BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Dalam proses perkembangan menjadi dewasa, seorang pelajar akan mengalami perubahan diri baik secara fisik maupun psikis. Pada fase perubahan tersebut, pelajar tidak lagi dapat digolongkan anak -anak, namun belum mencapai kematangan fisik maupun psikis sebagai dewasa.
1
Tidak sedikit pelajar
mengalami gejolak dalam menghadapi hal ini sehingga berpotensi melakukan penyimpangan norma, aturan dan hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu orang tua, orang yang lebih tua dan institusi pendidikan sebagai pendidik memiliki peranan penting dalam menghantarkan perkembangan pelajar menuju dewasa. Di dalam institusi pendidikan terdapat berbagai pendekatan dan cara dalam mendidik seorang pelajar. secara formal di kelas, yang disampaikan dengan bantuan modul dan materi tertentu, maupun bimbingan konseling yang dilakukan oleh seorang guru. Selain itu, berorganisasi juga merupakan salah satu cara seorang pelajar mengembangkan kapasitas intelektual, emosional dan spiritual yang ia miliki. Dengan berorganisasi pelajar akan dihadapkan dengan situasi yang membuat dirinya lebih peka dan matang terhadap lingkungan sosial. Organisasi pelajar juga dapat menjadi sarana memotivasi seorang pelajar untuk lebih giat dalam belajar dan berprestasi, Selain itu dengan terlibat aktif dalam sebuah
1
Lihat wikipedia; “Rem aja ”, http://id.wikipedia.org/wiki/Remaja diakses pada 04 Februari 2015
1
organisasi seorang pelajar akan mengurangi potensi terjerumus pada hal-hal negatif di usia remaja. Pembentukan organisasi di sekolah umumnya berdasarkan tujuan dan minat pelajar. Organisasi pelajar yang berdasarkan tujua n dan minat pelajar yang berbasis kecakapan berorganisasi adalah Organisasi Intra Sekolah (OSIS). Sementara wadah aktualisasi siswa lainnya bersifat ekstrakurikuler, yakni kegiatan yang berada di luar jam atau kurikulum standar. Ekstrakurikuler berbasis intelektual dan minat mata pelajaran khusus adalah Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), sedangkan yang berbais minat pada
kegiatan olah
raga
adalah
ektrakulikuler Sepak Bola, Basket, Karate dan lainnya. Terdapat juga PRAM UKA dan PASKIBRA yang membina kedisiplinan dan patriotisme pelajar. Sementara pelajar yang memiliki minat pada peningkatan kualitas spiritual dapat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis), Rohani Kristen (Rokris). Ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis) adalah salah satu organisasi yang berfungsi sebagai wadah pembinaan iman dan takwa (IM TAK) pelajar yang terdapat di sekolah. Terbentuk di awal tahun 1991, ketika rezim orde baru mulai melunak sikapnya terhadap kegiatan keagamaan. Rohis di inisiasi bersamaan dengan
dibentuknya
berbagai
organisasi
masyarakat
(ormas)
yang
juga
berlandaskan Islam seperti Ikatan Cendikiawan M uslim Indonesia (ICM I), Bank M uamalat dan berbagai majelis taklim.
2
Rohis sering disebut juga Dewan
Keluarga M asjid (DKM ), Rohis hadir dalam bentuk ekstrakurikuler di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Rohis juga merupakan forum, 2
Untuk m eninjau lebih jauh silahkan lihat Sub BAB 2.2 Profil Organisasi Pelajar
2
3
pengajaran, dakwah, dan berbagi pengetahuan agama Islam. Yang membedakan rohis dengan ekstrakurikuler lain, kultur yang dibangun di dalamnya bernuansa Islam. Di kota Depok, ekstrakurikuler rohis terdapat di sekolah SM P dan SM A 4
negeri maupun swasta. Tercatat dari 18 SM P dan 9 SM A negeri di kota Depok , semuanya memiliki ekstrakurikuler rohis. Dalam tiap rohis, anggotanya berasal dari siswa dan siswi di sekolah tersebut. Umumny a rohis memiliki seorang ketua putra dan putri, sekretaris, bendahara dan juga beberapa departemen, diantaranya departemen kaderisasi, jaringan dan syiar. Beragam kegiatan dan program kerja yang dilakukan, kebanyakan adalah seremoni hari-hari penting dalam Islam, misalnya: M aulid Nabi M uhammad, perayaan Tahun Baru Islam, Isra’ M i’raj dan Idul A dha. Selain itu rohis juga mengadakan program kerja sebagaimana organisasi pada umumnya seperti rapat rutin pengurus, suksesi kepemim pinan dan pelatihan kepemimpinan. Yang membuat rohis unik, selain peran dari siswa dan guru di sekolah, rohis memiliki forum pembinaan yang berbentuk grup diskusi atau yang umumnya di sebut dengan mentoring yang di bina oleh seorang alumni rohis. M entoring adalah sebuah kelom pok yang beranggotakan kurang dari sepuluh orang, dan tiap pekannya rutin mengkaji ilmu dan khasanah keislaman. Alum ni rohis tersebut adalah seorang pria atau wanita yang sedang berkuliah atau sudah menamatkan
3
Lihat wikipedia; “Rohani Islam ”, http://id.wikipedia.org/wiki/Rohani_Islam diakses pada 04 Februari 2015 4 Pendataan Pendidikan Kota Depok Tahun Pelajaran 2012/2013
3
pendidikan SM A dan telah diberikan izin membina oleh pihak sekolah lewat guru pembina rohis. Alumni, dalam penelitian ini adalah mereka yang telah tamat dari SM A dan khususnya pernah mengikuti organisasi rohis. Alumni pengisi mentoring adalah para alumni rohis yang melakukan pembinaan kelompok mentoring. D engan di dukung m odal sosial yang dimilikinya yakni nilai, kepercayaan dan jaringan, tanggung jawab yang di emban seorang alumni untuk membina para pelajar secara intelektual dan spiritual membentuk sosok alumni ideal yang memiliki kapasitas intelektual mum puni, keluasan pengetahuan agama islam dan ketaatan menjalankan syariat Islam. Pada tingkat kota Depok, kembalinya alumni rohis membina secara dekat dan intensif para junoirnya juga terjadi di organisasi Kesatuan Pelajar M uslim Depok (KPM D). KPM D adalah sebuah organanisasi pelajar SM A yang beranggotakan pelajar SM A negeri maupun swasta muslim se -kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Berdiri pada tahun 1999, pendirian KPM D yang diinisiasi oleh gabungan anggota rohis SM A negeri se-kota Depok masih ada hingga saat 5
ini. Organisasi ini dibentuk sebagai wadah berkumpulnya ide, kreasi, inovasi dan pemikiran pe lajar muslim Depok. Dengan hadirnya KPM D, diharapkan persatuan pelajar muslim Depok dapat terwujud lewat berbagai kegiatan yang dilaksanakan. Anggota KPM D adalah pelajar SM A dan SM K negeri serta swasta di kota Depok kelas X, XI dan XII. Seluruh jabatan inti kepengurusan di amanatkan
5
Sum ber diam bil dari Database KPMD yang di berikan oleh pengurus KPMD masa jabatan 20112012 kepada peneliti
4
kepada kelas XII, sementara kelas X dan XI
yang bergabung, di sebut juga
anggota Forum Aktivis Dakwah Sekolah (FADS) menjadi anggota biasa. Organisasi ini bersifat non-profit dan terbuka bagi seluruh pelajar muslim di Depok. Para pelajar dapat bergabung sebagai anggota dengan mengikuti open recruitment yang diadakan tiap awal tahun kepengurusan baru, maupun hadir sebagai simpatisan dalam berbagai acara dan kegiatan yang diselenggarakan oleh KPM D. Dalam perjalanannya KPM D melakukan berbagai program ke giatan yang di peruntukkan bagi internal organisasi maupun pelajar umum. Ini terlihat dari suksesnya KPM D memobilisasi pelajar SM P dan SM A/SM K di kota Depok untuk menyuarakan sikapnya dalam perayaan hari hijab se -dunia, pengecaman serangan Israel terhadap Palestina, penyataan sikap anti rokok, valentine day dan aksi damai yang mengangkat tentang moralitas pelajar yang setiap tahunnya berhasil mem obilisasi ribuan pelajar SM P, SM A/SM K kota Depok.
6
Program lainnya
yang bertujuan menigkatkan kualitas seorang pelajar muslim semisal Depok Youth C amp, Tasqif Pelajar, Tarhib Ram adhan dan Dzikir Akbar menyambut UN. Program yang diadakan oleh KPM D mendapat respon positif serta dukungan dari pemerintah kota maupun D inas Pendidikan dan S osial kota Depok. Ditandai dengan kerjasama dan jaringan yang terbangun antara KPM D dengan instansi terkait.
