BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus (Ahmadi & Uhbiyati, 1991). Berdasarkan ketetapan MPR No. IV/1978 menyatakan : “Pendidikan berlangsung seumur hidup (life long education) dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah” (Ahmadi & Uhbiyati, 1991). Orangtua, guru, para pimpinan dan orang dewasa lainnya dalam masyarakat, merupakan para pendidik, karena minimal berperan memberi contoh atau teladan kepada anak-anak dan remaja (Sukmadinata, 2005). Pelaksanaan pendidikan diselenggarakan pada Lembaga Pendidikan Sekolah dan Lembaga Pendidikan Luar Sekolah. Coomba (dalam Abdulhak, 1986) membagi pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu pendidikan formal (yang merupakan bagian dari pendidikan sekolah), pendidikan informal dan pendidikan nonformal (keduanya merupakan bagian dari pendidikan luar sekolah). Satokhid (1986) menyebutkan bahwa Pendidikan Luar Sekolah merupakan program pendidikan yang turut membentuk manusia seutuhnya dan membina pelaksanaan konsep pendidikan seumur hidup. Berbeda dengan pendidikan formal dimana
Universitas Sumatera Utara
kegiatannya dilaksanakan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk kelompok belajar, kursus, atau program latihan. Kenyataannya model pendidikan yang paling umum dan dikenal di masyarakat pada saat ini adalah sistem sekolah. Bahkan, sekolah hampir dipandang sebagai satu-satunya model pendidikan yang ada dan valid di masyarakat. Sekolah adalah sistem yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Jadi, sekolah merupakan model pendidikan mayoritas (Sumardiono, 2007). Disebutkan bahwa kenyataannya metode konvensional memperlakukan siswa secara “seragam”. Hal ini tidak tepat untuk menangani keberagaman yang dimiliki oleh siswa khususnya kekhasan karakter, kecerdasan, latar belakang, perkembangan fisik, mental, minat, bakat, kecenderungan, dan sebagainya. Siswa diharuskan mengikuti aturan yang seragam dengan jadwal belajar yang sudah terpola dan sistematis lengkap dengan limit waktu yang harus ditempuh yang pada gilirannya bermuara pada ujian yang seragam. Sekolah juga memiliki pengaruh lingkungan yang negatif yang mungkin akan dihadapi oleh anak di sekolahsekolah umum, seperti pergaulan bebas, tawuran, merokok, dan obat-obat terlarang menjadi ketakutan bagi para orangtua ketika mereka tidak dapat mengawasi putra-putrinya sepanjang waktu, terutama ketika mereka berada di sekolah dan di luar rumah dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan sekolah (Rachman dalam Verdiansyah, 2007). Sekolah formal umumnya sering berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan (Simbolon, 2007). Sistem pembelajaran di sekolah tidak bisa memuaskan “kehausan” intelektual bagi anak didik. Rata-rata setiap anak akan lebih bersemangat belajar tentang apa yang ingin dipelajari dan hal-hal yang disukai sehingga dapat menikmati proses belajar. Adanya keinginan untuk menambah referensi pengetahuan atau bahkan mengubah sama sekali konsep transfer pengetahuan dari sekolah ke institusi lain. Hal ini menyebabkan banyaknya bentuk-bentuk alternatif pendidikan yang beragam mengikuti perkembangan zaman. Beberapa diantaranya yang muncul dan berkembang di Indonesia, seperti sekolah pilihan bakat (misalnya, sekolah atlet, sekolah musik dan sekolah pendalaman agama), sekolah layanan (misalnya, sekolah autis dan tempat rehabilitasi Narkoba atau LP anakanak nakal), pendidikan komunitas (misalnya kelas berjalan dan sekolah alam) serta e-learning. Diantara bermacam pendidikan alternatif yang muncul di Indonesia, homeschooling adalah salah satu yang ramai dibicarakan. Seminarseminar bertema homeschooling digelar di berbagai kota besar. Semakin banyak publik figur yang memilih homeschooling untuk memenuhi kebutuhan studi sehingga menambah pamor homeschooling (Kembara, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Fenomena homeschooling tumbuh di masyarakat kalangan menengah ke atas yang memahami falsafah pendidikan dalam konteks pencerahan dan pembebasan. Keluarga seperti ini memilih persekolahan di rumah sebagai jawaban atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik pengekangan tehadap hak tumbuh kembang anak secara wajar. Di samping itu, komunitas seperti ini sangat memahami prinsip multikecerdasan, tanpa terjebak aspek akademik semata. Akan tetapi, bukan berarti semua peserta didik persekolahan dirumah berasal dari keluarga mapan dari sisi ekonomi, ada juga beberapa keluarga miskin yang kesulitan mengakses pendidikan formal (Kompas dalam Sumardiono, 2007). Munculnya homeschooling semakin marak dan diminati oleh masyarakat. Media massa, baik media cetak maupun elektronik cukup