1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne dan Nyla, 2006). Ketika seseorang merupakan bagian dari kelompok yang dominan dalam masyarakat, biasanya tindakan mereka akan dianggap normal dan apa adanya sehingga lebih dihargai. Sebaliknya, pada orang-orang dari kelompok minoritas, mereka akan dinilai secara negatif dan segala tindakan mereka akan cenderung dianggap tidak baik. Orangorang kelompok minoritas biasanya akan dianggap aneh dan berbeda dari orang-orang dari kelompok mayoritas, sehingga sering mendapatkan stereotipe
negatif,
prejudice,
hingga
diskriminasi.
Hal
ini
sering
menyebabkan munculnya perasaan negatif pada mereka, seperti timbulnya kecemasan, kesepian, hingga kemarahan (Whitley Jr. & Kite, 2010; Veenhoven, 1997). Sejalan dengan hal ini, penelitian Ed. Diener dan rekanrekannya menunjukkan bahwa orang-orang dalam kelompok minoritas akan lebih kurang mengalami kebahagiaan dibandingkan dengan kelompok yang bukan minoritas (Carr, 2004). Salah satu kelompok minoritas yang sering mendapatkan stereotipe negatif adalah homoseksual. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kelompok minoritas seperti lesbian, gay dan biseksual sering mendapatkan stigma, prejudice, dan diskriminasi sehingga menciptakan lingkungan sosial
Universitas Sumatera Utara
2
yang stressful bagi mereka. Hal ini kemudian akan mengarahkan munculnya masalah-masalah kesehatan mental pada orang-orang kelompok minoritas yang mendapatkan stigma (Friedman, 1999). Evaluasi yang negatif dari orang lain terhadap kelompok mereka, seperti stereotipe dan prejudice terhadap kelompok minoritas dimasyarakat, dapat mengarahkan pada munculnya masalah-masalah psikologis (Meyer, 2003). Masyarakat
masih
sulit
untuk
menerima
adanya
kelompok
homoseksual. Adanya stereotipe negatif yang dirasakan oleh suatu kelompok akan mempengaruhi pemikiran mereka. Ketika dihadapkan dengan ancamanancaman yang didasarkan pada stereotipe negatif masyarakat, suatu kelompok dapat menjadi lebih lemah dan melakukan proteksi diri yang berlebih terhadap dunia luar (Lopez dan kawan-kawan dalam Snyder, 2000). Hal ini juga didukung dengan observasi penulis pada salah komunitas gay di Kota Medan. Komunitas gay cenderung tertutup dan malu ketika ada orang dari luar komunitas yang ikut bergabung dalam kegiatan mereka. Hal ini juga diungkapkan oleh salah seorang aktivis di komunitas tersebut: “yah.. maklum lah dek.. kalo lsl (lelaki suka lelaki) ini memang agak beda kali ya sama yang lain.. memang mereka agak tertutup gitu lah.. ga suka kalau ada orang luar yang bukan dari kelompok mereka.. biasanya kalau ada orang luar mereka jadi lebih diam..” (komunikasi personal, 30 Mei 2013)
Homoseksual merupakan sebutan untuk orang yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis. Ketertarikan seksual baik secara emosional, fisik, seksual dan romantik terhadap orang lain disebut sebagai
Universitas Sumatera Utara
3
orientasi seksual. Ada 3 jenis orientasi seksual, yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Ketertarikan terhadap lawan jenis yang sering disebut sebagai orientasi heteroseksual, merupakan orientasi seksual yang sering ditemui pada umumnya. Sebaliknya, ketertarikan terhadap sesama sesama jenis
yaitu
orientasi
homoseksual
lebih
sedikit
ditemukan
dibandingkan dengan orientasi heteroseksual. Istilah gay ditujukan untuk homoseksual laki-laki dan istilah lesbian ditujukan untuk homoseksual perempuan (Carroll, 2005). Penelitian ini akan berfokus pada homoseksual laki-laki yang dikenal dengan istilah gay. Orientasi seksual yang paling umum dan dianggap normal, yaitu orientasi heteroseksual merupakan orientasi yang paling banyak mendapatkan penerimaan sosial dan diakui secara legal. Sebaliknya, homoseksual tidak mendapatkan penerimaan yang sama. Homoseksual atau ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, masih merupakan hal yang kontroversial untuk dibicarakan hingga berpuluh-puluh tahun yang lalu. Penelitian mengenai homoseksual kebanyakan berfokus pada pembahasan mengenai sakit mental sebelum tahun 1980an (Carroll, 2005). Dalam dunia psikologi sendiri, homoseksualitas hingga tahun 1973 masih termasuk sebagai kategori penyimpangan seksual dan tercantum hingga DSM-III. Namun pada edisi DSM-IVTR, homoseksualitas sudah tidak dikategorikan sebagai jenis penyimpangan seksual. Kelompok homoseksual juga beragumen bahwa ketertarikan seksual mereka merupakan hal yang terjadi secara alamiah dan mereka tidak merasa perlu untuk mengubah
Universitas Sumatera Utara
4
orientasi seksual mereka. Selain itu, banyaknya kontroversi dari kelompok professional mengenai pola emosi, perilaku, dan penyebab dari homoseksual membuat American Psychiatric Association (APA) mengeluarkannya dari kategori gangguan psikologis (Davison, Neale dan King, 2004; NolenHoeksema, 2007). Dengan dikeluarkannya kategori homoseksualitas dari DSM, tetap tidak menghentikan pertentangan dan anggapan-anggapan negatif mengenai homoseksualitas. Meskipun penerimaan homoseksual semakin terbuka, namun homoseksual masih mendapat citra negatif. Dalam analisis Framing citra homoseksual di beberapa media massa online di Indonesia menunjukkan bahwa ada salah satu media massa online cenderung memberitakan homoseksual secara negatif. Framing adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui sudut pandang apa yang digunakan seseorang dalam menulis suatu berita. Sudut pandang tersebut akan menentukan fakta apa yang diambil dan bagian apa yang ditonjolkan dalam berita. Homoseksual diberitakan cenderung melakukan tindakan yang merugikan orang lain dan sebaiknya dijauhi karena bertentangan dengan nilai-nilai agama. Pemberitaan yang negatif ini dapat mengarahkan pada diskriminasi dan semakin negatifnya citra homoseksual di masyarakat (Zuhra, 2013). Dari
awal
perkembangan
kehidupannya,
seseorang
akan
mengembangkan identitas heteroseksual. Hal ini dikarenakan perkembangan orientasi heteroseksual merupakan hal yang telah biasa diterima dalam masyarakat (Wilkinson & Kitzinger dalam Strong, Yalber, DeVault dan
Universitas Sumatera Utara
5
Sayad, 2005). Orang dengan orientasi homoseksual pada awalnya akan menganggap diri mereka sebagai heteroseksual sampai mereka menemukan ada yang berbeda dalam diri mereka (Savin-Williams & Cohen, 1996). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Benny (bukan nama sebenarnya): “Awal-awal si pas smp ya.. cuma lihat-lihat teman cowok.. trus kok kayaknya ada rasa yang bergetar-getar gitu ya.. kayaknya mulai muncul rasa-rasa itu.... mulai ada simpati gitu sama dia... suka gitu lihat dia.. trus akhirnya menyadari.. ih.. kok aku bisa suka sama dia ya.. kok beda aku sama yang lain..” (komunikasi personal, 7 Mei 2013) Berbeda dengan kelompok heteroseksual yang bisa dengan mudah menunjukkan orientasi seksual mereka, hal yang sama tidak terjadi pada kelompok homoseksual (Whitley Jr. & Kite, 2010). Pada saat menyadari orientasi seksual mereka, ada yang bisa mengungkapkan diri mereka kepada orang lain, sedangkan ada juga yang merasa sulit untuk membicarakan orientasi seksual mereka yang sebenarnya pada orang tua ataupun orang terdekat mereka. Proses menyadari dan menerima identitas dirinya sebagai homoseksual dan memberitahukan kepada orang lain disebut sebagai coming out. Coming out merupakan proses yang sulit dihadapi kelompok gay (Carroll, 2005). Ditinjau dari pendapat Strong dkk. (2005), pilihan untuk coming out dan tidak masing-masing memiliki konsekuensi dan manfaat tertentu bagi mereka. Kebanyakan orang telah menginternalisasi bahwa perilaku seksual terhadap sesama jenis tidak pantas dilakukan (Carroll, 2005). Hal ini juga yang menghambat proses coming out seorang gay. Ketika mereka menyadari orientasi mereka adalah homoseksual, umumnya mereka akan merasa depresi,
Universitas Sumatera Utara
6
malu, bahkan hingga berniat untuk mengakhiri hidupnya. Pada awalnya, orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual dilaporkan memiliki
kecenderungan
untuk
bunuh
diri
daripada
mereka
yang
heteroseksual (Strong dkk., 2005). Hal ini juga diungkapkan oleh seorang homoseksual dalam sebuah forum online komunitas gay: “Yah, awalnya pernah gak nyaman, bete, mencari pembenaran, terasing, bingung, kesal, gak bisa menerima diri sendiri.. terakhir, usaha bunuh diri...” Selain itu, banyak gay yang memilih tidak mengungkapkan ketertarikan seksual mereka yang sebenarnya dikarenakan ketakutan mereka akan penolakan dari orang-orang terdekat. Herek menyatakan bahwa menunjukkan identitas mereka sebagai gay dapat membuat orang lain berasumsi perilaku dan gaya hidup mereka yang cenderung dianggap negatif (dalam Whitley Jr. & Kite, 2010). Dalam penelitian Herek (1997) mengenai sikap terhadap pria gay dan lesbian menunjukkan bahwa kebanyakan heteroseksual mengekspresikan sikap negatif terhadap pria gay. Pandangan agama yang menolak homoseksual juga menghambat kelompok gay mengungkapkan orientasi seksualnya. Salah satunya, hukum Islam menolak homoseksual dan menganggapnya sebagai penyimpangan. Homoseksual
dianggap
memberikan
dampak
yang
negatif,
seperti
mengakibatkan kelainan jiwa dan tidak dapat meneruskan fungsi reproduksi. Homoseksual dilarang keras dan dianggap melanggar nilai-nilai agama, terutama pada gay. Laki-laki mendapat tekanan yang lebih keras dikarenakan mereka seharusnya menikah dan meneruskan keturunan (Rangkuti, 2012).
Universitas Sumatera Utara
7
Khususnya dalam budaya kolektivis seperti di Indonesia, menikah dan memiliki anak merupakan hal yang lebih penting daripada keinginan individual dalam berperilaku seksual (Okun, Fried dan Okun, 1999). Bagaimanapun,
manusia
memiliki
fungsi
untuk
bereproduksi
dan
menghasilkan keturunan, sedangkan perilaku homoseksual pada kaum gay tidak akan bisa menjalankan fungsi reproduksi dan menghasilkan keturunan (Strong dkk., 2005). Coming out pada orang lain sering merupakan proses yang cukup berbahaya bagi mereka, seperti mendapat penolakan dari orang lain, dinilai secara negatif, hingga mendapatkan diskriminasi dan dipersulit dalam dunia kerja. Hal ini sering menjadi alasan yang masuk akal bagi mereka untuk tidak coming out (Drescher, 2007; Taylor & Raeburn, 1995). Akan tetapi, menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya juga merupakan pengalaman yang menyakitkan. Beberapa merasa tidak bisa mengungkapkan yang sebenarnya dan membuat mereka menjadi depresi. “tentu aja aku merasa khawatir, sakit, kelainan, dan apalah.. salahsalah kalau coming out bisa-bisa aku bakalan dipermaluin jadinya..” (komunikasi personal, 17 Juni 2013) Pada gay yang belum berani untuk coming out kepada orang lain akan cenderung merasa bersalah, cemas dan malu akan ketertarikan mereka terhadap laki-laki. Mereka cenderung mengalami masalah-masalah psikologis seperti rendahnya harga diri, depresi, dan menarik diri dari lingkungan (Savin-Williams
&
Cohens,
1996).
Menyembunyikan
dirinya
yang
sebenarnya akan membuatnya memiliki harga diri yang rendah sehingga
Universitas Sumatera Utara
8
berdampak pada kesulitan mengenali kemampuan dan kekuatannya sendiri (Drescher, 2007). Gay yang memilih untuk tidak terbuka akan merasa ketakutan jika identitasnya tanpa sengaja diketahui orang lain. Mereka juga akan kesulitan untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain dikarenakan ketakutan mereka akan identitasnya sebagai gay akan ketahuan (Corrigan & Matthews, 2003). Sulit membangun hubungan dengan orang lain, harga diri rendah, menarik diri dari lingkungan merupakan indikator dari psychological well-being yang rendah (Ryff, 1989). Disisi
lain,
sebagian
gay memilih
untuk coming
out
dan
mengungkapkan orientasi seksual mereka yang sebenarnya kepada orang lain. Pada awalnya, pengungkapkan jati diri gay pada orang lain akan membuat mereka mengalami masalah-masalah psikologis seperti kecemasan dan ketakutan akan diskriminasi. Meskipun demikian, coming out memberikan sejumlah keuntungan. Bagi yang telah bertahun-tahun menutupi orientasi seksual mereka, coming out dapat memberikan perubahan emosional. Coming out pada orang lain dapat digunakan untuk mengurangi rasa takut dan cemas serta membangun keseimbangan dalam hidup mereka (Savin-Williams & Cohens, 1996). Seiring dengan pengungkapan jati diri, individu gay akan mulai tidak menghiraukan stigma-sitgma dan kritikan-kritikan yang ditujukan pada mereka (Strong dkk., 2005). Coming out memungkinkan mereka untuk mengembangkan konsep diri dan identitas, serta hubungan dengan orang lain. Pada gay yang memiliki pengalaman coming out yang positif biasanya akan membangun konsep diri yang lebih tinggi, rendahnya tingkat depresi, serta
Universitas Sumatera Utara
9
penyesuaian psikologis yang lebih baik (Carroll, 2005). Semua hal tersebut akan bermuara pada meningkatnya psychological well-being (Savin-Williams & Cohens, 1996). Penelitian Legate, Ryan, dan Weinstein (2012) menyarankan bahwa coming out mungkin merupakan proses dimana individu gay berusaha untuk mengatasi stigma dengan mengungkapkan jati diri atau menutupinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa individu yang telah coming out dan didukung oleh lingkungan yang suportif mengalami tingkat depresi yang lebih rendah, self-esteem (harga diri) yang lebih tinggi, serta tingkat kemarahan yang lebih rendah. Berbagai hal tersebut merupakan indikator dari psychological well-being yang tinggi. Sebaliknya, pada lingkungan yang kurang mendukung, tidak coming out akan berhubungan positif dengan psychological well-being. Psychological well-being melibatkan perkembangan yang dirasakan dalam menjalani tantangan yang muncul dalam hidup (Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002). Setiap orang selalu menginginkan kehidupan yang baik dan kesejahteraan (well-being). Setiap orang terlahir dengan kebutuhan mendasar yang mengarahkan diri pada pertumbuhan, perkembangan, dan aktualisasi diri (Schultz & Schultz, 1994). Pengungkapan jati diri sebagai gay memainkan peranan penting dalam perkembangan identitas dan penyesuaian psikologis mereka (Carroll, 2005; Savin-Williams & Cohens, 1996). Pada gay yang memilih tertutup akan identitasnya akan mengalami masalah-masalah psikologis sehingga menghambat mereka untuk berfungsi
Universitas Sumatera Utara
10
secara positif dan mengembangkan potensi dalam dirinya. Pada gay yang mulai berani terbuka akan identitasnya, secara perlahan mereka akan mengembangkan identitas diri yang positif. Dengan mulai membuka identitas gay kepada orang lain merupakan strategi untuk meningkatkan kesejahteraan diri seorang gay. Mereka mulai merasa positif akan identitas seksualnya dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari melalui coming out. Dengan mulai coming out, seorang gay akan merasa dirinya authentic serta mampu berfungsi psikologis yang positif (Herek,1996). Coming out pada orang lain bisa terjadi pada tingkatan yang berbedabeda. Coming out tidak terjadi dalam waktu yang singkat, dimana seorang gay
akan
mengungkapkan
informasi
yang
berbeda-beda
mengenai
identitasnya pada orang yang berbeda-beda pula (Beals dan Peplau, 2006; Carroll, 2005). Partial disclosure atau mengungkapkan identitas dirinya hanya kepada sebagian orang saja sering menjadi pilihan bagi gay. Mereka akan membagi dunia mereka dalam dua kelompok pertemanan, yaitu kelompok yang mengetahui mereka gay dan kelompok yang tidak mengetahui mereka gay (Savin-Williams & Cohen, 1996). D’Augelli (2006) melaporkan bahwa hanya sekitar 23% kelompok Lesbian, Gay dan Biseksual (LGB) yang benar-benar melakukan coming out kepada pada semua orang, sedangkan sisanya memilih untuk partial disclosure. Menurut Legate dkk. (2012), seseorang akan merasakan wellbeing yang lebih baik ketika mereka mengungkapkan identitas mereka pada lingkungan yang bisa mendukung mereka. Akan tetapi, pada lingkungan yang
Universitas Sumatera Utara
11
tidak bisa mendukung, kurangnya disclosure atau pengungkapan identitas mereka pada orang lain berhubungan secara positif dengan well-being. Maka, hal yang sering terjadi adalah kelompok gay akan memilih untuk mengungkapkan diri mereka atau disclosure pada orang yang tertentu saja. Mereka akan memilih untuk mengungkapkan identitas mereka pada orangorang atau lingkungan yang menurut mereka bisa menerima identitas mereka sebagai gay. “...Karena kan orang ada dapat perlakuan kurang enak dari masyarakat atau apa karena mereka kurang bisa menempatkan diri gitu.. Maunya bebas-bebas orang itu aja... Mereka lupa kan masyarakat kita belum tentu semua bisa nerima.. itulah.. kalau kita bisa bijak bagus menempatkan diri.. orang pun gak akan...” (Komunikasi Personal, 21 Januari 2014) Pada gay yang partial disclosure, mereka telah memiliki sebagian teman-teman yang mendukung mereka. Mereka juga telah mampu berfungsi psikologis yang positif sebagaimana mereka mulai membuka identitas sebagai gay kepada orang lain meskipun tidak pada semua orang. Namun, gay dengan partial disclosure masih tidak bisa mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya dihadapan kelompok yang belum mengetahui identitas mereka. Mereka harus berperan berbeda dalam kehidupan ganda. Hal ini akan berdampak pada interaksi sosial dengan orang lain, menciptakan beberapa masalah praktis, dan fungsi psikologis (Herek, 1996; Corrigan & Matthews, 2003). Usaha menutup identitas diri sebagai gay kepada sebagian orang membuat gay yang partial disclosure masih sulit menjalin hubungan yang positif dengan semua orang. Identitas mereka sebagai gay juga dapat
Universitas Sumatera Utara
12
diketahui oleh orang lain dari pihak ketiga, bukan dari mereka secara langsung. Mereka masih mengalami ketakutan identitasnya diketahui oleh semua orang. Adanya beberapa kesulitan yang masih dialami oleh gay yang partial disclosure juga dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka yang berdampak pada kesejahteraan dan fungsi psikologis mereka sebagai manusia (Corrigan & Matthews, 2003; Ryff, 1989). Berdasarkan pemaparan penulis diatas, kelompok gay sering mendapatkan penilaian dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari masyarakat sehingga memunculkan emosi negatif seperti depresi, kecemasan, dan ketakutan. Hal ini membuat mereka tidak berani untuk melakukan coming out. Gay yang tidak berani coming out akan mengalami masalahmasalah psikologis yang mengarahkan pada psychological well-being yang rendah. Sebaliknya, gay yang memilih untuk coming out dan didukung oleh lingkungannya, masalah-masalah psikologis tersebut cenderung berkurang yang mengarahkan pada indikator psychological well-being yang lebih tinggi. Akan tetapi, seringkali gay memilih untuk melakukan partial disclosure atau coming out hanya pada sebagian orang saja. Dengan partial disclosure, mereka memperoleh sebagian keuntungan yang telah dimiliki oleh gay yang coming out dan juga masih mengalami beberapa masalah yang dimiliki oleh gay yang belum coming out. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang memilih partial disclosure.
Universitas Sumatera Utara
13
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure ? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Adapun dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa informasi dan kajian teoritis dalam bidang psikologi Klinis terkait dengan psychological well-being dan gay yang partial disclosure. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah: a) Bagi kelompok gay, informasi dari penelitian ini dapat memberikan gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure, sehingga menjadi acuan bagi mereka untuk melakukan coming out. b) Bagi keluarga dan orang terdekat kelompok gay, dengan informasi dari penelitian ini diharapkan mereka dapat mengerti pentingnya proses disclosure terhadap psychological well-being pada gay. c) Memberikan ilmu dan informasi kepada masyarakat luas untuk lebih memahami kelompok gay dan psychological well-being mereka.
Universitas Sumatera Utara
14
Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih konstruktif bagi kelompok gay. E. SISTEMATIKA PENELITIAN Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian. BAB III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian. Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan. Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara