BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1.1.a Pengertian Emeritasi Secara Umum Emeritasi merupakan istilah yang tidak asing di telinga kita. Dalam dunia pendidikan kita mengetahui adanya profesor atau guru besar yang di-emeritasi setelah orang yang bersangkutan menyelesaikan masa jabatannya. Gelar emeritasi yang diberikan kepada mereka dimaksudkan sebagai gelar kehormatan yang diperoleh karena pengabdian yang telah diberikan selama menjalankan tugasnya. Bila kita melihat kepada akar katanya, emeritus berasal dari bahasa latin; emereo yang berarti “memperoleh karena jasanya”, “menerima”1,“layak”. Emeritus berarti telah selesai tugasnya, tidak terpakai lagi.2 Istilah emeritus dulunya dipakai di kalangan militer romawi yang ditujukan bagi para prajurit yang habis masa tugasnya berperang, tetapi sewaktu-waktu dapat dipanggil kembali untuk mengangkat senjata ke front.3 Dari pengertian ini, penggunaan istilah emeritus meluas ke dalam bidang akademis dan bidang keagamaan.
1.1.b. Pengertian Pensiun Secara Umum Seseorang yang mendapatkan gelar emeritas adalah orang yang juga mengalami proses pensiun. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat pengertian pensiun yang diberlakukan dalam dunia kerja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pensiun diartikan sebagai berikut4: 1. Uang tunjangan yang diterima tiap-tiap bulan oleh karyawan sesudah ia berhenti bekerja oleh istri (suami) dan anak-anaknya yang belum dewasa kalau ia meninggal dunia. 1
Individu yang diberi gelar emeritus menerima penghormatan atas pengabdiannya. Drs. K. Prent & Drs. J. Adisubrata, Wj. Poerwadarminta, Kamus Latin-Indonesia, 1969, p.282. 3 Drs. K. Prent & Drs. J. Adisubrata, Wj. Poerwadarminta, , Kamus Latin-Indonesia 1969 ,p. 283. 4 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989 p. 665. 2
1
2. Tidak bekerja lagi dengan menerima tunjangan bulanan.
Bila kita melihat pada pengertian di atas, kita dapat melihat sebuah kejanggalan yakni pensiun diartikan sebagai penerimaan uang tunjangan oleh individu yang bersangkutan. Pensiun dikaitkan dengan erat pada masalah penerimaan tunjangan dan bukan pada masalah keterbatasan kinerja seseorang yang telah memasuki masa tua. Padahal menurut asal-usul penggunaan istilah pensiun, usia tua memegang peranan yang penting untuk mendapatkan pensiun. Dalam Ensiklopedi Umum, pensiun dijelaskan sebagai berikut5: mula-mula hadiah raja kepada mereka yang dikasihinya, kepada para prajurit dan kemudian kepada pegawai-pegawai negeri yang diberhentikan bekerja oleh karena umurnya telah lanjut.
1.1.c. Emeritasi Dalam Gereja Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, istilah emeritus yang dulunya digunakan dalam bidang militer meluas penggunaanya kedalam dunia pendidikan dan juga ke dalam bidang keagamaan. Dalam bidang keagamaan kita melihat adanya peng-emeritasi-an pendeta pada gereja-gereja Protestan. Gelar emeritus diberikan kepada pendeta yang telah mencapai batasan usia yang telah ditetapkan dalam tata gereja masing-masing. Dalam hal ini, gereja-gereja Protestan memiliki perbedaan dengan gereja Roma Katolik karena gereja Roma Katolik tidak memberikan gelar emeritasi kepada para pastornya. Bagi gereja Roma Katolik, panggilan seorang pastor merupakan panggilan yang berlaku seumur hidup tanpa ada pembatasan tertentu, kecuali individu yang bersangkutan sakit atau menyatakan diri tidak sanggup lagi melakukan segenap tugas-tugasnya karena usia tua yang membatasi dirinya. Dalam gereja-gereja Protestan, gelar emeritus diberikan kepada seorang pendeta yang telah memasuki masa pensiun. Seorang pendeta yang menerima gelar emeritus tidak lagi memegang jabatan secara struktural dalam gereja maupun dalam lembaga organisasi sinode. Sebagai contoh, pendeta emeritus tidak diperkenankan untuk menduduki jabatan sebagai ketua majelis jemaat dalam gereja. Pelepasan jabatan struktural ini tentunya 5
Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo (Red.), Ensiklopedi umum, 1977 kanisius Yogyakarta, p.987.
2
berkenaan dengan salah satu aspek gereja yaitu aspek institusional gereja, gereja sebagai suatu organisasi. Ketika seorang pendeta diemeritasi, yang berakhir adalah jabatan yang bersifat struktural tetapi ke-pendeta-an itu sendiri tetap berlaku seumur hidup. Tugas pendeta emeritus juga tidak jauh berbeda dengan tugas-tugasnya semasa ia masih aktif. Misalnya saja tugas katekisasi, perkunjungan, berkhotbah tetap ia lakukan, hanya saja kuantitasnya mengalami pengurangan. Ketentuan-ketentuan yang menyertai proses emeritasi dapat bervariasi sesuai dengan konteks masing-masing gereja. Walaupun memiliki perbedaan secara teknis, terdapat beberapa kesamaan di dalamnya yakni konsep emeritasi itu sendiri serta pelepasan jabatan struktural pada pendeta yang akan diemeritasi. Dalam tata gereja GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) misalnya, emeritasi diuraikan dan diatur sebagai berikut: 1. Pengertian: emeritus adalah gelar yang diberikan kepada pelayan khusus yang telah menampakkan kesetiaan dalam pekerjaan dan pelayanannya seperti: prilaku yang menjadi pola anutan dan sikap moral dalam kehidupan ditengahtengah jemaat dan masyarakat, sikap hidup beribadah yang nampak melalui kesetiaan mengikuti ibadah-ibadah jemaat dan kesetiaan menjalankan tugastugas gereja. 2. Pendeta, penatua dan diaken diberikan gelar emeritas bila tidak pernah dikenaan penggembalaan khusus. 3. Pendeta mendapatkan gelar emeritas setelah berumur 63 tahun ditetapkan dalam sidang moderamen GBKP. 4. (Mengatur mengenai hal emeritasi penatua dan diaken). 5. (Mengatur mengenai hal emeritasi penatua dan diaken). 6. (Mengatur mengenai hal emeritasi penatua dan diaken). 7. (Mengatur mengenai hal emeritasi penatua dan diaken). 8. Pendeta, penatua dan diaken tidak boleh menduduki jabatan struktural di moderamen, BP. Klasis ataupun sidang sinode.
3
9. Pendeta, penatua dan diaken emeritus diundang pada sidang sinode gereja sebagai konsultan yang memiliki hak bicara tetapi tidak memiliki hak suara/voting. 10. Surat keputusan menerima gelar emeritus dikeluarkan oleh moderamen GBKP. 11. (Mengatur mengenai hal emeritasi penatua dan diaken). 12. Gelar emeritas dapat dicabut apabila yang bersangkutan melanggar tata gereja dan atau berperilaku mencemarkan nama baik GBKP.6 Tidak hanya dalam tata gereja GBKP, tetapi dalam tata gereja lain juga dikemukakan bagaimana seorang pendeta yang akan diemeritasi harus melepaskan jabatan sturuktural yang dipegangnya. Dalam tata gereja GKI (Gereja Kristen Indonesia) misalnya: 1. Seorang pendeta yang telah mencapai umur 60 tahun atau yang karena sakit atau karena cacat atau karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat melanjutkan pelayanan kependetaannya, dinyatakan dan diberi status sebagai pendeta emeritus dalam kebaktian emeritasi. 2. Dalam statusnya itu: jabatan pendetanya dipertahankan, namun ia dibebaskan dari semua jabatan dan fungsi strukturalnya di dalam majelis jemaat. Ia disebut sebagai pendeta emeritus. 3. Emeritasi seorang pendeta dapat ditunda sampai dengan umur 65 tahun jika ia memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tenaganya masih sangat dibutuhkan oleh jemaat atau lembaga yang dilayaninya b. Ia masih mampu melakukan tugas pelayanannya c. Terdapat kesepakatan antara pendeta dengan majelis jemaat atau lembaga yang dilayaninya. 4. Seorang pendeta emeritus: 6
Tata Gereja GBKP 2005-2015, p. 17-18.
4
1. Diharapkan untuk meyumbangkan tenaga dan pikirannya secara nonstruktural di jemaat, klasis, sinode wilayah, dan sinode, sesuai dengan kondisi dan
kemampuannya, kebutuhan yang ada pada jemaat, klasis,
sinode wilayah dan sinode 2. Diperkenankan bekerja dalam bidang lain sejauh pekerjaannya itu tidak bertentangan dengan iman Kristen dan ajaran GKI.7
1.2. Pokok Permasalahan Berangkat dari uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan yang muncul dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Pertama, hal yang menimbulkan pertanyaan adalah apakah yang menjadi pertimbangan pemberlakuan sistem emeritasi terhadap pendeta di dalam gereja? Karena sistem emeritasi ini diberlakukan dalam gereja, apakah pelepasan jabatan (emeritasi) tersebut memiliki landasan yang tepat secara teologis? Atau bisa saja peng-emeritasi-an pendeta dianggap hanya berkenaan dengan fungsi organisasi gereja. Sementara itu, dalam masing-masing tata gereja yang telah penyusun sebutkan tidak tercantum landasan teologis yang menyertai pemberian gelar emeritasi kepada pendeta. Unsur penting apa yang terdapat dalam pemberlakuan sistem emeritasi sehingga ia diterapkan dalam kehidupan gereja? Hal berikut yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hanya gereja-gereja Protestan yang memberlakukan sistem emeritasi? Mengapa gereja Roma Katolik tidak melaksanakan hal yang serupa? Tentunya gereja-gereja Protestan maupun Roma Katolik memiliki pandangan dan pertimbangan tersendiri atas pemberlakuan sistem emeritasi tersebut. Dalam hal ini, gereja-gereja Protestan juga tidak menjelaskan pandangan maupun pertimbangan yang melatarbelakangi berlakunya sistem emeritasi tersebut. Untuk itu, pertimbangan secara ekklesiologis sangat diperlukan dalam rangka menjawab pertanyaan yang ada.
7
Tata Gereja GKI, Badan Pekerja Majelis Sinode GKI 2003, p.118.
5
1.3. Hipotesa
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada uraian di atas, penyusun membuat hipotesa yang sekiranya dapat menjawab persoalan seputar masalah pelepasan jabatan struktural pendeta ketika memasuki masa emeritasi. Landasan teologisekklesiologis yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1. Gereja merupakan lembaga manusiawi. Gereja dapat dipandang dari dua sisi, tidak hanya dari sisi vertikal saja (sisi keilahian gereja), tetapi juga dari sisi horizontal (sisi kemanusiawian gereja). Dari sisi horizontal, gereja menyadari keberadaannya di dalam dunia. Gereja yang berada di dalam dunia mengorganisasikan dirinya agar dapat memenuhi tugas panggilannya. Dalam porsinya sebagai lembaga manusiawi, gereja yang berada di dalam dunia memperhatikan berbagai macam hal yang menjadi kebutuhan manusia. Sebagai contoh:gereja memperhatikan kebutuhan emosi, sosial, spiritual dan bahkan kebutuhan fisik seseorang.8 Tidak hanya memperhatikan kebutuhan manusia, gereja sebagai lembaga manusiawi juga memberi tempat bagi keterbatasan manusia yang mengelola gereja. Perhatian terhadap kebutuhan dan keterbatasan manusia ini mendapat wujudnya di dalam pengemeritasian pendeta.
2. Pergantian kepemimpinan diperlukan dalam gereja. Dalam Alkitab kita dapat melihat adanya motif pergantian kepemimpinan di dalam gereja. Salah satunya dapat kita lihat pada Matius 16:17-19, dimana Yesus mendelegasikan tugas-tugas kepemimpinan dalam gereja kepada murid-muridNya. Pemimpin yang terdahulu mempersiapkan penggantinya dengan sungguh-sungguh agar kehidupan jemaat terus berlangsung, bahkan mengalami perkembangan. Dalam hal ini, Yesus tidak hanya sampai pada taraf pemilihan murid-muridNya saja, tetapi Ia juga membimbing mereka dengan tujuan mereka dapat melanjutkan 8
Wallace M. Alston Jr, The Church Of The Living God, A Reformed Perspective, Westminster John Knox Press, London 2002, p 69.
6
pekerjaanNya di dalam dunia setelah ia tidak lagi hadir sebagai manusia di tengahtengah umatNya. Pemimpin yang baru membawa pengalaman yang segar mengenai kehidupan bergereja, baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan terjadinya perubahan dalam kehidupan bergereja, maka terjadi pula perubahan dalam pengungkapan realitas gerejawi, dan memberikan pengalaman baru tentang bagaimana pekerjaan Allah disalurkan dan dialami.9
3. Keberadaan kepemimpinan kolektif di dalam gereja. Kepemimpinan kolektif di dalam gereja didasarkan kepada konsep imamat seluruh orang percaya dalam 1 Petrus 2:9-10. Di dalam konsep tersebut, setiap orang percaya memiliki kedudukan yang sama dalam gereja. Pendeta, penatua dan diaken tidak lebih tinggi kedudukannya dari warga jemaat. Bukankah jabatan pendeta dan kekuasaan yang meliputinya dilimpahkan oleh jemaat supaya seorang pendeta menjadi pelayan bagi jemaat?10 Masing-masing orang percaya adalah imam yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam melakukan pelayanan. Oleh karena itu, gereja menjadi gereja jemaat, dan bukan menjadi gereja pendeta. Dalam kesejajaran, segala keputusan yang menyangkut kehidupan bergereja diputuskan secara bersama-sama oleh jemaat. Dalam hal ini, emeritasi terhadap pendeta sebagai peraturan yang disepakati bersama dapat dikatakan sebagai pembatasan terhadap pelayanan dan kedudukan seorang pendeta. 1.4. Tujuan Penyusunan Skripsi ini ditulis dengan tujuan : a.
Membuktikan hipotesa yang telah diuraikan di atas sebagai landasan teologis dan ekklesiologis atas pemberlakuan sistem emeritasi di dalam gereja.
b. Memperjelas makna emeritasi berdasarkan hipotesa yang telah diuraikan di atas.
9
Michael A. Cowan (ed), Kepemimpinan dalam Jemaah, Komisi liturgi KWI, Kanisius Yogyakarta 1994, p. 114. 10 Cowan, Kepemimpinan Dalam Jemaah, p.121.
7
1.5. Alasan Pemilihan Judul Judul yang dipilih penyusun untuk membahas permasalahan yang telah disampaikan diatas adalah sebagai berikut:
“Peng-emeritasi-an (Pendeta)”, Suatu Studi Teologis-Ekklesiologis Tentang Pelepasan Jabatan Struktural pendeta Ketika Memasuki Masa Emeritasi
Adapun alasan yang melatarbelakangi pemilihan judul di atas adalah sebagai berikut: a. Peng-emeritasi-an (Pendeta) dengan tanda kurung dimaksudkan sebagai batasan agar uraian dalam tulisan ini nantinya tidak melebar masuk pada topik jabatan kependetaan serta hakikat dari jabatan kependetaan itu. Yang ditekankan adalah masalah pemberian gelar emeritasi kepada pendeta yang menyangkut pelepasan jabatan secara struktural dalam gereja dan dalam lembaga organisasi sinode. b. Frasa teologis-ekklesiologis (dengan tanda penghubung) dipilih dengan alasan bahwa sistem emeritasi tidak hanya berlaku dalam gereja saja, tetapi juga dalam dunia pendidikan. Selain itu, tidak semua gereja menerapkan sistem emeritasi dalam kehidupannya. Karena itu, gereja juga hendaknya memiliki landasan teologis dan ekklesiologis yang tepat sebagai dasar dan pijakan yang jelas atas diberlakukannya sistem emeritasi di dalam gereja.
1.6. Metode Penyusunan Metode penyusunan yang digunakan oleh penyusun adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan konsep peng-emeritasi-an pendeta, menguraikan landasan yang menyertainya baik secara teologis maupun ekklesiologis. Dalam penguraiannya, penyusun akan melakukan analisa dan interpretasi serta menambahkan pikiran serta pendapat penyusun. Lebih lanjut, pada akhir setiap bab penyusun akan memberikan refleksi. Untuk itu, penyusun membekali diri dengan studi pustaka.
8
1.7. Sistematika Penyusunan
BAB I
Berisikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang pemunculan hipotesa, alasan pemilihan judul, metode pembahasan serta sistematika pembahasan
BAB II
Berisi pembahasan mengenai hipotesa pertama, yakni sehubungan dengan landasan teologis-ekklesiologis peng-emeritasi-an pendeta dengan bertolak dari pembahasan mengenai hakikat gereja yang tidak hanya sebagai hal yang “berbau” rohani tetapi juga memiliki dimensi manusiawi dengan segala keterbatasan yang ada.
BAB III
Dalam bab ini akan diperlihatkan unsur penting dari emeritasi itu sendiri yaitu unsur pewarisan kepemimpinan dalam gereja. Untuk melihat pentingnya unsur pewarisan tersebut, pembahasan pada bab III akan bercermin pada episode Yesus yang “mewariskan” jabatan kepada Petrus yang diambil dari Mat. 16:17-19.
BAB IV
Dalam
bab
ini
akan
diuraikan
secara
mendalam
mengenai
kepemimpinan kolektif dalam gereja. Kepemimpinan kolektif yang dimaksudkan tentunya dikembangkan dari konsep imamat seluruh orang percaya yang diambil dari 1 Petrus 2:9-10. Dalam hal ini, pembahasan akan dititikberatkan pada gereja sebagai umat sehingga kepemimpinan seorang pendeta dapat dibatasi berdasarkan cerminan kolektif tersebut.
BAB V
Bab ini berisikan kesimpulan dari seluruh uraian dalam tulisan ini. Di dalam bab ini, penyusun juga akan memberikan usulan yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan emeritasi terhadap pendeta dalam gereja-gereja Protestan.
9