BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang terjadi adalah adanya peningkatan jumlah populasi odha secara komulatif dan kesenjangan kebutuhan layanan Antiretroviral therapy (ART). Salah satu target dan komitmen politik deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2011 dalam penanggulangan HIV/Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah tercapainya 15 juta orang dengan HIV/AIDS (odha), untuk mendapatkan dukungan, perawatan dan pengobatan antiretroviral (ARV) di tahun 2015. Laporan secara global terhadap peningkatan akses layanan ARV terbukti efektif menurunkan infeksi baru HIV di beberapa negara, seperti Nepal, Kamboja, Thailand, dan negara berkembang lainnya (UNAIDS, 2012). Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit, namun terapi ARV terbukti mampu menurunkan angka kesakitan, kematian, meningkatkan kualitas dan harapan hidup odha. Kenyataan sampai saat ini secara global terdapat sekitar 22 juta atau 60% (tiga dari lima orang) HIV yang masih tidak dapat mengakses ARV, sekitar 75% (tiga dari empat anak) yang hidup dengan HIV tidak menerima pengobatan ARV (UNAIDS, 2013). Hal ini juga ditemukan di Indonesia, dimana masih terdapat gap yang lebar antara jumlah odha yang memenuhi syarat untuk mendapatkan ARV dengan odha yang tidak menerima ARV sebesar 22,63% (23.845 dari 105.363 orang). Situasi di Propinsi Bali ditemukan gap sebesar 4,24% (5.802 dari 6.059 orang) (Kemenkes RI, 2014a). Walaupun gap yang terjadi di Propinsi Bali masih rendah, namun ke depan gap tersebut
1
2
diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah kasus HIV dan layanan ART yang masih terpusat di rumah sakit. Permasalahan lain terkait dengan antiretroviral therapy (ART) di Indonesia adalah perluasan layanan skrining pemeriksaan HIV di layanan kesehatan primer menemukan jumlah odha yang memerlukan terapi ARV setiap tahun cenderung meningkat, adanya kejadian kasus lost to follow up pada pemantauan pemberian ARV odha. Jumlah odha yang lost to follow up pada pemberian ARV di Indonesia sekitar 17,95 % (14.630 dari 81.518), di Propinsi Bali tercatat sekitar 18,32% (1.063 dari 5.802) (Kemenkes RI, 2014a), sedangkan di Kabupaten Badung, berdasarkan laporan klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) Rumah Sakit Daerah Kabupaten Badung pada bulan September 2014 sebanyak 12,07% (86 dari 712). Diperkirakan juga jumlah yang lost to follow up akan meningkat seiring bertambahnya jumlah odha, dan pemantauan terapi yang terpusat di rumah sakit skunder dan tertier (Kemenkes RI, 2014a). Situasi negara-negara di Asia seperti Nepal, Myanmar, Kamboja, Thailand, dan Papua New Guinea telah berhasil menurunkan jumlah infeksi baru HIV dan kematian terkait AIDS, karena memiliki akses yang cukup luas dengan melibatkan layanan primer dalam pemberian ARV(UNAIDS, 2012). Sedangkan situasi yang terjadi di Indonesia berdasarkan laporan dari Kemenkes RI Triwulan II (Agustus 2014), kasus infeksi baru HIV dan kematian karena AIDS justru meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah kasus infeksi baru HIV dalam setahun yang dilaporkan pada Triwulan II Tahun 2013 sebesar 4.841 orang, meningkat hampir dua kali menjadi 8.901 orang pada Triwulan II Tahun 2014 berikutnya (Kemenkes RI, 2013a, 2014a). Dalam hal jumlah kasus tersebut, Indonesia di Asia Fasifik memiliki jumlah kasus HIV terbanyak nomor dua setelah India (UNAIDS, 2013). Salah satu yang terkait dengan
3
