BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia (1997-1998) terutama bagi Indonesia, memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa para pelaku ekonomi pada sektor pertanian mampu bertahan dan memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Mubyarto, 2004). Kenaikan harga-harga pangan yang terjadi tidak cukup merangsang bagi produksi pertanian, bahkan peluang tersebut dimanfaatkan oleh negara tetangga (Vietnam dan Thailand). Hal ini mengindikasikan bahwa pondasi sektor pertanian yang dibangun selama ini tidak dibangun dengan kokoh dan mendasar. Reorientasi dan revitalisasi kebijakan pembangunan pertanian harus segera dilakukan. Salah satu reorientasi kebijakan pertanian adalah merubah paradigma yang selama ini terlanjur berkembang, yaitu penyediaan harga pangan murah, yang secara jelas hanya menguntungkan bagi konsumen dan di sisi lain tidak memberikan rangsangan bagi para pelaku pada sektor pertanian. Dengan demikian, revitalisasi kebijakan pertanian harus diarahkan pada kesejahteraan petani yang berasaskan kerakyatan dan keadilan. Upaya meningkatkan kesejahteraan petani dilakukan sejalan dengan upaya menciptakan ketahanan pangan (food security). Konsekwensi logis dari upaya ini adalah tuntutan keterlibatan pemerintah secara aktif dan nyata, misalnya penentuan harga dasar, stabilisasi harga dalam negeri dan perdagangan terhadap
Universitas Sumatera Utara
berbagai komoditi pertanian, peningkatan fasilitas dan insentif pertanian, yang kesemua itu berlaku universal bagi komoditi unggulan, termasuk tanaman jagung. Jagung merupakan salah satu komoditi strategis dan bernilai ekonomis, serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat protein setelah beras. Disamping itu jagung berperan sebagai pakan ternak bahan baku industri (termasuk industri perunggasan) dan rumah tangga (Ditjen Tanaman Pangan, 2002). Beberapa tahun terakhir, kebutuhan akan jagung terus meningkat. Rata-rata kebutuhan jagung domestik setiap tahun meningkat sebesar 6,6% sementara laju produksi hanya sekitar 2,5% setiap tahunnya, sementara rata-rata produksi jagung nasional sekitar 3,2 ton/ha/tahun, (Deptan, 2007). Hal ini membuktikan walaupun ditingkatkan produksinya, permintaan terhadap jagung akan tetap nyata (effective demand). Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Jagung Berdasakan Negara Tahun 1999-2007 (ribu Ton) Negara 1999 2000 U.S 240.719 160.954 China 95.380 102.700 EU 30.242 30.487 Brazil 29.200 32.934 Mexico 18.631 19.141 Argentina 10.200 10.000 India 9.992 9.600 Rumania 6.829 8.000 Canada 4.883 6.501 South Africa 9.990 13.275 Yugoslavia 6.650 5.912 Hungaria 4.301 4.012 Thailand 5.650 5.400 Egypt 4.500 4.980 Philipine 4.810 5.030 Indonesia 3.400 2.900 Sumber : USDA, FAS, 2008
2001 56.621 99.280 28.298 36.982 17.005 10.900 9.120 8.500 7.043
2002 87.305 112.000 28.952 31.595 16.000 10.660 9.800 9.923 7.271
2003 234.518 127.470 34.794 35.700 18.922 15.500 10.612 9.610 7.380
2004 233.864 104.300 38.522 30.100 16.934 19.360 10.852 12.680 7.180
2005 247.882 132.954 35.295 32.350 17.788 13.500 10.680 8.500 8.952
2006 239.719 128.000 37.241 33.000 19.000 16.000 10.500 10.500 9.096
2007 247.407 125.000 38.765 33.500 19.000 16.500 11.000 10.500 10.200
4.845 7.500 4.300 5.500 5.650 4.534 3.800
10.200 8.300 4.600 6.200 5.738 4.300 3.700
10.136 8.300 6.000 5.950 5.825 4.215 3.900
7.693 10.500 6.800 5.700 6.010 3.528 3.700
7.700 8.700 6.000 6.500 5.605 4.894 4.300
9.700 9.500 7.000 6.200 5.678 4.500 3.800
9.500 9.300 7.500 6.200 5.800 4.300 4.100
Universitas Sumatera Utara
Tabel I.1 diatas memberikan gambaran bahwa produksi jagung disetiap negara menunjukkan peningkatan yang cenderung fluktuatif. Negara produsen jagung terbesar adalah U.S dan dari 16 negara produsen tersebut, Indonesia berada pada urutan terakhir. Hasil produksi setiap negara, tidak secara langsung diperdagangkan dalam pasar internasional. Pemenuhan kebutuhan domestik menjadi prioritas masing-masing negara. Sebagai catatan, bahwa produksi jagung yang diperdagangkan di pasar dunia relatif konstan atau sekitar 11,5 persen dari produksi jagung dunia. Tabel 1.2. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Jagung Dunia 19992007 (Ribu Ton) Tahun
Produksi
Perdagangan Dunia
Persentase (%)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
538.575
62.226 56.374 71.189 65.489 66.696 62.995 68.348 69.535 70.835
11,55 11,86 12,72 12,76 11,26 10,93 11,28 11,50 11,52
475.494
559.579 513.078 592.179 576.153 605.944 604.409 614.729
Sumber : USDA, FAS, 2008
Produk jagung yang diperdagangkan di pasar dunia sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, China, Fiji, Mexico dan Argentina. Namun tidak semua negara produsen jagung menjadi negara pengekspor. Brazil merupakan salah satu produsen jagung dunia, tetapi bukan merupakan negara eksportir jagung. Hal ini dikarenakan tingginya kebutuhan domestik akan jagung, sehingga hampir semua produksinya dialokasikan untuk pemenuhan dalam negeri. Hal serupa terjadi pada Uni Eropa, dimana produksi jagung hampir diperuntukkan bagi negara-negara 8 anggotanya. Gambaran relatif berbeda terlihat untuk negara China, disamping
Universitas Sumatera Utara
berperan sebagai negara eksportir jagung, sekaligus berperan sebagai negara importir. Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau dan bercirikan negara agraris, menjadikan tanaman jagung juga sebagai salah satu komoditi unggulan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat (petani) baik sebagai tanaman utama maupun sebagai tanaman tumpang sari. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa luas tanaman jagung, khususnya luas panen, berbeda-beda antara satu propinsi dengan propinsi lainnya. Tabel 1.3. Perkembangan Rata-rata Luas Panen (ha) dan Pertumbuhan (%)Periode 1999-2007 Propinsi
Luas Panen (ha)
Rata-rata Pertumbuhan (%)
I. Sumatera 1. Aceh 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung Sub total II JAWA & MADURA 1. Jawa Barat 2. Jawa Tengah 3. Yogyakarta 4. Jawa Timur Sub total Propinsi III BALI & NUSATENGGARA 1. Bali 2. Nusa Tenggara Barat 3. Nusa Tenggara Timur Sub total IV KALIMANTAN 1. Kalimantan Barat
21.081 154.557 18.758 16.037 10.522 34.337 24.607 312.311 592.210
-0,62 13,60 9,01 10,50 9,15 14,81 7,13 6,61 8,77
130.543 582.314 62.725 1.166.215 1.941.797
2,19 5,9 6,23 1,51 3,96 Rata-rata Pertumbuhan (%)
Luas Panen (ha) 44.765 30.186 234219 309.170
3,01 4,18 1,94 3,04
18.624
7,15
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 4.3 2. Kalimantan Tengah 3. Kalimantan Selatan 4. Kalimantan Timur Sub total V SULAWESI 1. Sulawesi Utara 2. Sulawesi Tengah 3. Sulawesi Selatan 4. Sulawesi Tenggara Sub total VI MALUKU & IRIAN JAYA 1. Maluku 2. Irian Jaya Sub total JUMLAH
4.816 18.128 6.858 48.426
8,08 8,02 5,01 7,07
78.305 17.188 299.580 41.364 436.437
2,99 12,11 -1,81 0,39 3,42
12.286 4.393 16.679 3.344.719
-5,66 -3,66 -4,66 3,60
Sumber : BPS, 1999-2007 (diolah)
Melalui tabel diatas, konstribusi Pulau Jawa & Madura menduduki urutan pertama, sebesar 1.941.797 ha (58,06%). Bila dilihat dari rata-rata pertumbuhan per tahun selama kurun waktu tersebut, pertumbuhan luas panen pulau Sumatera adalah yang paling tinggi yaitu rata-rata 8,77 persen per tahun. Salah satu propinsi di Sumatera yang memiliki peluang dalam meningkatkan produksi jagung adalah Propinsi Aceh. Jika dilihat dari struktur perekonomian, dominan seluruh kabupaten bercirikan pertanian, termasuk Aceh Tenggara. Kabupaten Aceh Tenggara merupakan daerah penghasil jagung terbesar di Propinsi Aceh. Dilihat dari keunggulan komparatif, kabupaten ini sangat diuntungkan karena berbatasan lansung dengan Provinsi Sumatera Utara yang memiliki industri pengolahan jagung. Berdasarkan data statisik (BPS Agara, 2008), saat ini sekitar 80% dari total 152.042 orang penduduk Kabupaten Aceh Tenggara tinggal di wilayah pedesaan. Lebih dari 78.72% diantaranya menggantungkan hidup pada sektor pertanian.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.4. Perkembangan Produksi Jagung Kabupaten Aceh Tenggara 1990-2009 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Produksi (ton) 147.453 149.675 161.074 163.784 164.916 168.094 169.747 171.970 170.774 170.535 179.672 174.257 174.147 172.830 161.112 162.993 161.835 163.740 167.534 163.221
Perkembangan (%) 1,51 7,62 1,68 0,69 1,93 0,98 1,31 (0,70) (0,14) 5,36 (3,01) (0,06) (0,76) (6,78) 1,17 (0,71) 1,18 2,32 (2,57)
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tenggara, 2010
Melalui tabel diatas, secara jelas bahwa produksi menunjukkan pertumbuhan yang fluktuatif. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 1992 dimana masyarakat secara massal melakukan penanaman jagung secara serentak karena beberapa pengalaman petani sebelumnya mampu memberikan nilai tambah yang baik bagi keluarga. Hal itu mendorong masyarakat untuk menanam jagung. Disisi lain, penurunan terbesar terjadi pada tahun 2002-2004, yang disebabkan oleh kondisi mencekam akibat konflik. Akibatnya, masyarakat tidak berani untuk turun ke ladang untuk menanam jagung. Sebagai informasi, bahwa lahan produksi tanaman jagung yang tersedia sekitar 61.661 Ha, sementara yang dimanfaatkan hanya sekitar 31.679 Ha.
Universitas Sumatera Utara
Para petani di Kabupaten Aceh Tenggara memiliki ciri antara lain : petani gurem. Dalam kegiatannya, para petani tersebut banyak menghadapi kendala, yaitu tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk menggunakan alat dan mesin pertanian (alsintani), banyaknya hama, harga pupuk dan obat-obatan yang relatif mahal serta tidak menentunya curah hujan. Disamping itu, sifat jagung yang volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil (bulky), tidak tahan disimpan lama, lokasinya yang terpencar, rantai pemasaran yang relatif panjang (transit market), belum tersedianya industri pengolahan jagung serta tanaman yang bersifat musiman menjadikan harga jual jagung menjadi sangat fluktuatif. Misalnya, saat panen raya harga jatuh mendekati Rp. 1.600 dan pada saat paceklik harga berada pada kisaran Rp.2.200. Singkatnya, harga memiliki pengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani. Disisi lain, perbedaan harga antar daerah juga menjadi stimulator bagi daerah lainnya dalam memanfaatkan peluang tersebut. Selama ini, harga jual di pasar Aceh Tenggara relatif lebih rendah dari pada harga di Sumatera Utara. Hal ini disebabkan, karena di Sumatera Utara terdapat sejumlah industri pengolahan jagung, baik berupa pakan ternak maupun lainnya yang menuntut tersedianya bahan baku secara berkesinambungan. Berikut ditampilkan tabulasi data, perbandingan harga jual jagung antara Aceh Tenggara dengan Sumatera Utara. Selisih harga jual pada dua daerah tersebut sangat signifikan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.5. Perkembangan Perbandingan Harga Jagung Aceh Tenggara – Sumatera Utara 1990-2009 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Harga di Agara (Rp) 375,00 400,00 460,00 570,00 650,00 600,00 740,00 750,00 800,00 1.300,00 1.500,00 1.700,00 1.750,00 1.900,00 1.950,00 2.000,00 2.000,00 2.200,00 2.150,00 2.100,00
Perkembangan (%) 6,67 15,00 23,91 14,04 (7,69) 23,33 1,35 6,67 62,50 15,38 13,33 2,94 8,57 2,63 2,56 10,00 (2,27) (2,33)
Harga di Sumut (Rp) 425,00 465,00 525,00 630,00 725,00 740,00 780,00 820,00 1.025,00 1.500,00 1.650,00 1.850,00 1.900,00 2.100,00 2.250,00 2.400,00 2.350,00 2.500,00 2.300,00 2.325,00
Perkembangan (%) 9,41 12,90 20,00 15,08 2,07 5,41 5,13 25,00 46,34 10,00 12,12 2,70 10,53 7,14 6,67 (2,08) 6,38 (8,00) 1,09
Sumber : Dinas Pertanian Kab Aceh Tenggara, 2010
Kiranya, disinilah, peran pemerintah melalui kebijakannya diharapkan dapat menjadi stimulator yang bermuara pada terciptanya kestabilan harga yang menguntungkan bagi para petani. Analisis keunggulan komparatif dan daya saing usahatani jagung sudah banyak dilakukan. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa usahatani jagung mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, tidak hanya pada regim substitusi impor tetapi juga pada regim promosi ekspor. Artinya, usahatani jagung menghasilkan keuntungan yang layak dan mempunyai daya saing terhadap jagung impor.
Universitas Sumatera Utara
Relevan dengan peluang pasar, Rachman (1998) mengungkapkan bahwa menurut pola perdagangan, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam usahatani jagung, baik untuk tujuan perdagangan antar daerah, substitusi dan tujuan peningkatan ekspor layak diusahakan di hampir semua daerah di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah Melalui uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hasil panen jagung petani kelompok di Kabupaten Aceh Tenggara?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktorfaktor yang mempengaruh hasil panen jagung petani kelompok di Kabupaten Aceh Tenggara.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk : 1. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), khususnya Dinas terkait (Pertanian) dalam menentukan program pengembangan komoditi unggulan sektor pertanian khususnya tanaman jagung di Propinsi Aceh. 2. Sebagai landasan dalam penyusunan, arah dan kebijakan pengembangan khususnya tanaman jagung di Kabupaten Aceh Tenggara.
Universitas Sumatera Utara
3. Sebagai wawasan dan memperkayah khasanah keilmuan bagi penulis, khususnya mengenai fakor-faktor (controlable) yang dapat mempengaruhi hasil panen jagung para petani di Kabupaten Aceh Tenggara. 4. Sebagai acuan atau landasan untuk penelitian selanjutnya terutama yang terkait dengan tanaman jagung.
1.5. Kerangka Berfikir Badan Litbang Pertanian (1999) mengarahkan pertanian tradisional menjadi pertanian modern (agribisnis) yaitu upaya peningkatan pendapatan petani melalui reorientasi kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian, dan mendukung pengembangan agribisnis, yaitu perubahan dari peningkatan kuantitas menjadi
peningkatan
kualitas.
Badan
Litbang
Pertanian
sendiri
telah
melaksanakan program Prima Tani pada beberapa wilayah di Indonesia, dengan mengembangkan model agribisnis terintegrasi secara vertikal dan horizontal berbasis lahan marjinal dalam program pengembangan model agribisnis berbasis inovasi teknologi pertanian. Program ini dilaksanakan untuk mendukung pengembangan komoditas pertanian unggulan dalam suatu kawasan dengan didukung oleh beberapa unsur terkait (kelembagaan) dalam proses produksi dan pemasaran hasil. Tujuan akhir dari program ini adalah mendukung upaya peningkatan pendapatan petani dan unsur yang terkait dalam usahatani dan pemberdayaan masyarakat pertanian pada umumnya. Sejalan dengan hal tersebut, kiranya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil panen jagung : 1. Jenis bibit. Penggunaan jenis bibit yang berbeda diyakin dapat mempengaruhi hasil panen petani jagung. Terdapat kecenderungan di kalangan petani, bahwa
Universitas Sumatera Utara
bibit hybrida lebih banyak memberikan hasil panen daripada penggunaan bibit lokal, (Dahlan et.al, 1996). 2. Luas lahan. Terdapat kecenderungan pada masyarakat bahwa semakin besar luas lahan yang digunakan maka semakin banyak produksi yang dihasilkan. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa senjang hasil antara rata-rata produksi yang dicapai petani saat ini dengan potensi hasil kemampuan lahan masih cukup lebar, (Swastika dkk, 2001). 3. Jenis lahan. Budidaya tanaman jagung pada dasarnya dapat dilaksanakan pada dua kelompok lahan, yaitu lahan kering dan lahan basah (baik sawah irigasi maupun sawah tadah hujan). Penggunaan lahan basah diyakini mampu memberikan hasil panen yang relatif banyak dibandingkan lahan kering. Hal ini menyebabkan para petani berupaya memanfaatkan lahan basah yang ada untuk budidaya tanaman jagung (Kasryno, 2002). Disisi lain, pada awal tahun 1980-an, lahan kering lebih dominan digunakan untuk tanaman jagung daripada lahan basah (Mink et al. 1987). 4. Pupuk, merupakan salah satu faktor input yang memegang peran penting dalam produktitas tanaman. Teknik penggunaan pupuk dan Mutu dan produksi jagung di Sulawesi Selatan dapat ditingkatkan melalui penggunaan pupuk NPK dan pupuk S, (Syafruddin et.al 1998) dan (Subandi, 1998). 5. Pengetahuan, dari hasil pengkajian (Litbang Deptan Bengkulu 2007) dapat disimpulkan bahwa diperlukan perbaikan teknik budidaya, melalui peningkatan pengetahuan para petani melalui pengenalan terhadap teknologi baru, penggunaan benih bermutu, penyesuaian dosis pupuk, dan perlakuan benih untuk pencegahan hama penyakit. Selain itu, para petani juga harus diberikan
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan baru, terkait dengan pengelolaan dan penanganan pasca panen mengingat hal ini turut mempengaruhi kualitas jagung. Selama ini, peningkatan produksi jagung di Indonesia belum diikuti oleh penanganan pascapanen yang baik. Petani kurang mendapatkan informasi tentang kegiatan panen dan pascapanen yang dapat mengurangi biaya dan menekan susut mutu jagung. Karena itu, petani di beberapa wilayah pengembangan jagung masih belum merasakan nilai tambah dengan meningkatnya kualitas produk biji jagung (Firmansyah 2006). Upaya meningkatkan kesejahteraan petani jagung melalui perbaikan pada proses penanaman dan penanganan pasca panen merupakan kegiatan yang dapat dilakukan secara bersama, yang pada akhirnya diharapkan harga jual mereka mengalami peningkatan. Singkatnya, harga memegang peranan yang penting. Semakin tinggi harga jual maka semakin meningkat pula keinginan untuk berproduksi (sebagai insentif). Harga jual di daerah lain juga mempengaruhi harga jual pada daerah tetangga. Purwoto dkk (2005) melakukan kajian terhadap pengaruh harga komoditi jagung di daerah lain (tetangga) terhadap harga jagung di daerah penghasil, secara tegas dinyatakan bahwa ada korelasi harga di tingkat dunia (luar negeri) dan derajat integrasi spatial baik antara pasar dunia dan pasar domestik, maupun antar pasar domestik dalam era liberalisasi perdagangan dengan mengambil studi kasus di Sulawesi Selatan. Simatupang dan Syafaat (1999) menjelaskan melalui analisis dekomposisi fluktuasi harga di pasar domestik ditemukan bahwa dibandingkan kondisi kuartal IV 1998, harga jagung pada kondisi kuartal I 1999 mengalami penurunan 0,6 persen. Penurunan harga jagung domestik ini tergolong rendah karena pada saat
Universitas Sumatera Utara
yang sama terjadi depresiasi rupiah. Disisi lain, pada saat harga jagung dunia menurun, pemerintah justru meningkatkan derajat liberalisasi perdagangan melalui penghapusan beberapa hambatan tarif. Hal ini terlihat dari pertumbuhan komponen sisa yang negatif (-16,2%), yang mengindikasikan bahwa penurunan harga domestik lebih banyak disebabkan oleh penurunan siklus harga dunia dan peningkatan liberalisasi perdagangan. Terdapatnya korelasi negatif antara harga jagung domestik dengan nilai tukar memberi makna adanya penguatan nilai tukar cenderung akan menurunkan harga jagung domestik. Instrumen penting lainnya yaitu kebijakan pemerintah. Mubyarto (2004) menjelaskan bahwa pemerintah tidak boleh menyerah menghadapi kekuatan kekuatan ekonomi dunia yang bersemangat kapitalistik-neoliberal seperti “kesepakatan-kesepakatan” WTO dan “Konsensus Washington” 1989. Pedoman kebijakan pembangunan pertanian didasarkan atas asas kerakyatan, keadilan, dan nasionalisme, yang harus berpihak pada bagian masyarakat yang lemah dan miskin. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran seperti pada gambar 1.1 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
JENIS BIBIT (X1.1)
LUAS LAHAN (X1.2)
JENIS LAHAN (X1.3)
HASIL PANEN JAGUNG (Y1)
PUPUK (X1.4)
OBATOBATAN (X1.5)
PENGETAHUAN (X1.6)
Sumber : Badan Litbang Pertanian, 1999 Gambar 1.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Panen Jagung di Kabupaten Aceh Tenggara 1.6. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Jenis Bibit, Jenis Lahan, Luas Lahan, Pupuk, Obat-obatan dan Pengetahuan merupakan faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap hasil panen jagung petani kelompok di Kabupaten Aceh Tenggara.
Universitas Sumatera Utara