Bahtera pemilukada Konflik tak berujung
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
1
Syahrir Ibnu, S.Ag, M.Si.
2
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Bahtera pemilukada Konflik tak berujung
Editor : Drs. Abdul Salam Harianto, S. M.Pd.
Bahtera pemilukada Konflik tak berujung Copyright@2013 Syahriribnu Hak Cipta dilindungi Undang-undang, All right reserved. Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
3
Editor : Drs. Abdul Salam Harianto, M.Pd.
Desain Cover Setting
: Pustaka Haramain : Pustaka Haramain
Penerbit
: LSQ Makassar
Edisi Pertama : Juni 2012 Edisi Kedua : Juli 2013 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Syahir Ibnu Bahtera Pemilukada Konflik Tak Berujung / Penulis : Syahrir Ibnu, S.Ag, M.Si. / Editor : Drs. Abdul Salam H, M.Pd. Makassar : LSQ, 2013.
ISBN : 978-602-17745-1-9
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit.
SEKAPUR SIRIH 4
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Penguasa Alam Semesta Yang maha Luas Pengetahuan-Nya,yang dengan bimbingann-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ini terdapat berbagai kendala tehnis maupun non tehnis yang dihadapi, tapi berkat pertolongan Allah SWT serta bantuan moril dan materil dari berbagai pihak, hingga karya ini bisa diselesaikan. Karya ini tidak mungkin terwujud tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala rendah hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada: Bapak Prof. Dr. Idrus A. Paturusi selaku Rektor Unhas, Bapak Prof. Dr. A. Razak Thaha selaku Direktur Program Pascasarjana Unhas, Ibu Prof. Dr Maria E Pandu, MA selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pascasarjana Unhas. Bapak H.Rivai Umar, SE. MSi dan Dekan FKIP Universitas Khairun Ternate Bpk Drs. Ahmad Kabir, MPd. Bapak Dr. Syaifullah Cangara, M.Si. dan Bapak Dr.H.Tatjhong Mappawata, MA. Bapak Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, SU, Bapak Prof.Drs.H. A.R, Hafiedz, MS dan Bapak Dr. H. M. Darwis, MA, DPS. Pemerintah Daerah Maluku Utara, khususnya Pemerintah kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat yang telah bersedia membantu untuk memperoleh data-data yang diperlukan Bapak Walikota Ternate Drs.H.Syamsir Andili, sdr, Rahmi Husain, Sdr. Muhlis Tapi-tapi dan Bpk H. Zainuddin Husain sebagai ketua dan anggota Eks KPUD Maluku Utara, Mulyadi Tutupoho, Anggota KPUD Maluku Utara, Pimpinan redaksi Majalah Genta Maluku Utara sdr Sofyan Daud, SH dan teman-teman media di Ternate Pos, Malut pos serta adik Ikhsan Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
5
Baharuddin yang banyak membantu dalam penyempurnaan data. Sembah sujud dan Hormat penulis kepada almarhum Ayahanda H. Ibnu Mas’ud dan Ibunda Hj. Nursia yang dengan penuh kasih serta saudaraku Mahfud yang senantiasa mendukung, memotivasi dan mendoakan kepada penulis dalam menempuh pendidikan selama di Makassar. Istri saya tercinta Rusda, SP dan anak-anakku terkasih Ghozul ‘Azzam Abdurrahman, Alwi Abdul Haq dan Athirah Rizki Salsabilah yang selama ini memberi dukungan, pengertian dan doa yang tak ada henti-hentinya serta menjadi motivasi utama penulis selama menempuh studi di Makassar. Kepada Pengurus HMI cab. Ternate, Pengurus Badko HMI Maluku, Maluku Utara, beberapa LSM diantaranya SAMURAI (Solidaritas Aksi Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia), LSM DODOKU, FORSHAL (Pusat Studi Halmahera), NORMA (Norht Molucas Advocation), Merah Putih (kamps 320 Cam), GEMPAR Malut, LPKD Gerakan Pemerhati Sosial Maluku Utara, Lemb Pers Mahasiswa Sipil Malut, Forum Komunikasi Mahasiswa Sipil Indonesia Timur, BEM Fakultas Tehnik, BEM Fakultas Sastra, BEM Fakultas Hukum dan BEM FKIP Universitas Khairun Ternate yang telah memberikan bantuannya selama di lapangan. Kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan bagi rampungnya tesis ini, semoga segala amal baik yang diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT, Amin Akhirnya, penulis menyadari bahwa apapun keberhasilan yang diperoleh tidak lepas dari ridho dan petunjuk Allah SWT yang mengetahui segalanya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Makassar, 17 Juli 2012 6
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
SYAHRIR IBNU
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
7
DARI EDITOR
8
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Pemilukada di Indonesia melahirkan berbagai fenomena baik yang positif maupun negatif. Pemilukada menjadi sebuah renungan bagi semua elemen anak bangsa. Apakah Pemilukada sebagai rahmat buah dari reformasi atau justru Pemilukada sebagai satu bencana moderen yang terjadi di tanah air? Salah satu masalah yang kerap terjadi dalam Pemilukada adalah konflik horizontal antar masyarakat pendukung pasangan calon. Internasional Crisis Group (ICG) mencatat sekitar 10 persen dari 200 pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan. Kondisi ini memicu persepsi dalam masyarakat bahwa Pemilukada adalah salah satu sumber konflik dalam masyarakat. Sebab, tak jarang ada ekspos yang luar biasa dari media massa bila terjadi konflik utamanya kekerasan dalam Pemilukada. Padahal, tidak semua Pemilukada berujung pada konflik kekerasan. Hanya 10 persen saja, selebihnya 90 persen berjalan dengan aman dan terkendali. Jika dianatomi, beberapa sumber konflik horizontal yang berujung pada tindak kekerasan dalam Pemilukada disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya rasa ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika gugur dalam tahap pencalonan. Yang kedua dikarenakan rasa tidak puas pasangan calon terhadap hasil penghitungan Pemilukada. Kejadian ini pernah terjadi dalah Pemilukada di Tana Toraja Sulawesi Selatan Tahun 2010. Dalam berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang realistik dan yang tidak realistik. Konflik yang realistis "berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik yang tidak realistis adalah "konflik yang bukan berasal dari Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
9
tujuan-tujuan saingan yang antagonistis tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Jelas mengacu pada pandangan Coser di atas memang konflik dalam Pemilukada adalah konflik yang realistis dan besar kemungkinan terjadi sebab Pemilukada sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk konflik. Buku ini membahas persoalan konflik sosial yang terjadi pasca pelaksanaan pemilukada di Indonesia. Sebuah kajian sosial yang patut dijadikan pembelajaran bagi semua kalangan, terutama para pengambil kebijakan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan politisi sehingga konflik sosial yang mengiringi pelaksanaan pemilukada bisa diredam dan diselesaikan dengan baik.
Makassar, 16 Juli 2013 Drs. Abdul Salam Harianto, M.Pd.
10
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
DAFTAR ISI SEKAPUR SIRIH _ KATA PENGANTAR PENERBIT _ SAMBUTAN _ KONFLIK SOSIAL PEMILUKADA DI INDONESIA _ Demokrasi dan Konflik _ Contoh-contoh Konflik Pemilukada _ GAMBARAN UMUM PROVINSI MALUKU UTARA _ 1. Keadaan Wilayah Geografis dan Administratif _ 2. Sejarah singkat _ 3. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi _ 4. Penyelenggaraan Pemilukada _ SEJARAH KONFLIK DI PROVINSI MALUKU _ Kronologis Konflik Di Zaman Portugis (Pra Kemerdekaan) _ Kronologis konflik Tahun 1999 – 2004 dan Dampak Sosialnya _ SUMBER-SUMBER KONFLIK _ Perseteruan antara Ternate dan Tidore _ Ketegangan Masalah Agama _ Perebutan Sumber Daya Alam _ Persaingan antar Kelompok (Ingroup dan Outgroup) _
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
11
KONFLIK SOSIAL DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI PROVINSI MALUKU UTARA _ a. Kondisi psikologis masyarakat menjelang Pemilukada _ b. Konflik selama penyelenggaraan Pemilukada _ DAMPAK SOSIAL KONFLIK PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI PROVINSI MALUKU UTARA _ Dampak sosial akibat Konflik Pra Pemilukada _ DAMPAK SOSIAL DITINJAU DARI KONFLIK HORISONTAL-VERTIKAL (INGROUP DAN OUTGROUP) PEMILUKADA DI PROVINSI MALUKU UTARA _ 1. Dampak Sosial dari Perspektif Konflik INGROUP _ 2. Dampak Sosial dari Perspektif Konflik OUTGROUP _ PERANAN ELIT POLITIK DAN ELIT MASYARAKAT DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK SOSIAL DI PROVINSI MALUKU UTARA _ Dampak sosial dari Perspektif Konflik INGROUP _ 1. Peranan Elit Politik _ 2. Peranan Elit Non Politik/ Elit Masyarakat _ PEMILUKADA MALUKU UTARA 2013 HARAPAN BARU BAGI MASYARAKAT _ Kedewasaan Berpolitik _ DAFTAR PUSTAKA _ TENTANG PENULIS _ TENTANG EDITOR _ 12
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
KONFLIK SOSIAL PEMILUKADA DI INDONESIA
Satu dekade terakhir, wajah Indonesia berubah menjadi arena konflik multidimensional. Dari beragam konflik yang timbul, salah satunya yang paling menonjol adalah konflik sosial politik. Berbagai kalangan pun menyayangkan merebaknya konflik sosial politik itu terjadi pada saat kran demokrasi terbuka lebar. Celakanya lagi, konflik itu terjadi pada hajatan pesta demokrasi memilih pemimpin dimana hak-hak menentukan pilihan dan mengemukakan pendapat secara bebas dijamin. Berlakunya Undang-Undang No.12 Tahun 2003 yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, dinamika masyarakat Indonesia pun dalam partisipasi politik kian memperlihatkan intensitasnya yang dinamis. Model Pemilukada secara langsung semakin banyak memotivasi berbagai elemen dan lapisan masyarakat untuk terlibat langsung dalam pesta demokrasi itu. Sejumlah komponen masyarakat semakin antusias berpartisipasi dan berperan serta menyalurkan aspirasi-aspirasi politik dan kepentingannya. Penyelenggaraan Pemilukada secara langsung di sejumlah daerah, yang dimulai sejak berlakunya UU Pemilukada Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
13
tersebut, secara nyata telah mendorong terjadinya perubahan sosial baik struktural maupun fungsional dalam tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia. Proses menuju transformasi sosial melalui penyelenggaraan Pemilukada langsung seakan-akan harus melalui proses konflik disfung-sional ataupun fungsional. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi tidak jarang diiringi dengan situasi konflik yang berdampak luas terhadap kehidupan sosial masyarakat. Demokrasi dan Konflik Konflik berasal dari kata kerja Latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dalam proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah hadir dari basis sosial yang lebih kompleks, dibanding hanya sekedar suatu kompetisi dalam proses demokrasi. Pada sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh sebagian orang sebagai sarana untuk mentransformasikan konflik. Jika dulu orang saling membunuh untuk menjadi raja, kini mereka bertarung melalui bilik suara. Jika dulu orang merangkul senjata untuk membuat orang lain tunduk, sekarang mereka harus berkampanye dengan memasang spanduk atau leafleat di mana-mana agar memperoleh dukungan suara menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya mentransformasikan konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa (coercive) ke persuasif. Meski demikian, demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah 14
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang bekerja dalam proses demokrasi. Jadi eksistensi konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja, menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence). Dalam wacana demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Pemilukada, sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebenarnya dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pemilukada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pemilukada yang dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan dan benturanbenturan fisik antar pendukung calon kepala daerah menjadi pemandangan jamak yang ditemui. Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegitimasi munculnya kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara pihakpihak berkepentingan di arena demokrasi. Dengan kata lain, desain demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan Pemilukada telah gagal sebagai cara mentransformasikan konflik. Kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pemilu yang diperkenalkan di Indonesia selama ini dibangun atas basis pondasi preferensi individu. Diumpamakan bahwa mereka yang berinteraksi adalah individu-individu otonom yang masing-masing memiliki preferensi tersendiri, one man, one vote, one voice. Asumsi ini sangat problematik jika dihadapkan pada masyarakat Indonesia, yang sebagai individu tidak pernah lepas dari kategorisasi-kategorisasi sosial yang membentuknya. SebagaiBahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
15
mana di Papua, satu suara lahir dari suatu honai (keluarga/ rumah tangga), bukan dari satu individu. Jadi suatu "jamaah/umat" akan menentukan preferensi individu-individu yang ada di dalamnya. Preferensi individu sebagian besar didasarkan atas basis sosial (socially bounded Individu). Dari pilihan basis sosialnya, individu baru kemudian akan mempertimbangkan pilihan-pilihannya terhadap kandidat yang tampil dalam pemilu. Kandidat dalam hal ini juga tidak sekedar sebagai kandidat Pemilukada tetapi juga tokoh yang dianggap mewakili basis sosial tertentu. Tidak mengherankan jika kemudian tokoh masyarakat seperti Kyai, kepala suku atau tokoh panutan lain, akan lebih menentukan preferensi-prefensi atau pilihan individu untuk bertindak secara politik. Kedua, jika melihat logika cara mengelola elektoralisme di Indonesia, maka yang berlaku adalah logika "winner take all", “ yang lain tidak akan dapat". Dengan kata lain, logika yang terbentuk adalah demokrasi dengan desain mediteranisme yang pada prinsipnya "siapa yang menang, maka dia yang akan mendapatkan segalanya", sementara bagi yang kalah harus menunggu lima tahun lagi. Logika winner take all menciptakan dominasi kekuasaan, sebab konsekuensi dari kemenangan kepala daerah dari komunitas tertentu akan menciptakan "gerbong" birokrasi atas dasar basis sosial di lingkup pemerintahan daerah. Posisi-posisi birokrasi strategis akan dipegang oleh orang-orang yang berasal dari basis sosial yang sama. Sebaliknya, orang-orang (pejabat) yang berasal dari basis sosial berbeda akan tersingkir pada posisi pinggiran, yang bahkan sama sekali tidak diperhitungkan. Posisi yang dulunya merupakan posisi "mata air" berubah pada posisi "air mata" disebabkan perbedaan etnis atau basis sosial lainnya. Logika winner take all, tidak hanya menjelaskan tentang adanya dominasi elit. Lebih jauh dari itu, kemenangan kandidat dalam Pemilukada akan menentukan nasib satu kampung, etnis atau komunitas tertentu. Komunitas yang terwakili akan mampu 16
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
bertahan karena adanya jaminan sumberdaya publik yang mereka dapatkan. Sementara bagi komunitas yang lain, nasibnya sangat besar kemungkinan akan terabaikan. Kepala daerah terpilih akan memprioritaskan penyaluran bantuan sosial atau alokasi dana sosial ke komunitas tertentu yang merepresentasikannya. Akibatnya, kesejahteraan suatu entitas atau komunitas pendukung Kepala daerah terpilih akan terjamin dibanding komunitas lainnya. Begitu juga jajaran birokrasi yang telah didominasi oleh komunitas pendukung kepala daerah, akan melicinkan jalan memperoleh kesejahteraan bagi komunitasnya. Kesadaran semacam inilah yang nampaknya menjadi landasan masyarakat dalam melihat Pemilukada, yang kemudian mendorong mereka berani mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan eksistensi entitasnya, demi eksistensi dirinya sendiri. Pemilukada yang bekerja dengan logika socially bounded individu dan winner take all memunculkan persoalan konflik yang cukup rumit. Kompleksitas salah satunya berakar pada karakter masyarakat Indonesia sendiri. Struktur sosial yang terfragmentasi dimana masing-masing kelompok memiliki basis kuat, nampak tidak kompatibel dengan logika Pemilukada yang dibangun pemerintah. Dilihat dari struktur masyarakat plural seperti itu, Pemilukada tidak bisa lagi dilihat hanya sekedar persoalan rekruitmen kepala daerah, tetapi lebih kompleks dari itu, Pemilukada menyangkut persoalan "hidup mati" sebuah komunitas. Dominannya jalur aspirasi melalui basis sosial memang tidak dapat dilepaskan dari kurangnya mekanisme pelibatan publik luas dalam pengambilkan keputusan. Hampir bisa dikatakan bahwa iklim demokrasi di Indonesia pasca otonomi tidak mengalami perubahan yang berarti bagi hadirnya ruang publik. Tidak ada mekanisme efektif apapun yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan. Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang notabene sebagai ajang Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
17
partisipasi masyarakat pun hanya menjadi suatu proses ritual demokrasi belaka. Birokrasi seolah menganggap masyarakat tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Dalih ini memberi otoritas bagi birokrasi sebagai pihak yang dianggap paling tahu dalam menentukan alokasi sumberdaya. Pada sisi yang lain, mekanisme demokrasi sebagaimana sebelumnya dipaparkan cenderung menjadikan masyarakat bersikap "pra bayar". Masyarakat bukannya lebih memilih menggunakan momentum Pemilukada untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya secara ideologis, mereka justru menjadikan Pemilukada sebagai bagian dari sumber pendapatan uang tunai. Daripada mengaharap janji-janji Pemilu yang sudah sering tidak ditepati, masyarakat lebih memilih memperoleh uang tunai di awal sebelum menentukan pilihan. Mereka nampak telah skeptis dan berpikir bahwa akan lebih sulit mendapatkan kompensasi apapun dari pemenang Pemilukada setelah hingar bingar berlalu. Masyarakat seakan tahu: lebih baik memilih mengambil keuntungan di awal karena mereka tahu setelah Pemilukada, mereka akan ditinggalkan. Jika demikian, maka persoalan konflik Pemilukada bukan semata-mata karena adanya provokator atau adanya mekanisme dan regulasi yang tidak tepat. Tetapi konflik lahir sebagai dampak logika Pemilukada yang bersandar pada basis sosial amat kuat. Selain yang dijelaskan diatas, rawannya konflik dan kekerasan di alam demokrasi Indonesia disebabkan adanya sistem multipartai yang sesungguhnya telah menggambarkan perbedaan kepentingan itu sendiri. Secara sederhana, perbedaan kepentingan memberi kontribusi terhadap merapuhnya perdamaian sosial. Hal ini menjadi kenyataan pada saat kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik kepentingan menggunakan strategi contentious dalam prosesnya. Strategi contentious ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang agresif, serta tidak memedulikan kelompok lain. Pada konflik 18
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
yang diciptakan oleh karakter contentious adalah zero-sum game, menang untuk kelompok sendiri dan ati untuk lawan. Kekerasan yang dilahirkan dari pola konflik inipun, dalam istilah Galtung (1997) menyebababkan absennya perdamaian negatif dan positif sekaligus, artinya ancaman kekerasan dalam bentuk aksi kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial adalah ancaman nyata. Seandainya 34 parpol memiliki karakter kontentous, ancaman lahirnya kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial bukanlah hal yang absurd dalam negara demokrasi Indonesia. Sejarah pemilu di Indonesia sendiri selalu tidak lepas dari pertunjukan hard power, dan akibatnya aksi kekerasan antar pendukung partai politik tak terhindar. Pemilu daerah yang telah terlaksana di berbagai daerahpun tidak lepas dari fenomena kekerasan antar massa parpol akibat pertunjukan hard power ini. Contoh-contoh Konflik Pemilukada Terlepas dari suksesnya Pemilukada di beberapa daerah, banyak konflik yang pernah terjadi saat maupun pasca Pemilukada khususnya konflik horizontal antar masyarakat pendukung pasangan calon. Internasional Crisis Group (ICG) mencatat sekitar 10 persen dari 200 pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan. Seperti di Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Toli-toli di Sulawesi Tengah. ICG menyebutkan bahwa kekerasan dalam Pemilukada antara lain dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara Pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Selain di beberapa daearah tersebut, konflik juga pernah terjadi di Maluku Utara yang telah banyak menelan korban dan mengakibatkan kerugian harta benda yang begitu besar.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
19
Jika dianatomi, beberapa sumber konflik horizontal yang berujung pada tindak kekerasan dalam Pemilukada disebabkan beberapa hal diantaranya : 1. Adanya rasa ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika gugur dalam tahap pencalonan. Kejadian ini terjadi pada Pemilukada Kabupaten Mojokerto Tahun 2010. Selain Mojokerto, kekerasan yang dilakukan pendukung pasangan calon akibat gugur dalam tahap pencalonan juga terjadi dalam Pemilukada di Kabupaten Puncak Provinsi Papua yang menewaskan sekitar 19 orang. Konflik terjadi akibat KPU setempat menolak salah satu pasangan calon yang diajukan oleh Partai Gerindra karena partai tersebut sebelumnya sudah mendaftarkan pasangan calon yang lain. Akibatnya terjadi dualisme dukungan yang diberikan oleh Partai Gerindra kepada dua pasangan calon yang berbeda. 2. Adanya rasa tidak puas pasangan calon terhadap hasil penghitungan Pemilukada. Tahapan pendaftaran pemilih yang amburadul inilah yang mengakibatkan konflik pada pemungutan dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa Pemilukada memang banyak diawali oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman Pemilukada selama ini menunjukan bahwa ketika pemutahiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari H. Karena pendataan pemilih yang kurang valid, pada saat penetapan pemenang biasanya akan terjadi kekisruhan. Fenomena yang sering muncul adalah pihak yang kalah apalagi mengalami kekalahan 20
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
dengan angka tipis selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapatkan hak pilihnya biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Selain itu, Pemicu lain yang biasanya memunculkan konflik dalam Pemilukada adalah tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil Pemilukada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil Pemilukada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca Pemilukada. Seperti misalnya yang terjadi pada Pemilukada Banyuwangi 2005 di mana pihak DPRD bersikukuh menolak penetapan Bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukung oleh banyak partai yang secara politik memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan tersebut berujung pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislatif pasca Pemilukada. Kasus Maluku Utara, misalnya, pesta demokrasi yang diselenggarakan oleh KPUD Maluku Utara pada 03 November 2007 bermaksud untuk memilih calon pemimpin daerah (Gubernur) yang baru memimpin daerah itu selama 5 tahun ke depan (yakni 2008–2012). Dalam perkembangannya, pra dan pasca penetapan kelima pasangan kandidat tersebut, sejumlah konflik secara nyata muncul ke permukaan. Performansi konflik yang mengemuka seperti mobilisasi massa pendukung kandidat tertentu menentang keputusan KPUD yang dinilai tidak adil karena menolak pencalonan kandidat yang bersangkutan sementara disisi lain KPUD juga tetap bertahan pada keputusannya bahkan melakukan perlawanan balik. Pasca pemungutan suara, konflik semakin meluas setelah KPUD menetapkan salah salah satu pasangan calon atau kandidat
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
21
sebagai peraih suara terbanyak dan sekaligus dinyatakan sebagai pemenang Pemilukada. Dalam kondisi demikian, pertentangan demi pertentangan yang berujung pada sengketa dan konflik berkepanjangan melibatkan massa pendukung dari kandidat yang dinyatakan sebagai pemenang dengan massa pendukung dari kandidat yang tidak siap menerima kekalahan atau menolak keputusan KPUD. Rangkaian atau rententan aksi-aksi pro dan kontra atas keputusan KPUD tersebut semakin meluas dan berlarut-berlarut sehingga mendorong KPU Pusat untuk mengambil alih perhitungan ulang/ rekapitulasi perhitungan suara. Keputusan KPU Pusat mengambil alih perhitungan suara tersebut, pada kenyataannya tidak menyelesaikan masalah bahkan cenderung semakin mempertajam konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal kian menampakkan wajahnya setelah adanya intervensi Mendgari dan sejumlah elit politik partai di tingkat pusat dan aksi-aksi saling mengadukan persoalan ke aparat penegak hukum (Mahkamah Agung) dan DPR pun semakin tak terhindarkan. Fenomena ini merupakan pertama kalinya terjadi dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, di mana perilaku intervensi berbagai elit politik dengan beragam intrik kepenentingan yang dimainkan semakin memperuncing masalah dan bukannya menyelesaikan masalah yang ada. Dampak dari keputusan-keputusan di tingkat elit beserta konflik kepentingannya itu, justru berimbas luas pula kepada meningkatnya eskalasi konflik di tingkat grass root atau kalangan masyarakat bawah di Maluku Utara. Aksi-aksi mobilisasi massa antara pendukung kandidat yang satu dengan yang lainnya semakin sulit dihindarkan dan tak terkendalikan; aksi-aksi saling menyerang antara satu kelompok dengan kelompok lainnya pun menjadi tontonan gratis melalui media elektronik; aksi-aksi pengrusakan dan pembakaran fasilitas 22
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
umum serta penyerangan langsung ke kediaman kandidat tertentu pun menjadi pemandangan yang tidak lazim terjadi di daerah itu. Konflik Sosial akibat Pemilukada ini juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia Dampak Pemilukada berupa konflik sosial tersebut, pada kenyataannya juga merusak tatanan sosial yang selama ini tercipta dan terbangun dengan baik, mencerai beraikan kelompok masyarakat, mencabik-cabik tatanan nilai-nilai dan norma-norma sosial dan budaya. Konflik sosial yang timbul akibat sengketa Pemilukada tersebut semakin rumit atau kompleks karena bukan hanya melibatkan elemen masyarakat melainkan juga melibatkan politisi dan pejabat tinggi negara, dan sampai saat ini belum ditemukan titik terang atas solusi alternatifnya. Fenomena dan dinamika Pemilukada Maluku Utara ini cukup kompleks atau rumit dibanding di daerah lain. Situasi konflik yang banyak mengundang perhatian itu, merupakan fenomena kasus konflik Pemilukada pertama terjadi di Indonesia mengingat berbagai pihak terlibat di dalamnya. Maka, seluruh elemen masyarakat tersebut perlu diperhatikan secara adil dan bijaksana agar dampak dan konflik sosial dapat diminimalisir. Maluku Utara merupakan sebuah contoh konkrit yang bisa dijadikan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi baik sebelum, dalam proses maupun paska pemilukada.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
23
24
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
GAMBARAN UMUM PROVINSI MALUKU UTARA
Keadaan Wilayah Geografis Dan Administratif Provinsi Maluku Utara (Malut) merupakan salah satu daerah provinsi di Kepulauan Maluku yang berstatus daerah otonom, dengan ibukota Ternate. Seiring kebijakan pemerintah memberlakukan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 sebagaimana direvisi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka secara administratif kedudukan Provinsi itu ditetapkan dengan luas wilayah ± 2.022,30 Km2 dan terdiri dari 7 kabupaten dan 2 kota. Letak geografis Provinsi Maluku Utara tergolong strategis karena berada pada jalur transportasi laut yang menghubungkan Pulau Maluku dan Papua, sehingga sangat mendukung berkembangnya daerah Provinsi ini sebagai salah satu sentra produksi dan growth center bagi daerah hinterlandnya. Secara administratif, Provinsi Malut berbatasan dengan : - Samudera Fasifik di Sebelah Utara - Laut Seram di Sebelah Selatan - Laut Halmahera di Sebelah Timur - Laut Maluku di Sebelah Utara. Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
25
Kedudukan wilayah geografis Provinsi Maluku Utara yang dikelilingi oleh laut yakni Laut Halmahera, Laut Maluku dan Laut Seram, juga mengindikasikan bahwa daerah provinsi tersebut memiliki potensi kekayaan sumber daya alam yang sangat besar dan belimpah terutama hasil-hasil laut dan perikanan. Potensi ini juga dinilai menjadi kekuatan utama bagi Pemerintah Provinsi dan masyarakat di Maluku Utara untuk mengelola potensi sumber daya alamnya bagi pengembangan berbagai sector terutama sektor industry dan perdagangan di bidang kelautan dan perikanan agar semangat kehidupan sosial terberdayakan . Provinsi Maluku Utara dengan letak geografis yang berbatasan dengan Samudra Fasifik dan dikelilingi laut, mendorong pemerintah menjadikan daerah tersebut sebagai salah wilayah perencanaan transportasi laut nasional. Provinsi Maluku Utara mempunyai luas wilayah 173.553 km², terdiri atas 33.278 km² (daratan) dan 106.977,32 km² (lautan), dengan jumlah penduduk 970.443 Jiwa. Luas Wilayah tersebut, terbagi dalam 7 kabupaten, 2 kota, 45 Kecamatan, 730 kelurahan/desa. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9.
26
Luas Wlayah di Provinsi Maluku Utara, Tahun 2009 Kabupaten Luas Wilayah (Km2) Kabupaten Halmahera Utara 24.983 Kabupaten Halmahera Tengah 18.381 Kabupaten Halmahera Timur 15.615 Kabupaten Halmahera Selatan 18.892 Kabupaten Halmahera Barat 12.755 Kabupaten Kepulauan Sula 19.632 Kabupaten Pulau Morotai 12.476 Kota Ternate 1.548 Kota Tidore 1.797 Luas Wilayah Provinsi Maluku Utara 173,553 Sumber : BPS Maluku Utara Tahun 2008
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Dari ketujuh kabupaten dan dua kota tersebut, umumnya dihubungkan oleh darat dan laut, dan telah mendorong Pemprov/instansi terkait untuk membangun prasarana dan sarana transportasii darat dan laut guna memudahkan akses transportasi bagi penduduk dalam menjalankan aktifitasnya. Luas wilayah Provinsi Maluku Utara tersebut dtetapkan berdasarkan UU No. 46 Tahun 1999 dan UU RI No. Tahun 2003. Dari luas tersebut, terdiri dari 395 pulau besar dan kecil. Pulau yang sudah berpenghuni tercatat 64 buah, sedangkan yang belum berpenghuni sekitar 331 buah. Pulau Halmahera (18.000 km²),Pulau Cibi (3.900 km²), Pulau Talabu (3.195 km²), Pulau Bacan (2.878 km²), Pulau Morotai (2.325 km²), Pulau Ternate, Pulau Makian, Pulau Kayoa,Pulau Gebe Sejarah singkat a. Sebelum penjajahan Maluku Utara pada mulanya adalah bekas wilayah empat kerajaan Islam terbesar di bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku), meliputi : 1) 2) 3) 4)
Kesultanan Bacan Kesultanan Jailolo Kesultanan Tidore Kesultanan Ternate.
b. Zaman pendudukan Jepang Pada era pendudukan Jepang, Ternate menjadi pusat kedudukan penguasa Jepang untuk wilayah Pasifik.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
27
c. Zaman kemerdekaan Pada era orde lama, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan, kedudukannya sebagai karesidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957, dan setelah itu kedudukannya di bagi ke dalam beberapa Daerah Tingkat II (kabupaten). Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta. Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRDGR merespons upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang kongkrit. Pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota administratif. Kabupaten Maluku Utara beribukota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribukota di Soa Sio, Tidore, dan Kota Administratif Ternate beribukota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku. Pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan 28
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
pembangunan di beberapa wilayah potensial dengan membentuk provinsi-provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi. Atas dasar itu, pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibukota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negera Nomor 3895). Provinsi Maluku Utara secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 sebagai pemekaran dari Provinsi Maluku dengan wilayah administrasi terdiri atas Kabupaten Maluku Utara, Kota Ternate, dan Kabupaten Maluku Utara, dan selanjutnya dibentuk lagi beberapa daerah otonom baru berdasarkan UU No. 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Sula Kepulauan, dan Kota Tidore. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Nuansa kehidupan alam yang indah dan penuh pesona di Provinsi Maluku Utara dengan kondisi geografisnya yang dikelilingi laut, memberikan karakteristik tersendiri bagi kehidupan sosial budaya dan ekonomi di daerah provinsi tersebut. Secara umum, terdapat 24 etnis atau suku dan dengan agama yang dianut masing-masing di Provinsi Maluku Utara seperti tertera pada Tabel berikut :
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
29
Jumlah etnis / suku dan agama di Provinsi Utara, Tahun 2009 No. Suku bangsa Agama 1 Suku Module 2 Suku Pagu Islam 3 Suku Ternate Protestan Katholik 4 Suku Makian Utara Buddha 5 Suku Kao 6 Suku Tidore 7 Suku Buli 8 Suku Patani 9 Suku Maba 10 Suku Sawai 11 SukuWeda 12 Suku Gne 13 Suku Makian Timur 14 Suku Kayoa 15 Suku Bacan 16 Suku Sula 17 Suku Ange 18 Siboyo 19 Kadai 20 Galela 21 Suku Tobelo 22 Suku Loloda 23 Suku Tobaru 24 Suku Sahu. Sumber : BPS Maluku Utara, Tahun 2009
Secara keseluruhan, suku-suku tersebut tersebar di sejumlah pulau-pulau dengan pola mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan, petani dan pedagang. Sejumlah penduduk dengan beragam etnis atau suku tersebut menganut agama yang berbeda-beda seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Buddha dan aliran kepercayaan lainnya.
