BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Penyelesaian perkara pidana dengan mempergunakan pendekatan represif sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana, telah melahirkan keadilan retributif (Retributive Justice), yang berorientasi pada pembalasan berupa pemidanaan dan pemenjaraan. Bahwa pelaksanaan keadilan retributif dirasa kurang menghasilkan keadilan bagi semua pihak terutama korban. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu upaya pembaharuan hukum pidana, guna menyelesaikan persoalan tersebut. Kongres
International Penal Reform
Conference yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London, pada tanggal 13-17 April Tahun 1999 dikemukakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights standards), dengan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, antara lain : 1. 2. 3. 4.
Restorative justice; Alternative dispute resolution; Informal justice; dan The role of civil society in penal reform.
1
Salah satu pembaharuan hukum yang diinginkan adalah penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif sudah diterapkan dalam UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mana pelaksanaannya tersebut dituangkan dalam proses diversi, yakni pengenyampingan perkara pidana. Adapun Tony F. Marshall memberikan definisi Restorative Justice Sebagai “is a process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.” (suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang)”.1 Menurut Stephenson, Giller, dan Brown salah satu bentuk Keadilan Restoratif, yang mempunyai tujuan memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan kepentingan pelaku, korban, dan komunitas adalah Mediasi Penal (Victim-Offender Mediation).2 Pada umumnya di Indonesai kita mengenal Mediasi sebagai bentuk pilihan penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) dalam bidang hukum perdata, yang mana mediasi diartikan sebagai suatu proses negoisasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak
1
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III September 2004, hal.19 2 I Made Agus Mahendra Iswara, Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Tesis, Program Pascasarjana Megister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, hal. 3
2
(imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. 3. Perkembangan hukum yang terjadi saat ini, memungkinkan bahwa mediasi tidak hanya dapat diterapkan dalam ranah hukum perdata namun juga dapat dipergunakan dalam hukum pidana. Mediasi dalam hukum pidana dikenal dengan mediasi penal. Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal adalah “Penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan mediator yang netral, dihadiri korban dan pelaku beserta orang tua dan perwakilan masyarakat, dengan tujuan pemulihan bagi korban, pelaku, dan lingkungan masyarakat.”4 Hukum Positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan diluar proses
pengadilan,
akan
tetapi
dalam
hal-hal
tertentu
dimungkinkan
pelaksanaanya. Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesia, walaupun tidak ada landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan diluar proses pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan sebagainya. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi. 5
3
Gary Gopaster, 1993, Negoisasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negoisasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negoisasi, Elips Projek, Jakarta, hal. 201. 4 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, Indie-Publishing, Depok, hal.86. 5 Barda Nawawi Arief, 2008, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, hal. 4-5
3
Hukum positif di Indonesia belum mengenal adanya penyelesaian perkara pidana yang diselesaikan melalui mediasi oleh aparat penegak hukum. Penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice hanya dikenal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh karena itu penyelesaian melalui mekanisme mediasi terhadap perkara pidana perlu di diatur kedepan dalam suatu aturan perundang-undangan. Penyelesaian melalui mediasi merupakan salah satu penjabaran asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang mana merupakan salah satu bentuk pembaharuan hukum pidana. berdasarkan latar belakang seperti telah diuraikan di atas perlu kiranya dilakukan penelitian dan dibahas secara mendalam dan hasilnya disajikan dalam bentuk skripsi dengan judul “Implementasi Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan kepada Latar Belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1.
Bagaimana mediasi penal sebagai upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia ?
2.
Bagaimana pelaksanaan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana?
4
1.3. Ruang Lingkup Masalah Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun permasalahan pertama bagaimana mediasi penal sebagai upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia sedangkan permasalahan kedua bagaimana pelaksanaan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana.
1.4. Orisinalitas Penelitian Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian skripsi atau tesis terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 1 (satu) skripsi dan 1 (satu) tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan Implementasi Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana : Tabel 1.1. Daftar Penelitian Sejenis No Judul Skripsi/Tesis 1. Peranan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Polresta Denpasar
Penulis Rumusan Masalah I Made Agus 1. Bagaimana Mekanisme Mahendra Mediasi Penal dalam Iswara Menyelesaikan Tindak (Mahasiswa Pidana Kekerasan dalam Fakultas Hukum Rumah Tangga di Polresta Universitas Denpasar ? Udayana), 2. Bagaimana Akibat Hukum Tahun 2011. Penyelesaian Melalui Mediasi Penal dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Polresta Denpasar ?
5
2.
Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restoratif Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali.
I Made Agus 1. Bagaimanakah Eksistensi Mahendra Hukum Pidana Adat dalam Iswara, Peraturan Perundang(Mahasiswa Undangan ? Program Studi 2. Bagaimanakah peran Magister Lembaga Adat dalam Hukum menyelesaikan Tindak Universitas Pidana Adat Bali dengan Indonesia), mempergunakan pendekatan Tahun 2013. Keadilan Restoratif melalui mekanisme Mediasi Penal ? 3. Bagaimanakah mekanisme penerapan Mediasi Penal dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali ?
Tabel 1.2. Daftar Penelitian Penulis No
Judul Skripsi
1.
Mediasi Penal sebagai penjabaran keadilan restoratif dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Indonesia
Penulis
Rumusan Masalah
Ni Komang 1. Bagaimana mediasi penal Surianti sebagai upaya pembaharuan Ningsih, hukum pidana di Indonesia Fakultas Hukum 2. Bagaimana pelaksanaan Universitas mediasi penal dalam Udayana, Tahun penyelesaian tindak pidana? 2014.
1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini berkaitan dengan paradigma “science as process” dalam artian, penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi teoretik khususnya pengembangan teori, konsep dan asas-asas hukum. Di samping itu, tujuan umum penelitian ini juga berhubungan dengan usaha untuk : 1.
Mengembangkan wawasan studi hukum dan masyarakat melalui penelahan hukum pidana;
6
2.
Mengembangkan pola pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat positivisme (terpaku pada aturan hukum tertulis) yang bersifat dogmatis, akan tetapi menuju arah berpikir yang progresif;
3.
Pengembangan studi hukum dan masyarakat yang mangarah pada kemahiran teoritis akademis, kemampuan berpikir kritis ilmiah, serta mampu melihat perkembangan-perkembangan hukum yang ada yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
1.5.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian berhubungan dengan paradigma ”science as product” dalam artian tertuju pada apa yang dirumuskan dalam rumusan masalah, yaitu : 1.
Untuk mendeskripsikan serta melakukan analisis mendalam tentang : mediasi penal sebagai upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia
2.
Untuk mendeskripsikan serta melakukan analisis mendalam tentang : pelaksanaan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana
1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian akan dapat menambah ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan studi hukum mengenai alternatif penyelesaian tindak pidana dengan menggunakan mekanisme mediasi, serta diharapkan dengan penelitian ini menambah referensi bagi aparat penegak hukum khususnya kepada
7
pihak yang terlibat dalam perkara pidana untuk dapat mempergunakan penyelesaian melalui upaya non formal (diluar proses peradilan) dengan menggunakan mekanisme mediasi. 1.6.2. Manfaat Praktis 1.
Dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi para pihak yang berperkara pidana.
2.
Dapat mengetahui pelaksanaan alternatif penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan mekanisme mediasi.
3.
Dapat menambah pengalaman dan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian hukum.
