BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan suatu tuntutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) sangat diperlukan dalam sebuah negara.Tercapainya tujuan negara
salah satunya adalah ditunjang oleh sistem pengelolaan dan sistem akuntansi pemerintahan yang akuntabel, cermat dan terbuka. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah Indonesia terus-menerus melakukan berbagai upaya pembaharuan dalam pengelolaan keuangan, antara lain penyusunan peraturan perundang-undangan, penataan kelembagaan, pembenahan sistem, prosedur, dan peningkatan profesionalisme Sumber Daya Manusia di bidang keuangan. Pembaharuan di bidang keuangan mencakup berbagai aspek, yaitu perencanaan dan penganggaran, perbendaharaan, akuntansi dan pertanggungjawaban, dan auditing. Semua aspek tersebut diperbarui secara bertahap dan berkelanjutan disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi Pemerintah Indonesia. Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,
kewenangan
pengelolaan
keuangan
daerah
diserahkan
kepada
gubernur/bupati/walikota. Sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33/2004 tentang
1
2
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah maka daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola keuangannya sendiri.
Pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah diatur dalam
Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No.
1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Laporan keuangan dimaksud mencakup: Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan
Keuangan.
Dalam
undang-undang
tersebut
dinyatakan
bahwa
penyusunan dan penyajian laporan keuangan dilaksanakan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan. Standar Akuntansi Pemerintahan telah diatur dengan PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pelaporan keuangan dan kinerja ini lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah No.8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Implementasi SAP dilingkungan pemerintah tidaklah mudah, demikian pula yang terjadi dipemerintah daerah. Selain kesiapan pemerintah daerah yang masih kurang juga disebabkan adanya peraturan ditingkat operasional yang belum mengatur pelaporan keuangan sepenuhnya sesuai dengan SAP. Di lingkungan Pemerintah Pusat, penyusunan dan penyajian laporan keuangan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan untuk pemerintah daerah diatur dengan peraturan daerah. Selama ini pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada PP No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang lebih lanjut diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Dewasa ini pada umumnya pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang Pedoman Penyusunan
3
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha
Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Tata cara penyusunan dan pertanggungjawaban APBD dalam
ketentuan tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan SAP. Dalam tataran operasional ternyata sampai dengan tahun anggaran 2005 masih ada pemerintah daerah yang belum menyusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan
Kepmendagri tersebut tetapi masih menerapkan ketentuan yang sebelumnya, yaitu SK Mendagri No. 900/099 tanggal 2 April 1980 tentang Manual Keuangan Daerah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dewasa ini pemerintah daerah berada dalam masa transisi. Berhubung penyajian laporan keuangan mulai tahun 2005 sudah wajib menerapkan SAP sementara APBD masih disusun dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang lain maka perlu adanya proses konversi selama masa transisi. Proses konversi hendaknya dilaksanakan secara hati-hati. Dalam hal ini perbedaan antara APBD dan SAP dapat saja terjadi tidak hanya dalam struktur anggaran ataupun klasifikasi pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana tetapi ada hal yang lebih penting lagi yaitu kebijakan yang terkait dengan pengertian, ruang lingkup, pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan setiap pos laporan keuangan. Dalam rangka memfasilitasi pemerintah daerah yang telah menyusun laporan keuangan berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002 untuk dapat menyajikan laporan keuangan sesuai SAP, maka Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP) telah menyusun Buletin Teknis Konversi Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah
4
Daerah Sesuai SAP. Bagi pemerintah daerah yang belum nenyusun laporan keuangan sesuai dengan Kepmendagri No. 29/2002 dapat langsung menyesuaikan
ke SAP tanpa melalui konversi ke Kepmendagri 29/2002.
Manajemen Aset saat ini menjadi issue yang sangat penting setelah BPK
memberikan Opini WDP, bahkan opini disclaimer pada berbagai departemen dan pemerintah daerah, Ternyata permasalahan opini tersebut dipengaruhi karena kurang tertibnya pengelolaan aset yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah.
sedangkan aset negara adalah simbol kekayaan negara, maka semakin banyak aset negara yang terlantar, semakin miskin pula negara itu. Begitupun yang terjadi pada pemerintah provinsi Jawa Barat dari tahun 2006 hingga tahun 2010 laporan keuangannya hanya mendapatkan opini WDP dari BPK. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pada provinsi Jawa Barat periode 2006 sampai dengan 2010 pada kategori wajar dengan pengecualian (WDP), tampak seperti pada tabel 1.1 di bawah ini: Tabel 1.1 Hasil Pemerikasaan Pelaporan Keuangan Provinsi Jawa Barat Tahun
Hasil Pemeriksaan Pelaporan Keuangan
2006
Wajar dengan Pengecualian (WDP)
2007
Wajar dengan Pengecualian (WDP)
2008
Wajar dengan Pengecualian (WDP)
2009
Wajar dengan Pengecualian (WDP)
2010
Wajar dengan Pengecualian (WDP)
Sumber : Laporan tahunan Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan tabel 1.1 di atas terlihat bahwa pada laporan terakhir 2010 provinsi Jawa Barat masih mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP).
5
Dari hasil penilaian tersebut, terdapat beberapa temuan: pertama, penyajian piutang pajak dan retribusi per 31 Desember 2009 sebesar Rp.14,28 miliar
diantaranya berupa piutang pajak pada Dispenda sebesar Rp.11,65 miliar. Nilai
tersebut, tidak didukung dengan rincian dan dokumen sumber yang memadai.
lebih lanjut, saldo tersebut berbeda sebesar Rp. 532,75 juta jika dibandingkan dengan saldo menurut unit Pelayanan Pendapatan Daerah. Catatan dan dokumen tersedia tidak memungkinkan BPK untuk melaksankan prosedur yang
pemeriksaan yang memadai untuk memperoleh keyakinan atas nilai piutang pajak per 31 Desember 2009. Kedua, penyajian persediaan per 31 Desember 2009 sebesar Rp.295,17 miliar diantaranya merupakan persediaan buku pada Dinas Pendidikan sebesar Rp.7,97 miliar belum disajikan berdasarkan stock opname dan nilai persediaan alat kesehatan dan obat-obatan pada Dinas Kesehatan sebesar Rp.42,38 miliar belum berdasarkan stock opname secara menyeluruh. Ketiga, hasil pemeriksaan LKPD Provinsi Jabar pada tahun 2009 juga menemukan permasalahan dalam sistem pengendalian intern penyusunan LKPD Provinsi Jabar tahun 2009 yaitu: perjanjian penyaluran dana bergulir Dakabalarea sebesar Rp.66,77 miliar serta dana bergulir PT BPR Koperasi Jabar sebesar Rp.8,75 miliar sudah habis masa berlakunya sehingga penyaluran tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah. Disamping itu, Pemprov. Jabar belum menerima bagian bagi hasil yang menjadi haknya sebesar Rp.2,21 miliar dari dana bergulir Dakabalarea.
6
Keempat, Sembilan PD BPR/PD PK dengan penyertaan modal sebesar
Rp.418,50 juta sudah tidak aktif lagi sehingga Pemprov. Jabar berpotensi
mengalami kerugiaan dari kehilangan modal yang telah disetorkan. Pelampauan
modal disetor sebesar Rp.56,38 miliar belum ditetapkan dalam Perda dan
penyertaan modal pada 44 PD BPR/PD PK tidak sesuai alokasi sehingga belum memiliki kekuatan hukum.
Kelima, penatausahaan aset lain-lain senilai Rp.21,23 miliar dan
pengelolaan aset tetap pada lima SKPD belum dikelola secara tertib dan optimal, pendapatan sebesar Rp.2,90 miliar dan pengeluaran sebesar Rp.2,72 miliar atas pemanfaatan aset Provinsi Jabar oleh DPP Korpri Jabar dilaksanakan di luar mekanisme sehingga tidak tercatat dalam laporan keuangan daerah serta realisasi belanja bagi hasil kepada Kabupaten/Kota melebihi anggaran sebesar Rp.45,92 miliar sehingga belum memiliki otorisasi yang sah. Keenam, dalam pemeriksaan LKPD, BPK juga menemukan : sebanyak 140 rekening pada 23 SKPD dengan saldo per 31 Desember 2009 sebesar Rp.4,20 miliar belum dilaporkan sehingga berpotensi hilang dan disalahgunakan, pemberian hibah aset kepada masyarakat sebesar Rp.154,40 miliar belum didukung Surat Keputusan Gubernur serta penerima hibah, bantuan sosial, bantuan
keuangan
dan
bantuan
subsidi
belum
menyampaikan
pertanggungjawaban penggunaan bantuan sebesar Rp.2,52 triliun. Ketujuh, hasil pengadaan senilai Rp.2,29 miliar belum dimanfaatkan dan senilai Rp.2,44 juta digunakan tidak sesuai peruntukkannya serta realisasi pengeluaran belanja yang melebihi standar biaya Gubernur Jabar sebesar
7
Rp172,25 juta pada 2 SKPD, ketidakhematan sebesar Rp.851,48 juta pada 4 SKPD, Denda keterlambatan belum dipungut sebesar Rp.49,09 juta pada 3 SKPD,
kelebihan pembayaran sebesar Rp.120,65 juta pada 3 SKPD, perjalanan dinas
ganda sebesar Rp.14,75 juta pada 1 SKPD, kelebihan pemungutan pajak sebesar
Rp.745,13 juta pada 1 SKPD dan kekurangan volume sebesar Rp.172,77 juta pada 1 SKPD. (diakses01/12/2011–14:26Sumber : Bisnis-Jabar.comEdisi: 3 November dan lhp BPK RI. 2011bandung.bpk.go.id/web/?p=3733)
Pengelolaan aset daerah sesuai Permendagri No 17 tahun 2007 dalam Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) PP No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Sebagaimana tercantum dalam permendagri Nomor 17 tahun 2007 pasal 4 ayat 1, Pengelolaan barang daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Pengelolaan asset daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat, maka dari itu harus dikelola dengan baik dan benar, sehingga dapat membantu dalam penyusunan pelaporan keuangan dan pertanggungjawaban. Untuk laporan keuangan sesuai dengan peraturan PP no 24 tahun 2005 dan di ubah menjadi PP 71 No 2010
8
bahwa laporan keuangan untuk tingkat dinas terdiri laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
Berdasarkan dari hasil survey lapangan yang penulis lakukan di Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Barat bahwa kualitas laporan keuangan belum optimal.
Permasalahan yang terjadi atas hasil pelaporan keuangan pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat salah satunya disebabkan sistem pengelolaan aset daerah belum berjalan dengan baik.
khususnya pada penatausahaan, mulai dari (1)
pembukuan; yaitu kesesuaian pencatatan dengan realisasi fisik belum optimal, (2) Inventarisasi; pengamanan asset yang belum optimal, hal ini disebabkan tidak dilakukannya inventarisasi asset dengan optimal dikarenakan Anggaran yang tidak memadai untuk melakukan inventarisasi asset. (3) pelaporan; ketepatan dalam pembuatan laporan tingkat akuransi data yang masih rendah. (4) Selain dalam penatausahaan, permasalahan sering terjadi pada Penghapusan, dimana proses dalam penghapusan asset sangat lama dan berbelit sehingga menyebabkan pengurus barang enggan melakukan pengajuan penghapusan, kurangnya tenaga ahli penilai asset dikarenakan minimnya anggaran. Penghapusan asset yang telah usang tidak berjalan optimal dikarenakan tidak melakukan inventarisasi secara teratur. Selain permasalahan di atas, masalah yang muncul dalam pengelolaan Barang milik daerah adalah terbatasnya SDM yang kompeten, dimana masih banyak pengurus asset yang tingkat pendidikannya masih rendah, kurangnya pelatihan tentang pengelolaan aset sehingga hal ini menyebabkan pengurus asset kurang memahami konsep dan filosofi Barang Milik Daerah, baik pada saat
9
inventarisasi, pengamanan maupun pada saat memasukkan data ke dalam sistem perangkat lunak Barang Milik Daerah, sehingga perlakuan terhadap asset kurang
dengan demikian tidak menjamin terhadap keamanan asset itu sendiri. optimal Penelitian
yang berkaitan dengan pengaruh pengelolaan asset Daerah
terhadap kualitas laporan keuangan telah banyak dilakukan, diantaranya seperti terlihat pada table berikut ini: yang
Tabel 1.2 Penelitian yang relevan
Peneliti
Thn
Judul
Hasil penelitian
Dora Detisa
2008
Sebesar 41,3% Kualitas laporan keuangan ditentukan oleh pengelolaan asset daerah sisanya 58,7% ditentukan oleh factor lain
Totok Supriono
2008
Hubungan pengelolaan asset daerah dengan kualitas laporan keuangan pada pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Hubungan manajemen asset dengan kualitas laporan keuangan pemerintah Daerah klaten
Ruri Nurita
2010
Pengaruh Manajemen Barang Milik Daerah Dengan Kualitas Laporan Keuangan Daerah Kota Bandung
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara manajemen asset dengan kualitas laporan keuangan pada pemerintah Daerah klaten Sebesar 27,2% kualitas laporan keuangan pemerintah kota Bandung dipengaruhi oleh manajemen barang Daerah sisanya sebesar 72,8% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
Persamaan
Perbedaan Meneliti 7 siklus yaitu dari tahap perencanaan kebutuhan dan penganggaran sampai tahap pengamanan dan pemeliharaan
Mengacu pada Permendag ri Nomor 17 dan PP Nomor 24 Tahun 2005
Tidak menghitung koefisien determinasi untuk mengetahui seberapa besar pengaruh X terhadap Y Meneliti seluruh siklus pengelolaan asset daerah mulai dari tahap perencanaan kebutuhan dan penganggaran sampai dengan tuntutan ganti rugi
Dari penelitian yang dilakukan oleh Dora Detisa, Totok Supriono dan Ruri Nurita terlihat bahwa kualitas laporan keuangan daerah dipengaruhi oleh
10
manajemen asset daerah yang bersangkutan. Perbedaan ini dengan penelitian – penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini lebih menekankan pada
