilakukan jika ada persetujuan dari jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum. Bukan keputusan dari hakim ketua sidang itu sendiri. 2. Pertimbangan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pemeriksaan saksi, antara lain : a. Keterangan dari para saksi yang dihadirkan di persidangan sama. Dalam berita acara penyidikan yang diserahkan ke pengadilan oleh jaksa penuntut umum dapat diketahui bahwa saksi yang akan diperiksa di pengadilan itu keterangannya sama dan bersesuaian. Maka untuk efisiensi dan efektifitasan waktu pemeriksaan saksi di PN Karanganyar dilakukan secara bersamaan dengan alasan keterangan dari para saksi adalah sama. b. Informasi yang menjadi dasar putusan terakhir sudah dapat diperoleh dalam bentuk tertulis (berkas perkara) ketika sidang berlangsung. Informasi yang dimaksud adalah yang terhimpun dalam berkas perkara. Informasi tersebut sudah diketahui oleh hakim, jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum sebelum sidang dimulai. Hakim, jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum sepakat untuk melakukan pemeriksaan saksi secara bersamaan karena jarang sekali diketemukan bukti baru selama persidangan berlangsung. Kalaupun diketemukan bukti baru selama persidangan biasanya hakim mengembalikan perkara kepada hakim instruksi. c. Adanya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Peradilan cepat itu menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan dari hakim. Yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara tindak pidana di persidangan dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Sedangkan biaya ringan adalah agar negara tidak mengeluarkan biaya yang banyak untuk suatu perkara. Dengan adanya pemeriksaan saksi secara bersamaan maka, asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dapat diterapkan.
d. Menganut sistem pembuktian negatif Menurut sistem ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya ada dua alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. Jadi pemeriksaan saksi walaupun dilakukan secara bersamaan tetap dapat dijadikan alat bukti. Selain itu jika terdakwa sudah mengaku maka, itu sudah menjadi dua alat bukti yang sah. e. Efisiensi dan efektifitas waktu. Pemeriksaan saksi dilakukan secara bersamaan agar lebih efisien dan efektif waktu. Karena dalam satu hari itu hakim tidak hanya menyidangkan satu perkara tindak pidana itu saja melainkan bisa lebih dari satu. Begitu juga dengan jaksa penuntut umum dan penasihat hukum tidak hanya menangani perkara tindak pidana itu saja.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian maka, perlu diberikan saran sebagai berikut : 1. Agar pelaksanaan pemeriksaan saksi dapat dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan maka, jika para saksi telah memberikan keterangan yang sama dalam berita acara penyidikan tidak harus semua saksi dipanggil ke persidangan karena keteranganya sama dan bersesuaian. 2. Perlu adanya pengaturan mengenai pelaksanaan pemeriksaan saksi khususnya yang dilaksanakan secara bersamaan, misalnya untuk perkara tindak pidana yang bagaimana yang dapat dilakukan pemeriksaan saksi secara bersamaan dalam persidangan. 3. Harus diadakan pembaharuan terhadap KUHAP, karena semakin lama KUHAP itu mulai tampak kelemahannya khususnya dalam proses persidangan.
4. Walaupun pemeriksaan saksi dilakukan secara bersamaan, tetapi hakim dituntut harus mempunyai kecakapan hukum dan keterampilan penguasaan yang matang akan seluk beluk dari pembuktian dan penilaian kekuatan pembuktian yang diatur dalam hukum acara pidana serta ditambah instuisi dari hakim yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. Catatan Kuliah PLKH Pidana, Bambang Santoso. Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta : Djambatan. Djoko Prakoso. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana. Yogyakarta : Liberty. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Mandar Maju. H. B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein. 1992. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi. Jakarta : Sinar Grafika. J. C. T. Simorangkir. 2000. Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. Luhut M.P. Pangaribuan. 2003. Hukum Acara Pidana (Satu Kompilasi Ketentuanketentuan KUHAP dan Hukum Internasional yang Relevan). Jakarta : Djambatan. Martiman Prodjohamidjojo. 1983. Pemeriksaan di Persidangan Pengadilan. Jakarta : Ghalia Indonesia. Mahkamah Agung RI. 1994. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II. Jakarta : Mahkamah Agung RI. M.L. Hc. Hulsman dan Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sistem Peradilan Pidana (dalam Prespektif Perbandingan Hukum). Jakarta : CV. Rajawali. M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika. Riduan Syahrani. 1983. Beberapa Hal tentang Hukum Acara Pidana. Bandung : Alumni. Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum. Bandung : Armico.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukun. Jakarta : UI Press. Yusti Probowati Rahayu. 2005. Dibalik Putusan Hakim (kajian psikologi hukum dalam perkara pidana). Surabaya : Srikandi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.