BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2008: 24). Menurut Baalbaki (1990: 272), bahasa adalah sistem yang terbentuk oleh simbol-simbol, diusahakan, dan dapat berubah untuk mengekspresikan tujuan pribadi atau komunikasi individu. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan. Selain itu, bahasa juga merupakan alat integrasi dan adaptasi social sehingga individu dapat saling mengadakan pendekatan baik antar warga yang satu dengan warga yang lainnya maupun terhadap lingkungan sosialnya. Sebagai alat komunikasi, bahasa berperan untuk mengadakan kontrol social sehingga setiap individu dapat mempengaruhi individu lainnya melalui keahlian berbicara, menulis dan lain sebagainya. Oleh karena itu, peranan bahasa tersebut begitu besar dalam kehidupan manusia (Alwi, 1988: 3). Bahasa adalah salah satu sisi kehidupan suatu bangsa dalam melestarikan ilmu, kebudayaan, bahkan agama. Maka komitmen mereka dalam menjaga dan melestarikan bahasa mereka akan menjadi indikasi komitmen mereka dalam menjunjung tinggi ilmu, budaya dan agama. Pada tahap tertentu, bahasa juga bisa menjadi indikasi kuat lemahnya bangsa itu, karena bahasa merupakan sarana
1
mengembangkan cipta, ras, dan karsa yang selanjutnya dapat membawa bangsa itu berlaga di kancah pergaulan dunia (Alwasilah, 2011: 268). Di dalam suatu masyarakat yang mengalami perkembangan setapak demi setapak di seluruh bidang kehidupannya, perkembangan bahasanya biasanya terdapat di dalam bidang ekonomi, politik, maupun kulturil. Terlebih lagi hal itu dapat dilihat pada perkembangan ilmu pengetahuannya, yang mau tidak mau harus mengalami pertumbuhan sejajar dengan alatnya, yaitu bahasa. Istilah-istilah baru diciptakan sebagai suatu keharusan untuk meng-kode-kan pikiran-pikiran baru, pendapat-pendapat baru, teori-teori baru, dan lain sebagainya. Malahan kadang-kadang diciptakan pula susunan-susunan mengemukakan proposisiproposisi yang baru (Samsuri, 1991: 32). Adalah suatu kenyataan bahwa bahasa mana pun setiap saat sedang mengalami evolusi. Bahkan dapat ditinjau rincian cara kerjanya untuk mendapati berbagai proses yang dapat membuatnya, dalam waktu yang lama, tidak dikenali lagi. Apa pun dalam sebuah bahasa mungkin berubah, entah morfologi, leksikon, sintaksis ataupun fonologinya (Martinet, 1987: 173). Menurut teori struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa bersifat sistematik dan sistemik. Bahasa bersifat sistemik karena mengikuti ketentuanketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Pada setiap bahasa aturan ini bisa terlihat dalam dua hal yaitu : (1) sistem bunyi dan (2) sistem makna. Hanya bunyi-bunyi tertentulah yang bisa dipakai, digabung-gabungkan dengan bunyi lainnya untuk menbentuk satu kata sebagai simbol dari satu acuan atau rujukan (referent) (Alwasilah, 2011: 10). Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa itu 2
sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, subsistem semantic, dan subsistem leksikon. Berkaitan dengan ciri tanda, bahasa pada dasarnya merupakan paduan antara dua unsure, yaitu signifie dan signifiant (de Saussure, 1974: 114). Bahasa terbentuk dari sejumlah unsure yang menyangkut isi dan bentuk bahasa. Isi bahasa termasuk dalam kategori non-linguistik, sedangkan bentuk bahasa termasuk dalam kategori linguistik (Mar’at, 1983: 25). Bahasa Arab terkenal dengan kekayaan kosakatanya. Kekayaan kosakata ini antara lain disebabkan oleh adanya bentuk tunggal, dual, jama’ serta adanya jenis maskulin dan feminim (mudzakkar dan mu’annats). Di antara kajian-kajian yang telah dilakukan yaitu menyatukan kesamaan pembentukan kata dalam kalimat yang ditinjau dari sisi morfologis. Dalam morfologi, ragam bentuk, wazan, dan makna mashdar dalam bahasa Arab sangat beragam. Keragaman ini, antara lain disebabkan oleh sistem qiyas (proses analogi) yang menjadikan suatu kata dapat ditashrif dan dibentuk sesuai wazan yang berlaku. Selain itu, akurasi bahasa Arab khususnya para nuhat dalam memberlakukan metode sama’ (mendengar, menelusuri dan mengikuti yang valid dari orang Arab yang terpercaya dalam hal penggunaan kata dan kalimat) juga menjadi faktor utama yang membuat bahasa Arab memiliki keragaman mashdar yang luar biasa. Dari metode sama’ ini muncullah beberapa kaidah wazan-wazan yang ada dalam suatu kata. Nomina verba adalah salah satu bagian dari struktur kalimat dalam sistem morfologi bahasa Arab yang mempunyai banyak jenis dan varian. Nomina verba banyak kita temukan pada setiap teks-teks arab yang kita baca karena nomina 3