gempar memberitakan homeschooling sehingga memberi persepsi yang berbeda-beda bagi setiap orangtua. Yang menjadi alasan orangtua melakukan homeschooling biasanya dikarenakan orangtua yang sering berpindah-pindah, pergaulan di sekolah yang kurang kondusif, orangtua merasa sekolah yang baik semakin mahal dan tidak terjangkau, orangtua menginginkan hubungan keluarga yang lebih dekat, anakanak memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat diterima di sekolah umum, orangtua berkeyakinan bahwa sistem yang ada tidak mendukung nilai-nilai keluarga dan orangtua merasa terpanggil untuk mendidik anaknya (Sumardiono, 2007). Alternatif pendidikan seperti homeschooling perlu dimaknai sebagai solusi atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik pengekangan terhadap hak
Universitas Sumatera Utara
tumbuh kembang anak secara wajar (Mulyadi dalam Verdiansyah, 2007). Homeschooling (sekolah rumah), menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, Yulaelawati (dalam Verdiansyah, 2007), adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orangtua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana kondusif dan homeschooling merupakan jalur pendidikan informal dimana hasil belajarnya dapat disetarakan. Di Indonesia, jenis kegiatan homeschooling dibedakan atas 3 (tiga) format, yaitu homeschooling tunggal apabila diselenggarakan oleh satu keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lain, homeschooling majemuk apabila dilaksanakan berkelompok oleh beberapa keluarga dan komunitas homeschooling yang merupakan gabungan beberapa homeschooling majemuk dengan kurikulum yang lebih terstruktur sebagaimana pendidikan nonformal (Kembara, 2007). Komunitas homeschooling merupakan satuan pendidikan jalur nonformal. Acuan mengenai eksistensi komunitas homeschooling terdapat dalam UU 20/2003 pasal 26 ayat (4) yang menyatakan komunitas homeschooling merupakan salah satu bentuk kelompok belajar (Sumardiono, 2007). Komunitas Homeschooling belakangan memang marak dipilih para orang tua. Seiring dengan meningkatnya minat orang tua terhadap model pendidikan alternatif ini, komunitas homeschooling turut bermunculan khususnya di Jakarta, antara lain Kak Seto Homeschooling (KSHS), Komunitas Berkemas, Keluarga Peduli Pendidikan (KerLip), Morning Star Academy, Komunitas Ibnu Amanah, juga Komunitas Kebun Main. Untuk memayungi berbagai komunitas homeschooling ini, Kak Seto
Universitas Sumatera Utara
bersama Departemen Pendidikan Nasional kemudian menggagas lahirnya Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) pada tanggal 4 Mei 2006 (Andriati, 2007). Menurut data yang dihimpun oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan
Departemen
Pendidikan
Nasional,
ada
sekitar
600
peserta
homeschooling di Jakarta. Sebanyak 16,7%, atau sekitar 100 orang, mengikuti homeschooling tunggal, sedangkan 83,3% atau sekitar 500 orang mengikuti homeschooling majemuk dan komunitas (Republika dalam Sumardiono, 2007). Berdasarkan keterangan Kepala Seksi Pendidikan Dasar Bapak Suryono dan Staf Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ibu Tati di Departemen Pendidikan Nasional Kota Medan bahwa komunitas homeschooling belum ada. Akan tetapi ada
sebuah
lembaga
pendidikan
yang
mendekati
kegiatan
komunitas
homeschooling. Lembaga pendidikan tersebut bernamakan I-Homeschooling. Berdasarkan wawancara terhadap salah satu karyawan di I-Homeschooling ditambah dengan Buletin I-Homeschooling Edisi Februari 2008 mengatakan bahwa I-Homeschooling memiliki program semi homeschooling dimana program ini mengutamakan hubungan antara orangtua dan anak dalam mendidik anaknya dan setiap seminggu sekali diadakan pertemuan orangtua (Parents’ Gathering). Setiap anak juga mendapat perlakuan khusus, artinya guru khusus dan tentunya kurikulum khusus atau bersifat individual. I-Homeschooling merupakan lembaga pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dan menyajikan berbagai kelas pelatihan bakat dan keahlian. Tujuan dari pendidikan ini untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan pendidikan dan pelatihan agar anak berkebutuhan khusus dapat berkembang dengan baik. Sumardiono (2007) menyebutkan beberapa kesalahan persepsi masyarakat dalam memahami konsep homeschooling antara lain: kecenderungan masyarakat untuk tetap berada dalam comfort zone yang telah dijalaninya sehingga sesuatu yang baru cenderung dianggap secara negatif, kesibukan masyarakat yang tidak memungkinkan untuk mengkaji atau meneliti lebih dalam mengenai suatu hal, adanya keyakinan pada masyarakat yang menganggap sekolah yang berhak menyelenggarakan pendidikan, meragukan masalah sosialisasi pada anak homeschooling, anggapan bahwa hanya orang kaya saja yang dapat menjalankan homeschooling serta prestasi pendidikan pada anak homeschooling yang diragukan. Menurut hasil wawancara dengan beberapa ibu rumah tangga yang berdomisili di Medan dimana mereka yang tidak mengetahui homeschooling kemudian setelah diberitahu mengenai homeschooling memberikan tanggapan terhadap homeschooling bahwa alternatif pendidikan ini cukup baik dengan alasan pengawasan terhadap anak-anaknya lebih ketat jika belajar di rumah dan mereka dapat lebih tahu bakat dan minat anaknya namun mereka merasa tidak memiliki keyakinan dapat mendidik anak mereka dengan baik karena rata-rata pendidikan terakhir mereka SMU. Bagi mereka homeschooling sangat merepotkan diaksanakan karena mereka tidak mengetahui cara pengajaran yang tepat bagi anaknya di homeschooling, selain itu untuk pekerjaan di rumah saja sudah menyita waktu. Menurut mereka sudah menyekolahkan anaknya saja sudah cukup
Universitas Sumatera Utara
untuk memberi wawasan kepada anak-anaknya dengan resiko banyaknya pergaulan negatif yang berasal dari sekolah, seperti merokok, berkelahi dan sebagainya. Menurut Azwar (2000), nilai (value) dan opini (opinion) atau pendapat sangat erat berkaitan dengan sikap. Berikut ini hasil wawancara dengan dua ibu yang berdomisili di Medan, bekerja dan mengetahui tentang homeschooling memberikan tanggapan terhadap pendidikan homeschooling. Wawancara pertama dilakukan kepada ibu muda yang bekerja di perusaaan Asuransi dan telah memiliki satu anak di tingkat SMP. “Homeschooling itu pendidikan alternatif yang lebih mengutamakan tumbuh kembang anak secara individual jadi pendekatannya lebih personal antara guru dengan anak didiknya dibanding sekolah formal. Gurunya bisa orangtua atau memanggil les privat. Anak-anak juga diberi kesempatan untuk mempelajari apa saja yang dia mau di rumah selain itu homeschooling lebih mengutamakan hubungan antara orangtua dan anak. Tapi di Medan sepertinya komunitasnya belum ada ya, tidak seperti di Jakarta...Saya rasa pendidikan ini lebih cocok untuk orangtua yang pekerjaannya berpindah-pindah jadi tidak repot gonta-ganti sekolah formal..(N, Komunikasi Personal, 15 Februari 2008).
Wawancara kedua dilakukan kepada ibu yang berdomisili di Medan, bekerja sebagai dosen dan memiliki anak yang kini telah bersekolah di Perguruan Tinggi. “Homeschooling itu salah satu pendidikan yang cukup baru di Indonesia. Dan pendidikan ini lebih membahas bagaimana cara orangtua mendidik anak di rumah dengan baik. Segala urusan pendidikan anak menjadi tanggung jawab orangtua lebih besar dibandingkan menyekolahkan anak di sekolah. Namun, saya mengkhawatirkan masalah sosialisasi anak di homeschooling dikarenakan anak akan jarang bertemu dengan temanteman sebayanya karena mereka tidak mempunyai komunitas teman sebaya yang besar seperti di sekolah...Tetapi untuk menghindari pergaulan yang negatif dari sekolah umumnya homeschooling cukup menjadi salah
Universitas Sumatera Utara
satu alternatif pendidikan yang baik dan homeschooling di Medan sepertinya masih terbatas untuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus kan..Tapi itu kembali kepada orangtuanya dalam memilih pendidikan yang cocok untuk perkembangan anaknya (W, Komunikasi Personal, 20 Maret 2008). Dalam pembahasan psikologi sosial, sikap dianggap sebagai sesuatu yang penting. Muhadjir (dalam Sappaile, 2005) mengatakan sikap merupakan kecenderungan afektif suka–tidak suka pada suatu objek sosial. Harvey dan Smith (dalam Sappaile, 2005) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan merespon secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap objek atau situasi. Sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen kognitif yang merupakan persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu, komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi serta komponen konatif berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan caracara tertentu (Mann dalam Azwar, 2000). Dengan ketiga komponen ini akan dilihat bagaimana gambaran sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling. Belajar berawal dari rumah. Selayaknya orangtua menjadi guru pertama bagi putra-putrinya dan rumah sebagai tempat belajar paling awal bagi anak-anak. Kemudian potensi rasa ingin tahu yang ada pada anak terus dikembangkan melalui pendekatan kasih sayang serta suasana belajar yang menyenangkan. Hal tersebut perlu dipola sedemikian rupa sehingga membuat anak-anak dapat belajar secara alamiah dan mengasyikkan (Mulyadi, 2007). Peranan orangtua dalam proses pendidikan anak cukup penting. Hamalik (dalam khumas, 2003) mengatakan bahwa orangtua turut bertanggung jawab atas
Universitas Sumatera Utara
kemajuan belajar anak-anaknya dengan pemenuhan kebutuhan anak yang tidak hanya dari segi materi melainkan orangtua juga diharapkan memenuhi kebutuhan belajar anak secara psikis, seperti memuji, menegur, memberi hadiah, mengawasi, serta turut serta pada program kegiatan belajar anak. Pada dasarnya sangat banyak keuntungan jika orangtua memainkan peran aktif dalam proses pendidikan anak-anak mereka. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah daripada di sekolah. Orangtua mereka, jelas mengenal mereka dengan baik sekali. Dan saling berinteraksi dengan mereka, serta tanpa pamrih dalam membantu keberhasilan anak-anaknya. Lingkungan di rumah lebih akrab dan tidak kaku seperti ruang kelas di sekolah yang menyediakan saat-saat yang baik untuk dapat mengajar anak (Analisa, Maret 2007). Pendidikan
homeschooling
kini
sedang
banyak
diperbincangkan
masyarakat Indonesia, baik itu dari orangtua, praktisi pendidikan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang peduli dengan keadaan pendidikan di Indonesia. Homeschooling juga dijadikan sebagai salah satu solusi dalam permasalahan yang ada di dalam lembaga pendidikan formal kita, khususnya sistem sekolah. Populasi dari penelitian ini adalah orangtua yang telah memiliki anak dikarenakan memiliki peranan penting dalam masalah pendidikan anaknya, berdomisili di Medan dan bekerja sebagai dosen. Dosen merupakan salah satu unsur penting dalam menentukan kinerja universitas sebagai lembaga pendidikan. Seperti yang tertuang dalam UU RI NO.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dosen dinyatakan sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
Universitas Sumatera Utara
mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (“Undang-Undang”, 2005). Alasan peneliti memilih dosen sebagai subjek penelitian adalah untuk memudahkan peneliti mendapatkan subjek penelitian yang mengetahui homeschooling dengan asumsi latar belakang pekerjaannya di bidang pendidikan. Di kota Medan sendiri belum ada komunitas homeschooling namun hal tersebut menjadi tantangan bagi peneliti untuk mengetahui sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling. Selain itu, salah satu bentuk sosialisasi homeschooling melalui media massa, baik media cetak maupun elektronik cukup gempar memberitakan homeschooling yang dapat di akses di berbagai kota di Indonesia, termasuk kota Medan (Sumardiono, 2007). Konsep belajar di rumah atau dikenal sebagai homeschooling nampaknya menjadi fenomena menarik dalam dunia pendidikan dikarenakan sekolah formal dianggap kurang memberi perhatian besar kepada diri peserta didik, juga dianggap kurang efektif dan efisien dalam rangka menjawab pemenuhan kebutuhan kecerdasan siswa didik, yakni intelektual, emosional dan spiritual. Di samping itu, di tengah keraguan terhadap mutu pendidikan nasional, model pendidikan homeschooling dirasa bisa menjadi model sekolah alternatif (Mahfud, 2007). Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling.
Universitas Sumatera Utara
B. Tujuan penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran Sikap Orangtua terhadap Pendidikan Homeschooling.
D. Manfaat penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis: 1. Manfaat teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang berguna dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya dibidang Psikologi Pendidikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wacana dalam ilmu psikologi sendiri mengenai homeschooling. 2. Manfaat praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah: a. Memberikan informasi bagi orangtua dan masyarakat mengenai sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling. b. Memberikan informasi bagi praktisi pendidikan homeschooling untuk mengetahui
bagaimana
sikap
orangtua
terhadap
pendidikan
homeschooling.
Universitas Sumatera Utara
c. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, khususnya penelitian yang berhubungan dengan pendidikan homeschooling.
D. Sistematika penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I adalah Pendahuluan yang terdiri dari lima sub bab meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II adalah Landasan Teori. Bab ini meliputi pembahasan tentang Pendidikan Homeschooling, sikap, orangtua dan sikap orangtua terhadap Pendidikan Homeschooling. Bab III adalah Metode Penelitian yang terdiri atas identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur dan metode analisis data. Bab IV terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan mengenai subjek penelitian dan hasil penelitian. Bab V merupakan kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara