BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan hamba Tuhan yang memiliki keistimewaan dalam mengemban tugas mulia sebagai khalifah di bumi. Tugas mulia dan amanah tersebut diberikan kepada manusia baik laki-laki dan perempuan. Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur’an diistilahkan dengan orangorang yang bertaqwa (QS. Al-Mujadilah: 11, QS. An-Nisaa': 1, QS. An-Nahl: 97, QS. At-Taubah: 72, QS. Al-Baqoroh: 30). Laki-laki dan perempuan memiliki fungsi dan peran yang sama sebagai khalifah di kehidupan ini baik dari segi pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan teknologi. Pendidikan sebagai salah satu media yang dapat mengantarkan manusia untuk lebih memahami dan menghayati berbagai kajian disiplin ilmu merupakan sarana yang tepat dalam menunjang aspek ekonomi, budaya, sosial, politik dan teknologi. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan sumber daya manusia (Sarimaya, Kosasih, & Anshori, 1997). Selain itu, pendidikan dapat mewujudkan dan mengoptimalkan potensi seseorang untuk memiliki, memahami, memaknai kekuatan spiritual keagamaan, moral, sosial, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang lainnya. Pendidikan juga sebagai salah satu acuan maju
1
2
tidaknya sebuah negara dan menjadi komponen penting yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi (Wardikin, 2008). Upaya dalam mendukung dan mengemban serta memperjuangkan nilainilai pendidikan dan kesetaraan antara hak perempuan dan laki-laki bisa dilihat pada perjuangan R.A. Kartini. Beliau adalah figur inspiratif yang mengilhami masyarakat terutama kaum yang menjunjung tinggi pendidikan. Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas melalui sebuah karya Habis Gelap Terbitlah Terang, tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Upaya dari putri seorang bupati Jepara ini telah membuka pandangan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu, sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya. R.A Kartini dalam sejarah kehidupannya telah menunjukkan jati dirinya yang pantas untuk diteladani, baik itu cita-citanya, tekad, dan perbuatannya serta ide-ide yang cemerlang telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaum perempuan (Winasis, 2010). Keberanian R.A. Kartini dalam mendobrak konvensi sosial merupakan suatu “penyimpangan” serius yang menyita hampir seluruh hidupnya. Impian R.A Kartini kini terwujud dalam kenyataan, perempuan Indonesia sekarang sudah merdeka secara retorik dan politik (Ridjal, Margiani, & Husein, 1993). Kartini dengan keberanian dan tekad mampu keluar dari stereotip masyarakat khususnya budaya Jepara yang masih memegang nilai-nilai kultural
3
yang diyakini. Donald Campbell dan rekannya (Santrock, 2008) menemukan bahwa kebiasaan kultural dalam masyarakat tertentu dianggap valid secara universal ketika sesuatu yang “alami” dan”benar” serta yang terjadi dalam kultur lain adalah “tidak alami” dan “tidak benar”. Selain itu, pada kelompok masyarakat tertentu masyarakat berperilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan kelompok kulturalnya. Dalam tradisi budaya Jawa khususnya di Jepara, seorang wanita ataupun laki-laki seharusnya memainkan peran gender yang menjadi ekspektasi sosial yang merumuskan bagaimana pria dan wanita seharusnya berpikir, merasa, dan berbuat (Santrock, 2008). Banyak orang tua mendorong anak perempuan dan laki-laki untuk melakukan jenis permainan dan aktivitas yang berbeda (Lott & Molussa dalam Santrock, 2008). Stereotip “feminin” bagi wanita dan “maskulin” bagi laki-laki masih melekat sebagai peran yang wajib dilakukan. Perempuan yang sering diidentikkan dengan karakteristik lembut, pengertian, air mata, lemah, dan perasa. Sedangkan laki-laki adalah sosok yang kuat, pemimpin, rasional, dan agresif. Gender menurut masyarakat pada umumnya dan masyarakat Jawa khususnya menuntut perempuan sebagai pengasuh dan perawat anak (Khilmiyah, 2000 & Moose, 1996 dalam Fakih, 2008). Usaha dan kerja keras R.A. Kartini yang dikenal sebagai pahlawan emansipasi tersebut dalam perkembangannya sudah semakin diakui dan terbuka lebar. Paska kemerdekaan Indonesia, perjuangan Kartini tersebut mendapat pengakuan yang tersirat pada pasal 27 (1) UUD 1945 yang berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
4
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. GBHN (dalam Sarimaya, Kosasih, & Anshori, 1997) mengamanatkan tentang peranan wanita dalam rumusan kemitraan yang memiliki makna bahwa kondisi wanita meningkat kedudukan, peranan, kemampuannya, ketahanan mentalspiritual, serta kemandirian sehingga wanita telah mampu berperan bersamasama pria sebagai mitra yang serasi, selaras, dan seimbang yang dilandasi hubungan sikap yang saling menghargai, menghormati dan mengisi. Secara politis, keinginan pemerintah untuk mendudukkan perempuan sebagai mitra (sejajar) pria dalam melaksanakan pembangunan nasional tercermin dalam berbagai jenis dokumen kebijakan yaitu dokumen pemerintah dalam bentuk UU, kebijakan dan peraturan lainnya. Kehidupan manusia dewasa ini banyak ditemukan potret wanita-wanita karier yang berprestasi (Mahyaruddin, 2009). Ruang gerak untuk mengaktualkan diri wanita sudah lebih diterima dan diakui oleh masyarakat. Abad 20 merupakan masa terjadinya perubahan kehidupan wanita Indonesia yang semula hanya pada peran domestik, kemudian berkembang pada banyak bidang (Hayati dalam Sarimaya, Kosasih, & Anshori, 1997). Memasuki abad ini, semakin banyak kaum wanita menduduki jabatan-jabatan yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Modernitas dan globalisasi semakin mendukung adanya peran wanita yang semakin meluas. Nilai-nilai perjuangan R.A. Kartini pun dapat dirasakan. Wanita semakin diakui dan memperoleh peran sosial yang setara dengan kaum laki-laki (Ridjal, Margiani & Husein, 1993).
5
Potret perkembangan penerapan emansipasi tersebut pada dasarnya merefleksikan adanya kemajun wanita dalam mengoptimalkan potensi dan bakatnya. Dalam garis besarnya, emansipasi adalah unsur dasar dalam evolusi masyarakat. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu proses yang semakin bertumbuh pada kerjasama wanita. Pengertian emansipasi bukan definisi yang bersifat final dan berlaku untuk selamanya (Wertheim, 1976). Widoyo (dalam Isma, 2005) menyatakan bahwa emansipasi wanita tidak hanya menuntut kesamaan saja dan itu dianggap tidak begitu penting, yang terpenting adalah bagaimana wanita memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi serta bakatnya agar lebih maju. Pengembangan potensi dan aktualisasi wanita sudah diakui secara sah atas peranan dalam masyarakat terlepas dari kemungkinan masyarakat adat yang belum menerima secara penuh kenyataan itu. Hasil jerih payah dan pegorbanan R.A Kartini itu melahirkan LSM dan ORMAS wanita sekarang yang semakin maju dan cerdas dalam memajukan pendidikan (Ridjal, Margiani & Husein, 1993). Namun, peluang tersebut agaknya tidak mampu dimaksimalkan oleh generasi muda terutama pada remaja yang dipengaruhi oleh gaya hidup dan tren modern serta perkembangan zaman (Bekewell, dkk dalam Papalia, Olds, & Feldsman, 2009). Berdasarkan pengamatan peneliti pada tanggal 15-17 November 2010 di desa Kelet Kecamatan Keling Kabupaten Jepara ditemukan bahwa kalangan remaja putri sejauh ini sebagian besar memutuskan untuk menikah setelah
6
menempuh pendidikan di SMA. Bahkan, ada pula beberapa remaja putri yang rela putus sekolah untuk menikah. Data lain dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di daerah dan waktu setempat ditemukan bahwa peluang dan kesempatan yang sekarang sudah terbuka lebar untuk beraktualisasi diri misalnya dari segi pendidikan dan pengembangan diri tidak dioptimalkan secara penuh. Terbukti dari informasi yang diungkapkan oleh orangtua yang berinisial M yang tinggal di desa Kelet RT 35 RW 05 Keling-Jepara mengenai anak subjek yang tidak ada kemauan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di perguruan tinggi dengan biaya yang sudah disiapkan dan memilih untuk mandeg setelah lulus SMA. Selain itu, informasi yang diperoleh dari subjek yang berinisial E R yang menyatakan bahwa remaja-remaja putri di salah satu sekolah kejuruan di desa Kelet melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan sekolah diantaranya nongkrong dan membolos saat jam istrirahat serta berpacaran sampai waktu pelajaran selesai. Budaya dan lingkungan yang mendukung untuk membentuk timbulnya usaha-usaha untuk mengubah keadaan sesuai dengan tren barat. Pola hidup yang memperlihatkan penampilan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya demi prestise dan gengsi terutama pada kalangan remaja putrinya Fenomena ini juga didukung oleh Sekretaris MUI Jepara Mahsudi seperti yang telah diakses oleh peneliti dari artikel di www. jawapos. co.id mengatakan bahwa tiga penyakit globalisasi telah menyerang ke seluruh pelosok masyarakat, namun masyarakat tidak sadar dengan serangan tersebut. Tiga penyakit yang
7
dimaksud adalah gaya hidup makanan (food), berpakaian (fashion), dan gaya hidup bersenang-senang (fun). Saat ini, gaya hidup masyarakat berubah drastis. Perubahan itu nampak sekali pada bagaimana remaja putri berpakaian. Banyak penyalahgunaan narkoba dan minum-minuman keras, serta maraknya hiburan yang melenceng dari norma-norma yang ada di masyarakat. Masa remaja merupakan masa semakin meningkatnya pengambilan keputusan (Santrock, 2002). Selain itu, pada remaja perkembangan fisik berubah dengan pesat seperti yang biasa kita sebut dengan masa pubertas. Hall (Sarwono, 1988) mendefinisikan masa remaja (adolescence) antara 12-25 tahun sebagai masa topan badai (strum and drang), yang mencerminkan kebudayaan modern penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Tren remaja modern masa kini