verba bagian yang tak terpisahkan dalam kaidah tata bahasa Arab. Salah satu varian dari nomina verba tersebut adalah nomina verba yang terbentuk secara samā’īy. Terkadang hal inilah yang menyulitkan para pembaca teks Arab dalam memahami teks, karena kurang mengetahui dan memahami jenis dan kedudukannya. Oleh sebab itu diperlukan suatu paparan dan analisis tentang nomina verba secara samā’īy dalam bahasa Arab. Walaupun penjelasan mengenai nomina verba secara samā’īy ini telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan, tetapi peneliti merasa masih perlu adanya penelitian lebih lanjut karena banyak yang tidak memperhatikan adanya qiyāsiy maupun samā’īy dalam suatu nomina verba. 1.2
Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang yang diuraikan di atas, masalah pokok
yang hendak dijawab dan dipecahkan dalam penelitian yang berkaitan dengan nomina verba samā’īy verba triliteral denuded (fi’il tsulātsī mujarrad) dalam bahasa Arab dalam tinjauan morfologis dapat dirumuskan dalam beberapa pokok permasalahan, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pembentukan (proses morfologis) nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad? 2. Apa wazan atau pola dalam nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad? 3. Wazan apa yang paling banyak digunakan (common used) dalam nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad?
4
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh
peneliti dalam penelitian pembentukan nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad dalam tinjauan morfologis adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan dan menjelaskan pembentukan nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad. 2. Mendeskripsikan dan menjelaskan wazan atau pola dalam nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad. 3. Mendeskripsikan dan menjelaskan wazan yang paling banyak digunakan (common used) dalam nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad. 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam dua aspek
utama, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat secara teoritis, mengacu kepada manfaat keilmuan sedangkan manfaat secara praktis lebih mengarah kepada telaah fungsional. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya khazanah teori-teori linguistik Arab yang sudah ada. Secara praktis fungsional, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan informasi dan pemahaman baru dalam kajian morfologi bahasa Arab serta dalam proses pengajaran bahasa Arab terutama bagi non-penutur Arab dalam mempelajari wazan atau pola yang terbentuk secara samā’īy .
5
1.5
Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka, dimuat uraian sistematis tentang hasil-hasil
penelitian yang didapatkan dari peneliti terdahulu yang ada hubungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan satuan kebahasaan yang akan diteliti (Agra dan Ismadi, peny., 2003: 5-6). Pembahasan mengenai pembentukan nomina dalam bahasa Arab telah banyak dilakukan oleh para peneliti baik dari orang Arab sendiri maupun dari orang non Arab. Pada umumnya sudah dalam bentuk buku dan beberapa karyakarya ilmiah. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai karya-karya tersebut: Fakhruddin Qubāwah dalam bukunya Tashrīfu al-asmā’ wa al-Af’āl (1998) membahas tentang proses pembentukan nomina derivative (ism Musytaq) yang meliputi nomina verba, participel aktif (isim Fā’il), participel pasif (isim Maf’ul), nomina tempat (Ism makan), nomina waktu (ism zaman), nomina instrumental (Ism ālah), similar quality (Isim Shifah Musyabbahah), dan nomina preference (Isim Tafdhil). Dalam suatu nomina verba, ada beberapa diantaranya yang terbentuk bukan secara analogy (qiyāsiy), akan tetapi terbentuk secara samā’īy. Mushthafā al-Gulāyaini dalam bukunya yang berjudul Jāmi’u ad-Durūs al-‘Arabiyyah (1993) bab IV Tashrīfu al-Asma’, beliau menggunakan istilah nomina deklinasi (ism mutamakkin) untuk nomina yang bisa dibentuk. Pembentukan nomina atau nominalisasi hanya terjadi pada nomina deklinasi yaitu nomina primitif dan derivatif. 6
