BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan fenomena yang memiliki struktur terkait satu sama lain (Endraswara, 2003:49). Menurut Junus, (1990:1) sastra adalah bentuk. Sastra mewakili adanya makna melalui berpadunya semua unsur di dalamnya. Masingmasing bagian dalam sastra akan memiliki hubungan yang membentuk suatu makna. Setiap bagian dalam struktur teks sastra hanya akan memiliki makna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa paralelisme, pertentangan, intervensi, dan kesetaraan sehingga menghadirkan makna secara keseluruhan. Adapun sastra atau adab dalam bahasa Arab, menurut Wahbah berarti attahżību (pendidikan, pengajaran) dan al-khuluqu (budi pekerti) (Sutiasumarga, 2001:1). Sastra disebut adab karena mengarahkan manusia pada perbuatan terpuji dan menahan manusia dari perbuatan yang buruk (as-Syāyib, 1964:14), sedangkan karya sastra itu sendiri adalah suatu karya yang memuat perasaan dan ungkapan seorang pengarang yang tersusun secara baik dan indah (Qutb, 1964:14). Tak jarang karya sastra merupakan ekspresi serta sarana dari penyampaian pandangan hidup atau ideologi pengarangnya. Dalam karya sastra dikenal ada beberapa genre, salah satunya adalah cerpen. Karya sastra dalam bentuk cerpen ternyata merupakan suatu hal yang baru dalam perkembangan dunia kesusatraan Arab modern. Cerita pendek (qiṣṣah
qaṣīrah) adalah bentuk dari an-naṣru atau prosa, khususnya dalam sastra Arab.
Cerpen bentuknya ringkas sehingga tidak menggambarkan secara keseluruhan aspek-aspek yang ada dalam cerita. Cerita pendek memang harus berbentuk ‘padat’, jumlah kata dalam cerita pendek harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel, pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta mereka dan tindakan-tindakannya sekaligus secara bersamaan (Stanton, 1965:76). Dengan bentuknya yang pendek, cerpenis dapat menuliskan ide-idenya secara padat dan lebih ringkas. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak dari sekedar apa yang diceritakan secara lebih implicit (Nurgiyantoro, 2005:11) Untuk memahami sebuah karya sastra, dapat digunakan beberapa pendekatan. Salah satu diantaranya adalah pendekatan struktural, yaitu memahami karya sastra dengan memperhatikan struktur-struktur atau unsur-unsur pembentuk karya sastra sebagai suatu jalinan yang utuh. Cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi" karya Jamal Junaid (2001) merupakan salah satu khasanah karya satra Arab yang cukup terkenal melalui publikasinya di media online. Cerpen ini bercerita tentang seorang pemuda yang berjuang demi tegaknya kebebasan di negaranya yang sedang diduduki oleh penjajah dengan menjadi sekutu pihak oposisi. Akhirnya, ia masuk ke dalam penjara dan bertanam mawar di dalamnya sampai ia menyambut kebebasannya. Melalui cerpen ini, pengarang, dengan kekuatan konseptualnya mengajak untuk menggali makna yang ada di dalam cerita melalui tiap bagian yang menyusun detail cerita tersebut. Untuk menemukan makna di dalamnya perlu digali koherensi dari unsur-unsur struktural yang menyusunnya. Alasan inilah yang
menjadi salah satu ketertarikan penulis untuk meneliti cerpen ini dengan menggunakan pendekatan struktural. Alasan lainnya adalah supaya cerpen Jamal Junaid ini dapat lebih dipahami melalui analisis strukturalnya sebagaimana disampaikan oleh Wellek dan Warren (1993;188) bahwa struktur karya sastra menawarkan “kewajiban untuk dipahami.” Mungkin pemahaman kita terbatas atau tidak sempurna, tetapi “struktur penentu” itu ada pada karya sastra dan dapat kita cari, seperti setiap halnya objek pengetahuan yang lain. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti di dalam penelitian ini adalah unsur-unsur intrinsik apa saja yang terdapat dalam cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi" karya Jamal Junaid dan bagaimana keterkaitan antarunsurnya. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan unsur-unsur intrinsik dan keterkaitan antarunsurnya pada cerpen yang ditulis oleh Jamal Junaid dalam kumpulan cerpennya Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi. 1.4 Tinjauan Pustaka
Cerpen berjudul "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi” merupakan judul ke enam dalam sepuluh judul yang terdapat dalam kumpulan cerpen Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi karya Jamal Junaid. Dari kesepuluh judul tersebut salah
satunya yang berjudul “Uṣṭurutul-Maliki Syārūni wal-Khijāratun” pernah diteliti oleh Fathur Rahman (2012), Mahasiswa Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya UGM, dengan teori struktural. Dari penelitian ini didapatkan tema cerpen ini
adalah bahwa kekuasaan akan runtuh apabila dijalankan dengan sewenangwenang, meskipun didukung dengan persenjataan dan fasilitas yang memadai dan semua unsurnya saling berkaitan. Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Anaka D.L. (2013), Mahasiswa Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya UGM dengan judul: “Unsur-unsur Intrinsik Cerpen “Māsatun bi Ḥajmi ‘Ainilfarasi” dalam Anotologi Cerpen Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi Karya Jamal
Junaid: Analisis Struktural Robert Stanton”, sedangkan kedelapan judul lainnya belum pernah diteliti. 1.5 Landasan Teori Teori yang digunakan adalah teori struktural. Dalam pandangan ini, karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur saling terkait satu sama lain. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antarunsur secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur (Endraswara 2003:49). Oleh karena itu, setiap unsur dalam karya sastra mempunyai potensi dan makna tertentu yang dapat dijadikan pendukung dalam membentuk struktur karya sastrra. Dengan demikian, keterjalinan semua unsur karya sastra sebagai satu struktur merupakan hal yang dipandang penting dalam mengungkapkan maknanya. Dalam penelitian struktural, penekanan ada pada relasi antarunsur pembangun teks sastra. Unsur teks secara sendiri-sendiri tidak penting. Unsur teks itu hanya memperoleh arti penuh melalui relasi. Unsur-unsur karya sastra prosa
adalah fakta-fakta cerita, alur, karakter, latar, tema, sarana-sarana cerita, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi (Stanton, 1965:20). Kesemuanya jalin-menjalin secara rapi. Jalinan antarunsur tersebut akan membentuk makna yang utuh pada sebuah teks. Untuk mempermudah mengetahui makna dalam cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi”, digunakan teori Stanton. Akan tetapi analisisnya hanya dilakukan sebatas fakta cerita, sarana cerita, tema, dan keterkaitan antarunsurnya. Unsur-unsur dalam fiksi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu fakta cerita (facts), sarana sastra (literary devices), dan tema (theme) (Stanton, 1965: 11). Ketiganya merupakan unsur yang saling berhubungan dan saling mendukung demi mencapai kesatuan makna. Satu unsur dengan unsur yang lain tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling mendukung. Kategori-kategori di atas memiliki bagian- bagian yang lebih kecil lagi yang akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Fakta Cerita Fakta-fakta cerita terdiri atas karakter, alur, dan latar. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita (Stanton, 1965:12). Karakter menurut Stanton (1965:33), biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu- individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada orang yang bertanya; “Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?”. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai
kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu- individu tersebut. Definisi Stanton tersebut dilengkapi beberapa teori tentang karakter yang sejalan dengan apa yang disampaikan Stanton. Konsep pertama dari Stanton tentang karakter sama pengertiannya dengan konsep tokoh yang oleh Nurgiyantoro (1994:165) yang dijelaskan bahwa tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan konsep kedua dari Stanton tentang karakter merujuk pada definisi penokohan yang oleh Jones (dalam Nurgiyantoro, 1994:165) disebutkan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Hal ini juga seperti yang disampaikan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1994:165) bahwa tokoh cerita (character) adalah orangorang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Menurut Stanton (1965:33) dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Panuti (1991:17) menyatakan bahwa berdasarkan fungsi tokoh di dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam suatu cerita. Tokoh ini merupakan tokoh yang sering diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Oleh karena itu, tokoh utama berperan penting pada perkembangan alur. Dalam sebuah cerita, bisa saja tokoh utamanya lebih dari satu orang tokoh, meskipun kadar
keutamaannya berbeda. Keutamaan tokoh-tokoh utama tersebut ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, serta pengaruhnya terhadap perkembangan alur, sedangkan yang dimaksud dengan tokoh tambahan (pheriperal character) adalah tokoh yang sedikit pemunculannya dalam cerita, tidak dipentingkan, dan dihadirkan jika ada kaitannya dengan tokoh utama, baik secara langsung maupun tidak langsung (Nurgiyantoro, 1994:177). Selanjutnya, Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan plot adalah keseluruhan sekuen peristiwa- peristiwa yang dibatasi pada peristiwa- peristiwa yang dihubungkan secara kausal. Menurut Foster (via Nurgiyantoro, 2005:113), plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada hubungan kausalitas. Plot memiliki peranan penting dalam fiksi karena kejelasan plot –kejelasan antarperistiwa
yang dikisahkan secara
berurutan—akan memudahkan pemahaman terhadap jalan cerita. Akan tetapi, tidak semua fiksi disajikan oleh pengarangnya secara kronologis. Tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita, tetapi dapat berada di bagian manapun. Menurut Stanton (1965:15), plot merupakan tulang punggung cerita, karena plot lebih self evident (menjelaskan dirinya sendiri) daripada unsur-unsur lainnya. Plot harus memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Plot harus masuk akal (plausible) dan logis, tetapi mampu mengejutkan dengan tegangan yang dibangunnya. Stanton (1965:16) membagi dua unsur penting dalam alur, yaitu konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi berisi konflik internal dan atau konflik eksternal. Konflik internal merupakan konflik antara dua keinginan dalam diri seorang
tokoh, sedangkan konflik eksternal merupakan konflik antartokoh (tokoh yang satu dengan tokoh lain atau antara tokoh dengan lingkungannya). Di antara konflik yang didapati dalam karya fiksi, yang paling penting ialah konflik sentral, baik berupa konflik internal, eksternal, maupun keduanya. Konflik sentral selalu merupakan pertentangan antara dua nilai atau kekuatan yang mendasar, seperti kejujuran, kemunafikan, individualitas, pemaksaan, dan sebagainya. Konflik sentral merupakan inti struktur cerita sehingga alur dapat berkembang. Konflik sentral sering berhubungan dekat dengan tema cerita, bahkan sering identik. Klimaks cerita adalah moment ketika konflik berlangsung memuncak dan mengakibatkan terjadinya penyelesaian yang tidak dapat dihindari. Klimaks cerita merupakan pertemuan kritis antara dua kekuatan sehingga menentukan bagaimana pertentangan itu dapat diselesaikan (Stanton, 1965:16). Berikutnya, Stanton (1965:18) mengatakan bahwa latar dari sebuah cerita merupakan lingkungan peristiwa, yaitu dunia terjadinya peristiwa. Salah satu bagian latar ialah latar belakang yang tampak, misalnya sebuah cafe di Paris, pegunungan di California, sebuah jalan buntu di sudut kota Dublin dan sebagainya. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau suatu periode sejarah. Meskipun tidak melibatkan tokoh-tokoh secara langsung, latar mungkin melibatkan masyarakat sebagai latar belakang. 2. Tema Tema merupakan ide sentral atau maksud sentral dari sebuah cerita. Tema cerita berhubungan dengan pengalaman hidup manusia, tema menjelaskan atau
mengomentari beberapa segi kehidupan. Tema juga membuat cerita terfokus dan menyatu (Stanton, 1965:19). Seperti pengalaman hidup manusia, tema menjelaskan atau mengomentari beberapa segi kehidupan. Selain membuat cerita terfokus dan menyatu, tema juga mempunyai nilai di luar cerita. Tema membuat awal cerita yang sesuai dan menghubungkan setiap peristiwa dan akhir cerita yang memuaskan (Stanton, 1965:19). Stanton (1965:19) juga menyatakan bahwa tema merupakan kenyataan tunggal dari pengalaman manusia yang dilukiskan dalam suatu cerita, misalnya tentang keberanian, kekecewaan, masa tua, dan lain sebagainya. Tema dapat berupa kepribadian seorang tokoh dan pertimbangan salah atau benar dari tindakan tokoh tersebut. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tema adalah makna pusat dalam cerita atau ide pusat (central idea). 3. Sarana-sarana cerita Sarana sastra merupakan cara pengarang menyeleksi dan menyusun bagian-bagian cerita sehingga tercipta karya yang bermakna. Tujuan sarana sastra adalah agar pembaca dapat melihat fakta cerita melalui pandangan pengarang, mengetahui makna fakta cerita, dan untuk membagi pengalaman yang dikhayalkan (Stanton, 1965:23). Sarana sastra terdiri atas beberapa bagian, yaitu: judul, sudut pandang, dan simbolisme. Ketiga unsur ini lebih dominan dibandingkan dengan gaya dan nada; dan ironi. Berikut penjelasannya. Judul biasanya memiliki relevansi dengan karya secara keseluruhan. Selain mengacu pada tokoh dan setting, judul dapat juga mengacu pada detail yang
sekilas kelihatan tidak penting. Pada banyak kasus, judul merupakan kiasan atau semacamnya sehingga mempunyai tingkatan makna (Stanton, 1965:25-26). Dalam setiap cerita, pembaca memiliki berbagai posisi dan relasi yang berbeda dengan setiap peristiwa, baik di dalam maupun di luar tokoh, terlibat atau tidak secara emosional (Stanton, 1965:20). Posisi yang merupakan dasar berpijak pembaca untuk melihat peristiwa dalam cerita ini oleh Stanton disebut sudut pandang (point of view) (Stanton, 1965:26). Menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 2005:248) sudut pandang (point of view) adalah cara pandang pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca. Pemilihan sudut pandang dapat mempengaruhi perkembangan cerita serta mempengaruhi kebebasan, keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan keobjektifan pada segala hal yang diceritakan. Dalam karya sastra, cara untuk membuat ide dan perasaan menjadi seperti nyata adalah dengan menggunakan simbol. Dengan simbolisme, ide dan perasaan dapat diangankan dan diterima oleh pikiran para pembaca. Simbol dapat berupa segala sesuatu yang berasal dari latar, misalnya sebuah objek yang tunggal, tipe objek yang diulang, substansi fiskal, bentuk, gerak, warna, bunyi, dan aroma. Semua itu mungkin menggambarkan sisi kepribadian manusia, kesamaan sifat alam pada penderitaan manusia, ambisi yang sia-sia, tanggungjawab manusia, maupun romantisme remaja. Gaya (style) adalah cara seorang pengarang menggunakan bahasa. Meskipun ada dua orang pengarang yang menggunakan fakta cerita yang sama,
seperti plot, tokoh, dan latar, tetapi hasil ceritanya akan berbeda karena masingmasing menggunakan unsur bahasa yang berbeda, misalnya dalam hal kompleksitas, ritme, panjang kalimat, humor, kekonkritan, serta sejumlah imaji dan metafora. Gabungan berbagai jenis ini akan menghasilkan gaya (Stanton, 1965:30). Ironi merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan yang diharapkan. Unsur ini dapat berfungsi untuk menambahkan rasa ketertarikan, pengaruh yang kuat, humor, atau kepedihan, memberikan kedalaman pada tokoh, memperkuat struktur alur, menentukan sikap pengarang, dan menyiratkan tema (Stanton, 1965:34). 1.6 Metode Penelitian Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural sehingga metode yang digunakan juga bersifat struktural, yaitu analisis struktural yang dilakukan dengan membongkar dan memaparkan secermat, sedetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir sehingga menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Anasir tersebut terdiri atas fakta cerita meliputi tokoh dan penokohan, alur, latar dan sarana cerita meliputi judul dan sudut pandang. Secara sistematis, penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Pengumpulan data, yaitu pengelompokan permasalahan yang terdapat pada cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi”. Pengelompokan ini
berdasarkan pada unsur-unsur intrinsik dan kaitanya dengan unsur lain dalam membentuk kesatuan yang utuh. 2. Analisis data, yaitu memberikan interpretasi struktur cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi” berdasarkan perinsip struktural sebagai suatu hasil kreasi pengarang. 3. Penyajian hasil analisis data, yaitu berupa pelaporan, perincian struktur dan hubungan antarunsur cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi”. 1.7 Sistematika Penelitian Secara keseluruhan penelitian ini akan terbagi dalam empat bab. Bab 1 berisi pendahuluan dengan mengemukakan beberapa hal yang mendasar sebagai suatu kerangka umum pembicaraan berikutnya. Bab II memaparkan biografi pengarang dan sinopsis cerpen. Bab III mengupas unsur-unsur intrinsik yang terdapat di dalam karya sastra dan menganalisa keterkaitan antarunsurnya pada cerpen yang ditulis oleh Jamal Junaid dalam kumpulan cerpen "Wardatun fī Muʽtaqalil-Khayyāmi”. Bab IV penutup. 1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin Penulisan transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman transliterasi yang berdasarkan atas keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan no. 0543 b/u/1987.
1. Huruf Arab Huruf No Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
1
ﺍ
Alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
2
ﺏ
Ba
B
Be
3
ﺕ
Ta
T
Te
4
ﺙ ﺝ
Jim
Ṡ
Es (dengan titik di atas)
5
Ṡa
J
Je
6
ﺡ ﺥ
Kha
Ḥ
Ha (dengan titik di bawah)
7
Ḥa
Kh
Ka dan Ha
8
ﺩ
Dal
D
De
9
ﺫ
Żal
Ż
Z (dengan titik di atas)
10
ﺭ
Ra
R
Er
11
ﺯ
Za
Z
Zet
12
ﺱ
Sin
S
Es
13
ﺵ
Syin
Sy
Es dan Ye
14
ﺹ
Sad
Es (dengan titik di bawah)
15
ﺽ
Ṣ
16
ﻁ
17
ﻅ
Ṭa
18
ﻉ
19 20
Ḍad
Ḍ
De (dengan titik di bawah)
Ẓa
Ṭ
Zet (dengan titik di bawah)
‘ain
Ẓ ‘
Koma terbalik di atas
ﻍ
Gain
G
Ge
ﻑ
Fa
F
Ef
Te (dengan titik di bawah)
21
ﻕ
Qaf
Q
Ki
22
ﻙ
Kaf
K
Ka
23
ﻝ
Lam
L
El
24
ﻡ
Mim
M
Em
25
ﻥ
Nun
N
En
26
ﻭ
Wawu
W
We
27
ﻩ
Ha
H
Ha
28
ء
Hamzah
`
Apostrof condong ke kiri
29
ﻱ
Ya
Y
Ye
2. Vokal Vokal dibagi menjadi tiga, yaitu vokal tunggal, vokal rangkap, dan vokal panjang. Transliterasi dari ketiga vokal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut: No
Vokal Tunggal Arab
Latin
Vokal Rangkap Arab
Latin
Vokal Panjang Arab
Latin
1.
-َ-
A
َﻱ--
Ai
َﺍ--
2.
-ِ-
I
َﻭ--
Au
ِﻱ--
Ᾱ
3.
-ُ-
U
ﻭ--ُ
Ū
Ī
Contoh:
َ َ ﻛَﺘﺐ ٌﻗَﻮْﻝ ُ ﻳَﻘُﻮْﻝ- َﻗَﺎﻝ
3. Ta` Marbuṭāh
/kataba / /qaulun / /qāla - yaqūlu /
Transliterasi ta ` marbuṭah ada dua, yaitu Ta ` Marbūṭah Hidup dan Ta `
Marbūṭah Mati. Ta ` Marbūṭah Hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau
ḍammah translitarasinya adalah /t/. Ta ` Marbūṭah dibaca mati, transliterasinya adalah /h/.
Apabila ada kata yang berakhir dengan Ta ` Marbūṭah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata tersebut terpisah maka Ta ` Marbūṭah tersebut ditransliterasikan /h/. Contoh:
ُﺍﻟﻤُﻨَﻮﱠﺭَﺓ
ُﺍﻟَﻤﺪِﻳْﻨَﺔ
ُﺍﻟَﻤﺪِﻳْﻨَﺔُ ﺍﻟﻤُﻨَﻮﱠﺭَﺓ
/al-madīnatul-munawwarah / /al-madīnah al-munawwarah /
4. Syaddah Syaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah atau tasydīd. Dalam transliterasinya, tanda syaddah itu dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Contoh:
ﺭَﺑّﻨَﺎ
/ rabbanā /
5. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf al. kata sandang tersebut dalam transliterasi dibedakan menjadi kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah dan huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda simpang (-). Contoh:
ُﺍﻟﺮﱠﺟُﻞ
/ ar-rajulu /, ُﺍﻟﻘَﻠَﻢ
/ al-qalamu /
6. Hamzah Hamzah yang ditransliterasikan dengan apostrof hanya berlaku untuk hamzah yang terletak di tengah dan belakang. Hamzah yang terletak di depan tidak dilambangkan dengan apostrof karena dalam tulisan Arab berupa Alif.
Contoh:
ٌﺷَﻲْء
/ syai `un /
7. Penulisan kata Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh:
َﻭَﺇِﻥﱠ ﺍﷲَ ﻟَﻬُﻮَ ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﺮَﺍﺯِﻗِﻴْﻦ / Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn / atau dengan / Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn / 8. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contoh:
ٌ ﻭَﻣَﺎ ﻣُﺤَﻤﱠﺪٌ ﺇِﻻﱠ ﺭَﺳُﻮْﻝ:
/Wa mā Muḥammadun illā rasūl /