BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Era globalisasi menuntut banyak perhatian serta tenaga untuk berproduksi, sehingga anak-anak yang sibuk bekerja dan mempunyai orang tua lanjut usia tidak punya waktu cukup untuk mengurusi orang tuanya. Sehingga menitipkan orang tua mereka di Panti Jompo yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan orang tuanya. Lansia yang tinggal di Panti Jompo mempunyai lingkungan yang berbeda dengan lansia yang tinggal di rumah sendiri atau tinggal dengan keluarga. Sikap masyarakat atau lingkungan terhadap lansia banyak mempengaruhi harga diri mereka. (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/lansia/) akses tgl 15 Januari 2010 Secara garis besar orang dianggap lanjut usia atau lansia setelah berusia sekitar 60 atau 65 tahun. Usia memang ditandai oleh suatu proses yang sangat nampak dan bisa dilihat dengan jelas sekali. Secara fisik adalah yang paling kelihatan, akan ada perubahan-perubahan yang menandakan menuanya seseorang. Di Panti Jompo Wredha Hanna pengurus menerima lanjut usia dengan usia 55 tahun keatas, dengan syarat kondisi fisik yang baik, tidak dalam kondisi sakit berat (Jantung dll). Namun pada kenyataannya, banyak lansia yang tinggal di Panti Jompo
1
memiliki penyakit seperti jantung, diabetes, asam urat dll. Usia termuda adalah 55 tahun dan usia tertua 105 tahun. (Wawancara dengan Pak Budi, Bagian Administrasi tanggal 19 Juli 2010). Keseluruhan lanjut usia tersebut memiliki latar belakang masing-masing ketika masuk ke Panti Jompo Wredha Hanna. Di Indonesia, pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola lansia, memberi patokan bahwa mereka yang disebut lansia adalah yang telah mencapai usia 60 tahun yang dinyatakan dengan pemberian KTP seumur hidup. Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih baik secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karena permasalahannya dan tidak mampu berperan secara kontributif dalam pembangunan. (Depsos RI tahun 1997 dan UU RI No. 13 Tahun 1998). Namun di negara maju diberi patokan yang lebih spesifik: 65 - 75 tahun disebut old, 76 - 90 tahun disebut old -- old dan 90 tahun ke atas disebut very old. Secara psikologis lanjut usia adalah fase usia yang memiliki kebutuhan dan karakteristik tersendiri yang unik berbeda dengan fase-fase perkembangan sebelumnya. Secara umum adalah seperti itu, secara indvidual pun mereka memiliki keunikan artinya sekalipun mereka samasama lansia tapi mereka pasti memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu seorang perawat lansia selain harus paham mengenai karakterisitik serta tugas perkembangan dan kebutuhan lansia secara umum juga perlu melakukan kajian secara individual dari lansianya.
2
Pada pengertiannya, Panti Jompo merupakan tempat berkumpulnya orang-orang lanjut usia yang secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala keperluannya, tempat seperti ini ada yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta. Hal ini merupakan kewajiban negara untuk menjaga dan memelihara satiap warga negaranya. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 12 Tahun. 1996 (Direktorat Jenderal, Departemen Hukum dan HAM). (www.cybertokoh.com/bacaan/wanita/PantiJompo)
akses
tanggal
15
Januari 2010 Pemerintah telah membentuk suatu wadah untuk mengatasi masalah yang terjadi pada lansia yaitu Panti Wredha atau yang lebih dikenal dengan sebutan Panti Jompo. Pada awalnya Panti Jompo diperuntukan bagi lansia yang terlantar atau dalam keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan namun seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan perawatan bagi lansia maka kini berkembang Panti-Panti berbasis swasta yang umumnya untuk lansia dengan keadaan ekonomi berkecukupan. Salah satu Panti Jompo yang ada di Yogyakarta adalah Panti Wredha Hanna. Lokasinya cukup mudah dijangkau dan tidak sulit dicari. Biaya tinggal dan perawatan di Panti Jompo Werda Hanna terbilang cukup murah dibanding dengan Panti Jompo lain yang ada di Yogyakarta seperti Panti Jompo Abiyoso dan Panti Jompo Budi Dharma Yogyakarta yang terbilang cukup mewah. Di Wredha Hanna harga per kamar berkisar antara
3
400 ribu sampai 1 juta rupiah. Jumlah penghuni Panti Jompo Werda Hanna sebanyak 38 orang dan mereka di rawat oleh 9 orang perawat yang bertugas secara bergantian (shift). Di Panti Jompo Wredha Hanna ada hal yang membuatnya berbeda diantara Panti Jompo lainnya yaitu seluruh penghuninya berjenis kelamin perempuan, tidak campur seperti Panti Jompo lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh pimpinan Panti: Pada mulanya Panti wreda didirikan, sama seperti Panti Jompo yang lain, yaitu penghuni lansianya pria dan wanita, namun seiring berjalannya waktu seringnya malah ada kesalahpahaman dan merasa adanya ketidakcocokan oleh karena itu pengurus yayasan membuat kebijakan agar Panti Wredha Hanna dibuat khusus lansia wanita saja. (Wawancara dengan Pimpinan Panti tanggal 28 April 2010) Karena keberadaan lansia di Panti Jompo dengan berbagai karakter serta memiliki berbagai ragam problematika maka dipandang perlu untuk memberikan suatu penanganan khusus sesuai kelebihan serta kekurangan yang mereka miliki. Di Panti Wreda Hanna selain mendapatkan pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan dasar juga memberikan fungsi positif lainnya, yaitu program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan kesibukan kepada mereka sebagai pengisi waktu luang. Diantaranya pemberian bimbingan sosial, bimbingan mental spiritual, rekreasi, penyaluran bakat dan hobby, terapi kelompok, senam dan banyak kegiatan lainnya. Namun, dari sekian banyak kegiatan positif yang diberikan pihak Panti, dapat dipastikan bahwa tidak semua lansia ikut dalam kegiatan tersebut.
4
Banyak perubahan yang terjadi pada diri, kebiasaan dan perilaku lansia. Contoh yang paling kecil adalah lansia yang sulit diatur ketika makan, sulit tidur, suka teriak-teriak. Ada pula Perubahan selanjutnya adalah dalam hal minat dan ketertarikan terhadap sesuatu. Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan menjelaskan bahwa hal ini penting untuk diketahui, karena bagaimanapun juga penyesuaian pada usia lanjut sangat dipengaruhi oleh perubahan minat dan keinginan yang dilakukan secara sukarela atau terpaksa. Minat tertentu dianggap sebagai keinginan orang lanjut usia seperti minat pada diri sendiri, minat berekreasi, keinginan sosial dan minat untuk mati. (Hurlock 2004:393). Menurut pengakuan yang pernah diungkapkan oleh salah satu lansia yaitu Mbah Sah kepada penulis ketika wawancara beliau mengatakan: Kulo niki sampun sepuh mbak, mboten wonten keluarga sing njenguk kulo, bojo kulo sampun mati, kulo mboten gadhah lare, nek kulo mikir, yo nggo opo kulo niki urip, sajake arep nyusul mati bojo kulo wae. Saya ini sudah tua mbak, nggak ada keluarga yang menjenguk saya lagi, suami saya sudah meninggal, saya nggak punya anak, kalau saya pikir, ya buat apa saya ini hidup, saya ingin menyusul suami saya mati saja. (wawancara dengan Mbah Sah, salah satu penghuni Panti Wredha Yogyakarta, tgl 12 Maret 2009). Pengakuan beliau menunjukkan bahwa beliau berkeinginan untuk mengakhiri hidup saja, karena merasa tidak memiliki keluarga lagi dan beliau terkesan tidak memiliki gairah hidup lagi. Hurlock (2004:402) menambahkan bahwa semakin lanjut usia seseorang, biasanya mereka menjadi semakin kurang tertarik terhadap kehidupan dan lebih mementingkan tentang kematian itu sendiri serta kematian dirinya. Hal
5
tersebut juga diperkuat oleh Pimpinan Panti seperti wawancara dibawah ini: Ada oma yang mempunyai latar belakang masa lalu tidak menyenangkan sehingga hampir setiap hari ngomongnya cuma pengen mati aja, selain itu ada juga oma yang dipojokan (sambil menunjuk ke arah kamar salah satu lansia) sering teriak-teriak sambil memaki-maki anaknya padahal anaknya tidak ada disitu, ada juga oma yang kalo tidak diawasi selalu keluar Panti ingin kabur, saya tekankan agar mbak-mbak perawat harus mengawasi oma-oma yang memiliki sikap dan kebiasaan seperti ini, karena hal seperti ini bisa menyebabkan sikap-sikap yang merugikan contohnya bunuh diri dan kabur (Wawancara dengan Ibu Kristin tanggal 28 April 2010) Sisi emosi lansia seringkali mereka memiliki perasaan tidak berguna, tidak mampu mengerjakan sesuatu, perasaan tidak berharga, tidak bermanfaat, tidak dihargai, perasaan terasing, kesepian, tidak diperhatikan baik itu oleh keluarga maupun lingkungan lansia berada dll. Ada banyak lansia di Panti Jompo Wredha Hanna yang mengalami hal tersebut. Ketika peneliti mencoba berbicara kepada beberapa lansia dan menanyakan, hasilnya hampir semua sama yaitu merasa tidak berguna lagi, merasa sendiri dihari tuanya, dan merasa tidak disayangi oleh keluarganya. Perasaan tersebut timbul karena merasa rendah diri yang datang seiring dengan perubahan fisik dan usia. Sehingga hal tersebut mendorong lansia menjadi merasa tidak enak dan rendah mutunya yang berujung pada kehilangan motivasi untuk hidup maupun untuk mengerjakan sesuatu. (Hurlock, 2004:407). Ada pula kasus yang sering dialami lansia di Panti Jompo ini, menurut pengasuhnya, Mbak Murti, Oma yang diasuhnya yaitu Oma Rina.
6
Oma Rina selalu ingin mengakhiri hidup. Tak hanya sekali beliau mencoba bunuh diri tapi sudah berkali-kali, namun selalu gagal. Beliau merasa hidup sudah tidak ada artinya lagi bila tidak berguna bagi orang lain. Ditambah lagi beliau menderita penyakit asam urat dan diabetes, sehingga keinginan untuk hidup tidak ada lagi. Selama ini yang menjadi penguat beliau hingga saat ini adalah anaknya yang belum menikah, beliau ingin menikahkan putra bungsunya dan pasrah jika dipanggil Tuhan setelah itu. Perawat dan teman-temannya sesama penghuni Panti juga sering memberikan motivasi kepada beliau agar beliau tidak dalam kesedihan. Lansia dengan sikap diri negatif akan merasa apa yang dilakukannya selalu salah dan biasanya mudah menyerah. Beberapa cara yang dapat dilakukan perawat dalam menangani lansia dengan rasa kurang percaya diri dan sikap diri negatif, salah satunya adalah lansia harus menerima diri apa adanya. Lansia rendah diri memerlukan pemahaman orang-orang disekitarnya. Pembentukan rasa percaya diri yang rendah ini akan memang sangat dipengaruhi oleh orang-orang disekitarnya. Untuk menumbuhkan sikap diri positif pada lansia, perawat memberikan perhatian dan kasih sayang sebagai pengganti keluarga. Dengan begitu menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain. Menciptakan kehidupan Panti bagi lansia yang memungkinkan para lansia hidup dengan tenang, merasa berharga, dihargai hak-hak dan derajatnya serta terpenuhi segala kebutuhannya baik fisik, psikis, maupun 7
sosial tidak pernah terlepas dari peranan dan intervensi seorang perawat profesional yang paham betul akan peran dan fungsinya dalam Panti. Karena lansia memiliki keterbatasan dalam pola komunikasi dan pola pikirnya sehingga sering bersikap negatif terhadap dirinya sendiri maka perawat dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik kepada lansia. Untuk itu perawat menerapkan komunikasi persuasif dalam membangun sikap positif dalam diri lansia. Dalam melakukan komunikasi persuasif tujuan utamanya adalah mempengaruhi agar lansia dapat mendengarkan dan menjalankan apa yang disampaikan oleh perawat dengan baik, hal tersebut disampaikan melalui komunikasi verbal, selain itu perawat juga melakukan komunikasi nonverbal untuk meyakinkan lansia. Di dalam melakukan pekerjaannya merawat lansia, mempersuasi lansia dianggap tidak mudah, lansia yang berlatar belakang seperti contoh diatas memiliki sikap negatif yang tidak sekali dilakukan namun berkalikali. Untuk itu komunikasi persuasif dilakukan oleh perawat untuk membangun sikap positif pada diri lansia, meskipun sikap negatif tersebut sering dilakukan lagi namun perawat selalu berusaha secara perlahanlahan agar perbuatan tersebut tidak diulangi lagi. Perawat adalah peran pengganti keluarga lansia di Panti wreda, meskipun yang paling utama adalah keluarganya sendiri. Komunikasi persuasif yang dilakukan oleh perawat adalah untuk membangun sikap positif lansia untuk dirinya sendiri dan untuk lingkungannya. Komunikasi pada lansia membutuhkan perhatian khusus. Perawat harus waspada
8
terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi pola komunikasi. Proses komunikasi persuasif perawat dengan lansia pada dasarnya adalah mengajari, menumbuhkan, bahkan mempengaruhi lansia untuk menjadi lansia yang memiliki sikap diri positif. Memberi dukungan dengan sentuhan sebagai wujud perhatian perawat pada lansia. Memberi semangat lansia dalam melakukan hal yang positif. Melihat pentingnya proses komunikasi antara perawat dengan lansia dalam membangun sikap positif lansia maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Komunikasi Persuasif Perawat Dengan Lansia Dalam Membangun Sikap Positif Lansia Di Panti Jompo Wredha Hanna Yogyakarta. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka penting dilakukan penelitian dalam hal komunikasi persuasif perawat dalam membangun sikap positif lansia. Sehingga dapat dirumuskan sebuah masalah: Bagaimana komunikasi persuasif perawat dalam membangun sikap positif lansia di Panti Wreda Hanna Yogyakarta? C. TUJUAN PENELITIAN Peneliti memiliki tujuan yaitu menggambarkan komunikasi persuasif perawat dalam membangun sikap positif lansia di Panti Wreda Hanna Yogyakarta.
9
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan baik bagi segi teoritis maupun segi praktis. 1. Secara teoritis Memberikan
kontribusi
teoritis
yang
konstruktif
bagi
pengembangan ilmu komunikasi mengenai komunikasi interpersonal perawat dengan lansia di Panti Jompo. 2. Secara praktis 2.1
Bagi Panti Jompo Wredha Hanna Yogyakarta, dapat digunakan sebagai masukan dalam membangun sikap positif pada lansia.
2.2
Bagi perawat, dapat semakin meningkatkan kemampuan komunikasi persuasif perawat dalam membangun sikap positif, sehingga permasalahan-permasalahan di Panti Jompo Wreda Hanna bisa diatasi.
E. KERANGKA TEORI 1. Komunikasi Persuasif Komunikasi persuasif menurut Dedy Iriantara adalah komunikasi yang bersifat mempengaruhi tindakan, perilaku, pikiran dan pendapat tanpa dengan cara paksaan baik itu fisik, atau non fisik. Menurutnya dalam melakukan komunikasi persuasif, argumen komunikator haruslah argumen yang masuk akal atau rasional, sehingga dapat meyakinkan lawan bicaranya atau komunikan, sehingga komunikan akhirnya mau berperilaku seperti yang diinginkan komunikator (Jamaluddin, 1997: 243). Hal yang
10
perlu diperhatikan dalam berkomunikasi persuasif adalah karakteristik dari komunikator.
Karena
ketika
komunikator
berkomunikasi,
yang
berpengaruh bukan hanya yang dikatakannya, tetapi keadaan komunikator itu sendiri. Komunikator tidak dapat merubah sikap komunikan hanya dengan yang dikatakannya. Senada dengan yang dikatakan oleh Iriantara, Komunikasi persuasif menurut Burgon & Huffner (2002) dapat didefenisikan sebagai berikut: Proses komunikasi yang mengajak atau membujuk orang lain dengan tujuan mengubah sikap, keyakinan dan pendapat sesuai keinginan komunikator. Pada definisi ini ‘ajakan’ atau ‘bujukan’ adalah tanpa unsur ancaman/ paksaan.
Bila kita merujuk kepada definisi komunikasi persuasi tersebut maka komunikasi persuasi tentunya tanpa aspek agresi. Oleh karena itu, komunikasi persuasi diatas termasuk dalam pola komunikasi yang asertif (Ghojali: 2010). Soemirat (2007:26) mendefinisikan komunikasi persuasif adalah sebagai suatu proses, yakni proses mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku orang lain, baik secara verbal maupun nonverbal. Proses itu sendiri adalah setiap gejala atau fenomena yang menunjukkan suatu perubahan yang terus-menerus dalam konteks waktu, setiap pelaksanaan atau perlakuan secara terus-menerus.
11
Dari beberapa definisi komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli, tampak bahwa persuasi merupakan proses komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku seseorang, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi yang lancar mungkin dpt membuat lansia bisa diajak berfikir positif. Tujuan komunikasi itu sendiri merubah sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berfikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai (Jamaluddin, 1997: 40). Sedangkan tingkah laku adalah fungsi dari pada sikap. Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir dan merupakan proses belajar. Oleh karena itu sikap dapat diperteguh atau dirubah. Pembentukan sikap dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Sikap terbentuk melalui hubungan antar individu, kelompol, melalui surat kabar dll. Lingkungan yang terdekat dengan kehidupan sehari-hari banyak memiliki peranan. 2. Elemen yang mendukung komunikasi persuasif 2.1
Kredibilitas komunikator Hovland, Janis dan Kelly (1953) menyebutkan bahwa komponen-
komponen kredibilitas terdiri dari 2 hal yang paling penting, yaitu keahlian dan kepercayaan. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan dengan topik yang dibicarakan. Komunikator yang dinilai tinggi dianggap sebagai cerdas, mampu, ahli dan berpengalaman. Kepercayaan adalah kesan
12
komunikan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya, apakah komunikator dinilai jujur, tulus, bermoral, adil, etis atau bahkan sebaliknya (Soemirat, 1998: 42) Rakhmat
(1986:257)
mendefinisikan
kredibilitas
sebagai
seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Menurut Rakhmat, dalam konsep kredibilitas, paling tidak tercakup dua hal, yakni pertama kredibilitas merupakan persepsi komunikan, jadi tidak inheren dalam diri komunikan; kedua, kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator. Kredibilitas berkaitan dengan persepsi penerima tentang diri sumber. Oleh karena itu, karakteristik dari kredibilitas sangat kompleks, tidak saja menyangkut aspek usia, jenis kelamin dan sosioekonomi, tetapi juga berkaitan dengan posisi, pengetahuan tentang topik yang dibicarakan, kesungguhannya, dan lain-lain. Jadi, dalam konsep kredibilitas, terkait aspek berbagai harapan penerima tentang masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang pembicara (persuader). Singkatnya, seperti yang dikatakan Rakhmat (1986) bahwa kredibilitas merupakan masalah persepsi maka
ia
berubah-ubah
tergantung
pada
pelaku
persepsi,
yakni
penerima/persuader, topik yang dibicarakan, dan situasi. Karena kredibilitas itu masalah persepsi, jadi kredibilitas dapat berubah-ubah tergantung pada pelaku persepsi atau komunikan, topik yang dibahas dan situasi pada penyampaian pesan. Selain itu, dalam kredibilitas dibutuhkan juga kesamaan. Roger berkata orang mudah berempati dan
13
merasakan perasaan orang lain yang dipandangnya sama dengan mereka (Jalaluddin, 1984: 262) persamaan itu berupa kepercayaan, sikap, maksud dan nilai-nilai sehubungan dengan suatu persoalan. Karena kredibilitas tersebut dapat menjadi salah satu poin penting dapat sampainya pesan persuasif dari komunikator ke komunikan. Semakin komunikator memiliki kredibilitas yang baik maka akan lebih mudah merubah sikap komunikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
2.2
Pesan Verbal dan Non verbal Dalam Komunikasi Persuasif Menurut Blake dan Haroldsen (1979) pesan merupakan simbol
yang
diarahkan
secara
selektif
yang
diperuntukkan
dalam
mengkomunikasikan informasi. Dalam proses komunikasi, pesan yang disampaikan dapat berupa verbal dapat pula nonverbal. Dapat disengaja (intentional), dapat pula tak disengaja (unintentional). Pesan verbal merupakan salah satu faktor yang paling menentukan dalam keberhasilan komunikasi persuasif. Di dalamnya terdapat aspek rangsangan wicara dan penggunaan kata-kata. Tidak setiap rangsangan wicara dapat diterima langsung oleh sasaran, paling tidak hal ini tergantung pada sistem penginderaan, persepsi, perhatian, memori, dan berpikir. Sedangkan pesan nonverbal terdiri atas body notion or kinesics behavior, paralanguage, proxemics, olfaction, skin sensitivity to touch and temperatur, dan use the artifacts. Suatu pesan dikatakan efektif bila makna pesan yang dikirim
14
persuader berkaitan erat dengan makna pesan yang diterima atau ditangkap serta dipahami oleh sasaran (Soemirat: 1998). Menurut
Jeany
Ivones
(2009:89)
gaya
komunikasi
yang
dipergunakan perawat untuk lansia dalam mempersuasi memerlukan halhal dibawah ini: a. Bahasa Verbal, secara formal digunakan untuk menunjukkan maksud dan tujuan tertentu. secara informal untuk bersosialisasi. Komunikasi efektif harus diawali dengan bahasa verbal yang tepat, seperti memanggil nama. Adapun teknik dalam bahasa verbal yaitu:
Berhadapan langsung (confronting). Ketika respon verbal dan non verbal pada lansia tidak sama, teknik ini dapat dilakukan. Tidak dianjurkan pada klien lansia yang sedang gelisah atau bingung.