Atim Husnan dalam bukunya Majāni al-Mustathraf fī ‘Ilmi ash-Sharf (1984) juga membahas tentang pembentukan nomina derivatif seperti nomina verba, nomina vicis (isim marrah), nomina isim haiah, nomina waktu (isim zamān), nomina tempat (isim makān), dan nomina instrument (isim ālah). Penjelasan tentang data-data mengenai nomina derivatif diawali dengan sistem pola kalimat kemudian memasukkan data-data tersebut sesuai dengan pola. Beliau menjadikan pola triliteral sebagai barometer dalam pembentukan nomina sehingga asal kata dapat diketahui dengan analisis yang tepat dan mempermudah proses pembentukan kata. Mengenai pembentukan nomina verba, beliau berkesimpulan bahwa mashdar dari triliteral denuded (tsulatsi mujarrad) berasal dari proses samā’īy dan quadriliteral (rubā’i) berasal dari proses qiyāsiy atau analogi. William Wright dalam bukunya A Grammar of the Arabic Language (1962), membahas tentang proses pembentukan nomina melalui sistem pola akan tetapi hanya terfokus pada nomina derivatif (ism musytaq). Selanjutnya beliau mengklasifikasikan nomina derivatif dalam dua kategori berdasarkan bentuk dasar katanya, yaitu denominatif atau nomina yang terbentuk dari nomina dan deverba atau nomina yang terbentuk dari verba. Tinjauan pustaka lainnya dalam penelitian ini adalah suatu tesis tentang proses pembentukan kata dilakukan oleh Muhammad Aqil Luthfan (2010) yang berjudul “Sistem Morfologi Verba Bahasa Arab”. Tesis ini membahas tentang sistem morfologi verba dalam bahasa Arab. Penelitian ini menghasilkan beberapa point penting, yaitu (1) karakter pembentukan kata dalam bahasa Arab berdasarkan pada interdigitasi akar radikal dan pola, (2) sistem morfologi bahasa 7
Arab bersifat infleksional dan derivasional, dan (3) proses morfologi dalam bahasa Arab tidak mengenal reduplikasi, komposisi, dan konversi. Walaupun dalam satu rumpun morfologi, namun proses pembentukan nomina dan verba memiliki karakter-karakter sendiri. Selain penelitian di atas, yaitu penelitian yang membahas tentang pembentukan kata jenis nomina dalam bahasa Arab. Penelitian ini dilakukan oleh Amir Syuhada (2011) yang berjudul “Sistem Morfologi Nomina dalam bahasa Arab”. Hasil dari penelitian ini yaitu (1) karakter pembentukan nomina dalam bahasa Arab berdasarkan sistem kelas kata yang berjenis nomina, integritasi akar dan pola akan
membentuk nomina utuh yang memiliki makna leksikal dan
gramatikal; berdasarkan bentuknya nomina terbagi menjadi dua, nomina variabel dan nomina invariabel; nomina variabel menjadi fokus utama dalam proses morfologis; (3) proses morfologis nomina variabel terjadi melalui augmentasi; dan (4) komponen-komponen yang terlibat dalam proses morfologis nomina adalah bentuk dasar, konsonan augmentasi, dan unsur-unsur vokal serta quiscensi yang tergabung dalam satu pola. Tesis ini menjadi tinjauan pustaka yang paling relevan dalam pembahasan penelitian ini. Proses maupun hasil dari penelitian tesis ini dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian ini. Pembahasan tentang nominalisasi telah banyak dilakukan oleh peneliti dari sudut pandang, teori, dan metode yang berbeda-beda. Akan tetapi dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti nominalisasi dari sudut yang berbeda dan belum dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya yaitu menjelaskan dan memaparkan sistem morfologi nomina verba samā’īy fi’il 8
tsulātsī mujarrad. Karena pada hakekatnya wazan suatu nomina terbentuk secara samā’īy. Buku-buku dan karya ilmiah diatas memberi gambaran umum yang jelas tentang proses pembentukan nomina yaitu proses pembentukan nomina dalam bahasa Arab berdasarkan karakternya sendiri-sendiri. 1.6
Landasan Teori Dalam teori kebahasaan, teori adalah seperangkat hipotesis yang
dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat lahiriah seperti bunyi bahasa, maupun yang bersifat batin seperti makna (Kridalaksana, 2008: 240). Teori merupakan unsur sentral yang selalu member pencerahan terhadap upaya perumusan masalah termasuk jawaban tentative terhadap masalah (disebut juga hipotesis), pemilihan metode termasuk teknik-tekniknya, dan wujud data yang harus disediakan pada tahap penyediaan data (Mahsun, 2011: 17). 1.6.1
Morfologi
Morfologi merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal (Verhaar, 2008: 97). Dalam bahasa Arab, istilah ini disepadankan dengan ilmu Shorf, yaitu ilmu yang mempelajari tentang asli kata dan perubahannya baik dalam bentuk nomina dan verba (al-Makārim, 2007: 19). Keterkaitan kedua disiplin ilmu ini menimbulkan sebuah istilah baru sesuai dengan letak geografisnya yaitu morfologi bahasa Arab. Al-Ghulāyāni (1973) berpendapat bahwa yang dinamakan morfologi Arab adalah dalil-dalil yang menjelaskan tentang keadaan kata-kata Arab sebelum tersusun.
9
Dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang membahas bentuk dan kata-kata Arab serta aspek-aspeknya sebelum tersusun dalam kalimat. Menurut Nida (1967: 1) menyatakan bahwa morfologi membicarakan seluk-beluk morfem dan susunan morfem dalam pembentukan kata. Lebih lanjut disebutkan juga bahwa di dalam proses pembentukan kata tersebut terdapat pengaruhnya terhadap fungsi dan arti. Sedangkan menurut Kridalaksana (2008), morfologi adalah bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem. Adapun menurut Soeparno (2002: 91), morfologi adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bentuk dan pembentukan kata. Tataran terendah yang dipelajari oleh morfologi adalah morfem, sedangkan tataran tertinggi yang dipelajari adalah kata kompleks. Menurut Crystal (1980: 232), morfologi adalah cabang tata bahasa yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem. Morfologi pada umumnya dibagi ke dalam dua bidang: yakni telaah infleksi (inflectional morphology), dan telaah pembentukan kata (lexical or derivational morphology). Menurut O’Grady dan Dobrovolsky (1989: 89), morfologi adalah komponen tata bahasa generative transformasional (TGT) yang membicarakan tentang struktur internal kata, khususnya kata kompleks. Selanjutnya, mereka membedakan antara teori morfologi umum yang berlaku bagi semua bahasa morfologi khusus yang hanya berlaku bahasa tertentu. Teori morfologi umum berurusan dengan pembahasan secara tepat mengenai jenis-jenis kaidah morfologi 10
yang dapat ditemukan dalam bahasa-bahasa ilmiah. Di pihak lain, morfologi khusus merupakan seperangkat kaidah yang mempunyai fungsi ganda. Pertama, kaidah-kaidah ini berurusan dengan pembentukan kata baru. Kedua, kaidahkaidah ini mewakili pengetahuan penutur asli yang tidak disadari tentang internal kata yang sudah ada dalam bahasanya. Ramlan dalam bukunya Morfologi (2009: 21) mengatakan dengan ringkas bahwa morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik. Jadi morfologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk dan klasifikasi kata.
Morfologi merupakan salah satu dari tataran ilmu linguistik yang mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk serta klasifikasi kata. Di dalam bahasa Arab kajian dari morfologi ini di disebut dengan
تصريفyaitu perubahan
satu bentuk kata menjadi bermacam-macam bentukan untuk mendapatkan makna yang berbeda dan tanpa ada perubahan tersebut makna yang berbeda tidak akan diperoleh (Alwasilah, 1993: 110) Sebagai contoh perubahan bentuk dasar علِم َ “alima” (mengetahui) menjadi
َ
beberapa
bentuk,
diantaranya
اعلم/a'lama/’memberitahukan’, تَ َعلَّ َم/ta`allama/ mengetahui’. 11
َعلَّ َم/`allama/’mengajar’, ِ ع/`ālimun/ ’yang ’belajar’, ال َ
Perubahan bentuk dasar menjadi beberapa bentuk tersebut adalah dengan menambahkan afiks. Penambahan afiks pada contoh di atas ada yang berupa
أَ ْعلَ َم/a`lama/ dan ada pula yang berupa infiks ِ (sisipan) yaitu pada kata علَّم َ َ /`allama/ dan َعال/`ālimun/ dan ada pula yang berupa gabungan afiks yang ditambahkan di awal dan di tengah yaitu pada kata تَ َعلَّم َ prefiks (kata depan) yaitu pada kata
/ta`allama/. Perubahan bentuk /`alima/ menjadi
َعلَّ َم/`allama/, أَ ْعلَ َم/a`lama/, dan تَ َعلَّ َم
/ta`allama/ yang berubah hanya identitas leksikalnya saja sedangkan status kategorialnya
ِ ع/`ālimun/ الم َ
tetap,
sedangkan
perubahan
bentuk
َعلِ َم/`alima/
menjadi
