BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kasus sengketa lahan di Indonesia lebih banyak merupakan pertentangan antara warga setempat dengan perusahaan swasta terkait dengan akses dan kepemilikan lahan yang kemudian berujung pada konflik dan kekerasan. Peristiwa tersebut cukup mendapat perhatian di media massa. Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada 700-800 kasus konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat lokal (Kompas, 9 Januari 2012). Sedangkan data dari Sawit Watch menunjukkan bahwa ada 633 kasus sengketa tanah antara perusahaan perkebunan sawit dan masyarakat, yang mereka tangani (Kompas, 9 Januari 2012). Kemudian, data dari Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa sepanjang 2011 ada 163 konflik agraria yang menelan korban jiwa (Kompas, 5 Januari 2012). Salah satu konflik lahan yang banyak diberitakan oleh media adalah konflik lahan di Mesuji, Lampung, pada Desember 2011. Pemberitaan konflik ini berawal dari puluhan warga dari lembaga ada Megoupak, Lampung, melapor ke Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Rabu, 14 Desember 2011, tentang pembunuhan 1
warga di Mesuji yang diduga melibatkan aparat setempat (terutama anggota Brimob) saat terjadi penggusuran terhadap lahan warga dan laporan bahwa sengketa lahan yang terjadi selama dua tahun terakhir telah menewaskan sekitar 30 orang. Warga didampingi Ketua Tim Advokasi Lembaga Adat Megoupak, Bob Hasan, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal (Purn) Saurip Kadi, dan aktor Pong Harjatmo (Kompas, 15 Desember 2011). Peristiwa tersebut diberitakan di beberapa surat kabar, diantaranya Kompas, Jurnal Nasional, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Harian Seputar Indonesia dan Republika, mulai Kamis, 15 Desember 2011, sehari setelah laporan warga ke Komisi III DPR RI. Masing-masing surat kabar memiliki sudut pandang pemberitaannya masing-masing. Namun, ada tiga topik yang menjadi sorotan utama dalam pemberitaan konflik di Mesuji: 1. Kinerja atau cara pemerintah menanggapi dan menanggulangi kasus konflik tersebut. Dalam perisitwa Mesuji Desember 2011, pihakpihak yang mewakili pemerintah antara lain Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), pihak Kepolisian RI, Komisi III DPR RI, juga Presiden RI, 2. Kekerasan terhadap warga yang dilakukan oleh aparat, yang kemudian dikaitkan dengan pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Mesuji, termasuk klarifikasi jumlah korban akibat bentrokan dan bagaimana kekerasan dilakukan, 2
3. Sengketa lahan, terutama lahan sawit, yang terjadi antara warga dengan perusahaan swasta terkait kepemilikan lahan. Sengketa ini kemudian dikaitkan dengan kebutuhan akan pembaharuan kebijakan agraria karena kasus serupa telah beberapa kali terjadi sebelumnya. Surat kabar sebagai salah satu media cetak, memiliki peran penting dalam membentuk opini publik terkait dengan pemberitaannya terhadap suatu peristiwa, termasuk dalam melihat kasus Mesuji ini. Hal ini karena media memiliki beberapa peran di masyarakat seperti pelapor (informer), yang melaporkan peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakan dengan netral dan tanpa prasangka (Bryce, 1991: 8). Selain itu, media juga berperan sebagai interpreter, yang memberikan penafsiran atau arti pada suatu peristiwa, sebagai wakil dari publik, yang menganggap laporan atau berita mengenai reaksi masyarakat adalah barometer terbaik bagi berhasilnya suatu kebijaksanaan, dan peran jaga (watchdog), yang berperan sebagai pengritik terhadap pemerintah. Media massa juga menjalankan fungsi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat (Nurudin, 2008: 69). Sedangkan menurut Wilbur Schramm (1973), media massa dianggap sebagai pengamat, forum, dan guru (watcher, forum, dan teacher), di mana media mengamati kejadian dan melaporkannya kepada masyarakat, menjadi tempat “diskusi” serta kemampuan mendidik masyarakat ke arah kemajuan. Terkait dengan peran dan fungsinya, media massa memiliki kriteria apakah suatu peristiwa bisa menjadi berita atau tidak, berdasarkan nilai 3
berita. Nilai berita adalah nilai yang terkandung dalam sebuah peristiwa yang
menjadikannya
layak
sebagai
berita
(newsworthy)
yang
menjadikannya karakteristik intrinsik sebuah berita. Dalam buku CatatanCatatan Jurnalisme Dasar, Luwi Ishwara (2005: 53-57) menuliskan ada sembilan nilai berita yaitu, konflik, kemajuan dan bencana, konsekuensi, kemasyhuran dan terkemuka, saat yang tepat (timeliness) dan kedekatan (proximity), keganjilan, human interest, seks, dan aneka nilai. Berdasarkan peristiwa yang terjadi dan tiga topik yang cenderung dibahas dalam pemberitaan peristiwa Mesuji, ada beberapa nilai berita yang membuat peristiwa Mesuji diberitakan dalam porsi yang cukup besar di surat kabar. Salah satunya adalah saat yang tepat (timeliness). Perkembangan berita mengenai tindakan pemerintah menyikapi laporan mengenai kekerasan yang terjadi di Mesuji, perkembangan dan laporan hasil kinerja Tim Gabungan Pencari Fakta, serta pernyataan-pernyataan yang mendorong adanya perubahan kebijakan Agraria, memiliki timeliness sebagai nilai berita agar pembaca mengetahui kabar terbaru dan terkini, terutama pelanggaran HAM yang diberitakan terjadi di Mesuji. Media akan dianggap terlambat memberitakan atau ketinggalan berita jika segala peristiwa terbaru dan terkini terkait peristiwa Mesuji tidak diberitakan dengan segera. Salah satu tolak ukur dari nilai berita timeliness ini adalah necessity, yakni seberapa penting peristiwa tersebut perlu diungkap. Pada peristiwa Mesuji, necessity ini muncul karena di dalamnya ada unsur pelanggaran 4
HAM, di mana pelanggaran tersebut hanya bisa dilakukan oleh negara (commission, dilakukan secara sengaja, dan omission, jika negara berdiam diri dan tidak menindak perlakuan yang melanggar HAM orang lain). Nilai-nilai umum soal keadilan dan HAM yang menjadi tanggung jawab pemerintah, perlu diungkap jika ada pelanggaran di sana, apalagi tuntutan fungsi pers sebagai pemantau pemerintah (watchdog). Nilai berita ini pula yang menjadikan peristiwa Mesuji memiliki porsi pemberitaan yang besar dibanding peristiwa serupa yang pernah terjadi sebelumnya, karena peristiwa Mesuji dianggap kasus sengketa lahan yang sudah berulang kali, melibatkan aparat pemerintahan, dan sudah mengakibatkan korban dalam jumlah yang tidak sedikit. Kemudian, ‘konflik’ (conflict) pada peristiwa tersebut menjadikan berita ini bernilai. Mulai dari dilihat dari pertentangan antara warga setempat yang diposisikan sebagai korban kekerasan aparat Brimob yang mewakili institusi pemerintah, kemudian perjuangan warga setempat mendapatkan hak yang layak bertentangan dengan upaya perusahaan swasta setempat untuk memperluas lahan. Kemudian dua konflik tersebut berujung dengan adanya tuntutan perubahan kebijakan Agraria yang harus dibuat pemerintah karena berasal dari konflik-konflik sebelumnya yang serupa dan sudah lama disampaikan tetapi belum ada tindakan penyelesaian masalah. Tidak hanya konflik fisik berupa kekerasan, tetapi dalam peristiwa ini juga ada konflik non-fisik, baik perdebatan soal kepemilikan lahan maupun
5
pertimbangan pilihan solusi konflik, terutama langkah yang harus diambil pemerintah. Nilai ‘kedekatan’ atau proximity juga terdapat pada peristiwa Mesuji ini, yakni dalam skala nasional. Peristiwa ini terjadi di dalam negeri, di salah satu wilayah Indonesia, yang secara teritori lebih memiliki kedekatan dibandingkan sengketa lahan di luar negeri, misalnya. Selain itu, kedekatan dalam peristiwa ini tidak hanya kedekatan secara teritori, tetapi juga kedekatan sebagai satu negara, satu bangsa, dan satu pemerintahan, sehingga berada di bawah hukum yang sama. Salah satu nilai berita yang juga terdapat pada peristiwa Mesuji ini adalah human interest. Beberapa surat kabar bahkan menuliskan berita feature mengenai peristiwa Mesuji ini. Tidak hanya soal jumlah korban, tetapi juga kisah-kisah perjuangan warga yang mempertahankan tanahnya, termasuk ekspektasi-ekspektasi warga yang tinggal di wilayah itu terhadap konflik atau sengketa lahan yang mereka alami, serta banyak lagi kisahkisah kemanusiaan lainnya yang terjadi pada peristiwa tersebut. Nilai-nilai berita di atas, yang ada di dalam peristiwa Mesuji, membuat pemberitaan media terkait peristiwa tersebut mengambil porsi pemberitaan yang cukup besar di surat kabar. Hal ini dapat dilihat bahwa hampir setiap hari berita tentang Mesuji dimuat, terutama sejak 15 Desember sampai akhir tahun 2011. Tidak hanya muncul sebagai berita langsung di halaman depan, tetapi juga menjadi berita yang dibahas di bagian editorial. Kemudian, media juga mengembangkan berita dengan 6
kumpulan data-data untuk membuat berita analisis, membuat grafik, atau gambaran peristiwa serupa yang tidak hanya terjadi di Mesuji, tetapi juga di wilayah lain dalam kurun waktu tertentu. Salah satu nilai berita yang paling menonjol dari peristiwa Mesuji, ini adalah nilai berita konflik. Dalam jurnalisme sendiri, menurut Mencher (2011: 60), pemberitaan terhadap konflik biasanya tersiar dalam tiga bingkai. Pertama, media terlalu fokus menekankan pada konfliknya. Kedua, media mencoba bertualang dengan konflik dan kekacauan yang diakibatkan. Ketiga, media membatasi dan mempertahankan jurnalisme yang menyediakan forum untuk diskusi bagi yang terlibat konflik atau mengarahkan pada resolusi konflik. Sedangkan Walker dan Daniels (1997) mengutarakan bahwa konflik merupakan suatu wacana yang dikonstruksikan secara sosial dan bisa dipandang berbagai sudut. Surat kabar sebagai salah satu bentuk media massa sangat berperan penting terhadap konstruksi mengenai konflik dan masing-masing surat kabar bisa memiliki sudut pandang yang sama maupun berbeda dalam memberitakan konflik tadi. Selain nilai berita yang membuat kasus kekerasan dan sengketa lahan di Mesuji cukup menarik perhatian media massa, pemberitaan peristiwa ini juga menarik diteliti karena adanya kecenderungan pemberitaan yang tidak berimbang karena dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti ekonomi, kepemilikan media, dan beberapa faktor lainnya (Mencher, 2011: 66-68). Padahal, kalaupun ada keberpihakan, loyalitas jurnalisme seharusnya adalah 7
kepada masyarakat, dengan tetap melakukan cover both sides, seperti yang dicetuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, ada dua surat kabar yang cukup menarik untuk dibandingkan pemberitaannya terhadap konflik yang melibatkan tiga pihak tadi, yakni Kompas dan Jurnal Nasional. Keduanya merupakan surat kabar berskala nasional, tetapi memiliki latar belakang, falsafah, visi, dan misi yang berbeda. Surat Kabar Kompas menarik untuk dianalisis pemberitaannya terhadap kasus Mesuji dan konflik di sana karena dilihat dari sudut pandang yang digunakan dalam pemberitaan mengenai kasus Mesuji. Selama ini, pemberitaan di surat kabar Kompas dikenal dengan pemberitaan yang netral dan independen, karena terlepas dari pandangan dan politik tertentu, tetapi berpegangan pada visi humanisme transendental. Pada pemberitaan terhadap kasus sengketa lahan, termasuk konflik di Mesuji, Kompas menyajikan ruang khusus pada rubrik Nusantara dan Politik & Hukum. Pemberitaan di Kompas tentunya berbeda dengan pemberitaan pada Jurnal Nasional. Jurnal Nasional menarik untuk dianalisis pemberitaannya terhadap kasus Mesuji dan konflik di dalamnya karena pemberitaan di Jurnal Nasional cenderung menjadi representasi positif kebijakan dan kinerja pemerintah, ditambah dengan fakta bahwa Jurnal Nasional merupakan bagian dari organ Partai Demokrat. Berita mengenai peristiwa
8
Mesuji sebagian besar dimuat pada halaman depan dan rubrik Politik dan Hukum. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana konstruksi surat kabar Kompas dan Jurnal Nasional terhadap peristiwa kekerasan pada sengketa lahan di Mesuji.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan peristiwa, isu, dan latar belakang permasalahan tersebut, termasuk nilai berita serta elemen-elemen lain yang ada dalam peristiwa Mesuji, maka rumusan penelitian ini ialah, “Bagaimana konstruksi peristiwa kekerasan pada sengketa lahan di Mesuji dalam surat kabar Kompas dan Jurnal Nasional?”
1.3
Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan menjelaskan konstruksi isu kekerasan pada sengketa lahan dalam surat kabar Kompas dan Jurnal Nasional.
1.4
Signifikansi Penelitian 1.4.1 Signifikansi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi mengenai konstruksi pemberitaan di media massa, khususnya surat kabar, terhadap konflik antara warga lokal dan perusahaan swasta soal 9
sengketa
lahan,
dan
bagaimana
pemerintah
diposisikan
pada
pemberitaan tersebut. Kemudian penelitian ini diharapkan bisa menambah referensi studi tentang media (media studies) terkait kemampuan media massa mengkonstruksi realitas sosial tentang konflik dengan bingkai-bingkai yang memiliki tujuan atau maksud tertentu di balik pemberitaannya dan memiliki pengaruh terhadap pembacanya. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran bagaiman konsep analisis framing yang dibuat oleh Robert M. Entman diterapkan dalam menganalisis konstruksi pemberitaan media terhadap konflik.
1.4.2 Signifikansi Praktis Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh surat kabar Kompas dan Jurnal Nasional untuk mengetahui peran media dalam konflik antara warga lokal dan perusahaan swasta soal sengketa lahan, dan menentukan
posisinya
sehingga
menjadi
masukkan
untuk
meningkatkan kualitas pemberitaan dan perannya sebagai media massa di masyarakat. Terkait bingkai pemberitaan yang digunakan terhadap konflik, dua surat kabar tersebut dapat menentukan apakah medianya menekankan pada konflik, fokus pada kekacauan konflik, atau justru menjadi forum diskusi bagi pihak-pihak yang berkonflik atau mengarahkan kepada resolusi konflik. Juga memberikan pemahaman 10
kepada publik bahwa media massa, dalam hal ini Kompas dan Jurnal Nasional, bisa mengonstruksi sebuah peristiwa dan konflik dengan tujuan dan maksud tertentu, sesuai dengan falsafah, visi, dan misi yang dianut setiap surat kabar.
11