BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Konflik yang terjadi di suatu wilayah tertentu, apalagiyang berujung pada terjadinya peperangan, secara signifikan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Pengaruh yang terjadi, dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak tercatat adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar antara dua macam interaksi tersebut.1 Ungkapan bahwa: “Peace to be merely a respite between wars” menunjukan, situasi perang dan damai terus silih berganti dalam interaksi manusia. Hasil penelitian Zeev Maoz yang dikutip Holsti, menunjukan bahwa sejak Kongres Viena 1815 hingga 1976, telah terjadi 827 macam konflik; 210 diantaranya terjadi di abad ke-19, dan sisanya 617 terjadi di abad ke-20.2 Masalah yang timbul akibat konflik bersenjata bermacam-macam. Baik yang berkaitan dengan masalah ekonomi maupun tidak, akibat konflik banyak anggota keluarga yang terpisah satu sama lain. Rumah mereka hancur dan mereka terpaksa harus mengungsi. Di daerah pengungsian masalah yang timbul tidak kurang banyaknya. Keterbatasan sumber daya dan bahan pangan membuat para pengungsi mudah terjangkit
1
penyakit. Kriminalitas
meningkat
karena orang menjadi
Ambarwati, DKK, Hukum Humaniter dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers 2010, hlm.1 2 K..J. Holsti, International politics; A Frame WorkFor Analysis, 6th Ed., New Jersey: Prentice Hall Inc., 1992, hlm. 351
menganggur. Aksi penjarahan, perbudakan dan pelacuran tak terhindarkan lagi akibat terbatasnya akses ke sumber ekonomi dan keterpaksaan.3 Salah satu pihak yang paling rentan mengalami pengaruh buruk dari perang ini adalah anak-anak. Banyak dari mereka yang harus kehilangan orang tua, pendidikan, tempat tinggal bahkan luka yang membuat mereka cacat. Kondisi yang rentan dan tidak terlindungi itulah yang dimanfaatkan oleh kelompok atau fraksi militer bersenjata baik dari pihak penguasa maupun oposisi bersenjata untuk memasukan anak-anak kedalam barisan perang. Meskipun illegal tetapi kelompok yang terlibat perang masih melakukan kegiatan tersebut. Konflik yang terus terjadi di berbagai belahan dunia kerap kali melibatkan anak-anak. Baik itu laki-laki maupun perempuan untuk dijadikan sebagai tentara perang. Berdasarkan data, daerah-daerah yang menjadi lokasi dimana banyak sekali ditemukan tentara anak adalah, sebagian besar Negara afrika, Burma, Afghanistan, El Salvador, Equador, Guatemala, Mexico, Nicaragua, Paraguay, Kolombia, Sri Lanka dan Peru. Di Peru misalnya, tentara anak diberi sebutan “Little Bells”. Dari kesemua daerah tersebut, yang kurang lebih berjumlah 30 daerah atau negara, Human Rights Watch menyebutkan ada sekitar 300.000 tentara di bawah usia 18 tahun yang sekarang aktif berperang dalam konflik bersenjata. Bahkan sumber lain mengatakan kalau tidak sedikit pula anak-anak dibawah 10 tahun ikut dalam berperang, dan mereka pun kadang bertindak lebih kejam ketika menghadapi lawan-lawannya.4 Ketika kita membahas suatu hal yang terkait dengan tentara anak, kita tidak bisa melepaskan dari konflik yang terjadi di Sri Lanka dimana konflik yang terjadi antara pemerintah dengan pemberontak Macan Tamil itu terkait erat dengan kasus 3
Ambarwati Op Cit, hlm.131 https://anakhimenulis.wordpress.com/tag/tentara-anak/ ,Tentara Anak, di akses pada 27 Maret 2014 pukul 15:25 WIB 4
penggunaan anak sebagai tentara perang. Sri Lanka sendiri merupakan negara yang memiliki konflik internal sejaktahun 1983 hingga tahun 2009. Konflik tersebut telah berdampak besar terhadap munculnya tentara anak sebagai kekuatan dalam konflik. Keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata telah dilarang dalam Konvensi Hak Anak
tahun 1989. Pada tahun 2002, ketika masa genjatan senjata dan menuju
proses perdamaian, pemerintah Sri Lanka dan Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) sepakat melakukan kerjasama dengan UNICEF untuk menangani masalah tentara anak di Sri Lanka.5 Sejak tahun 2002, sebanyak hampir 7000 anak telah direkrut sebagai tentara anak di Sri Lanka. Pada akhir konflik di tahun 2009, sebanyak 594 anak yang berumur antara 12 dan 18 tahun menyarahkan diri ke angkatan bersenjata, di saat yang bersamaan UNICEF bersama-sama dengan pemerintah Sri Lanka memastikan bahwa semua anak-anak tersebut akan diperlakukan sebagai korban dan bukan sebagai pelaku. UNICEF juga membantu pemerintah untuk mencari cara atau solusi yang paling tepat untuk merehabilitasi tentara anak dan bekerja sama dengan kementrian terkait dalam menyediakan fasilitas rehabilitasi, pendidikan, serta dukungan secara psikologis dalam membantu mereka menyelesaikan masalah yang menimpa mereka di masa lalu.6 Perang saudara yang berkecamuk sejak beberapa dekade ini kerap kali menjadi sorotan dan keprihatinan dunia internasional karena lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap anak-anak di wilayah konflik. Alhasil banyak dari mereka yang menjadi korban perang. Di paksa secara kejam dan di latih untuk menjadi tentara perang bahkan tameng hidup pada saat konfrontasi bersenjata tengah berlangsung. 5
https://catalogue.paramadina.ac.id/index.php?p=show_detail&id=17815 , Tentara Anak di Sri Lanka. Diakses pada 1 April 2014 pukul 12.15 WIB 6 http://www.unicef.org/srilanka/reallives_7924.htm, Tentara Anak di Sri Lanka. Diakses pada 22 Juli 2014 pukul 20.45 WIB
Sebab alasan di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai kasus penggunaan tentara anak di Sri Lanka. Ditinjau dari keterkaitannya, kasus ini dengan di berlakukannya hukum humaniter internasional yang secara spesifik melarang keras penggunaan tentara anak dalam konflik bersenjata. B. Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang diatas penulis merumuskan masalah penelitian ke dalam pertanyaan sebagai berikut : MengapaLTTE(Liberations Tigers of Tamil Eelam) menggunakan Tentara Anak dalam konflik bersenjata di Sri Lanka ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa LTTE (Liberations Tigers of Tamil Eelam) menggunakan Tentara Anak dalam konflik bersenjata di Sri Lanka. D. Kerangka Dasar Teori Dalam mengidentifikasi permasalahan penggunaan tentara anak dalam konflik bersenjata di Sri Lanka, penulis menggunakan Talk Theory (Child Soldier) by P.W Singer dan Territorial Change and International Conflict atau teori Perubahan Teritori dan Konflik Internasional. Kedua teori tersebut yang akan digunakan penulis sebagai dasar untuk menganalisis masalah yang telah dirumuskan. 1. Teori Perubahan Teritori dan Konflik Internasional (Territorial Change and International ConflictTheory) Untuk memahami dan mencari keterkaitan hubungan antara wilayah teritori dan perang, ada beberapa kerangka yang digunakan untuk mendasarinya. Setiap kerangka ini, mulai dengan melihat bagaimana kondisi geografi suatu wilayah bisa mengakibatkan hubungan internasional. Baik
secara eksplisit maupun implisit melihat bagaimana geografi bisa membuat suatu negara berada dalam kondisi perang. Beberapa peneliti berpendapat bahwa lokasi negara, sumber daya alam dan cuaca menentukan kebijakan yang diambil oleh negara.7 Ada beberapa kerangka berfikir yang dijelaskan oleh para ahli dalam meneliti keterkaitan wilayah teritori kedalam suatu keadaan dimana negara bisa terlibat perang. Salah satu kerangka berfikir yang paling berpengaruh saat ini adalah sebuah pemikiran yang di kembangkan oleh Sprouts yang disebut sebagai “Ecological Perspective” (Prespektif Lingkungan) dimana dia mengambarkan bahwa pengaruh lingkungan alam dan lingkungan pergaulan yang mencerminkan gambaran suatu negara, yang termasuk didalamnya antara lain demografi penduduk, teknologi yang dimiliki, sumber daya yang ada dan geografi.8 Kondisi geografi yang terjal dan curam serta jumlah penduduk yang banyak di wilayah asia selatan menjadikanya sebagai suatu wilayah dimana tingkat keberagamannya sangat tinggi. Wilayah tersebut merupakan rumah bagi beberapa peradapan kuno, tempat dimana tercipta beragam bahasa, literature, tradisi kebudayaan, etnis dan kepercayaan yang terkait dengan agama-agama besar di dunia.9 Kondisi
geografi
dan
keberagaman
yang
tinggi
merupakan
tantangantersendiri bagi tiap negara, tidak sedikit dari negara-negara tersebut yang akhirnya terlibat dalam konflik baik inter-state (antar-negara) maupun
7
Goertz, Gery and Diehl, Paul F, Territorial Change and International Conflict, New York : Routledge., 2002 hlm. 3 8 ibid 9 Dahal, Shiva Hari., Gadzar, Haris., Keethaponcalan, S.I., and Murthy, Padmaja, Internal Conflict and Regional Security in South Asia (Approaches, Perspektives and Policies), Geneva: UNIDIR (United Nation For Disarmament Research)., 2003 hlm 3
intra-state (konflik dalam negeri) karena alasan geografi maupun keberagaman demografi. Berdasarkan pada Ecological Perspective (Perspektif Lingkungan) geografi merupakan salah satu faktor yang dapat mengakibatkan perang. Seperti halnya kasus-kasus yang terjadi di kawasan lain, asia selatan juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi dengan apa yang disebut sebagai “Non-traditional Security Threats” atau kondisi dimana wilayah tersebut mengalami krisis karena adanya ancaman keamanan non-tradisional, seperti pemberontakan etnis dan etno-nasionalistis yang merusak kemampuan negara dalam menangani konflik.10 Berdasarkan prespektif pemikiran diatas, dampak teritori dan geografi terhadap konflik suatu negara terbagi menjadi dua kategori : Teritori sebagai faktor yang memudahkan keadaan untuk berperang dan Teritori sebagai sumber atau subjek dari perang. A. Teritori Sebagai Faktor yang Memudahkan Keadaan untuk Berperang Mempertimbangkan penyebaran perang di berbagai wilayah regional banyak bukti yang meperlihatkan bahwa di beberapa wilayah memiliki intensitas konflik yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah yang lain. dari penyelidikan tentang teritori sebagai faktor yang memudahkan keadaan untuk berperang, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. Yang pertama, geografi merupakan satu dari banyak faktor yang menciptakan resiko dan kesempatan yang dihadapi oleh setiap negara. Berbagi perbatasan dengan negara lain meningkatkan kesempatan berinteraksi dengan negara tersebut dan mungkin juga meningkatkan kemungkinan untuk bermusuhan satu sama lain. kedekatan geografi dengan
10
Ibid hlm. 4
wilayah konflik juga memungkinkan suatu negara untuk ingin dan mau terlibat perang. Yang kedua, untuk banyak alasan yang sama, berbagi perbatasan dan kedekatan geografi merupakan faktor penting dalam terjadinya suatu konflik. Kemungkinan terjadi perang di suatu negara atau wilayah regional semakin tinggi apabila ada dari negara tetangga mereka yang terlibat dalam perang.11 Teritori menyebabkan permulaan dan penyebaran suatu konflik, tetapi yang kesimpulan yang ketiga adalah bahwa dampak tersebut tidak penting terhadap pecahnya suatu perang. Ada beberapa kemungkinan lain yang menciptakan keadaan konflik yang mungkin mempertinggi, menggantikan, atau mempunyai efek lain dari geografi. Salah satu kemungkinannya adalah sekutu meningkat (dengan menyeret sekutu untuk terlibat kedalam konflik) atau berkurang (melalui penolakan) penyebaran suatu konflik sama rata diantara negara yang dekat secara geografi. Lebih lanjut Schrodt, Siverson, dan Starr melihat bahwa dampak atau efek dari perbatasan negara dan sekutu dalam penyebaran suatu konflik. Mereka menemukan bahwa kedua factor tersebut memainkan peranan penting dalam penyebaran suatu konflik. Selain banyak faktor yang memiliki kesamaan, ada beberapa perbedaan diantara wilayah regional dan periode zaman.12 B. Teritori Sebagai Sumber atau Subjek Perang Selain sebagai faktor yang memudahkan keadaan untuk berperang, teritori juga bisa menjadi sumber konflik dimana negara harus bergelut untuk bisa mengontrolnya. Konflik territorial mungkin dihasilkan dari kepentingan atau kebutuhan akan ekonomi, politik, sejarah dan alasan etnis atau kesukuan. 11 12
Goertz, Gery and Diehl, Paul F, Op Cit hlm. 11 Ibid
Tinjauan terdahulu memberikan penjelasan dalam meneliti butir ini. Sebagian penelitian tidak melihat ke sumber atau dasar dari perselisihan ini (yaitu teritori), tapi hanya fokus pada bagaimana teritori dan karakteristiknya saja (contoh, kedekatannya) yang mempengaruhi keputusan untuk berperang.13 Permasalahan teritori inilah yang menjadi salah satu faktor suatu negara terlibat dalam konflik baik konflik internal maupun konflik antar negara. Kecenderungan suatu negara terlibat konflik atau perang akan jauh lebih besar apabila wilayah teritori yang dikuasai memiliki potensi ekonomi maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Begitu pula halnya yang terjadi di Sri Lanka dimana teritori yang dimiliki oleh negara tersebut terbagi-bagi atau dikotak-kotakan berdasarkan etnisitas penduduk maupun kepercayaan yang dianutnya. Tak pelak konflik internal pun akhirnya pecah di negara itu, dan berlangsung selama beberapa tahun serta akhirnya mengakibatkan efek domino yang menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat yang tinggal di wilayah konflik.Dampak dari konflik yang semakin mendalam adalah pemberdayaan sumber daya manusia (human task force) sebagai tentara rakyat yang terlatih, karena keterbatasannya beberapa rezim maupun kelompok yang sedang bertikai (pemberontak atau kaum separatis) menggunaan tentara anak sebagai salah satu solusinya. Anak-anak digunakan atau direkrut sebagai tentara karena mereka lebih mudah untuk direkrut dan dipengaruhi. Mereka tidak menghabiskan banyak makanan, tidak memerlukan bayaran yang tinggi dan memiliki pemahaman yang sederhana tentang suatu bahaya, jadi akan lebih mudah
13
Ibid hlm. 13
untuk mereka dikirim ke medan peperangan. Lebih jauh lagi anak-anak merupakan komposisi demografi terbanyak di negara-negara yang terlibat dalam konflik, karenanya mereka menjadi sangat potensial untuk direkrut sebagai tentara. oleh sebab ukuran mereka, anak-anak sering sekali dikirim ke medan perang sebagai pengintai maupun umpan, atau dikirim dibarisan depan untuk menarik serangan dari lawan perang.14 Selama lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dua juta anak-anak telah terbunuh didalam konflik. Lebih dari satu juta menjadi yatim piatu, lebih dari enam juta mengalami luka bahkan cacat permanen dan hampir sepuluh jutanya mengalami trauma psikis akibat perang. Perang mempengaruhi semua aspek dari perkembangan anak. Dan efek yang diakibatkannya antara lain terluka maupun terbunuh, terusir dari rumah dan komunitas mereka, menjadi pengungsi, menjadi yatim piatu atau terpisah dari orang tua serta keluarga, menjadi korban kekerasan sexual atau bahkan tereksploitasi.15 2. Talk Theory (Child Soldier) By P.W Singer Lingkungan dalam konflik bersenjata selama beberapa dekade telah mengalami banyak sekali perubahan. Dimana pada saat abad ke 20 telah usai, peranan anak-anak di medan perang telah banyak berubah di berbagai belahan dunia. Ketika kita memasuki abad ke-21, terdapat tentara anak yang ikut dalam pertempuran hampir diseluruh benua kecuali Australia dan Antartika. Mereka telah menjadi bagian dari baik yang berkaitan dengan unit kerja militer maupun non militer seperti kelompok terorisme dan lain sebagainya. Mereka berperan di berbagai hal : sebagai pelayan, mata-mata, pengangkut barang, tameng hidup maupun prajurit. Secara singkat, 14
http://www.warchild.org.uk/issues/child-soldiersdiakses pada 20 Juni 2014 pkl 11.16 WIB http://www.child-soldier.org/diakses pada 20 Juni 2014 pkl 11.24 WIB
15
keikutsertaan anak-anak dalam konflik bersenjata sangat banyak dan besar jumlahnya di berbagai belahan dunia, fenomena yang jauh lebih besar daripada perhatian yang menyorot akan hal tersebut.16 Dunia yang kita kenal sekarang, dari negara yang kita tinggali sampai kepada teknologi yang kita gunakan sehari-hari, terbentuk dari pertarungan dan kekerasan. Akan tetapi walaupun didalam dunia yang penuh kekerasan, aturan akan tindakan juga berkembang. Diantara yang pertama adalah pembedaan antara pejuang dan penduduk sipil. Bahkan didalam masyarakat primitif sekalipun, perbedaan telah dibuat antara mereka yang memilih untuk mengambil resiko terlibat dalam pekerjaan sebagai
petarung dan mereka yang memilih untuk berada di luar area
pertarungan dan mendapatkan perlindungan khusus yang biasanya diberikan kepada kelompok orang-orang tua, wanita dan yang paling utama, anak.17 A Causes : Behind The Child Soldier Phenomenon (Alasan : dibalik fenomena Tentara Anak) Rekrutmen dan penggunaan tentara anak merupakan salah satu kejahatan yang paling mencolok didalam norma-norma internasional. Namun demikian, hal tersebut kerap kali di biarkan dan tidak dihiraukan, dan mengakibatkan penggunaan tentara anak tersebut semakin banyak diberbagai negara. Karenanya kepada mereka angkatan bersenjata profesional yang akan berhadapan dengan tentara anak, sangat penting untuk mengerti dinamika dari fenomena tersebut. Rekrutmen dan penggunaan tentara anak merupakan pilihan yang sistematis dan hati-hati.
16
Singer, Petter W, Coution:Childern at war, New York : Parameter, 2001 hlm. 158 Ibid
17
Alasan dibalik pelanggaran norma internasional ini merupakan hal yang sangat komplek, tetapi melibatkan tiga faktor kritis yang membentuk rentetan secara kebetulan : 1. Pemutusan generasi yang diakibatkan oleh globalisasi, perang dan penyakit yang kemudian menciptakan potensi perekrutan anak sebagai tentara 2. Peningkatan
efisiensi
didalam
angkatan
bersenjata
yang
mengakibatkan; 3. Kecenderungan penggunaan anak sebagai solusi mudah untuk mengurangi biaya operasional angkatan bersenjata.18 3. Hukum Pidana Internasional dan ICC(International Crime Court) Aspek pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter serta prosedur dan mekanisme penegakannya erat terkait dengan hukum pidana internasional. Tentu saja tidak semua pelanggaran hak asasi manusia dapat dimasukkan dalam lingkup hukum pidana internasional. Sebaliknya semua pelanggaran hukum humaniter termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional. Hanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu saja yang termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusian yang keduanya dikategorikan sebagai “gross violation of human rights” atau pelanggaran berat hak asasi manusia.19 ICC (International Crime Court or Rome Statue) adalah sebuah pengadilan independen permanen yang bertujuan untuk menuntut individu yang melakukan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, yaitu seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC(International Crime 18
Ibid hlm.160 Rome Statute of the International Criminal Court hlm 1
19
Court)didirikan pada tanggal 1 Juli 2002 dan bermarkas di kota Den Haag, Belanda. ICC(International Crime Court) adalah pengadilan terakhir dimana ICC(International Crime Court) tidak akan bertindak jika kasus telah atau sedang diselidiki atau dituntut oleh sistem peradilan nasional kecuali proses nasional tersebut tidak asli, misalnya jika proses formal dilakukan semata-mata untuk melindungi seseorang dari tanggung jawab pidana. Jadi, salah satu tujuan didirikannya ICC(International Crime Court) adalah untuk membantu mengakhiri kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Selain itu, ICC (International Crime Court)hanya mencoba mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan yang paling parah. Dalam setiap kegiatan, ICC(International Crime Court) mengamati standar tertinggi keadilan dan proses pengadilan. Yurisdiksi dan fungsi ICC (International Crime Court)diatur oleh Statuta Roma yang merupakan hasil konferensi internasional di Roma pada Juni 1998 (diadopsi 17 Juli 1998).20 Ruang lingkup hukum pidana internasional mencakup tindak-tindak pidana yang dapat dikatakan sebagai kejahatan internasional serta proses penegakannya melalui mekanisme nasional dan internasional berikut instrumen-instrumen hukum yang berlaku untuk setiap kejahatan internasional yang dimaksud. Sekalipun bersifat internasional, dalam kenyataaannya hukum pidana internasional tidak dapat dilepaskan sama sekali dari hukum pidana nasional. Berikut perkara-perkara yang dapat diadili di ICC (International Crime Court) berdasarkan Statuta Roma : Pasal 5 Statuta Roma memberikan yurisdiksi ICC atas empat kelompok kejahatan, yang merujuk sebagai "kejahatan yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan", yaitu kejahatan genosida,
20
http://2012/10/mengenal-lebih-dekat-international.html diakses pada 20 Juni 2014 pkl. 12.32 WIB
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan dari kejahatan agresi. Statuta mendefinisikan masing-masing kejahatan kecuali agresi dikarenakan dalam agresi statuta menyatakan bahwa pengadilan tidak akan melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan agresi sampai saat pihak menyatakan setuju pada definisi kejahatan dan berangkat dari kondisi di mana kejahatan agresi mungkin dapat dituntut.21 Apabila kita menilik pada kasus yang terjadi di Sri Lanka, sampai sekarang ICC (International Crime Court) tidak dapat menindak lebih lanjut para pelaku atau pihak-pihak yang melakukan perekrutan tentara anak, hal ini latar belakangi selain karena Sri Lanka belum meratifikasi perjanjian tersebut juga karena kelompok Macan Tamil sebagai pelaku perekrutan anak sebagai tentara, masih dianggap sebagai kaum separatis atau pemberontak di Sri Lanka dan dimata internasional alhasil para pelaku tersebut tidak dapat diseret ke pengadilan internasional karena tidak termasuk kedalam kelompok kejahatan yang dapat ditangani oleh ICC (International Crime Court). 4. Definisi Tentara Anak Pasal 1 konvensi hak-hak anak menyatakan bahwa “seorang anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali di bawah undang-undang yang berlaku bagi anak, usia dewasa dicapai lebih awal”.
22
berdasarkan penjelasan yang diberikan
oleh UNICEF tentara anak adalah seorang anak baik laki-laki maupun perempuan yang berusia di bawah 18 tahun, yang terlibat dalam berbagai macam kelompok bersenjata maupun angkatan bersenjata baik regular maupun ireguler di semua kapasitas, termasuk dan tidak terbatas pada: Tukang masak, tukang angkut barang, pembawa pesan dan siapapun yang bersama mereka di kelompok. Hal tersebut juga termasuk yaitu perekrutan baik anak 21 22
WIB
Rome Statute of the International Criminal Court hlm 3 http://www.unicef.org/indonesia/id/Fa_Isi_DPR.pdf di akses pada 18 September 2014 pkl. 15.53
laki-laki maupun anak perempuan yang di paksa untuk tujuan sexual dan atau dipaksa dalam suatu pernikahan. Definisi tersebut diatas tidak hanya berlaku bagi anak-anak yang sedang membawa atau pernah membawa senjata. (definisi tersebut berdasarkan pada „Cape Town Principles‟ 1997)23 Definisi di atas menegaskan dua hal yaitu mengenai batasan umur dan peran. Batasan umur yang ditetapkan oleh UNICEF adalah 18 tahun. Hal ini menjawab banyak perdebatan di antara penstudi mengenai defenisi anak. Bagi UNICEF setiap orang yang berada di bawah usia 18 tahun adalah anak-anak, dan tidak ada alasan yang dapat melegalkan keterlibatan mereka di dalam tentara anak. Yang kedua adalah mengenai peran. Defenisi ini menunjukkan bahwa seseorang dapat dikatakan tentara anak bukan hanya mereka yang memegang senjata dan bertempur di medan perang. Defenisi ini lebih luas mencakup semua anak-anak yang berada di lingkungan militer dengan peran apapun.
E. Metode Penelitian Ada beberapa bagian dalam metode penilitian ini, yaitu jenis penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif dimana penelitian yang dilakukan menggunakan data berupa kata-kata maupun gambar dan bukan angka. Penulis juga lebih mengutamakan kualitas analisa dan bukan data statistika, dimana data yang telah terkumpul kemudian diolah menggunakan teori yang telah disebutkan sebelumnya.
23
www.unicef.org/emerg/files/childsoldiers.pdfdi akses pada 18 September 2014 pkl.16.19 WIB
2. Teknik Pengumpulan Data Pengambilan data dalam penelitian ini melalui studi pustaka. Sehingga data yang diperoleh adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Sumber data yang digunakan adalah buku, jurnal, artikel, website, blog mengenai teori Territorial Change and International Conflict atau teori Perubahan Teritori dan Konflik Internasional dan Konflik Bersenjata dan Penggunaan Tentara Anak di Sri Lanka maupun materi-materi lain yang mendukung penelitian ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan melalui studi literatur termasuk akses data melalui internet. 3. Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini analisis data dilakukan melalui interpretasi dokumen yang
terkumpul, kemudian
dianalisis
secara
deskriptif
kualitatif,
yaitu
mendeskripsikan suatu situasi atau area populasi tertentu bersifat faktual secara sistematis dan akurat. Berdasarkan data-data berupa buku-buku, artikel, dan internet. Akses internet dilakukan dengan selektif melalui alamat situs yang kredibilitasnya dapat dipercaya. Data yang telah didapatkan, kemudian akan dipilih sesuai dengan tema penelitian.Sumber tersebut dirangkai dan dianalisis berdasarkan teori Hubungan Internasional demi menghasilkan luaran penelitian yang sejalan dengan tujuan disusunnya tulisan ini.
F. Sistematika Penulisan Skripsi ini diuraikan menjadi beberapa bab, adapun sistematika pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
: Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuanpenelitian, kerangka dasar teori, metode penilitian dan sistematika penulisan.
BAB II
:Gambaran umum sejarahkonflik bersenjata di Sri Lankadan LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eelam).
BAB III
: Bab ini membahas mengenai alasan mengapa dalam konflik bersenjata di Sri Lanka LTTE menggunakan tentara anak.
BAB IV
:Bagian terakhir dari tulisan ini, terdiri dari kesimpulan dan saran dari masalah yang telah diteliti.