yang berubah tidak hanya identitas leksikalnya tetapi juga status
kategorialnya. (Khudri, 2004: 6). Ya`qub (Tth: 186) dalam Nasution (2006: 116), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan morfologi dalam bahasa Arab adalah:
مع التناسب بينهما يف املعىن،أخذ كلمة من أخرى بتغيريما /akhdzu kalimatin min ukhrā bitaghyīri mā, ma`a at-tanāsubi fīl ma`nā/ "Membentuk kata dari kata yang lain dengan berbagai perubahan, namun tetap memiliki hubungan makna". Sejalan dengan pendapat Ya`qub di atas, Syahrin (1980: 80) dalam Nasution (2006: 116), juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan morfologi di dalam bahasa Arab adalah:
أخذ صيغة من أخرى مع اتفاقهما مادة أصلية ومعىن /akhdzu shīgatin ukhrā ma`a infāqihā māddah ashliyyah wa ma`nā/ “Membuat bentuk kata dari kata yang lain dan terjadi perubahan pada bentuk dan makna”. 12
Beberapa definisi tentang morfologi di atas terlihat tidak ada perbedaan, justru antara satu sama lain saling melengkapi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa morfologi merupakan salah satu kajian linguistik yang mempelajari perubahan-perubahan kata dan bagian-bagiannya secara gramatikal pada setiap bahasa. Dengan demikian, satuan terkecil dalam morfologi adalah morfem (suku kata). Kata “tulis” misalnya, bisa dirubah menjadi “menulis, tertulis, tulisan,
كتب/ka-ta-ba/ berubah menjadi يكتب/yaktubu/, كاتب/kātib-un/, مكتوب/maktūb-un/, مكتبة/maktabah/, مكتب /maktab-un/, كتاب/kitāb-un/, كتابة/kitābah/, dll. Proses perubahan dan makna tulisan-tulisan, dll”. Dalam bahasa Arab kata
yang muncul dari perubahan itu, merupakan pembahasan dalam morfologi. 1.6.2
Pembentukan Nomina Proses morfologis ialah peristiwa (cara), pembentukan kata-kata dengan
menghubungkan morfem yang satu dengan yang lainnya. Dalam proses morfologis akan dijumpai pula morfem dan kata. Untuk itu perlu diperjelas lagi bahwa kata dibentuk oleh morfem (bukan sebaliknya), dan hal itu dapat pula dikatakan bahwa dalam proses morfologis ini yang menjadi bentuk terkecilnya ialah morfem dan bentuk terbesarnya ialah kata (Yasin, 1987: 48). Kata adalah satuan istimewa dalam teori tata bahasa tradisional. Dalam kajian morfologi, berurusan dengan struktur dalam kata-kata (Lyons, 1995: 190). Untuk dapat digunakan di dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap bentuk dasar, terutama dalam bahasa fleksi dan aglutunasi, harus dibentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatikal, baik melalui proses afiksasi, proses 13
reduplikasi, maupun proses komposisi. Pembentukan kata mempunyai dua sifat, yaitu membentuk kata-kata yang bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif (Chaer, 2007: 169-170). Proses morfologis ini melibatkan empat komponen: bentuk dasar, alat pembentuk, makna gramatikal, hasil proses pembentukan (Chaer, 2008: 25). Dalam bahasa Arab umumnya, suatu kata terbentuk secara qiyas (analogi), akan tetapi banyak ditemukan kata-kata yang terbentuk dari sama’. Para nuhat dalam memberlakukan metode sama’ (mendengar, menelusuri dan mengikuti yang valid dari orang Arab yang terpercaya dalam hal penggunaan kata dan kalimat) juga menjadi faktor utama yang membuat bahasa Arab memiliki keragaman mashdar yang luar biasa. Sama’ terjadi tidak hanya dalam mashdar saja, akan tetapi sama’ juga terjadi dalam nomina plural (jama’) dan nomina affinity (nisbah). Dari metode sama’ ini muncullah beberapa kaidah wazan-wazan yang ada dalam suatu kata.
