BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah
membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya hanya berkisar pada tatanan politik dan keamanan kemudian telah bergeser ke ranah yang lebih spesifik seperti halnya isu lingkungan hidup (Multazam, 2010). Lingkungan sebagai tempat hidup manusia serta mahluk hidup lainnya menjadi kekhawatiran global yang sangat mengkhawatirkan. Tingginya kerusakan lingkungan karena pemanfaatan sumber daya alam secara eksploratif mengakibatkan stok penyimpanan karbon menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan suhu bumi yang lebih dikenal dengan pemanasan global. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan rata-rata suhu permukaan bumi meningkat dengan laju 0.74ºC ± 0.18ºC (Siregar, 2014). Laju tersebut berdampak pada terjadinya perubahan iklim di berbagai tempat (Siregar, 2014). Salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap perubahan iklim dunia adalah adanya pelepasan emisi gas karbon lintas batas oleh suatu negara melalui deforestasi serta degradasi lahan hutan. Buruknya kondisi lingkungan akibat pelepasan emisi gas mendorong masyarakat internasional untuk melakukan upaya dalam menghadapi isu perubahan iklim melalui diskusi internasional (Silalahi, 2001). Selain karena penyebaran emisi 1
2
gas karbon berdampak pada pemanasan secara global juga akan sangat mempengaruhi ekosistem, kehidupan sosial, serta kesehatan di negara lainnya. Upaya tersebut kemudian tercapai melalui berlangsungnya Earth Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi, di Rio Djeneiro tahun 1992 yang dikenal dengan United Nations Conference on Environmental Development (UNCED) (Prasetiowati, 2011). Salah satu hasil terkait perubahan iklim adalah United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang kemudian melahirkan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memiliki kebijakan dengan mengharuskan negara–negara dunia, baik negara berkembang maupun negara maju untuk mengurangi emisi gas karbon mereka agar setiap tahunnya berkurang sebanyak 5% (Prasetiowati, 2011). Namun kebijakan tersebut cenderung sulit untuk diimplementasikan oleh negara maju karena akan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan ekonominya. Upaya untuk mengatasi hal tersebut memunculkan Reducing Emmisions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) dengan kebijakan bahwa negara maju dapat mengalihkan tanggung jawab dalam pelepasan karbon di negaranya melalui kompensasi pengurangan emisi gas ke negara lain dalam sektor hutan. REDD
kemudian
dikembangkan
menjadi
Reducing
Emmisions
from
Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+) dengan penambahan makna insentif terhadap negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi gas sesuai dengan ketentuan serta pengelolaan hutan berkelanjutan (Prasetiowati, 2011). Indonesia dan Australia merupakan dua negara yang sama-sama menjadi negara penyumbang emisi gas terbesar. Indonesia sebagai negara berkembang
3
yang memiliki hutan terluas ketiga, menjadi negara dengan tingkat deforestasi dan degradasi hutan paling parah di dunia yang memicu 60% total emisi gas Indonesia (Suryaningsih, 2012). Sebuah laporan dari The United Nations Food and Agriculture (FAO) pada tahun 2007 menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan hutan sebanyak 0,84 juta per tahun dan kemudian membawa Indonesia menempati posisi ketiga dibawah Amerika dan Cina sebagai negara penghasil emisi gas karbon terbesar (Darnasari, 2013). Dengan kata lain, Indonesia termasuk dalam 5 besar negara penghasil emisi gas karbon terbesar. Lain halnya dengan Indonesia, Australia yang merupakan negara maju juga menempati posisi atas sebagai negara yang paling banyak menghasilkan emisi gas karbon perkapita di seluruh dunia. Emisi tersebut mencapai 18,5 juta ton per kapita (Nizar, 2013). Merosotnya luas dan mutu hutan Indonesia serta tekanan masyarakat internasional terhadap negara-negara yang memiliki hutan terbesar di dunia untuk mengurangi emisi gas karbon mendesak Indonesia mendeklarasikan komitmen bersama dengan Australia. Komitmen tersebut menjadi semakin kuat dari sisi Australia karena Australia dapat mengurangi emisi gas karbon tanpa mempengaruhi
laju ekonominya dengan ketentuan dengan
memberikan
kompensasi kepada Indonesia sebagai penggantinya. Hal tersebut kemudian memunculkan komitmen kuat melalui terbentuknya kerjasama antar Australia dan Indonesia. Kerjasama tersebut dikenal dengan kerjasama IAFCP (Indonesia– Australia Forest Carbon Partnership). Program kerjasama ini dilaksanakan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah sebagai proyek demonstrasi dan INCAS
4
(Indonesian National Carbon Accounting System) sebagai salah satu komponen dari sistem perhitungan karbon Indonesia (Nugraha, 2010). Mekanisme REDD+ tentunya memberikan manfaat berharga bagi Indonesia serta Australia. Indonesia telah menunjuk Australia sebagai mitra kerja dengan
hubungan
diplomatik
erat
terait
penanggulangan
permasalahan
lingkungan. Australia dinilai memiliki potensi baik dalam kerjasama ini. Dengan tujuan untuk menunjukkan pendekatan REDD+ yang bermutu, adil dan efektif serta menyajikan pelajaran berharga guna mengurangi emisi gas karbon di Indonesia, maka upaya yang dilakukan Australia dalam kerjasama IAFCP sangatlah penting adanya.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang
diangkat dalam penelitian ini adalah “Apa upaya Australia dalam pengurangan emisi gas karbon melalui kerjasama IAFCP di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah pada tahun 2008-2014?”
1.3
Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan upaya Australia dalam pengurangan emisi gas karbon melalui kerjasama IAFCP di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah pada tahun 2008-2014.
5
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai analisa upaya Australia dalam pengurangan emisi gas
karbon melalui kerjasama IAFCP diharapkan mampu menjelaskan upaya yang dilakukan Australia sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas karbon di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmu bagi akademisi mengenai kerjasama bilateral dalam pengurangan emisi gas karbon di Indonesia serta menjadi sumbangan informasi dan pertimbangan ilmiah bagi pihak – pihak yang berkepentingan seperti halnya Lembaga
Sosial
Masyarakat (LSM), pemerhati lingkungan, serta pemerintah khususnya dalam membantu program pengurangan emisi gas karbon.
1.5
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini terdiri dari lima bab,
adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut : BAB I :
Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini penulis menguraikan tinjauan pustaka, kerangka konsep dan teori. BAB III: Dalam bab ini penulis memaparkan metodologi penelitian berupa jenis penelitian, ruang lingkup, sumber data, unit analisa, dan teknik pengumpulan data.
6
BAB IV: Dalam bab ini penulis memaparkan mengenai masalah deforestasi Kalimantan
Tengah,
kesepakatan
internasional
sebagai
upaya
penanggulangan penyebaran emisi gas karbon, latar belakang kebijakan Australia serta analisa upaya Australia dalam pengurangan emisi gas karbon melalui kerjasama IAFCP. BAB V : Dalam bab ini penulis menguraikan simpulan dari laporan penelitian dan saran yang diberikan oleh penulis.