7
6
Sum ber diam bil dari H istory KPMD yang di berikan oleh pengurus KPMD masa jabatan 2011 2012 kepada peneliti 7 Penulis terlibat dalam m elakukan kerja sama antara KPMD , Pemkot dan Dinas Pendidikan pada tahun 2008
5
Peran dan modal sosial yang dimiliki seorang alumni KPM D tidak dapat di pisahkan dari perkembangan organisasi KPM D. alum ni sebagi pihak informal banyak memberikan dukungan moril dan materil kepada KPM D. Para alumni berkontribusi di KPM D dengan berbagai cara dan sarana. Dari segelintir alumni yang masih berkontribusi di organisasi ini, ada yang berperan aktif dengan hadir dan menemani secara intens para pengurus, memberikan masukan, jaringan dan pendanaan. Ada pula yang sifatnya hanya passif secara moril da n pendanaan. Idealnya posisi alumni sebagai kakak pembina, dimana alumni adalah teman sharing pengalaman, saran dan konsultasi terhadap pengurus agar dapat menciptakan prestasi dan target perkembangan organisasi yang kian mapan. Selain itu alumni yang juga sebagai penyampai nilai keislaman di KPM D idealnya menempati struktur formal agar kredibilitas dan perannya mendapatkan legitimasi baik dari para anggota KPM D, pelajar muslim Depok maupun pihak lain. Para alumni yang berkontribusi di KPM D mayoritas tergabung atau berafiliasi dengan yayasan A kselerasi Islami S iswa Indonesia (AISI). Sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial dan pemberdayaan pemuda. D idirikan tahun 2012 oleh salah seorang alum ni KPM D, lewat AISI, para alumni yang tergabung di dalamnya menjalin hubungan informal dengan KPM D dan elemen kepemudaan lain baik di tingkat Depok maupun nasional.
8
8
Inform asi ini peneliti dapatkan dari diskusi informal dengan ketua yayasan AISI pada bulan Juli 2014
6
Kondisi ideal hubungan antara sebuah organisasi dengan para alumni yang berkontribusi ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Posisi alumni sebagai pihak informal di luar struktur KPM D membuat alumni lebih fleksibel dalam cara berkontribusi, sehingga KPM D lebih independen membangun cita – cita organisasi kedepan. Kebutuhan KPM D pada alumni yang sebelumnya pada pembinaan, pendanaan dan jaringan terbatas, bergeser menjadi kebutuhan. Hal ini tercermin dari ketergantungan KPM D kepada modal sosial alumni, yang mengubah posisi alumni dari konsultatif informal menjadi interventif struktural. Alumni banyak terlibat dalam perencanaan jangka panjang KPM D. Konstelasi alumni berubah dari pihak yang tidak memiliki kekuatan dalam menentukan kebijakan menjadi faktor terpenting dalam menentukan kebijakan. Hal ini menjadi menarik untuk dicermati, modal sosial apa yang dimiliki seorang alumni hingga peranannya dalam KPM D sedemikian penting.
1.2
Rumusan Masalah
KPM D pada dasarnya adalah sebuah organisasi berbasis pelajar yang melibatkan alumni dalam perkembangannya. Berdasarkan latar belakang di atas, dalam dinamika dan prosesnya dapat dikatakan modal sosial yang dimiliki seorang alumni kepada KPM D berperan sangat penting dalam kemajuan organisasi tersebut. M asih adanya interaksi hingga saat ini, motivasi alum ni untuk turut berperan serta tentunya sangat menentukan. Dari awal hanya sebatas
7
konsultatif informal menjadi interventif struktural. O leh karenanya mengetahui sejauh apa peranan alum ni dalam perkembangan KPM D hingga saat ini menjadi penting. Berdasarkan penjelasan diatas, maka timbul sebuah pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih jauh, yaitu; 1. Mengapa Organisasi KPM D berkembang di Kota Depok? 2. Bagaim ana mod al sosial alumni berperan pada organisasi KPMD di kota Depok ?
1.3
Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan mampu mengetahui mengapa organisasi KPM D dapat berkembang di kota Depok 2. M engetahui
sejauh
mana
peran
modal
sosial
alumni
dalam
perkembangan KPM D di kota Depok 3. M engetahui apakah terdapat faktor selain alumni di luar organisasi yang memengaruhi perkembangan KPM D
1.4
Landasan Teori
Kerangka pemikiran studi ini berdasarkan nilai dan orientasi keagamaan alumni yang
memengaruhi
perkembangan
KPM D.
Peneliti menggunakan
pendekatan teori modal sosial untuk memahami nilai dan orientasi keagamaan memengaruhi bentuk dari modal sosial alumni. Sementara itu, teori identias 8
kolektif dan mobilisasi digunakan untuk memahami bagaimana ikatan emosi yang terjadi antara alumni dengan KPM D dapat memengaruhi bagaimana modal sosial tersebut bekerja. Untuk memahaminya perlu diketahui konsep-konsep berikut : 1.4.1 M odal Sosial Dalam penelitian ini pendekatan utama modal sosial yang digunakan adalah definisi Fukuyama yang di klasifikasikan lebih lanjut oleh Putnam. Secara spesifik modal sosial dikategorikan menjadi tiga, yakni; Trust (Kepercayaan), Norms (Nilai) dan Networks (Jaringan) Fukuyama menjelaskan modal sosial sebagai: M odal sosial adalah norma informal yang mendorong terjadinya kerjasama diantara dua orang atau lebih. Norma yang mengatur modal sosial bisa berasal dari norma resiprositas (hubungan timbal -balik) dianta ra dua teman, yang berasal dari ajaran agama, misalnya Kristen dan Konghucu. Norma-norma yang demikian harus diwujudkan dalam hubungan antar manusia secara nyata: norma hubungan timbal-balik selalu ada dan potensial untuk bisa diwujudkan dalam hubungan dengan semua orang, tetapi itu saya wujudkan dalam hubunganku dengan temanku saja. Fakta sosial ini selalu ada dan terus meningkat karena adanya modal sosial dan bukan karena 9 aturan/konstitusi modal sosial itu sendiri.
Sejalan dengan Fukuyama, Robert D Putnam menyatakan; “Ide utama dari teori modal sosial adalah sangat sederhana: tentang jejaring sosial. Jejaring memiliki nilai ... dst. Kami jelaskan bahwa jejaring sosial dan norma-norma yang terkait resiprositas (saling me mberi, salin g merespon) sebagai modal sosial, karena seperti modal fisik dan modal manusia (pe ralatan dan trainning), jejaring sosial menciptakan nilai bagi dua pihak, individu dan kelompok, dan karena kita bisa melakukan investasi dalam jejaring. Jejaring sosial adalah tidak hanya investasi barang semata, bagi mereka seringkali memberikan nilai konsumsi langsung ”
10
9
Francis Fukuyama, Social Capital, Civil Society and Development, Third W orld Quartely, Vol 22, No.1 (feb 2001), hal. 7-20 10 Robert Putnam , Dem ocracies in Flux: The Evolution of Social Capital in Contem porary Society , (USA: Oxford
9
Kata kunci dari definisi modal sosial yang dipaparkan oleh Francis Fukuyama di atas adalah norma informal dan bukan aturan konstitusi formal, adanya relasi antara dua aktor atau lebih, hubungan timbal balik yang sangat erat bukan formal untuk pencapaian tujuan. Sedangkan Putnam men gklasifikasikan jejaring sosial, kepercayaan, dan norma yang terkait resiprositas individu dan kelompok sebagai sebuah cara untuk mencapai tujuan itu sendiri. M odal sosial adalah modal yang tercakup dalam suatu jaringan hubungan, yang mampu dikualifikasikan sebagai sebuah modal yang mampu mengikat hubungan antara satu aktor dengan aktor yang lainnya. M odal sosial ini memungkinkan dihasilkannya kemakmuran individual, seperti ketika seseorang membantu salah seorang temannya mendapatkan pekerjaan. M odal ini juga memungkinkan orang untuk menghasilkan kekayaan kolektif kepada sebuah kelompok yang memiliki kepentingan bersam a, apakah itu turut berpartisipasi dalam menghasilkan kekayaan tersebut secara personal atau tidak, sebagaimana ketika jaringan keanggotaan sebuah asosiasi memungkinkan mereka untuk memeroleh gedung/tempat acara lebih mudah dalam rangka mengembangkan aktivitas mereka.
11
Sementara itu Pierre bordieu berpendapat bahwa modal sosial secara sempit tergantung pada modal ekonomi dan kultural, dan semua hal itu terkait dengan isu-isu sosial. M odal sosial menjadi jauh lebih penting ketika seseorang berkedudukan tingg i dalam hirarki sosial, sehingga lebih merupakan “warisan”
University Press, 2002) 11 Michel Forse dalam Philippe Cabin, SOSIOLOGI Sejarah dan Berbagai Pem ikir annya, (Yogyakarta: Kreasi Waca na, 2004), hal:332
10
dari orang-orang yang berada diatas hirarki sehingga memungkinkan mereka memperkuat posisi dominannya.
12
1.4.2 Identitas Kolektif dan M obilisasi Untuk m emahami hirarki sosial terdapat dua tataran kontruksi identitas: yaitu tataran identitas personal dan tataran identitas kolektif.