dan masalah-masalah yang ada mempengaruhi corak dan gaya pada peringatan hari Kartini yang diperingati pada setiap tanggal 21 April. Menurut Suhendi (2009) sosok Kartini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai pejuang bangsa, tapi juga sebagai seorang ibu yang memberi edukasi. Siswa dan para guru khususnya harus meneladani dan memberi contoh serta dorongan bagi Kartini muda. sehingga hari Kartini dapat menumbuhkan jiwa Kartini pada anak-anak bangsa. Informasi-informasi yang telah diperoleh mengenai perjuangan R.A. Kartini dengan gerakan emansipasi wanita-nya menjadi sebuah unit fundamental pengetahuan simbolis yang menjadi sebuah konsep tersendiri di otak. Dan saat dibutuhkan,
pengetahuan
tersebut
direpresentasikan
menurut
cara
dan
pengorganisasian yang unik satu dengan lainnya (Sternberg, 2008). Pandangan tentang emansipasi wanita sejauh ini sudah mengalami perkembangan yang
8
variatif. Remaja putri sebagai generasi penerus R.A. Kartini masa kini merupakan aset negara yang perlu diperhatikan apalagi di masa remaja peran dalam mengambil persepsi sosial, kemampuan untuk memahami sudut pandang dan tingkat pengetahuan menjadi lebih terampil dari masa sebelumnya (Papalia, Olds, & Feldsman, 2009). Masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh bentuk dan corak generasi mudanya (Sarimaya, Kosasih, & Anshori, 1997). Berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti ingin mengajukan suatu permasalahan yaitu, bagaimana pandangan remaja putri terhadap emansipasi wanita. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “EMANSIPASI WANITA DALAM PANDANGAN
REMAJA
PUTRI DI
JEPARA
(SUATU
TINJAUAN
PSIKOLOGI).”
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memahami emansipasi wanita dalam pandangan remaja putri di Jepara dalam tinjauan psikologi.
C. Manfaat 1. Teoritis Memperkaya khazanah dan wawasan ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi sosial.
9
2. Praktis a. Bagi Remaja Putri Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pandangan mengenai emansipasi wanita. Selain itu, remaja putri dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang sekarang sudah terbuka lebar untuk mengoptimalkan potensi dan beraktualisasi untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. b. Bagi Orang tua Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber yang dapat dijadikan Pemahaman dan pemikiran bagi kemajuan anak-anak khususnya remaja putri di kemudian hari dalam menyongsong masa depan. c. Bagi LSM Wanita di Jepara Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebuah referensi data bagi LSM wanita setempat untuk melakukan upaya pemberdayaan dan pengembangan sumber daya wanita dengan kegiatan-kegiatan yang mendukung. d. Bagi peneliti lain Bagi peneliti lain yang tertarik dengan tema yang sama, hasil penelitian ini dapat disajikan sebagai acuan tambahan untuk penelitian selanjutnya.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang emansipasi telah banyak dilakukan oleh para ahli. Namun dalam kajian psikologi, penelitian dengan tema tersebut masih jarang ditemukan. Hasil penelitian di dalam studi analisis sastra dengan judul penelitian
10
Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita Tentang Emansipasi dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono memberikan simpulan bahwa tokohtokoh tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang emansipasi. Hal ini dikarenakan berbagai faktor yang melatar belakangi yakni karena adanya budaya, pengalaman, dan pandangan dengan wawasan yang terbuka dan modern. Emansipasi terjadi di berbagai sektor yakni pada bidang hukum, pendidikan, keluarga, politik dan ekonomi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dari segi keterkaitan antara konteks lokasi dan informan penelitian dengan setting di Jepara dan karakteristik remaja yang dekat dengan lokasi perjuangan R.A. Kartini, di mana peneliti belum menemukan penelitian dengan tema tersebut.