peningkatan kejadian kasus baru HIV tersebut adalah akses terhadap layanan ART di Indonesia belum sebaik seperti negara-negara di Asia tersebut (UNAIDS, 2012). Oleh karena itu, perlu adanya perluasan dukungan layanan ART dan pemantauan yang lebih efektif untuk mencapai keberhasilan dalam penanggulangan HIV, serta untuk mencegah status epidemi HIV di Indonesia ke arah generalize epidemic. Penelitian perluasan akses dukungan layanan ART di wilayah Afrika, Zambia, dan India, cukup efektif memperlihatkan keberhasilan dalam penurunan kasus infeksi baru HIV dan mengurangi beban biaya kesehatan (Eaton, et al., 2014). Hal yang sama terjadi pada penelitian integrasi perawatan HIV ke dalam layanan primer di Propinsi Free State-Afrika Selatan, ternyata dapat meningkatkan kelangsungan hidup odha dengan jumlah CD4 < 350 (Uebel KE, et al., 2013). Sejalan dengan penelitian tersebut, perawatan HIV yang diintegrasikan ke layanan primer juga dapat meningkatkan kepuasan dan mengurangi stigma di daerah pedesaan Kenya (Odeny, et al., 2013). Temuan dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa, layanan primer ternyata berperan cukup baik untuk membantu keberhasilan program penanggulangan HIV/AIDS. Oleh karena itu, integrasi layanan ARV ke layanan primer perlu dipertimbangkan. Di Indonesia dan khususnya di Propinsi Bali, integrasi layanan ART ke layanan puskesmas bagi penderita odha, dapat memberikan beberapa keuntungan, seperti: puskesmas tersedia di semua kecamatan di Provinsi Bali (Dikes Propinsi Bali, 2013); menawarkan cakupan wilayah geografis yang luas untuk peningkatan aksesibilitas; puskesmas sudah menyediakan beberapa layanan pendukung untuk skrining HIV-AIDS, seperti klinik VCT/IMS, PMTCT, laboratorium, dan layanan pengobatan dasar (Kemenkes, 2014b); biaya pelayanan kesehatan di puskesmas terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; dukungan pemerintah saat ini telah
4
menerapkan metode SUFA (Strategic Use of ARV) yang tidak memandang jumlah CD4 pada pemberian ARV; serta pemerintah telah memberlakukan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk untuk mencapai universal coverage pada bidang kesehatan, dimana puskesmas sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan tingkat I (PPK I) (Presiden RI, 2011). Oleh karena itu, potensi puskesmas cukup baik untuk dikembangkan sebagai satelit ART. Berdasarkan analisa situasi laporan perkembangan HIV/AIDS di Indonesia, terkait pengobatan ARV belum kondusif. Pengembangan layanan care support and treatment (CST) pada odha di Indonesia masih terpusat pada sektor rumah sakit sekunder dan tersier yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Jumlah layanan CST atau perawatan dukungan dan pengobatan (PDP) saat ini sebanyak 324 rumah sakit pengampu dan 130 satelit aktif ARV (Kemenkes RI, 2014a), yang tersebar di sebagian besar rumah sakit rujukan. Sedangkan strategi yang diharapkan oleh WHO adalah adanya peningkatan dan perluasan cakupan layanan CST, dengan lebih banyak melibatkan layanan primer (WHO, 2011). Oleh karena itu, arah kebijakan dari Kemenkes RI (2013c), mengindikasikan pentingnya untuk melakukan kajian permasalahan upaya pengembangan layanan ART, sekaligus melihat potensi sumber daya puskesmas sebagai ujung tombak kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) menekankan bahwa, puskesmas memiliki peran penting dalam sistem kesehatan nasional. Untuk itu, perlu kajian dan penataan strategi lanjutan untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas layanan puskesmas dalam meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Dukungan manajemen layanan puskesmas telah diupayakan oleh pemerintah agar tersedia sarana dan prasarana, sumber daya manusia (tenaga kesehatan), biaya penyelenggaraan program,
5