30
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Penyelenggaraan Pemilukada Perubahan zaman terus berlangsung dari waktu ke waktu, hingga mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era Otonomi Daerah (Otoda) yang sekaligus menandai perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari azas sentralisasi dan konsentrasi kepada azas desentralisasi dan dekonsentrasi. Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan tersebut mendorong terjadinya perubahan, reformasi, reposisi dan strukturisasi sejumlah perangkat kelembagaan di daerah. Perubahan ini pula oleh berbagai kalangan terutama pemerin-tah daerah dan masyarakat dinilai memberikan angin segar dan harapan bagi peningkatan dan pemacuan kegiatan pembangu-nan serta pelayanan masyarakat oleh karena adanya hak dan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri, menggali dan mengelola potensi daerah masing-masing bahkan hak dan kewenangan untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri. Tuntutan Otoda telah terwujud, dan hampir setiap daerah pun disibukkan oleh berbagai urusan untuk melaksanakan konsensus yang tertuang dalam undang-undang Otoda itu. Di tengah kesibukan sejumlah daerah menyelenggarakan reposisi dan restrukrisasi menata kelembagaan perangkat daerahnya itu, muncul pula satu jenis kesibukan baru yaitu Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) langsung, di mana sistem pemilihan kepala daerah (Gubernur) bukan lagi melalui sistem perwakilan DPRD melainkan masyarakat setempat langsung menyalurkan hak pilihnya. Model pemilihan langsung dalam penyelenggaraan Pemilukada semakin banyak memotivasi berbagai elemen dan lapisan masyarakat untuk terlibat langsung dalam pesta demokrasi itu. Sejumlah komponen masyarakat semakin antusias berpartisipasi dan berperanserta menyalurkan aspirasiaspirasi politik dan kepentingannya.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
31
Di Provinsi Maluku Utara, pesta demokrasi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Maluku Utara pada 03 November 2007 bermaksud untuk memilih calon pemimpin daerah (Gubernur) yang baru memimpin daerah itu selama 5 tahun ke depan (yakni 2008 – 2013). Untuk tujuan itu, maka KPUD Maluku Utara membuka pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur untuk mengajukan diri dipilih oleh masyarakat di daerah itu. Dalam perkembangannya, KPUD Maluku Utara menerima 5 (lima) pasangan calon gubernur dan wakil gubernur lengkap dengan partai politik pendukungnya masing-masing.
No.
Pasangan Kandidat pada Pemilukada Maluku Utara 2007 Nama Pasangan Partai Pendukung
1
Thaib Armain dan Gani Kasuba
2
Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyu Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel
3
4 5
Mudafar Syah dan Rusdi Amin
Mayjen TNI (Purn.) Irvan Eddyson dan Atti Ahmad Sumber : KPUD Maluku Utara,2007
PKS, PBB, PBR, Demokrat, PKB, PKPB Golkar, PAN, PDK Partai Merdeka, Marhaen, PBSD, PKPPI, PPDI, PNI Koalisi Maluku Utara Bersatu 13 partai kecil PDS
Dalam perkembangannya, KPUD Maluku Utara hanya menetapkan empat pasangan (yakni nomor 1, 2, 3 dan 5) calon gubernur dan wakil gubernur yang dinilai berhak maju untuk dipilih karena dinilai memenuhi persyaratan, sedangkan pasangan calon nomor 4 yakni Mudafar Syah dan Rusdi Amin dinyatakan kurang memenuhi syarat sehingga didiskualifikasi dari bursa pencalonan.
32
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
SEJARAH KONFLIK DI PROVINSI MALUKU UTARA
Konflik sosial dalam penyelenggaraan Pemilukada di Maluku Utara sangat terkait dengan konflik-konflik sebelumnya. Konflik yang terjadi tersebut, memiliki kronologis dan sumber-sumber, antara lain : Kronologis Konflik Di Zaman Portugis (Pra Kemerdekaan) Dinamika perkembangan peradaban umat manusia terus berubah dari zaman ke zaman menurut wilayah geografis, demografis, intercultural, sosiokultural dan determinan faktor lainnya. Demikian halnya yang terjadi di Maluku pada umumnya dan Maluku Utara khususnya, perubahan-perubahan peradaban masyarakat secara terus menerus mengalami dinamika seiring dengan kompleksitas konflik yang menorehkan riwayat dan sejarah konfliknya tersendiri. Konflik di Maluku Utara adalah sebuah konflik yang punya rangkaian panjang dalam sejarah konflik di Indonesia. Dia berakar dari sejarah awal kelahiran kerajaan-kerajaan tua di Maluku Utara. Saat itu, di masa Kolano Cico atau Mashur Malamo (1257), usai era Momole, sudah ada perseteruan laten antar klan raja/penguasa, baik di internal kerajaan maupun Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
33
antar kerajaan. Bahkan Naida, jurutulis Kesultanan Ternate, yang menulis tentang mitos lahirnya raja-raja Moloku Kieraha, juga sudah mengungkap benih-benih perpecahan itu. (sebagaimana tercatat dalam P. van der Crab, “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen text beschreven door den Ternataan Naidah”, Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague, 1878). Konflik tersebut sempat reda semasa Kolano Sidang Arif Malamo menjadi Raja di Ternate (1322-1331), dan mengundang raja-raja di Maluku Utara, minus Raja Loloda, dan dalam konferensi raja-raja di Pulau Moti, mereka sepakat mengakhiri permusuhan antar sesama serta membentuk sebuah konfederasi longgar yang kemudian dikenal dengan Konfederasi Moloku Kieraha atau Persekutuan Empat Raja di Maluku. Konferensi ini kemudian dikenal dengan nama Moti Statenbond (1322). Sidang Arif Malamo, sesuai kesepakatan antar raja dalam konferensi itu, ditunjuk sebagai pemimpin konfederasi longgar atau “Kolano Ma-Dopolo”. (F.S.A. de Clerq). Konfederasi longgar tersebut, meskipun hanya berumur 72 tahun, karena kemudian dibatalkan sepihak oleh kerajaan Ternate, namun persekutuan tersebut telah meng-hasilkan sesuatu yang fundamental, ikatan kultural masyarakat Maluku Utara. Ikatan itulah yang dikemudian hari coba ditautkan lagi dengan perkawinan antar keluarga raja-raja di Maluku Utara, menjadi pengikat yang diakui semua etnik di seluruh wilayah Maluku—termasuk Ambon dan Seram. Dari sini rumusan tentang penyelesaian beragam konflik coba di atasi. Hal ini dapat dilihat dalam Francoise Valentijn (“Oud en Neew Oost Indien” S. Keijzer, Amsterdam, 1862). Sayangnya, keserakahan anak negeri, ditambah datangnya para pedagang Eropa, baik Spanyol maupun Portugis, membuat perpecahan antar kerajaan makin kuat. Di masa Hairun Jamil (1536-1570) memerintah, dia mampu mengem34
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
balikan harkat kerajaan Ternate kembali ke posisi yang disegani. Dia juga membuka dialog dan diplomasi dengan Portugis. Momen diplomatik ini kemudian dipakai oleh Gubernur Portugis Admiral de Mosquita, memerintahkan Antonio Pimentel, orang dekatnya, untuk membunuh orang yang dianggapnya penghalang dalam upaya mengembang misi, god, gospel, and glory (14 Pebruari 1570). Pembunuhan Hairun justru yang memicu Babullah Datu Syah mengobarkan apa yang diistilahkannya dengan perang suci melawan kolonialis Portugis dan sekutu-sekutu mereka, telah memunculkan benih konflik agama, ketika dia menyatukan raja-raja di Maluku Utara, dan Kolano Katarabumi, Raja Jailolo, memerangi Portugis dan penduduk yang telah dinasranikan di seantero Halmahera. Mereka diusir dari Mamuya, Galela, dan terpaksa terkurung di Benteng Nostra Senhora del Rosario, atau Benteng Gammalamo, Ternate. Pengusiran orang Portugis dari Ternate, di malam Natal, setelah terkurung selama lima tahun, dan gubernur Nuno Pereira de Ateyda, pada tanggal 24 Desember 1575, mengibarkan bendera putih di Petala Benteng Gammalamo, markas besar Portugis dan satu-satunya benteng yang belum jatuh—perang Ternate-Portugis berakhir. Portugis keluar meninggalkan Ternate, bersama-sama komunitas Nasrani lokal yang ikut bersama Portugis, tanpa senjata. Kesemuanya itu adalah benih-benih konflik yang terbaca dalam sejarah. YB Mangunwijaya, dalam novel sejarah “Ikan-ikan Hiu Ido Homa,” mendeskripsikan, betapa keserakahan raja-raja sesudah Babullah, membuat rakyat begitu menderita, dan mewariskan dendam yang diturunkan secara turun-temurun dalam bentuk pepata-pepiti kuno, yang menyimpan arti mendalam. Selain sepak terjang para raja dan kerajaan di wilayah ini dalam berebut sumberdaya ekonomi, kolonialisme selama kurang lebih 350 tahun, baik oleh Portugis, Spanyol, apa lagi Belanda, telah memporakBahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
35
porandakan bangunan sosial yang sudah terbangun kurang lebih 200 tahun itu. Lewat politik ekstirpasi, devide et impera, mereka masuk dan merubah tatanan sosial budaya, sehingga relasi-relasi sosial menjadi terganggu. (E Katoppo dalam, Nuku, kaitjil Paparangan, 1957). Pasca kemerdekaan Indonesia, semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang utuh belum berjalan baik. Konflik laten masa lalu, akibat politik pecah belah colonial, masih kuat. Pertentangan antar kelompok agama, sesuatu yang jarang terjadi di masa lalu, ternyata mulai mengemuka di masa kemerdekaan. Pemerintahan Orde Baru yang otoriter, ternyata mampu menekan potensi konflik menjadi konflik terbuka di tengah masyarakat, dengan pola-pola represif. Kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang begitu tajam, mampu diredam Negara. Tapi ternyata, pola itu tidak abadi. Ia iUtara api dalam sekam, yang nanti mencari jalan keluarnya. Reformasi pada tahun 1998 membuka sekat-sekat yang selama ini tabu. Protes atas semua ketidakadilan, ternyata turut memanaskan suhu konflik yang memang sudah laten. Semua itu meledak dalam sebuah kerusuhan berskala luas di pergantian abad XX ke abad XXI, 1999-2000 lalu. Kerusuhan di pergantian abad, telah menghancurkan seluruh bangunan perdamaian di tengah masyarakatnya. Sebuah catatan kelam dalam sejarah kemanusiaan di Maluku Utara. Seluruh bangunan pendukung perdamaian yang sebelumnya masih tersisa dan dapat meminimalisasi konflik, baik itu bangunan sosial, budaya, dan semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa, menjadi hancur berantakan. Kerusuhan dengan akar konflik yang selalu berkembang secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku Utara telah melemahkan kearifan budaya lokal. Melemahnya sosial capital, kemudian 36
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab (provokator) melalui beragam cara. Masalah yang menumpuk, baik implikasi dari konflik Maluku Utara, konflik sosial budaya, ekonomi maupun masalah yang disebabkan oleh dinamika masyarakat dalam era otonomisasi, pada dasarnya potensial memicu konflik baru di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda identitas asalnya di Maluku Utara. Realitas di atas memerlukan sebuah proses rehabilitasi sosial secara berkelanjutan, di semua sektor masyarakat. Selama hampir delapan tahun, banyak elemen perdamaian, baik itu lembaga perdamaian internasional, maupun regional telah melakukan berbagai kegiatan yang mendukung proses itu. Tugas semua elemen yang pro perdamaian di Maluku Utara, adalah mencoba mengidentifikasi isu-isu, masalah dan kebutuhan stakeholder dan masyarakat untuk pembangunan perdamaian di berbagai bidang, di berbagai tingkatan, dalam mendukung penguatan proses perencanaan yang sensitif krisis dan penciptaan perdamaian berkelanjutan. Termasuk melakukan revitalisasi Nilai-nilai Budaya untuk membangun kembali kearifan Lokal dalam membangun Perdamaian di Maluku. Karena bangunan kearifan lokal ini yang paling hancur akibat hempasan kerusuhan lalu. Dalam konteks ini, upaya kemitraan maupun pembangunan yang partisipatoris, menjadi bagian penting dari langkah membangun perdamaian. Hal ini juga sejalan dengan tanggapan Fahrudin Tukuboya, Managing Director Program Peace Througt Development pada UNDP-Bappenas di Maluku Utara. Namun demikian, terlepas dari kelemahannya, ke depan program ini mampu meminimalisir potensi konflik, sekaligus menjawab problem ketimpangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Lanjut dijelaskan, dengan membangun kerjasama dan kemitraan, dilakukan berbagai program perdamaian dengan tujuan membangun kapasitas masyarakat (Capacity building) secara Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
37
partisipatif, baik melalui kerjasama langsung maupun tidak langsung dengan stakeholder, LSM, perguruan tinggi, kelompok paguyuban, media massa, partai politik, pelaku dunia usaha dan pihak swasta maupun birokrat. Selain itu, sikap marah dan penyebab konflik itu bersumber dari hati diri masing-masing, maka perdamaian juga harus dimulai dari diri dan hati. Marilah berdamai dengan hati, demi membangun perdamaian yang berkelanjutan di bumi Maluku Utara. Kronologis konflik Tahun 1999 – 2004 dan Dampak Sosialnya Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik, terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil. Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai Negara yang multietnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obatobatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbedabeda menurut etnisnya (Mantri Karno Diharjo, 2005). John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 menunjukkan adanya perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Indonesia bagian Utara sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni, akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah. Samuel Huntington (1999) memprediksikan munculnya perbenturan antar masyarakat “di masa depan” yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of 38
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan. Salah satu konflik yang berbau SARA di Indonesia adalah konflik yang terjadi di Maluku Utara, konflik ini pertama kali terjadi Agustus 1999 yang di picu oleh pertikaian antara suku Kao yang merupakan suku asli daerah tersebut dengan suku Makian yang merupakan pendatang dari pulau Makian di daerah selatan pulau Ternate berkaitan dengan pengelolaan pertambangan emas di Kecamatan Malifut. Pada gelombang pertama jumlah korban jiwa hanya dalam hitungan puluhan, demikian juga harta benda dan rusaknya tempattempat ibadah. Konflik terus berlanjut pada bulan Oktober-November 1999. Skala kerugian harta milik yang berkenaan dengan fasilitas-fasilitas publik dan bangunan jauh melebihi kerugian yang terjadi pada bulan Agustus 1999. Pada konflik ini kurang lebih 16 Desa Suku Makian diratakan dengan tanah, sementara jumlah korban yang meninggal sekitar 100 orang dan kebanyakan dari komunitas Islam. Dalam aksi kekerasan kedua ini, ketiga Sultan yang memerintah di Maluku Utara, yakni Sultan Ternate, Sultan Tidore, dan Sultan Bacan telah mengambil peran aktif dalam meredakan keteganggan-keteganggan antara dua komunitas yang berperang. Sultan Ternate bahkan mengambil langkah kontroversial dengan membentuk kembali pasukan adat. Pasukan ini disebut Pasukan Kuning, karena mereka memakai seragam kuning, maka pasukan khusus Sultan Ternate ini dikenal sebagai pasukan kuning. Pada mulanya, pasukan kuning membantu polisi dan tentara untuk meredakan konflik di wilayah tersebut. Namun seiring berlalunya waktu, mereka secara perlahan-lahan mulai mengambil alih fungsi aparat keamanan sampai pada titik di mana mereka merupakan satuBahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
39
satunya kekuatan keamanan di kota tersebut. Mereka mulai bertindak kasar dan sewenang-wenang terhadap setiap orang yang menghalangi caranya. Tindakan sewenang-wenang dari pasukan Kuning tersebut mendapat reaksi keras dari orangorang Muslim dari Ternate Selatan. Mereka kemudian membentuk Pasukan Putih untuk melawan Pasukan Kuning. Pada akhirnya pertempuran antar kedua pasukan yang sama-sama beragama Islam inipun tidak dapat dielakkan. Konflik di Maluku Utara terjadi lagi pada tanggal 26 Desember hingga Maret 2000. Pada Periode ini konflik yang terjadi merupakan imbas dari apa yang telah terjadi di Maluku Tengah. Dalam kekerasan gelombang ketiga ini seranganserangan dilakukan secara simultan oleh kelompok Kristen terhadap desa Muslim di Gahoku, Toguliwa, Gurua, Kampung Baru, Gamsungi, Lauri, dan Popilo yang berada di Kecamatan Tobelo, serta desa Mamuya di Kecamatan Galela. Berdasarkan data yang ada, dalam kerusuhan ini korban yang meninggal tercatat kurang lebih 800 orang, dimana 200 orang diantaranya meninggal karena terbakar hidup-hidup di Masjid Baiturrachman di Desa Popilo. Konflik terjadi pula pada tanggal 19 juni 2000 di Desa Duma Kecamatan Galela. Pada konflik ini terjadi serangan dari mereka yang mengatasnamakan komunitas Islam terhadap masyarakat di Desa Duma yang mayoritas beragama Kristen. Dalam pertikaian yang tidak seimbang ini setidaknya 215 orang meninggal dan kurang lebih 500 orang dinyatakan hilang bersamaan dengan tenggelamnya kapal Nusa Bahari yang membawa masyarakat Desa Duma untuk mengungsi. Kaitannya dengan situasi konflik sosial pada komunitas masyarakat yang pluralistik dan heterogen tersebut, maka perlu ada upaya mempersatukannya. Koentjaraningrat (2007), ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan 40
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa. Ikatan primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan, sejarah dan asal-usul. Identitas dasar ini merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik. Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, kepercayaan atau keagamaan, dan bahasa/dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat destruksif. Ikatan-ikatan tersebut Geertz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat sosial yang telah ada suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari kelahiran di tengahtengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
41
Akar persoalan sumber konflik di Maluku Utara seperti halnya yang terjadi di Maluku Tengah, tidaklah tunggal. Persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta pertikaian elite politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus ”konflik agama” yang selama diyakini oleh sebagian besar masyarakat baik dalam konteks nasional maupun dalam konteks lokal. Dalam konteks lokal, setidaknya ada dua faktor penting yang mendasari konflik di wilayah ini yaitu : (1) Rivalitas elite dalam merebutkan pengelolaan sumberdaya alam dan jabatan-jabatan birokrasi serta politik, (2) Menguatnya etnosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik. Tamrin Amal Tamagola (2005) melihat sumber konflik yang terjadi di Maluku Utara (1999-2004) dari tiga gelombang pertikaian yang di mulai pada Agustus 1999 dan berakhir Maret 2000. Gelombang pertama dan kedua berawal dari Kecamatan Malifut di Teluk Koa, yang kemudian menyebar ke Ternate, Tidore, dan wilayah lain di Maluku Utara. Gelombang ketiga kerusuhan kembali ke desa-desa Muslim di Kecamatan Tobelo yang berada di Teluk Kao. Tetapi setelah itu masih terjadi berbagai penyerbuan ke wilayah-wilayah Kristen dengan korban dan kerugian yang cukup besar, bahkan sempat meluluh lantakan desa Duma di Kec.Galela, Halmahera Utara yang menjadi simbol perkembangan agama Kristen di wilayah ini. Karena kejadian ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan ketiga gelombang sebelumnya, maka penyerangan ke Duma ini diusulkan sebagai gelombang atau periode konflik yang ke empat. Kronologis gelombang konflik tersebut diuraikan sebagai berikut :
42
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
1)
Gelombang Pertama
Banyak pihak yang menyakini konflik di Maluku Utara merupakan imbas dari konflik di Maluku Tengah (Ambon dan sekitarnya) yang sudah terjadi sejak pertengahan Januari 1999, awal konflik di Maluku Utara memiliki nuansa yang sama dengan Konfik di Maluku Utara yang pertama kali muncul di Teluk Kao, Halmahera Utara. Konflik tersebut tampaknya lebih menunjukkan nuansa persaingan etnis dan perebutan wilayah adat daripada perseteruan agama. Persaingan etnis dan perebutan tanah adat terjadi antara Suku Kao dan Makian di Teluk Kao, yang semula dilatarbelakangi oleh adanya miskomunikasi dalam status kepemilikan tanah yang didiami oleh etnis Makian (mayoritas pendatang) yang diklaim oleh Suku Kao sebagai miliknya. Etnis Makian yang diungsikan sementara oleh pemerintah ke Teluk Kao menuai konflik di kawasan tersebut. Ketegangan di kawasan tersebut memuncak ketika pada tanggal 26 Mei 1999 diundangkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 tahun 1999 tentang pembentukan Kecamatan Makian atau Malifut, di mana dalam pemekaran Kecamatan atau pembentukan Kecamatan tersebut menggabungkan 16 desa dengan mayoritas pendatang suku Makian dengan 5 desa asli suku Kao dan desa asli suku Jailolongat berbeda. Dari sudut pandang masyarakat Kao, pembentukan Kecamatan Makian Malifut yang ditetapkan dengan PP No. 42 itu sebagai pencaplokan tuan tanah adat mereka. Wilayah Malifut adalah bagian dari tanah adat suku Kao yang dipinjamkan sementara kepada warga Makian yang mengungsi karena kekhawatiran meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian. Sementara itu warga Makian yang dipindahkan ke wilayah yang bernama Malifut ini merasa sebagai tugas atau keputusan dari Pemerintah dan merasa berhak atas tanah yang mereka diami. Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
43
Benih pertentangan tersebut semakin meningkat atau bertambah dengan kecemburuan orang Kao yang melihat orang-orang Makian lebih berhasil dalam penghidupan mereka baik sebagai wiraswasta, pegawai negeri dan pengisi jabatan birokrasi, hingga menjadi pegawai perusahaan Tambang Emas Nusa Halmahera Minerals. Orang Makian bahkan terlihat secara sistematis mempersiapkan kawasan Malifut ini sebagai basis kediaman kedua mereka dengan memberi nama sebagai daerah Makian Daratan. Keadaan akan lebih menjadi parah ketika pembentukan Kecamatan Malifut itu juga meliputi 5 desa dari Kec. Kao dan 6 desa dari Kecamatan Jailolo. Suatu pencaplokan ganda yang tentunya sangat sulit diterima oleh masyarakat Kao. Sementara bagi orang Makian keluarnya PP No. 42 itu merupakan peraturan yang harus dijalankan. Mereka meminta pemerintah untuk segera melaksanakan PP No 42 itu dengan berbagai aksi di Malifut dan di Ternate yang saat itu menjadi ibukota Kabupaten Maluku Utara. Ketegangan semakin memuncak pada bulan Agustus 1999, dan kerusuhan meletus pada tanggal 18 Agustus yang mengakibatkan sebuah rumah terbakar, bahkan sehari kemudian terjadi penyerangan antara warga desa Sosol (Kao) dengan warga desa Tahane (Makian) dan merembet ke desa Wangeotak. Akibat kerusuhan ini warga lima desa suku Kao yang dimasukkan ke wilayah Kecamatan Malifut mengungsi ke Kao. Berita yang dibawa oleh warga kelima desa ini membuat marah suku Kao, sehingga mereka (yang Kristen maupun Islam) menyerang desa-desa orang Makian di Malifut pada tanggal 21 dan 25 Agustus 1999. Penyerangan ini menyebabkan sekitar 2000 warga Makian di Malifut mengungsi ke berbagai wilayah. Dalam kerusuhan tersebut, tercatat 26 orang tewas dan ratusan terluka. Sebanyak 16 desa mengalami kerusakan : lebih dari 800 rumah hancur, termasuk fasilitas umum, seperti 44
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
terminal, kantor Kecamatan, dan pasar. Bangunan sekolah yang hancur sebanyak 81 unit. Sedangkan rumah ibadah yang rusak ada 17 mesjid dan sebuah gereja. Meskipun ada informasi bahwa sebenarnya tidak ada mesjid yang rusak, melainkan atap bangunan ibadah itu di ambil oleh pengungsi yang kembali setelah kerusuhan reda dan membutuhkan sarana untuk tinggal sementara. 2)
Gelombang Kedua
Gelombang Kedua masih terjadi di atau diawali dari Malifut pada tanggal 24 Oktober terjadi penyerangan besarbesaran oleh warga Kao terhadap warga Makian Malifut dengan kekuatan massa sekitar 15.000-20.000 orang. Akibat dari kerusuhan tersebut, 14 orang meninggal dunia dan 206 orang luka-luka. Mesjid terbakar/rusak ada 19, sedangkan rumah yang terbakar/rusak mencapai 1.862 rumah, ditambah dengan 2 sarana pendidikan, 2 perkantoran, dan 1 Puskesmas. Pada saat itu, terjadi pengungsian massal 12.307 jiwa warga Makian yang mayoritas Islam. Pada gelombang kedua ini nuansa agama mulai tampak.. Pengungsian terjadi ke Ternate Utara maupun Selatan, Tidore, Kecamatan-Kecamatan mayoritas Islam di Halmahera Utara sendiri, dan sebagian pengungsi kemudian ada yang melakukan penyerangan dan perusakan ke warga minoritas Kristen di daerah pengungsian mereka. Menurut catatan dari Dit Sospol Pemprov. Malut, korban aksi penyerangan mencapai jumlah sekitar 100 orang meninggal dan 20 gereja rusak atau terbakar. Aksi kekerasan tersebut mengakibatkan pengungsian besar-besaran ke Kec. Tobelo dan Malut, Manado dan Sangir Talaud. Pengungsian warga Kristen ini mencapai belasan ribu jiwa. Pada konflik gelombang kedua, mulai tampak jelas perubahan nuansa konflik dari pertikaian etnis, antara etnis Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
45
Kao dan Makian, ke arah pertikaian agama : Islam dan Kristen. Perubahan tersebut semakin menguat ketika terjadi pengungsian besar-besaran orang Makian ke Ternate dan Tidore bersama dengan pengungsi-pengungsi dari Ambon yang membawa kisah dan penderitaan yang hampir sama. Pada awal November 1999, terjadi peristiwa kerusuhan di desa Indonesiana, Pulau Tidore. Peristiwa yang di picu oleh selebaran bertajuk “Rencana Serangan Balik Sosol Berdarah” yang seakan-akan dikeluarkan oleh Ketua Sinode Maluku di Ambon dan ditujukkan kepada Ketua Sinode Halmahera di Tobelo. Pihak Gereja Protestan telah membantah bahwa selebaran itu berasal dari pihak mereka, sehingga patut diduga bahwa ada yang sengaja mengungkap selebaran itu sebagai alasan untuk menyerang pihak Kristen. Hal ini diperkuat dengan pemadaman listrik dan adanya orang-orang yang tidak dikenal pada peristiwa yang berlangsung dalam waktu sangat singkat, sekitar dua jam. Pada peristiwa tersebut, terjadi pembakaran gereja dan pembunuhan pendeta Ari Rissakota, dengan korban meninggal dunia mencapai 35 orang. Gereja yang terbakar 3 buah dan rumah yang terbakar mencapai 145 buah, dengan pengungsi mencapai lebih dari 1300 orang. Warga Kristen dari Tidore ini cenderung mengungsi ke Menado Maluku Utara. Sebelum peristiwa terjadi insiden serupa di Ternate, tetapi tidak sampai menimbulkan korban karena kesigapan aparat dan Sultan Ternate. 3)
Gelombang Ketiga
Pertikaian atau konflik gelombang ketiga betul-betul menunjukkan nuansa agama yang sangat kental, karena terjadi di Kecamatan Tobelo dan Galela yang terletak dan dihuni oleh mayoritas suku Kao.