13
Identitas personal bermakna: di sini orang mempertanyakan sumber-sumber yang disetujui seorang individu dan bisa di mobilisasi berkat jaringannya. Sedangkan identitas kolektif bermakna; modal sosial yang terkait dengan beberapa sumber (kepercayaan, hubungan timbal balik dan jaringan) yang m udah diberikan oleh kom unitas kepada anggotanya. Sumber -sumber ini dianggap memfasilitasi tindakan kolektif, bahkan juga kinerja eko nom isnya. Individu-individu berpartisipasi dalam tindakan kolektif untuk membentuk dan mengatur sebuah lingkaran pengakuan yang permanen, dan yang berbagi serta mendefinisikan nilai-nilai mereka, agar memiliki representasi tentang diri kita secara terus-menerus, dan berbagi dengan orang lain tentang sebuah interpretasi terhadap realitas, lalu memperluasnya dalam jumlah yang kurang lebih besar. Tanpa memiliki keinginan untuk dikenali secara timbal balik, maka tidak akan bisa ada tindakan kolektif.
14
Demikian pula, mobilisasi apa saja yang diberikan kepada seorang individu yang berharap dapat merengkuh tujuannya tidak tergantung kepada individu itu 12
P.Bourdieu, Ibid hal: 335 F.Fukuyam a, Ibid hal: 334 14 Alessandro Pizzorno, Ibid hal: 177 13
11
sendiri namun memiliki hubungan saja tidak cukup untuk dijadikan modal, yang lebih penting adalah bahwa hubungan itu masih harus bisa dimobilisasi. M obilisasi sosial dimaknai oleh seorang pelaku, agar seorang pelaku bisa mencapai tujuan dengan cara meminta bantuan kepada salah satu atau beberap a anggota dalam jaringannya, tentu saja harus dapat dipastikan bahwa orang yang dimintai bantuan itu memang menguasai sum ber-sumber yang dibutuhkan, dan yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka ini juga siap untuk me mberikan bantuannya. Sumber-sumber daya yang dikuasai oleh setiap orang mungkin berfungsi untuk merealisasikan tujuan individual maupun kolektif.
15
Sejalan dengan itu, M arilynn B. Brewer mengatakan: “group identity arises from catagorical distictions between those who shares some attribute, experience or label and those who do not” . Identitas kolektif dan saling ketergantungan berhubungan secara multiplikatif, di mana keberadaan keduannya secara bersama sama berimplikasi positif terhadap tingkat keorganisasian. Sebaliknya, saling ketergantungan tanpa identitas kolektif tidak akan meningkatkan keorganisasian.
16
Sem ntara itu, dalam gagasan Tilly yang di terdapat dalam Arief M unandar, mobilisasi/demobilisasi menempati peran sentral. tingkat mobilisasi menunjukkan kapasitas untuk memanfaatkan sumberdaya, bukan kepemilikan terhadapnya. Sehingga pertambahan kepemilikan hanya meningkatkan potensi mobilisasi. Di samping itu, mobilisasi yang di lakukan sebuah kelom pok dapat mengundang
15 16
Michel Forse, Ibid hal: 331-332 Marilyn b. Brewer dalam ibid, hal: 24
12
mobilisasi kontra dari contenders (pesaing) lain yang biasanya diatasi dengan menjalin koalisi.
17
Tilly menegaskan bahwa tingkat keorganisasia n, sebagai aspek yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat mobilisasi, ditentukan oleh group inclusiveness, kohesi dan solidaritas sosial, yang menurut James M oody dan Douglas R. White memiliki dua komponen, yaitu komponen relasional dan komponen ideasional. Komponen relasional merujuk pada kohesi struktural, yaitu keterhubungan sosial di antara para anggota kelompok. Sebuah kelompok dianggap kohesif secara struktural jika terdapat relasi antar-anggota kelompok yang independen satu sama lainnya. Dalam kondisi ini, informasi dan sumberdaya mengalir melalui banyak jalur independen, sehingga sulit untuk dikendalikan oleh satu o rang atau sekelompok orang. M aka, struktur kohesif mengurangi kesenjangan kekuasaan dalam kelompok. Sebaliknya, sebuah kel ompok di mana hubungan-hubungan sosial berlangsung melalui satu individu kunci, kohesi strukturnya cenderung rapuh.
18
Kohesi dan solidaritas sosial juga memiliki komponen ideasional, yaitu identias kolektif. Identitas kolektif adalah pemahaman kita mengenai siapakah
17
Pem bahasan m engenai teori Charles Tilly dalam Arief Munandar, Antara Jem aah dan PartaiI Politik: Dinam ika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pem ilu, (Disertasi: Universitas Indonesia, 2011) hal: 24 18
Jam es Moody dan Douglas R. W hite dalam ibid, hal: 24
13
kita dan siapakah orang lain, dan sebaliknya, pemahaman orang lain mengenai diri mereka dan orang-orang di luar mereka, termasuk kita.