obat-obatan dan peralatan penunjang diagnostik dasar, sistem manajemen pengawasan terpadu, sitem pencatatan dan pelaporan dalam pengembangan layanan ART bagi pasien odha (Kemenkes, 2014b). Meskipun sarana dan prasarana penunjang layanan HIV di puskesmas telah tersedia, namun obat ARV saat ini masih tersedia di tingkat rumah sakit rujukan odha. Adanya potensi yang memadai di puskesmas, menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan program layanan satelit ART. Pelaksanaan metode SUFA saat ini di 13 Kabupaten/kota di Indonesia memungkinkan bagi petugas kesehatan untuk memberikan ARV bagi setiap odha secara langsung, tanpa memandang jumlah sel CD4, yang dikenal dengan istilah test and treat. Selain itu, himbauan dari Kemenkes RI, rumah sakit dan puskesmas diharapkan menyediakan layanan terkait penanggulangan HIV/AIDS ke dalam salah satu program layanan pokok sebagai bagian dari standar layanan kesehatan, sebagai acuan dalam penilaian akreditasi rumah sakit atau puskesmas (Kemenkes RI, 2013f). Oleh karena itu, penting bagi puskesmas untuk merencanakan pengembangan layanan satelit ART, mengingat jumlah odha setiap tahun cenderung semakin meningkat. Beberapa kekuatan dan peluang apabila layanan ART diintegrasikan ke dalam layanan primer adalah terkait dengan kedekatan geografis yang memudahkan akses bagi odha, Sumber Daya Manusia (SDM kesehatan) tersedia di puskesmas, beban ekonomi keberlangsungan pengobatan lebih efektif (Renaud, et al., 2009), perlahan-lahan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi penyakit ini di masyarakat (Monjok, et al., 2009), tersedia logistik untuk menunjang layanan ART, dan obat ARV sampai saat ini disediakan secara gratis oleh pemerintah (Kemenkes RI, 2007), serta jumlah odha yang semakin meningkat setiap tahun (Kemenkes RI, 2014a). Disatu sisi, tantangan dan hambatan yang perlu dipikirkan adalah perlu biaya tambahan untuk optimalisasi sumber daya seperti, kompetensi tenaga harus terlatih CST, adanya tambahan beban kerja bagi
6
tenaga kesehatan, banyaknya program promotif dan preventif di puskesmas, adanya isu stigma dan diskriminasi baik dari petugas kesehatan maupun masyarakat lokal terhadap odha, yang berakibat layanan yang tersedia tidak dimanfaatkan oleh odha (KPA, 2011). Oleh karena itu, untuk pengembangan layanan satelit ART pada puskesmas di Kabupaten Badung perlu kajian kesiapan lebih lanjut. Beberapa negara yang telah menerapkan layanan satelit ART di layanan primer seperti Afrika dan Uganda telah berhasil meningkatkan kepatuhan berobat dan mengurangi kematian odha (Eaton, et al,. 2014). Penelitian serupa terhadap integrasi perawatan HIV di layanan kesehatan primer di daerah pedesaan Kenya, ternyata juga dapat meningkatkan kepuasan odha dan mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap odha (Odeny, et al., 2013). Hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai pembanding apabila menerapkan layanan satelit ART di puskesmas, namun kondisi di negara-negara tersebut kemungkinan berbeda dengan kondisi di Indonesia khususnya di Kabupaten Badung terkait adanya stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV. Walaupun Kabupaten Badung sebagai kabupaten dengan penghasilan pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi di Provinsi Bali, sarana dan prasarana layanan kesehatan cukup memadai, jumlah SDM tersedia dan telah terbentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Badung, namun stigma dan diskriminasi terhadap odha oleh masyarakat masih menjadi isu utama (KPA Provinsi Bali, 2010). Hal tersebut diketahui ketika ada pemandian jenazah odha, masyarakat banyak yang menghindar dari kegiatan pemandian tersebut (KPA Propinsi Bali, 2012). Mengingat stigma dan diskriminasi baik dari petugas kesehatan maupun masyarakat mempengaruhi prilaku odha dan dapat menjadi faktor penghambat odha dalam mengakses layanan ke puskesmas, maka perlu penelitian lebih lanjut terkait efektifitas pengembangan layanan satelit ART.
7
Layanan ART bagi odha di Propinsi Bali saat ini baru tersedia di tujuh rumah sakit rujukan daerah dan di RSUP Sanglah Denpasar. Sedangkan layanan primer yang telah memberikan ARV saat ini, baru pada Puskesmas Gerogak II (sebagai satelit RSUD Buleleng) dan di Yayasan Kerti Praja Denpasar (sebagai satelit RSUP Sanglah) dan itupun sebatas sebagai satelit ARV. Puskesmas lainnya di Propinsi Bali belum ada sebagai satelit ART, walaupun telah memiliki layanan voluntary counseling and testing (VCT) dan telah ditemukan odha di wilayah kerja puskesmas (Kemenkes RI, 2014a). Di Kabupaten Badung, dari 12 puskesmas yang telah menyediakan layanan VCT dan sembilan puskesmas diantaranya sudah terdapat odha, belum satu puskesmas pun terlibat sebagai layanan satelit ART rumah sakit (Kemenkes RI, 2014a). Ditinjau dari segi geografis wilayah Kabupaten Badung cukup luas, prevalensi infeksi HIV peringkat tiga besar di Propinsi Bali setelah Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng (Dikes Badung, 2013), jumlah kasus odha yang berobat ke Rumah Sakit Daerah Kabupaten Badung setiap tahun mengalami peningkatan yang menambah beban dalam pemantauan kepatuhan berobat petugas CST rumah sakit, serta beberapa daerah di Kabupaten Badung seperti wilayah Kuta dan Kuta Selatan terdapat populasi kunci (penasun, LSL, PSK) yang berisiko terinfeksi HIV, merasa kesulitan dalam mengakses layanan (Januraga, et al., 2010). Dengan demikian perluasan akses jangkauan layanan ART ke puskesmas perlu segera dikembangkan. Penelitian terkait pengembangan layanan kesehatan secara komprehensif berbasis primary health care bagi pekerja sex perempuan di Bali, merekomendasikan puskesmas sebagai layanan primer harus diberdayakan untuk memberikan layanan secara komprehensif kepada pekerja sex perempuan dan masyarakat terkait (Januraga, et al., 2010), namun penelitian tersebut tidak membahas masalah odha dari masyarakat
8
umum di layanan primer. Penelitian tersebut juga tidak membahas kesiapan puskesmas sebagai satelit ART dalam memberikan layanan secara komprehensif bagi odha. Studi kajian pengembangan integrasi puskesmas sebagai satelit ART rumah sakit di Propinsi Bali dan khususnya di Kabupaten Badung, sampai saat ini sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan, sehingga belum ada informasi apakah puskesmas di Kabupaten Badung yang telah melaksanakan program HIV, tersedia layanan klinik VCT/IMS, sarana dan prasarana penunjang laboratorium, tenaga penjangkau dari LSM dan KPA, telah siap dikembangkan sebagai satelit ART RSUD Badung? Untuk itu penelitian ini dilakukan. Hasil wawancara dengan beberapa populasi kunci (pekerja seks) dan mucikari yang berobat ke layanan klinik VCT/IMS Puskesmas Kuta Selatan sebagai studi pendahuluan, diketahui sebagian besar dari populasi kunci berharap puskesmas dapat menyediakan obat-obatan bagi penderita IMS dan HIV (ARV), sehingga mengurangi jarak dan biaya pengobatan ke rumah sakit rujukan. Puskesmas diharapkan mampu memberikan layanan secara komprehensif dan berkesinambungan bagi populasi tersebut yang rawan tertular infeksi menular seksual dan HIV. Studi pendahuluan tersebut, mengindikasikan ada kebutuhan di level bawah terkait penyediaan layanan secara komprehensif di puskesmas. Untuk mencapai keberhasilan universal access pada pemberian ARV, penelitian ini penting dikerjakan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran informasi sumber daya dan tanggapan petugas kesehatan terkait persiapan sebagai satelit ART. Penelitian ini mengeksplorasi kondisi sumber daya internal dan eksternal puskesmas yang berperan dalam pengembangan layanan ART berdasarkan perspektif petugas kesehatan, pemegang kebijakan, LSM, tokoh masyarakat dan odha sendiri sebagai pengguna layanan tersebut. Hasil studi ini diharapkan berguna dalam membuat
9
rencana strategi ke depan untuk persiapan puskesmas sebagai satelit ART di Propinsi Bali, sehingga pelaksanaan program SUFA pemerintah di Propinsi Bali berhasil. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang rencana pengembangan layanan puskesmas sebagai satelit ART, dapat dirumuskan beberapa permasalahan seperti yang tercantum di bawah ini. 1. Bagaimanakah kesiapan sumber daya puskesmas di Kabupaten Badung sebagai layanan satelit ART bagi odha? 2. Sumber daya internal puskesmas apa saja yang berperan sebagai pendukung dan penghambat puskesmas di Kabupaten Badung sebagai satelit ART? 3. Bagaimanakah pandangan pihak eksternal puskesmas meliputi odha sebagai pengguna layanan, petugas CST rumah sakit, pemegang kebijakan dan masyarakat terkait pengembangan layanan satelit ART di puskesmas? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui kesiapan puskesmas, dukungan dan hambatan sumber daya, serta pandangan pihak ekternal puskesmas di Kabupaten Badung terhadap pengembangan puskesmas sebagai satelit ART bagi odha. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesiapan, dukungan dan hambatan beberapa hal di bawah ini. 1. Kesiapan, dukungan dan hambatan sumber daya manusia (SDM) kesehatan di puskesmas se-Kabupaten Badung sebagai satelit ART.
10
2. Kesiapan, dukungan dan hambatan sarana prasarana penunjang layanan puskesmas se-Kabupaten Badung sebagai satelit ART. 3. Kesiapan, dukungan dan hambatan pembiayaan pengembangan program HIV/AIDS di puskesmas se-Kabupaten Badung. 4. Kesiapan, dukungan dan hambatan sistem manajemen informasi program HIV/AIDS di puskesmas sebagai satelit ART. 5. Kesiapan, dukungan dan hambatan sediaan farmasi dan alat kesehatan dasar sebagai penunjang layanan satelit ART di puskesmas se-Kabupaten Badung. 6. Pandangan pihak eksternal puskesmas meliputi odha sebagai pengguna layanan ARV, petugas CST rumah sakit, tokoh masyarakat, pemegang kebijakan lokal dan LSM terkait pengembangan puskesmas di Kabupaten Badung sebagai satelit ART. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat secara teoritis Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber referensi tambahan dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat, khususnya dalam pengembangan program pemberantasan HIV/AIDS di masyarakat. 1.4.2 Manfaat secara praktis 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Badung Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang berguna bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Badung terutama dinas kesehatan, dalam menentukan sasaran puskesmas yang tepat sebagai satelit ART. Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengambil keputusan dan membuat rencana strategi perencanaan sumber daya terkait penanggulangan HIV/AIDS.
11
2. Puskesmas Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada kepala puskesmas sebagai pelaksana program penanggulangan HIV/AIDS secara komprehensif. Informasi tersebut diharapkan berguna dalam
membuat
perencanaan persiapan pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, melalui rapat koordinasi pembangunan kesehatan (ratkorbangkes) di tingkat kabupaten. 3. Bagi masyarakat khususnya odha Penelitian ini diharapkan membuka wawasan pemegang kebijakan untuk meyediakan akses layanan ARV di puskesmas, sehingga secara langsung manfaat bagi odha yaitu memudahkan akses odha dalam memperoleh layanan pengobatan ARV.