Bertanya,
Bertanya
langsung:
membantu
untuk
mendapat
informasi spesifik. Jika berlebihan dapat menyebabkan lansia defensif. (menggunakan pertanyaan tertutup ya/tidak). Bertanya terbuka-tertutup : meliputi pertanyaan reflektif, klarifikasi, parafrase, contohnya : anda sedang sedih, mengapa?
Social communication. Tujuannya untuk lebih membina hubungan saling percaya dengan lansia untuk memperoleh informasi lain diluar info kesehatan lansia.
15
b. Bahasa Non-Verbal, perawat perlu memperhatikan hal-hal dibawah ini:
Simbol, contohnya cara berpakaian menentukan identitas pribadi seseorang.
Nada suara (tone voice), bisa menunjukkan emosi seseorang, mengindikasikan emosi pada lansia. Pada lansia saat kita berkomunikasi hendaknya menggunakan nada yang rendah.
Body language, dapat digunakan untuk memvalidasi maksud atau tujuan komunikasi. Body language pasien harus diperhatikan karena body language yang tidak sesuai dapat menjadi barier komunikasi. Oleh karena itu perawat harus menempatkan diri untuk berkomunikasi dengan lansia.
Space or distance, and position. Public space, area tidak ada hubungan dengan orang lain (>12 kaki). Social space, komunikasi terjadi dalam tahap interpersonal (4-12 kaki). Personal space, seberapa dekat orang dapat berkomunikasi dengan kita dan kita merasa nyaman (18 inci – 4 kaki). Intimate space, hanya orang tertentu yang boleh masuk.
Gesture, digunakan untuk membantu menyampaikan maksud dari komunikasi. Gesture sangat membantu pada orang yang tidak dapat mendengar.
16
Ekspresi wajah, digunakan untuk komunikasi antarbudaya dan bangsa. Karena ekspresi takut, marah, sedih, senang, dll bisa ditunjukkan lewat ekspresi wajah.
Kontak mata, posisi sejajar menunjukkan respect terhadap lawan bicara
Kecepatan komunikasi, jangan tergesa-gesa ketika berkomunikasi dengan lansia, karena menyebabkan kebingungan dan frustrasi.
Waktu, terlalu menyampaikan di awal membuat lansia lupa. Dan menyampaikan diakhir membuat stress atau frustrasi. Komunikasi di malam hari mengganggu waktu tidur lansia.membutuhkan yang lebih lama dan sabar untuk komunikasi dengan lansia.
Sentuhan, metode untuk mengungkapkan perhatian dan caring. Sentuhan dapat menurunkan perasaan depresi, dapat meningkatkan keberadaan dan rasa penghargaan bagi lansia.
Silence, bentuk komunikasi yang ditunjukkan ketika lansia berduka, cemas, sakit.
3. Komunikasi Persuasif Dalam Membangun Sikap Positif a. Karakteristik Sikap Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, dan nilai, mempunyai daya pendorong atau motivasi, relatif menetap, mengandung aspek evaluatif, dan sikap timbul dari hasil pengalaman (Soemirat: 1998). Karakteristik
17
sikap adalah memiliki objek, memiliki arah, derajat, dan intensitas, dapat dipelajari, dan bersifat stabil serta tahan lama. Ada tiga komponen sikap, yakni komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif berkaitan dengan kepercayaan tentang objek, ide dan konsep. Komponen afektif berkaitan dengan perasaan yang menyangkut
aspek
emosional.
Komponen
konatif
merupakan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup. Sikap individual seseorang dapat dibedakan atas sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui dan melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. Sedangkan
sikap
negatif
adalah
sikap
yang
menunjukkan
atau
memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang, yakni pengaruh faal, kepribadian, dan faktor eksternal. Pengaruh faal berkaitan dengan aspek biologis seseorang, sedangkan faktor kepribadian menyangkut perpaduan antara mental dan neural. Pengaruh eksternal berkaitan dengan faktor lingkungan, baik berupa situasi, pengalaman maupun hambatan untuk terbentuknya sikap.
18
b. Menghubungkan Pesan Dengan Motivasi Komunikator harus menghubungkan pesannya dengan memotivasi pikiran-pikiran dalam pikiran komunikan. Jika komunikator menginginkan suatu sikap positif terhadap komunikan maka hubungkan dengan pemenuhan kebutuhan, tujuan dan ungkapan nilai-nilai yang mendasar (Djamaluddin: 1994). F. Metode Penelitian Metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metoda, kelebihan dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metoda yang digunakan (Usman, 2008: 03). Terdapat 6 hal penting yang di bahas dalam metode penelitian, yaitu : 1. Jenis Penelitian Bogdan dan Taylor mendeskripsikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2001:03). Metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Metode kualitatif ini digunakan
untuk
mengidentifikasi
masalah-masalah
atau
untuk
mendapatkan justifikasi keadaan dan praktek-praktek yang sedang berlangsung, serta untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh orangorang lain dalam menangani masalah atau situasi yang sama, agar dapat
19
belajar dari mereka untuk kepentingan pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa depan ( Suryabrata, 2003:76 ). Peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif sebagai acuan dalam metode penelitian ini untuk mendeskripsikan dan mengidentifikasi masalah-masalah di dalam ksomunikasi interpersonal antara perawat dengan lansia dalam meningkatkan motivasi lansia. Alasan dipilihnya metode tersebut adalah karena metode kualitatif dapat memudahkan peneliti untuk mencari data penelitian agar dapat sesuai dengan tujuan penelitian. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Panti Jompo Werdha Hanna yang berlokasi di Jl. C Surokarsan MG II/267 Yogyakarta Telp. 378413. 3. Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dikenal dalam penelitian kualitatif, namun teknik yang paling pokok adalah pengamatan atau observasi dan wawancara mendalam atau in-depth interview. (Suyanto, 2005: 172). Penulis mengumpulkan data dengan cara wawancara, observasi, study pustaka dan dokumentasi. a. Wawancara Wawancara adalah bentuk komunikasi verbal yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Wawancara memerlukan kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang dirumuskan secara tajam, halus dan tepat, dan kemampuan untuk menangkap buah pikiran orang lain dengan cepat.
20
Terdapat dua jenis wawancara yaitu berstruktur dan tidak berstuktur. Wawancara tidak berstruktur ( bebas ) dapat memberi kesempatan kepada responden untuk menjawab pertanyaan secara bebas menurut isi hati atau pikirannya tanpa ditentukan secara pilihan ganda (Nasution, 2001 : 113119). Senada dengan pernyataan tersebut Dedy Mulyana juga menjelaskan bahwa wawancara merupakan bentuk komunikasi antara dua orang yang melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasar tujuan tertentu.
Menurutnya,
wawancara
tidak
berstruktur
(wawancara
mendalam) bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu mengenai informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden. Susunan pertanyaan pada saat wawancara dapat diubah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara (Mulyana,201 : 180-181). Peneliti menggunakan wawancara tidak berstruktur (wawancara mendalam) dengan alasan bahwa dalam wawancara tidak berstruktur informan diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara bebas sesuai dengan apa yang dia pikirkan tanpa ada batasan berupa pilihan jawaban dan dapat menjelaskan pernyataan yang telah diberikan secara rinci. Alasan lain adalah bahwa dengan wawancara tidak berstruktur pokok-pokok pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya oleh peneliti dapat dirubah saat melakukan wawancara untuk mencapai hasil yang relevan
21
dengan penelitian. Dalam wawancara tersebut peneliti akan menanyakan mengenai bagaimana perawat meningkatkan motivasi lansia. b. Observasi Menurut Suyanto (2005: 52), observasi adalah pengamatan dan pencatatan
yang
sistematis
terhadap
gejala-gejala
yang
diteliti.
Pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan, yang berarti tidak mengajukan
pertanyaan-pertanyaan.
Observasi
yang
berdasarkan
keterlibatan pengamatan dalam kegiatan-kegiatan orang yang diamati dapat dibedakan menjadi dua yaitu: observasi partisipan (participant observations) dan observasi tak patisipan (non participant observations). Pada penelitian ini, peneliti tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diteliti atau yang diamati, hanya saja peneliti tetap waspada untuk mengamati kemunculan tingkah laku tertentu seperti ketika perawat akan mengajak lansia makan, mandi dan melakukan kegiatan. c. Study Pustaka Hasil wawancara merupakan sumber yang utama dalam teknik pengumpulan data, akan tetapi sumber tertulis yang sering dikatakan sebagai sumber kedua dalam sebuah penelitian itu juga tidak dapat diabaikan keberadaanya karena situasi yang terjadi di lapangan sering sekali kurang relevan dan dari banyak data yang terkumpul hanya sedikit data yang bermanfaat dalam penelitian, hal ini membuat peneliti berusaha
22
pula mencari data tambahan lainnya seperti sumber tertulis atau studi pustaka ( Moleong, 2001:113). Sumber data diperoleh dengan mencari dasar-dasar dan teori-teori melalui referensi dari data dan teori berupa bahan-bahan tertulis sebagai dasar dan acuan yaitu: buku, jurnal, artikel dan sumber tertulis lainnya yang mendasari dan relevan dengan penelitian. Peneliti menggunakan beberapa referensi untuk meningkatkan kepercayaan akan kebenaran informasi yang di dapat. d. Dokumentasi Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. (Usman, 2008: 69). Peneliti memperkuat data-data dengan membuat dokumentasi berupa data lansia dan foto-foto dari kegiatan yang dilakukan lansia. Dengan demikian data-data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan. 4. Teknik Pengambilan Informan Teknik pengambilan sampel di dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu sampel yang dipilih secara cermat sehingga akan relevan dengan desain penelitian. Purposive sampling dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih betul oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu (Nasution, 2002: 86). Jadi, pengumpulan data yang telah diberikan penjelasan oleh peneliti akan mengambil seseorang sebagai sampel yang dianggap sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
23
Adapun pasangan perawat dan lansia selaku informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 1.1 Data Informan Perawat dan Lansia Panti Jompo Wredha Hanna Yogyakarta Kelompok Pasangan Pasangan 1 Pasangan 2 Pasangan 3
Kedudukan
Nama
Perawat Lansia
Murti Rahayu Oma Rina (60)
Perawat
Ranti Soebandie
Lansia
Oma Tio (77)
Perawat
Sri lestariningsih
Lansia Sumber : Hasil pemilihan sampel, 2010.
Mbah Lastri (88)
Informan tersebut ditunjuk berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan selama 1 bulan di Panti Wredha Hanna Yogyakarta. Selama waktu 1 bulan tersebut, peneliti berkunjung seminggu 5 kali. Pada penentuan informan, peneliti juga dibantu oleh pimpinan Panti. Pada observasi tersebut, peneliti dapat mengamati apa saja yang dilakukan oleh perawat dan lansia selama di Panti Wredha Hanna Yogyakarta. Peneliti didampingi oleh pimpinan panti melihat langsung dan diberikan saran dalam memilih informan. Informan lansia dipilih berdasarkan latar belakang yang memiliki sikap negatif seperti ber minat mengakhiri hidup, kabur dan teriak-teriak. Kemudian tanggapan dan kepekaan lansia terhadap pertanyaan yang akan diajukan. Sehingga diharapkan dapat memperlancar
24
dalam proses pengumpulan data sedangkan perawat adalah yang memang ditunjuk oleh pimpinan panti untuk merawat lansia tersebut. 5. Teknik Analisis Data Analisis data adalah usaha untuk menemukan jawaban atau pertanyaan perihal rumusan-rumusan dari pelajaran-pelajaran atau hal-hal yang tersusun dan diperoleh dalam proyek penelitian (Moleong, 2001: 150). Tujuan dari analisa dalam penelitian adalah menyempitkan dan membatasi penemuan-penemuan hingga menjadi suatu data yang teratur, serta tersusun dan lebih berarti. Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut (Burhan Bungin, 2004: 95-97): a. Pengumpulan data Data yang akan diperoleh dengan menggunakan beberapa teknik, seperti: wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan dokumentasi yang diperoleh dari penelitian. b. Reduksi data Proses pemilahan, pengkategorian, dan pemusatan pada data yang relevan dengan permasalahan penelitian. c. Penyajian data Menggambarkan fenomena atau keadaan sesuai dengan data yang telah direduksi.
25
d. Kesimpulan Hasil pemikiran akan perbandingan mengenai kenyataan di lapangan dengan teori berdasarkan data yang didapat. 6. Uji Keabsahan Data Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber data. Triangggulasi merupakan sumber data untuk mengecek data yang telah dikemukakan. Selain itu, trianggulasi data adalah upaya untuk mengecek kebenaran data tertentu dengan data yang diperoleh dari sumber lain (Moleong, 2001: 178). Pendapat
tersebut
mengandung
makna
bahwa
dengan
menggunakan metode triangulasi akan mempertinggi keabsahan, memberi kedalaman hasil penelitian sebagai pelengkap apabila data yang diperoleh dari sumber pertama masih ada kekurangan. Data yang dibutuhkan tidak hanya dari satu sumber saja, tetapi berasal dari sumber-sumber lain yang terkait dengan subjek penelitian. Di sisi lain triangulasi data adalah cara memperoleh data dengan jalan membandingkan data hasil wawancara dan hasil pengamatan yang diperoleh dari penelitian.
26