pengaruh Pengelolaan asset daerah khususnya pada penatausahaan dan
penghapusan terhadap kualitas laporan keuangan di Dinas Peternakan Provinsi
Jawa Barat, seperti dipaparkan dalam pernyataan-pernyataan diatas, pengelolaan daerah telah menjadi masalah serius yang dihadapi oleh banyak daerah asset termasuk pada tingkat OPD atau Dinas – dinas, termasuk pada Dinas Peternakan
Provinsi Jawa Barat. Untuk itu pemerintah daerah memerlukan sebuah sistem pengelolaan asset yang dapat dipertanggungjawabkan, Pengelolaan aset sebetulnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pengelolaan Keuangan dan secara umum terkait dengan administrasi pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan nilai aset, pemanfaatan aset, pencatatan nilai aset dalam neraca tahunan daerah, maupun dalam penyusunan prioritas dalam pembangunan. Tujuan pengelolaan Aset kedepan diarahkan untuk menjamin pengembangan kapasitas yang berkelanjutan dari pemerintahan
daerah,
maka
dituntut
agar
dapat
mengembangkan
atau
mengoptimalkan pemanfaatan aset daerah guna meningkatkan/mendongkrak Pendapatan Asli Daerah, yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan guna mencapai pemenuhan persyaratan optimal bagi pelayanan tugas dan fungsi instansinya terhadap masyarakat. (Modul 1 Dasar-dasar manajemen Aset Daerah). Berdasarkan uraian-uraian di atas, penting rasanya untuk mengetahui sejauh mana manajemen asset daerah berpengaruh terhadap kualitas laporan keuangan, sehingga dapat dijadikan acuan bagaimana pengelolaan asset daerah
11
yang tepat dan harus dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis lebih lanjut dalam sebuah penelitian yang berjudul “PENGARUH
PENGELOLAAN ASSET DAERAH TERHADAP KUALITAS LAPORAN KEUANGAN ”
(studi empiris pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat)
1.2 Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian diatas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengelolaan asset daerah pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat;
2.
Bagaimana kualitas laporan keuangan pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat;
3.
Seberapa besar pengaruh pengelolaan asset daerah terhadap kualitas laporan keuangan pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada kajian pengelolaan asset daerah khususnya pada penatausahaannya yang terdiri dari inventarisasi, pembukuan, pelaporan, dan penghapusan, kualitas laporan keuangan, serta pengaruhnya terhadap kualitas laporan keuangan. 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
12
1. Mengetahui Pengelolaan asset daerah pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa
Barat,
2. Mengetahui kualitas laporan keuangan pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat,
3. Mengetahui besarnya pengaruh pengelolaan asset daerah terhadap kualitas laporan keuangan pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
1.5 Manfaat Penelitian Kegunaan dari penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang terkait diantaranya sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan keilmuan dalam bidang manajemen aset dan akuntansi pemerintahan, yang khususnya pengembangan keilmuan yang berkaitan dengan pengelolaan Barang Milik Daerah, sehingga akan menghasilkan laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi yang telah diatur oleh undang-undang. 2. Manfaat Praktis a. Bagi penulis, penelitian ini merupakan pelatihan intelektual yang diharapkan mampu meningkatkan pemahaman terkait dengan sistem pengelolaan Barang Milik Daerah dan laporan Keuangan. b. Bagi Pemerintah Daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi Pemerintah Daerah agar menjadi pertimbangan dalam
13
pengambilan keputusan dan kebijakkan strategis terkait dengan pengelolaan
asset dan laporan keuangan.
c. Bagi pihak lain atau pembaca, memberikan sumbangan wawasan
terhadap penelitian akuntansi yang berhubungan dengan pengelolaan aset
milik Daerah dan laporan Keuangan.