BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hingga saat ini, masyarakat Bugis di Sindenreng Rappang sebagai daerah penghasil beras masih menjaga sistem bagi hasil adat antara petani penggarap dengan tuan tanah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu petani penggarap di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang, sistem bagi hasil dikenal dengan nama maruma galung atau mappakatenni galung. Akan tetapi, Scheltma (1931:92) mencatat istilah untuk bagi hasil di Sidenreng Rappang pada tahun 1920 adalah maro atau mertiga. Scheltma menegaskan, “pada tahun 1920 bagi hasil lazim di kabupaten ini.... yang dijumpai adalah maro, atau jika tidak mertiga (1/3 untuk pemilik).... tanpa perincian lebih lanjut”.
Perubahan nama sistem bagi hasil kemungkinan disebabkan adanya perbedaan waktu dan tempat penamaan. Alasan ini disepakati oleh Marx (1962:255) yang meyakini nama maupun tata cara sistem bagi hasil di tiap-tiap wilayah adalah berbeda. Dengan demikian, perbedaan wilayah menyebabkan potensi perbedaan atau ketidakseragaman sistem bagi hasil yang digunakan petani penggarap dan tuan tanah. Menurut Irmayanti (2010:49), hasil pengelolaan akan dibagi sesuai kesepakatan masing-masing pihak dan kebiasaan-kebiasaan umum yang berlaku di suatu daerah. Secara langsung adat mempengaruhi kebiasaankebiasaan masyarakat, berarti adat di suatu daerah mempengaruhi sistem bagi hasil pertanian daerah yang bersangkutan.
1
2
Ketidakseragaman jumlah bagi hasil bergantung pada sistem pertanian yang digunakan. Jika petani penggarap menggunakan sistem irigasi, maka perbandingan bagi hasil antara petani dengan tuan tanah adalah 1 : 1. Sementara, jika petani menggunakan sistem pertanian tadah hujan, maka perbandingan bagi hasil antara petani dengan tuan tanah adalah 3 : 2. Kerumitan pengerjaan pada sistem tadah hujan menyebabkan pembagian untuk petani penggarap lebih besar. Hal lain yang menarik bagi peneliti dalam sistem bagi hasil adalah akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak, utamanya kesepakatan yang masalah waktu dan biaya operasional. Akad awal antara petani penggarap dan tuan tanah tidak
memberikan kejelasan
kapan
berakhirnya
perjanjian kerja sama.
Keberlanjutan kerja sama antara petani penggarap dengan tuan tanah hanya berdasarkan kecocokan yang dirasakan oleh tuan tanah. Sementara menurut Jusmaliani (2005) perjanjian adalah kesepakatan dua pihak yang melindungi kepentingan bersama. Djumialdji (2001:37-38) menambahkan, perjanjian kerja untuk pekerjaan yang sifatnya musiman (seperti pertanian) termasuk dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan perjanjian ini paling lama diadakan dua tahun dan setelah perjanjian berakhir maka perjanjian dapat diperbaharui atau diperpanjang. Selama proses penggarapan petani dianggap memiliki kuasa untuk mengolah tanah sehingga petani penggarap yang tidak mampu mengerjakan sendiri tanah garapannya, kadang-kadang mempekerjakan seseorang untuk membantunya. Seseorang tersebut biasanya orang dekat petani, baik keluarga maupun teman. Orang yang membantu petani penggarap ini dalam akuntansi dianggap sebagai pekerja tambahan yang akan mendapatkan upah yang mengurangi profit (keuntungan) usaha. Jadi tidak seharusnya petani penggarap
3
membagikan sebagian hasilnya kepada pekerja tambahan atau buruh tani. Meskipun pekerja tambahan merupakan inisiatif sendiri dari petani penggarap. Sistem bagi hasil yang diterapkan juga tidak memiliki aturan yang jelas terkait pembebanan biaya dan pembagian hasil setelah panen. Penanggungan biaya mengikuti kebiasaan, seperti yang ditulis Scheltma (1931:92), “Biasanya penggarap diwajibkan menyediakan bibit padi dan hewan bajak”. Pembebanan
terhadap kerugian yang berpotensi tidak proporsional ini berimplikasi secara langsung terhadap tingkat kesejahteraan perekonomian petani penggarap, apalagi jika hasil dari panen tanah garapan tersebut merupakan sumber penghasilan satu-satunya bagi petani penggarap. Dalam Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria (1998), golongan petani yang sumber penghidupan utamanya bergantung pada pertanian, baik memiliki tanah atau tidak, dimana hasil usahanya hanya cukup untuk hidup disebut sebagai petani subsisten. Husein (1995:55-56) menggambarkan keadaan petani subsisten dengan menganggap pertanian sebagai sandaran hidup. Dengan demikian, ketidakseimbangan pembebanan dalam proses sistem bagi hasil menyebabkan goyahnya kondisi keuangan rumah tangga petani penggarap, khususnya petani penggarap subsisten. Dari berbagai masalah yang dihadapi oleh petani baik eksternal berupa kebijakan yang tidak konsisten maupun internal seperti permasalahan irigasi dan sistem bagi hasil yang dirasakan memberatkan petani maka profesi petani tidak lagi menjadi profesi yang menjanjikan dalam segi pendapatan. Rusdianto (2002) menyimpulkan persepsi masyarakat yang berprofesi sebagai petani bahwa usahatani pada kondisi sekarang ini sangat tidak prospektif untuk dijadikan sumber penghasilan rumah tangga sehingga Ghany (2012:67) menganggap semakin berkurangnya jumlah petani atau orang yang bekerja di sektor pertanian
4
sebagai sebuah isu pembangunan pertanian yang menjadi agenda untuk dipikirkan solusinya secara bersama-sama. Hal ini dipertegas oleh Jhamtani (Tanpa tahun:xiii), ... semakin sedikit generasi muda yang mau jadi petani, bahkan semakin banyak orang berhenti menjadi petani, ... karena mereka tidak lagi mampu hidup dari bertani. Ketika produsen pangan adalah manusia-manusia termiskin di sebuah negara, maka ketahanan pangan negara itu akan terancam.
Dari semua penjabaran tersebut, tidak adanya aturan baku yang digunakan pada akhirnya menyebabkan munculnya berbagai masalah dalam sistem bagi hasil yang diadopsi oleh petani penggarap dengan tuan tanah di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupataen Sidenreng Rappang. Kemungkinannya bahkan dapat berdampak pada kurangnya minat masyarakat untuk berprofesi menjadi petani yang secara langsung berdampak pada masalah ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Padahal di dalam Islam, sistem bagi hasil mengarahkan pembagian keuntungan dan kerugian yang proporsional dan jelas. Sementara, sejauh yang peneliti ketahui, bahwa hampir semua petani penggarap yang berada di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang adalah muslim. Maka sudah sepatutnya mereka menggunakan sistem bagi hasil berlandaskan syariah. Sesungguhnya tidak ada keterpisahan antara hukum syariah dengan bisnis yang berhubungan dengan muamalah. Agama Islam sebagai agama yang sempurna telah mengakomodasi sistem bagi hasil antara petani penggarap dengan tuan tanah semenjak zaman Nabi Muhammad SAW. Sistem
bagi
hasil
sesungguhnya
pernah
dilakukan
oleh
Nabi
Muhammad Shallallahu „Alaihi Wasallam sebagai sistem penitipan modal yang dikelola Nabi tatkala beliau dipercaya mambawa sebagian barang dagangan Sitti khadijah dari Mekkah ke Negeri Syam. Sistem bagi hasil juga pernah dijalankan
5
pada masa Rasulullah, seperti yang dijelaskan Rahman (1992b:261) yaitu: ketika beliau memberikan tanah di Khaibar kepada orang Yahudi dengan sistem bagi hasil seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Umar, “Rasulullah s.a.w memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan mengambil sebahagian dari hasilnya”.
Konsep sistem bagi hasil berdasarkan syariah merupakan konsep yang dapat mengatasi masalah petani penggarap di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang terkait pembebanan biaya yang tidak proporsional. Konsep ini membawa nilai keadilan sehingga dapat memberi kamaslahatan bagi petani penggarap maupun tuan tanah. Sebagaimana diketahui bahwa sumber konsep bagi hasil syariah adalah Al-Quran dan AlHadits yang diyakini kesempurnaannya dalam memberikan “jalan yang lurus”. Rahman (1992a:27) menyatakan bahwa Islam membawa kepada jalan kebaikan yang berarti kemakmuran ekonomi yang diperoleh melalui sumbersumber yang halal tanpa menindas manusia lain. Kebaikan tersebut diperoleh melalui jalan yang jujur dan adil untuk memuaskan kehendak individu maupun kebaikan masyarakat. Sedangkan sumber hukum adat menurut Magdalena (2007: 25) adalah “segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan memaksa, yaitu aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata”. Dari dua pernyataan tersebut jelaslah bahwa Islam
membawa nilai keadilan untuk kemaslahatan seluruh alam sementara adat membawa sesuatu yang memaksa dengan aturan yang berbeda di setiap tempat. Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia adalah prinsip keadilan dan pelaksanaannya yang merupakan pengganti amalan-amalan tradisional yang amat bertentangan (Rahman,1992a:74). Pernyataan tersebut didukung oleh tulisan Khadduri (Tanpa Tahun:11) bahwa salah satu prinsip religius dan moral yang dibawa Islam dalam Al-Quran dan Al-Hadits adalah
6
perhatian terhadap keadilan yang merupakan reaksi melawan tatanan sosial praIslam.
Bahkan
seorang
pemikir
filosofis-populer,
Muthahhari
(1981),
menganggap keadilan merupakan sejenis “pandangan dunia”. Sebagaimana dalam al Quran surah An Nahl ayat 90, disebutkan kata adil yang mengikuti perintah untuk berbuat kebajikan, yakni :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Arti penting keadilan bagi petani sendiri telah disampaikan oleh George (1982:xii) bahwa kesejahteraan petani akan terwujud jika nilai keadilan dapat diwujudkan dari berbagai aspek. Dengan demikian peneliti sampai pada kesimpulan bahwa penekanan nilai keadilan yang dibawa oleh Islam di sini dianggap penting bagi petani, khususnya kelompok petani penggarap. Hanya saja, pemahaman dan persepsi para petani terkait hukum maupun sistem Islam dalam bermuamalah masih minim. Penyebabnya adalah para petani terbiasa dengan cara-cara tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan mereka. Demikian juga dengan sistem bagi hasil yang telah turun-temurun mereka adopsi sejak dulu. Sehingga kemungkinan solusi yang dapat dilakukan adalah bukan menghapus secara keseluruhan sistem yang petani penggarap dan tuan tanah pergunakan, akan tetapi menyesuaikan sistem bagi hasil yang digunakan dengan konsep bagi hasil syariah. Ini tidak berarti bahwa konsep syariah dipaksakan mengikuti konsep adat. Namun, nilai-nilai adat yang telah benar berdasarkan nilai-nilai Islam tetap dipertahankan sementara yang tidak syariah diganti sesuai dengan nilai-nilai Islam. Salah satu contoh yang dapat dipertahankan seperti yang dituliskan oleh Wulandari (2013) berdasarkan hasil penelitian Yassi mengenai pelaksanaan
7
tudang sipulung (duduk bersama memperbincangkan suatu masalah untuk mendapatkan solusi) dalam mendukung sistem pertanian di Sidenreng Rappang. Tudang
sipulung
sebagai
kebiasaan
yang
membudaya
ternyata
dapat
mendorong peningkatan semangat dan kinerja petani dalam menggarap sawahnya. Lebih lanjut, metode ini setelah diteliti berasal dari naskah Lontara sebagai naskah klasik warisan peninggalan nenek moyang. Di dalam naskah tersebut juga memuat tata cara bercocok tanam, iklim dan curah hujan. Lebih lanjut Sugiarto (2008:3) menyatakan Lontara merupakan simbol dari tingginya peradaban manusia Bugis. Pendekatan untuk memperbaiki sistem bagi hasil ditempuh dengan mencoba untuk membuka wawasan petani penggarap dan tuan tanah mengenai sistem bagi hasil yang lebih baik. Tohir (1991:vi) menyepakati hal ini dengan menyatakan bahwa, Membangun usahatani – khusus di negara-negara sedang berkembang – nyata lebih cepat tercapai, kalau pendekatan-pendekatan biologis itu dibarengi dengan pendekatan-pendekatan yang dapat mendatangkan perubahan dan perluasan pandangan para petani. Pandangan petani yang lazimnya bersifat „statis‟, „stationer‟ atau „kolot‟ atau „tradisional‟ nyatanya dapat dirubah menjadi pandangan yang lebih „dinamis‟, „maju‟ atau „moderen‟, kalau lebih dahulu dilakukan pendekatan-pendekatan yang lebih mengutamakan unsur-unsur biologi-teknologis.
Dengan demikian, bukan yang mustahil untuk melakukan penyesuaian sistem bagi hasil adat dengan syariah di kalangan petani, khususnya di Kelurahan Baranti. Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang. Penyesuaian yang tidak merombak secara radikal sistem bagi hasil adat merupakan proses penyempurnaan dari sesuatu yang dianggap belum ideal. Seperti halnya kedatangan Nabi Muhammad pada zaman jahiliyah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Khadduri (1999:12) menjelaskan tentang hal tersebut sebagai berikut :
8
Beliau sendiri menghargai kebajikan-kebajikan tertentu yang dihormati oleh para pengikutnya, serta memasukkan sikap-sikap tersebut menjadi ajaran-ajarannya sendiri. Sebagaimana sabdanya yang seringkali dikutip, beliau diutus bukan untuk menghapus tetapi, “menyempurnakan akhlak yang mulia” (li utammima makarima al-akhlaq) yang telah eksis di tengah masyarakat, dan beliau pun merasa wajib mempertahankannya.