19
1.4.3 Korelasi Identitas dan Emosi dalam Gerakan Sosial Jasper menyatakan; “Emotions do not merely accompany our deepest desires and satisfactions, they consti- tute them, permeating our ideas, identities, and interests.” They are, as Jasper suggests by quoting Collins: “the„„glue ‟‟ of solidarity— and what mobilizes conflict.” Suggesting the primary role played by emotions in social life, Goodwin, Jasper and Poletta argue: “Emotions are part of the “stuff” connecting human beings to each other and the world around them, like an unseen lens that colors all our thought, actions, perceptions, and judgments.” ("Emosi tidak tidak melulu tentang perasaan kita yang te rdalam dan kepuasan, identitas mendasari mereka, menyerap ide -ide, identitas, dan kepentingan." M ereka, seperti anjuran Jasper dengan mengutip Collins: “"lem'' dari solidaritas -dan apa yang memobilisasi konflik" peran utama dimainkan oleh emosi dala m kehidupan sosial, Goodwin, Jasper dan Poletta berpendapat: "emosi adalah bagian dari "alat” yang menghubungkan manusia satu sama lain dan dunia di sekitar mereka, seperti lensa y ang tak terlihat yang mewarnai pikiran, tindakan, persepsi, dan penilaian. kita")20
Untuk membahas bagaimana emosi memainkan peran dalam gerakan sosial peneliti menggunakan kerangka konseptual Goodwin, Jasper dan Poletta dalam membedakan empat jenis dimensi emosional dalam gerakan sosial, yaitu, emosi refleks, emosi afektif, emosi moral, dan suasana hati.)
21
A. Oleh Godwin dan rekan-rekannya emosi refleks didefinisikan sebagai sebuah emosi yang muncul "muncul tiba-tiba, tanpa proses kognitif sadar, dengan cara paksa.” Emosi ini melibatkan pengolahan informasi di luar mekanisme kognisi yang normal: "lebih cepat, rute neurologis 19
Jenkins dalam Arief ibid , hal: 24
20
Jam es Jasper dalam Najib Azca, After Jihad, (Tesis: Am sterdam Institute for Social Science Research, 2011), hal: 77 21 Najib Azca, After Jihad, (Tesis: Am sterdam Institute for Social Science Research, 2011), hal: 78
14
primitif yang memungkinkan kita untuk sege ra merespon." Terdapat enam jenis emosi refleks utama, yaitu, rasa takut, terkejut, marah, jijik , sukacita dan kesedihan, dan, dengan mengacu Elkman, dinyatakan bahwa ekspresi ini mirip emosi lintas budaya. Emosi ini sering dianggap sebagai contoh dari semua emosi, yang juga keliru terkait dengan irasionalitas: "di luar kendali perubahan tubuh, menyebabkan kita untuk bertindak dengan cara yang merasa otomatis dan tak tertahankan, dan berlalu dengan cepat".)
22
B. Sementara itu, cinta, benci, rasa hormat dan kepercayaan yang tergolong dalam emosi afektif bertahan dalam jangka waktu yang lama. Emosi afektif didefinisikan sebagai komitmen positif dan negatif dan investasi yang kita miliki terhadap orang, tempat, ide, dan hal." Godw in berpendapat bahwa komitmen kepada kelompok atau penyebab mungkin berlandaskan pada kasih sayang, serta kalkulasi rasional dan moralitas. M ereka juga berpendapat bahwa emosi afektif memberi orang orientasi dasar terhadap dunia, terutama apa yang paling dipedulikan, dan menyebutkan kepercayaan dan rasa hormat sebagai contoh faktor penting dalam politik.)
23
C. Sedangkan emosi moral dimaknai sebagai emosi yang muncul dari pemahaman
kognitif
dan
kesadaran
moral
yang
mencermikan
pemahaman kita tentang lingkungan sekitar dan yang kita tinggali.
22
dalam Najib Azca, After Jihad, (Tesis: Amsterdam Institute for Social Science Research, 2011), hal: 79 23 Ibid
15
Emosi moral juga diidentifikasi sebagai bagian terbesar dalam gerakan sosial sebagai cerminan dari varisasi budaya dan tingkatan lanjutan dari emosi refleks. Emosi moral juga tercermin dalam tindakan keseharian kita. M isalnya, kita merasa bangga ketika mengikuti apa yang di anggap sebagai aturan moral yang baik dan sebaliknya akan merasa malu atau bersalah ketika tidak. D. Yang lainnya adalah asumsi kita
terhadap tindakan orang lain
berdasarkan suasana hati. Seperti kemarahan dan kecemburuan. Emosi moral terkadang digunakan oleh sebuah gerakan untuk men ekankan emosi tertentu. Seperti gerakan hak gay yang sering menggarisbawahi kebanggaan dan kelompok hak hewan menyoroti kasih sayang sementara gerakan tertindas fokus pada martabat. Guncangan
moral
juga
menjadi
episoe
penting
yang
sering
menyebabkan kecenderungan bertindak. Godw in dan rekan -rekan bahwa sebagai perbuatan budaya, emosi m oral terutama terkait erat dengan kognisi, yang diciptakan dan diperkuat melalui narasi dan wacana. Selain itu, Jasper dalam Nadjib Azca
25
24
juga membedakan dua jenis emosi
yang di hasilkan dan dikembangkan dalam gerakan sosial. Yaitu, emosi timbal balik (resiprokal) dan berbagi.