1.6.3
Samā’īy Samā’īy merupakan asas pertama yang telah ditetapkan oleh bahasa.
Ulama’ terdahulu sudah menulis apa yang mereka dengar dari para perawi dan orang-orang Arab yang fashih. Akan tetapi belum tentu apa yang mereka dengar itu diucapkan oleh orang Arab, maka dari itu yang pertama adalah harus kembali kepada qiyas untuk mengetahui apa yang belum mereka dengar, dan yang kedua yaitu mengembalikan ke hukum-hukum sintaksis terhadap apa yang telah mereka dengar itu. Dan unsur linguistik yang paling penting untuk mendapatkan as-samā 14
yaitu al-Qur’an al-Karim, dan hadits nabawy, dan perkataan orang Arab sebelum diutusnya Rasul dan pada zaman Rasul dan setelah zamannya (Tharazi, 2005: 74). Istilah samā’īy (hearing, recceiving, generally accepted used) setidaktidaknya digunakan dalam dua konteks, yaitu: pembuatan atau penggunaan bentuk kata yang didasarkan pada apa biasa digunakan dan didengar langsung dari orang Arab yang dinilai fashih, misalnya mashdar samā’īy dan penggunaan metode pembakuan kaidah melalui proses penelusuran, penyimakan, pencatatan langsung dari fushahā’ Arab. Dalam ushūl al-nahwi, metode samā’īy ini dianggap sebagai metode pembakuan kaidah yang cukup “bermasalah” (Wahab, 2009: 137). Prinsip samā’īy pada dasarnya terkait erat dengan masalah budaya daripada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang dimaksud adalah budaya “otoritas”. Dalam tradisi Islam klasik terdapat kelompok tertentu yang diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa sehingga mereka dijadikan sebagai rujukan atau bahkan penentu bagi validitas sebuah teori atau penetapan kaidah bahasa, tentu selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kelompok pemegang otoritas ini adalah masyarakat Arab yang tinggal di pedalaman sahara atau pegunungan (ahl al-badwi atau al-Arab) (al-Jabiri, 1989: 75). 1.6.4
Fi’il Tsulātsī Mujarrad Menurut asal kata dan pembentukannya, Fi'il terbagi dua: 1. Fi’il Mujarrad
(ُجمََّرد
)فِ ْعل
yaitu fi'il yang semua hurufnya asli dan tidak ada huruf ziyadah
ِ َ )ف ْعلyaitu fi'il yang mendapat huruf
(afiksasi) di dalamnya . 2. Fi’il Mazid (م ِزيْد
tambahan (afiksasi). Fi'il Mujarrad pada umumnya terdiri dari tiga huruf sehingga dinamakan pula Fi’il Tsulatsi Mujarrad (ُجمََّرد 15
)فِ ْعل ثُالَثِيdan mempunyai enam
فَ َع َل يَ ْف ُع ُلmisalnya: صَر َ َن ِ ِ ص ُر ُ ( يَْنmenolong) 2. فَ َع َل يَ ْفع ُلmisalnya: س ُ س ََْيل َ َ( َجلduduk) 3. فَ َع َل يَ ْف َع ُل misalnya: ( فَ تَح ي ْفتَحmembuka) 4. فَعِل ي ْف َعلmisalnya: علِم ي ْعلَم ُ َ َ ُ َ َ َ (mengetahui) 5. ُ ََ ِ فَعُ َل يَ ْف ُع ُلmisalnya: ( َكثَُر يَكْثُ ُرmenjadi banyak) 6. فَعِ َل يَ ْفعِ ُلmisalnya: ب َ َحس ِ ب ُ ( ََْيسmenghitung). wazan atau timbangan (pola huruf dan harakat) yakni: 1.
1.7
Metode Penelitian Salah satu cara untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu adalah
melalui penelitian. Cara atau prosedur ini dinilai modern dan akademik, karena penelitian dilakukan secara objektif, sistematis, logis, akumulatif, dan komprehensif. Penelitian adalah serangkaian kegiatan terencara dan sistematis untuk mencari kebenaran ilmiah (Alwasilah, 2005: 13). Penelitian juga merupakan upaya cermat (akurat). Sistematis, terkontrol, dan kritis dalam rangka memperoleh pemecahan suatu masalah yang dihadapi oleh manusia. Penelitian bertujuan untuk menemukan kebenaran ilmiah (yang baru), memastikan validitasnya, dan menganalisis hubungan antar fakta-fakta, sehingga bermuara pada penyelesaian permasalahan (Ubaidat, 1999: 52). Sedangkan menurut Sudaryanto (1993), penelitian merupakan suatu proses yang berlangsung dari tahap pengumpulan (penyediaan) sampai pada tahap memproduksikan hasil penelitian. Berdasarkan pada cara pandang ini, “kerja” penelitian dibagi dalam tiga tahap, yang disebut sebagai tahap strategi, yaitu tahap pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data, yang masingmasing melahirkan metode pengumpulan atau penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. 16
1.7.1
Penyediaan Data Dalam rangka penyediaan data bahasa yang dihayati penggunaannya oleh
peneliti maka titik berat dan prioritas penggunaan salah satu dari kedua metode itu sepenuhnya bergantung pada watak objek sasaran dan tujuan penelitiannya. Demikian pula bila titik berat dan prioritas penggunaan metode tertentu itu sudah dapat ditentukan, titik berat dan prioritas penggunaan teknik-tekniknya pun sepenuhnya bergantung pula pada watak objek sasaran dan tujuan penelitian itu (Sudaryanto, 1993: 141). Penelitian ini menggunakan metode simak yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Metode ini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan akan tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis. Penggunaan metode simak ini dimaksudkan untuk menyajikan data yang berupa data-data bahasa yang tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Teknik sadap ini digunakan peneliti dalam upaya mendapatkan data dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan. Teknik ini untuk menyadap penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tertulis (Mahsun, 2011: 92). Teknik selanjutnya yaitu menggunakan teknik catat, yaitu teknik lanjutan yang dilakukan ketika menerapkan metode simak dengan teknik lanjutan di atas. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007: 45). Data dalam penelitian ini diambil dari berbagai literature-literature bahasa Arab, kamus, dan jurnal-jurnal ilmiah yang relevan sebagai sumber penelitian. 17
Beberapa literature yang dijadikan sumber data skunder dalam penelitian ini adalah Syadza Al-‘Urfi Fī Fanni As-Sharfi (2007) – Ahmad Hamalāwi, Jāmi’udDurūsil- ‘Arabiyyah (1993) - Mushthafā al-Gulāyaini, Majāni al-Mustathraf fī ‘Ilmi Ash-Sharf (1984) – Atim Husnan, Tashrif Al-Asma’ wa Al-Af’āl (1998) – Fakhruddin Qubāwah, Ittihāfuth-Tharf fī ‘Ilmi Ash-Sharf (2008) – Yāsīn AlHāfid, Ash-Sharfu Al-Wāfī (2010) – Hādī Nahar, As-Sharfu Al-Kāfī (2010) – Ayman Amin Abdul Ghanī, At-Tathbīq Ash-Sharfī (1999) – Abduh Ar-Rājihī, Ash-Sharfu Al-Muyassar lil-Asma’ (1996) – Muhammad Al-Mukhtār Muhammad Al-Mahdī, dan lain sebagainya. Setelah data didapat dari literature-literature yang ada, peneliti mencatat hal-hal yang bisa dijadikan catatan penting untuk penelitian ini, yakni data yang berhubungan dengan nomina verba samā’īy dalam fi’il tsulatsi mujarrad, untuk dianalisa dan diambil kesimpulan. 1.7.2
Analisis Data Setelah data didapatkan oleh peneliti dan telah diklarifikasikan, tahap
selanjutnya adalah menganalisa data-data tersebut. Analisis data merupakan upaya sang peneliti menangani langsung masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 1993: 6). Metode yang dapat digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data ada dua, yaitu metode padan dan metode agih atau yang disebut juga sebagai distributional method (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan adalah metode analisis data yang mana alat ukurnya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan atau diteliti (Sudaryanto, 1993: 13). Tujuan analisis data dengan metode padan ini 18
adalah untuk menentukan kejatian atau identitas objek penelitian (Kesuma, 2007: 47). Adapun metode distribusional adalah metode analisis data yang alat penentunya ada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti Sudaryanto, 1993: 15). Dan metode yang digunakan dalam menganalisa data dalam penelitian ini adalah metode padan intralingual. Metode padan intralingual adalah metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda (Mahsun, 2011: 118). Penggunaan metode ini berdasarkan jenis data, dalam penelitian ini jenis datanya adalah data lingual yang bersifat kualitatif. Metode ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan data-data berupa kata yang mengalami proses pembentukan nomina atau nominalisasi. Dari hasil analisis tersebut akan terbentuk secara sistematis dan terstruktur proses pembentukan nomina verba. Metode ini memiliki tiga teknik dalam menganalisis data, yaitu teknik hubung banding menyamakan (HBS), teknik hubung banding membedakan (HBB), dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP), yaitu teknik yang bertujuan untuk mencari kesamaan hal pokok dari pembedaan dan penyamaan yang dilakukan dengan menerapkan teknik HBS dan HBB, karena tujuan akhir dari banding menyamakan dan membedakan adalah menemukan kesamaan pokok di antara data yang di perbandingkan itu (Mahsun, 2011:119). Dalam studi morfologis, Chaer (2008: 21) membagi empat teknik dalam menganalisis satuan-satuan morfologi. Pertama, teknik analisis unsur bawahan 19
langsung, teknik ini menyatakan bahwa setiap satuan bahasa yang bukan akar terdiri atas dua unsur langsung yang membangun satuan bahasa lain, dalam meggunakan analisis teknik ini makna dari bentuknya harus diperhatikan. Kedua, model kata dan paradigma, adalah model analisis morfologi yang terlama dalam sejarah linguistik. Dalam model ini, yang dijadikan satuan dasar adalah kata dan unsur-unsur kata yaitu morfem. Ketiga, model tata nama, dalam model tata nama disajikan unsur-unsur
gramatikal
yaitu morfem
kemudian diperlihatkan
bagaimana hubungan antara unsur-unsur itu. Keempat, model proses, dalam model analisis proses, setiap bentuk komplek terjadi dari hasil proses yang melibatkan dua buah komponen yaitu dasar dan proses. Keempat model analisis ini dalam morfologi Arab dapat disepadankan dengan model analisis akar dan pola yang menjadi karakter morfem bahasa Arab (Ryding, 2005: 47-48). Ada tiga tahapan dalam analisis
akar dan pola atau
perubahan kata dalam bahasa Arab, yaitu pertama, menentukan jenis kata dasar (akar), kedua,
menemukan dan menguraikan bentuk morfem, ketiga,
menganalisis peran masing-masing morfem (Hasan, 1985:82). 1.7.3
Penyajian Data Sesuai dengan manfaat teoritis dan praktis, analisis data yang telah selesai
dilakukan selanjutnya disajikan dalam bentuk teori dengan sistematis dan terstruktur agar mudah dipahami oleh pembaca. Hasil analisis data yang berupa kaidah-kaidah yang telah didapatkan peneliti selanjutnya disajikan dengan melalui dua cara, yaitu: perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat 20
teknis, dan perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang (Mahsun, 1995: 148). Dengan demikian, penggunaan kata-kata biasa (a natural language) serta penggunaan tanda dan lambang (an artificial language) merupakan teknik hasil penjabaran metode penyajian itu (Sudaryanto, 1993: 145). Penyajian analisis data diusahakan dapat memenuhi tiga prinsip yakni, descriptive adequacy (kepadanan deskriptif), explanatory adequacy (kepadanan penjelasan), dan exhaustic adequacy (kepadanan ketuntasan). Kepadanan deskriptif adalah penyajian dapat mendeskripsikan semua rincian permasalahan penelitian. Kepadanan penjelasan adalah bahwa penelitian dapat menjelaskan semua permasalahan yang ada. Sedangkan kepadanan ketuntasan adalah bahwa penyajian data dilakukan secara tuntas dan komprehensif, sehingga semua permasalahannya dapat dikaji dan disajikan dengan teliti (Hadi, 2003: 76). Dalam kaitannya dengan metode penyajian data ini, peneliti akan menyajikan hasil analisis datanya dengan metode informal. 1.8 Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini dibagi menjadi lima bab yang disusun secara sistematis untuk mendapatkan kesempurnaan dalam merepresentasikan hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian. Setiap bab dalam penelitian ini dikembangkan ke dalam beberapa sub-bab yang disesuaikan dengan luasnya tema pada setiap pokok bahasan. Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang permasalahan yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat 21
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penyajian data. Bab kedua merupakan teori tentang pembentukan nomina dalam linguistik Arab dan linguistik umum. Bab ketiga merupakan penjelasan tentang pembentukan nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad. Bab keempat merupakan penjelasan tentang wazan atau pola yang ada dalam nomina verba samā’īy fi’il tsulātsī mujarrad dan wazan yang paling banyak digunakan (common used) dalam nomina verba samā’īy. Bab kelima adalah penutup yang mencakup kesimpulan dan saran.
22