1.7. Landasan Teoritis a.
Teori Hukum Progresif Keterpurukan hukum di Indonesia tersebut menurut A.M. Mujahidin
disebabkan karena 2 (dua) faktor yaitu perilaku penegak hukum (professional juris) yang koruptif dan pola pikir para penegak hukum yang masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik. Kondisi hukum yang semakin terpuruk ini pada akhirnya tidak mendapat tempat di hati masyarakat karena sama sekali tidak memberikan jawaban atas kebutuhan hukum yang berkeadilan. Indikasi ketika dalam penegakan hukum semata-mata mengutamakan aspek kepastian hukum (reschtssicherheit) dengan mengabaikan keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit) bagi masyarakat. Adagium keadilan telah
berubah
sering
perkembangan
8
abad
nasionalisme
modern
yang
mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia tentang arti dan makna keadilan di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat. 6 Hukum atau peraturan perundang-undangan dalam implementasinya harus adil, tetapi ternyata yang terjadi adalah ketidakadilan. Padahal hukum terkait dengan keadilan, namun dalam praktik di kalangan aparatur penegak hukum belum sepenuhnya menyadari hal tersebut.7 Hakikat hukum adalah keadilan. Dalam praktiknya dalam masyarakat proses penegakan hukum yang dilaksanakan diarasakan masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Keadilan hukum yang muncul lebih bersifat legal-formal, keadilan yang berdasarkan teksteks tertulis yang ada dalam undang-undang (rule bound). Melihat probelmatik yang tejadi dalam masyarakat terhadap hal itu, Satjipto Rahardjo, menawarkan fungsi hukum sebagai alat bagi masyarakat yang disebutnya dengan hukum Progresif. Aliran hukum Progresif menekankan penafsiran hukum sebagai upaya menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat sehingga tercipta sebuah putusan yang adil. Pemikiran tersebut memang sangat sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat kecil yang tidak mempunyai posisi yang kuat dalam hal ekonomi maupun sosial. Tidak hanya itu, hukum progresif juga menawarkan satu cara pandang baru dalam berhukum yaitu dengan melibatkan hati nurani. Menurut
Satjipto
Rahardjo,
Penegakan
Hukum
Progresif
adalah
menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan
6 Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Bandar Maju, Bandung hal.30. 7 Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal.239.
9
(according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. 8 Inti dari hukum Progresif terletak pada berpikir dan bertindak Progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Sebenarnya pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia.
b.
Keadilan Restoratif sebagai perwujudan hukum progresif Penegakkan hukum Progresif berupaya untuk menyelesaikan perkara
dengan pendekatan keadilan Restoratif, guna menciptakan keadilan yang menguntungkan
semua
pihak
yang
berkonflik.
Banyaknya
kekurangan
penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan represif yang sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana, telah melahirkan keadilan Retributif, yang berorientasi pada pembalasan berupa pemidanaan dan pemejaraan pelaku. Ironis dalam Sistem Peradilan Pidana saat ini, walaupun pelakunya sudah menjalani hukuman namun belum memberikan kepuasan bagi para korban. Terhadap pelaku, kehadirannya belum dapat diintegrasikan atau direkatkan ke dalam lingkungan sosialnya, sehingga menyebabkan rasa dendam yang 8
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. xiii
10
berkepanjangan, dan dapat melahirkan prilaku kriminal baru. Hal ini dikarenakan belum tercapainya penyelesaian perkara secara tuntas antara pelaku dengan pihak korban serta lingkungannya, sebab mereka (pelaku dan korban) tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal sejatinya penyelesaian suatu perkara harus memberikan kontribusi keadilan bagi mereka yang berperkara. 9 Mudzakir memandang hukum pidana dan Sistem Peradilan Pidana saat ini tidak memberikan keadilan bagi masyarakat karena keadilan yang ditegakkan masih bersifat pembalasan (Retributif). Konsep keadilan dalam Kebijakan pidana pada masa depan harus bergeser dari keadilan Retributif menuju keadilan Restoratif.10 Melihat dari perkembangan teori pemidanaan yang pada awalnya terfokus pada kedudukan pelaku, berlanjut kepada peran penting bagi korban. Dalam perkembangan pemikiran pemidanaan lahirlah suatu Filosofi Pemidanaan baru yang berorientasi pada penyelesaian perkara pidana yang menguntungkan semua pihak baik korban, pelaku maupun masyarakat. Braithwaite seorang Ahli Kriminologi Australia, membedakan Restorative Justice menjadi 2 (dua) konsep yaitu, Pertama, fokus pada proses dan konsep (concept), yaitu mempertemukan semua kepentingan yang terdampak oleh suatu kesalahan. kedua, fokus pada nilai (values), yiatu Keadilan restoratif sebagai nilai yang berkaitan dengan kesembuhan (pemulihan) korban dan ketidakadilan dan menempatkan korban sebelum terjadinya kejahatan termasuk reparasi hubungan 9 Mansyur Kartayasa, Restorative Justice dan Prospeknya Dalam Kebijakan Legislasi, Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April 2012, hal.1-2. 10 Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi dalam memperoleh Gelar Docktor Ilmu Hukum Program PascaSarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hal.180.
11
antara pelaku dan korban. Keadilan restoratif baik sebagai proses maupun sebagai nilai, erat kaitannya dengan rekonsiliasi antara pelaku dan korban.11 Inti dari Restoratif Justice adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggung jawab dan membuat perubahan, yang semuanya itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perspektif Restorative Justice. 12 Restorative Justice bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.13 Menurut Wright. M konsep Keadilan Restoratif pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat apabila diperlukan.14
11
Romli Atmasasmita, Cita Keadilan Restoratif Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April 2012, hal.8. 12 Ridwan Masyur, 2010, Mediasi Penal Teradap Perkara Pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, hal.121. 13 I Made Agus Mahendra Iswara, Op.Cit, hal.13. 14 Op.Cit, hal.14.
12
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten.
15
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
menggunakan metode yuridis empiris, metode yuridis yaitu suatu metode penulisan hukum yang berdasarkan pada teori-teori hukum, literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan metode empiris yaitu suatu metode dengan melakukan observasi atau penelitian secara langsung ke lapangan guna mendapatkan kebenaran yang akurat dalam proses penyempurnaan penulisan skripsi ini. 1.8.2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat Eksploratif (penjajakan atau Penjelajahan). Penelitian Eksploratif artinya penelitian dilakukan terhadap pengetahuan yang baru, masih belum adanya teori-teori atau belum adanya informasi tentang norma-norma atau ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut, atau kalaupun sudah ada masih relatif sedikit, begitu juga masih belum adanya dan/atau sedikit literatur atau karya ilmiah lainnya yang menulis tentang hal tersebut.
15
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 42.
13
1.8.3. Sumber Data 1.8.3.1. Data Primer Data primer yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber atau diperoleh dari penelitian di lapangan yang dilakukaan dengan cara mengadakan penelitian di Kepolisian Daerah Bali. 1.8.3.2.
Data Sekunder
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut : 1.
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat, yaitu: a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana ;
c.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
d.
Telegram Rahasia (TR) Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian;
e.
Kesepakatan Bersama Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan
Republik
Indonesia,
14
Departemen
Agama
Republik
Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum. f.
Surat telegram rahasia Kabareskrim Kepolisian Negara Republik Indonesia No : STR/583/VII/2012 Tanggal 8-8-2012 Tentang Contoh Penanganan Kasus yang berkaitan dengan Konsep Restorative Justice
2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literatur, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, disamping itu, juga dipergunakan bahanbahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopi (download) bahan hukum yang diperlukan.
3.
Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus, yang terdiri dari : a.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta;
b.
Kamus hukum.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi. Bahan hukum yang diperolehnya, diinfentarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari tehnik
15
dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapatpendapat,
penemuan-penemuan
yang
berhubungan
dengan permasalahan
penelitian. 1)
Teknik studi dokumen Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan
dalam
melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada benda-benda berbentuk tulisan, dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji yang berupa buku-buku, majalah, literatur, dokumen, peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. 2)
Teknik wawancara Metode wawancara adalah metode untuk mengumpulkan data dengan cara
tanya jawab. Dalam penelitian ini wawancara yang merupakan teknik untuk memperoleh data dilapangan dipergunakan untuk menunjang dari data-data yang diperoleh melalui studi dokumen. Dimana Peneliti sebagai penanya dan Sumber Informan sebagai obyek yang akan dimintai keterangan dan informasi terkait penelitian tersebut. Pedoman daftar pertanyaan dibuat secara sistematis dan telah disiapkan oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan dengan wawancara kepada narasumber yaitu bagian Reserse kriminal.
16
1.8.5. Pengolahan dan Analisa Data Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisa kualitatif merupakan pengumpulan data menggunakan pedoman studi dokumen, dan wawancara. Penelitian dengan teknik analisis kualitatif ini keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun sekunder, akan diolah dan dianalis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikatagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.
17