24 25
Untuk m eninjau lebih jauh silahkan lihat ibid Najib Azca, After Jihad, (Tesis: Am sterdam Institute for Social Science Research, 2011)
16
Emosi timbal balik (resiprokal) terdiri dari ikatan kuat dari persahabatan, cinta, solidaritas, dan loyalitas, serta emosi spesifik lainnya yang kebersamaannya menimbulkan apa Goodw in katakan the „libidinal economy‟ dari gerakan, menghasilkan banyak kesenangan ketika bertindak. Emosi kebersamaan, secara signifikan dipengaruhi oleh susunan ideologi gerakan, perkembangan kemarahan dan permusuhan terhadap musuh atau kebencian dan sinisme atas kebijakan dan tindakan pemerintah, dan sebagainya. Kedua jenis emosi saling memperkuat, memelihara solidaritas di kalangan aktivis gerakan, dan dengan demikian membangun budaya gerakan. Jasper menyarankan, "M ereka adalah sum berdaya kunci dari identifikasi dalam gerakan." Yang juga menarik adalah bahwa perhatian terhadap budaya emosi dapat membantu dalam menjelaskan, seperti yang disarankan oleh P oletta dan Amenta, lintasan gerakan dan akhirnya, aktivisnya.
1.5
26
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif. Pertimbangan ini berdasarkan metode kualitatif dapat melakukan penyesuaian di lapangan jika terdapat kenyataan ganda, hubungan antara peneliti dan responden yang dikondisikan berinteraksi secara langsung dan metode ini dianggap lebih peka
26
ibid
17
serta
fleksibel
dalam
menyesuaikan
pola-pola
nilai
yang
di
hadapi.
27
Pengumpulan informasi dan data didapatkan dari suatu gejala atau fenomena yang terjadi saat penelitian sedang dilakukan. Dengan metode ini peneliti dapat mengetahui
sebab
terjadinya
sebuah
permasalahan
dan
menganalisanya
28
Penggunaan metode kualitatif lebih tepat dikarenakan tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui faktor apa saja yang menjadi pendukung perkembangan Organisasi KPM D. Sifat
dari
penelitian
ini
deskriptif
analitis,
Robert
E.
Slavin
menggambarkan; penelitian yang bersifat deskriptif analitis haruslah mampu mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi yang rinci terhadap sesuatu yang menarik dengan melakukan pengumpulan dan analisis data, deskriptif analitis dan berupaya
menyingkap
gambaran
jelas
mengenai
objek
penelitian
dan
mengubahnya menjadi informasi baru yang dipakai dalam menunjang proses pengam bilan kesimpulan.
1.6
29
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data di lakukan sebagai sebagai berikut:
27
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal: 3 Husserl dalam Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal: 14 29 Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Indeks, 2011) hal: 28 28
18
1. Data primer yaitu: data yang diperoleh melalui wawancara mendalam (indept interview) dengan pihak-pihak yang terkait dalam hal ini disebut sebagai informan dan juga observasi/pengamatan langsung di lapangan untuk mendukung/memperkuat hasil wawancara. 2. Data sekunder yaitu: data yang diperoleh melalui instansi terkait, organisasi pelajar, studi literatur yang berkaitan dengan penelitian dan lain sebagainya
Wawancara mendalam (in-dept interview) yang dilakukan antara peneliti dengan para pelaku untuk mendapatkan informasi dan pandangan dari tokoh kunci yang termasuk dalam perkembangan KPM D. Yakni, pengurus harian dan anggota KPM D, alumni yang terlibat aktif dalam pembinaan dan pengurus harian KPM D demisioner. Adapun pencarian data informasi dalam wawan cara terhadap pengurus harian KPM D bertujuan untuk; mengetahui manfaat apa yang di rasakan aktor yang memiliki modal sosial. Di sisi lain penulis juga mencoba menelaah modal sosial aktor dari sudut pandang anggota KPM D. Selain itu, penulis juga berupaya m enganalisa motivasi modal sosial alumni yang terlibat aktif dengan tipologi modal sosial yang dijabarkan Fukuyama. Sementara alumni yang tidak aktif, adalah pengurus demisioner yang tidak lagi mengurus KPM D. Pentingnya menelaah pengurus demisioner untuk mengetahui pendangan terhadap keterkaitan aktor berpengaruh dangan KPM D, juga manfaat apa yang di rasakan pengurus demisioner dengan keberadaan aktor tersebut. Perolehan data dari para informan akan di crosscheck kembali dengan informan lainnya untuk memeroleh data yang valid.