Usaha yang dilakukan oleh Nabi Muhammad untuk menyempurnakan akhlak manusia merupakan bentuk jihad yang diperintahkan oleh Allah Subhana Wa Ta‟ala dalam menyebarkan kebaikan-kebaikan di muka bumi. Usaha yang dilakukan peneliti juga merupakan pengejewantahan dari makna jihad dalam metode yang berbeda. Jihad untuk membuka jalan bagi petani-petani penggarap menuju kemakmuran ekonomi. Seperti yang ditulis Ash Shadr (2008:34), Pada level keislaman, umat Islam mengorbankan Jihad (perang suci dalam Islam) seutuhnya melawan keterbelakangan dan kemunduran. Dengannya, mereka berusaha untuk bergerak, baik secara politik maupun sosial, menuju kehidupan yang lebih baik, struktur kemasyarakatan yang lebih kokoh, serta kondisi ekonomi yang lebih makmur dan sejahtera. Setelah melewati serangkaian kegagalan dan keberhasilan, umat Islam akan menjumpai bahwa di sana hanya ada satu jalan yang harus ditempuh dan itu adalah jalan Islam; sekaligus menjumpai bahwa tak ada kerangka yang tepat guna mencari solusi bagi berbagai problem keterbelakangan ekonomi kecuali kerangka sistem ekonomi Islam.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka peneliti kemudian memilih judul Penyesuaian Konsep Bagi Hasil Adat dengan Syariah; Upaya Penerapan Nilai Keadilan Bagi Petani Penggarap di Sidenreng Rappang.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan yaitu : 1. Apakah penerapan nilai keadilan telah terwujud dalam sistem bagi hasil pertanian berdasarkan adat di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang? 2. Bagaimana konsep penyesuaian sistem bagi hasil adat dengan sistem bagi hasil syariah dalam menerapkan nilai keadilan bagi petani
9
penggarap di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui tingkat penerapan nilai keadilan dalam sistem bagi hasil pertanian berdasarkan adat di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng rappang. 2. Menemukan konsep penyesuaian sistem bagi hasil adat dengan sistem bagi hasil syariah dalam rangka menerapkan nilai keadilan bagi petani penggarap di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk melihat konsep sistem bagi hasil adat disandingkan dengan sistem bagi hasil syariah dalam rangka menerapkan nilai keadilan bagi petani penggarap. Kehadiran tulisan ini sekaligus akan memperkuat basis nilai-nilai Islam dalam kegiatan bermuamalah.
1.4.2 Kegunaan Praktis Kegunaan dari penelitian ini secara praktis adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani penggarap melalui penanaman nilai keadilan. Petani dapat menggunakan konsep bagi hasil berdasarkan syariah yang telah ada dalam praktek sistem bagi hasil pertanian.
10
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Lingkup konsep bagi hasil berdasarkan adat adalah adat bugis di Desa Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang. Adapun komunitas petani penggarap yang akan diteliti adalah dibatasi hanya pada komunitas petani persawahan yang memproduksi padi di Kelurahan Baranti, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang.
1.6 Sistematika Penulisan Proposal ini terdiri atas tiga tiga bab yang tersusun secara sistematis yaitu sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini memberi uraian mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan uraian mengenai landasan teori dari proses peninjauan pustaka berupa teori-teori yang relevan sebagai landasan dalam penelitian ini, hasil penelitian terdahulu serta riset-riset terkait dengan judul penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini memuat tentang pendekatan penelitian, objek penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan untuk mengolah data. BAB IV GAMBARAN UMUM Bab ini berisi informasi singkat tentang Kelurahan Baranti, identitas dan karakteristik responden dan informan. BAB V SISTEM BAGI HASIL ADAT DARI PERSPEKTIF KEADILAN
11
Bab ini menguraikan hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan diterapkan atau tidaknya lima indikator keadilan yang telah dirumuskan.
BAB VI PENYESUAIAN KONSEP BAGI HASIL ADAT DENGAN SYARIAH Bab ini menguraikan konsep yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabatnya dalam melaksanakan sistem perjanjian bagi hasil. Bab ini juga menawarkan konsep penyesuaian bagi hasil ada dengan bagi hasil syariah. BAB VII PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran dalam melaksanakan penyesuaian konsep bagi hasil adat dengan syariah.