BAB I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan
pertanian di Indonesia. Subsektor peternakan sebagai bagian dari pertanian dalam arti luas merupakan salah satu komponen yang penting untuk dikembangkan. Sebagian besar hasil peternakan merupakan sumber pangan dan protein yang sangat penting bagi masyarakat. Menurut Daryanto (2007) pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan rata-rata pendapatan penduduk, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Salah satu komponen dari subsektor peternakan yang memiliki banyak manfaat dan berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah agribisnis persusuan. Kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan. Susu merupakan salah satu komoditas peternakan yang telah dikenal luas oleh masyarakat. Susu mengandung nilai gizi pangan cukup tinggi karena banyak kebutuhan tubuh terkandung di dalamnya. Susu mempunyai keistimewaan dalam mengimbangi kekurangan zat gizi pangan lain. Selain itu, susu mudah dicerna dan diserap oleh tubuh (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, 2004). Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan jumlah yang menurut data statistik 2009 sekitar 231 juta jiwa1. Perubahan pola hidup, serta semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi bahan makanan yang tidak hanya mengenyangkan akan tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan, menjadikan Indonesia sebagai pasar yang besar dan potensial untuk berbagai jenis komoditas yang menonjolkan manfaat bagi tubuh dan kesehatan seperti susu. Menurut Sulaeman (2003) permintaan terhadap produk
1
----.2009. Jumlah Penduduk Indonesia 2009. http://www.Jurnalnet.com [Januari, 2010]
1
peternakan termasuk susu, memiliki sifat normal atau mewah sehingga akan meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju peningkatan pendapatan konsumen. Peluang pasar yang begitu besar bagi agribisnis persusuan sejauh ini nampaknya belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para peternak sapi perah di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari adanya ketidakseimbangan antara konsumsi nasional dan produksi susu nasional. Sebagian besar susu yang tersedia dan beredar di pasaran merupakan produk impor. Menurut Rusdiana (2009) kontribusi produk susu nasional masih sangat kecil, itu pun harus melalui “perjuangan”
dari
Gabungan
Koperasi
Susu
Indonesia
(GKSI)
untuk
meningkatkan quota dan harga beli susu segar produksi dalam negeri. Saat ini produksi susu dalam negeri baru bisa memasok tidak lebih dari 30 persen permintaan nasional, sisanya 70 persen berasal dari impor (Daryanto, 2007). Pada periode tahun 2007 jumlah produksi susu segar nasional adalah 567,683 ton/tahun. Padahal tingkat konsumsi susu (baik segar maupun olahan) pada tahun yang sama adalah 7,12 kg per tahun (Ditjennak, 2009). Dengan perhitungan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2007 adalah 224,196 juta (BPS, 2009), maka dapat diperkirakan permintaan susu pada tahun tersebut kurang lebih sebesar 1.596.275,52 ton/tahun, jauh di atas produksi susu segar nasional. Perkembangan produksi susu segar nasional dipengaruhi oleh jumlah populasi sapi perah di Indonesia. Jumlah populasi sapi, produksi, serta produktivitas sapi di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 dilihat pada Tabel 1.
2
Tabel 1. Jumlah Populasi Sapi, Produksi Susu Segar, dan Produktivitas Sapi di Indonesia (2004 – 2009) Tahun
Produksi Susu Segar (ton) 549,945
Produktivitas (ton/ekor)
2004
Populasi Sapi (ekor) 364,062
2005
361,351
535,962
1.48
2006
369,008
616,549
1.67
2007
374,067
567,683
1.52
2008
457,577
646,953
1.41
2009*
486,994
679,331
1.39
Rata-Rata
402,176
599,403
1.50
Sumber Keterangan
1.51
: Direktorat Jenderal Peternakan 2009, diolah : * Data merupakan angka sementara
Dari Tabel 1 dapat dilihat dari tahun ke tahun pengembangan jumlah populasi sapi perah Indonesia relatif lambat. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab lambatnya perkembangan produksi susu nasional. Selain karena jumlah populasi sapi perah yang masih sedikit, dengan rataan populasi selama enam tahun terakhir sebanyak 402,176 ekor. Rendahnya produksi susu nasional juga disebabkan oleh rendahnya produktivitas sapi di Indonesia. Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa rataan produktivitas sapi Indonesia dalam kurun waktu enam tahun terakhir sebesar 1,50 ton/tahun. Padahal, sapi jenis Friesian Holstein yang terkenal dengan produksi susunya dapat berproduksi lebih dari 6,350 ton/tahun, hingga 25 ton/tahun (Bappenas, 2008). Dengan tingkat produktivitas sapi saat ini maka untuk memenuhi konsumsi nasional Indonesia membutuhkan paling tidak tambahan 920,099 ekor sapi perah. Produksi susu ditentukan oleh skala usaha sapi perah dan kegiatan proses produksinya. Pada umumnya skala usaha peternakan sapi perah di Indonesia merupakan usaha peternakan rakyat (skala kecil) yang memiliki sapi perah kurang dari lima ekor, atau memiliki rata-rata tiga ekor sapi perah betina sehingga pengusahaanya kurang efisien. Usaha ternak sapi perah di Indonesia kebanyakan masih bersifat tradisional, oleh peternak kecil, dan belum mencapai usaha yang berorientasi ekonomi. Daryanto (2007) mengemukakan bahwa skala ekonomis 3
pengusahaan sapi perah baru bisa dicapai dengan kepemilikan 10-12 ekor sapi per peternak. Skala usaha yang kecil ini berpengaruh terhadap lemahnya bargaining power peternak terutama ketika berhadapan dengan pasar. Kepemilikan sapi yang sedikit menyebabkan susu yang dapat diproduksi perharinya pun jumlahnya terbatas. Hal ini jelas menjadi kendala bagi peternakan sapi di Indonesia jika ingin mendapatkan harga jual susu yang lebih tinggi serta penjualan yang kontinu dengan cara memasok susunya ke industri pengolahan susu (IPS). Menjual susu segar ke IPS memang lebih menguntungkan dibandingkan dengan menjualnya langsung ke pasar akan tetapi jarang sekali ada IPS yang bersedia menerima penjualan susu segar langsung dari petani peternak kecil. IPS pada umumnya membutuhkan susu dalam jumlah yang besar, kontinu, dan dengan kualitas tertentu yang memenuhi standar IPS. Dengan kondisi seperti saat ini, akan sangat sulit bagi peternak sapi di Indonesia untuk dapat memenuhi permintaan IPS tersebut. Oleh karena itulah perlu suatu lembaga yang mampu melakukan collective action dengan menampung, dan memberikan perlakuan agar susu segar dari para peternak memenuhi standar kualitas IPS, atau bahkan menjadi IPS dengan menampung susu dari peternak dan melakukan kegiatan produksi sendiri. Instruksi Presiden nomor 2 tahun 1982 menyebutkan bahwa “produksi susu dalam negeri ditingkatkan melalui usaha modernisasi peternakan sapi perah rakyat yang dibina dalam wadah koperasi.” Selain memudahkan pembinaan peternakan oleh pemerintah, koperasi juga menjadi lembaga yang penting bagi peternak sebagai alat untuk membangun kekuatan ekonominya sekaligus lembaga yang paling dekat dengan peternak. Koperasi merupakan lembaga yang tepat untuk menjembatani antara peternak sapi dengan IPS. Ada beberapa manfaat yang diperoleh peternak dengan bergabung dalam koperasi antara lain: kemudahan pelayanan kesehatan ternak; reproduksi modern; permodalan; kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan ternak dan peternak; kemudahan memasarkan susu; akses informasi dalam hal teknis, pasar, maupun teknologi. Dilihat dari perkembangan serta kontribusinya terhadap pendapatan negara, koperasi susu merupakan satu-satunya bentuk koperasi yang dapat dikatakan paling maju di Indonesia. Salah satu koperasi persusuan yang cukup
4
terkenal karena merupakan koperasi primer yang menjadi motor penggerak koperasi sekunder persusuan nasional (GKSI) adalah Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan (Baga, 2009). KPBS Pangalengan memiliki dua alternatif dalam mengalokasikan susu segar yang diterima dari anggotanya. Alternatif pertama adalah menjual ke IPS dalam bentuk susu dingin, alternatif kedua adalah mengolah susu yang diterima dari anggota menjadi produk akhir seperti susu pasteurisasi. Dua alternatif ini membawa konsekuensi tersendiri bagi kegiatan usaha KPBS. Menjual susu ke IPS memang menguntungkan jika dilihat dari jaminan permintaan pasar. IPS biasanya secara kontinu membeli susu segar dari koperasi yang menjadi mitranya, selama susu yang disetor koperasi memenuhi standar kualitas yang ditetapkan IPS. Akan tetapi, pada posisi ini koperasi memiliki bargaining power yang lemah karena susu segar merupakan bahan baku bagi IPS yang cenderung dibeli dengan harga yang relatif murah. Koperasi bersaing dengan produk susu dari negara lain yang harganya relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga jual susu dari koperasi, dengan kualitas yang biasanya lebih baik dari susu yang dijual koperasi. Dampak negatif lain yang ditimbulkan dari alternatif pertama adalah jatuhnya nilai tambah produk akhir susu ke IPS. Dengan melakukan pengolahan susu segar yang dijual koperasi, IPS memiliki peluang untuk memperoleh laba besar atas pemberiaan nilai tambah pada susu segar. Melakukan pengolahan sendiri terhadap susu segar yang diterima dari anggota sehingga menjadi produk akhir dalam bentuk susu pasteurisasi merupakan alternatif yang dapat ditempuh KPBS Pangalengan untuk meningkatkan harga beli susu dari peternak, dan mengurangi ketergantungan pada Industri Pengolahan Susu (IPS). Meningkatkan harga beli susu ditingkat konsumen akhir dengan cara memberikan nilai tambah lewat serangkaian kegiatan pengolahan memiliki dampak positif bagi KPBS. Pengolahan dapat mengalihkan nilai tambah produk akhir dari IPS ke KPBS, serta memperpendek rantai pemasaran susu. Sehingga, seyogyanya KPBS mampu membayar susu yang disetor oleh para peternak anggotanya dengan harga yang lebih tinggi. Seperti halnya alternatif pertama, mengolah susu segar menjadi produk akhir berupa susu pasteurisasi juga memiliki kendala berupa pemasaran produk akhir. Kendala pasar menyebabkan
5
pengalokasian susu segar untuk alternatif pertama tidak dapat optimal dan sesuai dengan keinginan koperasi. Agar usaha pengolahan susu yang dilakukan KPBS dapat berlanjut, diperlukan suatu kemampuan produksi dan pemasaran yang efisien agar produk akhir yang dihasilkan KPBS Pangalengan mampu bersaing dengan produk sejenis yang bisa jadi di produksi oleh IPS. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji kinerja pengolahan susu pasteurisasi di KPBS Pangalengan sebagai alternatif dalam mengolah susu segar dari anggotanya.
1.2.
Perumusan Masalah Pengolahan susu segar menjadi susu pasteurisasi merupakan upaya KPBS
Pangalengan dalam meningkatkan penerimaan melalui peningkatan harga jual susu di tingkat konsumen, dengan cara memberikan nilai tambah pada susu segar yang diterima dari anggotanya. Pengolahan susu pasteurisasi dapat memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan KPBS. Selain dapat meningkatkan penerimaan, pengolahan susu segar menjadi susu pasteurisasi juga dapat mengurangi ketergantungan koperasi terhadap Industri Pengolahan Susu (IPS), serta meningkatkan kesempatan kerja. Dalam menjalankan usaha pengembangan pengolahan susu segar menjadi susu pasteurisasi KPBS Pangalengan menerapkan sistem produksi berdasarkan pesanan atau yang mereka sebut dengan istilah job order. Melalui sistem job order jumlah produksi serta kombinasi produk susu pasteurisasi tergantung dari jumlah pesanan (order). Sistem job order membawa dampak positif juga negatif bagi produksi susu pasteurisasi di KPBS Pangalengan. Dengan sistem job order, kuantitas permintaan pasar lebih terjamin sehingga KPBS dapat meminimalisir kerugian akibat tidak terjualnya produk yang dihasilkan. Namun, adanya sistem job order membuat keputusan produksi bergantung pada jumlah pesanan yang belum tentu sesuai dengan kapasitas mesin, tenaga kerja, ketersediaan bahan baku utama yaitu susu segar serta ketersediaan bahan baku lainnya. Adanya sistem job order dalam memproduksi susu pasteurisasi di KPBS Pangalengan akan mempengaruhi pengalokasian sumberdaya seperti susu segar, mesin, tenaga kerja, serta bahan baku tambahan yang pada gilirannya akan
6
berpengaruh pada keuntungan yang diperoleh KPBS Pangalengan. Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan pada penelitian ini adalah: 1) Bagaimana alokasi pengunaan sumberdaya (khususnya bahan baku susu segar) untuk memproduksi susu pasteurisasi di KPBS Pangalengan? 2) Apa yang menjadi kendala bagi KPBS Pangalengan dalam memproduksi susu pasteurisasi? 3) Bagaimana dampak sistem job order terhadap keuntungan dari penjualan susu pasteurisasi di KPBS Pangalengan? 4) Apa yang harus dilakukan KPBS Pangalengan untuk meningkatkan pemanfaatan susu segar, serta menghilangkan dampak negatif sistem job order?
1.3.
Tujuan Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini antara lain : 1) Menganalisis alokasi pengunaan sumberdaya (khususnya bahan baku susu segar) untuk memproduksi susu pasteurisasi di KPBS Pangalengan. 2) Menganalisis faktor yang menjadi kendala bagi KPBS Pangalengan dalam memproduksi susu pasteurisasi. 3) Menganalisis dampak sistem job order terhadap keuntungan KPBS Pangalengan.
1.4.
Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan
masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengembangan susu terutama susu pasteurisasi. Secara rinci penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Manajemen KPBS Pangalengan dapat memanfaatkan hasil penelitian sebagai acuan menentukan perencanaan produksi susu pasteurisasi yang optimal 2. Bagi Mahasiswa penelitian ini dapat menjadi ajang penerapan ilmu produksi serta optimalisasi teoritisnya dalam dunia agribisnis yang sebenarnya.
7
3. Kalangan akademis dan umum dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi tambahan terhadap aplikasi metode optimalisasi produksi maupun penelitian lanjutan terkait dengan susu pasteurisasi.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ini meliputi produksi susu pasteurisasi berbentuk prepack dan
cupyang dihasilkan sebuah koperasi susu di Indonesia yaitu KPBS Pangalengan. Meskipun KPBS Pangalengan merupakan sebuah lembaga berbentuk koperasi namun, pada penelitian ini yang akan dikaji hanyalah salah satu unit produksinya saja. Sehingga, KPBS Pangalengan dipandang sebagai sebuah perusahaan yang menghasilkan susu olahan berupa susu pasteurisasi. Penelitian ini akan berfokus pada produksi susu pasteurisasi dalam bentuk prepack 500 ml dan cup rasa strawberry dan cokelat berukuran 160 ml saja.
8