19
Terakhir, pengumpulan data akan dieksplorasi lebih jauh dalam rangka untuk melengkapi data sekaligus memberikan gambaran yang empiris terhadap hasil dari penelitian ini.
1.7
Subjek Penelitian
Subjek penelitian atau informan dalam penelitian ini dipilih bukan untuk mencari persamaan diantara perbedaan pemaknaan yang ada, melainkan untuk mencari keunikan dan ke khasan pemaknaan tiap informan dari alumni maupun anggota KPM D. Oleh karena itu informan dalam penelitian ini adalah: Alum ni dan anggota KPMD. Alumni dan anggota KPM D yang menjadi subjek dalam penelitian ini terdiri dari 12 (dua belas) orang informan. Dari keduabelas informan tersebut diperolah data tentang bagaimana peranan alumni dalam dinamika kontestasi KPM D di kota Depok serta menjadi indikator pengaruh orientasi nilai keagamaan seorang alumni dalam organisasi.
1.8
Sampel Penelitian
Sebagai sampel penelitian adalah alumni dan anggota KPM D yang merupakan informan utama. Penulis memetakan para informaan ke dalam empat kategori. Pengkategorian tersebut dilakukan agar peneliti dapat mendapatkan gambaran utuh dari berbagai elemen yang terdapat di dalam KPM D. Kategorisasi didasarkan pada;
20
A. Pengurus harian KPM D dalam periode jabatan aktif yang melibatkan tiga informan yaitu; Ketua, ketua keputrian, dan kepala divisi kaderisasi. Pemilihan ini didasarkan atas asum si bahwa tiga informan tersebut dapat menjadi representasi pengurus harian KPM D. B. Anggota biasa dari KPM D yang melibatkan tiga informan yang berasal dari SM A Negeri, SM A Swasta dan SM K sebagai representasi heterogenitas angggota KPM D. C. Alumni yang teribat aktif dalam pembinaan KPM D melibatkan tiga informan yakni; generasi awal yang terbentuknya sebagai representasi aktor yang terlibat dalam perkembangan KPM D, generasi menengah sebagai representasi aktor penerus perjuangan, dan generasi muda sebagai representasi aktor yang memahami perkembangan mutakhir KPM D. D. Alumni yang pernah menjadi pengurus harian KPM D namun tidak terlibat dalam pembinaan KPM D yang melibatkan tiga informan, yaitu; generasi awal terbentuknya sebagai representasi aktor yang terlibat dalam perkembangan KPM D, generasi menengah sebagai representasi aktor penerus perjuangan, dan generasi muda sebagai representasi aktor yang memahami perkembangan mutakhir KPM D. Sesi wawancara para informan dilakukan pada waktu dan tempat yang telah disepakati.
21
1.9
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Hal ini dikarenakan Kota Depok merupakan w ilayah organisasi KPM D. Pada tahun Ajaran 2012/2013 jumlah sekolah tingkat SM A terdapat 52 sekolah, selain itu terdapat 102 sekolah SM K.
30
Subjek penelitian dapat ditemukan didalam kegiatan
KPM D yang dimotori oleh pelajar rohis SM A/SM K di Kota Depok. Pada kepengurusan tahun 2013/2014 KPM D terdiri dari 51 anggota putra dan 31 anggota putri yang berasal dari sekolah SM A, SM K Negeri maupun Swasta dan simpatisan yang berasal dari mayoritas sekolah SM P, SM A, SM K Negeri dan Swasta di kota Depok.
31
Sedangkan alumni yang menjadi pembimbing
KPM D tidak menjadi bagian struktural, namun mayoritas bernaung pada wadah perkumpulan bentukan aktivis dakwah pelajar
32
kota Depok yakni Yayasan
Akselerasi Islami S iswa Indoensia (AISI) dimana orang -orang yang terlibat di dalamnya menjalin hubungan kultural dengan KPM D dan elemen kepemudaan lainnya.
30
“Data B PS Kota Depok tahun publikasi 2012”, depokkota.bps.go.id diakses pada 17 Juni 2014 Data ini penulis peroleh dari keterangan lisan ketua KPMD tahun 2013/2014 pada bulan Juli 2014 32 Biasa disebut juga aktivis d akwah thulabi atau aktivis dakwah sekolah, subjeknya sama. 31
22