46
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Kenyataan konflik sangat berbeda dengan awal konflik gelombang pertama antara warga suku Makian dan suku Kao. Konflik gelombang ketiga diawali di Tobelo ketika warga Kristen memperoleh tambahan massa dari para pengungsi dari Ternate sehingga mencapai jumlah sekitar 3.000 orang. Dengan konsentrasi jumlah massa tersebut, warga Kristen bisa mengungguli warga Islam yang berjumlah sekitar 20.000 orang. Serangan kelompok Kristen ke kelompok Islam di desadesa : Gamhoku, Toguliwa, Kampung Baru, Gamsugi, Gurau, Popilo, dan Lauri terjadi pada tanggal 26 Desember 1999. Peristiwa tersebut begitu dahsyat dan konon menimbulkan korban jiwa sebanyak 880 orang. Akibat dari kerusuhan tersebut hampir seluruh warga Islam yang tersisa mengungsi ke Ternate, Tidore, dan kawasan lain. Pada konflik gelombang ketiga ini yang terjadi adalah penyerangan antar desa yang berbeda agama. Keadaan menjadi parah karena di Kecamatan Galela yang mayoritas Islam ada desa yang di huni warga Kristen, sementara di Tobelo yang mayoritas Kristen (apalagi setelah mendapat tambahan pengungsi dari Ternate dan Tidore) ada desa – desa yang dihuni warga Islam. Kondisi ini menjadikan warga desa yang agamanya menjadi minoritas di suatu kecamatan, berada dalam kondisi yang sangat rawan dan terjepit. Kerusuhan besar juga terjadi di Galela pada tanggal 27 Desember 1999 dengan korban di kedua belah pihak. Korban meninggal mencapai 197 jiwa, dengan gereja yang rusak atau terbakar sebanyak 8 buah dan masjid sebanyak 16 buah. Rumah yang terbakar mencapai 1.425 orang dan pengungsi mendekati jumlah 20.000 orang. Kerusuhan berlangsung hingga awal Maret 2000 dengan tambahan korban jiwa mendekati 40 orang. Di samping peristiwa di Tobelo dan Galela, terjadi pula pertikaian dan kerusuhan yang merata di Halmahera Utara
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
47
dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sebagai berikut : (a) Kecamatan Jailolo mayoritas penduduknya Islam 25.800 orang, Prostestan 15.600 orang, dan Katolik 648 orang. Pada tanggal 31 Desember 1999 hingga Januari 2000, di Kecamatan Jailolo tersebut terjadi pertikaian yang semakin meluas antara kelompok Islam dan kelompok Kristen yang menimbulkan korban meninggal sebanyak 163 orang. Gereja rusak/terbakar sebanyak 31 buah, sedangkan mesjid yang rusak atau terbakar ada 16 buah. Rumah yang rusak dan terbakar lebih dari 3.500 buah dengan pengungsi sebanyak lebih dari 23.000 orang. (b) Di Kecamatan Sahu yang penduduknya hampir berimbang antara Islam dan Kristen : Islam 6.000 orang, Protestan 7.900 orang, dan Katolik 142 orang, terjadi kerusuhan pada tanggal 2-4 Januari 2000. Korban meninggal dunia 18 orang, mesjid rusak/terbakar 19 buah, sarana pendidikan 15 buah. Rumah yang rusak dan terbakar mendekati 1.600 buah, dengan pengungsi sebanyak lebih dari 6.000 orang. (c) Di Kecamatan Ibu yang mayoritas Kristen, 5.200 orang Islam dan 17.000 orang Kristen, terjadi pertikaian pada tanggal 2-3 Januari 2000 dengan korban 6 orang meninggal dunia, mesjid rusak/terbakar 8 buah dan sarana pendidikan 8 buah. Rumah yang rusak atau terbakar mendekati 1.000 buah dengan pengungsi mencapai 5.500 orang. (d) Di Kecamatan Gane Utara yang mayoritas Islam, 20.000 orang Islam dan 1.900 orang Kristen, terjadi kerusuhan yang mengakibatkan kerugian sebagai berikut : meninggal 22 orang, gereja rusak/terbakar 5 buah, dan rumah rusak/terbakar 224 buah. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 11 Nopember 1999 hingga Januari 2000, tetapi data ten48
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
tang waktu ini tampak kurang akurat. Kalau dibandingkan dengan kronologi di wilayah lain, tampaknya peristiwa ini terjadi di akhir Desember hingga awal Januari. Kerusuhan kembali terjadi di akhir Januari 2000, tepatnya tanggal 28, dengan korban 14 orang meninggal, 10 buah gereja rusak/ terbakar, dan 281 rumah rusak/terbakar. Dalam peristiwa di Kecamatan ini tercatat pengungsi lebih dari 1600 orang. (e) Di Kecamatan Bacan yang mayoritas Islam, lebih dari 55000 penduduk Islam dengan 10000 penduduk Protestan dan 1000 penduduk Katolik, terjadi kerusuhan pada tanggal 24 Januari 2000 dengan kerugian : 46 orang meninggal, 11 gereja rusak/terbakar. Rumah yang rusak atau terbakar sebanyak 31 buah dan pengungsi sebanyak 3118 orang. Pada tanggal 22-25 Februari 2000 terjadi lagi kerusuhan di Desa Tawa yang mengakibatkan 4 orang meninggal dan pengungsi sebanyak 1100 orang. (f) Di Kecamatan Gane Timur yang juga mayoritas Islam, sekitar 17.000 penduduk Islam dan 5.000 penduduk Kristen, terjadi kerusuhan pada tanggal 25 Januari 2000 dengan korban 36 orang meninggal, 7 mesjid dan 6 gereja rusak/terbakar. Rumah yang terbakar mendekati 1000 buah dengan pengungsi lebih dari 300 orang. Pada tanggal 23 Februari 2000 terjadi lagi penyerangan kelompok Islam ke kelompok Kristen di Desa Mafa dan Lalubi yang mengakibatkan 6 orang meninggal, 1 gereja dan 176 rumah rusak/terbakar, dan pengungsi 929 orang. Pada tanggal 9 dan 10 Maret 2000 terjadi lagi penyerangan ke Desa Matuting, Sakita I Batonam, dan Akelamo/Fida, mengakibatkan korban jiwa 35 orang, 2 buah gereja dan 56 rumah rusak/terbakar. (g) Di Kecamatan Obi yang juga mayoritas Islam terjadi kerusuhan dengan pola yang hampir sama dengan di Bacan dan Gane Timur. Sementara di Kecamatan Loloda yang mayoritas Kristen, terjadi penyerangan terhadap Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
49
kelompok Islam yang mengakibatkan 37 orang meninggal, 8 mesjid dan hampir 800 rumah rusak/terbakar, menyebabkan pengungsian lebih dari 4500 warga. (h) Di Morotai penduduk Islam dan Kristen hampir seimbang. Di Morotai Selatan lebih banyak Islam, sedangkan di Utara lebih banyak yang Kristen. Kerusuhan di Kedua daerah Kecamatan ini terjadi pada bulan Februari hingga Maret 2000 dengan korban jiwa 8 orang di Morotai Selatan dan 13 orang di Morotai Utara. Jumlah rumah yang rusak/terbakar, sekitar 500 buah di Morotai Selatan dan 300 rumah di Morotai Utara. Dialporkan 4 gereja rusak/terbakar di Morotai Selatan dan 3 Gereja rusak/ terbakar. Pengungsi berjumlah sekitar 2.100 orang di Morotai Selatan dan lebih dari 600 orang di Morotai Utara. 4)
Gelombang Keempat
Setelah terjadi pertikaian gelombang ketiga dengan penghancuran desa Popilo di Kecamatan Tobelo (sebuah desa Islam di Kecamatan yang mayoritas Kristen), warga Islam tampak mengkonsilidasi serangan balasan. Niat ini terpenuhi ketika mereka berhasil menyerang desa Kristen Duma yang berada di Kecamatan Galela yang mayoritas penduduknya Islam. Penyerangan ke desa Duma ini menjadi lebih berarti karena desa ini dianggap merupakan awal dan simbol kristenisasi di kawasan ini. Berdasarkan catatan dari pihak Kristen, laporan radio Hiversum, telah terjadi serangan pihak Islam ke desa-desa Kristen di Galela. Serangan ini terjadi secara beruntun dalam beberapa bulan mencapai puncaknya pada tanggal 19 Juni 2000 ke desa Duma yang mayoritas Kristen dan menampung beberapa pengungsi warga Kristen dari desa-desa Makate, Ngidiho, dan Dokulama. Peristiwa ini menimbulkan korban 50
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
yang cukup besar dan pengungsian warga Kristen ke Menado. Tidak ada catatan dari pihak Pemda, tetapi dilaporkan sekitar 200 orang menjadi korban dan 150 orang anak menjadi yatim piatu. Ini belum termasuk 200 orang pengungsi yang tenggelam bersama kapal Nusa Bahari. Dalam peristiwa Duma ini, pihak Kristen merasa bahwa aparat bersenjata tidak secara bersungguh-sungguh melindungi mereka. Bahkan ada kecurigaan keterlibatan aparat dalam penyerangan dengan melihat besarnya korban yang tewas karena peluru standard ABRI. Pihak aparat sendiri beralasan pada keterbatasan personil dan timbulnya banyak korban karena situasi yang kacau dan tidak menentu. Sejumlah tokoh masyarakat di Maluku Utara mengungkapkan bahwa masyarakat dan banyak kalangan merasa gembira setelah Maluku berhasil melewati pemilihan umum pada 5 April 2004, namun kegembiraan itu tidak bertahan lama karena secara tak terduga muncul setelah kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) merayakan hari ulang tahunnya pada 25 April 2004. Konflik yang terjadi tersebut diwarnai banyak ceritera dari kalangan masyarakat yang tidak pernah menduga bahkan seolah tidak percaya pada kenyataan yang dialaminya, seperti diuraikan berikut ini. Bambang Wisudo (2007) menyatakan bahwa sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin di antara saudara yang masih ada hubungan darah bisa bermusuhan bahkan saling membunuh. Hibolamo yang sudah menjadi adat ratusan tahun di tanah Tobelo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, tidak mampu lagi mencegah konflik terbuka di antara saudara sedarah. Hibolamo, dalam bahasa Tobelo, berarti rumah besar. Rumah itu adalah rumah Hasan Nabiu yang dibangun sekitar tahun 1831 di Kampung Gura. Oleh keluarga Nabiu, rumah itu digunakan sebagai tempat pertemuan dan kegiatan keagamaan Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
51
secara bersama-sama. Pada hari minggu digunakan keturunan Nabiu yang beragama Kristen dan pada hari Jumat dan harihari lainnya digunakan keturunan Nabiu yang beragama Islam. Rumah ini juga digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam keluarga. Nabiu merupakan nama salah satu keluarga besar di Tobelo yang beragama Islam. Ia memiliki 12 anak, enam laki-laki yang tetap beragama Islam dan enam orang perempuan kemudian memeluk agama Kristen karena perkawinan. Di sini tidak ada pemaksaan untuk memeluk suatu agama. Semua itu dilakukan dalam musyawarah di Hibolamo. Pertemuan adat itulah yang memutuskan untuk memberikan kebebasan bagi calon pengantin memilih agama yang ingin dianutnya. Agama tidak menjadi persoalan karena mereka pada dasarnya satu keluarga besar. Sayang sekali, bangunan fisik hibolamo sudah hilang sejak tahun 1960 bersamaan dengan pembangunan Pasar Lama Tobelo. Sebelum dibangun yang baru di Pasar Lama dengan ukuran lebih kecil dengan ukuran 4 x 6 meter, hibolamo sempat dipindahkan dari Kampung Gura ke Kampung Cina karena tanahnya dijual. Di Kampung Cina, bangunan hibolamo kemudian diletakkan tepat di depan Masjid Kampung Cina. Setelah bangunan hibolamo asli hilang, hibolamo kemudian menjadi adat yang melekat dalam ingatan masyarakat Tobelo khususnya dan Halmahera Utara pada umumnya. Dalam perkembangannya, hibolamo kemudian menjadi tempat pertemuan lembaga-lembaga adat untuk menyelesaikan berbagai konflik yang muncul di dalam masyarakat Tobelo secara adat. Ketika pecah konflik pertama di Tobelo, dua kelompok yang sudah saling berhadapan sempat mengurungkan niatnya untuk berperang karena di hadapannya berdiri saudara-saudara yang masih satu darah. Akan tetapi, begitu terjadi penumpukan massa lebih besar dan orang-orang yang punya ikatan 52
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
keluarga menyingkir dari lokasi itu, bentrokan pun tidak bisa dihindari lagi. Akibat bentrokan itu banyak penduduk yang berusaha mengungsi dan mencari perlindungan di Kompi C di Tobelo. Ketika membantu menolong korban kerusuhan, Ono menemukan korban dari dua kelompok yang saling bertikai sama-sama berlindung di Kompi C di Tobelo. Pada masa lalu lebih dari separuh penduduk Maluku menganut agama Kristen dan Katolik. Namun, karena migrasi dari daerah sekelilingya, komposisi itu berubah menjadi lebih dari separuh penduduk Maluku beragama Islam. Masyarakat Kristen awalnya memperoleh pendidikan lebih baik sehingga wajar bila birokrasi di daerah itu semula didominasi kelompok itu. Akan tetapi, lambat laun masyarakat Islam mengejar ketertinggalan itu dan mulai masuk dalam birokrasi. Pada saat bersamaan perdagangan dikuasai oleh masyarakat pendatang yang umumnya beragama Islam. Sekilas melihat ke belakang terlihat bahwa konflik sosial yang dahsyat itu berawal dari pergesekan orang per orang atau antar kelompok yang meluas menjadi pertikaian antarkampung, antaretnik, dan akhirnya memuncak menjadi konflik antarkelompok agama. Peristiwa di Wailete, Dobo, dan kasus pemalakan di Ambon merupakan pertikaian kecil yang sejak lama juga ada tetapi tidak sempat merembet menjadi wabah yang menakutkan. Namun, karena tidak ada penegakan hukum yang tegas dan masalah tersebut dibiarkan berkembang tanpa ditangani serius, konflik pun semakin luas dan dalam. Peristiwa yang terjadi di Tual, Maluku Tenggara, juga tidak jauh berbeda. Suasana konflik yang memanas di Ambon sejak Januari 1999 mengimbas sampai wilayah itu. Tiba-tiba saja muncul pemicu seorang anak dituduh membuat tulisan yang menghina salah satu agama, aparat kepolisian dinilai bertindak lamban, ribuan massa mendatangi Markas Polres, terjadi pelemparan dan suasana pun dengan cepat memanas. Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
53
Belajar dari pengalaman tersebut, masyarakat kemudian terbelah menjadi dua kelompok berdasarkan agama dan masing-masing mempersenjatai diri. Isu penyerangan pun berkembang sehingga akhirnya penyerangan yang sesungguhnya pun terjadi. Tiba-tiba saja terdengar bunyi ledakan bom. Warga kemudian memukul-mukul tiang listrik tanda penyerangan telah terjadi. Peristiwa Tual dalam waktu singkat merembet ke seluruh wilayah Maluku Tenggara. Kerusuhan yang berlangsung selama dua bulan, 31 Maret-24 April 1999 itu pun memakan 200 korban jiwa dan ratusan lainnya luka berat, 3.084 rumah penduduk hancur, 48 tempat ibadah dirusak, dan 34 sekolah rusak. Tercatat 52 desa di wilayah itu dibumihanguskan. Mencermati kondisi pasca konflik sosial tersebut, masih banyak hal yang mesti dilakukan ole pemerintah dan masyarakat untuk membantu masyarakat Maluku. Penanganan pengungsi, penyediaan pendidikan alternatif bagi anak-anak yang telantar, penyembuhan trauma psikologis di kalangan anak-anak, rehabilitasi bangunan dan gedung-gedung yang rusak, dan membantu menciptakan kembali penghidupan mereka. Agenda yang mesti dilakukan begitu banyak dan perlu penanganan yang serius dan terpadu dalam jangka panjang. Dana dan tenaga dalam jumlah besar diperlukan. Di sini diperlukan keputusan politik sebagaimana juga penanganan secara sosial. Selain pemerintah, uluran tangan dari masyarakat sendiri untuk meringankan penderitaan rakyat Maluku sangat dibutuhkan.
54
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
SUMBER-SUMBER KONFLIK
Perseteruan antara Ternate dan Tidore Kesultanan di Maluku Utara semula terdiri dari 4 kesultanan besar yang bersaudara, yaitu : Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Di samping itu tercatat pula kesultanan Moti dan Makian, yang konon menjadi cikal bakal kesultanan Jailolo dan Bacan. Melihat awal keempat kerajaan yang semula berkedudukan di pulau-pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makian, keempat kesultanan yang berbasis kekuatan kelautan. Sementara di Halmahera terdapat kesultanan Moro dan Loloda yang berbasis pada pertanian. Keberadaan dan persaingan keempat kesultanan itu (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan) bersamaan dengan kedatangan keempat negara atau bangsa Utara yang berniat menancapkan kekuasaannya di bumi Maluku dan sekitarnya. Keempat bangsa itu adalah : Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Dalam sejarahnya yang panjang sejak abad 15, pertemanan dan perseteruan antara keempat kesultanan dan empat bangsa Utara itu merupakan kisah yang menarik. Pertukaran mitra dan perubahan musuh bukan hal yang jarang terjadi. Hal ini sesaat telah menimbulkan kebigunggan bagi keempat bangsa Utara yang berhubungan dengan mereka. Tetapi akhirnya menjadi alat yang sangat ampuh untuk meruntuhkan kedigdayaan keempat kesultanan tadi. Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
55
Di antara keempat kesultanan ini hanya dua kesultanan yang menunjukkan eksistensi yang cukup kuat, yaitu : kesultanan Ternate dan Tidore. Posisi dan keberhasilan kesultanan Ternate untuk menjadi yang paling kuat, tidak terlepas dari keberhasilan sultan Ternate dalam mendekati pemerintah kolonial Belanda, di samping latar belakang kesejarahannya yang paling kuat. Sementara itu Tidore sempat dipimpin oleh Sultan Nuku, pemimpin rakyat yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Tidore. Setelah Nuku menguasai Seram dan Bacan, pada pertengahan April 1797, Nuku berkerjasama dengan armada Inggris mulai mengepung Tidore. Pada waktu itu Sultan Tidore Kamaludin telah melarikan diri ke Ternate untuk meminta bentuan Belanda. Anehnya rakyat dan pembesar Tidore tidak ada yang memberikan perlawanan membela Sultan Kamaludin, bahkan mengangkat Nuku menjadi Sultan Tidore. Sepeninggal Inggris Ternate yang tetap bermitra dengan Belanda harus berhadapan dengan Tidore yang ingin tetap merdeka. Sayang perjuangan Tidore ini terpaksa melemah sesudah wafatnya Nuku. Sebagai mitra Belanda, kesultanan Ternate menjadi satu-satunya kekuatan yang menonjol di Maluku. Kesultanan Ternate juga mendapat berbagai kemudahan dan prioritas pembangunan, khususnya untuk kawasan pulau Ternate sendiri. Sesudah kemerdekaan terjadi kemunduran posisi Kesultanan Ternate. Posisi Maluku Utara yang hanya setingkat Kabupaten dan Kota Ternate sebagai kota Kecamatan (hingga tahun 1982) merupakan kemunduran bagi eksistensi Kesultanan Ternate. Di awal konflik, kesultanan yang eksis tinggallah kesultanan Ternate. Ternyata konflik di kawasan ini telah mengubah perimbangan kekuasaan di Maluku Utara. Kondisi ini juga seakan membangunkan kesultanan Tidore yang sempat tidur pulas sesudah kejayaannya di abad 16-17, dan bangkitnya 56
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
kembali kesultanan Bacan dan Jailolo. Dua kesultanan yang namanya nyaris tak terdengar dibalik hingar-bingar perseteruan antara kesultanan Ternate dan Tidore. Hal ini dapat di lihat ketika adanya usulan pembentukan Provinsi Maluku Utara, Sultan Ternate ternyata telah bergabung dengan Golkar untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur di Provinsi baru tersebut. Namun niat Mudafar Syah tersebut kandas ternyata calon yang kemudian di usung Golkar adalah Abdul Gafur. Kegagalan Sultan Ternate tersebut untuk mendapatkan posisi calon gurbenur dari partai Golkar membuatnya beralih partai ke Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan untuk mendapat kursi di legislatif. Keberhasilan Sultan Ternate dalam menduduki kursi anggota DPR-RI ternyata diiringi juga oleh keberhasilan sang permaisuri menduduki anggota DPD. Hal ini memicu kebangkitan kesultanan Tidore yang ditandai dengan keberhasilan Sultan Tidore sebagai anggota DPD. Kemunculan Sultan Tidore ternyata juga ikut memicu kedua kesultanan besar lainnya yaitu kesultanan Bacan dan Jailolo. Hal ini dapat dilihat dengan kemunculan Sultan Bacan menjadi Bupati Halmahera Selatan 2003-2008. Sedangkan Sultan Jailolo pada akhirnya mendapatkan jatah kursi di DPRD Halmahera Utara. Ketegangan Masalah Agama Banyak pihak yang memperkirakan bahwa kebijakan migrasi masyarakat Makian ke Kao adalah dalam rangka mengimbangi atau sebagai reaksi atas misi zending (Kristenisasi) yang tampaknya semakin meluas di wilayah Halmahera, sedangkan isu gunung berapi hanyalah isu saja. Hal ini berdasarkan alasan bahwa semua penduduk Makian memeluk agama Islam. Alasan yang lain adalah mengapa yang di pilih Kecamatan Kao yang letaknya sangat jauh dari Pulau Makian Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
57
karena masih banyak lahan di Halmahera Tengah dan beberapa pulau lain yang masih bisa ditempati. Sebagian besar pemeluk agama Kristen menempati Halmahera Utara, dengan batas wilayah bagian selatan pemeluk agama Kristen terbesar berada di Kecamatan Kao, hal ini menyebabkan Kecamatan Kao tempat yang strategis dalam penyebaran misionaris ke Halmahera Selatan. Perebutan Sumber Daya Alam Salah satu kekayan alam di Maluku Utara adalah pertambangan seperti emas dan nikel. Aktivitas pertambangan emas banyak dilakukan di wilayah sekitar perbatasan antara Kabupaten Halmahera Utara dengan Halmahera Utara, dan Kecamatan Malifut. Salah satu perusahaan tambang yang melakukan eksplorasi pertambangan adalah PT Nusa Halmahera Mineral (NHM). Perusahaan ini mengeksploitasi emas di daerah Gosowong sejak tahun 1997. Seiring berjalannya waktu, ternyata NHM ini dianggap merugikan masyarakat sekitarnya, karena terjadinya konflik yang melibatkan 250 tenaga kerja beragama Islam dan Kristen di pertambangan PT. NHM di Gosowong, Kecamatan Kao diberhentikan sejak Oktober 1999. Hal ini terlihat bahwa PT NHM tidak mau mengambil resiko terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari konflik kedua belah pihak tersebut. PT NHM mengambil langkah untuk menganti pekerja-pekerja lokal dengan para pekerja di luar daerah, seperti : Ternate, Manado, Makasar dan Jawa. Persaingan antar Kelompok (Ingroup dan Outgroup) Geertz (2005) berpendapat bahwa identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar 58
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubunganhubungan keluarga atau hubungan darah (garis ketu-runan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau keaga-maan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat destruktif. Abdul Manan (2005) melihat sumber utama konflik di Maluku Utara bukan karena masalah agama, melainkan persaingan kelompok dalam memperebutan kekuasaan di Maluku Utara (Perseteruan antara Ternate dan Tidore). Maka untuk melihat sumber utama dari konflik di Maluku Utara (19992000) dapat di lihat dari aktor-aktor yang terlibat konflik. Penetapan UU No. 22 Tahun 1999 yang mengurangi dominasi pemerintah pusat dalam pemerintahan di daerah, membuat kelompok pemerintah daerah cenderung untuk memusatkan perhatiannya untuk memperoleh hegemoni dalam pemerintahan. Persaingan antara kelompok birokrat Ternate dan non Ternate (Tidore, Makian) menjadi semakin runcing dengan adanya pemekaran wilayah. Beberapa birokrat Tidore melakukan kerjasama dengan suku Makian dengan maksud atau bertujuan untuk mengimbangi dominasi kelompok Ternate di pemerintahan. Berdasarkan sejarah persaingan antara Ternate dengan non Ternate di daerah Maluku Utara bisa di bagi ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok orang Ternate dan pengikutnya dan kelompok lainnya adalah kelompok bukan pengikut Ternate (Tidore, Makian, Bacan, dan lainnya). Rivalitas yang paling mencolok ada dalam perebutan kursi birokrat, apalagi Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
59
setelah Maluku Utara menjadi Provinsi tersendiri. Pada awalnya ada dua buah kubu dalam pemerintahan daerah yaitu ’kubu Selatan’ yang dimotori oleh orang-orang anti kesultanan Ternate dan ’kubu Sultan’. Tokoh-tokoh dari kubu Selatan adalah Sekwilda Maluku Utara I Taib Arman, Walikota Ternate Syamsir Andili, Bupati Maluku Utara Asegaf, Bupati Halmahera Tengah Bahar Andili. Selanjutnya kelompok ini mendapat dukungan dari masyarakat Islam dan mahasiswa Makian yang sedang belajar di Universitas Khairun. Kelompok ini diduga memiliki jalur langsung dengan pemerintahan pusat, hal ini dapat di lihat dengan naiknya para pemimpin Dati II yang terdiri dari birokrat kubu Selatan. Kubu ’Sultan’ terdiri dari sultan Ternate Mudaffar Syah, dewan adat, masyarakat pendatang, warga Ternate bagian Utara, masyarakat Kristen di Halmahera Utara. Pertentangan antara kubu ’Sultan’ dan kubu ’Selatan’ mengenai perebutan kursi gubernur Maluku Utara, pemilihan ibukota Provinsi sehingga mengakibatkan terjadinya konflik terbuka antara kubu ’Selatan’ di dukung oleh pasukan Putih sedangkan kubu ’Sultan’ di dukung oleh pasukan Kuning. Dinamika perebutan kursi Gubernur di Provinsi Maluku Utara, Sultan Ternate sebagai seorang tokoh Golkar pada waktu itu sangat berambisi untuk menjadi gurbernur Maluku Utara. Namun langkahnya terhambat oleh Bahar Andili (bekas Bupati Halmahera Tengah), dan Drs. Thaib Armain (berasal dari suku Makian) yang memiliki ambisi yang sama. Campur tangan bekas pejabat Orde Baru semakin memperkeruh kondisi, dimana ketika dilakukan pemilihan pada tanggal 5 Juli 2001 akhirnya dimenangkan oleh bekas Menpora Abdul Gafur. Walaupun akhirnya keputusan ini dianulir karena adanya dugaan money politics dan Sultan Ternate harus melepaskan ambisinya untuk menjadi gurbenur Maluku Utara. Bahar Andili
60
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
juga harus melepaskan impiannya kepada Sarundajang (Suku Morotai). Camat Makian (Abdullah Assegaf) bersama beberapa pejabat Makian di pemerintah daerah berambisi untuk menjadikan Malifut sebagai calon ibukota Kabupaten Maluku Utara berdasarkan PP No.42/99 yang berisikan penetapan batas wilayah Kecamatan Kao dan Malifut. Penduduk Kecamatan Kao, khususnya 5 desa Soa Pagu yang memliki kedekatan historis dengan orang Kao tidak mau menerima penetapan sesuai PP. Hal ini menimbulkan ketegangan antara warga Kao dengan penduduk pendatang Makian. Hali inilah pemicu terjadinya konflik di Maluku Utara (1999-2004), namun pada awal konflik ini bisa di pandamkan pada Agustus 1999 oleh Sultan Ternate. Namun dalam pelaksanaan banyak keputusan Sultan yang dinilai merugikan warga Makian. Contohnya Sultan meminta Warga makian untuk pindah lebih dulu dari Malifut. Maka konflik antara Suku Makian dan Kao terjadi kembali pada tanggal 24 dan 25 Oktober 1999 dan menyebabkan warga Makian harus keluar dari Malifut. Hal ini direspon oleh Camat Malifut (Husen Koda) yang memobilisasi mahasiswa Malifut di Universitas khairun Ternate untuk melakukan tekanan terhadap Suku Kao. Kawasan Malifut secara sejarah memilki kaitan dengan Sultan Ternate menjadi rebutan antara warga Makian (dalam sejarah merupakan pendukung kubu kesultanan Tidore) dengan warga Kao yang merupakan pendukung setia Sultan Ternate. Pejabat Makian yang ada pada waktu itu mendominasi birokrasi pemerintahan tidak tinggal diam dan bekerjasama dengan kelompok Tidore mereka mulai memikirkan untuk membangun kekuatan tandingan bagi kesultanan Ternate. Hal yang menarik adalah muncul kembalinya kesultanan Jailolo dan Bacan dalam waktu bersamaan dengan kesultanan Tidore. Berdasarkan sejarah masa lalu tidaklah mengherankan apabila saat ini sultan Bacan memiliki kedeBahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
61
katan degan Sultan Tidore sementara Sultan Jailolo lebih deket kepada kesultanan Ternate. Hal ini dapat dilihat Sultan Jailolo yang pernah menjadi kader Golkar bersama Sultan Ternate mengikuti jejak Sultan Ternate dengan pindah ke PDK, dan atas dukungan Sultan Ternate, beliau menjadi anggota DPRD Halmahera Utara. Di pihak lain, Sultan Bacan (Gahral Syah) menduduki posisi Bupati Halmahera Selatan. Gahral Syah merupakan bagian dari kekuatan anti kesultanan Ternate bisa dilihat ketekia sebelum menjadi Bupati Halmahera Selatan, menduduki jabatan sebagai Bupati Maluku Utara menggantikan Abdullah assegaf. Konflik antara Sultan Ternate dengan Abdullah Assegaf sangat terlihat dari pendapatnya yag bersifat profokatif dan hal ini berakibat dibakarnya kantor bupati Maluku Utara tahun 1997 oleh para pendukung Sultan Ternate. Bupati Halmahera Tengah menyiapkan Kota Sofifi untuk dijadikan Ibu Kota Provinsi Maluku Utara. Selain itu juga menginginkan agar Tidore dijadikan ibukota Provinsi transisi. Sebaliknya keinginan Bahar Andili, kubu Sultan Ternate juga menginginkan agar Ternate manjadi Ibukota transisi Provinsi Maluku Utara. Akhirnya, Ternate ditetapkan sebagai ibukota Provinsi transisi, sedangkan untuk jangka panjang Kota Sofifi akan ditetapkan menjadi ibukota Provinsi. Meskipun Ternate dijadikan ibu kota transisi, tetapi di sana masih ada Syamsir Andili yang akan merongrong keinginan pendukung Sultan Ternate. Sumber konflik Maluku Utara (1999-2000) adalah adanya kebangkitan Etnosentrisme, hal ini banyak dilakukan oleh elite-elite lokal untuk kepentingan pribadi bahkan sebagai mesin politik untuk merebutkan posisi-posisi politik. Gejala ini misalnya terlihat dari : Pertama, kentalnya mobilisasi massa atas nama adat yang terlihat dalam pembentukan Pasukan Kuning (Kesultanan Ternate) dan Pasukan Putih (Kesultanan Tidore) dalam perebutan jabatan kursi Gubernur Maluku Utara. 62
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Kedua adanya upaya untuk memunculkan kembali kesultanankesultanan lama yang sudah vakum berpuluh-puluh tahun seperti kesultanan Bacan dan Jailolo dalam proses perebutan kursi di DPRD setempat. Penguatan etnosentrisme sebagai alat manipulasi dalam perebutan jabatan-jabatan politis di tingkat lokal ini biasanya dilakukan dengan memunculkan kembali tentang kejayaan masa lalu dan penegasan bahwa berbagai persoalan yang terjadi pada masa lalu sesungguhnya belum selesai hingga saat ini. Berbagai persoalan tersebut antara lain : 1) Pertentangan Ternate dan Tidore, 2) eksentasi Wilayah Adat, dan 3) Konflik masalah agama yang sesungguhnya hanya merupakan pembentukan stereotipe guna mempertahankan atau memperluas teritori kesultanan. Isu-isu yang digunakan dalam pertikaian dua kubu ini adalah : (1) (2) (3) (4) (5)
Isu Malifut sebagai ibukota calon kabupaten Maluku Utara Isu Perebutan kursi gurbenur Maluku Utara Isu penempatan Ibu kota Provinsi Isu pembentukan Kabupaten Makian Daratan (Malifut) Pembentukan Kesultanan Tidore sebagai penyeimbang kekuatan Kesultanan Ternate.
Sumber utama dari konflik yang terjadi di Maluku Utara (1999-2004) adalah persaingan dua kubu dalam memperebutan kekuasaan di Maluku Utara antara kubu Sultan Ternate dan kubu Selatan. Kelompok Selatan terdiri dari suku pendatang dan pulau Tidore yang berada di Selatan pulau Ternate. Tokoh-tokoh dari kelompok Selatan adalah Sekwilda Maluku Utara I Taib Armayn, Walikota Ternate Syamsir Andili, Bupati Maluku Utara Asegaf, Bupati Halmahera Tengah Bahar Andili. Sedangkan kubu ’Sultan’ terdiri dari Sultan Ternate Mudaffar Syah, dewan adat, masyarakat Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
63
pendatang, warga Ternate bagian Utara, masyarakat Kristen di Halmahera Utara.
64
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
KONFLIK SOSIAL DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI PROVINSI MALUKU UTARA
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pemilukada) atau pemilihan Gubernur (Pilgub) oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Maluku Utara pada 03 November 2007, pada realitasnya menimbulkan konflik baik antar elit maupun antara kelompok sosial masyarakat. Realitas konflik yang terjadi bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul ke permukaan melainkan : (1) ada sumber yang melahirkannya, (2) ada aktor dan kelompok yang terlibat, (3) ada proses yang menyertai ceriteranya yang melahirkan kronologis. 1. Sumber dan kronologi konflik pada proses penyelenggaraan Pemilukada Dalam kehidupan sehari-hari, konflik bisa timbul kapan saja dan di mana saja dan melibatkan siapa pun saja; konflik bisa timbul secara tiba-tiba tanpa diduga atau direncanakan namun tidak jarang ada konflik timbul karena sudah direncanakan terlebih dahulu, terlebih dalam dimensi sosial dan politik. Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
65
Analisis terhadap sumber konflik sosial dalam penyelenggaraan Pemilukada Gubernur di Maluku Utara mencakup dua aspek, yakni : konflik sebelum Pemilukada dan Konflik selama Pemilukada berlangsung. a. Kondisi psikologis masyarakat menjelang Pemilukada Konflik sebelum Pemilukada berlangsung, berimbas dan berlanjut pada penyelenggaraan Pemilukada Maluku Utara. Hal ini terjadi mengingat situasi dan kondisi sosial masyarakat belum sepenuhnya pulih dari konflik berdarah sebelumnya yang bernuansa SARA dan menimbulkan banyak korban akibat pembantaian antar kelompok masyarakat. Bentuk kekhawatiran berbagai elemen masyarakat, mendorong organisasi pemuda dan elemen masyarakat lainnya turut berpartisipasi mengeluarkan himbauan agar tidak terprovokasi dengan Isu SARA. Kejadian-kejadian masa lalu sudah dilupakan dan kembali kepada persaudaraan. Meskipun demikian, tetap juga perlu diwaspadai adanya oknum-oknum tidak bertanggung jawab melakukan provokasi yang bertujuan untuk mengacaukan kehidupan sosial masyarakat yang sudah tertib dan aman. Sulit dipungkiri bahwa masih ada sekelompok orang yang masih menyimpan dendam satu sama lain akibat peristiwa yang memilukan di masa lalu dan itu masih cukup manusiawi namun kesemuanya tetap dapat mengendalikan diri sehingga tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang menyesatkan. Masyarakat sudah sadar akan dampak dari pertikaian dan konflik bahkan sudah cukup dewasa belajar dari pengalaman masa lalu yang menimbulkan malapetaka bagi keluarganya. Ilham Muradji, salah seorang tokoh pemuda dan sekaligus aktivis LSM NORMA (North Molucas Advocation) mengungkapkan bahwa dendam di kalangan kelompok masyarakat masih sulit terhapus dalam waktu singkat sehubungan dengan peristiwa konflik SARA beberapa tahun lalu, 66
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
dan dendam itu bisa muncul kembali jika ada kebijakankebijakan yang menimbulkan pro kontra bahkan setiap saat bisa meledak kembali jika pemerintah dan elit politik lokal tidak pandai merangkul semua golongan. Sejumlah elit politik lokal mengungkapkan bahwa masyarakat di Maluku Utara sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk atau tidak baik. Masih ada sebagian kecil kelompok masyarakat yang masih menyimpan dendam terhadap perbuatan kelompok lain yang dinilai melukai/merendahkan martabatnya namun mereka semakin dewasa dan tidak mudah memberikan reaksi jika ada isu-isu negatif yang bermaksud mengadu domba kelompoknya. Sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh pemangku adat selalu berusaha memberikan bimbingan dan pencerahan kepada masyarakat di sekitarnya agar tidak mudah terpancing atau terprovokasi oleh isu-isu yang tidak benar guna menghindari konflik atau terulangnya konflik masa lalu. Namun, beberapa anggota masyarakat yang fanatik masih cukup menaruh dendam meskipun mereka juga dapat menerima nasihat yang diberikan agar tidak terlibat dalam konflik. Hal senada diungkapkan beberapa tokoh agama dan budayawan di Maluku Utara bahwa pihaknya menyadari kejadian masa lalu masih sulit terlupakan atau terhapus begitu saja dalam benak sejumlah elemen masyarakat karena mereka merasa sangat sakit hati, dendam, dan marah serta tidak rela menerima perilaku kelompok tertentu terhadap kerabat keluarga atau temannya yang bertindak di luar batas-batas kemanusiaan, namun kesemuanya itu masih dapat dikendalikan dan selalu diberi nasihat agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu menyesatkan dan tidak benar. Menurut Polda Maluku Utara, masyarakat pada dasarnya ingin hidup secara damai, normal dan tidak ada lagi konflik bahkan sudah pernah dilakukan perjanjian damai yang Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
67
melibatkan seluruh komponen masyarakat mulai dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, serta pejabat pemerintah daerah. Berkat dukungan dari Wakil Presiden Yusuf Kalla yang terus melakukan upaya negosiasi akhirnya semua pihak yang pernah bertikai dapat saling menerima dan memahami posisi masing-masing. Namun demikian, pihaknya tetap selalu siap siaga mengantisipasi setiap sumber-sumber konflik yang bisa muncul dan menimbulkan dampak kepada masyarakat luas melalui koordinasi-koordinasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan elemen masyarakat lainnya. Mereka berusaha agar dendam lama tidak kambuh kembali di antara kelompok masyarakat karena bisa berakibat fatal dan sulit dikendalikan. b. Konflik selama penyelenggaraan Pemilukada Pemilukada Gubernur Maluku Utara yang diselenggarakan KPUD Maluku Utara pada 03 November 2007 dilakukan melalui suatu proses dan tahapan yaitu : (1) tahap pencalonan, (2) tahap pemungutan suara, (3) tahap penentuan pasangan calon terpilih, dan (4) tahap pengesahan dan pelantikan pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih. 1) Konflik sosial pada tahap pencalonan Pada tahap pencalonan pasangan bakal gubernur dan wakil gubernur, KPUD membuka pendaftaran kepada setiap pasangan calon yang berniat maju dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Maluku Utara. Pada proses pendaftaran pasangan calon tersebut, KPUD Maluku Utara melakukan pemeriksaan berkas dan sejumlah persyaratan atas setiap pasangan calon yang mendaftar. Laporan kunjungan kerja komisi II DPR RI ke Provinsi Maluku Utara pada masa reses persidangan IV tahun sidang 68
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
2006-2007 melaporkan bahwa Provinsi Maluku Utara akan melaksanakan Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur pada bulan Oktober 2008. Tahapan dan jadwal pelaksanaan Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara sudah dimulai sejak 25 Juni 2007 dimulai dari KPUD menerima surat pemberitahuan dari DPRD Provinsi Maluku Utara. Tahapannya telah dilakukan melalui pembentukan PPK, PPS dan KPPS, Panitia ad hoc di tingkat kecamatan, kelurahan dan desa dan pada tanggal 24 Juli 2007. Masa pendaftaran pasangan calon telah selesai, dan terdapat 5 pasangan calon yang akan maju dalam pelaksanaan Pemilukada di Provinsi Maluku Utara yaitu : (1) dr.H. Abdul Gafur – Abdul rahim Fabanyo, (2) Drs. H.Thaib Armain – KH. Abdul Gani Kasuba, (3) Mudafar Syah – Rusdi Hanafi, (4) Anthony Charles Sunarjo - Amin Drakel dan (5) Irfan Edison – Ati Achmad. Dari hasil kunjungan kerja tersebut, DPR RI mengajukan enam hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam Pemilukada Maluku Utara antara lain : (1) Data Pemilih. Saat ini daftar pemilih potensial belum diberikan oleh Pemda (dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil) (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Dimana masih terdapat problem aspek teknis Anggaran (3) Masalah anggaran yang disediakan tidak mencukupi terlebih lagi Provinsi Maluku Utara adalah provinsi Kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terpisahkan oleh laut. (4) Kampanye. Jadwal kampanye bertepatan dengan bulan puasa dan Idul Fitri. Hal ini disebabkan KPUD Maluku Utara terikat aturan main bahwa tahapan pelaksanaan Pemilukada dimulai sejak KPU membuat surat pemberiBahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
69
tahuan ke DPRD. Kalau jadwal kampanye dimun-durkan KPUD khawatir dianggap melanggar UU karena wilayah geografis Maluku Utara agak sulit dijangkau. (5) Masalah 6 Desa yang diperebutkan oleh Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Utara. Arahan dari KPU Provinsi bahwa 6 Desa ini diserahkan ke Halmahera Utara dan telah dibentuk PPK di wialayah 6 desa sesuai arahan KPUD Provinsi, disisi lain KPUD Kabupaten Halmahera Utara juga menyiapkan PPK diwilayah yang sama. (6) Masalah pengajuan pasangan calon yang akan maju dalam pelaksanaan Pemilukada yang diusung oleh partai yang sama, KPUD Provinsi Maluku Utara perlu mengklarifikasi kepada Partai yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan pendaftaran dan hasil pemeriksaan dan seleksi berkas tersebut, KPUD Maluku Utara menolak salah satu pasangan calon yang dinilai tidak memenuhi persyaratan yakni : Mudafar Syah dan Rusdi Amin yang didukung oleh Koalisi Maluku Utara Bersatu 13 partai politik kecil yang beralih pendukungannya ke calon lain sehingga tidak memenuhi kuato 15 % yang persyaratkan dalam Undang-undang Akibat penolakan KPUD Maluku Utara tersebut, massa pendukung Mudafar Syah dan Rusdi Amin mendatangi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Maluku Utara untuk melakukan protes dan turun ke jalan-jalan melakukan aksi-aksi demonstrasi menentang sikap KPUD yang dinilai arogan, tidak transparan dan tidak adil. Sikap KPUD Maluku Utara menolak pencalonan pasangan Mudafar Syah dan Rusdi Amin tersebut, memicu massa pendukungnya melakukan aksi-aksi ke Kantor KPUD Maluku Utara dan berdemonstrasi sepanjang jalan sambil merusak sejumlah fasilitas umum. Selain itu, massa juga terlibat bentrok dengan aparat keamanan dari POLDA Maluku Utara yang
70
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
bertugas melakukan pengamanan pada saat itu dan terjadi saling lempar batu bahkan saling menyerang. Dalam perkembangannya, mobilisasi massa pendukung kandidat tersebut yang menentang keputusan KPUD karena yang dinilai tidak adil karena menolak pencalonan kandidat yang bersangkutan sementara disisi lain KPUD juga tetap bertahan pada keputusannya sehingga semakin membuat situasi semakin tegang. Para unsur KPUD mulai diungsikan ke tempat yang lebih aman dan dijaga aparat keamanan karena dikhawatirkan terjadi penyerangan terhadap ketua dan anggota KPUD Malut dari massa yang melakukan protes. Perkembangan selanjutnya, Upaya dari semua elemen yang terkait, baik KPUD Maluku Utara, aparat pemerintahan dalam upaya mensosialisasaikan letak pokok permasalahannya yang selanjutnya dengar kerja keras tersebut dapat membuahkan hasil KPUD Maluku Utara secara resmi menetapkan 4 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. 1. 2. 3.
4.
Thaib Armain dan Gani Kasuba didukung oleh PKS, PBB, PBR, Demokrat, PKB, PKPB Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo didukung oleh Golkar, PAN, PDK Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel didukung oleh Partai Merdeka, Marhaen, PBSD, PKPPI, PPDI, PNI Irvan Eddyson dan Atti Ahmad didukung oleh PDS
Secara keseluruhan, keempat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Maluku Utara setelah ditetapkan oleh KPUD Maluku Utara, membuat situasi yang sebelumnya tegang dan mencekam kembali normal seperti biasa, aktivitas masyarakat kembali normal dan tidak dihantui perasaan cemas Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
71
dan takut karena massa pendukung kandidat (Mudafar Syah dan Rusdi Amin) yang sempat melakukan protes mulai tenang kembali. 2) Konflik pada tahap pemungutan suara Proses pemungutan suara berlangsung setelah KPUD Maluku Utara menetapkan Empat pasangan calon yang dinilai memenuhi syarat untuk maju dalam Pemilukada. Dalam perkembangannya, KPUD dan Bawaslu kembali menuai protes dari sekelompok massa karena dinilai membiarkan sejumlah praktik kecurangan dan pelanggaran berlangsung tanpa ada sanksi hukum dan administrasi. Sekelompok massa juga menuding kelompok lain melakukan kecurangankecurangan sehingga mengundang reaksi kelompok lain dan akibatnya, konflik pun tak terhindarkan. Akibat aksi saling tuding dari kelompok massa yang bersaing ketat yakni kubu Abdul Gafur-Rahim Fabanyo dan Thayib Armain–Gani Kasuba beserta protes terhadap KPUD Malut menyebabkan terjadinya konflik sosial dari massa kedua kubu tersebut. Masing-masing kubu bergantian melakukan aksi demonstrasi di Kantor KPUD dan DPRD yang berdampak pada penggantian sejumlah anggota KPUD dan bentrokan massa. 3) Konflik pada tahap perhitungan suara bagi pasangan calon terpilih Dalam perhitungan suara, Senin Tanggal 5 November Tahun 2007, KPUD Maluku Utara (Malut) mengumumkan perolehan sementara pasangan Thaib Armain-Gani Kasuba menduduki urutan pertama dengan perolehan 39,26 persen atau 140.377 suara dari data yang diperoleh dari jumlah 357.596 suara sah masuk ke KPUD.
72
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Posisi ke dua ditempati pasangan Abdul Gafur-Abdul Rahim Fabanyo dengan perolehan 36,29 persen atau 129.756 suara. Posisi ke tiga, diduduki pasangan Anthony Charles Sunaryo-Amin Drakel. Pasangan yang dijagokan PDIP ini memperoleh 14,70 % atau 52.560 surat suara. Sedangkan posisi juru kunci disandang pasangan Irvan Edison-Ati Achmad dengan perolehan 34.903 suara atau 9,76 % suara. Dalam perhitungan suara tersebut, pasangan yang dinyatakan menang oleh KPUD yakni Thaib Armaiyn-Gani Kasuba mendapat protes dari kubu Abdul Gafur-Abdul Rahim Fabanyo. Pasca pemungutan suara, konflik semakin meluas setelah KPUD menetapkan salah salah satu pasangan calon atau kandidat sebagai peraih suara terbanyak dan sekaligus dinyatakan sebagai pemenang Pemilukada. Dalam kondisi demikian, pertentangan demi pertentangan yang berujung pada sengketa dan konflik berkepanjangan melibatkan massa pendukung dari kandidat yang dinyatakan sebagai pemenang dengan massa pendukung dari kandidat yang tidak siap menerima kekalahan atau menolak keputusan KPUD. Rangkaian atau rententan aksi-aksi pro dan kontra atas keputusan KPUD tersebut semakin meluas dan berlarut-berlarut sehingga mendorong KPU Pusat untuk mengambil alih perhitungan ulang/ rekapitulasi perhitungan suara. Berikut data perolehan suara empat kandidat di delapan kabupaten kota Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 N0.
Daerah Pemilihan
Jumlah Perolehan Suara
KOTA TERNATE 1 Thaib Parmain dan Gani Kasuba 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo 3 Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel 4 Irvan Eddyson dan Atti Ahmad
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
8.024 35.440 2.493 3.713
73
Kabupaten Halmahera Utara 1 Thaib Parmain dan Gani Kasuba 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo 3 Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel 4 Irvan Eddyson dan Atti Ahmad Kabupaten Halmahera Utara 1 Thaib Parmain dan Gani Kasuba 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo 3 Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel 4 Irvan Eddyson dan Atti Ahmad Kota Tidore Kepulauan 1 Thaib Parmain dan Gani Kasuba 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo 3 Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel 4 Irvan Eddyson dan Atti Ahmad Kabupaten Halmahera Timur 1 Thaib Parmain dan Gani Kasuba 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo 3 Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel 4 Irvan Eddyson dan Atti Ahmad Kabupaten Halmahera Tengah 1 Thaib Parmain dan Gani Kasuba 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo 3 Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel 4 Irvan Eddyson dan Atti Ahmad Kabupaten Halmahera Selatan 1 Thaib Parmain dan Gani Kasuba 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo 3 Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad Amin Drakel 4 Irvan Eddyson dan Atti Ahmad Kabupaten Kepulauan Sula 1 Thaib Parmain dan Gani Kasuba 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo
74
12.740 12.955 7.755 4.102 29.104 14.356 24.168 16.951 17.699 26.966 1.395 2.840 6.021 9.558 3.326 1.629 2.634 5.017 2.331 802 38.626 12.046 4.360 676 5.129 14.386
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
3
Anthony Charles Sunaryo dan Muhammad 6.606 Amin Drakel 4 Irvan Eddyson dan Atti Ahmad 4.028 Sumber : KPUD Maluku Utara, Tanggal 5 November Tahun 2007
Isu permasalahan yang menimbulkan sengketa dan konflik sosial : (1) Berita dari Radio Ternate (Hikmah FM), KPUD Halmahera Utara diduga kuat telah memanipulasi suara. Suara milik pasangan PDIP (A. Charles - A. Drakel) dipindahkan ke pasangan Golkar (A. Gafur - R. Fabanyo). (2) KPUD Kab. Halmahera Utara di duga melakukan penggelembungan suara (3) KPUD Kabupaten Halmahera Utara Maluku Utara di duga melakukan penggelembungan Suara yang mencapai sekitar 3.200 suara. Penggelembungan suara terjadi di Kecamatan Sahu Timur Kabupaten Halmahera Utara, dimana pasangan Antoni Carles- Amin Drakel meraih sekitar 1.200 suara, Thaib Armain - Gani Kasuba meraih 1.500 suara sementara pasangan Abdul Gafur - Abdurahim Fabanyo meraih 543 suara. (4) Namun dalam pleno KPUD Halmahera Utara terjadi perubahan suara yaitu suara milik pasangan Antoni Carles dialihkan ke pasangan Abdul Gafur sementara suara yang diraih pasangan Abdul Gafur dialihkan ke pasangan Antoni Carles. Menurut ketua KPUD Demisioner, Rahmi Husain, mengungkapkan bahwa perhitungan suara bermasalah, KPUD membuat suatu metode lewat sms sederhana yang diakses ke KPPS, hal ini tujuannya adalah menjawab tuntutan masyarakat tentang informasi perkembangan Pemilukada. Jadi hal ini tidak
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
75
bisa dijadikan sebagai dasar hukum. Namun sayangnya Polda juga melakukan hal seperti itu tanpa ada dasar dan kompetensi. Ketua Panwas Suratman Djafar melaporkan pihak KPUD yang dinilai bermasalah, khususnya KPUD Halsel dan Halbar diisukan melakukan penggelembungan suara. Atas dasar adanya laporan tersebut, KPUD Halsel dipanggil oleh Polda Maluku Utara untuk diperiksa, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak terbukti. Sedangkan untuk KPUD Halbar ditemukan terindikasi kuat, karena berbagai kesepakatan yang dibuat telah dilanggar. Temuan tersebut juga sejalan dengan pelaporan data-data lewat pesan singkat (Short Messages atau Sms) yang memberitakan bahwa mereka tidak melakukan Pleno, sementara kabupaten dan kota yang lain telah melakukannya dan mengirim hasilnya. Polda Maluku Utara menemukan berita acara perubahan dan penggelembungan suara di Jailolo, Sahu Timur, dan Keca-matan Ibu Selatan. Temuan berita acara tersebut dibuka di ruang kerja Bupati dan disaksikan oleh para ketua Pokja dan Panwas Syawal Abd Adjid dan didampingi pihak kepolisian, yang terindikasi melakukan perubahan suara dan penggelembungan pada tanggal 12 Oktober 2007. Dihadiri para Ketua Pokja dan Panwas Syawal Abd Adjid. Hal-hal ini tidak dimuat di media (tapi terdokumentasikan pada CD yang dapat dilihat secara jelas. Dasar ini selanjutnya mendasari pihak KPUD membekukan KPUD Halbar. Hal ini berimbas bersatunya kandidat yang kalah dan tidak menerima pembekuan KPUD Halbar ini. Rapat Pleno tanggal 14 November 2007 dipending dan KPUD Provinsi Malut pun dikurung. Selanjutnya pada tanggal 16 November hasil temuan dipublikasikan dengan mengambil dasar hasil perhitungan dari Rusli Djalil ketua KPUD Halbar. Dalam kaitan tersebut, ketentuan Undang-Undang mengatur bahwa : 1) Jika ada protes dari saksi dari adanya berbeda angka, dan itu betul maka kewajiban penyelengara 76
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
adalah membetulkan, 2) jika ada perdebatan misalnya KPUD Provinsi maka turun memeriksa satu tingkat dibawahnya yakni PPK. Jadi dengan demikian semua sudah jelas. Dan setelah selesai. Karena KPUD kabupaten dan kota lain tidak ada masalah. Keputusan KPU Pusat mengambil alih perhitungan suara tersebut, pada kenyataannya tidak menyelesaikan masalah bahkan cenderung semakin mempertajam konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal kian menampakkan wajahnya setelah adanya intervensi Mendgari dan sejumlah elit politik partai di tingkat pusat dan aksi-aksi saling mengadukan persoalan ke aparat penegak hukum (Mahkamah Agung) dan DPR pun semakin tak terhindarkan. 4) Konflik pada tahap penentuan dan pengesahan pasangan calon terpilih Pertentangan demi pertentangan yang berujung pada sengketa dan konflik berkepanjangan melibatkan massa pendukung dari kandidat yang dinyatakan sebagai pemenang dengan massa pendukung dari kandidat yang tidak siap menerima kekalahan atau menolak keputusan KPUD. Rangkaian atau rententan aksi-aksi pro dan kontra atas keputusan KPUD tersebut semakin meluas dan berlarut-berlarut sehingga mendorong KPU Pusat untuk mengambil alih perhitungan ulang/ rekapitulasi perhitungan suara. Sejumlah LSM, elit politik dan sejumlah tokoh masyarakat serta tokoh pemangku adat mengungkapkan bahwa dendam di kalangan kelompok masyarakat masih sulit terhapus dalam waktu singkat sehubungan dengan peristiwa konflik SARA beberapa tahun silam, dan dendam itu bisa muncul kembali jika ada kebijakan-kebijakan yang menimbulkan pro kontra bahkan setiap saat bisa meledak kembali jika pemeBahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
77
rintah dan elit politik lokal tidak pandai merangkul semua golongan. Sebagian masyarakat juga semakin dewasa dan tidak mudah memberikan reaksi jika ada isu-isu negatif. Sedang masyarakat yang fanatik masih menaruh dendam atas kejadian masa lalu namun mereka juga dapat menerima nasihat yang diberikan agar tidak terlibat dalam konflik. Kesemuanya itu masih dapat dikendalikan dan selalu diberi nasihat agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu menyesatkan dan tidak benar. Kehidupan masyarakat pada dasarnya sudah damai, normal dan tidak ada lagi konflik bahkan sudah pernah dilakukan perjanjian damai yang melibatkan seluruh komponen masyarakat mulai dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, serta pejabat pemerintah daerah. Berkat dukungan dari Wakil Presiden Yusuf Kalla yang terus melakukan upaya negosiasi akhirnya semua pihak yang pernah bertikai dapat saling menerima dan memahami posisi masing-masing. Namun demikian, pihak POLDA tetap selalu siap siaga mengantisipasi setiap sumber-sumber konflik yang bisa muncul dan menimbulkan dampak kepada masyarakat luas melalui koordinasikoordinasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan elemen masyarakat lainnya. Pernyataan Cetro Tentang keputusan Mendagri Atas sengketa Pemilukada Provinsi Maluku Utara antara lain : 2) Sengketa Pemilukada Provinsi Maluku Utara yang telah berlangsung selama tidak kurang dari 7 bulan akhirnya dapat titik terang dengan dikeluarkannya Keputusan Mendagri tentang penetapan pasangan Thaib Armaiyn dan Abdul Ghani Kasuba sebagai pemenang Pemilukada. 3) Keputusan Mendagri ini didasarkan pada keputusan MA No.3 P/KPUD/2007 tertanggal 22 Januari 2008 dan pertimbangan hukum Mahkamah Agung (MA) yakni fatwa MA No. 022/KMA/III/2008 tertanggal 10 Maret 2008 yang menyatakan bahwa keputusan KPU Maluku 78
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Utara versi Rahmi Husen dinyatakan telah sesuai dengan prosedur yuridis dan ketentuan hukum acara perdata. Berdasarkan fatwa MA ini, Mendagri juga harus memutuskan pemenang Pemilukada dengan terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan DPRD Maluku Utara. Hanya saja, Rapat Paripurna DPRD Maluku Utara, 16 April 2008 yang dimaksudkan sebagai forum penyelesaian sengketa Pemilukada tetap memunculkan dua pasangan calon terpilih yang berbeda karena DPRD juga terpecah menjadi dua kelompok. Dengan demikian, pemerintah tidak dapat menjadikan hasil Rapat Paripurna DPRD tersebut sebagai landasan penyelesaian sengketa Pemilukada. 4) Pertimbangan hukum kedua adalah Keputusan MA No.099/KMA/V/2008 tanggal 14 Mei 2008, yang substansinya menyatakan bahwa pemerintah pusat berwenang menyelesaikan persoalan Pemilukada Maluku Utara sebagai beleid (kebijakan) dan harus melihatnya dari sisi manfaat dengan melihat potensi gejolak sosial, politik dan keamanan yang paling minim. Atas dasar pertimbangan hukum MA tersebut, Mendagri akan mengusulkan pembuatan Keputusan Presiden (Keppres) untuk melantik pasangan Thaib Armaiyn dan Abdul Ghani Kasuba sebagai pasangan calon terpilih. 5) Sikap Mendagri atas nama pemerintah pusat tersebut perlu diberikan apresiasi sebagai upaya akhir penyelesaian konflik Pemilukada yang telah menguras banyak energy dan menimbulkan kerentanan ketegangan maupun konflik horizontal di Maluku Utara. 6) Keputusan Mendagri ini telah sesuai dengan kerangka hukum berdasarkan keputusan pertimbangan hukum MA yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikan sengketa Pemilukada.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
79
7) Dalam konteks ini, kekhawatiran banyak pihak atas sikap Mendagri yang dinilai memihak salah satu pasangan calon juga perlu diletakkan secara proporsional dalam perspektif hukum dan aturan-aturan mengenai penyelenggaraan Pemilukada agar tidak distortif. Apalagi, Mendagri juga dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pengambilan keputusan tersebut. 8) Keputusan Mendagri yang didasarkan pada keputusan dan pertimbangan hokum MA sekaligus mengingatkan bahwa intervensi yang terlalu jauh dari KPU terhadap penyelenggaraan Pemilukada telah menimbulkan preseden buruk berupa sengketa berkepanjangan yang tiada akhir. Oleh karena itulah, sebagai bagian dari kelompok masyarakat sipil yang selalu konsisten dalam mendorong terwujudnya Pemilukada yang demokratis dan berkualitas, maka Centre for Electoral Reform (CETRO) menyatakan sikap: (a) Menghargai keputusan Mendagri atas nama pemerintah pusat tersebut sebagai upaya optimal dalam menyelesaikan sengketa Pemilukada Provinsi Maluku Utara. (b) Meminta kepada semua pihak untuk menerima dan menghormati keputusan Pemerintah yang didasarkan kepada keputusan MA tersebut. Dengan demikian diharapkan tidak akan terciptanya ketegangan baru di Malut. (c) Meminta kepada Presiden SBY untuk segera mengeluarkan keputusan pengesahan pengangkatan Pasangan calon terpilih Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Malut. Dengan demikian Pemerintahan Daerah Malut definitif segera terbentuk dan berfungsi. (d) Mengingatkan kepada semua pihak bahwa sengketa Pemilukada yang berkepanjangan dengan nyata telah 80
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
menguras energi dan membuat proses demokratisasi lokal menjadi kurang produktif. (e) Demikianlah pernyataan pers ini kami keluarkan dalam rangka mendorong terselenggaranya Pemilukada yang demokratis dan berkualitas. Irvan Mawardin dalam tulisannya bertajuk “Polemik Pemilukada Maluku Utara menjelaskan bahwa ketika akan menyikapi perkembangan terakhir Pemilukada Maluku Utara, maka perlu membuka kembali kronologis konflik Pemilukada di provinsi pecahan Maluku ini. Sebab, secara umum, ada 2 perspektif yang akan melekat dalam kasus Pemilukada Maluku Utara ini, yakni perspektif legal fomal dan perspektif sosiologis, dalam hal ini dinamika sosio cultural daerah setempat. Kronologis polemik Pemilukada Maluku Utara adalah sebagai berikut : 1) Mahkamah Agung telah memutuskan konflik Pemilukada Malut dengan amar putusan memerintahkan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara dan membatalkan hasil penghitungan ulang yang dilakukan oleh KPU. Dalam amar putusannya, MA berpendapat bahwa penerapan Pasal 122 Ayat (1) maupun Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelaksanaan Pemilukada dalam kasus penghitungan ulang Pemilukada Malut oleh KPU tidak dapat dibenarkan dan cacat secara yuridis. Pengambilalihan kewenangan oleh KPU pada dasarnya bertentangan dengan saran atau pertimbangan KPU ke KPUD Malut yang isinya menyarankan bahwa bila rekapitulasi penghitungan terdapat keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara, keberatan itu diajukan ke MA. Karena itu, MA menilai pengambilalihan yang dilakukan oleh KPU mengandung cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
81
hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan. 2) Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut dari perintah MA untuk melakukan penghitungan ulang, terdapat dua versi penghitungan ulang, yaitu: versi KPU Malut yang dipimpin oleh Mukhlis Tapitapi (yang diakui keabsahannya oleh KPU Pusat) dan versi KPU Malut yang dipimpin oleh Rahmi Husein (yang diberhentikan KPU Pusat dan tidak diakui keabsahannya oleh KPU Pusat). Terhadap dua versi penghitungan ulang tersebut dihasilkan dua versi hasil penghitungan yang bertolak belakang. Hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Malut yang dipimpin Mukhlis Tapitapi memenangkan pasangan Abdul GhafurAbdurahim Fabanyo. Hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Malut yang dipimpin Rahmi Husein memenangkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Ghani Kasuba. 3) Terhadap dua versi hasil penghitungan suara tersebut Mendagri, pada tanggal 26 Februari 2008, mengirimkan surat guna meminta fatwa kepada MA. MA mengeluarkan fatwa tertanggal 10 Maret 2008 untuk menjawab surat Mendagri tersebut. Dalam fatwanya MA menilai penghitungan yang dilakukan Ketua dan Anggota KPU Malut, yaitu Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman telah memenuhi prosedur hukum acara perdata. Fatwa itu menyebutkan prosedur dan tata cara eksekusi pelaksanaan penghitungan suara mengikuti ketentuan Hukum Acara Perdata, yakni harus didahului dengan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan dan diikuti dengan penetapan eksekusi. Dalam penghitungan yang dilakukan oleh Ketua KPU Malut Rahmi Husein hadir Ketua Pengadilan Tinggi Malut dan ikut menandatangani hasil penghitungan suara. Fatwa itu juga didasarkan pada Putusan MA yang menilai pengambilalihan oleh KPU cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang 82
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan (termasuk di dalamnya surat keputusan penonaktifan Ketua dan Anggota KPU Malut Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman). 4) Berdasarkan hasil fatwa tersebut Mendagri berkonsultasi dengan Presiden dan Wakil Presiden untuk menentukan langkah selanjutnya. Hasil rapat kabinet terbatas yang dilakukan guna membahas hal ini memutuskan untuk menyerahkan persoalan Pemilukada Malut kepada DPRD Malut 5) Kemudian berdasarkan fatwa MA Mendagri yang menyatakan gubernur terpilih adalah Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba. Ditinjau dari dinamika sosio cultural, maka konflik dan dampak sosial di Maluku Utara apabila menggunakan murni kacamata hukum, legal formal ansich, maka kronologis di atas akan memperoleh kebenaran legal. Namun mesti dipahami, hukum tidak sekedar lahir dari tulisan kertas hitam putih. Namun hukum mesti ditemukan dari berbagai aspek, termasuk aspek budaya dan sosial politik yang berkembang dalam satu daerah tertentu. Sehingga perspekti sosiologis bisa dihadirkan; Pertama, awal kisruh sesungguhnya ada pada konteks tidak independennya KPU Maluku Utara dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggaran Pemilukada. Tidak netralnya KPU, khususnya ketua KPU, Rahmi Husein karena adanya kecenderungan memihak pada pasangan Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba. Keberpihakan ketua KPU kepada pasangan Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Malut mengingat Rahmi Husein memiliki kedekatan etnis dengan pasangan Thaib ArmaynAbdul Gani Kasuba Kedua, setelah setiap tahapan Pemilukada Malut terlalu menguntungkan pihak Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba, Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
83
maka terjadilah klimaks ketidaknetralan KPU Malut yakni ketika detik-detik selesainya penghitungan total suara dari semua kabupaten. Pada saat itu, hanya 3 PPK dari Halmahera Utara yang belum masuk pada tabulasi data KPUD. Sebelum data dari 3 kecamatan ini masuk, posisi pasangan Abdul Ghafur-Abdurahim Fabanyo sudah unggul tipis dengan pasangan Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba. Dan informasi dari HalBar menunjukkan bahwa hasil 3 PKK itu tetap memposisikan Abdul Ghafur sebagai pemenang. Dalam posisi tersebut, Rahmi Husein merasa bertanggung jawab atau tidak membantu apabila pasangan Thaib Armayn kalah. Maka, the last minute betul-betul dipergunakan untuk membantu Thaib dengan menuding bahwa di 3 PPK tersebut, terjadi penggelembungan suara. KPU Malut menganggap bahwa penghitungan di 3 kecamatan di Halbar tidak sah karena terjadi penggelembungan suara. Penghitungan kemudian diambil alih oleh KPU Malut dan atas nama keamanan, mereka melakukan penghitungan ulang di Jakarta Ketiga, mengingat kinerja KPU Malut yang sangat buruk, maka KPU Pusat secara cepat merespon dan memberhentikan 2 anggotanya. Hal ini dilakukan oleh KPU berdasarkan landasan yuridis, pasal 29 ayat 2 Undang-undang nomor 22 tahun 2007 yang mengatur bahwa : diberhentikan apabila: a. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, b. melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik, c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan secara berturut-turut selama 3 (tiga) bulan atau berhalangan tetap, d.dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, e.dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana Pemilu, f. tidak menghadiri rapat pleno yang menjadi 84
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
tugas dan kewajibannya selama 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas; atau dan g. melakukan perbuatan yang terbukti menghambat KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dalam mengambil keputusan dan penetapan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan. Keputusan ini diambil oleh KPU karena KPUD Malut dalam hal ini Rahmi Husein dianggap tidak independen dan menghambat kinerja KPU Halmahera Utara. Keputusan ini ditindaklanjuti dengan mengambil alih sementara Pemilukada Maluku Utara. Pada posisi inilah kemudian, konflik terus berkepanjangan karena MA menganggap pemecatan yang dilakukan oleh KPU tidak sah, sehingga kemudian melahirkan polemik berkepanjangan karena memposisikan seolah-olah ada dua pihak penyelenggaran Pemilukada Malut. Keempat, pihak atau Kubu Abdul Ghafur-Abdurahim Fabanyo masih menganggap diri mereka sebagai pemenang, karena mereka yakin tidak ada penggelembungan suara di 3 kecamatan di Halmahera Utara. Selain itu, mereka meyakini bahwa faktor tidak netralnya KPUD menjadi pemicu utama konflik Pemilukada. Kelima, oleh karenanya untuk memutus rantai konflik ini, maka perlu penemuan hukum baru dalam kasus Pemilukada Maluku Utara, yakni perlunya MA mengeluarkan putusan yang bersifat lex specialist yakni memerintahkan Pemilukada Ulang di Maluku Utara, yang diikuti oleh 2 pasangan tertinggi. Terobosan hukum ini penting dilakukan untuk mengakhiri segera konflik Pemilukada Maluku Utara dan memastikan pemerintahan baru di Maluku Utara. Diyakini bahwa, ongkos melakukan Pemilukada ulang relatif lebih kecil daripada membiarkan warga Maluku Utara berada dalam konflik dan ketidakpastian yang berkepanjangan. Oleh karena itu, KPUD dan Bawaslu hendaknya secara sungguh-sungguh memposisikan diri sebagai pihak yang independen dan mampu memberikan pelayanan yang objektif Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
85
kepada semua kandidat. Ketidaknetralan KPU/KPUD akan menjadi salah satu pemicu munculnya konflik pada Pemilukada. Kedua, perlu segera mengevaluasi dan memperbaiki sistem kerja di setiap tahapan Pemilukada yang selama ini ini rawan memicu konflik. Misalnya soal pendaftaran pemilih. Sudah saatnya persoalan sistem pendaftaran pemilih dikoreksi total dengan memfungsikan kembali kerja Dinas Kependudukan secara maksimal. Ketiga, merevitalisasi fungsi Bawaslu dan Panwaslu dalam merespon laporan pelanggaran. Umumnya, konflik Pemilukada dimulai dari minimnya lambatnya Panwaslu dalam merespon pelanggaran yang terjadi. Karena pihak panwaslu tidak merespon secara cepat, maka masyarakat kemudian mai hakim sendiri yang berbuntut pada konflik. Keempat, para kandidat yang sudah ditetapkan sebagai calon resmi,hendaknya secara sungguh-sungguh melaksanakan komitmen Siap Menang dan Siap Kalah. Selama ini, jargon tersebut sekedar ucapan simbolik untuk meraih simpati. Namun pada prakteknya, sebagian besar kandidat justru siap Menang dan tak siap Kalah. Selain itu, segenap stakeholders Pemilukada mesti memiliki komitmen bersama untuk mempo-sisikan Pemilukada sebagai kekuatan awal konsolidasi demokrasi di daerah. Selanjutnya, untuk menjamin legitimasi politis bagi pemimpin yang terpilih, maka sengketa politik yang diawali oleh kekecewaan akibat kekalahan mestinya diakhiri dengan duduk bersama antar semua kandidat, baik yang kalah maupun yang menang. Hendaknya para kandidat yang bertarung dalam Pemilukada mampu memberi contoh kepada masyarakat bahwa menang dan kalah adalah sebuah dinamika dalam demokrasi.
86
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
2. Sumber dan kronologi konflik pada proses penyelesaian sengketa Pemilukada Sumber dan kronologi konflik sosial selama proses penyelesaian sengketa Pemilukada Maluku Utara adalah : a. Mahkamah Agung telah memutuskan konflik Pemilukada Malut dengan amar putusan memerintahkan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara dan membatalkan hasil penghitungan ulang yang dilakukan oleh KPU. Dalam amar putusannya, MA berpendapat bahwa penerapan Pasal 122 Ayat (1) maupun Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelaksanaan Pemilukada dalam kasus penghitungan ulang Pemilukada Malut oleh KPU tidak dapat dibenarkan dan cacat secara yuridis. Pengambilalihan kewenangan oleh KPU pada dasarnya bertentangan dengan saran atau pertimbangan KPU ke KPUD Malut yang isinya menyarankan bahwa bila rekapitulasi penghitungan terdapat keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara, keberatan itu diajukan ke MA. Karena itu, MA menilai pengambilalihan yang dilakukan oleh KPU mengandung cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan. b. Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut dari perintah MA untuk melakukan penghitungan ulang, terdapat dua versi penghitungan ulang, yaitu : versi KPU Malut yang dipimpin oleh Mukhlis Tapitapi (yang diakui keabsahannya oleh KPU Pusat) dan versi KPU Malut yang dipimpin oleh Rahmi Husein (yang diberhentikan KPU Pusat dan tidak diakui keabsahannya oleh KPU Pusat). Terhadap dua versi penghitungan ulang tersebut dihasilkan dua versi hasil penghitungan yang bertolak belakang. Hasil rekapitulasi Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
87
perolehan suara KPU Malut yang dipimpin Mukhlis Tapitapi memenangkan pasangan Abdul GhafurAbdurahim Fabanyo. Hasil rekapitulasi perolehan suara KPUD Malut yang dipimpin Rahmi Husein memenangkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Ghani Kasuba. c. Terhadap dua versi hasil penghitungan suara tersebut Mendagri, pada tanggal 26 Februari 2008, mengirimkan surat guna meminta fatwa kepada MA. MA mengeluarkan fatwa tertanggal 10 Maret 2008 untuk menjawab surat Mendagri tersebut. Dalam fatwanya MA menilai penghitungan yang dilakukan Ketua dan Anggota KPU Malut, yaitu Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman telah memenuhi prosedur hukum acara perdata. Fatwa itu menyebutkan prosedur dan tata cara eksekusi pelaksanaan penghitungan suara mengikuti ketentuan Hukum Acara Perdata, yakni harus didahului dengan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan dan diikuti dengan penetapan eksekusi. Dalam penghitungan yang dilakukan oleh Ketua KPU Malut Rahmi Husein hadir Ketua Pengadilan Tinggi Malut dan ikut menandatangani hasil penghitungan suara. Fatwa itu juga didasarkan pada Putusan MA yang menilai pengambilalihan oleh KPU cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan (termasuk di dalamnya surat keputusan penonaktifan Ketua dan Anggota KPU Malut Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman). d. Berdasarkan hasil fatwa tersebut Mendagri berkonsultasi dengan Presiden dan Wakil Presiden untuk menentukan langkah selanjutnya. Hasil rapat kabinet terbatas yang dilakukan guna membahas hal ini memutuskan untuk menyerahkan persoalan Pemilukada Malut kepada DPRD Malut.
88
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Dengan perkembangan hasil rapat kabinet yang menyerahkan penyelesaian sengketa Pemilukada Malut kepada DPRD Malut, FPKS menyatakan sangat kecewa dengan alasan: 1) Keputusan rapat kabinet tidak mengindahkan prosedur hukum penyelesaian sengketa hasil Pemilukada yang telah dilakukan oleh MA. 2) Penyelesaian politik sebagaimana hasil rapat kabinet merupakan preseden buruk bagi pelaksanaan demokrasi. Apalagi sebentar lagi kita akan menghadapi Pemilu 2009 dan masih ada sekian ratus Pemilukada yang akan digelar di Indonesia. 3) Pelimpahan penyelesaian sengketa Pemilukada Malut kepada DPRD Malut tidak memiliki dasar hukum dan bukan kewenangan Mendagri. 4) Pelimpahan penyelesaian sengketa Pemilukada Malut kepada DPRD hanyalah upaya pemerintah untuk melempar tanggung jawab dan dapat menimbulkan konflik yang meluas. Berdasarkan pertimbangan di atas FPKS menyatakan sikap: a) Meminta DPRD untuk menolak pelimpahan proses penyelesaian sengketa hasil Pemilukada Malut karena selain tidak memiliki dasar hukum, menciderai proses dan prosedur hukum, menimbulkan preseden buruk, juga dapat memperluas konflik sosial di kalangan masyarakat. b) Meminta semua pihak, terutama Pemerintah, untuk menaati prosedur hukum berikut hasil-hasilnya dalam memutus sengketa hasil Pemilukada Malut. Prosedur hukum yang telah ditempuh berdasarkan Putusan MA adalah melakukan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Halmahera Utara. Terhadap dua versi hasil penghitungan ulang, MA telah mengeluarkan fatwa sebagaimana dimintakan oleh MenBahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
89
dagri, yang menyatakan bahwa penghitungan ulang yang dilakukan Ketua dan Anggota KPU Malut Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman telah memenuhi prosedur hukum acara perdata. Dapat disimpulkan bahwa hasil penghitungan yang dilakukannya pun sah. c) Berdasarkan putusan dan fatwa MA sebagai institusi pengadilan tertinggi dan demi menegakkan prinsip ketaatan terhadap hukum, FPKS meminta Mendagri atas nama Presiden menetapkan pasangan Thaib Armain-Abdul Ghani Kasuba sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Malut. Konflik yang berlarut-larut akibat sengketa Pemilukada yang tidak kunjung berakhir di Maluku Utara mendorong terjadinya proses hukum di lembaga peradilan (Mahkakah Agung). Dalam proses pengadilan sengketa Pemilukada tersebut, MA membatalkan keputusan KPU soal Pemilukada Maluku Utara. Majelis Hakim Agung yang diketuai Paulus Effendy Lotulung memutuskan untuk melakukan perhitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Maluku Utara. Hal itu disampaikan dalam amar putusan yang mengabulkan sebagian tuntutan pihak pemohon yakni pasangan Thaib Armaiyn di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada hari Selasa Tanggal 22 Januari Tahun 2008. Berdasarkan pertimbangannya, hakim menilai bahwa pengambilalihan tahapan Pemilukada Maluku Utara oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat adalah cacat yuridis. Oleh karena itu, semua surat keputusan KPU Pusat yang antara lain soal penetapan kepala daerah, yakni pasangan Abdul Gafur sebagai pemenang Pemilukada, penonaktifan kinerja KPU Provinsi Maluku Utara juga harus batal, sehingga dengan putusan MA membatalkan seluruh keputusan KPU Pusat. Alasan Majelis Hakim Agung untuk menggelar perhitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara, yakni kecamatan Jailolo, Ibu Selatan dan Sahu Timur, 90
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
dikarenakan bahwa hakim juga menilai apa yang dilakukan oleh KPU Provinsi Maluku Utara telah melanggar prosedur tetap. Prosedur yang dilanggar itu berupa pengambilan keputusan tanpa rapat pleno. Keputusan KPU Provinsi Maluku Utara dianggap adil walau melanggar karena dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh tiga anggota KPU provinsi termasuk Ketua KPU Provinsi Maluku Utara. Sementara itu, suasana sidang sengketa Pemilukada Maluku Utara berlangsung tegang, sekitar 300 orang personel aparat kepolisian terlihat berjaga. Penjagaan ketat pun diterapkan dengan menggeledah satu persatu pengunjung sidang yang masuk. Ruang sidang pun disesaki pengunjung dari dua kubu pasangan calon Gubernur. Sempat terjadi ketegangan kecil usai persidangan, saat kubu Thaib Armaiyn bersorak atas putusan hakim agung, pendukung Abdul Gafur membalas dengan teriakan. Namun kondisi bisa segera dinetralisir oleh kedua belah pihak. Pada 18 November 2007, KPU Provinsi Maluku Utara sudah mengumumkan pemenang pemilihan kepala daerah Maluku Utara yang sudah dilaksanakan pada 3 November 2007, yakni pasangan Thaib Armain (incumbent) dan Gani Kasuba. Pasangan ini, diusung koalisi partai politik PKS, PBB, PKB, Partai Demokrat dan sejumlah parpol lainnya. Namun menurut KPU Pusat, Pemilukada Maluku Utara dinilai tidak berjalan dengan baik, karena hasil pemilihan tidak melalui rapat pleno, sehingga keputusan KPUD itu dibatalkan dan diambil alih. Setelah itu, berdasarkan keputusan KPU Pusat pada 21 November 2007, KPU Pusat memutuskan bahwa pemenang Pemilukada adalah Abdul Gafur, lawan dari pasangan Thaib Armaiyn. Menanggapi putusan majelis hakim agung, kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum, Elza Syarief mengatakan putusan hakim sangatlah aneh. Sebab, lanjut dia, dalam amarnya hakim menyebutkan dan mengakui bahwa keputusan Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
91
KPU Provinsi Maluku Utara itu diambil tidak dalam rapat pleno melainkan di sebuah ruangan tertutup yang dihadiri oleh tiga anggota KPU Provinsi. Majelis jelas mengakui kesalahan KPU Provinsi, namun tetap saja putusannya aneh. Selain itu Elza juga menyoal putusan hakim yang membatalkan seluruh keputusan KPU Pusat. Menurutnya, tidak ada kewenangan hakim untuk membatalkan keputusan KPU. Kewenangan mereka itu hanya menyoal perhitungan suara. Elza langsung menyatakan akan melakukan peninjauan kembali atas putusan hakim. Saat ditanya wartawan, apa bukti baru yang akan menjadi dasar peninjauan kembali, Elza menjawab bahwa dirinya akan melaporkan Ketua KPU Provinsi Maluku Utara ke pihak kepolisian. Perbuatan yang dilakukan selama rapat tertutup dengan dua anggota KPU Provinsi Maluku Utara adalah sebuah penyekapan yang dilakukan Ketua KPU Provinsi. Itu menjadi salah satu dasar PK. Sedangkan pihak kuasa hukum Thaib Armaiyn, Andi M. Asrun mengatakan puas dengan putusan hakim. Penghitungan ulang yang akan dilakukan jelas memperlihatkan bahwa kliennya yakni pasangan incumbent Thaib Armaiyn adalah pemenang Pemilukada. Silahkan saja PK, namun bukti baru itu bukan sembarangan bukti. Mewakili KPU Provinsi Maluku Utara, Andi M. Asrun juga menyatakan menyambut baik putusan ini. Menurutnya, penonaktifan KPUD oleh surat keputusan KPU Pusat dan pengambilalihan tahapan Pemilukada itu tidak diperbolehkan. Putusan membuat jelas bahwa KPU Provinsi Maluku Utara sanggup menyelesaikan tahapan Pemilukada. Menurut M. Rahmi Husain, Pemilukada yang perjalanannya menimbulkan dampak antara lain : (1) Melahirkan sengketa memberi dampak terpolarisasinya media lokal pada calon-calon tertentu
92
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
(2) Terjadinya keretakan di berbagai kalangan, karena ini hanya menyangkut kepentingan elit, maka sangat perlu diadakan pencerahan (3) Semestinya juga dipertegas dengan memfungsikan semua elemen untuk bekerja berdasar porsinya dan tidak saling menyalib posisi dilain pihak, - dan yg lebih penting lagi adalah yang namanya aparat mesti Netral dan jangan turut bermain karena inbasnya justru pada masyarakat (hasil wawancara 7 Maret 2009)
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
93
94
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
DAMPAK SOSIAL KONFLIK PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI PROVINSI MALUKU UTARA
Dampak adalah sesuatu yang timbul dari suatu tindakan atau peristiwa dapat berupa akibat positif dan akibat negatif. Akibat yang timbul dapat mencakup domain yang terbatas dan dapat pula mencakup domain yang luas; dapat berlaku pada satu atau dua kelompok dan dapat pula mencakup sejumlah kelompok; dapat terjadi di dalam lingkup internal kelompok atau organisasi (Ingroup) dan dapat pula mencakup kelompok atau organisasi luar/ eksternal (Outgroup). Dampak sosial akibat Konflik Pra Pemilukada Rentetan peristiwa konflik di Provinsi Maluku Utara sebelum penyelenggaraan Pemilukada (Pilgub) Tahun 2007, pada realita atau faktanya telah menimbulkan dampak yang luas dan besar berupa korban nyawa, kerugian materi, pengungsian baik dalam skala individu atau kelompok kecil maupun skala massal, pengrusakan fasilita tempat tinggal dan sarana ibadah, prasarana dan sarana pendidikan serta kantor pemerintahan. Dampak sosial dari konflik yang terjadi selama bertahun-tahun yang bukan hanya melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda ras, suku dan agama, namun juga Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
95
melibatkan pihak militer atau aparat keamanan sehingga semakin memperparah perisitiwa konflik tersebut, dan sudah tentu sudah dapat diprediksi akibat atau dampaknya yang sangat luas, besar dan penderitaan – trauma berkepanjangan. Provinsi Maluku Utara di bentuk dengan Undang Undang Nomor 46 Tahun 1999 dan diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1999 merupakan pemekaran dari Provinsi Maluku. Sebagai Provinsi termuda, awal kelahiran Provinsi Maluku Utara telah dihadapkan pada persoalan konflik/kerusuhan antar warga yang bernuansa SARA. Kerusuhan yang terjadi sejak bulan Agustus 1999 di Kecamatan Makian Malifut - Kao, sampai saat ini sudah menjalar hampir di seluruh wilayah Kecamatan, kecuali Kecamatan; Kayoa, Taliabu Timur, Taliabu Barat, Sanana, dan Maba. Konflik/kerusuhan massa, telah menimbulkan banyak korban, baik fisik/materil, jiwa maupun moril masyarakat, dimana hampir seluruh pranata pemerintah, sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat rapuh dan tidak terbangun sebagaimana mestinya. Menyadari hal ini Pemda Provinsi Maluku Utara telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik/kerusuhan termasuk upaya rekonsiliasi bersama komponen pemerintahan dan aparat keamanan maupun masyarakat. Kendala yang masih dirasakan yakni antara kelompok masyarakat yang bertikai masih sangat cepat terprovokasi dan belum siap secara moril menerima Kenyataan akibat kerusuhan/pertikaian, sehingga yang nampak jelas masih muncul prasangka, sikap intoleransi dan fanatisme/ rasa solidaritas kelompok ( Agama ) dalam masyarakat. Selain itu, beban yang dirasakan cukup berat oleh Pemda Provinsi Maluku Utara untuk menangani akibat pasca kerusuhan seperti penampungan dan pemberian bantuan ( logistik dan medis) secara kontinyu kepaaa para pengungsi secara layak belum dapat terpenuhi. Secara umum, penyebab kerusuhan di Maluku Utara dapat diidentifikasi pada 3 hal, yakni : 96
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pembentukan dan Penataan beberapa Kecamatan dalam wilayah Kecamatan Maluku Utara. 2) Kerusuhan di Ambon turut berpengaruh terjadinya kerusuhan di Provinsi Maluku Utara, baik dari warga yang keluar dari Ambon maupun provokasi oknumoknum tertentu. 3) Selebaran yang bernuansa SARA menyebabkan masyarakat terprovokasi sehingga menimbulkan kerusuhan/ konflik. Peristiwa kerusuhan atau konflik menimbulkan serentetan dampak sosial di sejumlah wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Maluku Utara. Total Kerugian Berdasarkan data kerusuhan yang terjadi pada beberapa Kecamatan dalam wilayah Provinsi Maluku Utara, korban jiwa dan harta benda serta pengungsi secara keseluruhan sebagai berikut : No. 1
Jenis kerugian Korban jiwa
2
Harta benda
2
Pengungsi
Jumlah 1) Meninggal Dunia = 2.004 Jiwa 2) Luka berat/ringan = 1.769 Jiwa 3) Yang hilang/lari ke hutan = 2.315 Jiwa Rumah rusak/terbakar = 15.930 buah Gereja rusak/terbakar = 127 buah Mesjid rusak/terbakar = 114 buah Toko/Kios terbakar .....= 71 buah Sarana pendidikan rusak/terbakar = 78 buah Sarana perkantoran terbakar = 72 buah Sarana Kesehatan terbakar - 7 buah Kendaraan terbakar = 83 buah Lahan pertanian/petemakan = ribuan Ha/puluhan ribu ternak. 73.672 Jiwa (Kota Ternate) 74.593 Jiwa (Kab.Halmahera Tengah) 17.943 Jiwa (Kab.Muluku Utara) Total = 166.210 Jiwa
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
97
Dampak kerugian fasilitas sosial akibat konflik di Maluku Utara berupa kehilangan mata pencaharian, tempat usaha, sarana pendidikan, kendaraan roda dua dan empat, akomodasi. No. 1
Jenis kerugian Fasilitas perdagangan
Jumlah 6 pasar Pertokoan
2
Fasilitas pendidikan
3 buah
3 2
Fasilitas kesehatan Sarana transportasi
3 4
Kantor Notaris/PPAT Kantor Pemerintah
Puskesmas 117 unit roda empat 44 unit roda dua 312 unit becak 10 unit speedboat 2 unit
5
Fasilitas akomodasi
1 unit Kantor Pengadilan 3 buah hotel milik muslim
Keterangan Terutama yang tersebar di Kota Ternate, Tidore, terutama yang banyak muslim dari etnis Buton, Bugis, Jawa dan Sumatera. SMA Muhammadyah (rusak dan terbakar) Kompleks pendidikan Al Hilal (rusak dan terbakar) Terbakar Dirusak dan dibakar Sebagian besar milik muslim
Milik muslim dirusak Dibakar /terbakar Dirusak dan dibakar
Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa besarnya kerugian yang timbul akibat (dampak) dari konflik sosial. Kerugian tersebut bukan hanya materil melainkan korban jiwa; bukan hanya fasilitas pemerintah, fasilitas umum,fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan sarana transportasi melainkan juga fasilitas perdagangan dan ekonomi yang menjadi mata pencaharian. Dari kenyataan tersebut, dapat diasumsikan bahwa konflik sosial memuat dua tendensi yakni tendensi kecemburuan sosial yang berimbas ke tendensi SARA. Umumnya, elemen masyarakat yang mengalami kerugian adalah warga 98
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
pendatang yang berhasil dan menonjol kehidupan ekonominya, sehingga ada kecenderungan menjadi pemicu bagi penduduk asli yang merasa disaingi oleh warga pendatang, dan karena itu timbul benih-benih kecemburuan yang melahirkan suatu dorongan untuk mengusir warga pendatang secara tidak langsung melalui skenario kekacauan dan huru hara. Faktor kecemburuan sosial tersebut dikemas dengan isu SARA dan dimanfaatkan oleh elit politik untuk memenuhi hasrat dan kepentingannya. Atas dasar itu maka lahirlah provokasi-provokasi dan adudomba yang menyesatkan dan menggiring opini agar kelompok-kelompok masyarakat yang terbagi dalam etnis yang berbeda, latar belakang sosio kultur yang berbeda, perbedaan status ekonomi yang melahirkan suatu skenario besar dai mimpi menjadi kenyataan yaitu terjadinya konflik sosial yang pola dan eskalasinya secara bergelombang atau bertali temali dalam proses waktu. Sehubungan dengan realitas indikator-indikator dampak sosial dari eskalasi konflik yang merebak hampir seluruh wilayah Provinsi Maluku Utara, dilakukan crosscheck terhadap kondisi sosiopsikologi masyarakat di daerah itu. a. Masyarakat membutuhkan rasa tentram, aman dan damai untuk menjalankan aktivitasnya. Masyarakat dalam kesehariannya, memerlukan suatu lingkungan yang kondusif, tentram, aman dan damain sehingga dapat menjalankan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Dengan kondisi demikian, maka diharapkan tercipta hubungan yang harmonis, bebas berinteraksi dengan siapa saja tanpa sekatsekat etnis, ras, agama, budaya dan status sosial ekonomi. Banyak warga masyarakat disiksa, dianiaya, dibakar rumahnya dan dibantai serta dibunuh di tempat dengan caracara tidak manusiawi. Banyak perempuan kehilangan suami dan anaknya, banyak orang tua kehilangan anaknya, banyak Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
99
warga kehilangan tempat tinggal, banyak anak kehilangan kedua orang tuanya (menjadi yatim piatu), banyak warga kehilangan sanak keluarganya. Kebiadaban, arogansi, kerakusan dan kecongkakan elit politik dengan kebijakannya yang tidak adil telah menghancurkan segala-galanya dan mencabik nilai-nilai budaya yang sekian puluhan tahun terbangun. Anehnya, elit politik di pemerintahan seolah tidak punya rasa bersalah atau berdosa atas perbuatannya yang mengakibatkan masyarakat mudah terprovokasi, diadudomba, dirampas hak-hak dan kemerdekaannya, dan terkesan sengaja membiarkan konflik berlangsung tanpa ada upaya serius menghentikannya. Kebijakan yang salah urus telah mencampakkan warga masyarakat ke dalam jurang pertikaian dan konflik yang menelan korban tidak sedikit, kerugian harta atau materi, kehilangan sanak keluarga dan anggota keluarga, dan lainnya. Salah satu Pihak LSM pemuda Merah Putih (kamp 320 Cam) Fuad Duwila, SH dkk dalam perannya dan pokok-pokok pikirannya dalam melihat dampak sosial yang ditimbulkan dr Pilgub Maluku Utara (Pada tanggal 25 maret 09. pkl 09.0012.30 di bass camnya jati kecil) mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi beberapa tahun lalu masih menyisakan sejumlah persoalan sosial, kecemburuan sosial, potensi konflik, ketakutan, ancaman, intimidasi, permainan elit politik dan pertarungan konflik kepentingan yang menyengsarakan masyarakat. Konflik semakin meluas dan tak terkendali karena kelalaian aparat keamanan sangat lambat bertindak bahkan disinyalir ada sejumlah oknum aparat terlibat membela salah satu kelompok, bukan memberikan perlindungan bagi warga yang terancam jiwanya. Kejadian masa lalu cukup sudah menjadi pengalaman berharga dan untuk itu pihaknya berusaha agar kejadian konflik itu tidak terulang kembali. Pihaknya sudah berkoordinasi dan bekerjasama dengan aparat keamanan untuk memberikan 100
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
perlindungan keamanan sebaik-baiknya kepada masyarakat termasuk jaminan perlindungan keamanan bagi pengungsi, kelompok minoritas dan elemen-elemen masyarakat lainnya yang membutuhkan perlindungan keamanan. Mesikpun demikian, pihaknya juga terkadang tidak menduga akan terjadi suatu konflik karena muncul atau terjadi secara tiba-tiba, namun syukur beberapa tahun terakhir masyarakat sudah semakin dewasa dan tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang menyesatkan atau tidak benar sehingga dapat dihindarkan terjadinya benturan dan bentrokan atau konflik. Beberapa pemerhati masalah konflik sosial di Maluku Utara mengungkapkan bahwa potensi konflik masih sangat besar dan sewaktu-waktu bisa meledak kembali jika pemicunya cukup kuat dan aparat keamanan bersikap lalai dan lemah dalam memberikan perlindungan keamanan. Rasa aman, tentram dan damai bagi sebagian besar masyarakat di Maluku Utara masih dipertanyakan karena masih sering ada isu-isu terror yang dialami, sedangkan darurat sipil yang pernah diberlakukan juga bukan jaminan bagi terulangnya konflik. b. Masyarakat membutuhkan keamanan pasca konflik
jaminan
perlindungan
Peristiwa konflik yang terjadi selama bertahun-tahun dengan sejumlah kenangan dan pengalaman pahit getir, mimpi buruk serta situasi traumatis banyak dialami warga masyarakat. Kehilangan suami dan anak, orang tua, sana keluarga, teman; kehilangan mata pencaharian, kehilangan tempat tinggal serta kerugian materi yang tidak sedikit, perasaan frustrasi, kondisi tertekan, tidak punya masa depan, dan lainnya kesemuanya itu membutuhkan jaminan kepastian keamanan. Jaminan kepastian akan perlindungan keamanan pasca konflik merupakan sesuatu hal yang urgen, kebutuhan mendasar (need basic) yang tidak bisa ditawar lagi. Untuk itu, Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
101
Pemerintah dan perangkatnya serta alat keamanan negara berkewajiban memberikan kepastian perlindungan keamanan agar warga masyarakat merasakan suatu sandaran dalam menemukan jati diri mereka, mengelola kembali potensi sosialnya dengan baik. Menurut Polda Maluku Utara perlindungan keamanan bagi warga masyarakat sudah merupakan kewajiban institusinya dan tidak ada tawar menawar untuk menangkap pelaku kerusuhan atau pembuat onar. Pihaknya secara intensif melakukan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuka agama dan pihak-pihak terkait guna mengantisipasi adanya isu-isu provokasi yang menyesatkan dan mengadu domba masyarakat. Sebagai bentuk tanggung jawab perlindungan keamanan kepada masyarakat maka pihaknya menyediakan pos-pos keamanan di berbagai titik lokasi terutama yang rawan atau sensitif terhadap terjadinya pergesekan baik laut maupun darat. Sejumlah elit politik local, tokoh masyarakat dan tokoh pemangku adat mengungkapkan bahwa situasi keamanan sudah kondusif dan aparat keamanan sudah bekerja dengan baik untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat di Maluku Utara. Walaupun demikian, tetap perlu hati-hati dan tidak lalai atau terlena dengan situasi dan keamanan yang sudah stabil karena biasanya konflik tiba-tiba terjadi tanpa sempat diantisipasi atau diprediksi. Oleh karena itu, mereka membentuk pasukan sukarelawan sendiri untuk memudahkan perlindungan keamanan bagi masyarakat. 1) Persepsi Masyarakat Atas Proses Penyelenggaraan Pemilukada Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi yang belum terlalu lama terbentuk, dan untuk pertama kalinya pemerintah daerah dan masyarakat menyelenggarakan Pemilukada secara 102
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
langsung. Masyarakat belum sepenuhnya sembuh dari polemik dan kondisi sosiopsikologis yang mengalami trauma dan masih ada kemungkinan mengalami tekanan-tekanan tertentu, ancaman-ancaman teror dan gejolak-gejolak sosial. Dalam kaitan itu, maka dalam proses penyelenggaraan Pemilukada Tahun 2007, perlu diketahui hal-hal berikut : a. Kebebasan menyalurkan aspirasi Dalam konteks aspirasi masyarakat dan kaitannya dengan pelaksanaan Pemilukada itu, H.A.DJ.Nihin (2000) berpendapat bahwa : Aspirasi masyarakat itu atas dasar pertimbangan tepat, misalnya dengan Pemilukada Malut pusat pemerintahan dan pelayanan semakin dekat dengan masyarakat, partisipasi masyarakat akan bertambah dan lebih intensif dalam kehidupan kemasyarakatan, pemerin-tahan dan pembangunan, di daerahnya. Bila timbulnya aspirasi itu lebih karena emosional, primordialisme, dan adanya tekanan, dengan tidak atas dasar kebebasan, dan tidak mempertimbangkan potensi sumber daya yang ada akan mempersulit kondisi masyarakat daerah tersebut, dan tidak akan menjamin perkembangan daerahnya kearah yang lebih baik bahkan melemahkan tingkat ketahanan wilayah dan sosial karena akan mendatangkan beban dan persoalan (H.A.DJ.Nihin, 2000). 1) Dalam aspirasi itu, warga masyarakat berpartisipasi dan perlu mengetahui terlebih dahulu tentang Pemilukada Malut yang akan dilaksanakan
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
103
Davis dalam Kusnaedi (1995) menyatakan bahwa partisipasi adalah sebagai keterlibatan mental dan emosional dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan. Piter M Blau menjelaskan semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu, semakin kuat pihak itu akan terlibat di dalamnya. Partisipasi merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan peranan pihak lain; sikap keterbukaan terhadap kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan pihak lain untuk suatu kegiatan; serta partisipasi pada hakekatnya adalah keikutsertaan dalam setiap proses yang dilalui untuk mencapai tujuan (Ndraha, 1987). Pihak KPUD, elit politik dan masyarakat mengungkapkan bahwa menjelang pelaksanaan Pemilukada Malut, pihaknya sudah melakukan berbagai sosialisasi kepada warganya dengan menyampaikan beberapa informasi penting tentang rencana pelaksanaan Pemilukada Malut itu. Lanjut dijelaskan bahwa terdapat tokoh-tokoh politik, tokoh masyarakat maupun tokoh-tokoh pemuda dan lainnya yang secara aktif melakukan atau menyebar luaskan informasi itu bahkan sekaligus meminta kepada kelompok warga masyarakat agar bersatu menyukseskan Pemilukada itu. Pelaksanaan Pemilukada itu masih diwarnai isu-isu provokasi yang cenderung mengadu domba masyarakat terbukti dengan adanya mobilisasi massa untuk melakukan aksi-aksi protes bagi kepentingan kandidat atau elit politik tertentu, dan hal itu sebenarnya cukup berbahaya. Untungnya sebagian masyarakat sudah sadar dan bisa mengendalikan diri dari pihak-pihak yang hendak mengadudomba atau memprovokasi sehingga bentrokan dapat terminimalisir.
104
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
2) Dalam aspirasi itu, warga masyarakat dimintai pendapat atau kesepakatan baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka pelaksanaan Pemilukada damai. Pandoyo (1992) menyatakan bahwa mengingat bahwa demokrasi langsung yang mencakup semua atau banyak bidang atau urusan kenegaraan sukar dilaksanakan, maka diperlukan lembaga referendum di bidang proses perdamaian. Sebagian elit masyarakat mengungkapkan bahwa jauh sebelum pelaksanaan Pemilukada Malut, pihaknya sering terlibat melakukan berbagai sosialisasi kepada warganya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyampaikan beberapa informasi tentang pentingnya memelihara persatuan dan menciptakan perdamaian, walupun demikian diakui bahwa masih banyak warga masyarakat tidak mengetahui hal itu karena mereka bertempat tinggal di lokasi terpencil. Elit politik lokal (Bupati/Walikota dan Ketua DPRD) di Provinsi Malut mengungkapkan bahwa menjelang pelaksanaan Pemilukada Malut, muncul dan terjadi berbagai polemik dan isu-isu miring di tengah masyarakat sehingga isu-isu Pemilukada itu dengan cepat tersebar luas, namun beberapa warga masyarakat cukup tanggap dan tidak terpancing. 3) Dalam aspirasi itu, warga masyarakat menentukan sikap persetujuan atau penolakan ataupun bersikap netral tanpa ada tekanan ataupun paksaan dalam menyalurkan hak pilihnya. Elit masyarakat mengungkapkan bahwa jauh sebelum pelaksanaan Pemilukada Malut, pihaknya sudah melakukan berbagai sosialisasi kepada warganya baik melalui door to door maupun melalui penyuluhan keliling dan langsung untuk meminta kepada warga masyarakat agar bersatu menentukan sikap dan jangan mudah diprovokasi ataupun dipaksa atau Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
105
diintimidasi oleh siapapun termasuk dalam menentukan hak pilihnya. Elit politik lokal di Provinsi Malut mengungkapkan bahwa menjelang pelaksanaan Pemilukada Malut, pihaknya tidak pernah memaksakan keinginan kepada warga tertentu untuk memilih kandidat tertentu, sehingga hampir semua aspirasi dalam Pemilukada adalah murni keinginan mereka sendiri. Meskipun demikian, juga diakui bahwa terkadang masih ada pihak-pihak tertentu yang mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan berusaha memaksakan keinginannya kepada masyarakat agar memilih kandidat tertentu disertai janji-janji atau iming-iming hadiah tertentu. Elit politik lokal pun tidak pernah memaksakan keinginan kepada warga tertentu untuk memilih kandidat tertentu, namun demikian, terkadang terdengar isu masih ada pihakpihak tertentu yang mencoba melakukan intimidasi dan pemaksaan bahkan ancaman terror terhadap kelompok warga masyarakat tertentu dengan maksud agar hak suara atau hak pilihnya dijatuhkan kepada kandidat tertentu disertai janji-janji atau iming-iming hadiah tertentu. 4) Dalam aspirasi itu, warga masyarakat menghendaki adanya kepuasan dalam menyalurkan aspirasinya dalam Pemilukada Malut Elit masyarakat mengungkapkan bahwa pada dasarnya pihaknya tidak mempersoalkan siapapun menang dalam Pemilukada, namun merasa kecewa dan kesal karena terjadi praktik penggelumbungan atau manipulasi hak suara pemilih yang sangat berpotensi menimbulkan gejolak sosial di masyarakat, dan untuk itu pihaknya pun sudah beberapa kali menyampaikan pernyataan sikap kepada Pemerintah/ Pemerintah Daerah Malut untuk bersikap transparan, netral dan adil. Pengalaman konflik berdarah dan kerusuhan akibat ulah 106
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
kebijakan dan campur tangan elit politik yang hanya memikirkan kepentingannya dirasa sudah cukup, mereka berharap jangan ada lagi sikap-sikap yang menumbuhkan benih-benih konflik di kalangan masyarakat. Elit politik lokal (Bupati/Walikota dan DPRD) mengakui ada oknum yang bermain curang dalam pelaksanaan Pemilukada dan berimbas kepada mobilisasi massa yang sangat rawan membangkitkan luka lama kambuh kembali. Namun demikian, pihaknya secara intensif berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak pengamanan Pemilukada dan tokoh-tokoh masyarakat serta pemuka agama agar tidak mudah terprovokasi, dan biarkanlah proses hukum yang menyelesaikan kecurangan-kecurangan tersebut. Pada dasarnya semua aspirasi warga masyarakat baik di tingkat kabupaten/ kota, kecamatan maupun desa/ kelurahan sudah disalurkan dengan baik namun hanya ada oknum yang cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih suara terbanyak. Masih ada praktik-praktik gaya lama dilakukan oleh oknum elit politik tertentu yang cenderung memaksakan, mengintimidasi dan mengiming-imingi janji kepada kelompok masyarakat tertentu. Bahkan masih banyak warga masyarakat mengalami tekanan-tekanan, propaganda-proganda bahkan intimidasi sehingga aspirasinya masih cenderung dipolitisir dan dimanipulasi. Perilaku sejumlah oknum elit politik seolah masih belum menyadari akibat perbuatannya yang terbiasa menghalalkan segala cara yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di kalangan masyarakat. 5) Dalam aspirasi itu, warga masyarakat menghendaki agar Pemilukada Malut sesuai dengan kepentingan dan harapannya. Pesta demokrasi adalah milik rakyat, karena itu tidak boleh dinodai dan dirampas oleh oknum tidak bertanggung Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
107
jawab. Masyarakat menyalurkan aspirasi dan hak pilihnya untuk memilih pemimpinnnya siapapun dikehendaki dengan harapan agar kepentingan dan harapannya juga terpenuhi dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Pada dasarnya masyarakat tidak berharap terjadi kecurangan-kecurangan karena sebelumnya dilakukan kesepakatan untuk melaksanakan Pemilukada damai dan pernyataan siap kalah – menang, namun kenyataannya kesepakatan itu hanya di atas kertas. Ada oknum kandidat yang sangat berambisi menjadi gubernur/wakil gubernur sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, padahal mereka tidak menyadari bahwa perbuatan dan tindakannya itu bisa memancing suasana menjadi kisruh, rusuh, serta konflik yang meluas, dan jika hal itu terjadi maka berapa besar dampak sosial yang timbul. Seorang politisi partai politik di Provinsi Maluku Utara mengungkapkan bahwa pihaknya sudah berusaha mengawal jalannya Pemilukada agar kepentingan dan harapan masyarakat yakni terciptanya Pemilu yang damai dan lancar dapat tercapai, namun demikian sulit dipungkiri adanya oknum-oknum yang berusaha memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan serta menghalalkan segala cara untuk menggagalkan Pemilukada, yang tanpa disadari berpotensi mengobrak abrik tatanan sosial masyarakat yang sudah relatif aman, tentram dan damai. 6) Dalam aspirasi itu, warga masyarakat menghendaki agar semua janji-janji dari Gubernur/Wakil Gubernur terpilih dipenuhi Pada masa kampaye, semua pasangan kandidat gubernur/wakil gubernur memberikan banyak janji-janji kepada masyarakat jika kelak terpilih. Janji-janji itu sebagai sebuah kontrak politik baik tertulis maupun tidak tertulis yang
108
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
harus ditunaikan siapapun yang terpilih menjadi gubernur/ wakil gubernur. Janji-janji yang tidak ditunaikan, tidak dilaksanakan, tidak dipenuhi atau diabaikan, secara perlahan bisa menimbulkan sikap apatis dan frustrasi dari kelompok masyarakat yang pada akhirnya, cepat atau lambat, akan menjadi cikal bakal terjadinya konflik sosial. Pasangan gubernur/ wakil gubernur terpilih, jika tidak menepati janjinya maka akan semakin sulit dipercaya oleh masyarakat dan akan berpotensi mengundang reaksi sporadis menuntut pemimpinnya melaksanakan amanah yang dititipkan atau kontrak politik yang sudah dibuat. Dalam kondisi demikian, kelompok pro gubernur/wakil gubernur bisa terlibat bentrok dengan kelompok masyarakat yang menentang kepemimpinan dan kebijakan yang bersangkutan. Akibat kurangnya perhatian Gubernur terpilih atas pemenuhan janji-janjinya akan berpotensi menimbulkan polemik, pertentangan, aksi-aksi protes, atau reaksi-reaksi massal dari masyarakat. b. Persepsi atas ancaman dan teror Di tengah proses penyelenggaraan Pemilukada berlangsung, terkadang ancaman teror masih menjadi pilihan bagi sekelompok oknum untuk menghalalkan segala cara dalam meraih keuntungan pribadi dan kelompok. Demikian halnya pada situasi di Maluku Utara, di mana kondisi masyarakat belum sepenuhnya pulih dari dendam, trauma dan perasaanperasaan skeptis serta kecemburuan-kecemburuan sosial yang bisa menjadi pemicu terjadinya aksi-aksi teror dan ancam mengancam satu sama lain. Pihak Kepolisian di Maluku Utara mengungkapkan bahwa pihaknya mengakui sering menerima laporan pengaduan dari warga masyarakat tertentu yang mengalami terror dan Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
109
ancaman namun pihaknya seringkali kesulitan melacak keberadaan pelaku teror tersebut karena pelakunya cukup professional, namun demikian pihaknya tetap mengupayakan perlindungan keamanan untuk mengantisipasi terjadinya aksiaksi tindak kekerasan dan kerusuhan. Teror dan ancaman harus diakui masih menjadi bagian atau mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat di Maluku Utara namun frekuensinya semakin mengalami penurunan seiring terpilihnya Gubernur /Wakil Gubernur baru. Diantara beberapa kelompok masyarakat yang multi etnis dan agama, masih ada dendam lama yang sulit dipadamkan hingga saat ini meskipun sudah beberapa kali ada rekonsiliasi dan perjanjian damai namun hal itu juga sudah semakin berkurang karena sebagian warga masyarakat semakin sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berperang, tidak ada gunanya untuk memelihara dendam. Oleh karena itu, pemerintah provinsi beserta jajaran aparat keamanan (Polda Maluku Utara) hendaknya benar-benar mempertahankan situasi dan kondisi sosial yang sudah mulai membaik; jangan ada lagi kebijakan ataupun tindakan-tindakan yang memancing reaksi masyarakat karena hal itu bisa menyulut api konflik terulang. Di sejumlah lokasi di wilayah Provinsi Maluku Utara mulai dari Pulau Moratoi hingga Pulau Sula, masih ada aksiaksi kekerasan seperti aksi saling tembak di laut, aksi saling menyerang serta aksi saling teror dan mengancam di antara kelompok-kelompok tertentu. Demikian halnya sejumlah penduduk yang berada di pengungsian seperti di Tidore, Pulau Bacan, Ternate, Kao, Makian, sebagian dari mereka masih takut pulang ke tempat tinggalnya karena masih ada ancaman dan terror dari kelompok tertentu akan membunuhnya jika kembali. Kondisi ini pada dasarnya sudah diketahui oleh pejabat tinggi kepolisian dan pejabat di pemerintahan namun mereka terkesan sengaja membiarkan hal itu terjadi dan hampir tidak ada kemauan politik untuk menghentikannya. Aparat 110
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
pengamanan selalu beralasan bahwa para pelaku teror tersebut cukup profesional dan sangat sulit dilacak atau ditangkap, adalah alasan yang dibuat-buat dan terkesan cuci tangan. c. Persepsi atas jaminan perlindungan keamanan Selama penyelenggaraan Pemilukada, berbagai situasi dan kondisi dapat terjadi mengingat pesta demokrasi tersebut belum sepenuhnya milik masyarakat melainkan masih sering dinodai dan dikacaukan oleh ulah aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, masyarakat memerlukan perlindungan keamanan dari kemungkinan adanya gejolak dan aksi-aksi mobilisasi massa dari masing-masing kandidat. Pemilukada sebagai salah satu ajang demokrasi terbesar bagi masyarakat, tidak jarang disertai gesekan-gesekan sosial yang berdampak pada kondisi kehidupan sosial masyarakat. Polda Maluku Utara juga meningkatkan pengamanan terutama selama Pemilukada berlangsung. Mereka menyebarluaskan personil hingga ke pelosok-pelosok desa dan kampung terutama yang dianggap rawan, termasuk juga memasang sejumlah pos-pos pengaduan dan pelayanan masyarakat di berbagai titik lokasi. Kesemuanya itu dilakukan agar pelaksanaan Pemilukada tidak rusuh – jauh dari konflik, tetap tertib dan aman serta lancar sehingga masyarakat dapat dengan bebas dan tertib menyalurkan hak pilihnya. Pihak Pemprov Maluku Utara terus berkoordinasi dengan Polda Maluku Utara dan Kodam VII Pattimura untuk meningkatkan pengamanan selama Pemilukada berlangsung. Hal ini dilakukan karena biasanya pada pelaksanaan Pemilukada banyak isu-isu negatif dan propaganda bahkan provokasi yang berpotensi melahirkan benih-benih perten-tangan, perselisihan dan konflik. Pertentangan-pertentangan antar kelompok dan aksiaksi demonstrasi terjadi, mulai dari aksi demostrasi yang Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
111
dilakukan oleh massa pendukung Mudafar Syah (Sultan Ternate) yang memprotes keputusan KPUD Maluku Utara karena menolak pencalonan Mudafar Syah sebagai calon gubernur yang mana menimbulkan bentrokan fisik antara massa demonstran dengan aparat kepolisian serta mengakibatkan terjadinya luka-luka pada kedua belah pihak dan merusak sejumlah fasilitas umum. Demikian halnya beberapa bentrokan antara massa pendukung Abdul Gafur dengan Thayib Armain yang berakibat pada luka-luka sejumlah warga pada kedua kubu yang berseteru serta kerusakan sejumlah fasilitas umum. Selain itu masih banyak bentrokan-bentrokan dan tindak kekerasan antar kelompok namun tidak diekspos oleh media massa. Sejumlah elit politik local, tokoh masyarakat dan tokoh pemangku adat mengungkapkan bahwa selama proses penyelenggaraan Pemilukada, situasi keamanan relatif kondusif dan aparat keamanan sudah bekerja dengan baik untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat di Maluku Utara. Walaupun demikian, juga diakui beberapa aksi-aksi demonstrasi dan mobilisasi massa serta bentrokan antara massa pendukung kandidat namun kesemuanya hanya melibatkan massa yang terbatas dan tidak meluas ke masyarakat karena sebagian besar masyarakat sudah cukup dewasa dan tidak terprovokasi. d. Persepsi atas sengketa Pemilukada Penyelenggaraan Pemilukada Maluku Utara yang dilaksanaka pada Tahun 2007, pada kenyataannya melahirkan sebuah konflik yang disebut Sengketa Pemilukada. Konflik tersebut terutama melibatkan pasangan Thaib Parmain - Gani Kasuba dengan pasangan Dr.Abdul Gafur - Abdul Rahim Fabanyo. Konflik tersebut, sebagaimana juga sudah dipaparkan, adalah :
112
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
(1) KPUD Maluku Utara mengumumkan hasil perhitungan suara dan menyatakan pasangan Abdul Gafur - Abdurrahim Fabanyo sebagai pemenang. (2) Massa Thaib Parmain protes dan menolak Putusan KPUD Maluku Utara yang memenangkan Abdul Gafur-Abdul Rahim karena dinilai melegalkan penggelembungan suara yang dilakukan oleh KPUD Halmahera Utara (hasil temuan FPKS) (3) Massa Thaib Parmain menuntut pembekuan KPUD Halmahera Utara dan KPUD Maluku Utara (4) Massa Abdul Gafur - Abdurrahim Fabanyo melakukan protes dan aksi demonstrasi (5) KPU Pusat mengambil alih perhitungan dan membekukan KPUD Maluku Utara (6) Pasangan Gafur - Fabanyo menangkan Pemilukada Maluku Utara. Setelah melalui rapat pleno penghitungan ulang selama 3 hari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat akhirnya menetapkan pasangan Abdul Gafur -Abdul Rahim Fabanyo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara terpilih. (7) KPU Pusat memenangkan Abdul Gafur - Abdurrahim Fabanyo (8) Massa Thaib Parmain – Gani Kasuba protes dan menolak putusan KPU Pusat, dan mengajukan proses hukum ke MA (9) Putusan MA memenangkan Thaib Parmain – Gani Kasuba (10) Massa Abdul Gafur–Abdurrahim menolak putusan MA (11) Mendagri/ Pemerintah mengambil alih sengketa, dan kemudian menyatakan Thaib Parmain – Gani Kasuba sebagai Gubernur/ Wakil Gubernur (12) Massa Abdul Gafur - Abdurrahim Fabanyo tolak penetapan Mendagri/ Pemerintah, dan belum menerima putusan Mendagri yang menetapkan pasangan Thaib Armayn dan Abdul Gani Kasuba sebagai pemenang Pemilukada Maluku Utara. Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
113
(13) Massa Gafur melakukan protes besar-besaran (14) Di Maluku Utara, pada Senin 16 Juni 2008, terjadi konflik berupa aksi unjuk rasa pendukung pasangan Abdul Gafur - Abdul Rahim Fabanyo yang berunjung bentrok dengan aparat serta merusak sejumlah fasilitas umum.. (15) Konflik Dua Kubu Cagub Malut kian meluas. Keputusan pemerintah menetapkan pasangan Thaib Armayn - Gani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara (Malut) terus menuai protes dari kubu pendukung pasangan Abdul Gafur - Abdul Rahim Fabanyo (16) Putusan pemerintah yang memenangkan pasangan Thaib Parmayn – Gani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara diprotes pasangan Abdul Gafur – Abdurrahim Fabanyo. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas putusan Menteri Dalam Negeri tersebut. (17) Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Abdul Gafur Abdul Rahim Fabanyo. (18) Mendagri melantik Thaib Parmayn – Gani Kasuba sebagai gubernur/ wakil gubernur Provinsi Maluku Utara Periode Tahun 2008-2013 (19) Kubu Abdul Gafur – Abdurrahim Fabanyo terus mempersoalkan dan tidak menerima kekalahannya hingga sekarang, yang dinilai berpotensi menumbuhkan benih-benih konflik sosial yang akan berdampak luas jika tidak ada penyadaran sosial. Mencermati kronologis sengketa Pemilukada Maluku Utara tersebut, dengan jelas terjadi serentetan pertentangan / konflik selama 7 bulan yang melibatkan massa pendukung kedua kubu yang berseteru. Selain itu, juga melibatkan politisi tingkat pusat (politisi partai, anggota DPR, Ketua MPR), tokoh nasional (Amin Rais, Megawati, Gus Dur), pejabat kehakiman, 114
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
pejabat KPU, hingga pejabat pemerintah (Mendagri dan Presiden) sehingga dapat dikatakan bahwa di Maluku Utara telah terjadi konflik horisontal – vertikal. Situasi konflik tersebut sudah menjalani pendekatan politik dan hukum untuk menyelesaikannya, akan tetapi belum tersentuh pendekatan sosial budaya, sehingga ada kecenderungan menjadi sumber konflik baru di Maluku Utara. Sengketa Pemilukada yang berlangsung selama 7 bulan, diwarnai serangkaian aksi-aksi demonstrasi, tindak kekerasan/ bentrokan antara massa pendukung dengan aparat keamanan maupun sesama massa pendukung Cagub Malut, menimbulkan kecemasan di sebagian kalangan masyarakat; ada yang mengungsi, ada yang ketakutan, ada yang meminta perlindungan dari aparat keamanan, pelayanan masyarakat di Kantor Gubernur hampir lumpuh total, sejumlah pejabat dan pegawai ketakutan, sejumlah tokoh masyarakat/ pemuka agama/ pemuka adat sibuk menenangkan dan mengawasi warganya agar tidak terlibat aksi-aksi atau tindakan kekerasan. Lanjut dijelaskan, selama sengketa Pemilukada berlangsung, aktivitas masyarakat kurang berjalan normal seperti pedagang pasar cepat tutup dari biasanya, kantor-kantor pemerintah dan swasta selalu cepat tutup, pusat-pusat perbelanjaan/ pertokoan terlihat sepi dari harai-hari biasanya, aktivitas lalu lintas tidak terlalu ramai, dan di mana-mana banyak warga masyarakat terlihat sering berkumpul bersama kelompoknya. Kesemuanya itu mengindikasikan bahwa sengketa Pemilukada cukup rawan bagi terjadinya konflik sosial. Banyak pihak atau kalangan berspekulasi akan terjadi konflik bilamana sengketa Pemilukada berlarut-larut namun sinyalemen itu tidak semuanya benar, karena yang berkonflik hanyalah massa pendukung kedua kubu Cagub Malut yang bersengketa hingga Jakarta. Sejumlah tokoh masyarakat, tokoh pemangku adat dan tokoh agama mengungkapkan bahwa sengketa Pemilukada Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
115
yang terjadi selama 7 bulan, pada dasarnya sempat membuat pihaknya was-was dan untuk itu selalu menghimbau warganya agar tetap di rumah bilamana tidak ada yang lebih penting di luar, meminta agar tidak mudah percaya dan tidak mendengarkan isu-isu yang berkembang. Selain itu, pihaknya juga proaktif melakukan koordinasi dengan Polda Maluku Utara, pejabat terkait, politisi, tokoh pemuda, pemuka agama, dan lainnya. e. Persepsi atas harapan pada Pemimpin yang terpilih Sengketa Pemilukada Maluku Utara telah berhasil melewati masa-masa kritis yang berlangsung selama 7 bulan, dan akhirnya masyarakat Maluku Utara dapat menentukan dan menetapkan pemimpinnya yaitu gubernur/wakil gubernur terpilih yakni Thaib Parmain - Gani Kasuba. Gubernur dan wakil gubernur terpilih tersebut dinyatakan berhak memimpin Maluku Utara selama 5 tahun ke depan hingga Pemilukada berikutnya. Terpilihnya Thaib Armain - Gani Kasuba masingmasing sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, tentunya memiliki sejumlah besar beban tanggung jawab – amanah dan sekaligus menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat Maluku Utara untuk memenuhi harapan itu. Pihak Pemprov Maluku Utara mengungkapkan bahwa sejak Thaib Armain-Gani Kasuba menjalankan tugasnya sebagai gubernur dan wakil gubernur. Kondisi sosial masyarakat relatif aman, harmonis, aksi-aksi kekerasan semakin berkurang dan masyarakat pun tertib dan lancar dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari tanpa perlu takut terjadi konflik. Sebagian masyarakat merasa cukup senang karena pilihannya terpilih dan berharap agar kepentingannya dapat terpenuhi, akan tetapi sebagian masyarakat juga masih skeptis, kurang bahkan tidak senang, serta kurang percaya pada 116
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
kepemimpinan Thaib Armain-Gani Kasuba. Sikap pro dan kontra masyarakat masih menjadi ciri dan kondisi sosial saat ini di Maluku Utara, perbedaan-perbedaan dan hubungan antar kelompok masya-rakat masih diperhadapkan pada pertentangan-pertentangan dan konflik laten. Selain itu, selama sudah hampir dua tahun menjabat, Thaib Armain-Gani Kasuba sebagai gubernur dan wakil gubernur seolah lupa pada sejumlah janji-janjinya sehingga sebagian masyarakat mulai merasa kecewa dan frustrasi. Harapan masyarakat cukup banyak digantungkan kepada Thaib Armain-Gani Kasuba sebagai gubernur dan wakil gubernur, akan tetapi harapan itu sedikit demi sedikit pupus oleh karena pasangan gubernur/ wakil gubernur tersebut banyak mengingkari atau mengabaikan janji-janjinya. Selain itu, perlindungan terhadap kelompok minoritas juga banyak diabaikan. Kesemuanya itu dapat berakumulasi menjadi suatu bentuk kecemburuan sosial, sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah, dan pada saatnya nanti akan memicu benih-benih konflik dan dampak sosial yang lebih luas. 2) Perspektif Opini Pemilukada
Atas
Dampak
Sosial
Sengketa
Sehubungan dengan dampak sosial dari penyelenggaraan Pemilukada, sejumlah kalangan pun memberikan penilaian menurut perspektif pandangan atau sudut pandangnya masing-masing, baik yang diperoleh melalui publikasi media maupun yang diperoleh langsung di lapangan. Proses politik Pemilukada yang semula dipercaya memberikan dampak sosial dan kualitas demokrasi tampaknya harus dikoreksi. Fakta yang ada merepresentasikan bahwa Pemilukada sebagai instrumen membangun demokrasi di daerah belum tepat dan terlalu cepat dipaksakan. Mestinya belajar dari Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
117
Amerika dan China. Amerika yang begitu sudah maju saja baru menjajaki artis dan perempuan untuk tampil dalam gelanggang politik elite, namun di Indonesia sepertinya latah dan ikut trend, padahal masih dalam suasana transisi, negara berkembang yang ingin menuju negara maju, sementara China lebih memusatkan penetrasian pendidikan yang lebih mementingkan percepatan sosial sebagai prasyarat untuk meningkatkan kualitas bangsanya untuk siap go internasional. Hasilnya China lebih siap memasuki globalisasi daripada Indonesia yang tampak serba tanggung, padahal Indonesia memiliki semua; SDA dan juga SDM sehingga keterbukaan apapun harus tetap dalam koridor desain pembangunan nasional (Online:http://www.sosial.com.id.2008). Secara teori Pemilukada merupakan instrumen penjaringan seorang pemimpin daerah yang sangat demokratis. Rakyat disuruh memilih pemimpinnya sesuai hati nuraninya. Namun dalam prakteknya menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan. Pertama rakyat jadi terpecah belah, bahkan sering timbul aksi anarkis. Membutuhkan biaya yang amat tinggi. Dan pemimpin terpilih melupakan kepentingan rakyat, lebih mengedepankan kepentingan golongannya yang mendukungnya. Dikarenakan belum matangnya masyarakat dalam berdemokrasig. Etika, budaya berpolitik belum ada, aturan untuk menjalankan demokrasi belum teruji. Megawati Soekarnoputeri menyoroti penyelenggara Pemilukada di Maluku Utara. KPUD setempat dinilai banyak melakukan kecurangan-kecurangan, diantaranya, KPUD Maluku Utara tidak mengindahkan himbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah serta elemen-elemen masyarakat di Maluku Utara agar mengalihkan jadwal kampanye selama bulan Ramadhan. Juga mengacuhkan kesepakatan antara tim kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. KPUD Maluku Utara juga tidak menghormati saran Panitia Pengawas Pemilu agar menaati kesepakatan antar 118
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
pasangan calon serta melecehkan hasil rapat pimpinan DPRD Maluku Utara dengan KPUD soal pengembalian jadwal kampanye sesuai kesepakatan antar tim kampanye pasangan calon. Belum lagi, KPUD Maluku Utara "memelintir" saran dari Mendagri dan KPU Pusat soal pengembalian jadwal kampanye sesuai kesepakatan pasangan calon. "Jangan lagi ada dusta di antara kita, buang jauh-jauh pembodohan yang dilakukan KPUD. Rakyat Maluku Utara ingin kedamaian dan mereka harus dihargai hak-hak politiknya. DPP PDI Perjuangan telah mengirim tim dari Jakarta untuk memantau pelaksanaan Pemilukada Maluku Utara. Selain Mayjen TNI (Purn) HZB Palaguna selaku Pelaksana Tugas Ketua DPD PDI Perjuangan Maluku Utara, juga ada tim dari Jakarta beranggotakan Mayjen TNI (Purn) Theo Syafei dan Prof. Hamka Haq selaku ketua DPP serta Wakil Sekjen Agnita Singedikane. "Yang sangat kasat mata adalah hingga hari ini KPUD Maluku Utara tidak melakukan pemutakhiran data, akibatnya data pemilih di enam desa di perbatasan Halmahera Utara dan Halmahera Utara masih tumpang tindih. KPUD Maluku Utara juga sampai saat ini belum juga membentuk Panitia Pemungutan Suara dari tingkat kabupaten hingga desa seperti yang diamanatkan undang-undang," papar Singedikane. Pemilukada Maluku Utara diikuti oleh empat pasangan cagub dan cawagub yakni, Anthony Charles Sunaryo-Mohammad Amin Drakel yang diusung PDIP, calon dari Partai Golkar, PAN serta Partai Demokrasi Kebangsaan DR. Abdul Gafur-Abdurrahmin Fabanyo, Mayjen TNI (Purn) Irvan Eddyson-Atti Ahmad yang didukung Partai Damai Sejahtera, serta pasangan incumbent, Thaib Armayn-Gani Kasuba yang digotong Partai Demokrat, PKS dan PBB. Terhadap segala kecurangan yang disebut PDIP dilakukan KPUD Maluku Utara ini, ketiga pasangan calon gubernur tersebut minus Thayb Armayn-Gani Kasuba sepakat meminta KPU Pusat untuk membekukan KPUD Maluku Utara. Ketiga Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
119
pasangan calon gubernur juga telah meneken sikap bersama untuk menolak pelaksanaan kampanye Pemilukada. Kisruh sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Maluku Utara (Malut) berdampak pada proses penggantian keanggotaan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat. seharusnya, KPU melakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon anggota KPU Provinsi Malut, tapi tidak dilakukan. Hal ini didasarkan pada UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU menguji kelayakan dan kepatutan terhadap 10 nama calon anggota KPU Provinsi. Akibat adanya dua kelompok massa yaitu massa pendukung pasangan Thaib Armayin-Abdul Gani Kasuba dan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo menggelar demonstrasi di Gedung DPRD Malut, maka seharusnya ada upaya meghentikan segera anggota KPUD Provinsi Malut baru kemudian dilakukan penghitungan ulang agar permasalaham dan dampak sosialnya tidak meluas. 3) Potensi Konflik Kekerasan dan Dampak terhadap Masyarakat Pasca Pemilukada Pada tahun 2002, Pemilukada dilakukan dengan sistem pemilihan terbatas yakni pada kalangan DPRD, dimana rakyat hanya menjadi objek demokrasi. Mereka adalah penonton drama atau bahkan penonton sandiwara Pemilukada, maka lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004 merupakan pelaksanaan atas amanat Reformasi yang menempatkan rakyat sebagai subjek dalam berdemokrasi, rakyat sebagai subjek dalam pengertian bahwa sebagai subjek demokrasi, rakyat memainkan peran dan posisi sebagai pelaku demokrasi melalui saluran-saluran yang disediakan baik dalam proses pembuatan kebijakan publik maupun rekrutmen pemimpin politik sehingga rakyat tidak hanya didorong untuk memilih calon pemimpinnya tetapi juga memiliki hak untuk men120
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
calonkan diri melalui mekanisme yang telah tersedia sebagai prasayarat pencalonan. Hak warga untuk memilih dan dipilih merupakan bagian terpenting dari prinsip demokrasai, yakni universal suuffrage (hak pilih universal). Sistem PEMILUKADA langsung merupakan konstribusi terhadap makna demokrasi sekaligus sebagai wujud implementasi dari hakekat demokrasi dimana rakyat diberikan kesempatan dan kebebasan untuk menggu-nakan hak pilihnya. Namun dalam Pemilukada langsung juga dapat membuka jalan bagi potensi konflik antara pendukung calon kepala daerah, sebaliknya potensi konflik horizontal antara pendukung dalam Pemilukada langsung sangat besar dalam masyarakat paternalistik dan primordial terutama pada masa kampanye. Pemilukada sesungguhnya merupakan mekanisme mengelola konflik kepentingan, dimaksud dengan kepentingan adalah perebutan jabatan kepala daerah atas dasar kepentingan itulah, potensi konflik baik antara elit politik lokal ataupun antar pendukung akan tetap ada, termasuk Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan yang pluralisme. Pluralisme masyarakat Maluku Utara adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri, fakta pluralisme yang terkandung dalam entitas Maluku Utara menjadikannya pantas disebut sebagai provinsi lintas etnis, selain etnis lokal yang merupakan penduduk asli Maluku Utara yang di dalamnya terdiri dari kurang lebih dua puluh sub etnis, juga dihuni oleh beberapa entis pendatang seperti etnis Ambon, Buton, Sumatera, Bugis Makasar, Jawa dan sebagainya. Dari penyebaran etnis tersebut maka Maluku Utara yang merupakan daerah bekas konflik horizontal baik agama maupun etnis, tentu pesta demokrasi yang melibatkan kandidat dari berbagai identitas dan didukung dengan sikap fanatisme berlebihan terhadap kandidat tertentu (patron) akan membuka jalan bagi tumbuhnya konflik yang mengarah pada kekerasan dalam masyarakat komunal. Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
121
Konflik pada dasarnya adalah perbedaan pendapat antar dua atau lebih pihak yang membawa pada percenggahan, menurut Taquiri dalam Newstrom dan Davis (1997) mengatakan bahwa konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam pelbagai keadaan akibat dari berbangkitnya keadaan ketidak setujuan, kontroversi dan pertentangan diantara dua atu lebih pihak secara berterusan. Berdasarkan asumsi sederhana ini dapat ditegaskan bahwa konflik sesungguhnya merupakan keadaan yang muncul dalam interaksi sosial dimana perbedaan menjadi sasaran utama bagi tumbuhnya benih-benih konflik meskipun konflik tidak selamanya memiliki dampak negatif terhadap masyarakat, namun bila mana konflik mengarah pada tindak kekerasan maka konflik hanya akan meninggalkan dendam, kepedihan, kesedihan bahkan kemiskinan. Apapun alasannya rakyat tak pernah diuntungkan akibat konflik kekerasan. Kaitannya dengan momentum demokrasi di tanah Jasirat Al-Mulk yang baru sembuh dari luka “kerusuhan” atau konflik SARA, tentu PEMILUKADA langsung bisa menjadi percikan api yang siap membakar sumbu-sumbu konflik dan siap untuk berkobar jika masyarakat lupa bahwa perbedaan pendapat maupun pilihan adalah absah dalam dinamika politik dan yang terpenting adalah sikap menghargai perbedaan dan tidak memaksakan kehendak kepada siapapun, seperti yang tertuang dalam UU No.32 Tahun 2004. Menyambut PEMILUKADA 2007 dengan semangat multikultularisme menjadi keniscayaan bagi setiap masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan proses demokrasi. Hakikinya, sikap menghargai dalam masyarakat pluralisme adalah utama dalam proses demokrasi, sebagai anak bangsa yang tumbuh di Negara demokrasi harus memulai demokrasi dari diri sendiri sehingga dapat mewujudkan PEMILUKADA yang jujur, adil tanpa adanya tekanan individu ataupun kelompok. 122
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Jika dalam local wisdom (kearifan lokal) masyarakat Jawa terdapat sikap Lino Legowo (lapang dada) dalam mengartikulasikan perhelatan sosial seperti pertarungan politik, maka di Maluku Utara juga terdapat ungkapan kearifan “totarima se nyinga ma ikhlas”. Jika kembali direnungkan ungkapan tersebut, akan membuat syahwat politik para penguasa dan masyarakat Maluku Utara mengalami falsifikasi, sehingga siapapun yang tampil adalah pemimpin yang mendapat kepercayaan rakyat melalui proses demokrasi. Imam Masjid dan Tokoh Adat Ternate bpk. Tahir Ahmad tentang pandangannya secara organisatoris dan pokokpokok pikirannya tentang budaya Ternate, Maluku Utara keterkaitannya konsep persatuan masyarakat Malut dalam konflik Pilgub malut. Beliau mengatakan bahwa Falsafah Hidup masyarakat Maluku Utara itu : “1. Inofoma Katinyinga. Doka Gosora Syeh Bualawa. 2. Om Doro Foma mote. Magogoru Sinaro-naro. 3. Marimoi ngoni futuru. Yang Artinya: Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, kalau kita tidak bersatu maka pasti kita pecah, mari kita bersatu untuk mencapai kemenangan” Semoga pemimpin yang tampil adalah pemimpin yang benar-benar dikehendaki rakyat tanpa intervensi politik uang ataupun politik horor seperti yang tertuang dalam falsafah “Bira kuraci semaboro” bahwa pemimpin ada karena adanya masyarakat, dalam penafsiran sederhana dapat diartikan sebagai seorang pemimpin adalah individu yang mendapat dukungan rakyat, tentu pemimpin yang dikehendaki rakyat adalah pemimpin yang dapat membawa Maluku Utara sebagai provinsi terdepan dalam aspek Ekonomi,Politik, Budaya dan Pendidikan. Upaya mengatasi konflik dan dampak sosialnya di Maluku Utara, mendorong sejumlah tokoh agama mengadakan pertemuan di Maluku Utara pada 28 Mei 2009. Dalam pertemuan tersebut, sekitar 30 pemuka atau tokoh lintas agama Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
123
tingkat pusat sedang melakukan Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah di Ternate, dan Halmahera, Maluku Utara. Diantara tokoh agama yang ikut dalam pertemuan itu antara lain Ketua Pimpinan Pusat Muhammadyah Goodwil Zubir, Ridwan Lubis dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, I Nengah Dana dari Parisada Hindu Dharma Indonesia, Romo Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja Indonesia, Pendeta Kumala Setiabrata dari Persatuan Gereja-gereja di Indonesia, Slamet Effendi Yusuf dari Majelis Ulama Indoneisa, Sudjito Kusumo dari WALUBI, serta Herlianti Widagdo dari MATAKIN. Goodwil Zubir menegaskan bahwa sepanjang sejarah konflik horizontal yang pernah terjadi di Indonesia, tidak pernah bermula atau berawal dari agama sebagai pemicunya. Misalnya kasus di Poso, Aceh, Sampit, dan di Maluku ini, bukan merupakan konflik agama. Namun konflik kepentingan yang kemudian dibungkus atau dikemas dengan agama," Lanjut dijelaskan, Salah satu tujuan penyelenggaraan dialog antartokoh agama pusat dan daerah ini, antara lain untuk menyerap kearifan-kearifan lokal yang terdapat di Maluku Utara.
124
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
DAMPAK SOSIAL DITINJAU DARI KONFLIK HORISONTAL-VERTIKAL (INGROUP DAN OUTGROUP) PEMILUKADA DI PROVINSI MALUKU UTARA
Sebagaimana diketahui bahwa Pemilukada yang diselenggarakan oleh KPUD Maluku Utara pada Tanggal 03 November 2007 telah menuai konflik horizontal dan vertikal baik dalam konteks internal organisasi kelompok (Ingroup) maupun dalam konteks eksternal organisasi antar kelompok (Outgroup). Pembedaan antara in-group dan out-group, didasarkan pada konsep in-group yang diperkenalkan oleh W.G. Sumner (1940). Menurut Sumner, di kalangan anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan dan kedamaian sedangkan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang dan perampokan. Dalam permusuhan yang diwariskan dari generasi ke generasi itu anggota kelompok dalam mempunyai kewajiban merampok, memperbudak dan membunuh anggota kelompok luar. Anggota kelompok dalam menganggap kelompok mereka sendiri sebagai pusat segala-galanya dan sebagai acuan bagi kelompok luar yakni suatu sikap yang mencerminkan etnosentrisme (ethnocen-trism) (Sunarto, 2004).
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
125
Pasca penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Maluku Utara, yang mana sebelumnya mengalami berbagai pertentangan-pertentangan dan gejolak sosial (konflik), ternyata tidak berakhir sebagaimana diharapkan banyak pihak atau kalangan. Dampak Sosial dari Perspektif Konflik INGROUP Pasca penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, kondisi sosial masyarakat di Provinsi Maluku Utara masih menghadapi sejumlah tantangan dan permasalahan terutama dalam konteks konflik internal (INGROUP) yang mana menimbulkan dampak sebagaimana diidentifikasi dan diklasifikasi sebagai berikut : (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Pertentangan pemisahan wilayah Perpecahan dalam anggota keluarga Perpecahan dalam kelompok masyarakat Perpecahan dalam kelompok elit masyarakat Perpecahan dalam kelompok elit politik Perpecahan dalam kelompok pemerintahan Diskriminasi dalam rekrutmen CPNS
Ketujuh aspek tersebut dianalisis untuk memberi gambaran mengenai situasi dan kondisi dampak sosial masyarakat dalam konteks konflik Ingroup pasca Pemilukada. Dampak Pemilukada Provinsi Maluku Utara atas terjadinya konflik dianalisis berdasarkan metode Geographycal Information System (GIS), hasil kuesioner dan dipadukan dengan hasil wawancara sejumlah narasumber dan informan, yang diuraikan lebih lanjut. a. Pertentangan kelompok sosial untuk memisahkan wilayah 126
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Kelompok sosial sangat penting karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Merton menyebutkan tiga kriteria objektif bagi suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai oleh sering terjadinya interaksi. Kedua, pihak yang berinteraksi mendefinisikan diri mereka sebagai anggota. Ketiga, pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang lain sebagai anggota kelompok. Selain itu juga dikenal kategori sosial (sosial categories) yaitu suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama seperti jenis kelamin atau usia. Antara para pendukung peran tersebut tidak terdapat interaksi (Sunarto, 2004). Robert Bierstedt (Sunarto, 2004)) menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada tidaknya (a) organisasi, (b) hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan (c) kesadaran jenis. Berdasarkan ketiga kriteria tersebut Bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok: kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok sosial (sosial group), dan kelompok asosiasi (assosialtional group). Pasca penyelenggaraan Pemilukada, pasangan GubernurWakil Gubernur terpilih yakni Thaib Armain-Gani Kasuba dan masyarakat di Provinsi Maluku Utara menghadapi tantangan dan permasalahan berupa pertentangan antara kelompok masyarakat yang menginginkan wilayah desa dan kecamatannya dipisahkan dengan desa dan kecamatan lain. Namun keinginan tersebut ditolak oleh sebagian kelompok masyarakat lainnya. Pasca Pemilukada dengan terpilihnya gubernur yang baru, sejumlah elemen masyarakat menuntut pemekaran desa, kecamatan bahkan kabupaten.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
127
b. Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga Ferdinand Tonniesm melihat dua jenis kelompok, yang dinamakannya Gemeinschaft dan Gesellschaft. Menurut Tonies ((Sunarto, 2004) : All intimate, private, and exclusive living together. . . is understood as life in Gemeinschaft (community). Gesellschaft (society) is public life—it is the world itself. In Gemeinschaft with one's family, one lives from birth on, bound to it in weal and woe. One goes into Gesellschaft as on goes into a strange country (Tonnies, 1963:33-34). Dalam Gemeinschaft digambarkan sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan eksklusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Tonnies, misalnya, menggambarkan ikatan pernikahan sebagai suatu "Gemeinschaft of life." Ia pun berbicara mengenai suatu Gemeinschaft di bidang rumah tangga, agama, bahasa, adat, yang dipertentangkannya dengan Gesellschaft di bidang ilmu atau perdagangan. Tonnies membedakan antara tiga jenis Gemeinschaft. Jenis pertama, Gemeinschaft by blood, mengacu pada ikatanikatan kekerabatan. Gemeinschaft of place pada dasarnya merupakan ikatan yang berlandaskan kedekatan letak tempat tinggal serta tempat bekerja yang mendorong orang untuk berhubungan secara intim satu dengan yang lain, dan mengacu pada kehidupan bersama di daerah pedesaan. Jenis ketiga, Gemeinschaft of mind, mengacu pada hubungan persahabatan, yang disebabkan oleh persamaan keahlian atau pekerjaan serta pandangan yang mendorong orang untuk saling berhubungan secara teratur (Sunarto, 2004). Pemilukada Provinsi Malut juga berdampak pada timbulnya konflik antar anggota dalam satu keluarga. Diantara 128
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
beberapa anggota keluarga terjadi perselisihan paham bahkan pertentangan yang berakibat pada terpecahnya kerukunan diantara anggota keluarga itu. Sejak puluhan tahun yang lalu hingga selama dan pasca Pemilukada juga telah mencabik-cabik ikatan persaudaraan dalam satu keluarga. Bermula dari Keluarga Besar Nuku Hibalamo di Ternate yang dulunya mempunyai anak delapan, empat masuk Islam dan empat masuk Kristen, sebelumnya sangat rukun dan hidup damai dan tentram, namun seiring berlalunya konflik, keluarga besar itu sudah hilang, retak, bercerai berai, dan hancur. Demikian halnya yang terjadi pada sejumlah keluarga lainnya di Morotai, Kao, Makian, Ternate, Tidore, Bacan dan lainnya. Konflik antara anggota keluarga tidak pernah disangka terjadi mengingat halangan-halangan atau perbedaan-perbedaan yang sekian puluhan tahun terbina dengan baik, hidup rukun dan damai, namun setelah pecahnya konflik semua hal yang tidak masuk akan menjadi kenyataan. Dari konflik itu pula menimbulkan kecemasan sejumlah warga masyarakat yang sudah merasa tidak aman dan tentram sehingga mendorong mereka melakukan eksodus besar-besaran karena tidak tahan menghadapi teror dan ancaman dari pihak-pihak tertentu yang melibatkan sesama anggota keluarga. c. Pertentangan dan perpecahan Anggota Kelompok Salah satu dampak perubahan jangka panjang yang melanda Eropa Barat dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia ialah terjadinya perubahan dalam pengelompokan anggota masyarakat. Durkheim (Sunarto, 2004) membedakan antara kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat yang masih sederBahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
129
hana, yang oleh Durkheim dinamakan segmental. Dalam masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain. Menurut Durkeim (Sunarto, 2004) bahwa dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah persamaan perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat diikat oleh apa yang dinamakannya kesadaran kolektif, hati nurani kolektif (collective conscience) yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstern serta memaksa. Sanksi terhadap pelanggaran hukum di sini bersifat represif; barang siapa melanggar solidaritas sosial akan dikenai hukuman pidana. Kesadaran bersama tersebut mempersatukan para warga masyarakat, dan hukuman terhadap pelanggar aturan bertujuan agar ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut dapat dipulihkan kembali. Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks yaitu masyarakat yang telah mengenai pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh kesaling-tergantungan antarbagian. Pada masyarakat dengan solidaritas organik ini, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif atau hati nurani kolektif (collective conscience) melainkan kesepakatan yang terjalin di antara berbagai kelompok profesi. Selain berkonflik dengan kelompok masyarakat lain, juga tidak sedikit yang berkonflik sesama anggota masyarakat dalam satu desa atau kecamatan, antara sesama warga dalam satu kampung dan lingkungan karena perselisihan paham dalam aksi saling dukung mendukung kelompok etnis, agama dan kandidat gubernur. Pertentangan / konflik antara anggota masyarakat semakin memperlemah ikatan persatuan dan persaudaraan dikalangan komunitas masyarakat di Maluku Utara
130
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
seperti yang pernah tercatat dalam sejarah konflik beberapa tahun yang lalu. Keretakan hubungan antar anggota masyarakat yang dulunya harmonis terpaksa harus menerima kenyataan yaitu putusnya hubungan tali persaudaraan dan persatuan. Akibat pertentangan antara sekelompok kecil masyarakat dengan sejumlah besar kelompok masyarakat itu, telah menyeret keterlibatan sejumlah anggota masyarakat saling menyerang dan menimbulkan serangkaian aksi-aksi saling dukung mendukung antara satu dengan yang lainnya, yang juga berakibat pada terjadinya aksi teror dan ancaman satu sama lain bahkan beberapa anggota keluarga menjadi korban kekerasan. d. Gangguan keamanan dan ketertiban dari pertentangan dan perpecahan Kelompok Sosial Masyarakat Dampak dari situasi konflik sosial yang melanda warga masyarakat MALUT pra dan pasca Pemilukada bukan saja menimbulkan gejolak sosial anta keluarga, antar kelompok warga masyarakat dan antara kelompok etnis melainkan juga berdampak pada terganggunya ketentraman dan ketertiban umum masyarakat itu sendiri. 1) Dalam konflik sosial itu, terjadi aksi-aksi teror, ancaman dan tekanan sosial lainnya dari pihak-pihak yang bertikai yang mengganggu keamanan warga masyarakat. Sejak meletusnya konflik, situasi keamanan di wilayah Maluku Utara semakin kurang terkendali akibat adanya aksiaksi teror dan ancam mengancam satu sama lain dari sebab perbedaan atau pertentangan antar kelompok masyarakat. Sejumlah kelompok masyarakat hampir siang dan malam terus berjaga-jaga melindungi keluarganya dari kemungkinan situasi Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
131
terburuk yang akan terjadi yang biasanya ditandai dengan tindakan saling menyerang satu sama lain dan silih berganti setelah adanya terror dan ancaman; aksi-aksi itu sering diwarnai dengan tindakan kekerasan dengan cara membakar rumah-rumah penduduk, teror, mengancam, melukai bahkan tidak segan-segan membunuh warga yang dianggap melawan. Lanjut dijelaskan, akibat dari semua itu sebagian warga merasa cemas, takut dan merasa tidak aman dan tentram sehingga mereka pun berbondong-bondong meninggalkan kampung halamannya menuju kampung tetangga yang lebih aman ataukah pergi jauh-jauh di rumah sanak keluarganya. Peristiwa berdarah di sejumlah desa dan kecamatan seta kabupaten, diakui banyak warga merasa sudah tidak aman dan tentram lagi tinggal di kampung atau desanya akibat adanya aksi-aksi teror, ancam mengancam dan tindakan balas dendam antar warga yang pro dengan warga yang kontra terhadap penetapan gubernur/wakil gubernur terpilih. Warga yang menentang dan warga yang berpihak dan mendukung terkadang saling menyerang satu sama lain tanpa mengenal waktu siang atau malam. Meskipun pihaknya bersama Pem-prov Malut sudah menurunkan sejumlah aparat keamanan termasuk yang didatangkan dari luar namun situasi keamanan di wilayah itu tetap masih sulit dikendalikan, bahkan ada seorang tokoh masyarakat yang mati terbunuh di tengah pengawalan petugas keamanan, dan itu sungguh ironis dan memprihatinkan. Situasi konflik sangat mempengaruhi situasi keamanan dan ketentraman warga masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari; situasi konflik itu membuat sejumlah warga masyarakat merasa cemas, takut, was-was, dan tidak aman dan tentram sehingga mendorong pihaknya untuk mendatangkan sejumlah aparat keamanan guna mengendalikan situasi konflik itu. Namun pun demikian, akhir-akhir ini situasi konflik nampak sudah mulai terkendali oleh karena adanya kesadaran semua pihak terutama warga masyarakat di wilayah 132
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
konflik itu, dan kita semua berharap kiranya warga masyarakat dapat menemukan kembali hak keamanannya sama seperti sebelum terjadi konflik sosial. 2) Dalam konflik sosial itu, situasi keamanan (ketentraman dan ketertiban) warga masyarakat terganggu Konflik yang terjadi pasca Pemilukada Provinsi Malut berdampak pada semakin berkujurangnya rasa aman (ketentraman dan ketertiban) warga masyarakat di wilayah itu dan sekitarnya. Situasi keamanan warga semakin kurang terkendali akibat adanya tindakan-tindakan kekerasan antara warga masyarakat. Dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru, situasi di wilayah MALUT semakin kurang terkendali akibat adanya aksi-aksi kekerasan dari sebab perbedaan atau pertentangan antar kelompok pro dan kontra. Sejumlah kelompok masyarakat hampir siang dan malam terus berjaga-jaga melindungi keluarganya dari kemungkinan situasi terburuk yang akan terjadi yang biasanya ditandai dengan tindakan saling menyerang satu sama lain dan silih berganti; aksi-aksi itu sering diwarnai dengan tindakan kekerasan dengan cara membakar rumah-rumah penduduk, teror, mengancam, melukai bahkan tidak segan-segan membunuh warga yang dianggap melawan. Akibatnya sebagian warga merasa cemas, takut dan merasa tidak aman dan tentram sehingga mereka pun berbondong-bondong meninggalkan kampong halamannya menuju desa atau pulau yang lebih aman. Warga merasa sudah tidak aman dan tentram lagi tinggal di kampung atau desanya akibat adanya aksi-aksi teror, ancam mengancam dan tindakan balas dendam antar warga yang pro dengan warga yang kontra dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
133
3) Dalam konflik sosial itu, keharmonisan dan kerukunan antar warga masyarakat terganggu, retak, terpecah belah, merenggang Konflik sosial yang terjadi pasca Pemilukada Malut membawa konsekuensi terhadap terganggunya hubungan kekerabatan dan kerukunan, retak dan terpecah belahnya keharmonisan antar keluarga, serta merenggangnya keharmonisan dan kerukunan antar kelompok masyarakat yang sekian lama terbina. Semua itu terjadi akibat adanya perbedaan sikap, pandangan, pendapat, atau persepsi atas terpilihnya gubernur/ wakil gubernur yang baru. 4) Hubungan yang tidak harmonis mempengaruhi kerukunan antara warga masyarakat sehingga akan terus mendorong meningkatnya pertentangan dan gangguan hubungan dan sistem sosial Sejak terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru, sejumlah warganya mengalami gangguan hubungan kekerabatannya; situasi yang semakin tak terkendali dan adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan persepsi membuat sejumlah warga masyarakat memutuskan hubungan kekeluargaan dengan keluarga lainnya. Itulah kenyataan resiko dari semua kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan pihaknya sehingga juga berdampak pada ketidak harmonisan dan retaknya kerukunan antar warga masyarakt itu. Walikota Tidore mengungkapkan bahwa pihaknya mengakui adanya sejumlah warga di wilayahnya mengalami gangguan hubungan keharmonisan dan kerukunan sejak Pemilukada Malut dan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru. Walaupun demikian berharap agar situasi dapat cepat pulih kembali dan para anggota keluarga yang terpisah
134
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
hanya karena perbedaan pandangan atau persepsi dapat kembali hidup rukun dan harmonis. 5) Dalam konflik budaya itu, nilai-nilai sejarah menjadi landasan bagi kelompok masyarakat di wilayah MALUT untuk mengajukan pertentangan terhadap Pemilukada Malut dan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru Komunitas masyarakat MALUT (Morotai, Ternate, Tidore, Bacan dan lainnya) secara historis dicirikan oleh budaya persaudaraan, persatuan dalam keberagaman, oleh karena umumnya mereka itu berasal dari kelompok suku dan etnis yang berbeda, hal mana juga berarti bahwa nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat, sikap dan perilaku masyarakat di wilayah itu adalah cerminan dari budaya Maluku Utara. Salah satu nilai-nilai yang sampai saat ini masih tetap menjadi pedoman ataupun pegangan bagi segenap masyarakat di MALUT adalah totarima se nyinga ma ikhlas (lapang dada menerima kekalahan), dan Bira kuraci semaboro (artinya pemimpin ada karena adanya masyarakat) . Nilai budaya itu senantiasa menjadi simbol pemersatu yang mengikat segenap warga Al Mulk (Maluku Utara) dari sejak lahirnya hingga sekarang ini. Dalam perkembangannya, nilai budaya tersebut tidak sedikit mengalami gangguan ataupun tantangan dalam usaha mempertahankannya dan melestarikannya, sehingga mendorong komunitas etnis di MALUT itu berjuang menghadapi berbagai cobaan ataupun usaha-usaha dari pihak tertentu yang mencoba mengobrak-abrik dan mencabik-cabik nilai-nilai yang oleh masyarakat MALUT sangat dijunjung tinggi. Beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama dan budayawan mengungkapkan bahwa sengketa Pemilukada Malut dan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru itu sudah merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro yang menjadi Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
135
simbol bagi warga masyarakat, dan hal itu membawa konsekuensi terhadap semakin terabaikannya dan sekaligus mengancam keberadaan nilai-nilai budaya yang selama ini diperjuangkan dan dipertahankan, dan untuk itu pihaknya akan terus melakukan perlawanan guna memelihara dan mempertahankan nilai-nilai budaya itu. . Menurut beberapa pejabat Provinsi Malut pada dasarnya pihaknya cukup memahami nilai-nilai totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro yang sudah sekian lama menjadi simbol perjuangan masyarakat di MALUT sehingga mendorong konflik terbuka setelah adanya sengketa Pemilukada. Semua tahu dan menyadari bahwa nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro itu adalah merupakan salah aset budaya dan kekayaan daerah Maluku Utara yang hingga saat ini masih eksis dan sangat pantas untuk didukung pengembangan dan pelestariannya dalam rangka menegakkan nilai-nilai sejarah, etika dan moral serta norma-norma kehidupan sosial masyarakat. Walikota Ternate dan Tidore mengungkapkan bahwa pihaknya sangat menghormati nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro yang selama ini menjadi simbol pemersatu masyarakat MALUT dengan karakteristik nilai-nilai dan norma-norma yang kental dengan nilai-nilai kekesatriaan. Olehnya itu, meskipun Pemilukada Malut telah dilaksanakan dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru pihaknya tetap tidak akan mengganggu ataupun mengabaikan nilai-nilai budaya tersebut, karena pada dasarnya nilai-nilai budaya itu juga merupakan salah satu sumber kekayaan yang perlu dikembangkan dan dilestarikan ke depan. Masalahnya adalah pihaknya tidak bisa memutuskan secara sepihak karena berbagai faktor pertimbangan termasuk pertimbangan teknis dan aspirasi serta tekanan politik dari luar MALUT itu sendiri.
136
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
6) Dalam konflik sosial budaya itu, kebijakan politik yang menjadi sumber pertentangan nilai-nilai bagi kelompok masyarakat di wilayah MALUT terhadap putusan Pemilukada Malut dan penentuan gubernur/wakil gubernur terpilih Berbagai cobaan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat MALUT dalam usahanya mempertahankan dan memperjuangkan nila-nilai totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro dengan berbagai konsekuensi yang harus diterimanya. Salah satu cobaan dan tantangan yang marak berkembang dan harus dihadapi adalah intervensi KPU pusat, kebijakan Mendagri, putusan MA dan MK serta intervensi Presiden dalam penentuan gubernur/wakil gubernur terpilih. Sengketa Pemilukada MALUT dan penentuan gubernur/wakil gubernur terpilih adalah merupakan suatu kenyataan sejarah yang harus dihadapi oleh masyarakat MALUT dalam usahanya mempertahankan dan memperjuangkan totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro sebagai suatu nilai budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya. Menghadapi kenyataan itu, para tokoh dan warga masyarakat MALUT pun jauh sebelumnya sudah melakukan berbagai langkah-langkah konkrit termasuk sejumlah pernyataan sikap kepada para pengambil kebijakan baik di daerah itu maupun di Pusat, dan upaya itu sampai saat ini masih terus berlangsung. Dalam tradisi leluhur masyarakat Maluku dikenal istilah totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro, wilayahnya selalu menjadi pusat penyelenggaraan kegiatan sosial budaya dan pemerintahan dari dulu, sehingga selalu menolak dan mempertentangkan setiap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro termasuk dalam Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
137
pelaksanaan Pemilukada Malut dan penentuan gubernur/wakil gubernur yang sama sekali merusak tatanan budaya yang dianutnya itu dan tidak mengakomodir kepentingannya. Para tokoh masyarakat dan kepala pemerintahan di wilayah MALUT mengungkapkan bahwa terbit dan berlakunya Keputusan Presiden/Kepmendagri yang menjadi pedoman Pemilukada Malut dan penentuan gubernur/wakil gubernur sudah merupakan pengingkaran dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya, dan sejumlah upaya penolakan telah dilakukan karena dinilai akan semakin mengucilkan nilai-nilai budaya dan sekaligus mengancam keberadaan nilai-nilai budaya yang selama ini diperjuangkan dan dipertahankan. Kebijakan pemerintah menetapkan gubernur/wakil gubernur terpilih pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya tuntutan penyelesaian yang urgen atau mendesak karena dikhawatirkan akan semakin berlarut-larut, dan walaupun sudah cukup banyak aspirasi berupa penolakan yang diajukan oleh beberapa tokoh MALUT dengan berdasar pada kebijakan nilai-nilai budaya yang sudah sekian lama menjadi simbol perjuangan masyarakat MALUT, namun nampaknya Pemerintah Pusat sebagai pengambil kebijakan tertinggi memiliki pertimbangan lain sehingga tetap melegalisir dan mengesahkan penentuan gubernur/wakil gubernur. 7) Dalam konflik Pemilukada itu, terjadi pertentangan dan perbedaan nilai-nilai, norma-norma dan adat sitiadat antara warga masyarakat yang pro dan kontra terhadap intervensi Mendgari/Presiden dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Malut dan penentuan gubernur/wakil gubernur Karakteristik sosial kultur masyarakat Provinsi Malut adalah bersifat heterogen terutama nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat, suku/ etnis serta kepercayaan yang dianutnya masing-masing. Sifat heterogen itu juga sekaligus mewarnai 138
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
sengketa Pemilukada dan konflik penentuan gubernur/wakil gubernur dengan pola budaya berdasarkan totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro dengan pola budaya lainnya. Sifat heterogen itu pula yang mendorong terjadinya pro dan kontra terhadap Pemilukada Malut dan pengangkatan/ pelantikan gubernur/wakil gubernur terpilih. Secara umum, masyarakat di dalam wilayah Provinsi Maluku Utara memperlihatkan corak budaya yang berbeda atau beragam antara satu dengan yang lainnya. Corak budaya yang dominan di MALUT adalah nilai-nilai dan norma totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro . Corak budaya itu menjadi landasan bagi pertentangan dalam memandang dan mendorong tuntutan kepentingan terhadap penyelesaian sengketa Pemilukada secara adil. Dalam tradisi leluhur masyarakat Maluku ada istilah yang dikenal dengan totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro, wilayahnya selalu menjadi pusat penyelenggaraan kegiatan sosial budaya dan pemerintahan dari dulu, sehingga selalu menolak dan mempertentangkan setiap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro termasuk dalam penentuan gubernur/wakil gubernur terpilih yang sama sekali merusak tatanan budaya yang dianutnya itu dan tidak mengakomodir kepentingannya sehingga dinilai tidak sesuai. Putusan pemerintah dalam penentuan gubernur/wakil gubernur terpilih sudah merupakan pengingkaran dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang tertuang dalam totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro, dan dinilai akan semakin mengucilkan nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
139
Dampak Sosial dari Perspektif Konflik OUTGROUP Sebagaimana diketahui bahwa Pemilukada yang diselenggarakan oleh KPUD Maluku Utara pada Tanggal 03 November 2007 telah menuai konflik horizontal dan vertikal baik dalam konteks internal organisasi kelompok (Ingroup) maupun dalam konteks eksternal organisasi antar kelompok (Outgroup). Pembedaan antara in-group dan out-group, didasarkan pada konsep in-group yang diperkenalkan oleh W.G. Sumner (1940). Sumner (Sunarto, 2004) mengemukakan bahwa "masyarakat primitif," yang merupakan kelompok kecil yang tersebar di suatu wilayah, muncul diferensiasi antara kelompok kita (we-group) atau kelompok dalam (in-group) dengan orang lain: kelompok orang lain (others-group) atau kelompok luar (outgroups). Menurut Sumner, di kalangan anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan dan kedamaian sedangkan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang dan perampokan. Dalam permusuhan yang diwariskan dari generasi ke generasi itu anggota kelompok dalam mempunyai kewajiban merampok, memperbudak dan membunuh anggota kelompok luar. Anggota kelompok dalam menganggap kelompok mereka sendiri sebagai pusat segala-galanya dan sebagai acuan bagi kelompok luar yakni suatu sikap yang mencerminkan etnosentrisme (ethnocen-trism) (Sunarto, 2004).. Pasca penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Maluku Utara, yang mana sebelumnya mengalami berbagai pertentangan-pertentangan dan gejolak sosial (konflik), ternyata tidak berakhir sebagaimana diharapkan banyak pihak atau kalangan. Pasca penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, kondisi sosial masyarakat di Provinsi Maluku Utara 140
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
masih menghadapi sejumlah tantangan dan permasalahan terutama dalam konteks konflik eksternal (OUTGROUP) yang mana menimbulkan dampak sebagaimana diidentifikasi dan diklasifikasi sebagai berikut : (1) Pertentangan dan perpecahan antar kelompok elit politik (2) Perpecahan dalam kelompok pemerintahan (3) Diskriminasi dalam pelayanan dan rekrutmen CPNS Ketiga aspek tersebut dianalisis untuk memberi gambaran mengenai situasi dan kondisi dampak sosial masyarakat dalam konteks konflik Outgroup pasca Pemilukada. Dampak Pemilukada Provinsi Maluku Utara atas terjadinya konflik dianalisis berdasarkan hasil kuesioner dan dipadukan dengan hasil wawancara sejumlah narasumber dan informan, yang diuraikan lebih lanjut. 1) Dalam konflik elit outgroup itu, terjadi tawar menawar (bargaining politik) kepentingan antara pihak-pihak yang bertikai dalam sengketa Pemilukada dan penetapan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih. Sejarah yang pernah terukir dalam era Momole dan masa Kolano Cico atau Mashur Malamo (1257), di mana sudah ada perseteruan laten antar klan raja/penguasa, baik di internal kerajaan maupun antar kerajaan seakan menjelma kembali, sebagaimana pernah ditulis oleh Naida, jurutulis Kesultanan Ternate, tentang mitos lahirnya raja-raja Moloku Kieraha, dan mengungkap benih-benih perpecahan itu yang tercatat dalam P. van der Crab, “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen text beschreven door den Ternataan Naidah”, (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague, 1878). Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
141
Sejarah mencatat bahwa konflik antar petinggi kerajaan berhasil reda semasa Kolano Sidang Arif Malamo menjadi Raja di Ternate (1322-1331) melalui konferensi rajaraja di Pulau Moti yang mempertemukan raja-raja di Maluku Utara, minus Raja Loloda, dan mereka pun sepakat mengakhiri permusuhan antar sesama serta membentuk sebuah Konfederasi Longgar yang dikenal dengan Konfederasi Moloku Kieraha atau Persekutuan Empat Raja di Maluku atau dengan nama Moti Statenbond (1322). Perkembangan yang terjadi setelah 72 tahun Konfederasi Longgar atau Konfederasi Moloku Kieraha, Raja Ternate mengambil keputusan sepihak membatalkan kesepakatan yang pernah dibuatnya, dan akibat dari pembatalan tersebut maka konflik anta relit politik kembali merebak. Masuknya bangsa asing yakni Spanyol dan Portugis semakin memperparah perpecahan dikalangan elit politik kerajaan, bahkan Gubernur Portugis Admiral de Mosquita melakukan pembunuhan terhadap salah seorang raja yang disegani yaitu Raja Hairun, yang memicu Babullah Datu Syah mengobarkan apa yang diistilahkannya dengan perang suci melawan kolonialis Portugis dan sekutu-sekutunya, sehingga memunculkan benih konflik agama. Babullah Datu Syah menyatukan raja-raja di Maluku Utara, Kolano Katarabumi dan Raja Jailolo untuk memerangi Portugis dan penduduk yang telah dinasranikan di seantero Halmahera. YB Mangunwijaya, dalam novel sejarah “Ikan-ikan Hiu Ido Homa,” mendeskripsikan, betapa keserakahan raja-raja sesudah Babullah, membuat rakyat begitu menderita, dan mewariskan dendam yang diturunkan secara turun-temurun dalam bentuk pepatah-pepatah kuno, yang menyimpan arti mendalam. Selain sepak terjang para raja dan kerajaan di wilayah ini dalam berebut sumberdaya ekonomi, kolonialisme selama kurang lebih 350 tahun, baik oleh Portugis, Spanyol, apa lagi Belanda, telah memporak-porandakan bangunan sosial 142
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
yang sudah terbangun kurang lebih 200 tahun itu. Lewat politik ekstirpasi, devide et impera, mereka masuk dan merubah tatanan sosial budaya, sehingga relasi-relasi sosial menjadi terganggu. (E Katoppo dalam, Nuku, kaitjil Paparangan, 1957). Sejarah yang pernah tercatat kini terulang kembali dalam konflik Pemilukada Maluku Utara Tahun 2007-2008. Konflik Pemilukada terutama mencapai puncaknya pada momen Sengketa Pemilukada yang melibatkan banyak elit politik baik di tingkat lokal (Maluku Utara) maupun di tingkat pusat atau nasional. Konflik antar elit politik bukan saja dua kubu yang bertikai di Maluku Utara, yaitu kubu Thayib Armayn – Gani Kasuba (TG) dan Abdul Gafur – Rusli Amin (AGAR) melainkan juga banyak mengundang keterlibatan elit politik di Jakarta. Keterlibatan tersebut mendorong terjadinya tawar menawar yang tentunya berdasarkan kepentingan politik kelompok mereka masing-masing karena kedua pasangan kandidat gubernur/wakil gubernur tersebut diusung dan berdiri di belakangnya sejumlah partai politik . Dasar nilai-nilai budaya Maluku Utara dikenal totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro, yang artinya yang kalah harus lapang dada dan harus sadar perbuatannya kepada masyarakat. Namun kenyataannya pemilihan gubernur/ wakil gubernur melibatkan terlalu banyak pihak (politisi) yang semakin membuat rumit masalah. Dari politisi atau elit politik itu terutama dari Jakarta ada yang seenaknya mengeluarkan statemen atau pernyataan yang menyesatkan dan intervensi bahkan memprovokasi kelompok masyarakat untuk bertikai. Sikap arogansi dan tidak siap kalah diantara kubu yang bersengketa mengabaikan prinsip nilai totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat dan kepentingan pribadi dan kelompoknya dan tidak pernah memikirkan bagaimana akibatnya bagi masyarakat yang menjadi korban tindakan Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
143
kekerasan, penganiayaan, kerusuhan, terror dan ancaman, bahkan pembunuhan sehingga menilai sangat dipertentangkan. Sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemangku adat di Maluku Utara mengatakan bahwa banyak elit politik sering bermain dan mempernainkan nyawa warga masyarakat di Maluku Utara. Atas nama jabatan, kekuasaan dan prestise pribadi dan golongan, mereka rela mencabik-cabik nilai-nilai cultural yang tertanam selama ratusan tahun di tengah kehidupan masyarakat. Sejumlah elit politik secara aktif melakukan tawar menawar kepentingan politik kemudian saling menyerang, mengkhianati, memperebutkan kepentingan tahta dan kekuasaan. Mereka tidak pernah sadar bahkan terkesan sengaja melakukan perbuatan-perbuatan yang menghalalkan segala cara, mempermainkan akar nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro, yang mana akibat perbuatannya itu mengusik dan mengganggu ketentraman dan rasa aman masyarakat, mengundang polemik yang berlanjut pada aksi-aksi terror dan ancam mengancam satu sama lain, memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindak kekerasan dan anarkis. Tujuan berpolitik sepanjang dilakukan sesuai etika dan norma serta memperhatikan kemaslahatan masyarakat itu baik. Namun, manakala seorang politisi lebih terobsesi untuk memperoleh keuntungan/kepentingan pribadi dan golongan maka biasanya yang bersangkutan akan melenceng dari garis kebijakan dan tujuan berpolitik itu sendiri. Dalam konteks Pemilukada Maluku Utara, warna-warni yang ditebarkan oleh keterlibatan elit politik tersebut lebih besar kepada kepentingan pribadi dan golongan, dan terkesan hanya menjual nama rakyat Maluku Utara untuk kepentingan pribadi/golongan/partai mereka. Akibatnya, masyarakat yang menjadi korban pertikaian, tindak kekerasan, bahkan masyarakat tidak memperoleh sesuatu yang berharga dari ulah oknum politisi melainkan hanya potensi konflik. 144
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Kehidupan sosial masyarakat di Maluku Utara tidak pernah lepas dari permasalahan mulai dari kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, kemiskinan dan konflik sosial. Kesemuanya itu, sebagian besar disebabkan oleh ulah elit politik yang tidak cakap mengelola potensi sosial karena masih selalu memandang komunitas masyarakat sebagai komunitas yang rendah dan dungu sehingga selalu berusaha melakukan cara apapun untuk merampas kemerdekaan sosial. Masyarakat terpaksa harus puas menerima janji-janji palsu dan kebohongan secara terus menerus sehingga menimbulkan tekanan, dendam dan frustrasi dan kemudian melahirkan rentetan ledakanledakan emosional dan sosial chaos. 2) Dalam konflik outgroup itu, komunitas masyarakat MALUT mengajukan tuntutan untuk menolak intervensi elit politik dari luar. Dinamika dan fenomena serta kontroversi politik yang mewarnai penyelenggaraan Pemilukada berupa sengketa dan pro kontra pelantikan dan pengangkatan Thayib Armayn –Gani Kasuba oleh Presiden/Mendagri hingga sekarang ini masih terus mengundak polemik dan gejolak sosial termasuk konflik laten di tengah kehidupan masyarakat Maluku Utara. Komunitas Moloku Kieraha dengan nilai Totarima Se Nyinga Ma Ikhlas - Bira Kuraci Semaboro di MALUT yang jauh sebelumnya berteriak memohon dan meminta pengertian semua elit politik di pemerintahan dan di luar pemerintahan, agar mendengar suara dan jeritan tangisnya dan berharap jangan lagi ada pihak-pihak yang mengganggu dan mengacakngacak kehidupan sosialnya hanya demi suatu kepentingan politik dan kekuasaan belaka. Namun apa lacur yang terjadi, sekian kali dan sekian lama pula memohon dan meminta agar jangan ada lagi politisi (di dalam dan di luar Malut) bermain api di tengah penderitaan dan kesengsaraan serta duka trauma Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
145
warga masyarakat, namun sungguh sangat ironis teriakan dan jeritan tangis itu seakan dikesampingkan demi suatu tujuan politik yang bernama kepentingan. Pergolakan politik lokal khususnya di MALUT sebelum dan sesudah sengketa Pemilukada bahkan hingga saat ini masih terus terjadi dan berlangsung. Masyarakat MALUT bersama elit masyarakatnya seakan tidak pernah mengenal lelah menuntut hak-hak dan kesejahteraan/kedamaiannya untuk diperhatikan oleh elit politik. Kenyataan itu diperkuat oleh hasil kuesioner dan sejumlah hasil wawancara penulis dengan pihakpihak yang terkait di MALUT. Sengketa Pemilukada dan intervensi pihak/tokoh-tokoh politik dari luar termasuk Keputusan pelantikan dan pengangkatan gubernur/wakil gubernur terpilih tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Maluku Utara dikenal totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro sehingga menilai sangat dipertentangkan. Beberapa politisi di Maluku Utara mengungkapkan bahwa semua pihak khususnya politisi harus belajar dari pengalaman konflik Pemilukada di Maluku Utara dan tidak lagi memprovokasi masyarakat bertindak kekerasan dan anarkis. Politisi harus member contoh berdemokrasi yang baik agar masyarakat tidak ikut terjerumus dalam gejolak politik dan kerusuhan sosial. Tanggapan beberapa elit politik lokal di Provinsi Malut mengungkapkan bahwa keputusan Pemerintah pusat/Mendagri melantik dan mengangkat gubernur/wakil gubernur terpilih sudah sesuai, namun demikian juga diakui masih banyak oknum elit politik yang kecewa dan dendam sehingga selalu berusaha memprovokasi elemen masyarakat. 3) Dalam konflik outgroup itu, serangkaian pernyataan dan tindakan politik diambil untuk memprovokasi massa yang pro dan kontra terhadap hasil Pemilukada. 146
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
Hal ini juga berarti bahwa sebagian besar warga masyarakat di Maluku Utara masih sangat mudah terprovokasi oleh pernyataan elit politik dan hanya sebagian kecil yang bersikap biasa saja dan tidak mudah terprovokasi oleh pernyataan elit politik sehingga terjadi polemik dan konflik sosial. Beberapa warga masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemangku adat di Maluku Utara mengungkapkan bahwa mereka sering mendengar namun sudah bosan dengan pernyataan-pernyataan yang sering dikeluarkan oleh elit politik karena biasanya hanya memprovokasi dan menyesatkan. Ada politisi atau elit politik yang cukup hati-hati mengeluarkan suatu pernyataan, namun ada pula yang boros dan takabur. Ada elit politik tetap mempertimbangkan nilainilai moral dan etika serta pernyataannya menyejukkan suasana dan memberi rasa tenang dan aman bagi warga masyarakat, namun banyak juga yang sombong, arogan, provokator dan bejat. Yang terakhir inilah yang mengoyak atau mencabikcabik kehidupan sosial masyarakat di Maluku Utara selama ini termasuk pada proses penyelenggaraan Pemilukada, sengketa hingga pasca Pemilukada dan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru.. Sumber konflik sosial salah satunya adalah statemen dari elit politik baik local, demikian halnya permasalahan kecemburuan sosial masyarakat di Maluku Utara tidak bisa juga dilepaskan dari pernyataan-pernyataan elit politik tertentu yang berusaha mengacaukan kehidupan sosial masyarakat dengan cara menyerang lawan-lawan politik dan memprovokasi warga masyarakat. 4) Dalam konflik sosial outgroup itu, serangkaian pernyataan dan janji politik dari pengambil kebijakan yang mendorong meningkatnya eskalasi politik lokal dan tuntutan terhadap pemenuhan janji itu.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
147
Sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemangku adat di wilayah MALUT mengungkapkan bahwa pihaknya sudah seringkali menerima janji-janji politik dari pihak pengambil kebijakan dan akibatnya juga sudah seringkali terdorong secara berkelompok mengajukan tuntutan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menagih janji itu. Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah tokoh masyarakat MALUT dan kepala-kepala desa sering diundang untuk melakukan suatu pertemuan dan audience tertutup oleh elit politik lokal tertentu, dan pada kesempatan itu terjadi dialog dan audiensi membahas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat MALUT, hal mana mendorong elit politik itu mengungkapkan janji dan sekaligus memberikan harapan terhadap pemenuhan tuntutan masyarakat MALUT itu. Namun pihaknya juga merasa heran bahwa demikian mudahnya elit politik tertentu menabur janji namun tidak semudah itu merealisasikan atau menepati janjinya. Pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan politik tidak bisa terhindar dari kemungkinan memberikan janji-janji politik tertentu khususnya kepada masyarakat MALUT, dan hal itu wajar-wajar saja karena pemerintah daerah adalah tumpuan harapan seluruh masyarakat yang dipimpinnya untuk mengajukan sejumlah permasalahan ataupun keluhan-keluhan yang dihadapi masyarakat yang bersangkutan. Selaku pemimpin juga tentunya punya komitmen dan harapan serta tanggung jawab yang besar untuk memainkan peranan kepemimpinannya dalam mengobati dan mengatasi sejumlah persoalan internal yang ada; pemimpin itu juga adalah manusia biasa yang punya perasaan empati dan simpati; bisa merasakan apa yang dirasakan oleh warga masyarakatnya, bahkan tidak jarang harus meneteskan air matanya ketika mengetahui penderitaan warga masyarakatnya; namun apa daya, pemimpin itu juga punya keterbatasan kemampuan dan sekaligus bisa salah dan lupa/ khilaf, hal mana pada prinsipnya pemimpin itu juga tidak 148
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
pernah tega membiarkan masyarakatnya mengalami nasib yang buruk, terkadang berniat melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat serta berusaha untuk memenuhi janji dan tuntutan masyarakat akan tetapi oleh karena sesuatu faktor atau hal maka niatan tersebut tertunda pelaksanaannya. Olehnya itu, antara warga masyarakat dengan pemimpin itu harus ada saling pengertian dan saling memahami keterbatasan masing-masing. Lanjut dijelaskan, diakui bahwa dalam menjalankan kepemimpinan itu juga tidaklah mudah apalagi ketika diperhadapkan pada situasi yang sulit dan dilematis, sehingga sang pemimpin itu harus cukup kuat untuk bertahan di tengah derasnya arus tarik menarik kepentingan, sang pemimpin itu dituntut untuk mempertimbangkan berbagai hal dalam menentukan sikap bahkan terkadang harus mengabaikan kebutuhan tidurnya untuk memikirkan cara menyelesaikan/mencari solusi permasalahan yang diperhadapkan kepadanya. Harapan kita bersama semoga semua janji-janji politik yang pernah dialamatkan atau ditujukan kepada masyarakat MALUT dapat menjadi Kenyataan sehingga masyarakat MALUT pun dapat hidup tentram dan damai dalam menatap masa depannya. Janji politik itu sudah merupakan bagian dari tuntutan kebutuhan karena masyarakat membuhtukan janji. Permasalahannya, ada elit politik yang selalu perhatian pada janjinya, loyal dan setia pada janjinya, meskipun tidak semuanya dapat dilaksanakan karena adanya faktor-faktor kondisional tertentu. Namun demikian juga diakui bahwa tidak sedikit elit politik hanya menjadikan janji sebagai live service untuk menarik simpati sehingga ketika ditagih janjinya oleh elemen masyarakat tertentu maka seolah-olah menghindar atau pura-pura lupa, dan hal itu biasanya menimbulkan kecurigaan, kebencian serta ketidakpercayaan masyarakat bahkan frustrasi yang mendalam yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap pemimpin di daerah.
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung
149
Elit politik umumnya, termasuk gubernur/wakil gubernur terpilih tidak pernah sadar atas sikapnya yang mudah mengobral janji dan mempengaruhi perilaku sosial masyarakat. Di kalangan masyarakat mulai timbul perasaan sentimental dan emosional karena merasa kecewa atas janji-janji elit politik di Maluku Utara, dan hal ini cukup berbahaya bagi kehidupan sosial masyarakat karena disatu pihak ada kelompok yang terus menuntut /menagih janji dam bisa bertindak anarkis dan disisi lain juga kelompok masyarakat yang mendukung gubernur/ wakil gubernur yang menjabat, sehingga dikhawatirkan akan terjadi bentrokan fisik, provokasi kekerasan, terror dan ancaman bahkan bisa saling menyerang. 5) Dalam konflik sosial outgroup, sering terjadi tindakan saling melempar tanggung jawab dan saling menyalahkan di antara elit lokal (elit politik lokal dan elit non politik lokal) yang bisa menjadi sumber malapetaka konflik sosial. Keberadaan elit-elit lokal sangat memainkan peranan yang penting di dalam dimensi-dimensi peranan kepemimpinannya meliputi peran sebagai pengambil kebijakan, menetapkan keputusan strategis, menyelesaikan perselisihan, mengobati luka masyarakat, dan melakukan pembinaan/ pemberdayaan. Kedudukan dan fungsi para elit lokal baik elit politik lokal (jajaran pemimpin daerah di lingkup birokrasi dan para politikus) maupun elit non politik lokal / elit masyarakat (jajaran tokoh-tokoh masyarakat, toko-tokoh adat, pemuka agama, tokoh pemuda, dan lainnya) sangat berperan di dalam mengantisipasi dan menjernihkan permasalahan sosial di MALUT itu sehingga kehadirannya sangat dibutuhkan untuk meredam konflik sosial yang terjadi, dan bukannya saling melempar tanggung jawab ataupun saling menyalahkan satu sama lain hal mana medorong terjadinya provokasi dan
150
Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung